EPISODE 8
--AKU GAK APA APA KOK--
“Tangan kamu kenapa?”
“Gak apa kok mbak. Cuma keserempet aja tadii. Mbak udah makan?”
“Jangan alihin pembicaraan deh. Kamu gak bisa bohong sama aku lho Ga.”
“Iya mbak. Aku gak apa apa kok. Hal ini biasa bagi anak laki mbak.”
“Biasa apaan? Itu sampai di gendong gendong gitu tangannya.”
“Iya mbak. Hanya kegeser aja kok mbak sikunya. Bawa istirahat aja, besok mendingan kok mbak.”
“Apaan? Sampai kegeser gitu sikunya masih bilang biasa.”
“Aku gak apa apa kok mbak. Sekarang mbak yang bakal sakit kalo gak makan gini.”
“Biarin aku sakit kalau akhirnya pelindungku gak bisa melindungiku.”
“Iya mbak. Aku gak apa kok. Hanya butuh istirahat kata dokternya. Aku ke dalam dulu ya mbak. Awas kalau ntar aku keluar, makanannya belum mbak habisin.”
Arga yang telah ditunggui Yona sejak tadi akhirnya datang dengan tangan yang dililit perban dan digantung khas seperti orang yang tangannya patah. Yona yang memang daritadi mengawatirkan keadaan Arga yang belum pulang dan tak mengangkat disaat ia menghubungi akhirnya bisa sedikit lega dengan kedatangan Arga. Memang sih kelegaan dari Yona tidak sempurna, Yona melihat keadaan Arga begitu makin tidak mau makan dan hanya melihat ke arah makanan yang telah dipesan oleh Arga tadi sore saat masih di kantor.
“Hmmm.. kok belum mbak makan? Gimana mau sehat kalau gak mau makan gitu.”
“Ngapain urus urusan aku, kalau kamu aja gak bisa jaga badan kamu.”
“Mbaakkk.. aku bilang sekali lagi yaaa.. aku gak apa apaaa.. ini Cuma dikit kok.”
“Bodo”
“Ya udah, biar aku suapin ya mbak.”
“Gaaakkk”
“Iyaaa.. aku bakalan janji kok, selesai mbak ngabisin nih makanan, aku cerita semua ya. sekarang mbak makan dulu ya.”
Akhirnya bujukan Arga berhasil. Dengan disuapi oleh Arga, Yona mulai mengunyah dan menelan pelan makanan tersebut. Dalam pikiran Yona masih dipenuhi akan tangan kiri berbalut perban Arga yang seakan tak menghiraukan tangan kanannya yang menyuapi Yona makan. Yona makin terdiam dengan perlakuan Arga kepadanya. Apalagi kejadian semalam yang membuatnya tambah nyaman dengan sosok Arga.
“To the point aja Christ. Apa maksud kamu ngundang aku kesini?”
“Aku mau kamu jelasin siapa dia.”
“Sebelum kamu nanya gitu, aku juga ada pertanyaan.”
“Apa?”
“Liat video ini baik baik. Dan jelaskan, siapa yang kamu cium ini?”
“Kok kamu?”
“Kenapa? Kaget?”
“Hmmm… dia hanya teman aku kok.”
“Teman gak sampai ciuman Christ.”
“Yo, aku bisa jelasin ke kamu.”
“Udaaahh.. aku gak mau dengar semuanya, dan ingat, aku bakalan ngomong sama ayah buat batalin pertunangan kita.”
“Gak, gak, gak, aku tak terima.”
“Haaa?? Kok kamu yang gak terima?”
“Aku yang hanya nyium, padahal kamu dan dia udah lakuin hal yang lebih kan.”
“Ya, aku tambah yakin, kalau kamu itu gak cocok untukku”
“Kamu mau kemana?”
“Lepasin Christ.”
“Duduk dulu…”
“Lo gak dengar apa dia ngomong apaan? Lepasin gak?”
“Ooooo.. lo lagi. Ya ya ya gue tau, jadi kamu sengaja Yo. Jadi betul perkiraanku selama ini, kamu memang sengaja tinggal di apartement dibanding rumah kamu karena kamu mau main sebebas bebasnya sama cowok, dan termasuk cowok muda ini. Iya kan Yo?”
BUUGGGHHH
“Gue udah bilang ya, lo boleh nyakitin gue, tapi lo gak pantas nilai mbak Yona serendah itu. kalau lo emang tunangannya, lo gak bakalan nilai mbak Yona begitu mas.”
“Lo makin berani ya. Udah dua kali lo mukul gue. Gue bakal balas ini. Tunggu ajaaa..”
“Aku gak takut apapun mas jika aku masih berjalan di jalannya.”
Setelah mengancam Arga, Christ pun langsung meninggalkan Yona dan Arga. Sesaat keributan itu terjadi, Arga didatangi security dan Arga memastikan kalau sekarang tidak ada apa apa lagi sambil menunjuk Christ yang memang telah memasuki mobilnya.
“Kok kamu tau aku disini?”
“Aku liat gelagat mbak yang berbeda saat mau pulang tadi. Ya aku ikuti.”
“Kamu dengar semuanya?”
“Gak, aku Cuma dengar saat dia merendahkan mbak.”
“Hiiikkkssss….”
“Orang kek dia gak pantas ditangisi mbak.”
“Kamu nanti bakalan tahu kenapa aku belum bisa lepas dari dia. Dan kamu juga saat itu akan ngerti apa makna air mata yang keluar sekarang.”
“Aku gak mau tahu itu mbak. Apapun alasannya, aku gak mau tahu. Yang aku tahu, aku akan melindungi mbak, bagaimana pun caranya.”
“Kamu bukannyaaa sekarang …….”
“Ssstttt.. hal yang aku lakukan sekarang lebih penting mbak.”
“Syukurlah udah habis. Mbak mau nambah?”
Pertamyaan Arga yang mengembalikan Yona dari ingatannya yang membuatnya lemas sehari tadi. Yona bukan mengingat kejadian bersama Christ, tetapi keingat dengan sikap Arga yang dingin bisa membuatnya nyaman. Dan pertanyaan itupun hanya dijawab gelengan oleh Yona.
“Mbak kok diam?”
“Kamu janji kan?”
“Yaaa aku bakal cerita, tapi aku beresin ini dulu ya mbak.”
“Gak usah, biar aku saja. Kan….”
“Kenapa? Tanganku? Aku gak akan ingkari janjiku untuk melindungi mbak, walau aku hanya bisa gunakan satu tangan mbak."
Pernyataan Arga, lagi lagi membuat Yona yang seakan haus akan kenyamanan yang tulus diberikan kepadanya terdiam. Sikap dingin Arga kepadanya telah mencair semenjak ia ikut dalam maslah pribadi Yona. tapi Yona juga tidak bisa marah disaat Arga terlalu jauh masuk ke dalam urusannya. Karena Yona merasa, hanya Arga yang membelanya dalam persoalan ini.
“Maaf mbak, bukan aku bermaksud lain lain, aku mau tahu aja, kenapa mbak seakan diam saat dia rendahin mbak?”
“Yang dia katakan itu betul kok Ga. Masa laluku….”
“Gak, orang gak pantas menilai orang lain hanya karena masa lalunya mbak.”
“Gak semua orang berpandangan seperti kamu Ga. Kamu mau kemana?”
“Aku mau keluar mbak.”
“Gak. jangan, aku gak mau sendiri.”
“Tapi mbak…..”
“Aku mau dengar pandangan kamu semalaman ini. Pleaseee….”
“Kok mbak melamun lagi? Mbak mau nonton?”
“Gak”
“Trus mbak mau ngelamun dan berdiam diri saja?”
“Biarkan sehari ini aku begini ya. aku janji, mulai besok aku yang rawat tangan kamu.”
“Gak usah mbak. Kata dokternya, gak apa apa kok.”
“Kamu tahu kan kalau aku udah minta susah jika ditolak.”
“Hmmmm… ya udah, yang penting mbak gak boleh murung begini lagi. Cukup hari ini ya.”
***
“Udah lo hubungi pangeran bervespa lo?”
“Apaan sih Je, masih pagi juga udah bahas dia.”
“Yaaa.. gue sih ngerasa penting bahas ini.”
“Kenapa?”
“Apa lo bakal siap kalau dengar dia kenapa napa bersama vespa hijau yang pernah lo naiki itu?”
“Apaan sih Je?”
“Gini ya, gue bakal suatu cerita yang mirip sama kisah lo, tapi lo harus janji satu hal.”
“Pake syarat segala.. ya ya ya apaan?”
“Janji jika cerita ini gak ganggu kerjaan lo entar?”
“Iya iyaaaa.. gue janji Jesicha Lorenza.”
KRRRIIINGGGG
“Iya mas. Ada apa?”
“Sayang, bisa jemput mas gak, dekat kok.”
“Mas kenapa?”
“Mas gak kenapa napa sayang. Tapi teman mas lagi butuh pengobatan, dan dia harus kita bawa ke klinik secepatnya.”
“Iya mas, Je secepatnya kesana.”
Dengan perasaan yang penasaran dan khawatir, Jeje mengendarai mobil Jazz merah kepunyaan pacarnya. Memang saat itu Rian, mencoba kembali vespanya yang memang baru keluar dari bengkel setelah modifikasi dan melakukan service berkala. Dan ia sendirian mengendarai vespa uniknya yang memang telah menjadi hobi dan telah menjadi pacar kedua setelah Jeje.
“Hmmm.. ini bukannya vespa yang dibilang Tari ya? jadi dia ya yang namanya Arga? Hmmm…”
“Udaahh.. pindah gih, biar mas yang bawa ya.”
“Itu teman mas?”
“Sesama pengemudi vespa itu kan saudara sayang. Mas tolongin dia dulu ya.”
Jeje hanya memperhatikan orang yang sekarang lagi di gandeng oleh Rian. Memang, kakinya keliatan memar, karena kakinya tersebut terhimpit vespa saat ia diserempet tadi. Sampai akhirnya Arga duduk di belakang dengan Rian yang mengemudi mobil tersebut.
“Makasih ya mas, mbak.”
“Sama sama bro. kamu kenal sama yang nabrak?”
“Iya mas.”
“Entar kita hubungi polisi aja ya.”
“Gak usah mas. Maaf saya bukannya sok atau gimana, soalnya saya punya alasan buat tidak melawan mas.”
“Ya udah, yang penting kamu sekarang diobati dulu ya bro.”
“Trus Arga sekarang gimana?”
“Ingat janji lo neng. Lagian, selesain dulu gue cerita napa. Kebiasaan main potong potong aja.”
“Kaki kamu gak apa apa bro. Hmmm..”
“Arga mas.”
“Kaki kamu hanya kehimpit aja tadi kan. Tapi tangannya nih Ga.”
“Kenapa mas?”
“Yaaa.. sikunya geser dikit sepertinya. Jadi harus pengobatannya seperti patah tangan Ga. Tapi hanya seminggu kok.”
“Iya mas. Makasih banyak ya mas.”
“Sama sama. Anggap aku dapat adek baru dan teman baru bervespa ria.”
“Iya mas sama. Aku minta izin buat ambil uang dulu ke ATM ya mas.”
“ATM jauh bro. lagian tangan kamu masih begitu, ingat hanya seminggu daripada lebih lama. Kapan kapan dibayar gak apa apa kok. Dan juga vespa kamu udah di bengkel langgananku.”
“Kok dibawa ke bengkel mas? Kan gak kenapa napa.”
“Kebetulan, tukang kebun ku itu mantan mekanik vespa dan dia juga buka usaha bengkel vespa. Ya dia tadi yang jemput vespa kita.”
“Hmmm.. sekali lagi makasih ya mas.”
“Ya udah, ayo aku antar. Dimana rumah nya?”
“Jadi, lo ngantar Arga pulang? Jadi lo tau rumah nya Arga dong? jadi entar lo harus nemanin gue ke rumahnya ya.”
“Udah ngomongnya?”
“Hmmm…”
“Gue kemaren gak ikut. Hanya mas Rian yang ngantar. Kata mas Rian sih di apartement daerah Klender gituu..”
“Yaaaa… jadi gue liatin dia gimana dong?”
“Katanya lo gak mau hubungi dia lagi. Kok sekaraaangggg….”
“Kan bedaa Jeeeee. Arga lagi sakit lho.”
“Trus lo ngapain kalau udah ketemu dia?”
“Gak tau.”
“Hahahahaha…”
“Kok lo ketawa sih. Bukannya bantuin gue.”
“Tenang. Gue tau kok dimana dia kerja.”
“Temani gue ya.”
“Iya neng. Demi miss perfect kita yang sedang mencari cinta pertamanya.”
***
“Mbak. Aku turun disini aja ya.”
“Gak. tangan kamu itu masih begituu. Aku gak mau kamu kenapa napa lagi.”
“Tapi mbak.”
“Kenapa? Profesionalisme?”
“IYa mbak.”
“Profesional itu hanya berlaku saat kondisi terbaik. Sedangkan kondisimu sendiri gimana. Lagian gak bakalan berani kok orang bertanya langsung.”
“Ya tapi di belakang kita?”
“Sejak kapan kamu mikirin hal itu?”
“Iya deh mbak. Emang susah ngalahin batu di kepala mbak.”
“Itu tahu.”
Pagi itu terpaksa Arga berangkat bersama Yona untuk pertama kalinya. Yona kali ini tidak terlalu memikirkan apa yang akan dibicarakan dan pandangan orang di kantor. Apa yang dibayangkan olehnya, Arga pasti menolak akan turun di parkiran. Namun bukan Yona namanya jika tidak keras dengan kemauannya dan mengalahkan orang yang dimintanya.
Saat turun dari mobil Yona, Arga terlihat sebagai pusat perhatian orang yang melihat kedatangan mereka yang barengan tersebut. Security, karyawan yang di parkiran sampai Icha dan Pita yang memang lagi duduk di meja resepsionist seperti pagi pagi sebelumnya.
“Ehhh.. bentar bentar. Tuh lihat.”
Icha yang saat itu sedang bercerita tentang kesenangannya yang mana bisa diantar oleh Arga walau hanya sampai stasiun Manggarai tersebut berhenti Karena Pita memotongnya. Pita melihat Arga yang turun dari mobilnya Yona dan yang menambah Pita dan Icha terdiam saat Yona membantu Arga turun yang tangan kirinya
“Tuh tangan Arga kenapa Cha?”
“Gue gak tau Pit. Kemaren gak apa apa kok. Ihh,, ngapain sih bu Yona sampai segitunya gandeng mas Arga.”
“Lo mulai percaya ya Cha, apa yang gue bilang. Syukurlah.”
“Gaakk.. gue gak percaya kok. Liat aja, itu hanya bu Yona yang mau begitu bukan mas Arga.”
“Terserah lah Cha. Udah begitu pun, masih bisa tertutup pikiran lo. Gue balik ke atas ya, gue gak mau kena semprot tuh sama perawan tua.”
Pita yang kini menghindari kena semprot pagi dari manager HRD yang sedang berjalan bersama atasannya langsung, Arga. Sepeninggal Pita, Icha hanya bisa melihat apa yang membuatnya mengerinyitkan alisnya. Bahkan setelah dilewati peristiwa mencengangkan tersebut, Icha masih terpikir akan kejadian tadi. Ia masih ingat, sapaan halus dan senyuman khas Arga saat menyapanya dan Yona yang memang dingin ke setiap karyawannya.
“Ihhh.. Bu Yona kok segitunya. Pake bawa tas mas Arga lagi. Apa dia suka sama mas Arga?”