Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT ANCAMAN YANG SEMPURNA

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
BAGIAN XII-b

Di sebuah sore yang mendung, di sebuah cafe yang tidak terlalu ramai oleh pengunjung di wilayah kawasan mewah Jakarta Selatan. Sepasang anak manusia tampak sedang bercakap-cakap akrab.
Soraya dan Ridwan. Mereka baru pulang memenuhi panggilan polisi untuk ke sekian kalinya. Dan dengan sedikit bujukan, Soraya membawa Ridwan untuk menemaninya nonton film lalu melanjutkan makan-makan di cafe tersebut.
“Duh, kapan tertangkapnya Si Anto ya, Mbak. Keseringan ninggalin bengkel bisa-bisa nggak dapet duit buat bayar kontrakan nih,” keluh Ridwan sambil mengaduk soft drinknya. Ridwan memang memanggil mbak kepada Soraya, mengingat perbedaan usia Soraya yang lebih tua tujuh tahun dari dia yang baru berusia dua puluh tahun.
“Tenaaang, Mbak akan bayarin kontrakan rumah kamu, Wan. Kalau mau, mbak akan bayarin setahun penuh biar kamu nggak bingung setiap bulan buat bayar kontrakan,” jawab Soraya tersenyum, menepuk-nepuk lembut tangan Ridwan.
“Jangan, Mbak ah! Kalau pun nanti mbak bayarin kontrakan Ridwan, tentu akan Ridwan bayar saat Ridwan mempunyai uang,” geleng Ridwan balas tersenyum.
“Heyyy, jangan bilang soal utang ah. Justru mbak yang berutang banyak sama kamu, utang yang tak mungkin bisa mbak bayar. Mbak bayarin kontrakan kamu itu hanya sedikit terima kasih mbak atas bantuan Ridwan pada malam jahanam itu. Kalau Ridwan tidak tepat datang menyelamatkan mbak, mungkin mbak saat ini sudah mati, Wan,” sahut Soraya sedikit terisak. Trauma peristiwa yang menakutkan hatinya kembali terbayang. Membuat tubuhnya sedikit menggigil.
“Sssh, sudah lah, Mbak. Nggak usah diingat-ingat lagi. Yang penting Mbak sekarang sudah aman, walau pun Si Anto itu belum juga tertangkap. Namun jangan khawatir, orang itu mungkin sudah pergi jauh untuk menghindari kejaran polisi,” hibur Ridwan balas menepuk dan mengelus-elus tangan halus Soraya.

Soraya mencoba tersenyum, “Ada kamu sekarang di samping mbak, Wan. Mbak merasa sangat aman dan nyaman sekali,” ujarnya setengah berbisik dengan wajah sedikit tersipu.
Ridwan menatap sepasang mata bening yang berbinar-binar itu. Pipi halusnya merona merah dadu, sementara bibir sensual itu tersenyum malu-malu, basah dan hangat.

“Ridwan siap buat membantu kapan saja mbak membutuhkan. Nggak ada Ridwan pun, kan ada Mas Donny yang selalu ada buat menjaga Mbak,” sahut Ridwan mencoba untuk menekan perasaan di dadanya yang berdebar-debar tak karuan.

“Mas Donny?” Soraya menekap mulutnya agar tawa sinisnya tidak nyaring.

“Lho..., memang kenapa?” tanya Ridwan melongo.
“Ahhh, dia mah boro-boro berantem, Wan. Dibentak aku saja langsung ciut..., hi-hi-hi.”
“Hush! Jangan gitu ah..., laki-laki seperkasa Bima juga melawan bini mah pasti ciut segede jahe, Mbak!” sahut Ridwan nyengir.
“Hi-hi-hi...,” Soraya tertawa geli sambil mencubit sayang lengan Ridwan.
“Kamu mah nggak tau aja. Mas Donny mah nyalinya kecil. Pernah mobilnya keserempet motor, motor itu yang jelas-jelas salah, tapi saat si pengendara motor marah-marah minta ganti rugi. Tanpa tawar lagi, dia langsung bayar kontan. Malu-maluin aja!”
“Itu namanya pria bijaksana, Mbak. Menghindari keributan hanya karena persoalan sepele,” Ridwan mencoba membela gendernya.
“Bijaksana sih, bijaksana. Cuma kalau kamu tau raut mukanya yang pucat ketakutan dibentak-bentak Si Pengendara motor, hilang sudah kebijaksaan prianya. Yang nampak cuma kepengecutan aja,” cibir Soraya memainkan bibirnya.
“Idih..., suaminya kok dijelek-jelekin gitu. ..., eh, Mas Donny,” Ridwan mendadak melambaikan tangannya ke arah belakang Soraya. Mereka memang duduk berhafdap-hadap di meja cafe tersebut.

Soraya berubah mukanya. Dengan cepat ia menoleh ke belakang. Ia sama sekali tidak melihat Mas Donnynya, hanya melihat pria gemuk botak yang berjalan santai menggandeng remaja putri masuk ke dalam cafe.

Soraya berbalik dengan gemas, melihat Ridwan sedang cengengesan memainkan alis tebalnya. Ia segera bangkit memutari meja dan menghujani Ridwan dengan cubitan-cubitan gemas yang segera berseru-seru minta ampun. Terpaksa dia menangkap ke dua tangan Soraya yang putih halus itu. Menariknya. Dan Soraya tanpa perlawanan badannya tertarik ke depan, Ridwan yang merasakan dua bukit payudara Soraya menekan punggungnya. Hembusan napas hangat mempermainkan rambutnya yang sedikit gondrong. Soraya tampak seperti sedang digendong pemuda itu.

Beberapa pengunjung cafe serentak menengok ke arah mereka. Mengangkat bahunya kemudian bergunjing sejenak.

“Mbak, pulang yukh,” kata Ridwan kemudian setelah melepaskan tangan Soraya.

“Ntar dulu ah, Mbak masih betah, duh, tangan mbak jadi merah nih,” sahut Soraya yang segera berdiri begitu tangannya dilepaskan oleh Ridwan. Memeriksa tangannya yang memerah akibat genggaman keras tangan Ridwan.

“Emang Mbak nggak kangen sama Wildan?” tanya Ridwan sambil meraih tangan Soraya, mengusap-usap kulit halus itu, seolah dengan usapannya bisa meredakan sakit akibat cengkramannya barusan.

Usapan telapak tangan yang kasar itu ternyata mampu membuat tubuh Soraya sedikit merinding nikmat.
“Kamu ngkali yang kangen sama Bu Maya,” sahut Soraya melengos dengan hati cemburu.
“Hoh?” Ridwan melongo.

“Ya udah. Hayu pulang,” Soraya menarik tangannya dengan ketus.

Dengan pandangan bingung, Ridwan bangkit berdiri mengikuti mahluk cantik tinggi semampai itu yang membayar bill tagihan, kemudian tanpa berkata-kata keluar cafe.

Mobil BMW mewah seri M135i berwarna silver meluncur mulus meninggalkan pelataran parkir. Ridwan lah yang mengendarai mobil mewah setelah Soraya memilih duduk di jok penumpang disamping driver dan menyerahkan kunci mobil dengan raut muka masih cemberut ke Ridwan.

Hujan mulai turun ketika sebelum maghrib mobil yang dikendarai mereka masuk ke garasi sewaan. Setelah mengambil payung, ke duanya berjalan memasuki gang yang menuju ke rumah mereka. Berjalan berendengan dengan rapat menghindari tempias air hujan, membuat Soraya tanpa sadar meraih tangan Ridwan yang dipeluknya rapat ke dada.

Berdesir hati Ridwan merasakan gundukan lunak dan hangat yang tersentuh sikunya. Mereka seperti sepasang sejoli yang sedang hangat-hangatnya berpacaran.

Sampai di depan rumah, mereka berbelok ke rumah Ridwan yang kebetulan Maya sedang menggendong anak Soraya, menatap mereka dengan kening sedikit berkerut. Hatinya sedikit sebal ketika melihat Soraya memeluk tangan Ridwan dengan mesra.

“Assalamu’alaikum, Bu,” kata Soraya memberi salam.
“Wa’alaikumsalam, Mbak Aya,” sahut Maya dengan nada kering. Menatap tajam Ridwan yang sedang melipat payung.
“Kok tumben maghrib begini baru pulang?” tanya Maya, entah kepada siapa ditujukan pertanyaannya tersebut. Karena ia langsung masuk ke dalam rumah.

Soraya dan Ridwan saling bertatapan sejenak.
“Di kantor polisi yang lama, banyak nanyanya, terus nanyanya itu-itu aja,” sahut Ridwan sambil melangkah masuk ke dalam rumah diikuti Soraya yang diam-diam tersenyum simpul.

Sebagai sesama perempuan, ia faham betul nada kering dari ibunya Ridwan itu. Nada seorang perempuan yang sedang cemburu.

“Iya, selain mengajukan pertanyaan yang sama terus, kami disuruh menunggu untuk melayani pertanyaan yang dibagi beberapa sesi. Untuk mengusir kebosanan, daripada menunggu di kantor polisi, kami jalan-jalan aja dulu,” imbuh Soraya dengan wajah tanpa salah.
“Jalan-jalan? ..., ke-mana?” tanya Maya pura-pura sibuk dengan kereta bayi.

“Mmm..., ke mana aja tadi kita ya, Mas Ridwan?” tanya Soraya dengan nada suara mesra. Ridwan menatap balik dengan bingung. Baru kali ini dia mendengar Soraya memanggilnya ‘Mas’, dengan mesra pula.

“Eu-eu..., Cuma makan-makan kan,” sahut Ridwan gagap.

“Ooohhh...,” sahut Maya berusaha tak perduli.

“Ih, sempat nonton juga lho,” sambar Soraya tanpa ampun.

“Ohhh...,” nada suara Maya makin kering.

Ridwan yang merasa suasana mulai tidak nyaman segera kabur ke kamarnya, mengambil handuk hendak pergi mandi.

Sepeninggal Ridwan, dua perempuan itu terdiam dalam suasana yang kaku.

“Mohon maaf, Bu Maya. Saya numpang sebentar di sini menunggu hujan reda. Kalau nekat pulang, walau ke seberang, khawatir Wildan kena tempiasnya, khawatir sakit,” kata Soraya membuka percakapan.

“Nggak apa-apa, Mbak Aya. Mbak mau minum apa? Teh hangat ya,” kata Bu Maya mencoba ramah.

“Nggak usah merepotkan, Ibu. Terima kasih,” sahut Soraya tersenyum manis.

Melihat senyum manis wanita itu, Maya makin cemas. Ia takut Ridwan tertarik hatinya dengan perempuan cantik ini.

Jangankan seorang pria, seorang wanita pun akan tertarik melihat kerupawanan sempurna dari perempuan ini. Maka pantas ssaja kalau ada yang samapi nekat hendak memperkosanya, siapa yang tahan pesona wanita secantik ini.

Di saat mereka sedang bercakap-cakap, Ridwan melintas dari kamar mandi masuk ke kamarnya dengan hanya mengenakan handuk yang terlilit. Soraya tanpa malu-malu menatapnya dengan pandangan mata terpukau. Sementara Maya menatapnya dengan raut muka cemberut.

“Oh iya, Bu Maya. Saya ada satu permohonan, semoga Bu Maya setuju,” ujar Soraya dengan pandang mata penuh harap.
“Apa itu, Mbak?” Maya balas menatap.
“Emm..., Mas Donny mulai hari ini sedang ada tugas luar, selama beberapa hari meninggalkan saya dan Wildan, terus terang saya sejak kejadian dulu itu,” Soraya sedikit bergidik, “Kalau sendirian selalu ketakutan. Kalau diijinkan, saya memohon ibu mengijinkan Mas Ridwan untuk ikut berjaga di rumah saya.”

“A-pa? Tidak boleh! Eh..., maksudnya..., maksudnya,” Maya mencoba mencari argumen.

“Saya takut, Bu. Penjahat itu masih berkeliaran belum tertangkap. Seandainya aja dia tau saya di rumah cuma berdua dengan Wildan, saya..., saya takut sekali,” Soraya menatap dengan penuh permohonan dan harapan.
“T-tapi..., tapi. Ridwan besoknya kan mesti bekerja, kalau dia harus berjaga malam, ibu khawatir dengan kesehatannya,” sahut Maya memberi alasan.
“Nggak perlu berjaga melek sepanjang malam, Bu. Asal ada seorang pria aja yang ada di dalam rumah, tentulah saya merasa tenang. Atau ibu juga menemani saya?”

Maya menggeleng, ”Ada bapaknya yang sedang sakit, Mbak. Kadang-kadang tengah malam dia suka minta ke kamar mandi, Cuma Ridwan yang bisa mengangkat bapaknya,” sahut Maya memperkuat alasan agar bisa melarang Ridwan menginap di rumah Soraya.

“Atau saya ikut menginap di rumah ibu aja ya,” ujar Soraya dengan wajah putus asa.


“Whaduh, tidur di mana, Mbak. Kamar cuma dua, bau tengik pula. Mana bisa mbak bisa tidur dengan tenang!”

“Duh, saya mohon, Bu. Saya benar-benar ketakutan!”

Maya mulai merasa kasihan dengan perempuan ini, namun rasa cemburunya yang besar membuat hatinya tak rela membiarkan Ridwan menginap di rumahnya.

“Ya udah gini aja, Mbak Aya. Saya akan menjaga rumah mbak dari sini. Toh, rumah Mbak kan jalan masuk satu-satunya lewat depan saja. Jadi kalo ada orang asing masuk, akan mudah ketauan,” sahut Ridwan yang tiba-tiba muncul dari kamarnya.

Dua orang perempuan itu serentak memandang pemuda itu. Ke duanya saling pandang.

“Betul juga, kayanya itu jalan pemecahannya, Mbak Aya,” kata Maya dengan suara lega.
Walau pun kecewa karena tidak sesuai dengan harapannya. Soraya akhirnya mengangguk setuju.
“Baiklah, saya agak tenang kalau begitu. Tapi jangan sampai ketiduran terus penjahat itu bisa masuk ke rumah ya,” kata Soraya dengan berat hati.

“Tenaaang, saya udah siapin teropong. Nyamuk aja nggak bakalan bisa lolos dari pengamatan saya,” sahut Ridwan melucu, memeragakan ke dua tangannya di mata seolah-olah sedang meneropong.
“Dasar!” Soraya tertawa sambil mencubit lengan Ridwan di depan Maya yang segera melengos tak senang.

Hujan sudah reda. Soraya segera berpamitan ke Maya dengan Ridwan yang membantunya membawa tas bayinya sampai ke rumah.

“Awas kalau sampe macem-macem di sana,” bisik Maya cemberut kepada Ridwan yang tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
“Bagaimana mau macem-macem kalo di rumah sendiri udah punya yang begini,” balas Ridwan berbisik sambil menabok pelan bokong montok ibunya.
“Dasarrr!” umpat Maya namun tak mampu menyembunyikan senyum simpulnya.

Sesampainya di dalam rumah mewah itu, Soraya menaruh Wildan yang sudah terlelap di kereta bayi.
“Tolong jagain Wildan sebentar yah, Mbak mau mandi dulu, gerah!” kata Soraya sambil tersenyum manis.
“Iya, Mbak,” sahut Ridwan sopan.

Sebetulnya kamarnya mewahnya yang di lantai dua mempunyai kamar mandi sendiri, namun karena ingin menarik perhatian Ridwan. Soraya dengan hanya tubuh terbungkus handuk turun ke bawah bermaksud untuk mandi di kamar mandi tamu yang berada di lantai bawah.

Tindakannya itu berhasil. Ridwan yang sedang melamun di ruang tamu sedikit melongo, ketika melihat badan putih mulus hanya terlilit handuk, melintas di depan hidungnya sambil melirik menggoda. Saat separuh bukit mulus tersembul dalam lilitan handuk itu, terbayang benar ketika dalam kilasan cahaya senter handphone saat peristiwa di hutan kecil dulu, dua buah bukit montok bulat sempurna itu begitu mulus dan padat.

Ridwan menatap dengan menelan ludah, memperhatikan dengan matak tak berkedip pinggang yang ramping, bokong yang membulat dengan pinggul bergoyang lemas pergi ke kamar mandi belakang.
“Edyaaan,” hati Ridwan berseru kagum. Penisnya cepat bereaksi ketika bayangan tubuh mulus itu sedang membuka handuk. Akh, sialan. Ridwan membuang jauh-jauh pikiran kotornya. Namun penisnya sudah terlanjur menegang.
“Sabarrr,” hibur pemuda itu sambil mengelus-elus penisnya yang terhalang oleh celana trainingnya. Dia bermaksud, selesai menjaga Wildan, akan langsung menggeluti ibunya, sebelum dia melek bertugas jaga rumah Soraya.

Setengah jam berlangsung dengan cepat. Namun Soraya belum juga keluar dari kamar mandi.
“Gila! Cewek kalo mandi emang bisa bikin cowok berakar,” umpat Ridwan dalam hatinya.

Namun akhirnya perempuan itu muncul juga. Wangi sabun mandi mewah tercium.
“Lama ya, bentar deh, ganti baju dulu ya,” kata Soraya kembali tersenyum manis. Lewat di depan Ridwan yang sedang dalam serba salah dengan penisnya yang ereksi penuh, entah pura-pura atau memang betul terpeleset.
“Aihhh...!”
Tubuh Soraya terjungkal. Dengan sangat sigap Ridwan meloncat merangkul tubuh montok itu agar tidak sampai jatuh ke marmer yang keras.

Dua napas saling berhembus hangat, sedikit memburu.

Dalam pelukan Ridwan, Soraya menatap sayu pemuda itu. Bibir merah alami tanpa polesan lipstick itu terlihat basah sedikit terbuka, memperlihatkan barisan gigi putih dengan lidah merah segar.

Berdegup kencang jantung Ridwan.
Dua bukit montok dengan kulit putih sehalus lilin, dengan sebagian puting coklat kemerahan tersembul menantang dari lilitan handuk yang sudah melonggar.
“Waaannn...,” desah Soraya dengan mata sayu.
“Mbaaak...,” balas Ridwan dengan suara serak.
Ke dua tangan Soraya merangkul leher Ridwan, sorot mata sayunya penuh harapan dan keinginan.

Ridwan, pemuda dua puluh tahun yang sudah matang, paham benar dengan arti mata sayu seperti itu. Dia menunduk, mengecup lembut dan hati-hati bibir merah basah itu. Begitu lunak dan hangat. Lidahnya terasa kenyal saat lidahnya sendiri menyerbu masuk.
Dibopongnya tubuh padat dan ramping itu ke sofa. Dan dipangkuannya, tubuh montok dan mulus itu pasrah sudah. Handuk yang memang sudah melorot sudah jatuh ke lantai. Ke dua tangan Ridwan bergerilya, merayap dan mengusap ke dua bongkah padat bongkong mulus itu. Jari-jarinya menyelip dari arah belakang ke gundukan basah dan panas. Membelai dan menggaruk. Bokong padat itu bergerak-gerak seirama belaian jari-jari Ridwan di vaginanya. Satu tangan yang lain mulai meremas bongkahan kenyal dari payudara Soraya yang bulat sempurna. Air susu mulai menyemprot dari puting kemerahan yang sudah mengeras itu setiap kali tangan Ridwan meremas gemas.
Rintihan dan desisan halus mulai terdengar.
Soraya seolah bermimpi, seluruh angan-angan dan fantasinya kepada Ridwan kini terlampiaskan dengan pemuda idamannya ini.
Bokongnya merasakan ada barang besar yang mengganjal keras. Barang idamannya, benda impiannya.
Tubuh Soraya segera memberontak liar. Dengan napas terengah-engah, dengan rasa malu yang sudah lenyap. Soraya melorot turun, menarik paksa celana training Ridwan.

“Mbak,” ujar Ridwan ragu-ragu. Tiba-tiba dia jadi teringat ibunya.
“Kenapa, Sayang?”
“Dosa, Mbak...,” pelan betul suara Ridwan saat itu.
“Dosa?”
Ridwan mengangguk, “Mbak udah punya suami, tak ..., tak pantas rasanya.”
“Tak pantas mana dengan hubungan tabu dengan ibumu!” sahut Soraya dengan nada tajam.
Ridwan terlonjak kaget, “Mbak?”
Soraya manggut-manggut sambil tersenyum sinis, “Mbak sudah tau, Wan.”
“Nn-namun..., Tt-tapi...,” Ridwan kehabisan kata-kata.
“Kenapa? Apa kamu mau Mbak ceritakan dengan gamblang kepada orang-orang?”
“J-jangaaan, Mbak...,” wajah Ridwan berubah pucat pasi.
“Makanya, kamu tolong mbak, maka mbak juga akan menolong kamu. Ngerti kan?”
“Cuma..., ini-ini...!”

Soraya tak menjawab, ditariknya celana training sekaligus celana dalam Ridwan sampai ke lutut. Sesak dadanya melihat sebuah tonggak besar yang berurat kekar, perkasa mengacung kaku.

“Besar sekali, Sayang,” gumam Soraya dengan napas memburu. Ia mencoba menggenggam batang penis itu, ternyata tak tergenggam penuh. Ridwan sendiri memandang dengan birahi yang sudah naik tinggi.

Wajah cantik manis itu kini memerah oleh nafsu birahinya, menghilangkan rasa malu dan akal sehatnya. Soraya segera menunduk lidahnya yang merah dan basah menjulur dan menjilat kepala penis Ridwan yang seperti kembang kempis.

“Akh, Mbak...,” desis Ridwan membelai dan meremas rambut panjang bergelombang milik Soraya yang kini sedang berdecap-decap mencoba memasukkan kepala penis Ridwan ke mulut sensualnya.
Ridwan serasa dadanya seakan hendak meledak menahan kenikmatan hisapan dan jilatan bergelora dari Soraya. Mulut Soraya terlihat menggembung penuh. Seluruh impian dan fantasinya tentang Ridwan telah tercapai. Dia memang sesekali pernah menonton film mesum, juga membaca literatur yang membahas tentang sex. Apa dan bagaimana cara membangkitkan birahi lawan jenisnya. Sayang sekali belum pernah dipraktekannya dengan Donny. Donny tipe pria fast sex, tak pernah mau melakukan warming up. Jadi kini ia seolah-olah mendapatkan mainan baru yang sangat mengasyikkan.
Namun segala daya telah dicobanya, penis itu masih gagah perkasa tanpa ada tanda-tanda hendak menyemburkan sesuatu. Kagum benar hati Soraya. Ia segera merambat naik, bibirnya, lidahnya menelusuri perut padat sedikit six pack dari Ridwan. Ke dua tangannya meremas dada bidangnya hingga kemudian bibirnya menyusul menghisap dan meggigit puting dada pemuda itu yang segera mengerang serak. Baru kali ini Ridwan merasakan rangsangan dari lawan mainnya, sementara ibunya lebih banyak bersika pasif. Namun dengan Soraya yang ternyata liar, Ridwan merasakan sensasi birahi yang luar biasa nikmatnya. Birahi yang bergejolak sampai ke ubun-ubunnya. Menggelegak panas.

Usai mengeksplorasi seluruh tubuh Ridwan, dengan wajah memerah karena nafsu, ke duanya saling pandang. Napas mereka sudah memburu terengah-engah.

“Sayang...,” bisik Soraya dengan senyum binal. Lalu memagut bibir Ridwan dengan penuh nafsu.
“Mffhhhh..., engggh,” rintihnya ketika jari-jari Ridwan kembali menyelinap di bibir vaginanya yang sudah sangat basah.

“Langsung ya, Sayang. Aku sudah tidak tahan,” pinta Soraya penuh permohonan. Bokong besarnya turun hingga vaginanya menyentuh kepala penis Ridwan. Dengan satu tangan bertumpu di pundak Ridwan, dan satu tangan yang lain menggenggam batang penis pemuda itu.
Sambil menggigit bibirnya juga mata terpejam. Soraya menekan pinggulnya ke bawah. Ridwan tak tinggal diam,, jari-jarinya membantu melebarkan bibir vagina Soraya untuk memudahkan penetrasi. Ke duanya terlihat kesulitan. Lubang vagina Soraya masih terlalu kecil untuk penis besar Ridwan. Ke duanya berjuang bersama-sama dengan saling menekan dari atas dan bawah. Hingga akhirnya, prettt!
“Akh! Sakiiit...,” terdengar erangan Soraya dengan mulut menyeringai kesakitan ketika kepala penis Ridwan perlahan melesak masuk. Seluruh dinding vaginanya, seakan digaruk kasar.
“Stop! Tahan dulu, Sayang...,” rintih Soraya dengan mulut terbuka seakan sedang menghisap udara sebanyak-banyaknya.
Ridwan sendiri merasakan jepitan vagina yang luar biasa ke penisnya. Vagina yang seretnya luar biasa. Ke duanya saling pandang dengan napas memburu. Keringat membanjir. Ke dua tangan Ridwan menarik bokong Soraya ke atas.
“Akh!” Soraya menjerit tertahan. Ridwan mengertakkan giginya. Penisnya seolah tersedot dalam-dalam. Dibantu cairan lendir birahi Soraya yang melicinkan batang penis Ridwan yang baru masuk setengah. Perlahan tapi pasti, akhirnya seluruh penis Ridwan bisa juga tenggelam sepenuhnya ke vagina Soraya yang kini menggembung merah.

Soraya merasakan vaginanya penuh sesak, sesesak napas di dadanya. Hampir saja ia semaput, tak mampu menahan kenikmatan birahi yang kini sedang dikayuhnya dengan Sobari.

“Akh-akh! Pelan-pelan, Sayang,” rintih Soraya serak.
Ridwan menurut. Pelahan-lahan dia menaik-turunkan bokong padat Soraya sambil mulutnya sibuk menghisap dan menyedot air susu dari payudara ibu muda itu, yang merasakan ubun-ubunnya hendak meledak oleh dua kenikmatan surgawi yang kini sedang dirasakannya.
Dalam beberapa gerakan saja, Soraya sudah merasa mencapai puncak kenikmatan sex yang baru kali ini dialaminya.
“Akkkhhh!” erangnya panjang. Ia menekan penuh bokongnya. Rahangnya mengeras. Keringat membanjir di seluruh tubuhnya.
Ridwan menggeram. Penisnya seperti disiram cairan panas, sementara dinding-dinding lunak memeras penisnya seakan hendak menghancurkannya menjadi sepotong sosis giling. Saat Ridwan hendak menarik bokong bulat padat itu,
“Jangan dulu, Sayang. Okhhh..., nikmatnya!” rintih Soraya yang kemudian ambruk lemas di atas tubuh Ridwan. Napas panasnya memburu berhembus di dada bidang dan berkeringat pemuda itu.

Tiba-tiba terdengar tangisan bayi dari kereta.
“Wildan, Mbak...,” bisik Ridwan di kuping Soraya yang hanya mengangguk lemas.

Setelah menarik napas panjang, mencoba meredakan napasnya yang masih memburu. Pelan-pelan Soraya mengangkat bokongnya sementara vaginanya yang masih berkedut-kedut tampak memonyong, ia merasa geli dengan garukan batang dan kepala penis Ridwan di dinding-dinding vaginanya. Lalu...,
“Plop!” terdengar seperti suara tutup karet yang ditarik lepas.
“Akh!” rintih Soraya. Dari vaginanya menetes cairan orgasmenya, menetes ke batapng penis Ridwan yang memang sudah dipenuhi lendir putih. Penis yang masih mengacung tegak dengan gagah.

Soraya berjalan dengan agak ngengkang, ia merasakan selangkangannya seperti masih terganjal tongkat kaku Ridwan. Ia samasekali tidak memperdulikan cairan orgasmenya yang mengalir ke kedua pahanya. Sesampainya di kereta bayi, Soraya membungkuk, mencoba menenangkan anaknya.

Ridwan yang masih bergejolak napsu birahinya, menelan ludahnya ketika bokong putih bulat, dengan vagina sedikit merekah yang terjepit ke dua paha putih mulus nan padat dari Soraya, tampak menggodanya dari arah belakang.

“Gila! Indah banget,” desis hatinya sambil mengelap batang penisnya oleh handuk Soraya dari cairan putih vagina ibu muda itu.

Tak bisa ditenangkan, bayi itu segera digendong Soraya, dan mulut mungilnya segera ditempelkan dengan salah satu puting payudaranya yang masih mengacung tegak. Anaknya segera menghentikan tangisannya, anteng mengenyot susu dari payudara montok ibunya. Soraya menengok ke arah Ridwan yang penisnya masih tegak perkasa. Sedikit tersipu ibu muda itu yang kemudian menghampiri pemuda itu yang segera meraih pinggang rampingnya untuk duduk di pangkuannya dengan masih menggendong bayi. Mereka berdua kemudian berpagutan panas. Ridwan mengambil handuk dan mengelap vagina Soraya dari lendir sisa orgasmenya sebelum kemudian jari-jarinya kembali membelai dan menggaruk vagina itu kembali.

Puas berciuman, mulut Ridwan menelusuri kuping, menjilat-jilatnya. Soraya terkikik kegelian, apalagi ketika mulut itu turun ke bawah, ke leher, pundak, ketek, kemudian salah-satu payudaranya, menghisap dan menggigitnya.
“Enghhhh,” Soraya mengerang keenakan.

Ridwan mulai tidak sabar. Penisnya yang terselip di pangkal paha Soraya mulai berkedut-kedut.

Ibu muda itu memahami keinginan Ridwan, ia merubah posisi duduknya di pangkuan pemuda itu, dengan punggung bersandar ke badan Ridwan, juga dengan masih menggendong bayinya yang sedang asik menetek. Soraya merenggangkan ke dua pahanya, kepala penis Ridwan mulai menggesek dan menyibak bibir vaginanya, bahkan berkali-kali menyentuh klitoris yang sedang dipermainkan jari-jari pemuda itu.

Tubuh Soraya menggelinjang erotis disertai rintihan dan desahannya yang menggoda.

Ridwan memegang kepala penisnya yang kemudian dituntunnya ke lubang nikmat vagina Soraya yang segera memposisikan bokong bulatnya agar memudahkan penetrasi penis Ridwan untuk yang ke dua kalinya.

“Hmfffh...,” Soraya menggigit bibirnya, ketika penis Ridwan mulai menembus lubang vaginanya. Kali ini tidak sesulit yang pertama. Kali yang ke dua, walau pun buat Ridwan masih terasa seret.

“Enggghhh...., ughhh,” rintih Soraya berulang-ulang, ketika Ridwan mulai menggenjot vaginanya dari bawah. Kepala ibu muda itu menggeleng-geleng nikmat, hingga kemudian wajahnya menengok ke belakang, mencari-cari mulut Ridwan yang sedang sibuk menciumi pundaknya.

Kedua tangan Ridwan tidak menganggur, yang satu sibuk meremas-remas payudara yang sebelah yang tidak diteteki bayi, kemudian yang satunya, membantu menggesek-gesek klitoris vagina Soraya.

Saat itu Soraya merasakan sensasi nikmat yang tiada taranya.

Bayinya yang sedang anteng menetek, menambah kenikmatan birahinya lebih dari biasanya.

“Clek-clek-clek!”
Terdengar suara berdecak dari selangkangan Soraya ketika Ridwan mempercepat sodokannya. Tubuh montok Soraya berguncang-guncang, namun anehnya, bayi yang sedang asyik mentek samasekali tidak merasa terganggu, mungkin disangkanya dia sedang digendong dinina-bobokan.
Bokong lentik Soraya ikut mengimbangi, ketika sampai pada suatu titik ;

“Waaannn..., mbak mau sampaiiii,” erang Soraya dengan napas memburu. Matanya membeliak.
“Tahaaan, Mbak. Saya juga mau keluar..., hhhrrrrh,” geram Ridwan saat merasakan remasan dahsyat vagina Soraya ke batang penisnya. Soraya memcoba bertahan, menunggu sampai dirasakannya kepala penis pemuda itu di dalam vaginanya berkedut-kedut kembang kempis.

“Akhhkhkh!” erang keduanya hampir berbarengan.

Tubuh Soraya mengejang kaku dengan bokongnya ditekan ke bawah sekuat-kuatnya.
Begitu juga dengan Ridwan yang mendesak maksimal dari bawah ke atas.

Dua semburan dahsyat lahar panas menyembur bersamaan di dalam vagina ibu muda itu. Lahar yang kemudian meleleh keluar dari vagina Soraya yang merekah merah.

“Hummmfhhh!” ke duanya berpagutan sejenak, dan menghembuskan napas panjang. Sebelum tubuh mereka terkulai lemas dalam posisi saling pangku. Sementara Wildan, bayi Soraya, sudah terlelap dalam gendongan tubuh ibunya yang banjir keringat.

“Terima kasih, Sayang. Kamu luar biasa sekali,” bisik Soraya mengelus rambut gondrong Ridwan yang sedang memejamkan matanya menikmati puncak surgawi birahinya.
Penis Ridwan masih tertanam di vagina Soraya tanpa keduanya berniat untuk memisahkan mereka.

Di saat ke duanya sedang dimabuk orgasme. Ada sosok lain yang mengintip dari balik jendela, tampak memutar balik tubuhnya. Bahunya sedikit terguncang. Jelas bahwa ia sedang menahan isak tangis akibat kepedihan yang merasuk perasaannya ketika mengintip perbuatan terlarang dari dua orang itu.

Sosok itu bukan lain adalah Maya. Ibunya Ridwan yang merasa curiga, anaknya itu mengantar tas bayi begitu lama tak kembali. Padahal rumah Soraya tepat di seberang rumah kontrakan mereka.

Dengan rasa curiga dan cemburu. Diam-diam Maya mendatangi rumah Soraya, mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

Dan sesuai dengan kecurigaan juga kekhawatirannya. Dari balik jendela yang hanya tertutup gorden tipis, akibat terburu-burunya Soraya, sampai lupa menutup gorden pelapis, Maya menyaksikan persetubuhan panas Ridwan dengan tetangganya itu di ruang tamu rumah mewah tersebut.

Hati Maya benar-benar sangat terluka. Ia merasa dikhianati oleh Ridwan. Dengan rasa sakit dan pedih. Ia segera kembali ke rumahnya. Mengunci pintu, lalu masuk kamar tidur Ridwan, di mana di atas bantal ia menumpahkan isak tangisnya dengan perasaan yang sakit sekali.

***

BERSAMBUNG KE BAGIAN XIII
 
Anto bakal mendendam ga ya? Dan jadi ancaman berikutnya?
damn... Dapat Soraya tapi menyisakan luka dihati bu Maya. Kasihan kasihan:mewek:


Lancroot Kang...
:beer:
 
Akhirnya neng aya kena wewew juga :hore::konak:

eh tapi karunya ku mamah maya euy :hua: dan takut mamah maya bertindak bodoh dengan ngebales perbuatanya ridwan :sendiri: jangan nekat ya mah :cup::sayang:

btw bentar.. Bentar.. Yuk beb @Messier45 kita Otw ke rumah mamah maya :pandajahat: kita 3some :klove: mau nggak?
 
Thx updatenya hu,apakah maya bakal balas dendam dgn berselingkuh dgn sobari:Peace:
 
uwaa:panlok2:aaaahh.. dapat ancaman dari mbak Yaya.. nggak lapor polisi, Wan!?!??
:pandaketawa:
 
mantap kang... tos ngajadikeun Soraya perempuan binal yang terbangun..lanjut ahh
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd