“tok..tok..tok…put, di, bukain pintunya dong ini ayah pulang” terdengar suara ketukan pintu dari luar.
Aku yang mendengar suara ayah di luar langsung panik, kucabut kontolku dari mulut teh putri bersamaan dengan lelehan pejuh yang ikut keluar. Aku menjadi panik sendiri, aku langsung mengambil daster teh putri lalu mengelap mulutnya hingga bersih dari pejuhku.
“tok..tok…tok..hamdi, putri bukain dong pintunya” ketukan di pintu dan suara ayah terdengar lagi.
Aku langsung menyelimuti teh putri tanpa memakaikan bajunya, lalu aku langsung memakai semua pakaianku lagi dan bergegas keluar untuk membukakan pintu.
“maaf yah aku tadi lagi di kamar mandi, teh putri pas aku liat ke kamar udah tidur dia” kulihat dibelakang ayah ada seorang pria yang sepantaran dengannya.
“oh yaudah gapapa, ayah cuma sebentar doang mau ambil berkas kantor. Ayo wan, masuk sini duduk dulu” ayah mempersilahkan masuk temannya itu.
“di, tolong bikinin kopi buat ayah ama teman ayah ya” kata ayah menyuruhku.
“oh iya yah” aku berlalu menuju dapur meninggalkan mereka berdua.
“di, ayah pinjem pulpen kamu dong. Pulpen ayah habis nih” teriak ayah dari ruang tamu.
“ada di tas aku yah di kamar, nanti aku ambilin” balasku sambil mengaduk kopi yang sedang ku buat.
“yaudah kamu bikin kopi aja, biar ayah ambil sendiri ke kamar kamu” teriak ayah lagi.
Aku mendengar itu langsung gelagapan, karena bisa ketahuan oleh ayah jika dia masuk ke dalam kamarku. Karena seingatku tadi, aku melempar asal sembarang daster yang dikenakan teh putri yang kugunakan untuk mengelap sisa pejuhku. Walaupun teh putri sudah kuselimuti, ayah pasti bisa curiga dan menyadari jika menemukan daster itu dan menyadari apa yang menempel di daster itu. Jika sampai ketahuan, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada diriku.
Aku langsung mempercepat membuat kopinya lalu membawanya ke ruang tamu, lalu kulihat hanya ada teman ayah seorang diri. Aku menaruh kopi itu lalu mempersilahkan setelah itu aku langsung berlalu menuju kamarku.
Pintu kamarku kulihat sudah terbuka setengahnya, aku melangkah perlahan dengan debar jantung yang tak karuan. Semakin dekat langkahku dengan kamarku, semakin berdetak laju jantungku. Aku hanya mengutuki diriku sendiri karena telah mengatakan apa yang telah aku katakan tadi dan menjadi boomerang sendiri buatku saat ini. Saat aku sampai di depan pintu, aku menarik nafas dalam-dalam dan bersiap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.
“loh kok ngga ada ayah?” begitu aku masuk kamar dan hanya melihat teh putri yang masih tertidur tanpa ada ayah di dalamnya. Aku melihat daster teh putri berada di ujung ranjang, aku langsung mengambilnya dan menaruhnya di balik selimut. Kulihat tasku masih dalam keadaan tertutup, dan posisinya masih sama seperti belum ada yang menyentuhnya. Apa ayah tidak melihat daster itu? Atau ayah melihat tapi tidak memperdulikannya? Atau ayah sudah melihatnya dan akan menanyaiku nanti karena saat ini ada temannya? Kepalaku dipenuhi dengan segala pertanyaan yang membuatku justru ingin menangis rasanya.
Ah sudahlah aku pasrah saja, aku juga bingung harus berbuat apa. Aku lalu keluar dan menutup pintu kamarku, begitu berbalik kulihat ayah keluar dari kamarnya. Aku tidak berani menatapnya karena aku takut ayah sudah mengetahui apa yang telah kulakukan.
“di, ayah ngga jadi pinjem pulpen kamu. tadi pas mau masuk kamar kamu ayah baru ingat kalo mama kamu kemarin beliin ayah pulpen sekotak, kopinya udah kamu bikin?”
“oh gitu, udah yah tadi udah hamdi taruh di meja”
“oh yaudah makasih yah, oh iya kamu jangan tidur dulu soalnya ayah habis ini mau balik lagi.ayah cuman sebentar aja ini.”
“iya yah, yaudah aku belajar dulu di kamar” sambil berbalik ke kamar setelah ayah kembali ke ruang tamu.
Begitu masuk kamar, aku langsung menutup pintu dan bersandar di situ. Lega rasanya, setelah tahu ayah tidak memasuki kamar ini dan bahkan dia tidak mengungkit sedikit pun terkait hal yang kutakutkan, jadi aku berkesimpulan bahwa ayah tidak mengetahuinya.
Aku tertawa tanpa suara seakan lepas dari cengkraman mulut harimau, aku menatap teh putri yang masih tertidur. Aku mengahmpirinya lalu kucium bibirnya gemas sambil kuremas kedua payudaranya dengan tanganku. Aku lalu bangkit ke meja belajarku dan mengeluarkan buku yang ada di tasku.
Aku kali ini harus bersabar karena masih ada ayah dan temannya di luar, jika aku tidak berhati-hati dan bersabar yang ada saat aku melanjutkan “mempelajari teh putri” lalu tiba-tiba ayah masuk ke kamar yang ada aku malah menjadi celaka. Sekarang yang jelas aku harus menahan nafsuku dulu, maka untuk mengalihkannya aku mulai mencoba menyibukan diri dengan buku pelajaran yang ada di depanku.
Tak terasa sudah satu jam aku belajar, kulihat jam sudah pukul 9 malam. Aku merenggangkan tubuhku lalu bangkit menuju kamar mandi karena merasa ingin buang air kecil sekaligus melihat ayah yang sedang ayah lakukan. Keluar dari kamar mandi aku melihat ke ruang tamu dan kulihat ayah masih asyik mengobrol dengan temannya itu. Lama sekali pikirku, yang ada aku bisa keburu ngantuk kalo ayah belum selesai juga.
Aku berbalik menuju kamarku dan saat aku sudah berada di depan pintu kamarku tiba-tiba ada yang menepuk pundak ku,
“di, udah nih ayah udah mau balik lagi. Ayo kamu kunci pintunya dulu nih” kata ayah. Kami lalu berdua menuju ke depan.
“kenalin wan, ini anak semata wayangku, hamdi. Di, kenalin ini om iwan dia teman kerja papah” ayah memperkenalkan. Aku langsung salim dengan om iwan.
“oh iya ya, kamu belajar yang benar biar bisa hebat kaya ayahmu ini” kata om iwan.
“ah kamu bisa saja wan hahaha” ayah tertawa, aku hanya ikut tersenyum mendengarnya.
“loh anak kamu ditinggal sendiri dirumah?” Tanya om iwan
“engga, dia ditemani adik ibunya tadi sudah tidur sekarang” ayah menjawab.
“oh kalau begitu kamu baik-baik dirumah di, hati-hati selalu ya” om iwan menasehatiku.
“iya om, saya bakal lebih “hati-hati” sekarang” jawabku sambil tersenyum, senyum yang berarti akan lebih hati-hati dalam belajar malam ini.
“yaudah, ayah pergi dulu. Kamu jangan tidur malam-malam walaupun besok kamu libur. Kunci pintu ama jendela biar rapat, kalau ada apa-apa langsung hubungi ayah sama mama yah”
“iya yah ngerti” sambil mencium tangan ayah, lalu dia pergi menuju mobilnya bersama om iwan. Aku lalu menutup pintu dan menguncinya setelah ayah menghidupkan mesin mobilnya. Aku berjalan santai menuju kamarku sambil membuka baju lalu begitu masuk kamar aku langsung melempar baju ke atas meja belajar dan membuka celanaku sehingga kontolku yang sedikit teracung bisa bebas sekarang.
Aku berjalan menuju kasurku, kupandangi teh putri sejenak lalu kusibak selimut yang menutupinya. Kusingkirkan lagi bantal, selimut dan daster yang ada di atas kasur hingga hanya menyisakan teh putri seorang. Aku lalu naik dan menduduki atas perutnya. Kuturunkan tubuhku perlahan hingga bibirku menyentuh bibirnya.
“tok..tok…tok..di bukain dulu di, ini ayah balik lagi”