Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (TAMAT) Diary Disya

gadissoyu

Calon Pertapa Semprot
Daftar
22 Feb 2018
Post
3.622
Like diterima
233
Lokasi
lubuk hatimu
Bimabet
Diary Disya

Salam hangat dari Nubie...

Salam sejahtera dan mohon maaf buat momod, admin dan subes di sini. :ampun:

Eneng mau meramaikan forum dengan cerita Eneng berjudul Diary Disya semoga berkenan dihati para pecinta cerita.

Dan jika ada kesamaan nama, tokoh atau apalah itu.. Mohon di maklumi..


Part 1

Buggh!! Buggh!!

“Mih, jangan Mih... Sakit hiks...hiks...” rengekku.

“Dasar anak bandel! Harusnya kamu ikut ibu kamu saja, gak usah ikut aku.”

“Disa gak nakal mih, disa nulut Mih hiks...hiks...” tangisku. Dan masih dengan bicara cadel seperti anak seusiaku.

“Kamu emang harus dikasih pelajaran, masih kecil saja sudah bandel. Kamu tahu harga vas bungaku ini mahal, nyawamu pun tak sebanding dengan vas bunga ini.” geram Ibu tiriku sambil memukuliku dengan hanger. “Anak pembawa sial! Karena merawatmu, aku tidak mempunyai anak sampai sekarang. Pergi sana! Jangan kembali kerumah.”

Secara tidak sengaja aku memecahkan vas bunga kesayangannya, ketika sedang bermain di dalam rumah. Tapi aku tidak menyangka ia akan tega memukuliku, hingga sekujur punggungku terasa panas dan sakit.

Kaki kecilku melangkah keluar rumah dan menapaki pinggir jalan. Air mataku tak berhenti mengalir, aku berjalan ke arah taman menunggu senja, hingga Ayahku pulang dari kantor.

“Mama, Disa kangen Mama.. Hiks.. Hiks..”

“Mama dimana? Hiks.. Hiks..” tangisku sambil duduk di kursi taman yang jaraknya beberapa blok, dekat dengan rumahku.

Buggh!!

“Aww...”

Kakiku terkena lemparan bola seorang anak laki-laki.

“Eh.. Maaf ya Dik, kakak gak sengaja.” ucap seorang anak laki-laki mengambil bola yang berada di dekat kakiku.

Anak lelaki tinggi kurus dengan warna kulit sawo matang itu menghampiri dan bertanya kepadaku. “Kamu kenapa menangis? Dimana orang tuamu?”

Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku sambil masih terus menangis.

“Mama bilang gak boleh bicala dengan olang asing hiks...hiks...” aku menjawab cadel dengan disertai isak tangis.

“Kakak bukan orang asing kok, rumah kakak di ujung jalan sana.” jawabnya sambil tersenyum dan berlutut di depanku. “Rumah kamu dimana? Kakak antar pulang ya.”

“Disa gak mau pulang, Disa takut.”

“Nama kamu Disa? Kamu takut sama siapa?” tanyanya dengan mengerutkan dahi. “Sebentar lagi gelap, dan taman ini akan sepi.”

Aku hanya memperhatikan sekitar taman dengan bingung, tak tahu harus menjawab apa.

“Disa... Disa... Takut pulang ke lumah kak.”

“Loh kenapa? Kalau nggak salah, kamu anak Pak Aldi pindahan dari kota B itu ya?” tanyanya lagi. “Sudah hampir malam, kamu pulang aja ya? Kakak antar.”

Aku mengangguk dan menggelengkan kepalaku. Mengangguk karena memang benar aku anak dari Ayah Aldi dan menggeleng tak mau diantar pulang. Namun dengan sabar ia terus membujukku untuk segera pulang ke rumah.

Akhirnya aku pun menyetujuinya untuk kembali ke rumah.

Ia menurunkanku dari kursi taman sambil tangannya menggengggam jemari kecilku.

Kami berjalan beriringan bersama.

Saat itu sore hari, akan tetapi mobil Ayahku belum juga terlihat melewati jalan ini.

“Oiya nama kakak Derry. Rumah kakak yang pagarnya warna biru itu.” kata kak Derry menunjuk rumah dengan pagar besi berwarna biru di ujung jalan bersebrangan dengan rumahku.

“Itu kak? Lumahnya bagus, Disa suka.”

“Disa... Nama yang cantik seperti orangnya.” sisa tangisku menjadi senyuman mendengar perkataannya yang membuatku nyaman. Kak Derry menghapus sisa air mata yang menempel dipipiku.

“Kak Deli tinggal dengan siapa?” tanyaku.

“Hahahaha.... Delly..Delly.. Kamu panggil kakak ‘Kak De’ aja ya, bisa kan?” tawanya sambil mencubit pipi tembamku dengan gemas.

“Kak De, bisa... Disa bisa... Hehehe...” aku tersenyum menampakan gigi kelinciku di depannya.

Disinilah, di taman ini awal perjumpaanku dengannya.

Dia adalah orang yang bisa membuatku tersenyum untuk pertama kalinya setelah pindah ke kota D. Berbicara dengannya bisa membuatku melupakan semua kesedihanku.

Derry adalah teman pertamaku di kota D. Usianya 10 Tahun, lebih tua 6 tahun di atasku. Ia bisa dengan mudahnya membalikan duniaku menjadi lebih indah.

Sesampainya dirumah kulihat Ibu tiriku masih menggerutu sembari menyapu pecahan vas bunga, di lantai ruang tamu.

Masih terlihat amarahnya ketika ia menoleh menatap tajam ke arahku.

Aku sungguh takut ditatap tajam olehnya, kakiku masih gemetar di halaman rumah, tak berani masuk ke dalam.

“Disa masuk ya ke dalam, kakak pulang dulu.” ucapnya melepas tanganku.

“Disa takut kak, Disa mau ikut kakak.” ucapku lirih menarik kembali genggaman tangannya.

“Tidak boleh, nanti orang tuamu cariin kamu. Ayo kakak antar sampai pintu.” jawabnya sembari menuntunku hingga dekat dengan pintu rumah.

Aku menurutinya memasuki halaman hingga tepat di depan pintu rumahku.

“Ngapain kamu pulang? Pergi sana!! Anak pembawa sial.” hardik Ibu tiriku sambil mengangkat sapu ijuk ke atas, ingin memukulku. Membuatku ketakutan dan memeluk kaki kak Derry dengan erat.

Dengan sigap kak Derry menjadi perisai di depanku dan menangkap tangkai sapu ijuk. “Tante... Disa ini masih kecil. Mengapa tante tega ingin memukulinya?”

“Kamu anak kampung jangan ikut campur, Disa itu anakku, biar aku yang mendidiknya.”

“Seorang ibu tidak mungkin tega memukul anaknya sendiri. Lagipula Disa ini masih sangat kecil, apa kesalahannya hingga tante bersikap kasar kepadanya?” jawab kak Derry dengan lantang, merampas tangkai sapu dan melemparnya keluar. “Jika tante memukuli Disa, saya akan laporkan ke polisi.”

“Oke, aku tidak akan memukulnya, dan kamu pergi dari rumahku.” geram ibu tiriku. “Disya cepat mandi dan masuk ke kamar.” perintahnya.

Akhirnya ibu tiriku mengalah dan dengan kesal menarik lengan kiriku masuk ke dalam kamar. Ibu tiriku juga mengusir kak Derry pergi dari rumah.

Namaku Disya, aku terlahir dalam keluarga broken home. Ayahku bernama Aldi berasal dari kota C, ibu kandungku Eni berasal dari kota B, sedangkan Ibu tiriku 'Mamih Selvi' berasal dari kota D.

Tinggi badanku memang agak kecil dibanding anak lainnya seumuranku, dengan mata besar dan garis kelopak mata yang menyipit. Kulitku putih seperti Ayahku dan rambut sebahu hitam legam.

Ayahku adalah seorang pengusaha muda yang merantau dari kota C ke kota A. Berkat kegigihannya bisnis yang ia geluti berhasil dan berkembang. Namun sayang karena terpengaruh ucapan seorang teman, ia tertipu di pasar saham dan mengalami kebangkrutan.

Ayah menjual semua aset untuk menutupi hutang-hutangnya. Dan dengan sedikit sisa tabungannya, ayahku pindah dari kota A ke kota B. Ia menyewa satu unit kontrakan kecil dan mulai mencari pekerjaan baru.

Datang ke satu toko ke toko lainnya untuk mencari pekerjaan. Namun tak ada satupun toko yang menerimanya bekerja.

Kakekku yang pada saat itu berada di pasar ingin membeli pupuk melihat Ayah yang sedang memohon-mohon meminta pekerjaan kepada pemilik toko.

Karena merasa iba, Kakekku menawarkan pekerjaan sebagai pengawas peternakan dan juga pekerjaan sampingan di sawah milik kakek. Ayah menerimanya dan berjanji akan giat bekerja membantu dipeternakan walaupun gaji yang ia terima tidaklah seberapa.

Ibu yang setiap jam makan siang selalu menghantarkan makanan untuk kakekku, berkenalan dengan ayahku. Hari-hari pun berlalu, semakin lama mereka semakin akrab dan dekat.

Ayah menyukai sifat ibuku yang penuh pengertian dan sabar. Sedangkan ibu menyukai sifat ayahku yang ulet dan rajin dalam bekerja.

Dengan kelemah lembutan, kebaikan dan perhatian dari ibu, Ayahku mulai jatuh hati kepada ibuku. Ayah menerima status ibu sebagai janda, dan berjanji akan menganggap ketiga kakak tiriku sebagai anaknya sendiri.

Kakekku sangat senang melihat kedekatan ayah dan ibuku.

Ibu selalu tersenyum jika berada di dekat Ayah. dan akhirnya mereka pun menikah.

Kakek sangat percaya kepada Ayah dan akhirnya menyerahkan seluruh peternakan dan perkebunan kepada Ayahku dengan jaminan Ayah akan membahagiakan Ibuku.

Aku lahir dan dibesarkan dengan kasih sayang dari keluarga, kakek adalah orang yang paling memanjakanku.

Aku anak yang periang dan ceria. Sering aku menjahili kakak-kakakku menangis hanya ingin dibelikan jajan. Ayahku juga sangat menyayangi dan memanjakanku.

Ketiga kakak tiriku laki-laki, aku bungsu anak perempuan satu-satunya. Kakak tertuaku bernama Fino, sifatnya sangat keras tapi juga penyayang. Kakak keduaku bernama Fajar sifatnya sangat pendiam, sabar dan selalu mengalah sama seperti ibuku. Kakak ketigaku bernama Farid sifatnya jauh berbeda dengan kedua kakakku. Kak Farid sangat aktif dan cerdas. Mereka semua sangat menyayangiku.

Ayahku memang bertangan dingin. Peternakan kakekku maju pesat dipegang olehnya, hingga merambah ke kota-kota lain. Ia sering bepergian ke luar kota untuk menjual dan memasarkan hasil ternak dan hasil panen perkebunan.

Aku sangat dekat dengan ayah. Di usiaku 2 tahun, Ayah sering mengajakku pergi ke kota D dan menginap disana.

Aku di kenalkan dengan tante Selvi, sebagai teman bisnis ayah. Saat itu tante Selvi sangat baik kepadaku, ia merawatku dengan sabar ketika aku menginap dirumahnya.

Hingga tragedi itupun terjadi. Di usiaku 4 tahun, Kakek mendapat kabar dari pelanggannya yang bertandang ke rumah. Berita buruk yang sangat mengejutkan hingga membuat Kakekku meninggal terkena serangan jantung.

Ternyata Ayahku sudah dua tahun menikah lagi dengan seorang wanita yang berasal dari kota D. Wanita yang kini menjadi Ibu tiriku yaitu Mamih Selvi.

Aku hanya dijadikan alat oleh Ayahku untuk bisa bepergian keluar kota.

Tanah kuburan Kakekku masih sangat basah, keluargaku kembali dikejutkan dengan datangnya orang-orang yang menyegel peternakan dan perkebunan Kakek.

Ayah menjual seluruh tanah, peternakan dan sawah kepada para pemborong. Hanya tersisa rumah tua dan perkebunan kecil peninggalan Kakek yang tidak ia jual.

Aku yang masih sangat kecil tidak tahu menahu apa yang terjadi. Ayah merampasku secara paksa dari tangan Ibu dan menceraikan Ibuku dengan talak tanpa surat dan meninggalkannya begitu saja.

Entah bagaimana perasaan Ibuku waktu itu. Semuanya terjadi sangat cepat, dan aku tidak bisa berada disamping Ibuku ketika beliau sangat membutuhkanku.

Ayah tergila-gila oleh Ibu tiriku dan selalu menuruti keinginannya hingga tega menghancurkan hati Ibuku yang tulus kepadanya.

Di kota D ini, Ayah merintis kembali usahanya dari nol dan aku mulai memasuki taman kanak-kanak.

Setiap pagi Ibu tiriku mengeluh karena lelah merawatku dan ingin mencari asisten rumah tangga, yang langsung disetujui oleh Ayahku.

Bahkan Ibu tiriku tega menyuruhku menyapu dan membersihkan rumah sebelum ada asisten rumah tangga.

Setiap pagi sebelum sekolah aku wajib membersihkan rumah terlebih dahulu, setelah itu baru aku berangkat ke sekolah yang kebetulan jaraknya tidak jauh dari rumahku karena masih satu komplek dengan rumahku.

Tanpa sepengetahuan Ibu tiriku setiap pagi Kak Derry selalu menyapa dan mengantarku pergi ke sekolah. Ia juga yang membantuku mengerjakan PR seusai pulang sekolah ditaman. Semakin lama aku semakin bergantung kepada kak Derry.

“Disa sayang kak Deli.” ucapku. Dengan tangan kecilku memeluk lengan kak Derry.

“Kakak lebih menyangimu.” balasnya dan kamipun tertawa bersama.

Aku menjadi mandiri sejak usia dini. Aku mengerjakan segala pekerjaan rumah dan membereskan kamarku sendiri.

Asisten rumah kami 'Bi inah' sering melarangku mengerjakan pekerjaan rumah, tapi karena takut dengan Ibu tiriku dan karena aku telah terbiasa mandiri aku terus mengerjakannya.

Tanpa sepengetahuan Ayahku, ada atau tidak ada kesalahan Ibu tiriku selalu memarahi dan memukuliku membuat hari-hari yang kulalui penuh dengan penderitaan.

Beruntung kak Derry selalu menemaniku disaat suka dan duka. Ia selalu bisa membuatku tersenyum dan tertawa.

Kak Derry selalu mengambil gambarku dengan camera merk canon pemberian Ayahnya, dan memberikanku hasil foto kita berdua yang masih ku simpan dengan rapih hingga kini.

Jika Ayah dan Ibu tiriku bepergian ke luar kota, seharian aku bermain bersama kak Derry dirumahnya. Ayah dan Ibunya sangat baik kepadaku.

Entah apa yang kurasakan pada saat itu. Aku merasa nyaman saat sedang bersamanya, dan terasa seperti ada yang hilang jika sehari saja tak bertemu dengannya.

Setiap hari aku tak sabar menunggu senja dan duduk di kursi taman. Kak Derry tak pernah absen walau hanya sekedar menyapa, dan meminta maaf jika ia sedang sibuk dengan kegiatan eskul di sekolahnya.

Siang itu cuaca begitu panas, seusai pulang sekolah Ibu tiriku kembali memarahiku. Ia menemukan foto kami berdua tertidur di atas permadani ruang tamu rumah kak Derry. Foto tersebut di ambil oleh ibu Dema (ibunya kak Derry) saat aku berkunjung kerumahnya.

Setiap malam aku memang tidur sambil memegang foto tersebut. Hingga pada suatu pagi aku lupa menyimpan kembali foto tersebut ke dalam almari.

Ibu tiriku marah besar dan menghinaku dengan kata-kata yang tak pantas di ucapkan orang dewasa kepada anak kecil.

Saat aku kelas 3 sekolah dasar di usia 8 Tahun, bisnis Ayahku mengalami kebangkrutan kembali. Setibanya dirumah, Ayah yang selalu mendengarkan ucapan ibu tiriku. Memarahiku hingga secara tak sadar memukul pipi kiriku. Ayah sudah tidak menyayangiku lagi.

Saat itu Ayah sedang dalam keadaan stres memikirkan bisnisnya. Seharian aku mengurung diri dikamar tanpa menyantap makanan yang diberikan Bi Inah. Bi Inah pun menyampaikan salam dari kak Derry yang sedang menungguku ditaman.

Aku menaiki jendela kamar, keluar dan menemui kak Derry di taman sore itu. Senja itu begitu berbeda, kak Derry memberiku cincin yang terbuat dari rumput ilalang dan mengambil gambar kami berdua.

Kak Derry berjanji akan mencariku, saat usiaku sudah 17 Tahun. Ia akan melamarku secara resmi kepada orang tuaku.

“Disa sayang, jadilah perempuan yang kuat. Kakak akan melamarmu saat kamu dewasa nanti. Disa mau berjanji sama kakak?” kata kak Derry.

Ku jawab dengan anggukan kepala. Tanpa peduli ramainya keadaan sekitar taman, aku menangis dan memeluknya erat. “Aku Disa, berjanji akan selalu menunggumu kak Derry.” ucapku dalam hati.

“Disa sayang kak Derry.” kataku.

“Kakak lebih menyayangimu.” jawabnya.

Kulihat kak Derry meneteskan air mata, tanpa melepaskan pelukannya.

Setelahnya aku kembali tertawa dan tak henti tersenyum, menunggu saat waktunya tiba suatu saat nanti ia melamarku.

Malam hari saat aku pulang dari taman, ada seorang yang bertandang kerumah. Seorang pria yang akan membeli rumah kami.

Pagi harinya kak Derry memberikan satu kotak kenang-kenangan berupa foto kebersamaan kami. Dan memintaku untuk menyimpan dan menjaganya hingga kami bertemu dewasa nanti.

Kami di beri waktu dua hari oleh orang yang membeli rumah kami untuk membereskan barang-barang dan keluar dari rumah. Bi Inah asisten rumah tangga pun dipecat.

Aku putus sekolah dan hijrah ke kota C kampung halaman Ayahku.

Sesampainya di kota C, Ayahku sangat terpukul atas kematian Kakek dan Nenekku, orang tua dari Ayahku. Hanya ada Pamanku adik dari Ayahku yang melanjutkan bisnis keluarga.

Pamanku menyerahkan rumah tua dan sebagian harta peninggalan kakek dan nenekku. Ayah kembali melanjutkan bisnisnya di kota C.

Dan aku melanjutkan sekolah dasar, atas saran dari pamanku.

Ibu tiriku turut membantu bisnis ayah hingga melupakan kewajiban mengerjakan pekerjaan rumah.

Aku sendiri melakukan semua itu dengan ikhlas. Ingin sekali aku merebut hati ibu tiriku, tapi ia semakin tak memperdulikanku.

Sore itu aku telat pulang kerumah karena mengikuti kegiatan latihan dance yang di adakan di sekolah. Ibu tiriku kembali marah dan memukuliku dengan rotan hingga membuat sekujur kaki dan tanganku memar.

Pamanku yang pada waktu itu kebetulan melihat kekejaman perlakuan Ibu tiriku, marah besar. Paman mengambilku dan membawaku pulang kerumahnya.

Paman merawat dan mengobati lukaku dengan penuh kasih sayang. Sifatnya sangat berbeda dengan Ayah yang sudah tidak lagi memperdulikanku.

Paman bertanya kepadaku, apa yang paling ku impikan. Ia akan membelikannya untukku. Dan aku berkata, “Aku hanya ingin bertemu kembali dengan Mama kandungku.”

Dengan seijin Ayah, akhirnya Pamanku membawaku pulang kembali ke pangkuan Ibuku.

Perjumpaan kembali dengan ibu kandungku bagaikan mimpi membuatku sangat bahagia. Ibuku memelukku dengan sangat erat dan menangis tersedu.

Kutelusuri dengan jemariku, guratan-guratan kecil di wajah ibuku. Ia semakin menua, wajahnya tampak pucat dan lemah.

Ternyata sejak kepergianku, ibuku jatuh sakit. Dengan dibantu Adik dari Nenekku, Ibu membuka usaha kecil-kecilan dan menanam tanaman diperkebunan yang bisa ia jual ke pasar.

Ibu bekerja keras membanting tulang untuk menghidupi dan menyekolahkan aku dan kakak-kakakku. Dan kini aku kembali mendapatkan kasih sayang dari Ibu kandung dan Kakak-kakakku.

Bersambung...



Diary Disya Part 2
 
Terakhir diubah:
5999.gif
6010.gif
5997.gif
5995.gif
6014.gif
6002.gif
6014.gif
5991.gif
5987.gif
6056.gif



Selamat dek untuk rumah barunya :mantap:
 
Maacih kakak-kakak semua uda mau mampir, maaf gak bisa balesin duyu..:ampun::ampun::ampun:

Lagi banyak kerjaan :fiuh:
 
Kalo boleh nubi kasih opini ... Alurnya bagus ... penokohan juga lumayan ... cuma tanda baca aja hu ada beberapa yang gak sesuai tempatnya ... sama satu lagi namanya disa apa disya? Soalnya ada yang pake disa ada yang disya ... keep writing suhu ...
Maacih suhu uda meluangkan waktu membaca cerita eneng yg ala kadarnya :ampun:
Untuk selanjutnya akan eneng perbaiki lagi...

"Dan masih dengan bicara cadel seperti anak seusiaku."

Namanya 'Disya' karena sedari kecil sulit mengucapkan, ia menamai/memanggil dirinya sendiri dengan sebutan 'Disa' cuma memang kurang detail penegasan kalimatnya... :)
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd