Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Decision of Heart (No SARA)

Part 20: Konpensasi

Dua puluh tahun yang lalu


Pov: Sulastri

Siang itu udara sangat panas walaupun aku berada di daerah pegunungan yang terkenal dengan udara yang sejuk tapi siang hari ini aku merasakan panasnya bukan main, aku hanya menggunakan daster yang cukup tipis, suamiku Margono sedang berada di sawah sebagai petani penggarap sawah tetangga dengan bagi hasil jadi bukan petani yang mempunya sawah sendiri.

Aku memang baru nikan 8 bulan yang lalu dengan pemuda desa ini juga yang sudah aku kenal semenjak kecil, Dia kakak kelasku ketika aku mesih sekolah di SMP aku kelas 1 dan dia kelas 3 hubungan cinta kami berawal dari sini, aku sunggung menenal pribadi yang benar benar tulus setelah aku menamatkan jenjang sekolahku sampai SMA dan Margono melamarku dan meninta aku sebagai istrinya dan aku pun mau karena sudah tau karakter Margono seperti apa. Setelah penikahanku aku di boyong ke rumah peminggalan orang tuanya, rumah dengan perkarangan yang cukup luas dan masih terbuat dari kayu.

Tiga bulan kemudian aku hamil betapa senangnya Margono melihat aku hamil dan selama kehamilanku selalu dimanja olehnya, aku dilarang kerja keras hanya boleh bersih bersih rumah dan memasak selebihnya harus di gunakan untuk istirahat, hari hari ku selama 5 bulan terakhir ini sepi bila siang hari, banyak tetangga yang pergi ke sawah hanya ibu ibu dan anak anak yang ada di sekitar kampung kami, memeng begitulah kampung kami baru jam 4 atau jam 5 sore para kaum laki laki sampai di desa kembali ruinitasku menjadi sangat monoton

Pada hari ini aku kedatangan tamu paklik Sriyono dan isrti bulik Rani yang tinggal di Solo sebagai seorang aparat angkatan darat, dengan membawa temannya dua orang wanita seorang ibu dengan anak gadisnya, setelah aku persilahkan masuk om Sriyono mengutarakan maksudnya menitipkan anak sahabatnya yang hamil di luar nikah dan sekarang baru kehamilan 3 bulan tapi aku ngak bisa memutuskan sebelum mendapat persetujuan dari suamiku Margono, aku suruhan anak tetangga supaya memberi tahu Margono kalau ditunggu tamu dirumah,

Tak berselang lama Margono pun pulang ke rumah menemui paklik Sriyono dan bulik Rani,

“No, kedatanganku kemari nenemuimu karena aku dimintai tolong oleh teman sahabatku kebetulan ibu ini juga sebagai sepupuku sendiri dari aku sedang kamu kemenakan dari istriku sebenarnya kita ini bukan orang lain No” kata paklik Sriyono, selanjutnya “Bulik Niken ini sedang mengalami kesusahan yang amat sangat, putri tunggalnya Rini ini hamil di luar pernikahan laki laki yang menghamili pergi menghilang entah kemana sekarang setelah mengetahui Rini hamil. Kalau kamu berkenan bu Niken ini akan menitipkan putri tunggalnya disini sampai dia melahirkan tapi kalau kamu ngak berkenen juga ngak apa apa”

Margono diam memandang isrtrinya meminta pesetujuannya,

“Mas, aku setuju aja demi nama baik dik Rini dan keluarganya, dan tidak ada salahnya kita menolong orang yang baru menerima cobaan dari Tuhan dan aku sendiri kalu siang kesepian ngak punya teman untuk diajak bicara sedang mas kalau pagi sampai sore ada disawah, boleh ya mas” kata Sulastri merajuk pada suaminya.

“Bagaimana aku mampu menaggung biaya kehidupannya sementara kehidupanku masih susah begini” kata Margono

“Mas Margono kalau tentang biaya yang menjadi persoalan, semua biaya untuk anak ku Rini menjadi tanggung jawab aku dan keluargaku, aku hanya mau titip sementara waktu sampai prosese kelahiran selesai dan aku dan keluarga aku akan memberi sebuah konpensasi ke mas Margono dan keluarga sebidang tanah yang akan aku beli melalui mas Sriyono untuk kami berikan kepada mas Margono, berapanya mas Sriyono tadi yang tahu” kata Niken

“Ia No, aku tadi dengar bahwa ada orang yang akan menjual tanah di daerah ini luasnya kira kira 5 – 7 bahu, itu akan di beli oleh ibu Niken dan akan di berikan ke padamu sebagai konpensasi Rini tinggal di sini, sedang biaya sehari hari sampai biaya melahirkan tetap di tanggung oleh bu Niken ini, tadi mau dibayar langsung oleh bu Niken tapi aku melarangnya sebelun dapat persetujuan dari kamu, selarang tingga menanti persetujuna mu saja” sambung paklik Sriyono.

Lama Margono termenung sendiri, akhirnya Margono minta waktu untuk bicara dulu dengan istrinya, kemudian aku dan mas Margono masuk kamar untuk membicarakan hal imi.

“Gimana dik menurut pendapatmu terlepas dari konpensasi dari 5 – 7 bahu itu” tanya Margono

“Ia mas aku selalu kesepiamn sendiri di rumah bila mas Gono pergi ke sawah aku perlu teman untuk ngobrol di siang hari” kata Sulasti

“Ok kalau gitu mas setuju mas ngak mau karena di beri imbalan sawah 5 – 7 bahu mas jadi mau, tetapi alasanya untuk teman kamu siang hari di rumah mas setuju tapi kalau memang diberi tanah itu adakah rejeki dari jabang bayi yang kamu kandung ini” kata Margono

Setelah selesai berembuk Margono dan Sulastri kembali ke ruang Tamu dan menyetujui akan menerima Rini sebagai anggota keluarga gari jauh datang kesini


“Bagaimana mas” tanya Niken

“Ia buk saya dan istri setuju tapi bukan berdasarkan mendapat konpensasi tanah yang ibu janjikan tapi biar istriku punyanya teman kalau siang hari selalu sendiri dirumah” kata Margono tegas

“Terima kasih mas Margono sudah menolong saya dan keluarga yang baru menghadapi kesulitan ini” kata ibu Niken dalan isak tangisnya, lanjutnya: “Entah apa jadinya kalau mas Margono tidak bisa menolong kelahiran cucuku ini”

“Sudah bu, kita hidup di dunia harus saling tolong menolong dan itu wajar suatu saat nanti pasti aku juga membutuhkan seserang menolong saya bu, wajarkan kalau manusia ini ngak bisa hidup sediri tapa teman” kata Margono

“Mas Sriyono tolong panggilkan orang tadi di suruh kemari” kata Niken

Lalu Sriyono mengambil HP dan menghubungi seseorang tak lama datanglah 2 orang keduanya sudah Sriyono kenal satu Sekdes dan satunya lagi ulu ulu desa.

“Assalamualaikum” sapa dua laki laki setelah di ambang pintu rumah Margono

“Wallaikunsalan” jawan serempak dari daram rumah

“Pak Sekdes dan pak ulu ulu lansung menjabatan tangan dengan orang orang yang ada didalam rumah.

“Kamu tentunya sudah mengenal mereka bukan NO” kata paklik Sriyono

“Sudah paklik” jawab Margomo

“Aku jadi mengambil tanah yang di tawarkan tadi 7 bahu kan” kata Niken

“Ia bu semuanya 7 bahu, apa ibu sudah sepakat dengan harga yang kami tawarkan” kata Sekdes

“Aku telah setuju dengan harga yang kamu tawarkan” jawan Niken, lanjutnya: “Kamu bawa surat surat tanahnya”

“Bawa bu” jawab Sekses, lalu mengeluarkan surat tanah dari dalam tasnya dan diberikan pada Niken setelah membaca sebentar di serahkan surat tanah tersebut kepada Margono dan membacanya dan mengenal lokasi dari sertifikat tanah tersebut.

“Jadi ini tanah milik Haji Mustafa ya kang, yang dijual” kata Margono

“Ia No, Haji Mustafa meminta saya untuk menjualkan tanahnya, kan kamu juga yang menggarap tanah beliau” kata Sekdes

“Betul kang, sawah Haji Mustafa aku yang mengerjakannya” jawab Margono

“Jadi begini pak Sekdes, tanah ini aku beli untuk saya hibahkan kepada pak Margono, saya minta bantuanya untuk urusan balik nama dan semuanya saya mau terima jadi” kata Niken

“Ya bu, saya akan bantu Margono untuk urusan balik nama ke nama Margono” kata Sekdes

Niken mengambil tas dan mengeluarkan buku panjang dari dalamnya dan dan menulis angka nominal yang di minta oleh Sekdes dan mecerahkan berupa chek yang sewaktu waktu bisa dicairkan melelui bank.

Transaksi jual beli pun telah selesai, dan sertifikat tanah sudah di pegang Margono.

“Ini aku berikan kepadamu aku tidak memberikan harta yang melimpah dan akhir akan habis untuk di konsumtif tapi aku memberikan kail untuk bekerja mencari sesuap nasi, mudah mudahan kamu bisa mengembangan pemberianku ini, aku tulus dengan pemberian ini sebagai rasa syukurku ke hadirat Tuhan dan rasa terima kasih ku kepadamu , mas Margono” kata Niken

“Aku juga berterima kasih atas kebaikan ibu yang memberika sesuatu yang sangat berharga untuk kehidupan keluarga kami dan menyongsong kelahiran anakku yang masih dalam kandungan istriku, pemberian ini merupakam rejeki dari jabang bayi yang akan lahir kelak dan aku berjanji akan menjaga amanah ibu untuk mengembangkan nya, aku mohon doa restumya, demikina pula untuk pak lik Sri dan bu lik Rani, aku juga mengucapkan terima kasih”

“Ia No, semoga apa yang di berikan oleh mbakyu Niken bermanfaat untuk kehidupan kamu selamjutnya.

“Ya pak lik aku akan menjaganya amanah ini” kata Margono, lanjutnya “Ia bune. mbak Rini diajak masuk dan tunjukin kamarnya ya”

“Ia mas” kata Sulastri, sambil berdiri mengajak Rini masuk ke dalam kamarnya sambil menjinjing tas yang di bawa Rini

“Istirahat dulu ya dik Rini, kalua mau minum atau makan bisa ambil sendiri ya, anggap rumah sendiri, kan aku sendirian ngak punya pembantu lagi” kata Sulastri

“Ia mbak” kata Rini.

Setelah mengantar Rini masuk ke dalam kamarnya, aku kembali bergabung dengan suamiku di ruang tamu.

“Tolong carikan pembantu, warga disini aja biar Rini ada yang mengurusi, tidak semua di urus oleh mbak Lastri, anak itu sangat manja tidak pernah bekerja, tapi aku percaya pada mbak Lastri bisa mendidiknya biar lebih dewasa dalam menyikapi hidup ini” kata Niken setelah ke dua tamu mereka pak Sekdes dan pak Ulu ulu meninggalkan rumah Margono.

“Ia buk, apa maunya ibu saja coba nanti aku cari yang mau ngurus dik Rini, tapi sebenarnya ngak perlu juga sih bu, biar dik Rini punya rasa Tanggung jawab untuk masa depannya dan melanjutkan hidupnya sesuai dengan apa yang dia cita citakan” jawab Sulastri

“Terserah dik Lastri saja aku ikut” kata ibu Niken, lanjutnya: “Mas Gono ini ada sedikit dana untuk keperluan sehari hari Rini, nanti kalau kurang ibu Tranfer ya, minta no Rekening Bank dan No HP nya biar bisa aku menghubung setiap saat” kata Niken

“Maaf bu aku ngak punya HP tapi aku minta no ibu aja nanti kalau ada perlu aku menghubungi lewat wartel yang ada dekat kelurahan” kata Margono

“Ya sudah kalau begitu, ini kartu nama ibu bisa dihubungi ke kantor kalau siang kalau sore atau malem di rumah kecuali hari libur aku selalu dirumah” kata Niken sambil menyerahkan secarik kertas kecil kepada Margono.

“Ya bu” jawab Margono

Setelah berbincang bincang santai akhirnya Niken, Sriyono dan Maharani pamit untuk pulang ke Solo karena waktu juga sudah sore.

Sepeninggalan mereka Margono pamit untuk ke sawah kembali yang tadi di tinggalkan begitu saja.

Tingal Lastri dan Rini yang berada di rumah dan mereka berbincang di teras di saat menjelang sore hari.

“Enak ya mbak, suasanan tenang dan hawanya sejuk” kata Rini membuka prcakapan.

“Semoga kamu krasan di sini ya dik, temenin mbak” jawab Sulastri

Rini hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum

“Kamu kenapa dik, kok kelihatan gelisah gitu” tanya Sulastri

“Ngak ada apa apa kok mbak” jawan Rini

“Mbak ngak punya adik perempuan jadi mbak anggap dik Rini sebagai adik kandung mbak sendiri makanya kalau ada apa apa cerita aja ke mbak mungkin mbak dapat membantu sedikit kegelisahan dik Rini, ya sudah kalau masih malu, besok besok masih banyak waktu” kata Sulastri

“Mbak sebenarnya aku ingin menggugurkan kandungan ini tapi ibu ngak boleh aku mau menggugrkan kandunganku” kata Rini, lanjutnya “Enak juga ya mbak si Yudis sesudah berbuat menghamili aku langsung pergi tanpa beban aku benci dan sangat meyesal mbak” kata Rina dalam isak tangis yan tertahan

“Sudah dik yang sudah biarlah berlalu, sekarang dik Rini harus mengambil hikmah dari pelajaran ini kedepanya, biar ini menjadi pelajaran yang sangat berharga untuk diri dik Rini bahwa kodrat kita sebagai wanita ya harus seperti ini hamil dan melahirkan, tapi percayalah pada Tuhan siapa yang menenan pasti akan memetik hasil tanamannya, dan mbak percayalah pacarmu si Yudis yuga merasakan hal yang sama atas semua dosa yang diperbuatnya pasti hidup Yudis akan tidak tenang seperti di kejar kejar dosa dan percaya lah Gusti mboten sare (Allah tidak tidur)” kata Sulastri

“Ia mbak, mudah mudahan aku di sini bisa merenung kan dan menjalankan kehidupan ini dengan wajar aku mohon bimbingannya mbak” jawab Rini

---skip---

Siang itu aku mengajak Rini untuk jalan jalan ke kota Wonosobo yang berjarak 5 km dari desa kami, untuk menghilangkan rasa suntuk di hati dan menghibur Rini agar bisa lepas dari penderitaan batin dan tekakan dari lingkunganya.

Ke pasar Wonosobo untuk membeli keperluanku sendiri, keperluan menjelang kelahiran yang kurang 3 bulan kedepan dan Rini kurang 4 bulanan, kami berdua jalan bareng dua orang wanita yang baru hamil keliling pasar membeli pakaian bayi dam perlengkapannya, aku senang dengan adanya Rini di sini mebuat hari hariku tambah ceria senyumku terus tersunggi di bibirku aku mengajak Rini makan soto kegemaranku sampai sore hari kami baru pulang dengan mencater angkot karena bawaan kami suggung banyak.

Tak terasa waktu berjakan dengan cepat 3,5 bulan di lalui dengan penuh ceria setelah Rini tinggal bersamaku aku, Rini menjadi adikku, saudaraku, sahabatku sudah tidak ada rahasia diantara kita, tapi kau belum juga mengeti Rini belum bisa melupakam peristiwa dengan mantan pacarnya yang tega meninggalkan dirinya menanggung semua akibat dari perbuatan nya Rini sunggung dendam pada laki laki itu dan itu masih terlihat dari sorot matanya di balik wajah yang cantik, tubuh sempurna, pagi pagi sering kami berdua jalan jalan keliling kampung setelah suamiku pergi ke sawah yang kini sudah menjadi sawah milik kami, dan padipun mulai menguning pertanda sebentar lagi masa panen akan segera tiba. Pulang dari jalan jalan pagi biasanya mampir ke penjal bubur ayam di dekat sekolah SD yang terkenal enak, dan di bawa pulang untuk untuk di makan dirumah sambil bersendaugurau bersama dan tertawa bersama kalau melihat sesuatu yang lucu.

Siang itu aku baru datang dari jalan jalan dan masuk ke rumah dan langsung ke kamar mandi untuk cuci tangam dan kaki entah kenaapa aku merasa pusing dan aku terpeleset di dalam kamar mandi dan aku ngak bisa menghindar lagi akhirnya aku jatuh posisi jatuh pantatku duluan, aku cuma ingat perutku aku pegang perut yang lumayan besar sudah memesuki bulan ke 9 dan pantatku menghantan lantai kesar kamar mandi aku pun berteriak keras sekali sambil menahan sakit pada darerah vaginaku dan pantatku mendengar teriakanku Rini langsung datang ke kamar mandi dan mencoba menolongku dengan menarik tanganku tapi badanku lebih besar dari pada badan Rini sehinggRini ngak kuat mengangkat badanku aku tetap dudu di lantai sambil memegang perut ku yang tesasa sangat mules.

“Rini, tolong panggil kan tetangga, kalau kamu sendi ngak akan kuat” kataku memeritahkan ke Rini

Rini langsung keluar dari kamar mandi dan keluar rumah

Aku masih nenahan sakit yang makin lama semakin terasa aku hanya bisa berdoa ke Allah semoga bayi dalam kandunganku terselamatkan dan lahir tanpa cacat, seperempat jam kemudian dua orang ibu dan seorang remaja datang dan masuk kamar mandi dan mengangkatku dari lantai kamar mandi dan di bawanya ke kamar tidurku

“Tolong dik jemput suamiku di ladang” kata ku pada remaja yang menolongku

“Baik mbak” katanya

Dengan cepat pemuda itu keluar dari kamar tidur langsung berlari ke sawah untun menjemput suamiku

Rini terlihat diam di sisi tempat tidur sambil menegis sambil memandang aku

“Lastri, sebaiknya di bawa segera ke rumah sakit aya” kata bu Drayat

“Tapi siapa yang akan membawa ya” jawab bu Imron

“Aku akan minta tolong ke pak Anwar yang pinya mobil sewaan coba bisa tolong ngak” kata bu Drayat

Bu Drajat langsung pergi ke rumah pak Anwar tapi sebentar kemudian pulang lagi

“Pak Anwarnya ngak ada” kata bu Drajat

Sebentar kemudian Suami datang dari sawah dengan beberapa laki laki dan pak Samsu yang datang dengan membawa angkot yang di temui ditengah jalan, dan aku di gotong oleh suamiku di bantu dengan beberapa tetangga dan di bawa masuk ke anggkot yang di bawa oleh pak Samsu tadi

“Rini tolong baju baju mbak yang sudah aku siapkan di susulkan ya ke rumah sakit” kataku ke Rini

“Ya mbak” kata Rini

Aku di bawa oleh suamiku dan bebrapa tetangga menuju RS Derah yang cukup jauh 6 km dari desa kami melalaui jalan aternatif yang belum rata benar, aku merasa perutku seperti terombang ambing, sambil menahan sakin yang tak terkira tanganku meremas remas tangan suamiku dan kepalaku berada di panguanya.

Cukup lama perjalanan dari rumah sampai di rumah sakit dan aku ngak sadarkan diri

Aku siuman sudah berada di kamar, pertama aku melihat wajah Suamiku Marono memgang tanganku sambil tersenyum entah apa arti senyuma itu,

“Bagai mana mas, anak kita” kataku

“Kamu tenang dulu ya dik, biar dokter yang menjelaskan” kata suamiku masih tersenyum tapi di peluk matanya menggenag air mata

“Mas…..“ teriakku dan mataku gelap

Aku merasan bau bau yang sangat menyengat di hidungku , aku sadar dan diselingku derdiri seorang Dokter dan beberapa suster yang mendampinginya

“Ibu Sulastri, maafkan kami ngak bisa menyelamatkan putri ibu lahir dengan selamat, putri ibu sudah meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit kami pihak rumah sakit hanya berupaya untuk menyelamatkan jiwa ibu dengan melakukan operasi secsar, maaf sekali lagi maaf, Tuhan sudah menghendati kita hanya bisa menjalani kehendaknya dan putri ibu sudah di makamkan oleh bapak tadi pagi di pemakaman dekat rumah ibu sekali lagi saya pribadi dan pihak rumah sakit memohon maaf“ kata dokter itu.

Aku langsug menangis lirih, pedih hatiku di tinggal buah hati yang aku nanti nanti selama 9 bulan terakhir ini

“Selamat siang bu, kami permisi melanjutkan tugas kami lagi” kata doter dan mengulurkan tangan dan memegang tanganku, kemudian pergi meninggalkan aku diikuti oleh perawat yang mendampinginya.

“Mas, anak kita” tangisku meledak lagi di tangan suamiku

Suami ku hanya diam sambil mengelus rambutku ”Yang sabar ya dik, ini bukan salah siapa siapa tapi ini kehendak dari atas, tapi aku percaya Dia akan memberi gantinya kembali”

“Ia mas …. tapi hati ini pedih banget mas” kataku

“Udah yo kita berdoa untuk memohonkan ampunan anak kita ke Allah SWT” kata Suamiku

Kami pun mengambil sikap berdoa dengan ke dua tangan di tengadahkan ke atas, selesai berdoa Bu Niken, Paklik Sriyono, Bulik Rani dan juga Rini mendekat tempat tidur dimana aku bebaring dengan lembut Ibu NIken membelai rambutku dan mengucap

“Yang Tabah ya, mbak semua cobaan dari Tuhan pasti ada hikmahnya” kata Bu Niken

“Terima kasih bu” jawabku membalas senyuman tulusnya.

“Lastri, kamu yang sabar ya” kata bulik Rani

“Terima kasih bulik” kataku

“Sebentar kami akan pulang ke Solo, besok aku kirim mobil dam supir dan pembantuku supaya mengurusi kamu dan Rini selama menanti kelahiran cucuku anak Rini, dan kamu jangan menolak lagi, supir dan pembatuku itu suami istri kok” kata Ibu Niken

“Iya bu” kata ku

“Mas bapak dan simbok belum datang ya” kataku ke suamiku

“Belum dik, mumgkin masih dalam perjalanan, kan kemarin minggu menengok cucunya yang ada di tegal” kata Suamiku Margono

Mereka kembali duduk di sofa di rumah sakit itu

“Mbak saya suapin ya, tadi aku sempat beli bubur ayam kesukaan mbak yang di samping SD itu” kata Rini sambil mengambil bentelan di meja di samping tempat tidur, aku hanya mengangguk dan tersenyum

“Terima kasih adiku yang cantik” kataku

Rini membuka bungkusan dan mulai menyuapi aku yang masih lemas sejak kemarin belum terisi apa apa.

“Dik kamu sehat kan” kataku

“Alhamdulilah sehat, mbak” kata Rini

“Tolong jaga kandunganmu untuk mbak ya dik” kata Sulastri

“Ia mbak” jawab Rini

Empat hari kemudian Aku sudah diperbolehkan pulang ke rumah denga syarat harus banyak istirahat

Pak Narto dan ibu Narsih keduanya sebagai supir dan pembantu keluarga ibu Niken yang di janjilan sudah berada di rumah dan pagi itu aku di jemput oleh pak Narto, mas Margono dan Rini di tumah sakit pulang ke rumah, sedang bapak dan simbok langsung pulang kerumahnya setelah tiga hari tiga malam menjaga aku di rumah sakit, mas Margono tidak bisa sewaktu waktu menunggui aku di rumah sakit karena sebentar lagi dia akan panen untuk pertama kali setelah tanah sawah itu menjadi milil kami.

Setelah sampai dirumah aku tidak boleh bekerja apa apa hanya boleh tiduran dan melihat TV di temani oleh Rini sedang pekerjaan rumah di kerjakan oleh bu Narsih dan Pak Narto, walaupun kadang kadang pak Narto juga menemani mas Margono ke sawah.

Panen raya pun tiba keluarga ku benar benar sibuk, bapak dan symbol pegang peranan sedang bu Nasih dan pak Narto hanya mebantu sedang aku dan Rini duduk manis bak ratu yang kesana kemari di ladeni oleh bu Narsih.

Setelah panen Raya berakhir tepat 3 minggu setelah aku mengalami keguguran, Rini merasa perutnya mual mual dan pecah ketuban, pak Narto dan bu Narsih dengan sigap mengantar ke rumah sakit ditemani oleh suamiku mas Margono sampai di rumah sakit pada kebinggunan siapa yang bertanggung jawam tentang Rini, mas Margono pun mengambil sikap tegas mengaku Rini sebagai istrinya. dari pada terhenti di administrasi rumah sakit ini rumah sakit beda dengan rumah sakit ketika aku melahirkan dan di daftarkan Rini sebagai aku Sulastri, ini demi kelancaran administrasi rumah sakit dan sudah mendapat persetujuan dari ibu Nilen juga.

Kelahiran lancar dan secara normal seorang putri yang cantik, tapi keanehan terjadi Rini ngak mau menyusui bayinya dan memninta aku memberikan asi ku anak nya dan aku pun setuju malah seneng banget sih, lima hari kemudian Rini boleh pulang tapi langsung pulang ke Solo meninggaljan bayinya di rumah seakan bayinya di buang dan aku dengan senang hati untuk memelihara bayi ini yang di beri nama Tasya Anggraeni dengan neneknya Niken Larasati,

Semua persyaratan kependudukan di uruas dengan suamiku dengan orang tua tertera nama Margono dan Sulastri sebagai ayah dan ibu kandung Tasya Anggaeni dan masuk dalam daftar keluargaku, aku senang sekali mendapat ganti seorang bayi mungil yang aku idam idamkan selama ini akhirnya aku tahu kehendak Tuhan bengan mengmbil anakku keharibaannya kembali.

SetelahTasya berumut 1 tahun aku sudah hamil lagi 3 bulan oleh eyangnya Niken di bawa akan dirawat sendiri, hatiku menangis seakan di pisahkan oleh anak kandungku sendiri, tapi Mas Margono selalu memberi kekuatan dan menyatakan bahwa Tasya hanya titipan sementara untuk mendapatkan gantimya kembali ya bayi yang ada di perutku ini, akhirnya aku pasrah dari takdir Ilahi.

Pagi ini 18 tahun kemudian aku di kejutkan kembali oleh kedatangan pak lik Sriyono dan bulik Rani dan mengenalkan pak Bram Kusuma sebagai suami ibu Niken Larasati yang sudah dua tahun meninggal dunia dan membawa seorang gadis cantik seumuran dengan Putri, Tasya Anggraeni, putri ku yang hilang kini kembali kepangkuanku betapa senang rasa hati ini bertemu kembali dengan putriku dalam urutan daftar keluargaku sebagai anak pertamaku.

Mutiara yang hilang telah kutemukan kembali dalam suasana yang sunggung menyenangkan ini terselip suatu kabar yang tidak enak di dengar bahwa Tasya akan menikah dengan eyang nya sendiri, tapi setelah mendengar penjelasan dari pak Bram dan keterangan Tasya sendiri dan mendengar kebulatan dan kesungguhan hati Tasya akhirnya aku dan Mas Margono menyetuyui perkawinan ini walau perbedaan usia sangat jauh, Tasya baru berusia 18 tahun dan pak Bram sudah berusia 58 tahun sebuah perkawinan yang sangat fantastis menurut aku.


Bersambung ....

Semoga berkenan
 
Terakhir diubah:
Ohhh Begitu ya Ceritanya..ternyata tasya sempat dibuang oleh Ibunya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd