Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASI SATU HARI [LKTCP 2020]

pendekarguolowo

Adik Semprot
Daftar
28 Sep 2014
Post
136
Like diterima
5.494
Lokasi
Padepokan Guo Lowo
Bimabet
FANTASI SATU HARI



"Jiwa-jiwa merdeka, membebaskan imaji, menembus sekat-sekat antar ruang dimensi: realita, mimpi, dan fantasi"

-BAGIAN SATU-

2020.

"Dadah papa....," Jefri, 7 tahun, anakku, melambaikan tangan dari celah jendela di jok belakang, berpamitan, hendak sekolah dia.

Aku melepasnya dengan senyum, tanganku membalas lambaian tangannya. Bukan dengan lambaian penuh, sekadar mengangkat telapak tangan. Aku yakin Jefri cukup paham dengan jawabanku.

"Papa jangan lupa token listrik, sudah Mama kirim lewat WA. Cek." Istriku berucap dari jok depan, tepat di belakang kemudi. Ada kesan ketegasan yang kutangkap dari sorot matanya. Tampak jelas walaupun terfilter kacamata yang terpasang di sana. Tatapan dominan.

Aku hanya membalas dengan isyarat tangan. Tak beda jauh dengan balasan untuk anakku satu-satunya tadi. Jempol dan jari telunjuk membentuk lingkar sempurna, tiga jari lain kubuka lebar-lebar. Isyarat OK.

Jendela depan ditutup penuh. Suara mesin mengaum. Tak lama, sedan abu-abu itu perlahan-lahan melaju, menjauh, meninggalkanku. Bau knalpotnya masih kuingat jelas. Bau bahan bakar mentah, tanda tak dirawat. Kendaraan itu terus melaju, dengan kilauan yang sesekali terlihat, pantulan sinar matahari pagi. Berbelok di ujung blok, lalu menghilang, sampai akhirnya tak lagi terlihat.

Di samping kiriku, agak ke atas, mesin berlayar kecil itu berbunyi tanpa henti. Lampu isyarat berkedip merah. Mengikuti irama bunyi-bunyian tadi. Bunyinya bertempo, konstan, semacam alarm. Sudah sejak tengah malam ia protes, kelaparan. Aku tak suka keluhan macam itu. Terlebih suaranya, benar-benar mengganggu. Menjijikkan.

Mataku terpicing, berusaha membaca layar kecil di ujung atas.

[2,17 kWh]

Kuhela nafas pendek, kupencet satu tombol, suara berisik tak lagi kudengar, menyisakan lampu kecil yang masih berkedip, konsisten memperingatkan sang pelanggan.

Sejurus kemudian, langkah tanpa semangat membawaku berjalan masuk ke rumah. Kutunda urusan pencet nomor token. Seharian ini aku bakal di rumah, kurasa tak harus buru-buru menuntaskan tugas.

Dari arah lantai atas kudengar suara langkah kaki. Si pemilik langkah tampaknya tengah tergesa. Kesunyian rumah di pagi ini ternyata tidak cukup hanya diganggu oleh suara isyarat stand meter listrik di depan. Langkah kaki yang menyerbu tangga besi itu, di ujung belakang rumah, penghubung lantai pertama dengan bangunan atas. Menimbulkan bunyi berisik, melengkapi keributan di Senin pagi.

"Pelan, Kek" ucapku, tegas, setengah berteriak.

Kek, bunyinya mirip suku kata terakhir dari Ka-kek, kadang sedikit meleset keinggris-inggrisan ke pengucapan "Cake". Panggilan kesayangan untuk adik perempuanku satu satunya, Nike. Bernama asli Sri Lestari. Lalu darimana nama Nike? Panggilan kesayangan yang dibuat teman dan sahabat si pemilik nama. Akibat kelakuan adik kesayanganku yang sedikit di luar normal itu. Nike mendapuk dirinya sebagai kolektor produk Nike, garis keras, militan. Saking militannya, asli atau KW-3 tak ambil pusing dia, diembat semua. Hobi aneh yang seolah melengkapi kelakuannya yang luar biasa tomboy. Tomboy yang militan, sejak lahir sampai semester lima ini.

"Telat kuliah mas," jawabnya enteng saja.

Sepotong roti tawar disambarnya dari meja makan, tepat di bawah tangga. Digigitnya roti itu.

"Kuny.. chiii..... mot... cor?..." Nike berucap, sembari mengunyah roti itu. Tangan kanannya nyadong, pose menagih utang. Berharap aku serahkan kunci motorku satu-satunya.

"Lha motormu mana?"

Tatapan Nike tajam ke arahku. Dilahapnya lagi sisa potongan roti, hingga tandas tanpa sisa. "Habis bensin semalam. Kutitip di kosan Andre."

Aku kembali menghela nafas.

"Ambil di saku jeans, dalam kamar mandi. Saku kanan. Nggak usah nyari yang lain. Nggak ada uang kusimpan di situ"

Mimik muka Nike berubah, sok imut, riang.

"Terima kasih Kakaaaakkkk... sekalian pulsanya kakak??," goda Nike, lengkap dengan wajah bersenyum lebar.

"Ah, Telek," jawabku, tak lagi kupandang wajah itu. Aku melangkah ke arah mesin cuci di ruang belakang, ada banyak cucian yang musti kubereskan. Cuacanya mendung sedari tadi, kuduga bakal segera turun hujan, sebaiknya segera kubereskan urusan cuci-peras-jemur sebelum siang.

Di ruang belakang, pojok dekat tangga, mesin cuci sudah selesai memutar. Sekali lagi kudengar bunyi pengganggu kesunyian. Kali inibcukup berfaedah, penanda tugas sang mesin pemutar telah selesai. Kubuka tutup atas, segera kupindahkan ke ember besar di samping ruang cuci. Dari luar, suara Nike kembali terdengar.

"Aku pulang malam yo mas. Bye...Love you, mmmuaaahhh..."

"KAREPMU..." jawabku, ketus.

---

Seember penuh, cucian setengah kering itu kubawa sepenuh tenaga ke lantai atas, area jemur. Sesampai di sana, kuluruskan sebentar tulang-tulang ringkihku. Menggeliat. Lumayan nyaman. Tiga-empat potong baju baru saja terpasang di tali jemuran.

"Gludak...glodak....gludak...."

Suara dari rumah sebelah mengganggu konsentrasiku. Kaos oblong yang hendak kupasang di alat penggantung, terlepas dari genggaman. Jatuh ke lantai. Lantai yang belum sempat kusapu, boro-boro kupel. Agak kesal, kuambil kain itu sambil membungkuk.

"Krekkk..."

Oh, SHIT....

Suara tak baik. Aku sedikit mengaduh. Tulang punggungku terkilir sepertinya, keseleo, sudah ada cacatku di situ, cedera kambuhan. Nyeri betul.

Aku meringis kesakitan, sembari membetulkan posisi punggung, kupaksa berdiri lurus. Apes betul pagi ini.

Kupandangi tembok pembatas rumah kami, ke arah suara yang tadi menggangguku. Ada pembatas glassblock, bermotif kotak kotak kecil di dinding itu. Di satu bagian ada pula semacam lubang angin. Kedua celah itu, membuat suara dari satu rumah dapat didengar di ruang bersebelahan. Pun si penghuni bisa saling intip. Di beberapa kesempatan, bahkan bisa transfer barang. Lilin, pulpen, uang, kabel charger, tali, lolos semuanya. Yang penting asal bisa lewat aja.

Di balik dinding kulihat wajah seseorang, tampaknya dia mengintipku. Situasi yang aneh, kami saling intip.

"Kenapa mas Herman?" tanya sang pengintip

Aku memaksakan diri tersenyum. Senyuman basa basi. Berusaha menyembunyikan rasa sakit.

"Keseleo mbak."

"Gak kenapa-kenapa kan? Mau disalep kah? Koyo ada juga ini" tanyanya lagi, sekalian menawarkan bantuan.

"Nggak lah mbak, santai aja. Cedera ringan. Sepele," kembali kulayangkan senyum, sedikit lebih lebar dari yang pertama tadi. "Apa mau bantu jemur sekalian sini Mbak?"

"Mmmm... Boleh. Nanti gantian ya, Mas Heri yang ngurus cucianku."

Mas Heri? Siapa pula itu? Herman namaku woy! Semena-mena dia ganti nama orang.

"No deal. Pihak kedua memberikan syarat yang terlalu memberatkan. Perjanjian terpaksa batal," balasku.

Di ruang sebelah, Mbak Yanti cekikikan. Suaranya merdu. Semerdu saat sang pemilik melantunkan tilawah selepas maghrib. Aku tak terlalu paham soal seni baca kitab itu, yang jelas aku tak pernah protes, kunikmati saja irama-irama yang merambat dari dinding pembatas kami.

Senyum mbak Yanti adalah juga pemandangan indah bagiku. Bahkan lewat celah sekecil itupun, wajahnya tetap tampak cantik. Pipinya merona merah. Ah, seandainya aku punya kesempatan bersetubuh, bercinta, atau dalam situasi ini, berselingkuh, barang sekali saja, satu kali, maka tentulah wanita itu yang akan kupilih. Mbak Yanti yang kupilih.

Tak berani menatap pemandangan itu lama-lama, kembali kusibukkan diri mengurus cucian yang bertumpuk. Kucukupkan interaksi dengan tetangga sebelah.

Sang pengintip tadi, sekaligus pemilik mesin cuci jadul bin super berisik, sekaligus penghuni (atau pemakai?) rumah sebelah, bernama Yanti. Yanti Suhendro Mangunkusumo… atau Mangayubagyo? Siapa gitu lah, pokoknya nama bernuansa kental jawa. Nama Jawa, logat bicara Jawa, tapi perawakannya lebih mirip orang Arab, ada sedikit kesan eropa timur juga. Kulit putih, hidung mancung, bibir tipis, matanya itu yang tak lazim. Warna biru kehijauan. Unik sekali. Mata yang juga jadi daya tarik tersendiri bagi kami, kaum bapak-bapak komplek. Setidaknya obrolan tentang Mbak Yanti selalu bisa jadi pengusir kantuk saat ronda malam. Detail sosok Mbak Yanti seharusnya tak bisa kuceritakan terlalu banyak. Hampir setiap saat beliau mengenakan busana tertutup, full. Gamis panjang warna gelap, hijab lebar, kaos kaki, kaos tangan, kadang bercadar. Terlebih saat harus pergi keluar rumah, tak akan ada yang mengenali.

Beruntung, satu kenangan rahasia pernah kualami. Kenangan yang sedikit banyak bisa memberi gambaran seperti apa penampakan Mbak Yanti dibalik pakaian serba tertutup itu. Pernah sekali waktu, Mbak Yanti kudapati tengah menyiram tanaman di halaman depan, di pot-pot tanaman sekitaran teras. Dia bercelana training pendek, warna gelap, dan kaos lengan pendek warna putih, yang sedikit kedodoran. Di halaman yang berpagar tinggi dan tertutup itu, santai saja dia berpakaian, tanpa hijab. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan. Kumanfaatkan waktu itu sebaik-baik, dengan mengintip. Ada lubang angin di dinding carport, pemisah rumah kami bagian depan, yang bisa kupakai.

Aduuuhhhh mak, pemandangan indah itu. Rejeki tak disangka-sangka.

Kulit perempuan itu putih cerah, bersih, sedikit rona kemerahan, berkilau karena bias-bias cahaya pagi dari berbagai sudut. Tampak mulus, padahal hanya dari bagian tangan, kaki, dan sekitaran leher ke atas. Tubuhnya tampak seksi, postur ideal, lekukan-lekukan di pantat, pinggang, terlihat sangat menggoda. Samar-samar sebenarnya, tapi entah kenapa naluri lelakiku meyakininya. Tubuh bagian atasnya itu loh. Idaman betul, bak artis layar kaca. Dadanya menggembung, tak terlalu tampak bentuknya, tapi kurasa pasti bisa memuaskan para pria lapar. Besar pasti, tak cukup tanganku meremasnya, mungkin. Wajah Mbak Yanti pagi itu juga tampak segar, tak ada make-up seingatku, kecantikan alami.

Aku masih khusyuk mengintip. Penis mulai tegang, membayangkan aku yang kerempeng, berkulit gelap ini bisa menikmati tubuh indah Mbak Yanti. Satu hal yang betul-betul memaksa si penis tegang maksimum, adalah rambut Mbak Yanti. Rambutnya panjang, sedikit bergelombang, tebal, lebat, warnanya sedikit pirang, terlebih saat terpapar cahaya. Sesekali Mbak Yanti menyibak rambut, menyingkap area sekitar kuping yang juga indah, bersih, dengan warna kulit putih cerah.

Makin pusing aku. Pusing-pusing enak.

Satu aksinya kemudian, benar-benar kurang ajar. Darahku mendidih dibuatnya. Saat jari-jari lentik mbak Yanti, mengurut rambut indah itu, seolah menata ekor kuda, mengikatnya satu kali. Bagian wajah samping dan lehernya yang jenjang terpampang lebar-lebar. Aiiiih, lemah aku dibuatnya.

Mbak Yanti adalah Monica Belucci muda.

Tak sadar tanganku telah memulai aksi, mengelus-elus batang yang terasa makin kaku, masih dari luar celana.

Mataku terpejam. Fantasiku membumbung...

***

Membayangkan diriku menikmati Mbak Yanti. Tidak, kami akan saling menikmati.

Kulucuti pakaian nya satu-persatu.

Kupaksa mulutnya mengoral penis tegangku, kupaksa masuk, mentok. Biarkan saja ia tersedak, biarkan ia menderita. Saat penderitaannya memuncak, segera kuhempaskan tubuhnya di kasur. Kugagahi. Kasar, tempo tinggi, tanpa jeda. Payudara ranumnya tentu tak boleh terlewat, wajib kuremas kasar, lalu kukenyot tanpa ampun. Aku yakin arus kenikmatan turut ia rasakan. Arus yang akan menuntunnya ke alam lain, membuat mulutnya tak kuasa untuk turut campur, mendesah dan mengerang, mengeluarkan suara-suara erotis. Suara yang juga mengantar syahwatku ke level tertinggi.

Pun aku yakin, Mbak Yanti tak cukup puas dengan penetrasi ringan. Lubang pendamping di sebelah dalam, perlu pula kujelajahi, lubang anus. Kontolku yang telah licin akibat pelumas cinta milik si Embak, kupastikan lancar merobek lubang pantat itu. Akan kudorong kuat-kuat, memaksa Mbak Yanti berteriak. Teriak sakit, teriak nikmat, aku tak peduli, tak kuambil pusing. Akan kupenuhi liang dubur itu dengan kontol beruratku.

Hingga waktu itu tiba, tahap penghabisan. Mulutnya yang kujadikan korban pertama.

Cprotttt....cruutt...crooottt...crooot...crtooott....

Mulut binalnya kuwajibkan menampung spermaku yang muncrat, lalu menelan cairan kental itu.

Babak satu selesai. Tak ada jeda, babak kedua, ketiga, keempat, segera menyusul kemudian...

***

Aku kembali ke dunia nyata...

Celanaku sudah basah, tembus, rembes akibat kelakuan oknum tersangka yang bergelantungan di selangkangan.

Loh, eh. Loh, eh...

Aku ngecrot dari dalam celana!

Kuperiksa lubang intip itu, Mbak Yanti sudah tak tampak lagi. Sementara lubang pipisku basah luar biasa, puas tanpa izin.
 

-BAGIAN DUA-

Namaku Herman. Bapak rumah tangga. Di umurku yang sudah lewat tiga dasawarsa, tak banyak hal yang bisa kubagi dengan kalian. Hidupku lurus-lurus saja, cenderung monoton, tak terlalu banyak gejolak, tenang, adem ayem. Istriku, Mona, dua tahun lebih muda, adik kelas semasa kuliah dulu. Karier Mona cukup bagus, karier yang dia mulai sejak 6 tahun yang lalu. Titik mula kami tinggal di kota ini. Pendapatan dari tempatnya bekerja, lebih dari cukup. Mona seakan memang digariskan untuk kerja kantoran, tidak sepertiku. Garis nasib pula yang membawa kami tinggal di dua kota berbeda di 10 tahun terakhir. Kota pertama, kota pelabuhan di utara Jawa, tempat kerja Mona yang pertama, tempat pertama kami dipertemukan selepas tamat kuliah, tempat kami mengucapkan janji suci, juga kota tempat kelahiran Jefri. Tiga tahun lalu kami membuka lembar baru, memutuskan pindah ke tempat ini, mengikuti keinginan Mona.

Sesungguhya aku tak terlalu paham soal jenjang karier di bidang hukum, kantor tempat Mona bekerja sehari-hari. Tak pernah juga aku turut campur urusan kerjaannya. Aku hanya tau dia dipindah ke kota ini karena prestasinya yang lumayan menonjol. Tadinya karena prestasi itu, kukira Mona akan duduk di posisi yang lebih tinggi. Posisi yang membuatnya bisa mendistribusikan beban kerja ke anak buah, sehingga waktunya akan lebih banyak di rumah. Iya, aku berharap Mona bisa punya banyak waktu untuk Jefri, untukku. Kenyataan berkata lain, Mona selalu kembali ke rumah di atas jam delapan malam, kadang bahkan lebih. Pun semisal di rumah, waktunya habis di depan ponsel atau laptop, mengurus macam-macam hal yang tak kupahami. Mona yang perfeksionis, penyuka detail-detail kecil, berkeinginan kuat, teguh pendiriannya, kadang temperamental. Kadang, dan itu dulu. Kehadiran Jefri sedikit banyak mengurangi kadar emosi Mona yang dulu meledak-ledak. Karakter kuat itulah yang dulu membuatku jatuh cinta padanya. Hal yang tak kutemui di diriku.

Aku, tentu saja berbeda 180 derajat. Terlalu banyak sifat buruk malah. Pemalu, penyendiri, anak rumahan, plin-plan, suka menunda-nunda sesuatu. Hal terakhir adalah satu yang membuatku gagal berkarier kerja kantoran, sekian tahun yang lalu. Aku dipaksa mengundurkan diri waktu itu. Gara-garanya, laporan klien ke supervisorku, pria dari pulau barat Indonesia berperangai kasar yang tak segan main fisik, mengatakan bahwa aku beberapa kali tak tepat waktu saat temu janji. Bukan laporan pertama, laporan ke-sekian. Laporan yang kemudian sampai di meja pimpinan tertinggi, memberiku pilihan-pilihan sulit. Aku lalu memilih berhenti. Sudahlah, sudah kulupakan satu episode hidup waktu itu.

Kolom pekerjaan di KTP kini kutulis Wiraswasta. Pun aku tak paham benar makna wiraswasta itu. Nike, yang telah tinggal denganku sejak dia SMA, lebih suka menyebutku Pekerja Serabutan Komersial, PSK.

Kalau dipikir-pikir, yang kulakukan beberapa tahun terakhir memang mirip PSK. Aku dipanggil saat ada klien yang berminat dengan jasaku, jasa tulis-menulis. Segala macama tulisan. Profil perusahaan, artikel lintas-tema, laporan kerja praktik, skripsi, bahkan saat benar-benar butuh uang, job naskah lembar khutbah jumatpun kuembat. Aku mendeklarasikan diri sebagai penulis lepas. Saat kerjaan tuntas, aku dibayar, tak ada tarif khusus, sesuai kesepakatan saja. Saat klien puas, sesekali aku diberi tip. Tak ada tip yang lebih berharga selain ucapan "kerjanya bagus, sudah pasti RO". Nah kan...

Tentu saja pendapatanku tak pernah pasti. Beban finansial keluarga, Mona yang tanggung. Aku tak pernah keberatan untuk itu. Sadar diri lah, aku kalah kelas. Sudah cukup beruntung Mona tak menceraikanku, tak berani aku mengatur pilihan hidupnya. Aku tak peduli pula soal cap dan omongan tetangga sekitar. Sindiran pedas dari keluarga besar juga tak pernah kuhiraukan. Bodoamat. Toh aku tak pernah bikin mereka rugi.

Jika kalian penasaran dengan penampilanku, kupersilakan membayangkan sosok pelawak senior, Doyok. Seperti itulah aku. Satu yang beda, kumisku lebih tipis. Sementara istriku, kurasa tak beda jauh dengan Rina Nose, ya dengan frekuensi senyum yang ditekan hingga batas terrendah. Nike,..hmmm, untuk yang ini sulit aku mencari padanannya. Tak penting juga.

Tempat yang kudiami, komplek perumahan kecil di pinggiran kota. Hanya ada belasan rumah di sini. Desain antar rumah mirip-mirip, warna cat saja yang membedakan. Sebagian diisi keluarga kecil, sisanya berisi 'kaum kontraktor', mahasiswa dan pekerja musiman. Khusus rumah sebelahku, rumah yang ditinggali mbak Yanti, tak masuk kedua kategori di atas. Mbak Yanti tinggal sendiri, sesekali kulihat ada satu-dua tamu yang berkunjung. Tak pernah kupedulikan siapa. Aku berbaik sangka, itu keluarganya.

Gosip tentang Mbak Yanti sering kudengar. Perempuan cantik, tinggal sendiri, adalah topik bahasan wajib bagi bapak-bapak di tongkrongan poskamling. Ada gosip bahwa Mbak Yanti istri simpanan pejabat di kota itu. Ada pula kabar lain soal aktivitasnya sebagai anggota jamaah tertentu, semacam organisasi keagamaan. Kabar apapun, yang jelas Mbak Yanti memang jarang bergaul dengan warga sekitar. Beberapa kali, kami membawakan hantaran ke rumah Mbak Yanti, tak pernah sekalipun dibalas sesuatu. Hal yang aneh. Di tempat ini ada semacam tradisi, hantaran harus dibalas hantaran lain oleh sang penerima. Fakta bahwa Mbak Yang tidak menjalankan tradisi itu, seolah menegaskan ketertutupan sang wanita berhijab lebar dari dunia luar. Tak masalah buatku, beliau tak pernah buatku rugi juga.

Bagiku urusanku, bagimu urusanmu.

---


Pagiku hampir menyentuh jam 10. Kuistirahatkan punggungku di sofa lantai atas, dekat ruang kerja. Nyeri sudah agak berkurang tapi tetap saja mengganggu, terlebih saat bergerak. Fisikku memang tak terlalu prima, apalagi jika menyangkut urusan otot dan tulang. Mungkin karena jarang olahraga. Sejak kecil, aku memang punya kelainan. Kondisi tubuhku mudah sekali drop. Sudah tak terhitung berapa kali aku pingsan, di sembarang tempat. Kendaraan umum pernah. Kampus pernah. Lapangan badminton pernah. Di rumah pun pernah. Entah karena apa. Saat diperiksa di puskesmas dulu dokter jaga hanya bilang kalau aku kelelahan. Aku tak terlalu percaya analisa itu. Lelah itu obatnya tidur. Lha ini bukan tidur, setidaknya di fase-fase awal tak ada kemiripan dengan mekanisme tidur: Lelah-mengantuk-terlelap. Ini lebih kompleks. Biasanya dimulai dari pusing. Pusing sepusing-pusingnya. Kepala Berat. Fase ini membuat kesadaranku hilang, tapi tidak penuh, sebagian saja, on-off. Semacam batas antara sadar atau pingsan. Ingatanku kacau, kebingungan melanda, tak tau waktu, tak tau tempat, tak ingat orang-orang sekitar. Lalu gelap. Kegelapan yang dalam, mata terpejam, tapi suasana sekitar masih bisa kutangkap. Kadang berbekal kekuatan tersisa, aku masih bisa memaksa kesadaranku bangkit. Tapi tak lama, kembali gelap. Pingsan. Koma.

Puji syukur, beberapa waktu belakangan kejadian aneh itu tak lagi kualami. Terutama semenjak kami pindah ke kota ini. Aku berprasangka, prasangka ngasal saja, mungkin dulu aku kesurupan. Sekarang setannya tak berani datang, sebelahku akhwat cantik, yang hobi ngaji, setannya tak berani, minder dia.

Tanpa sadar, aku tertidur. Sensasi aneh, seram, tak berdaya, membuat irama detak jantungku naik. Irama yang kemudian membuatku spontan bangun. Kulirik jam dinding. Setengah jam aku tak sadar. Bekas iler tampak di bantal sofa. Iuuuh. Jijik aku.

Kulihat meja kerja di ruang sebelah, ruang yang hanya dibatasi sekat dinding pendek, banyak lubang, tanpa pintu. Laptopku, perkakas wajib untuk mnulis, masih menyala. Tampak dari lampu indikator yang berkedip. Mode istirahat. Sudah sejak malam tadi dia dalam mode itu. Ada satu job kolom obituari yang belum selesai. Boro-boro selesai, dimulai saja belum. Masih ada tiga hari dari tenggat waktu. Tak buru-buru juga, cukup waktu untuk mengejar. Masalahnya ideku tengah buntu. Ide adalah pena tertajam dari seorang penulis. Macetnya ide, adalah mimpi buruk. Terlebih, tak ada sumber inspirasi yang bisa kutemukan beberapa waktu belakangan.

Kupaksakan tubuhku beranjak, sekaligus menghindari bantal ber-iler di pojokan sofa. Masih ada sedikit nyeri di pinggang, bawah, dekat tulang ekor. Kuhela nafas sebentar, sembari terpejam, lalu lepas. Ritual singkat, mencoba rileks, semacam yoga ekspres, untuk melanjutkan aktivitas.

Aku sudah di depan laptop, duduk manis. Layar komputer itu masih mati. Kugerakkan tetikus nirkabel di sisi kanan.

BOOM!!!!

Gambar perempuan telanjang, tertayang memenuhi layar. Wanita Timur Tengah, telanjang, dalam pose menantang. Menampakkan lekuk tubuh dan payudara jumbo yang terpampang jelas. Hijab masih terpasang di kepala, membungkus raut wajah menggoda, minta dientot.

Buru-buru kututup gambar itu. Gambar yang semalam kudapat dari salah satu forum dalam jaringan terbatas. Belum sempat kututup malam tadi, keburu kantuk menyergap.

Masih dalam kaget, kucoba mengingat-ingat. Adakah yang sempat memergoki gambar itu?

Sekian detik terlewat. Kuyakinkan diri, aman kurasa. Toh semisal dilihat Mona atau Nike, mereka sudah dewasa, pastinya paham aku lelaki biasa. Anakku kuyakin tak tertarik urusan laptop di meja kerja. Pun semalam seingatku dia sudar tidur awal, kelelahan akibat sekolah fullday. Aman sudah. Semoga.

Kuperiksa HP di samping laptop. Tak ada pesan dari ketiga orang suspek tadi. Malah kutemui pesan dari orang yang kuduga, pesan dari Mbak Yanti. Kubaca isi pesan dengan teliti, dia kembali menawarkan bantuan.

"Saya ada obat gosok pak, mau? Insyaalloh mujarab. Saya taruh di pagar depan ya, dekat kotak jimpitan. Sekalian nitip rumah ya pak. Saya tinggal sebentar, sampai sore. Terima kasih"

Pak? Dia memanggilku dengan 'pak'??

Tadi salah panggil nama, sekarang panggilanku pun ngaco. Aku masih muda atuh Neng, lebih muda dari anda!

Kuperiksa waktu pesan itu masuk. Sekitar seperempat jam yang lalu, saat aku tidur. Aku kemudian beranalisis. Sepertinya tadi sempat kudengar suara panggilan dari depan rumah. Iyakah? Iya atau tidak, tak terlalu yakin sebenarnya. Pun semisal iya, rasanya rugi besar aku. Misal memang Mbak Yanti yang tadi memanggil di depan rumahku. Misal aku bisa menemuinya. Bisa menyapa, melihat wajahnya yang cantik itu, walau peluang pun masih fithy-fithy, ada kemungkinan dia memakai cadar. Tapi tentu kesempatan langka bisa bercakap langsung dengan wanita yang jadi fantasiku itu. Ah seandainya...

Lalu angan perandaianku tak terbendung. Mengawang...

***
Akan kutawari minum perempuan itu. Mempersilakannya masuk ke rumahku. Rumah yang akan kubuat senyaman mungkin untuknya. Kurasa ia tak akan keberatan mampir sebentar. Mungkin akan kutawari kue-kue kecil, oleh-oleh perjalanan dinas Mona minggu lalu.

Atau mungkin perlu sedikit trik. Kuceritakan bahwa ada rembesan dari talang air di belakang rumahnya yang mengotori dindingku. Kurasa ia pasti merasa bersalah. Kuajak sang perempuan memeriksa langsung kebocoran itu, di lantai atas, lantai yang lebih kedap suara, tempat yang tersembunyi dari luar. Kubawa ia ke ruang jemur. Tempat di mana rembesan itu tampak jelas, rembesan yang sesungguhnya tak pernah ada. Modus ya ukhti.

Dia lalu sadar bahwa tak ada rembesan yang dimaksud. Inilah waktunya.

Kudorong ia kedinding. Kutahan kedua tangannya agar tak macam-macam. Kuciumi bibir, muka, leher, kuping.

Ouuuggghh.. aku yakin tenaganya cukup untuk melawan, tapi tak pernah cukup untuk menang. Di situasi ini, menyerah adalah pilihan paling logis.

"Tenang sayang, kita senang-senang, bersama" kataku, meyakinkannya.

Aku tak peduli reaksi apa yang diberikannya. Kupastikan semua kain di tubuhnya tak ada yang tersisa. Akan kubuat tubuh itu telanjang, seratus persen. Oh yes baby...

Pemandangan surgawi yang mengantar kontolku berdiri. Saatnya beraksi.

Kujelajahi tubuh indah itu, inchi demi inchi. Atas-bawah. Kiri-kanan. Depan-belakang. Setiap jengkal permukaan kulit lembut, beraroma wangi bunga, bercampur keringat, aroma alami. Tentu menambah syahdu pergumulan nanti.

Bongkahan daging kenyal menunggu. Kuremas pelan...

Pelan...

Pelan...

Lalu menjurus kasar...

Sekuat tenaga.

Kuhisap kedua puting yang mengeras, bergantian, kiri-kanan. Membal. Tanda birahinya turut terpancing.

Jariku mulai mengetuk pintu lubang surga di bawah. Liang nikmat yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Becek sudah. Jari-jariku lancar saja menjajah goa itu. Hangat, basah, ada sedikti sensasi jepit. Kurasa birahinya makin menjadi.

Desahan-desahan mulai kudengar. Desah manja. Tak kuasa menahan sensasi geli yang kuberi.

"Aaaaaah.... hhmmmm.... i yaaahhhhh..... aaawwww.... ssssshhh.... oooougghh.... aaaah... aaasshhhhh... uuuhhh...."

Desahan yang membuat kontolku ngaceng luar biasa.

Perempuan spesial, desahan spesial, tubuh spesial, tentu butuh perlakuan spesial. Ide spesial pun hadir.

Kudorong tubuh Mbak Yanti, kubanting ke lantai yang masih sedikit basah. Bantingan yang tentu membuatnya kehilangan kontrol tubuhnya. Segera kuposisikan nungging. Kuangkat pantat itu tinggi-tinggi, sementara wajah berikut tubuh bagian atas masih terkulai di lantai basah.

Lubang anusnya yang akan jadi korban pertama. Bukan meki, bukan mulut.

Segera kubasahi kontol menjulangku. Air liurku kucampur dengan cairan kemaluan Yanti, adalah pelumas satu-satunya yang tersedia. Lebih dari cukup kurasa.

Anus Mbak Yanti masih rapat.

Kucoba bersopan santun. Berkenalan lewat mediasi jari tengahku. Jari yang juga kulumuri cairan senggama dari memeknya yang membanjir.

Bless..

Satu jariku amblas. Tak sulit ternyata.

Beberapa saat kucoba memindai area goa sempit itu. Jari tengah bermanuver, maju mundur, membuka jalan bagi snag pusaka. Cukup, tak mau lama-lama.

Kontol kuarahkan ke bibir goa telarang itu. Geli saat ujungnya menyentuh dinding terluar anus.

Pelan-pelan kudorong kontolku masuk. Keset. Mirip karet. Birahi kembali berkobar, kupaksa masuk kontolku yang lapar.

"OOOOoooooohhhhhhhh...... SAKIIIIITTTTT........," Teriakan Mbak Yanti tak tertahan. Tubuhnya bereaksi, berusaha lepas dari bahaya.

Usaha yang tentu saja sia-sia. Pantat dan pinggangnya telah kucengkeram kuat-kuat. Gerakan Mbak Yanti justru membuat kontolku makin menjadi, menemukan posisi ternyaman di lubang pantatnya yang tak terjamah sebelumnya.

Oooohhhhhhh.... nikmat....

Kenikmatan surgawi yang belum pernah kuraih sebelum-sebelumnya. Tak cukup keberanianku untuk melakukan hal itu ke Mona. Hari ini justru kulakukan dengan tetanggaku, pujaanku. Kusodomi perempuan ini, perempuan yang tak sanggup melawan kuasaku. Aku menang.

Kucoba menjelajah lubang itu. Kugerakkan maju-mundur. Sesekali kutambahi variasi, menggoyang kiri kanan, atas bawah. Reaksi tubuh Mbak Yanti sungguh tak wajar. Seperti kehilangan nyawa, tak ada daya, menyisakan sedikit tenaga untuk bertahan, bertumpu di kedua lututnya, sementara bagian tubuh lain lunglai. Macam mayat hidup.

Desahan Mbak Yanti tak kalah aneh. Lirih, pedih, memelas, tapi juga seksi, juga binal. Binal bagiku. Membuat hari itu makin panas. Birahiku mendidih.

Kurasa Mbak Yanti tengah mati rasa. Ah, tak kupedulikan. Terus saja sodokan-sodokan amoral itu kulancarkan.

Sensasinya sungguh luar biasa. Tak banyak pelumas yang keluar dari lubang itu. Dinding anus dan kulit kontolku bergesekan, menggila. Kontolku kepanasan. Makin lama makin panas.

Aku tak tahan.

Kulepas yang pusaka. Bergegas kuarahkan ke mulut lonte betina itu. Pasrah saja dia.

Mbak Yanti masih setengah sadar. Kupaksa mengulum kontolku yang belum terpuaskan. Wajah ayunya masih menggoda, walaupun mimik mukanya sungguh memelas. Kupenuhi mulut Mbak Yanti yang ranum itu dengan kontol. Seluruh batang berhasil masuk.

Hangat, lembut, basah.

"Hisap sayang, sedot" perintahku.

Tak ada respon dari Mbak Yanti. Air matanya kembali menetes.

Tak ada drama, tak ada belas kasihan. Aku ingin dipuaskan. Kumainkan kontolku di mulut si jalang. Kukocok dengan irama kasar. Tak kupedulikan giginya yang turut menggesek, biar saja. Sesekali sambil kuremas susu yang menantang itu, juga rambut lebat-pirang-wanginya yang berurai tak beraturan. Kuperkosa mulut wanita cantik itu.

Sensasi geli makin menjadi. Aku akan klimaks tak lama lagi. Kupercepat kocokanku.

"Telan pejuku ya..."

Crooot....crot...crooottt...crooottt....

"OOOuuuggghhh aaaajhhhhhhh...ssssshhh...." Eranganku datang, mengiringi muntahan lahar sperma di rongga mulut Mbak Yanti. Mulut itu betul-betul penuh cairan cintaku.

Kutahan kontolku di situ, memaksa mulutnya membuka jalan bagi pejuku yang membanjir.

Lama kutahan posisi itu. Sebagian sperma tampaknya telah menemui lambung Yanti. Sebagian lain tertahan di mulut, sisanya menemukan jalan keluar, menetes lewat celah-celah bibir.

Segera kutarik kontolku yang berkilauan akibat main becek-becekan...
***

Suara seseorang dari bawah, mengagetkanku. Membawaku kembali ke realita. Sayang, fantasiku belum tuntas. Kulirik selangkangan, aman. Tak ada basah-basah. Tragedi crot di celana seperti yang kualami dulu, tak kejadian.

"Pakeeeetttt...."

Suara dari lantai bawah kembali kudengar. Sembari menenangkan diri, kutemui petugas di pagar depan.

Pria yang kutemui itu berseragam. Standar kurir yang biasa kutemui. Kuamati betul-betul sang petugas. Aku merasa familiar, tapi ingatanku belum benar-benar kembali dari fantasi tadi.

Kurir itu berusia lanjut, mungkin 50 tahun. Ah tidak, sepertinya lebih, 60an. Matanya coklat, sama sepertiku. Hidung mancung. Kulit gelap, badan agak gempal, berjambang. Rambutnya tampak beruban, tampak dari sela-sela di bawah topinya. Pun jambangnya telah memutih. Mengendarai motor tua, motor legendaris dari pabrikan jepang, mirip motor yang kupakai saat mudaku dulu. Hal yang membuatku tersenyum.

"Motornya mirip sama punya saya pak," pandanganku masih tertuju pada motor yang terparkir itu.

"Iya mas, motor kredit itu. Barang second. Motor perjuangan," jawab Si Bapak.

Entah kenapa, kalimat Si Bapak membuat perasaanku dipenuhi energi aneh. Emosi. Kebahagiaan. Aura positif. Hangat sekali.

Kurir itu masih memandangku dengan tersenyum. Senyuman yang juga hangat, seakan kami sudah kenal lama. Posisi kami masih dibatasi pagar besi.

Satu kotak ukuran sedang, seukuran dus telepon pintar, diberikannya padaku. Paket itu kuterima. Kupikir pasti barang pesanan belanja online Mona.

"Mohon maaf, saya titipkan paket itu. Untuk...." Si Kurir melihat kembali buku kecil yang dia bawa. "Untuk Bu Yanti"

"Oooh Bu Yanti rumahnya yang sebelah pak. Tapi beliau sedang keluar. Tak masalah, nanti saya yang ngurus," kataku. Kembali kulihat sekilas paket itu. Ada tulisan tentang isi paket: Kosmetik. "Silakan ditulis, saya yang menerima, Herman"

Si Bapak kembali tersenyum. Tatapan yang hangat, lagi-lagi. Seperti ada aura persaudaraan. Mungkin memang tipikal manusia yang hangat, terlebih di usia sepertinya, usia kenyang pengalaman hidup. Kesan bijaksana dan bertanggungjawab. Sosok kepala keluarga yang tangguh pastinya.

"Baik, terima kasih," ucapnya sembari menulis di buku kecil itu. "Sehat-sehat ya, Man" lanjutnya menutup percakapan kami, untuk kemudian berpamitan. Meninggalkanku yang masih meresapi makna pertemuan tadi.

Dia memanggilku 'Man'. Tak banyak orang yang memanggilku dengan panggilan itu. Beberapa keluarga dekat saja. Pun tanpa embel-embel Mas atau Pak. Semacam panggilan akrab antar teman. Senyum akibat aura positif persaudaraan yang tadi kurasakan, tak sadar kembali mengembang, untukku sendiri. Semoga beliau, kurir tanpa nama itu, juga tetap sehat. Kembali kupastikan kotak paket yang kugenggam.

Ya, ada tulisan Yanti, berikut alamat dan nomor telepon. Nomor yang tak terlalu penting, toh aku tak pernah hafal rangkaian bilangan seperti itu. Wangi dari kotak itu cukup bisa kurasakan, samar. Aku menduga-duga, berisi parfum. Kupastikan wangi itu, dengan mendekatkan hidung ke paket di tanganku. Iya, wangi lavender. Mbak Yanti tampaknya pengguna parfum lavender.

Bayangan mesum hadir kembali. Berimajinasi tentang persetubuhan liar dan binal kami dalam aroma lavender. Kali ini tak kulayani imaji itu. Masih ada pekerjaan yang harus mulai kugarap. Bergegas kuarahkan langkah ke arah tangga besi.

Kutengok meja makan di samping tangga itu. Aku lapar, belum sempat sarapan. Di atas meja hanya tersisa piring kosong. Baru kuingat, roti sarapanku tadi diembat Nike. Anak setan memang. Terpaksa kulanjutkan langkah menuju lantai dua, ruang kerja, dengan perut nyaris kosong.
 
Terakhir diubah:

-BAGIAN TIGA-

.

..

...

Kepalaku berat.

Pusing hebat.

Seperti ditusuk-tusuk.

Tubuhku lemas, tak ada daya.

Kupaksakan mataku terbuka. Harus kubuka. Sekarang!

Berhasil.

Tapi ini di mana?

Gelap. Hanya sedikit bias-bias cahaya.

Punggung nyeri. Dingin di permukaan. Panas di dalam. Sakit sekali, sulit bergerak.

Aku bersikeras mengingat. Pikiranku kuperas betul.

Posisiku terbaring di lantai. Aku mengenali tempat ini. Ini rumahku lantai dua.

Pusing itu datang lagi.

Suara berisik di bawah, memperkeruh pikiran. Ingatanku datang dan pergi.

Aku yakin suara berisik dari lantai bawah, dari meteran listrik. Ah, tentu saja, belum sempat kuisi tadi. Kurasa tempat ini gelap karena ulahku sendiri, karena tak dapat pasokan listik.

Mataku berusaha mencari pentunjuk lain. Posisiku ini tampaknya di tengah ruangan. Beberapa sudut ruangan, walaupun remang-remang, masih bisa kukenali. Kulihat cahaya dari jam digital di meja kerjaku. Lama kuperhatikan, berusaha membaca angka yang ditampilkan.

07.45 PM.

Malam hari. Ini sudah malam ternyata.

Aku tertidurkah tadi? Pingsan? Ah, Ingatanku macet, buntu.

Justru ingatan-ingatan masa lalu yang datang. Tentang masa kecilku, tentang Ibu-Bapak. Tentang masa sekolah di kampung. Lalu ingatan tentang Mona.

Ah iya dimana dia? Jefri, dimana pula dia?

Ingatanku datang lagi. Membawaku kembali ke saat sekarang.

Mona dan Jefri pulang malam, seperti senin-senin sebelumnya. Tapi biasanya jam segini sudah di rumah.

Aaaahh, sakit itu datang kembali.

Kepalaku... sakit sekali...

Kudengar suara perempuan. Tidak jauh. Dari tempat ini juga. Di belakangku, makin dekat, seiring suara langkah kaki mendekat.

"Mas Herman... Bangun... Ayuk...,"

Suara siapa ya? Familiar. Mbak Yanti? Mona?

Sosok itu mendekat.

Wanginya kukenal, ingatanku masih menjangkau aroma itu. Wangi Lavender. Parfum Lavender. Wangi yang sama seperti siang tadi. Aaaah, Mbak Yanti?

Tangan wanita itu memapahku, memaksaku bangkit dari lantai dingin. Gelap, tak bisa kulihat wajahnya. Tapi sentuhannya lembut, mulus, sensasi kulit yang terawat sempurna.

Kulit?

Sensasi kulit?

Tubuh kami tak berbusana!

Tidak, aku masih bercelana dalam. Tapi wanita di sisiku ini, aku yakin dia telanjang.

Badanku dipapahnya. Dibawa ke arah kamar. Kamar satu-satunya di lantai itu.

Wangi lavender memenuhi pikiranku. Ingatanku datang dan pergi, seolah bergantian dengan datang dan perginya rasa sakit-pusing-menusuk yang kurasakan. Pun mataku berat, tak bisa kubuka lebar-lebar. Cilaka.

Apa yang terjadi sebenarnya?

Pingsan?

Lalu tanpa busana?

Belum sempat mendapat jawaban, tubuhku kini telah terbaring di ranjang. Masih dalam kondisi pusing yang amat sangat.

Pandanganku masih belum pulih. Hanya siluet perempuan yang bisa kulihat. Tubuh ideal, seksi, akan lebih indah saat pandanganku tak lagi kabur. Bentuk payudaranya sungguh menggoda. Kencang, besar.

"Kamu tau mas? aku menginginkanmu sejak lama. Aku tau mas juga menginginkan itu. Mari kita akui saja. Tak perlu dusta. Malam ini kamu milikku, dan aku milikmu. Hanya kamu dan aku. Malam ini aku akan melayani Mas, apapun yang mas mau..."

Kaget. Syok berat.

Melayani?

Melayani syahwatku?

Itu yang dia maksud tadi?

Darimana dia tau keinginan terpendamku?

Dia bisa baca pikiran?

Nenek sihir?

Benar, kehidupan ranjangku tak pernah sempurna. Mona tak bisa memberiku kepuasan sejati, kami tak pernah sampai di titik di mana semua laki-laki ingin mencapainya. Dia istriku, tapi bukan pasanganku.

Aku pria lemah, begitulah, harus kuakui, tapi aku tetaplah seorang pria. Pria dengan kebutuhan yang tak pernah tercukupi. Kesempatan mendapat layanan dari wanita dewasa yang selalu jadi bahan fantasiku, tentu tak akan kusia-siakan. Sekali ini saja, akan kucukupi kebutuhanku sendiri. Tidak benar-benar sendiri, Mbak Yanti, sang bidadari, yang akan menemani.

Oh Tuhan, aku sungguh tak mengerti apa yang tengah terjadi. Apapun, momen ini akan aku nikmati. Kesempatan sekali seumur hidup.

Rasa kaget akibat kata-kata dari wanita itu tak juga hilang. Efeknya sedemikian kuat. Membuatku seolah berpindah dimensi. Seakan melemparku ke ruang gelap yang tak pernah kumasuki. Tempat yang penuh misteri. Serangan sakit di kepala menggangguku, tepat saat tangan lembutnya menarik celana dalam, kain terakhir yang kukenakan.

Sreeetttt....

Mudah saja kain tupis itu tertanggal.

Kini aku telanjang bulat.

Kurasakan penis di selangkangan telah bangkit. Terpengaruh siluet dan kata-kata dari sang wanita.

Wanita itu menggenggamnya, mengocok perlahan, lalu... hangat... basah... lembut....

Ooooohhhh....yessss.....

Kontolku masuk mulut.

Sang wanita mengulum batang itu. Penisku yang kaku amblas dalam mulutnya. Aku menggelinjang, geli. Nikmat ini... Aku sulit menggambarkan. Indah. Enak. Nikmat. Bahagia. Puas. Merdeka. Bebas. Menang... Bercampur sedemikian rupa.

Mulut nakal itu bermain dengan kontolku. Membuatnya tegang mengacung. Semua bagian dilumat, setiap inci, setiap sudut. Lubang penisku mengeluarkan semacam cairan bening. Segera saja lidah basah itu menyapu, disusul kuluman yang legit, menjepit dengan daya yang pas, tidak kuat, tidak lemah. Permainan pro.

Perasaanku aneh. Sakit di kepala, punggung, badan juga sulit bergerak. Tapi selangkanganku tengah diservis total. Gila.

Apa yang terjadi?

Mimpi?

Tidak, ini nyata.

Kepala perempuan itu coba kuraih. Iya, nyata. Rambutnya kurasakan betul. Lembut, sedikit bergelombang. Wangi. Hanya sensasi wangi yang bisa kujadikan acuan, menemani kami bersenggama.

"Oooooohh.... Iya.... Mbak Yanti....Iya....Yessss....di situ iyaaaaahh.....jilat sayang.... hisap Mbak Yanti....," Aku meracau, desahan dan erangan tak terhindar.

Wanita itu melepaskan si burung dari mulutnya. Tangannya masih menahan pangkal kontol.

"No, Jangan 'Mbak'... Panggil Yanti saja. YANTI... atau mmmm.... SAYANG. Sayang boleh juga," katanya.

Ah iya, tak perlu sungkan lagi. Ini percintaan orang dewasa. Percintaan dalam gelap. Dalam ruang rahasia. Ini Perselingkuhan. Tak ada hierarki dan kekhawatiran tentang status di sini. Tak perlu sopan-santun. Kepuasanlah yang dikejar. Nafsulah yang berkuasa.

"Iyaaa....sayang, sedotin yah. Sudah mau keluar. Hisap semua pejuku," aku masuk permainan, seutuhnya.

"Hemmmm.... hmmmmm...."

Hanya itu balasan Yanti. Mulutnya sudah kembali disibukkan dengan mengemut batang beruratku.

Aku benar-benar berusaha menikmati momen-momen itu. Aku tak menyangka bisa bercinta dengan perempuan yang selalu kubayangkan di mimpi dan imajinasi. Surga akan kujajaki.

Ooohh, Tuhan...

Lagi, pusing itu datang lagi, lebih hebat dari sebelumnya.

Apa yang kurasakan adalah kekacauan yang sebenar-benarnya.

Birahiku memuncak. Pun rasa sakit yang menyertai. Sama-sama menuju klimaks.

"Aku mau keluar sayang,... telan semua pejuku... jangan ada sisa... " Di tengah penderitaan, masih sempat kuberikan perintah untuk perempuan jalang itu.

Sekian detik berlalu. Klimaks itu datang.

Cruut... croootttt... cccccroootttt... crottttt....crit....

"Oooogggghhhh...."

Aku berteriak, mengerang sekeras-kerasnya. Kutumpahkan spermaku di mulut sang pelacur. Muncrat dalam mulutnya yang hangat dan lembut itu. Puas. Aku puas. Aku sampai di puncak. Puncak kenikmatan. Juga puncak derita. Kepalaku makin berat.

Mataku juga kembali berat, tak ada lagi kekuatan untuk terbuka.

Suara-suara menghilang...

Lalu gelap...

Gelap dan dalam...

---


Aku kembali sadar, kepalaku masih saja berat, berputar-putar.

Namun, ada rasa lain yang lebih dominan. Rasa geli di selangkangan. Ada pula beban berat kurasakan di sana. Juga hangat.

Kubuka kedua mataku, perlahan. Mengintip.

Pemandangan indah itu terpampang nyata.

Tubuh Yanti tengah menunggangiku. Bergoyang dalam posisi Woman On Top. Posisi favoritku saat bercinta.

Oh My…..

Penisku tegang berdiri. Keluar-masuk di liang kenikmatan.

Cplookkk....clokkk....clokkk.....clekkkk....jlookkkk...clokkkk....

Suara indah pesenggamaan. Interaksi dalam ruang basah.

Daging basah yang seakan menyedot masuk seluruh batang itu, melumurinya dengan pelumas alami. Membuatnya sang pusaka tegang tak ketulungan. Kenikmatan yang diidamkan semua pria. Rasa nikmat itu menjalar hingga seluruh tubuh. Mengisi setiap bagian, jiwa dan raga. Ujung jari kaki hingga ubun-ubun.

Siksaan yang seolah mengkompensasi kesakitan hebat yang kualami. Keduanya berkolaborasi, kait bertaut, bergantian, kadang saling mengisi, kadang melemahkan satu sama lain. Sungguh sensasi yang memabukkan.

Mabuk.

Apakah aku tengah mabuk?

Ataukah ini hanya mimpi, mimpi buruk? Tidak, tidak.

Jikapun demikian, ini adalah seburuk-buruk mimpi, juga seindah-indah mimpi.

Tapi sensasi ini nyata. Kenikmatannya nyata. Sentuhannya nyata. Desahan perempuan yang tengah bergoyang itu juga nyata.

"Ooooouugghhhh.... acccchhh..... hmmmmm....ssssshhhh... awwwww ahhhhh..... Aku suka kontolmu sayang. Aku suka... Ahhhhh," desahan erotis memenuhi seisi ruangan, membawa kami ke alam lain. Alam sunyi yang dipenuhi cahaya terang. Padang rumput yang dihiasi bunga-bunga, dominan warna ungu, bunga Lavender. Aromanya kuat. Kami seakan berada di bawah pohon besar, pohon yang menaungi dari panas matahari. Angin semilir berhembus, dari segala arah. Angin yang mengiringi gerakan tubuh kami yang tengah meniti tangga kenikmatan, berburu kepuasan syahwati. Semua seperti gerakan lambat.

Kurasa pertahanku sudah mencapai batas. Aku akan menjangkau puncak, sebentar lagi.

"Aku mau keluar, sayang," kataku.

"NO!!" kata sang perempuan. Dia hentikan gerakan erotis untuk kontolku yang nyaris muntah. Entah reaksi kaget, atau reaksi kecewa. Yang jelas, itu reaksi tak wajar. Reaksi aneh yang entah mengapa, membuat perjalanan ke puncak birahiku turut terhenti.

Dikeluarkan batang basah itu dari mekinya yang sedemikian basah. Tak bisa kulihat jelas, mataku masih berat untuk membuka. Siluet gerakan itu dapat kubaca. Perempuan itu memosisikan tubuhnya, setengah sujud. Tangannya menggenggam kontolku, menyingkirkan cairan dari tubuhnya yang menempel di sekujur batang.

Happpp...

Batang itu masuk ke mulutnya yang hangat, cenderung panas. Sedikit ada sensasi dingin dan basah dari lidahnya, tapi aura panas yang lebih kurasakan.

Sensasi tak lazim tiba-tiba hadir. Aku merasa kebas, mati rasa. Tersisa perasaan kaku di kontolku, tapi tak ada rasa geli.

Oh Tuhan, apa yang sedang kualami?

Sang wanita bergeser, merubah posisi. Kontolku yang basah akibat cairan dari mulutnya, masih ia genggam, kali ini tidak dengan mulut. Kembali kurasakan berat tubuhnya di sekitar paha. Dia menunggangiku kembali, dalam posisi terbalik, membelakangi.

"Mulut sudah. Memek sudah. Satu lubang terakhir, harus mas ladeni" ucapnya. Suaranya manja, suara singa betina yang lapar, perintah tanpa opsi tolak.

Menyodomi Mbak Yanti? Oooohh, ini semakin liar. It's getting better, and better...

Kontolku ditatanya, tepat di bawah lubang terakhir.

Blessss...

Masuk.....

Penisku masuk...

Lancar saja...

Sensasi mati rasa perlahan sirna. Berganti sensasi jepitan yang mengempot dengan ritme sempurna, irama yang menghanyutkan. Aku hanyut dalam permainan sang lonte. Pantatnya naik turun, mencengkeram batang beruratku dengan tempo yang terjaga.

"Aaaahhhh....uuugghhh....aaccjhhhhh...iya sayang,.. kontol besarmu.... menusuk.... oogg... aaawwwhhh..." Desahan dan erangan itu memompa birahiku seketika, naik dalam akselerasi maksimum. Mendidih darahku dibuatnya. Syahwat memuncak.

Aku tak berdaya dalam posisi terlentang. Wanita penggoda, bergoyang di atasku.

Aduh tak kuat aku, tak kuasa.

Sensasi geli benar-benar tak terkendali. Sebentar lagi klimaks.

"Sayang...aku keluar..."

Dalam gerak cepat, si wanita melepaskan rudal itu dari lubang anus. Kontol tegang dan setengah basah itu tak dibiarkan berlama-lama dalam udara terbuka. Mulut nakalnya langsung mencaploknya.

Ah sudah gila ini perempuan, dia hendak menyedot sari-sari kehidupanku!!!

Crooottt.... cprotttt.....cruuutttt....crooott....crooooot.......

Semprotan kepuasan memenuhi mulutnya. Banyak, terlalu banyak baginya. Memenuhi, bahkan membanjiri. Sebagian tak bisa tertampung, meleleh, jatuh ke tubuhku, sekitar selangkangan tentu saja. Aku dengar suara saat cairan itu tertelan. Seperti suara orang minum.

Tak berhenti di situ. Lelehan spermaku yang tercecer tak luput dari penghabisan, dijilat dan dihisap, dibersihkan bak gerak ikan sapu-sapu. Aku melayang dibuatnya. Makin melayang saat mulut dengan daya hisap super itu kembali mengulum kontol yang masih setengah berdiri, menghisapnya kuat-kuat. Menyedot setiap tetes peju yang tersisa. Jiwaku turut tersedot, seiring rasa sakit yang memuncak. Tusukan di kepala tak lagi kuasa kuatasi. Pun sakit di punggung, menjalar naik-turun di bagian belakang tubuhku, memusat ke atas, kepala belakang.

Jiwaku terlempar ke tempat penuh cahaya. Alam terbuka, dengan lokasi dan suasana yang sama persis seperti kualamai sekian menit yang lalu. Kali ini dengan sensasi yang tak asing. Bau tanah dan rumput basah, mirip suasana kampung masa kecilku. Dari sekitar, suara gemericik air datang dari berbagai penjuru, menenangkan. Aku masih duduk berselonjor, terpejam di bawah pohon rindang, pohon besar. Daya tenaga nyaris tak ada, seakan habis akibat tidur lelap berkepanjangan. Pelan-pelan kupaksa mataku terbuka. Ada seorang pria tua duduk di sampingku, menemani. Berseragam. Seragam kurir, pengantar paket. Lengkap dengan tas selempang, buku kecil, dan topi. Topi yang menutupi uban yang sedemikian lebat. Uban yang juga menghiasi sisi-sisi lain di wajahnya. Kulitnya hitam, gelap, terbakar matahari. Senyuman itu, senyuman ramah dan penuh aura persahabatan.

"Apa kabar, Man?" tanya sang pria tua.

Aku berpikir sejenak. Puji syukur, tak ada lagi rasa sakit di sekujur badan. Kepala tak lagi berat, pusing lenyap. Semua terasa ringan. Aku seperti bangun tidur.

Tiba-tiba senyumku mengembang, datang begitu saja. Kembali kupejamkan mata, menikmati momen pertama ini.

"Ayah..." ucapku.

...

..

.


20 Tahun Kemudian.

Besok aku akan menikah di kota ini. Kota yang telah kutinggalkan sejak masa kuliah. Suratan takdir membawaku kembali ke sini, berjodoh dengan wanita muda, warga kota ini. Di tanganku, selembar kertas tebal tengah kugenggam, undangan pernikahanku. Di halaman belakang kertas itu, tertulis nama dua manusia agung yang amat kucintai, orang-orang spesial, juga kuhormati kujunjung dalam posisi tertinggi. Mamaku, Ramona Damayanti, yang tampaknya enggan menemani anaknya ini berkeliling kota, pun tampak tak sudi bernostalgia dengan tempat ini. Di samping nama Mama, tentu ada nama Papa, Hermansyah.

Kembali ke tempat ini selalu menyisakan perasaan aneh. Penuh kenangan masa kanak-kanak, juga memori tentang rasa sakit yang mendalam. Rumah ini begitu familiar untukku. Rumah dua lantai, saksi masa kecilku. Masih bisa kurasakan hangat pelukan Mama, juga Papa. Ya, terutama Papa. Sosok yang kini tak lagi bersamaku.

Dua puluh tahun yang lalu, aku berpamitan dengan Papa. Itulah terakhir kami berjumpa. Momen yang masih kuingat jelas, seakan baru kemarin. Pagi hari itu, bulan Agustus, hari senin, terakhir kalinya senyum hangat Papa melepasku berangkat sekolah. Aku yang masih berumur tujuh tahun menganggap senyuman itu sebagai rutinitas biasa. Namun, Tuhan ternyata selalu punya kejutan.

Tetangga sebelah rumahku dulu, Budhe Yanti, menemukan tubuh Papa tergeletak di lantai dua, di ruang jemur, sekitar jam 10 pagi. Papa dalam kondisi tak sadar. Budhe sempat memanggil dokter dari layanan darurat. Sayangnya semua sudah terlambat, Tuhan telah berkehendak, nyawa Papa tak tertolong. Kata dokter, akibat serangan jantung, mungkin kelelahan akibat lembur malam sebelumnya.

Kuhela nafas dalam-dalam, kulepas perlahan, mengatur ritme, berusaha rileks, itu salah satu ajaran Papa. Tak selalu berhasil. Kadang percuma. Kali ini pun berakhir dengan kesia-siaan.

Air mataku menetes tak tertahan.

Tangisan pecah.
 
Terakhir diubah:
Luar biasa bagus suhu...sensasinya kayak nonton Mullholand Drive....harus di baca berulang ulang ini. Sangek nya dapet, maen idea nya yg belum. Kudu baca ulang lagi....congratz suhu.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd