Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG KIDUNG SANDHYAKALA

Status
Please reply by conversation.
BAGIAN 3
KETIKA MALAM BELUM BERAKHIR





Banyu Langit dan Anom Kinasih memasuki kota Kadipaten Paku Sentono saat malam telah tiba dan sunyi menjelang, sehingga tidak banyak kegiatan warga yang mereka temui karena pasar rakyat pun telah tutup. Keramaian sekilas hanya dapat dijumpai di sekitar kedai minum yang buka hingga malam tiba di mana gelak tawa masih terdengar dan sinaran cahaya masih terbias pendar. Kunang-kunang bermain berkejaran di gelapnya malam, sunyi membentang, sendu membayang.

Beberapa orang prajurit penjaga kadipaten yang berjaga di depan gerbang masuk Joglo Kadipaten Paku Sentono menyambut kehadiran kedua pendekar dari Perguruan Seribu Angin setelah keduanya mengistirahatkan kuda mereka. Salah seorang prajurit mendekati Banyu Langit.

“Siapa kalian? Mau apa datang malam-malam?”

“Salam sejahtera. Kami utusan dari Perguruan Seribu Angin yang datang untuk menemui Kanjeng Adipati Paku Sentono atas perintah dari guru kami, Eyang Pendekar Angin Sakti.” Kaya Banyu Langit memperkenalkan diri, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam buntalan yang ia bawa. Sebuah patok kayu berukir berukuran kecil, sebuah pralambang keluaran Kadipaten Paku Sentono yang memastikan bahwa pembawa patok adalah seorang yang dapat dipercaya.

Menerima patok itu, sang prajurit berpandang-pandangan dengan temannya. Sang teman prajurit penjaga mengangguk menandakan bahwa patok tersebut asli.

“Mohon maaf, Pendekar. Bukannya kami tidak ingin menerima pendekar berdua. Tapi saat ini malam sudah larut dan tentunya Kanjeng Adipati sudah istirahat di peraduan, kami tidak berani mengganggu beliau. Sudi kiranya pendekar berdua datang kembali esok saat mentari sudah terbit.”

“Begitu ya.” kecewa terbias di gurat wajah Banyu Langit. “Kapan kiranya besok pagi kami harus datang?”

“Berita ini sangat-sangat penting. Apakah tidak bisa kami menyampaikannya sekarang?” Anom Kinasih tidak sabar. “Kami berkuda tanpa lelah karena harus menyampaikan ini dengan segera.”

“Sekali lagi, bukan kami bermaksud tidak hormat, tapi Kanjeng Adipati tentunya telah sare, sudah tidur. Tidak pantas rasanya kami membangunkan beliau jika keadaannya benar-benar genting.”

Anom menarik napas panjang. Sepertinya tidak mungkin malam ini.

“Pengawal!”

Sebuah suara memanggil para pengawal di gerbang kadipaten. Ada sosok pria yang berdiri di depan joglo. Masih muda, tampan, dan berpakaian apik. Dari wajahnya yang tenang dan berwibawa terlihat bahwa ia berasal dari keluarga bangsawan, kemungkinan dari keluarga sang adipati.

Salah satu prajurit pengawal yang tadinya menemui Banyu dan Anom pun tergopoh-gopoh menghampiri pria bangsawan tersebut.

Sendiko, Raden Randu Panji.”

“Ada apa malam-malam begini kalian ribut di depan gerbang?”

“A-anu, Raden... bukan ribut, tapi itu ada dua orang pendekar yang katanya ingin bertamu untuk menemui Kanjeng Adipati karena membawa pesan penting. Sepertinya mereka dari Perguruan Seribu Angin. Tapi tentu saja Kanjeng Adipati sudah beristirahat dan tidak bisa diganggu.”

“Oh ya? Perguruan Seribu Angin?” Randu Panji memainkan jemarinya di bibir. “Menarik. Selama ini Perguruan Seribu Angin selalu membantu dan setia pada Kadipaten Paku Sentono. Berita apa gerangan yang akan mereka haturkan? Antarkan mereka padaku.”

“Se-sekarang, Raden?”

“Tentu saja. Kalau memang berita yang mereka bawa penting, kita tidak boleh membuang waktu.”

Sendiko.”

Sang prajurit pun kembali ke gerbang dan mengijinkan Banyu Langit dan Anom Kinasih untuk menemui Randu Panji di joglo – sebagai perwakilan dari Adipati Paku Sentono.

Randu Panji duduk di sebuah kursi dengan jumawa, meski begitu wajah ramahnya membuat baik Banyu Langit maupun Anom Kinasih merasa tenang. Mereka telah bertemu dengan orang yang tepat malam ini, karena berita yang dititipkan kepada mereka dapat segera disampaikan.

“Raden Randu Panji.” Banyu Langit yang bersimpuh memberikan hormat. “Hormat kami.”

“Raden.” Demikian juga Anom Kinasih memberikan hormat.

“Luar biasa. Perguruan Seribu Angin memang memiliki pendekar-pendekar muda yang tidak hanya perkasa dari kemampuan, tapi gagah rupawan dan cantik jelita dari segi penampilan.” Puji Randu Panji. “Siapa nama kalian dan apa maksud kedatangan kalian ke Paku Sentono?”

“Ampun, Raden. Kami berdua adalah pasangan suami istri Banyu Langit dan Anom Kinasih dari Perguruan Seribu Angin. Kami mendapatkan perintah dari guru kami Eyang Pendekar Angin Sakti untuk menyampaikan kabar penting pada Kanjeng Adipati.”

“Kabar penting apa itu?”

Banyu dan Anom berpandangan. Anom mengangguk.

“Kami tidak berani membuka serat yang dituliskan oleh guru kami. Tapi beliau mengatakan bahwa serat ini menyampaikan kabar perihal adanya gerakan pengkhianat yang ingin mengadu domba Kanjeng Pangeran Bagus Birowo dan Kanjeng Sinuhun Sanggbuwono. Kehadiran Kanjeng Pangeran Bagus Birowo di Kadipaten Paku Sentono esok hari justru akan memberikan kesempatan bagi gerakan pengkhianat tersebut untuk melancarkan aksinya.” Banyu menjelaskan. “Intinya, Kanjeng Pangeran Bagus Birowo tidak boleh berhenti di Paku Sentono.”

Randu Panji terkejut, “Wah, sedemikian bahayanya? Apa gerangan yang akan terjadi? Kenapa sekarang? Kenapa berbahaya jika Kanjeng Pangeran berhenti? Bukankah beliau dan Kanjeng Adipati bersahabat? Apalagi Kanjeng Pangeran rencananya akan berkunjung dua hari lagi.”

“Itu sebabnya kami terburu-buru, Raden.” Anom membantu suaminya. “Kami berkuda secepat mungkin untuk mencapai tempat ini agar tidak terlambat memberikan kabar. Untuk lebih jelasnya kami mohon pada Kanjeng Adipati untuk membaca serat dari guru kami.”

“Apakah boleh aku membaca serat itu?”

Banyu dan Anom berpandangan. Anom memegang tangan sang suami.

Banyu menunduk, “mohon maaf. Bukan kami bermaksud lancang, tapi serat itu hanya berhak diberikan kepada Kanjeng Adipati. Demikian pesan guru kami. Sekali lagi mohon maaf, Raden.”

“Jadi begitu.” Randu Panji manggut-manggut. Keningnya berkerut dan jarinya mengelus bibir berulang - menandakan ia sedang berpikir keras, “berita sepenting ini tentunya harus disampaikan langsung ke Kanjeng Adipati. Kalau pendekar berdua perkenankan, saya akan menyampaikan berita tersebut ke Kanjeng Adipati malam ini. Yang kemudian dapat kalian berdua bantu memperkuat kabar dengan menghadiri pertemuan dengan Kanjeng Adipati dan menyerahkan serat tersebut besok pagi.”

“Sungguh sangat membantu kalau memang demikian, Raden Randu Panji.” Banyu Langit memberikan hormatnya.

“Kami tentu bersedia hadir besok pagi, Raden.” Tambah Anom Kinasih.

“Terima kasih. Terima kasih sekali dengan semua masukan dan bantuan dari Perguruan Seribu Angin.” Randu Panji menjura, “entah apalagi yang bisa kami berikan selain ucapan terima kasih atas bantuan dari Perguruan Seribu Angin yang selama ini selalu menunjukkan sikap setia dan bersahabat terhadap kami dari Kadipaten Paku Sentono.”

“Sudah menjadi tugas kami, Raden Randu Panji.” Anom membalas salam dari sang pria bangsawan. “Kalau begitu kami mohon pamit. Mudah-mudahan kabar yang kami sampaikan dapat diterima oleh Kanjeng Adipati dengan baik.”

“Pasti. Pasti akan saya sampaikan. Di mana kalian akan tinggal malam ini?”

Banyu dan Anom saling berpandangan.

“Ampun Raden, kami baru sampai jadi belum tahu kami akan menginap di mana. Kemungkinan kami akan mencari penginapan yang terdekat dari sini.”

“Kalau begitu kalian pilih penginapan yang ada di samping sungai Lawang Grojogan. Di sana tenang dan tidak banyak gangguan. Sampaikan pada pengurus penginapan bahwa semua biaya untuk istirahat kalian akan ditanggung oleh pihak Kadipaten. Sampaikan pada mereka untuk memberikan kamar yang terbaik.”

“Ah. Kami tidak ingin merepotkan, Raden.” Anom menjura.

“Iya, sungguh kedatangan kami ini...” Banyu menyusul sang istri.

“Sudah. Sudah. Ini sudah menjadi kewajiban kami dari Paku Sentono untuk memberikan yang terbaik bagi pihak yang mendukung dan setia. Jangan khawatir, Kanjeng Adipati adalah orang yang murah hati.”

“Ka-kalau begitu kami sangat berterima kasih, Raden.”

“Ya sudah. Silahkan beristirahat.”

“Terima kasih, Raden.”

“Terima kasih.”

Tak lama kemudian Banyu Langit dan Anom Kinasih pun melangkah keluar dari pendopo kadipaten ke arah gerbang utama dan segera meninggalkan rumah Adipati Paku Sentono. Randu Panji menatap tanpa kedip kedua pendekar itu meninggalkan joglo, lebih tepatnya ia tak berkedip menatap kemolekan sang pendekar wanita yang cantik dan molek luar biasa. Bagaimana bisa wanita seindah itu ternyata menjadi seorang pendekar pilih tanding? Sayang sekali... sayang sekali... bukankah dia akan lebih tepat dan bermanfaat jika menjadi istri pingit di kadipaten?

Sayang sekali malam ini semua harus dipertaruhkan.

Randu Panji mengerutkan kening, sambil memainkan jemarinya di bibir.

Saat tidak ada memperhatikan, pria yang masih berusia muda itu melangkah menuju ke satu sudut gelap kadipaten, sebuah tempat yang biasa digunakan untuk memandikan kuda dan jarang dikunjungi oleh abdi di kala malam tiba.

Randu Panji memainkan bibirnya dan menyiulkan bunyi yang khas. Terdengar lembut seperti siulan seekor burung yang bernyanyi untuk sang rembulan. Randu Panji menggunakan sebelah tangan untuk memegang tangan yang lain di belakang badan. Ia menatap setiap sudut tempat mandi kuda seolah-olah memeriksa sesuatu.

Terdengar suara derap beberapa pasang kaki menghentak tanah di belakangnya. Tanpa harus menengok pun Randu Panji sudah tahu siapa yang datang, sekawanan pria yang mengenakan pakaian serba hitam – termasuk tutup wajah mereka. Ada empat orang yang datang yang hanya dapat dikenali dari segaris alis dan mata yang terbuka.

“Salam Raden. Pasukan Kelabang Sewu sudah hadir. Apa yang bisa kami bantu malam ini?” ucap salah seorang dari pria berpakaian hitam yang berdiri paling depan.

“Kelabang Suto.” Panggil Randu Panji.

Sendiko dhawuh, Raden. Siap menjalankan perintah.”

“Sampaikan pada Alis Kincir kalau ada dua orang pendekar dari Perguruan Seribu Angin yang datang ke Kadipaten Paku Sentono dan bermalam di penginapan di samping Sungai Lawang Grojogan. Mereka rencananya akan hadir besok pagi untuk menemui Kanjeng Adipati.” Randu Panji membalik badan untuk menatap mata Kelabang Suto. “Entah bagaimana caranya, entah hidup atau mati, mereka berdua tidak boleh hadir di pendopo esok hari.”

Kelabang Suto mengangguk tanda memahami perintah.

“Keduanya bukan pendekar yang main-main. Sampaikan pada Alis Kincir untuk mempersiapkan diri dengan membawa teman-temannya. Kamu kirimkan juga beberapa anggota Kelabang Sewu untuk membantu dan memastikan.” Lanjut Randu Panji.

Sendiko, Raden.”

“Satu lagi.” Randu Panji tersenyum licik. Ia kembali mengelus bibirnya – sebuah penanda kalau ia sedang berpikir. “Aku ingin menghancurkan Perguruan Seribu Angin sampai hangus tak tersisa. Pastikan kalian mengumpulkan pasukan sebanyak-banyaknya dan temui Suro Wanggono. Katakan padanya bahwa ia harus mengumpulkan kawan-kawannya yang paling sakti dalam beberapa hari ini. Mereka harus segera bersiap karena minggu depan dia akan memimpin pasukan terbesar yang akan menaklukan dan menghabisi nyawa semua penghuni Perguruan Seribu Angin.”

Sendiko, Raden. Siap jalankan.”

Keempat orang berpakaian hitam itu kembali berkelebat meninggalkan Randu Panji.

Sang pria muda berdarah bangsawan itu terkekeh. Sepertinya rencananya akan berjalan sesuai apa yang diharapkan. Bagus! Bagus sekali!

Entah bagaimana caranya Perguruan Seribu Angin memperoleh kabar bahwa ada gerakan pengkhianat yang akan melakukan aksi – jadi pasti ada mata-mata yang menyampaikan kabar pada si tua busuk Pendekar Angin Sakti.

Siapa yang kira-kira menjadi pengkhianat di jajarannya dan membongkar kabar itu ke Pendekar Angin Sakti? Dia harus buru-buru mencari bajingan itu dan membungkamnya supaya semua rencananya tidak berantakan.

Randu Panji terkekeh. Ia menatap ke arah langit.

Gajah Sekar, hari-harimu menjadi Adipati Paku Sentono hanya tinggal menghitung hari. Siapapun yang menjadi pendukungmu, harus hancur jadi debu. Meskipun itu dari perguruan kanuragan besar sekalipun.





.::..::..::..::.





“Kakang Banyu.” Anom Kinasih melepaskan helai demi helai pakaian yang ia kenakan di depan sang suami yang sudah telentang di pembaringan.

“Iya Diajeng?” Banyu Langit memejamkan mata, mencoba menikmati istirahat yang sangat mereka butuhkan. Sudah seharian mereka melakukan perjalanan ke tempat ini dan akhirnya mereka berdua bisa juga beristirahat.

Banyu Langit dan Anom Kinasih menyewa sebuah kamar di penginapan yang tak jauh dari alun-alun Kadipaten Paku Sentono. Mereka sangat bersyukur dan berterimakasih pada Randu Panji karena sudah diberikan tempat yang nyaman untuk beristirahat. Penginapan ini berada di seberang sungai Lawang Grojogan yang memisahkan posisi mereka dengan alun-alun dan pura kadipaten.

“Perasaanku tidak enak malam ini. Kenapa ya kiranya?”

Banyu Langit tersenyum tanpa membuka mata, “mungkin karena dirimu sudah kelelahan setelah sepanjang hari berkuda. Aku pun juga tidak merasa nyaman hari ini. Lelah sekali rasanya, sebaiknya kita berdua istirahat, Diajeng. Karena usai pertemuan dengan Adipati Paku Sentono, kita harus segera pulang.”

“Betul, Kakang. Hanya saja...”

“Hmm?”

“Ah tidak, tidak apa-apa.”

Banyu Langit membuka mata, betapa ia kemudian takjub saat menatap sang istri ternyata sudah tak lagi mengenakan penutup dada.

“Ah... Diajeng. Kenapa engkau harus sedemikian indah? Bagaimana mungkin aku bisa beristirahat kalau kau tawarkan surgawi malam ini?”

“Eh, siapa juga yang menawarkan, aku kan harus berganti pakaian untuk istirahat, Kakang. Tidak mungkin aku berganti pakaian jika tidak membuka penutup dada. Pikiran Kakang itu lho yang harus dibersihkan. Ck ck ck...”

“Siapa suruh kamu menawan. Sudah cantik, putih, bertubuh indah, cerdas pula. Bahagianya aku dapat memperistri dirimu, Diajeng.” Banyu Langit melompat sejurus dan ia sudah berada di samping Anom Kinasih, memeluk tubuh indahnya yang bertelanjang dada.

“Gombal... gombal... sudah, Kakang. Aku mau berganti busana, tolong lepaskan.”

“Aku tidak bisa melepaskan pelukanku, tubuhmu tidak mengijinkanku lepas. Diajeng... tolong aku... tolong aku melepaskan dahaga kenikmatan ini.”

Anom tertawa melihat ulah suaminya yang terkadang memang seperti seorang anak kecil. “Tidak malam ini, Kakang. Malam sudah larut, Kakang sendiri yang bilang kalau kita sama-sama lelah dan membutuhkan istirahat, apalagi besok kita harus bangun pagi sekali untuk menemui Kanjeng Adipati.”

Banyu tersenyum, “setidaknya ijinkan aku memeluk tubuh indahmu tanpa busana, Diajeng.”

“Mana bisa begitu. Yang ada aku masuk angin.”

Banyu tertawa. Ia mengangkat tangan dan menyerah. “Baiklah, baiklah. Malam ini kita berdua istirahat saja.”

“Nah, begitu baru betul.”

Setelah berganti pakaian, Anom yang hanya mengenakan kemben pun menyusul Banyu di pembaringan. Tangan nakal sang suami tetap bergerak bergerilya memeluk istri tercintanya yang kini hanya mengenakan sehelai kain saja. Posisi berhadapan membuat wajah mereka begitu dekat satu sama lain. Napas keduanya bertemu, beradu dan silih ganti berpadu.

Banyu memajukan kepala untuk mengecup bibir Anom.

Sang istri pun membalas.

Kecupan bertaut, bibir mengulas bibir, saling menyentuh, saling mengoles, saling merasakan hidup dalam dekapan rasa sayang. Banyu menjelajah tiap sudut bibir sang kekasih, tangannya bergerak menelusuri tubuh indah Anom. Dari pundak, ke pinggang, ke paha. Naik lagi ke arah perut, dan dada.

“Awas... jangan sampai kebablasan, Kakang.”

Banyu terkikik geli.

Tangan Banyu kini meraba dada sang istri, meremasnya lembut. Sekali, dua kali, tiga kali. Empuk dan ranum sekali payudara Anom Kinasih, membuat Banyu Langit selalu rindu untuk meremas dan memainkannya.

“Ahhhmm... Kakang.” Desah Anom manja. Ia melenguh keenakan. “Kok nekat sih.”

Banyu hanya terdiam dan mencium bibir istrinya. “Kamu terlalu menawan, Diajeng. Aku tidak tahan.”

Tangan Banyu bergerak, mencoba membuka kemben Anom, satu-satunya helai pakaian yang ia kenakan. Tangan sang suami menelusup ke dalam sela-sela kemben, mencoba meremas payudara Anom dari dalam.

Tapi...

Anom tiba-tiba terjaga. Ia bangkit dan memasang pandangan tajam.

“Eh!? Kenapa Diajeng? Apakah remasanku sakit? Maaf, tadi aku...”

“Kakang! Kau dengar itu?”

Banyu Langit menajamkan pendengaran sambil memejamkan mata. Ia pun ikut bangkit dan berbisik. “Ada belasan tapak kaki. Mereka mengepung tempat ini.”

“Bersiaplah, Kakang.”

Banyu Langit mengangguk.

Anom buru-buru mengenakan pakaiannya kembali. “Malam ini belum berakhir.”





.::..::..::..::.





Mati kelaparan menjadi pemikiran utama Bara Sembrani Watulanang.

Kalau tidak makan dan minum, dia akan mati kelaparan. Jika dia mati, maka dia tidak akan bisa membalas dendam pada orang-orang yang telah menganiaya orang tuanya. Jadi dia harus tetap hidup. Dia harus mencari makanan dan minuman.

Bocah itu sesunggukan.

Takut? Pasti.

Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan selain menjelang ketakutannya dengan penuh keyakinan bahwa ia mampu mengatasi semuanya? Karena hanya keyakinan dan semangat dari dalam dirinya saja yang tersisa saat ini, ketika keadaan dan harapan mulai mengingkari.

Entah sudah berapa lama ia berada di dalam gua yang gelap dan sepi. Dinginnya batu di kala malam dan hangatnya dinding di kala siang silih berganti membuat badannya yang sudah terluka hampir-hampir tak mampu bertahan. Ia hanya lalu lalang ke mulut gua yang sudah tertutup sebuah batu besar, lalu menyusur ke dalam, lalu kembali lagi ke mulut gua. Begitu saja berulang-ulang. Seakan-akan ada penyelamat yang kelak akan muncul menolongnya di mulut gua. Tapi itu tentu saja sebuah harapan yang kosong.

Di hari pertamanya, ketika sudah hampir seharian merasa putus asa, Bara memutuskan untuk menjelajah gua. Mencoba mencari celah untuk keluar, atau sekedar mencari makan dan minum jika memungkinkan. Yang tersisa darinya hanya semangat untuk hidup, yang tersisa hanya keinginan untuk menjumpai orangtuanya. Untuk itu dia harus tetap hidup dan berusaha.

Menyusur gua yang makin jauh dan makin dalam, mata Bara lama-kelamaan terbiasa melihat dalam gelap. Beruntung ia tak perlu terlalu jauh menjelajah ketika kemudian menemukan celah teramat kecil yang mungkin hanya beberapa ulas rambut. Ada cahaya masuk dari atas, dan dari celah yang sama pula air hujan yang turun tertampung di sebuah cekung bebatuan yang mungkin hasil dari kikisan bertahun-tahun.

Air itulah yang menjadi harapan Bara.

Beruntung lagi, ternyata cekung itu bukan satu-satunya. Ada beberapa celah dan cekungan lain yang ia temukan dan menampung air. Tidak banyak, tapi dapat mengatasi rasa dahaga. Ada beberapa akar yang tumbuh dari cekungan-cekungan itu, akar merambat yang tidak pernah Bara temui sebelumnya. Akar itu memiliki buah dan dedaunan yang berbentuk aneh.

Buah itu dipetiknya.

Kalau beracun mungkin akan membuat dia mati – tapi kalau tidak makan pun bisa mati.

Bara pun mencoba menggigit dan memakan buah-buahan itu. Hambar rasanya tapi lumayan membuatnya kenyang. Inilah harapan hidup Bara, minum tetesan air hujan yang masuk melalui sela-sela langit-langit gua dan buah-buahan aneh yang tumbuh di akar merajut di dinding gua.

Bara tidak tahu buah itu buah apa – tapi setelah memakannya beberapa kali, rasa-rasanya tidak ada akibat yang berbahaya yang ditimbulkan – malah ada perasaan hangat di tubuhnya. Hanya saja buah itu pun jumlahnya terbatas, ia tidak dapat memakannya semua sekaligus. Bara harus benar-benar berhemat. Itu sebabnya ia menyusur gua agar dapat menemukan pasokan buah dan mungkin juga sumber air.

Kaki lemahnya harus diseret sesekali agar tidak malas menyusuri gua yang dingin. Entah kenapa para dewa tetap membiarkannya hidup... entah kenapa dia harus terjebak dalam gua ini... kenapa? Kenapa para dewa begitu membenci keluarganya? Kenapa orang-orang jahat itu menyerang ayah dan bundanya? Kenapa ia terjebak di sini selamanya?

Apa salah mereka bertiga?

Ketika ia putus asa dan hampir menangis, Bara selalu menahan diri dan berusaha tenang. Ia tahu bunda-nya paling tidak suka ia menangis, jangan jadi anak cengeng pesan Bunda. Jadilah anak yang teguh pendirian, berani menghadapi tantangan, dan selalu mencari penyelesaian apapun masalah yang dihadapi.

Kini entah sudah hari keberapa ia berada di dalam gua, Bara tidak menghitung. Tapi ia sudah mulai terbiasa.

Hari sudah gelap dan bocah itu hanya duduk santai di sebuah batu pipih sembari memakan buah yang ia petik tak jauh dari tempatnya duduk. Tempat ini adalah tempat terjauh yang pernah ia jelajahi.

Seperti tempat-tempat lain di gua ini, tempat itu juga gelap. Setelah memakan habis buah yang ia petik, Bara kemudian melakukan meditasi, sesuatu yang sering diajarkan oleh Kakek Guru. Kakek guru bilang, cara ini akan membuat dirinya tenang dan tubuhnya mampu menyerap semua sari-sari penting yang dibutuhkan dari makanan.

Grsksk.

Saat Bara bermeditasi itulah terdengar sebuah suara, gesekan-gesekan di dalam lorong gua. Gesekan yang tidak mungkin ditimbulkan oleh angin.

Mata Bara terbuka dan bocah itu bergidik ketakutan, ia bersiaga dan menatap ke dalam lorong gua dengan ngeri. Tapi karena suasana gelap tentu ia tidak dapat melihat apapun. A-apa... apa gerangan yang datang mendekat?

Makhluk seseram apa yang ada di sana? Suara gesekan aneh yang terdengar di telinga Bara terasa asing dan menyeramkan, tapi di gua yang gelap ini, gerak-gerik sedikit apapun memang menjadi sangat mengerikan.

Matanya memang mulai terbiasa melihat dalam gelap dan telinganya sudah terbiasa mendengar suara yang teramat lirih, tapi yang satu ini asing baginya. Bukan suara natural dari gua tempatnya terjebak.

Suara apa itu?

Hewankah? Mungkin ular? Kelelawar? A-atau jangan-jangan buaya?

Bara makin ketakutan.

Tiba-tiba saja terdengar suara... bukan hanya sekedar suara, tapi bisikan!

Ada orang di dalam sini!? Bara merasakan sekujur tubuhnya merinding, antara takut tapi juga penasaran. Siapa – atau apa yang ada di kegelapan itu?

“Kemarau akan datang, tidak ada gunanya mengandalkan air dan buah-buahan itu lagi, Bocah. Semua akan sirna kala kemarau tiba.” Ucap suara parau dari kegelapan.

Bara bergetar ketakutan. O-orang itu berbicara padanya?

“Si-siapa kamu?” tanya Bara seberani mungkin

Tidak ada jawaban. Tetapi bisikan itu kemudian terdengar bergumam lirih. Beberapa kali menyebutkan kata-kata yang tak terdengar jelas. Ia seperti sedang mendengungkan syair.

Aku datang dari Gua Bayangan, tak peduli siang dan malam.
Terangnya langit kusingkirkan dengan banjir darah nan kelam.
Bukan impian bukan khayalan, lidah api kan memangsa tunduk.
Dengan Kidung Sandhyakala di tangan, kan ku buat dunia takluk.


Sya-syair macam apa itu?

Tiba-tiba seberkas cahaya terang yang mirip lidah api tersuar dari sosok yang masih tak terlihat, meraup langit-langit gua dengan silau yang menyakitkan mata. Berpendar terang, agung, tapi juga mengerikan.

Entah karena sudah terlalu sering melihat dalam gelap, atau cahaya itu memang terlalu terang, silaunya menyakitkan mata Bara.

Sesekali mencoba membuka pelupuk matanya, Bara melihat ada seseorang dalam gelapnya gua yang melontarkan cahaya aneh ini dari kedua tangannya untuk menghantam langit-langit. Gua itu tiba-tiba bergemuruh pelan, sementara sosok yang aneh tadi beringsut berpindah tempat dengan kecepatan yang tak terlihat mata secepat hilangnya lidah api yang tiba-tiba saja berpendar menghilang.

Lidah api lenyap, orang itu pun hilang. Entah karena gelap, entah karena memang dia sangat cepat. Yang jelas ia sudah tak ada lagi di tempat semula.

Tapi gemuruh yang tadi ditimbulkan membuat gua bergetar hebat, gemuruh yang terjadi yang makin lama makin keras. Bahkan mampu mengguncangkan batu pipih yang digunakan Bara untuk beristirahat.

“Eh!? Eeeehhhhhhhhh!!!??” Bara berteriak ketakutan. “To-tolooooooonggg!!! Linduuuuu!!!”

“Diam, Bocah tolol! Ini bukan lindu! Diam dan saksikan!” Hardik suara misterius di balik gelap. Suara seorang laki-laki yang sepertinya sudah sangat sepuh – atau setidaknya itulah perkiraan Bara. Ia memperkirakan usia sang pemilik suara parau tidak jauh dari Kakek Guru Pendekar Angin Sakti, suara mereka terdengar mirip. Suara itu terdengar lagi, “Inilah wujud kedidagyaan yang sejati! Saksikan!”

“Haaaahhhhhh!? Apa yang harus aku sak-...”

Rasa takut membuncah tak bisa dibendung di wajah Bara, sungguh ia merasa ngeri. Terlebih ketika mendengar ucapan yang tidak jelas dari sang laki-laki misterius tadi. Bara terkejap berulang menatap langit-langit gua yang masih terus berderak.

Kengeriannya terwujud. Langit-langit gua itu runtuh.

Bara hanya sanggup berteriak kencang.

Teriakan seorang bocah yang menghadapi akhir hidupnya.





BAGIAN 3 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 4
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd