Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT RANJANG YANG TERNODA - REMASTERED

Wahhh kok dihapus? Apakah suhu mau beristirahat? Atau mau fokus dikisah kidhung?

Ada alasan yang tidak terkait dengan karya-karya yang lain termasuk RYT ini.

Wahhhh,tamat selamanya??
Apa gak ada minat melanjutkan bosz???
Salah satu cerita favorit ditahun 2000'an....

Kalau saya sih sudah cukup rasanya.
Sudah sepuluh tahun lebih saya bersama-sama Alya, Lidya, Dina, dan Anissa.
Sudah saatnya menutup cerita.
Kalau ada yang mau nerusin, silahkan saja.
Kalau ada yang bikin spinoff atau alternative ending, rasanya seneng aja.
 
BAGIAN 12-A
AKHIR KISAH MEREKA






Lidya berulang kali memutar tubuhnya di depan cermin besar yang ada di kamarnya. Sayangnya, kepercayaan diri si cantik itu justru memudar setiap kali ia berputar dan melihat bayangan indahnya di kaca. Ia memang tidak kehilangan pesona dan tidak kehilangan magis penampilannya. Rambutnya yang kian memanjang kini sedikit berombak di bagian sepertiga ujung, poni manis menghias dahinya dan tubuh seksinya hanya dibalut oleh handuk yang melingkar ketat, membuat buah dadanya yang montok menjadi semakin terlihat lebih besar dari seharusnya, kakinya yang putih mulus dan jenjang indah juga lezat sekali dinikmati. Pantas banget jadi selebgram, model iklan, atau bintang sinetron.

Lidya menatap ke arah pakaian yang dibentangkan di atas pembaringan.

Lidya menggelengkan kepala dan mendesah mengeluarkan nada gerutu. Ini bukan dirinya, keluh si cantik itu. Ia melihat kembali ke cermin. Gila! Sudah jadi apa dia sekarang? Dia sudah gila sampai mau-maunya menuruti apapun yang diperintahkan oleh sang mertua cabul! Laki-laki tua berengsek itu tahu bagaimana mempermalukannya dan menjatuhkannya ke lembah hina. Pakaian apa-apaan yang ia sediakan untuk dirinya ini? Baju transparan, mini tanktop dan hotpants? Serius? Dia kan bukan member grup k-pop!

Andi yang sedang mengenakan dasi dan bersiap ke kantor terheran-heran saat melihat pakaian yang ada di atas pembaringan. Dia tidak akan pernah mengira bahwa pakaian itu disiapkan oleh ayah kandungnya, bukan oleh sang istri sendiri.

Meskipun berdecak kagum karena Lidya sama sekali tidak kehilangan kecantikan dan keindahan tubuhnya sejak masih menjadi pacarnya bertahun-tahun lalu, tapi Andi sedikit heran dengan pakaian yang disiapkan.

“Kamu yakin mau pakai baju itu?” tanya Andi sambil memperhatikan baju di pembaringan. “Kelihatannya agak... terlalu revealing.”

Hati Lidya seperti dihantam palu godam. Inilah untuk pertama kalinya Mas Andi protes dengan pakaian yang ia kenakan dan Lidya sebenarnya setuju sekali. Kurang pantas mengenakan baju seperti ini untuk acara apapun bagi wanita yang sudah menikah seperti dia.

“Pa-pakaian ini... pakaian ini... eh ehm... ini sudah lama sekali aku beli, Mas. Sayang rasanya kalau tidak dipakai sekali saja.” jawab Lidya sekenanya, yang penting ada alasan. Hatinya diamuk amarah terhadap ayah mertuanya yang melintas kamar sambil cengengesan tersenyum menghina. Mata si tua itu menatapnya penuh nafsu sekaligus merendahkan, dia pasti dengar percakapannya dan Andi barusan.

Andi mengangkat bahu. Ya sudah kalau tetap ngeyel. Dia sih tidak masalah asalkan Lidya menjaga diri dengan baik. Malas berdebat pagi-pagi begini karena dia harus segera berangkat ke kantor.

“Aku berangkat dulu ya, sayang.”

“Jam segini? Ga kesiangan?”

“Ga apa-apa, tadi ada meeting online mendadak sebelum presentasi buat nanti habis makan siang.”

Lidya mengangguk sambil cemberut manja, manisnya ga ada obat. “Ditinggal lagi, ditinggal lagi.”

Andi tersenyum, mengecup sang istri dua kali di bibir dan dahi, lalu segera berlalu pergi. Berturut-turut terdengar pintu depan ditutup, lalu tak lama kemudian terdengar suara mobil meninggalkan halaman depan.

Pak Hasan masuk ke kamar Lidya dan Andi dengan santainya, dan duduk di pembaringan dengan jumawa. Seakan-akan dialah raja yang sangat berkuasa di rumah ini.

Lidya cemberut sambil mengenakan satu persatu pakaian yang disiapkan, dia sudah mulai terbiasa telanjang di depan Pak Hasan, sehingga dengan santainya Lidya melepas handuk, membersihkan diri, dan memakai busana tepat di depan wajah sang raja.

Ia tidak ingin melihat wajah mertuanya yang sumringah menatapnya penuh nafsu, “Sudah aku pakai. Apalagi sekarang? Puas kan? Apa lagi mau Bapak? Apa seperti ini juga masih kurang?” dengan wajah ditekuk Lidya menyilangkan tangan di dada.

Pak Hasan terkekeh, “Begitu saja kok sewot, Nduk? Bukankah kamu jadi lebih terlihat cantik dan seksi dengan pakaian seperti itu? Kamu jadi terlihat seperti seorang...”

“...lonte?”

“...bintang Iklan.”

Pak Hasan kembali terkekeh karena geli menghadapi tingkah laku menantunya yang aduhai ini. Dia boleh saja sewot, tapi sayang sekali Lidya sayang... ini belum selesai. Tidak semudah itu. Pak Hasan membuang senyum dan kembali menatap lekat menantunya dengan wajah serius, “Tidak perlu menggerutu. Hari ini aku traktir makan.”

Hati Lidya berdegup kencang, perasaannya jadi tidak enak. Mau apa lagi orang tua licik ini? Belum puas membuatnya malu di hadapan Mas Andi dengan pakaian seminim ini?

“Memangnya kita mau kemana?” tanya Lidya khawatir. Ia tidak akan pernah percaya pada sang mertua, tapi pada saat yang bersamaan, ia juga merasa excited. Salahkah Lidya merasakan hal itu?

Walaupun secara resmi ia sudah memilih untuk mejadi budak seks mertuanya, tetapi rasa khawatir dan takut tetaplah muncul dalam benak si cantik itu, terutama bagaimana kalau suaminya tahu dengan sikap ayahnya kepadanya? Bagaimana seandainya Andi tahu kalau selama ini, istri yang sering ditinggal ternyata sudah sangat sering dinakali oleh ayahnya sendiri?

“Tidak perlu khawatir. Kita makan di luar. Pesan taksi online, ya. Pakai payment online saja bayarnya. tinggal dompetmu di rumah. Urusan makan nanti aku yang urusin.” Kata Pak Hasan sembari menepuk dada.

Mana mungkin Lidya percaya.

Tapi mau bagaimana lagi?

Lidya memesan taksi online, lalu duduk di teras rumah untuk menunggu kedatangannya.

Hari ini Lidya harus mengenakan kemeja merah tipis yang dipadukan dengan celana hotpants super pendek serta topi dan kacamata sebagai aksesoris pelengkap style, beruntung mertuanya mengizinkannya untuk mengenakan bra model mini tanktop, walau perutnya masih terlihat setidaknya ia mampu menutupi kedua buah dadanya yang cukup besar. Bisa ramai gila nanti kalau sampai ibu-ibu arisan melihat penampilannya yang menor begini.

“Sudah pesan?” tanya Pak Hasan kepada sang menantu sembari menjilat bibir. Benar-benar anak ayam yang enak dan empuk Lidya ini. Lezat banget dilihat. Ia duduk di samping Lidya.

Lidya hanya mengangguk. Istri Andi itu ketakutan setengah mati saat melihat mertuanya tersenyum mesum dan tak berhenti menatapnya walau sedetikpun, membuatnya jengah dan gugup. “Kenapa lagi?”

Ayu tenan kamu itu, Nduk.” Kekeh Pak Hasan. “Tidak sia-sia Andi memilihkan kekasih buat aku.”

Lidya mencibir dan menggerutu, “Dasar Bej... hrmphhh!”

Belum selesai Lidya mengucapkan kata, bibirnya yang tipis itu sudah dicumbui oleh mertua cabulnya, ia terpaksa untuk membiarkan mertuanya bermain-main di bibirnya. Nafsu Pak Hasan bangkit melihat kecantikan menantunya yang molek. Langsung ia cumbu bibir Lidya dan ia remas-remas payudara sentosa sang menantu yang masih terbungkus dua lapis pakaian, lidahnya dengan lihai menyapu bibir Lidya dan dengan sengaja Pak Hasan menyalurkan banyak ludah untuk ditelan oleh sang menantu.

Sementara tangan kanan meremas dada, tangan keriput sebelah kiri sang mertua masuk ke dalam celana Lidya untuk mencari liang kenikmatan duniawinya, ketika ia menemukannya ia segera membelahnya dengan jemarinya yang kasar dan berbulu tipis itu.

“Hnnggkkkkhhh! Mhhhhmmmm, Bapaaaaaakkk.” desah Lidya merasakan kenikmatan yang meraja tatkala bibir liang cintanya dimainkan oleh sang mertua.

“Kenapa kamu harus seseksi ini sih, Nduk?” bisik Pak Hasan. “Kamu tuh nafsuin banget. Aku jadi tidak tahan untuk membiarkan kamu begitu saja tanpa diapa-apain.”

Pak Hasan mengecup dan menciumi leher Lidya yang jenjang.

Lidya yang merasakan liang cintanya mulai basah karena rangsangan ringan yang diakukan Pak Hasan mulai kewalahan, bagaimana bisa... bagaimana bisa ia sedemikian mudah terangsang oleh permainan sederhana mertuanya? Kenapa ia jadi begini mudah basah?

Pak Hasan tentunya makin menjadi. Dengan ganas ia membuka kancing kemeja tipis Lidya dan mengangkat mini-tanktop yang dikenakan sang menantu sehingga payudaranya terlihat bulat menggoda, tak perlu menunggu lama baginya melihat barang selezat itu. Mulut Pak Hasan langsung menciumi setiap sisi buah dada Lidya demi mencari benda menonjol imut di puncaknya.

“Aahhhh, Bapaaaaak! Nanti ada yang lihaaat, eeehhmm.” Desah Lidya resah – ia memandang sekeliling karena takut akan ada yang lewat di depan rumah dan melihat sang mertua menggumuli menantu jelitanya di teras rumah.

Sebuah mobil berhenti di depan rumah.

Menghentikan aksi keduanya.

Buru-buru Lidya merapikan baju dan rambut seadanya lalu bergegas ke depan. Pak Hasan hanya tertawa.

Setelah taksi online datang, keduanya segera diantarkan menuju ke arah yang diinginkan oleh Pak Hasan, Lidya tidak begitu tahu lokasi itu. Padahal seharusnya justru Lidya-lah yang tahu karena dia tinggal di kota dan Pak Hasan di desa.

Taksi online meluncur membawa Pak Hasan dan Lidya menuju ke sebuah kawasan pertokoan yang ada di dekat kampus kelas menengah – nama kampusnya tidak populer dan jurusannya diragukan. Mereka turun di dekat sebuah warung yang lumayan ramai – sebuah warung mie ayam. Ada spanduk di depan bertuliskan: Warung Mie Ayam Pak Kun.

Pak Hasan dan Lidya segera memilih tempat duduk yang kosong, mereka memilih yang paling ujung di belakang. Karena saat ini jam makan pagi, maka suasana pun cukup ramai – siapa sih yang sarapan mie ayam pagi-pagi? Banyak. Ramai orang lahap menikmati santapan, perbincangan hiruk pikuk, dan karena matahari mulai mengangkasa, maka hawa jadi lumayan panas. Kipas angin yang ditempel di dinding kurang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik meski sudah berusaha sekuat mungkin.

Mie ayam. Oke. Lidya memperhatikan suasana sekitarnya.

Warung ini cukup besar – pertanda kalau mie ayam ini cukup laris dengan ruko yang luas dan bisa menampung sekitar dua puluh orang. Saat ini sih hanya berisi sekitar belasan pengunjung saja dengan sebagian besarnya merupakan mahasiswa-mahasiswa yang kampusnya dekat dengan lokasi warung. Selain mie ayam, mereka sepertinya juga sukses menjual es buah dan es campur karena berulangkali ojek online datang untuk memesan.

Pak Hasan tidak terlalu banyak berbicara, dia sangat menikmati mie ayam yang dengan lahap dia habiskan. Kalau Lidya memilih hanya minum es buah saja karena di rumah tadi dia sudah sarapan. Luar biasanya Pak Hasan menambah porsi mie ayam hingga dua kali lagi plus dia juga minum es campur, gila sebesar apa perut mertua Lidya itu sebenarnya? Kuat banget makannya.

Posisi duduk mereka yang ada di pojok seharusnya membuat keduanya lolos dari perhatian banyak orang, namun kecantikan dan kemolekan Lidya serta binalnya pakaian yang dikenakan membuat para mahasiswa mencuri pandang dan lirik-lirik gemas ke arah istri Andi itu.

Lidya menyeruput es buahnya dengan menundukkan kepala, mencoba menghindari pandangan dan kontak mata dari para pengunjung warung yang menatapnya lebih lezat dibandingkan mie ayam atau es buah yang tengah disantap. Apalagi yang para mahasiswa, tidak perlu ditebak apa yang tengah mereka bisikkan sekarang sambil melirik-lirik ke arahnya. Gerakan tangan di depan dada sudah lebih dari cukup.

Duh, begini amat sih hidupnya?

Saat itulah ia merasakan ada benda asing menelusup ke bagian belakang hotpants yang ia kenakan. A-apa-apaan ini?

Tangan sang mertua nakal menggerayangi. Di depan publik. Edan.

“Jangan, Pak. Ini ramai.” Bisik Lidya mencoba mencegah tindakan yang lebih jauh lagi.

Dia pun buru-buru menegakkan tubuh dengan maksud supaya Pak Hasan bisa segera mencabut tangannya, namun yang dilakukan sang mertua bejat justru sebaliknya, tangan Pak Hasan justru menelusup semakin dalam.

“Paaak... jangaaan.”

Pak Hasan hanya tersenyum ke depan seolah-olah tidak ada kejadian penting. Satu tangannya bermain-main dengan sisa es campur, sementara tangannya yang lain bermain-main dengan bokong sang menantu.

Wajah Lidya memerah. Sepertinya percuma menghentikan mertuanya kalau sudah begini, apalagi dia juga sudah berjanji untuk menuruti semua tindakan mesumnya. Lidya memejamkan mata saat jari jemari nakal Pak Hasan melesak ke dalam celana dalamnya. Posisi duduk Lidya jadi harus sedikit menungging untuk memberi akses bagi Pak Hasan.

“Mmmmhhh...” desah wanita jelita itu manja.

“Enak?”

“He’em... mmmmmhhhhh...” Lidya berusaha menutup mulutnya untuk tak menimbulkan suara sekecil apapun. Tapi dia sangat tidak tahan diperlakukan seperti ini.

Lidya kembali sadar bahwa orang yang berada di sampingnya saat ini... orang yang tangannya sedang menelusup ke celana pendeknya dari belakang ini... adalah orang yang telah menodainya berkali-kali. Dia menjadi orang pertama selain sang suami yang bisa merasakan sempitnya vagina yang ia rawat, ia orang yang membuatnya dinikmati oleh para bajingan kampung saat bertamasya ke desa, dia yang berhasil membuat seorang supir taksi mencumbunya, dia yang berhasil membuat orang tak dikenal di mal menikmatinya.

Mertua busuk dan bejat.

Tapi dia membiarkannya... dan bersedia menjadi budaknya. Apa yang membuatnya jadi binal begini? Jari Pak Hasan masuk ke memek Lidya, mengobelnya.

“Aaaaaaaaaaaaah!”

Tanpa sadar Lidya melenguh keras.

Beberapa orang terkejut, mereka pun menengok ke arah si cantik dan sang mertua dan langsung bertanya-tanya. Sang pusat perhatian semakin menjadi pusat perhatian. Ketika sadar apa yang telah terjadi, Lidya langsung gelisah dan panik! Aduh celaka! Harus bagaimana ini!?

Tangan Pak Hasan menyelip keluar dari celana Lidya dan ia melambaikan tangan ke para pengunjung yang lain.

“Tenang semuanya, kebetulan menantu saya kakinya kepentok meja. Untungnya sudah tidak apa-apa sekarang.” kata Pak Hasan sambil tersenyum riang dan mencoba menenangkan suasana. “Oh iya... karena hari ini hari ulang tahun saya dan kebetulan saya sedang banyak rejeki, maka hari ini saya traktir Bapak, Ibu, Adik, semuanya. Mie ayam yang sedang disantap beserta minumannya tidak perlu bayar! Bapak dan Ibu tidak perlu bayar! Saya yang akan bayar!”

Pengumuman itu bagaikan petir di telinga Lidya – yang benar saja! Traktir semua orang? Si cantik itu memandang berkeliling, ada kalau belasan orang lebih yang sedang makan saat ini. Gila aja! Duit dari mana lagi si tua brengsek ini? Lidya kan hari ini sama sekali tidak membawa dompet!

Semua orang bersorak-sorai dan mendatangi Pak Hasan untuk menyalaminya. Mereka berterimakasih sambil tertawa dan mengangkat jempol. Tidak ada kecurigaan apapun nampak di wajah mereka. Beberapa di antara mereka juga berterimakasih pada Lidya yang kebingungan.

Dengan seringai khasnya, Pak Hasan berbisik pada Lidya yang menampakkan kekhawatiran. “Tenang saja, semua pasti beres.”

“Yakin?”

“Pasti beres.”

Lidya sama sekali tidak yakin.

Setelah sebagian besar pengunjung selesai makan dan keadaan sudah tidak begitu ramai, keduanya menuju kasir untuk membayar pesanan mereka, sekaligus membayar pesanan orang-orang yang ditraktir oleh Pak Hasan.

“Jadi berapa semua?” tanya Pak Hasan pada pemuda yang sedang melayani di depan gerobak mie ayamnya.

Untuk beberapa saat lamanya pemuda itu terdiam sambil mengamati catatan pesanan, lalu menghitungnya dan menyebutkan angka ratusan ribu rupiah.

Lidya geleng-geleng kepala, ini jelas bukan hari ulang tahun Pak Hasan – jadi alasan tadi pasti dibuat-buat saja. Pasti ada alasan busuk lain di kepala Pak Hasan. Ia semakin khawatir ketika melihat Pak Hasan membuat aksi seakan-akan sedang mencari dompet di semua saku.

“Waduuh. Waduuuuh!” Pak Hasan berakting kebingungan. “Do... dompet saya ketinggalan, Mas! Duh gimana ini?”

“Walaaaaah, lha terus bagaimana ya, Pak?” pemuda itu kebingungan, “padahal tadi sudah bikin belasan porsi lebih. Harus dibayar semua, kan tadi Bapak sudah janji?”

“Iya, saya juga bingung, Mas. Dompet saya bener-bener ketinggalan ini.” Pak Hasan menatap sang pemuda dengan muka polosnya. Dia masih saja terus berakting mencari dompet.

Lidya memutar matanya ke atas. Hadeh bisa aja si codot tua ini.

“Saya panggilin bos saya aja ya, Pak. Saya takut kalau ada salah-salah nantinya...”

“Boleh deh.”

Buru-buru sang pemuda masuk ke belakang kios dan mengetuk pintu sebuah kamar. Ketika kamar dibuka, ia pun masuk dan tak kelihatan untuk beberapa saat lamanya.

“Aku ga mau lho, Pak.” Bisik Lidya khawatir. “Pokoknya aku ga mau. Titik.”

“Apaan sih kamu ini.” Pak Hasan merengut. “Katanya mau ikutan semua kata-kataku? Ya sudah ikutin aja. Budak kok protes.”

Wajah Lidya memerah, ia menunduk. Sialan.

Sang pemuda tak lama kemudian keluar dari kamar. Ia mempersilahkan Pak Hasan dan Lidya untuk masuk ke kamar tersebut. “Silahkan, Pak. Bicara langsung dengan bos saya saja.”

“Oke, terima kasih, Mas.”

Pak Hasan pun menggandeng Lidya dan membawanya masuk ke dalam kamar sang bos. Ia menutup pintu agar tidak terdengar dari luar. Kamar itu cukup luas dengan kardus dan plastik-plastik dijajarkan rapi. Sepertinya ini bukan kamar, ini gudang – apalagi ruangan itu cukup besar dengan rak di sisi dinding dan meja kursi di tengah ruangan.

Seseorang duduk di samping meja.

Tangan Lidya tak pernah lepas dari kemeja Pak Hasan, ia masih saja terus menundukkan kepala dengan takut dan khawatir.

“Jadi... ada masalah apa ya, Pak?” sang pemilik warung mie ayam lah yang sedang duduk di salah satu kursi di ruangan itu. Wajahnya keriput, rambut mulai menipis bahkan sudah hampir botak, dengan perut tambun yang gagal disembunyikan oleh kemejanya yang kekecilan. Melihat penampilan dan wajahnya, usia Bapak ini pasti sudah lebih dari lima puluh.

“Saya Hasan, Pak. Ini menantu saya.”

“Saya Kuncoro, saya yang punya warung ini.” sang pemilik warung menyalami Pak Hasan.

Pak Kuncoro menatap ke arah Lidya dan meneguk ludah. edan... ada ya cewek secantik dan seseksi ini yang masih mau makan mie ayam pinggiran.

“Oh ya ya, permisi ya, Pak Kuncoro – saya mau mencoba menjelaskan. Jadi mohon maaf tadi saya makan di sini bersama menantu saya ini dan mencoba berbaik hati mentraktir belasan pengunjung yang lain, tapi tanpa sepengetahuan saya - ternyata dompet saya ketinggalan, Pak. Saya sungguh tidak sengaja perkara dompet ini.”

“Lho... terus bagaimana, Pak? Bapak mau makan gratis gitu? atau kasbon? Tidak bisa, Pak. Kami hanya mau menerima uang tunai.” Melihat Pak Hasan malah cengengesan dan Lidya menunduk malu, mau tak mau Pak Kuncoro jadi emosi juga. “Bapak jangan cengengesan dong, apalagi Bapak sudah mentraktir belasan orang yang membeli, bayangkan kerugian saya, Pak.”

“Hahahaha. Tenang saja, kita cari jalan tengahnya saja. Saya kebetulan ada ide kok.” ucap Pak Hasan sembari menyunggingkan senyum nakalnya dan mengedipkan mata ke arah Lidya yang langsung menunduk lemas, “Itu juga kalau Bapak berkenan.”

“Ide apa itu?” Pak Kun masih bersungut-sungut. Siapa tahu idenya bisa meredam amarah yang sudah terlanjur tersulut.

“Ada dua pilihan, Pak. Yang pertama... saya pulang sebentar untuk mengambil dompet dan kembali ke sini.” Usul Pak Hasan, “atau...”

“Atau...?”

“Atau saya persilahkan Bapak mencicipi hidangan dari saya.” Pak Hasan tersenyum sambil menunjuk menantunya. Lidya sudah pasrah saja melihat mertuanya lagi-lagi melakukan hal gila. Dia sudah bisa menebak arah dan tujuan edan Pak Hasan sejak awal.

“A-apa maksud Bapak?” Pak Kun meneguk ludah.

“Silahkan Bapak cicipi menantu saya ini.”

“A-apa!???” Pak Kun sampai terduduk di kursi mendengar ucapan gila dari laki-laki laknat yang dari tadi senyam-senyum di depannya. Tidak! Ia tidak mau! Jelas tidak! Ia setia pada istrinya! Pada anaknya! Pada...

Pak Kun melihat sekilas ke arah Lidya, ia melihat sesosok wanita sempurna.

Apa ya mau dilewatkan kesempatan seperti ini?

“Bapak bercanda kan?” tanya Pak Kun sekali lagi. Dia mengamati Lidya dari atas ke bawah, dari bawah ke atas.

“Gimana, Nduk?”

Harus bagaimana lagi? Lidya kan budak. “Ti-tidak, Pak. Bapak mertua saya tidak bercanda. Saya bersedia membayar semuanya dengan tubuh saya.”

Gleg. Pak Kun meneguk ludah. Edan ini, ini edan ini.

“Tentu saja ada syaratnya.” Kekeh Pak Hasan.

“A-apa itu?” Pak Kun mulai blingsatan, wajahnya memerah dan otongnya mengeras. Otak dan logikanya sudah sangat encer karena tak mampu lagi digunakan untuk berpikir jernih.

“Tidak boleh ada penetrasi, tidak boleh ada pertemuan kelamin, kalau mau bisa pakai mulut dan tangan. Apa saja boleh kecuali dientotin memek dan anusnya.”

Gleg.

Pak Kun meneguk ludah lagi. Gila saja syarat itu, mana mungkin dia sanggup? Orang normal mana yang bisa tahan untuk tidak menyetubuhi wanita semolek Lidya jika sudah dihidangkan? “Ma-mana bisa saya tahan untuk tidak menikmati Mb-Mbak ini...”

“Ya sudah, kalau begitu kesepakatan kita batal saja.” Pak Hasan mengangkat pundaknya, ia mencibir, “saya pulang sebentar, mau ambil dompet dulu.”

“Tu-tunggu!”

Pak Hasan melirik Pak Kun.

“Tunggu... sa-saya mau.”

“Mau apa?”

“Saya mau terima syaratnya.” Wajah Pak Kun memerah penuh nafsu. Hancur sudah kesetiaannya pada keluarga. “Sa-saya mau...”

Pak Hasan terkekeh. “Silahkan dinikmati kalau begitu. Waktunya 15 menit... mulai dari... sekarang!”

Tanpa menunggu aba-aba kedua, Pak Kuncoro langsung memeluk Lidya dan mencumbuinya penuh nafsu. Bibirnya yang jontor memagut bibir atas Lidya dan lidahnya bekerja keras dengan bermain di dalam mulut sang jelita.

Lidya pun pasrah merelakan dirinya kembali harus dilecehkan oleh pria asing berwajah jelek yang tak dikenalnya gara-gara ulah sang mertua, Pak Hasan hanya tertawa terbahak-bahak, tak lupa ia mengeluarkan ponsel dan mulai merekam semua adegan yang terjadi.

Pak Kun tak mau membuang waktu, dengan penuh nafsu ia memutar tubuh Lidya dan segera mencumbui tengkuk leher sambil meremas payudaranya yang begitu kenyal dan padat. Bibirnya komat-kamit tak kuasa menahan birahi yang tumpah ruah. “Ahhhh... sayaaaang, kamu kenapa begini menggoda?”

Lidya sebenarnya juga tidak sedang baik-baik saja, dirinya mau tidak mau jadi ikut terangsang oleh remasan di dada dan cumbuan di sekitar leher, istri Andi itu pun merem melek menikmati detik demi detik yang berlalu di ruangan itu.

“Sa-saya boleh melakukan apapun, asalkan bukan seks?” tanya sang pemilik resto memastikan.

Begitu Pak Hasan mengangguk, Pak Kun langsung membuka kancing yang melekat pada kemeja Lidya dan ia pun meraba-raba perut rata Lidya. Ia lalu mengangkat tanktop Lidya sehingga payudaranya juga ikut terpampang jelas.

“Waaaaah, oooohhh, aaaaaahhhh!!! Me-melooon!! Meloooon!” Pak Kun tak kuasa menahan takjub. “Be-besar sekali punyamu, sayaaaaang.”

“Aaaauuuuw... jangan kencang-kencaaaaang! Aaaahhh!”

Jari jemari Kuncoro begitu liar memainkan tiap jengkal petak yang ada dalam payudara tersebut dengan telapak tangannya, tidak ada titik yang tak disentuh olehnya, tak lupa ia juga memainkan puting indah yang menggantung di ujung bola besar tersebut.

“Tinggal delapan menit.” Pak Hasan tersenyum.

“Ti-tinggal... delapan...” Pak Kun terperangah, “Jangan main-main! Kenapa secepat itu!?”

Pak Kuncoro mempercepat rangsangannya pada dada Lidya, karena nafsunya semakin memburu dan waktu yang semakin cepat, ia pun menurunkan celana Lidya dengan paksa beserta celana dalamnya, jadilah Lidya telanjang hanya mengenakan kemeja dan tanktop yang sudah terangkat menampilkan buah dadanya yang sentosa.

Melihat gundukan mungil di belah selangkangan Lidya, Pak Kun tak tahan lagi. Ia melepas celananya sendiri dan mengeluarkan penisnya yang hitam legam tanpa tedeng aling-aling.

“Woy woy... jangan lupa syaratnya.” Ucap Pak Hasan mengingatkan.

“Iyaaa iyaaaaa...” jengkel Pak Kun menggerutu.

Pemilik warung mie ayam itu pun menyelipkan penisnya diantara paha dan selangkangan bagian atas sehingga penisnya bersentuhan langsung dengan bibir vagina Lidya.

“Hhhh... hhh... siap untuk sajian utamanya, sayang?” tanya Pak Kun.

Sambil memegangi payudara Lidya, Pak Kuncoro memacu pinggulnya maju mundur seolah dirinya tengah menyetubuhi Lidya padahal tidak, penisnya hanya terselip diantara selangkangannya dan menggesek bibir vagina Lidya dengan kuat.

“Hnggghhh... aaaaahhh!! Aaahhhhhh!!!” meski hanya digesek, tapi kalau sekuat ini, mau tak mau terasa juga bagi Lidya.

Pak Hasan tersenyum dengan ide sang penjual mie ayam. Lumayan... lumayan. Pak Hasan berdecak karena ia juga jadi terangsang oleh adegan di depannya. Ia pun mengeluarkan batang kemaluannya di depan Lidya dan Pak Kun.

“Ke-kerasa kan besarnya, sayaaaang?” Pak Kun merem melek keenakan merasakan kempitan paha mulus menantu Pak Hasan. “Ga sayaaaang apa ga dimasukin ke tempikmuuu!?”

Lidya hanya bisa mendesah, melenguh, dan mengucap kata-kata tak jelas. Ia tidak akan bergerak tanpa perintah sang mertua.

“Nduk, ini yang buat kamu.” Ucap Pak Hasan.

Lidya mengangguk dan memutar badan. Sang menantu pun nungging supaya ia dapat menjilat dan mengulum penis Pak Hasan sementara Pak Kun masih merasakan kempitan dua bilah pahanya. Ia menjilat batang kemaluan sang mertua dengan penuh nafsu, bagaikan anak kecil yang bertemu eskrim teramat enak.

Lidya diserang dari dua arah, depan dan belakang. Sambil menungging, tangannya bertumpu di paha sang mertua untuk mengulum penis yang sudah begitu sering ia rasakan.

“Haaaaaaaahhh!! Haaaaarrrghhhh!”

Pak Kun mendesah merem melek saat menikmati gesekan lembut paha mulus sang bidadari. Kapan lagi dia bisa merasakan nikmatnya tubuh wanita muda jelita dan seksi seperti Lidya?

“Dua menit lagi. Saya berikan bonus tiga menit karena baru saja saya ganggu.” ucap Pak Hasan sembari menarik penisnya dan memberi kesempatan pada sang penjual mie ayam.

“Aaaaahhhhh... siaaaaal.”

Dengan buru-buru Pak Kun melepas semua pakaian Lidya, menegakkan tubuh si manis itu dan mencumbuinya penuh nafsu dengan posisi berdiri. Lidya yang sudah tanpa busana hanya bisa pasrah di-heavy petting oleh Pak Kun. Si penjual mie ayam makin getol memajumundurkan gerakan pinggulnya dengan kecepatan tinggi untuk menggesek vagina sang bidadari.

“Emmmhhhh! Emmmhhhh! Aaaahhhh.... aaahhhh!” Lidya juga ikut mendesah seiring gerakan pinggul Pak Kun yang membabi-buta.

“Dua menit.”

“Haaaaaaaaaarrrrgghhh!” Pak Kun makin kencang menggosok, ia sudah tak lagi peduli bentuk dan posisi Lidya seperti apa.

Pak Kun masih terus memainkan tangannya untuk meremas dan menggunakan bibirnya untuk mencium sekujur tubuh Lidya. Ia hanya ingin melepaskan semuanya di puncak kenikmatan. Untunglah apa yang dinantikan akhirnya datang juga.

“Aku mau keluaaaaaaaaaarrr...!” Pak Kun setengah berteriak, ia bahkan sudah tidak peduli dengan orang-orang di sekitar yag mungkin mendengar teriakannya.

“Sepuluh... sembilan... delapan...” Pak Hasan melakukan hitungan mundur.

“Aaaaaahhh... aaaaahhh... sayaaaaaaaaaang!!” Pak Kun semakin memacu lebih cepat dan lebih cepat lagi, keringatnya menetes tanpa bisa ditahan. “Akuuuuu tidak taahaaaaaaaaaan!!”

“Mmmmhhh... aaaaahhh... aaaahhhh... aaaaahhhh” Lidya yang memejamkan mata juga tak bisa menahan diri. Dia masih tetap seorang wanita biasa yang juga mudah terangsang.

“Lima... empat... tiga... dua...”

“Aaaaaaaaaaaaaaaakkkhhhhh!”

“Satu! Waktu habis!”

Srrrttt! Srrrrt! Srrrrrrrrrrrrrt!!

Tepat saat hitungan mencapai angka satu, muntahan cairan cinta Pak Kuncoro mengalir di sela-sela jepitan paha Lidya. Lelehan air mani dari ujung gundul penis Pak Kun tumpah membasahi bibir vagina Lidya, beserta sisi paha bagian dalamnya.

Sang bidadari sedikit terkejut dengan banyaknya sperma yang tumpah membasahi pahanya itu. Ia mencoba mencari-cari tissue untuk membersihkan.

Pak Kun ambruk terduduk dengan lemas. Belum pernah ia senafsu ini melakukan sesuatu yang bukan sesuatu dengan seorang wanita yang begitu cantik dan seksi. Dia geleng-geleng kepala saat Pak Hasan mengambilkan kemeja merah yang tadi dikenakan oleh Lidya.

Benarkah mereka berdua ini mertua dan menantu? Kalau iya... hubungan bejat macam apa yang saat ini tengah mereka berdua jalani? Sungguh tak terbayangkan. Pak Kun melirik ke arah foto anak dan istri yang ia pajang di sebuah meja.

Apa yang sudah ia lakukan?

Lidya yang lemah tak berdaya mencoba bangkit mencari mini tanktop yang tadi dilemparkan oleh Pak Kuncoro, tapi ia tak kunjung menemukannya.

“Sudah pakai yang ada saja, gak usah pakai lainnya” perintah Pak Hasan.

Lidya mengangguk, ia mengenakan celana dalamnya tanpa menghapus sisa-sisa cairan cinta yang masih mengalir dari sisi-sisi paha yang belum sempat ia bersihkan utuh. Si cantik itu juga tak sempat menemukan mini tanktop yang sebelumnya ia kenakan, mau tidak mau ia hanya mengenakan kemeja merah tembus pandang yang dengan jelas menampakkan buah dadanya yang sentosa.

Dengan terburu-buru Lidya segera keluar dari kamar dan kabur keluar dari restoran, dengan cepat.

Beberapa orang yang sedang makan dan antri Mie Ayam otomatis terkejut melihat seorang wanita aduhai cantiknya keluar dari kamar Pak Kuncoro dengan rambut dan pakaian yang berantakan.

“Lah, buset. Ga pake beha, coeg.” ucap salah satu pelanggan yang sedang makan.

“Hah? Beneran ya? Kirain cuma aku yang lihat tadi!” sambung pelanggan yang satu lagi.

“Edian. Udah toketnya gede, putingnya pink lagi! Mantap jiwa!” ucap pelanggan yang sebelah lagi.

Lidya sudah tak lagi mendengar dan melihat ucapan dan panggilan nakal dari para pria yang mendapatkan tontonan gratis darinya. Malu sekali! Malu banget! Ia melewati kedai dengan tas menutup wajah.

Tiba-tiba saja ada tangan yang meraih pergelangan tangan Lidya.

Tangan Pak Hasan.

“Yuk, kita pulang sekarang.” katanya sambil tersenyum.

Lidya juga mengangguk dan ikut tersenyum.





.::..::..::..::.





Air conditioner hotel menyala kencang. Seharusnya memang dingin, tapi menjadi berasa panas siang itu. Seluruh jendela tertutup, membuat suasana juga menjadi lebih gelap.

Dina melemparkan diri dengan tengkurap di samping tubuh Bonar, nafasnya terdengar memburu sementara keringat menetes di sekujur tubuh. Pantat ibu dua anak yang masih sangat seksi itu bagaikan buah apel yang bersinar terang oleh tetesan embun keringat, mulus menyilaukan terkena sinaran cahaya lampu redup. Cairan cinta meleleh dari liang kenikmatan Dina membuat genangan basah kental di antara kedua kakinya yang jenjang. Kaki Bonar bergetar karena kelelahan dan kantung kemaluannya seperti akan meledak.

Kedua sosok berlainan jenis yang baru saja bermain cinta dengan hebat itu kini megap-megap menarik nafas karena keduanya sama-sama kelelahan. Dina melemparkan badannya ke samping. Si cantik itu mencium bibir tebal Bonar dengan penuh perasaan, ia memasukkan lidahnya ke dalam mulut bau rokok pria yang pantas menjadi ayahnya itu dan menciumnya sambil memejamkan mata, mencoba menikmati setiap tetesan liur yang tercampur. Bonar tentunya tidak menyia-nyiakan kesempatan dan membalas ciuman Dina, bermain cinta seperti ini melelahkannya, namun sosok seksi Dina membuatnya ingin terus lanjut dan lanjut.

Beberapa saat lamanya mereka berdua saling berpagutan, membiarkan tangan saling mengelus lekukan tubuh masing-masing, keduanya sama-sama merasa nyaman bercinta melepas birahi seperti ini. Entah karena pengaruh obat kuat ataukah karena sosok Dina memang sangat seksi, kemaluan Bonar kembali naik dan mengeras seperti kayu. Pria tua itu berulangkali berdecak kagum karena tidak biasanya ia bisa terangsang hebat seperti ini, bersama sang istri butuh waktu lama bagi Bonar agar bisa menegakkan penisnya, rupa-rupanya sesi percintaan dengan Dina ini membuatnya merasa muda kembali. Ia menikmati sesuatu yang sudah lama tak ia rasakan.

Gairah birahi Dina bergejolak tak terpuaskan, si cantik itu mengalihkan ciumannya, turun ke bawah, ke dagu, leher, dada kemudian turun ke perut menggelambir Bonar. Si cantik itu berhenti sebentar di dada untuk mencium puting lembek sang pria tua. Dina melanjutkan menyusur ke bawah, ke pusar dan akhirnya ke tujuan utama, penis yang kini mengeras kembali. Mulut mungil Dina tak malu-malu menangkup penis Bonar yang menegak, ia menjilat dan menghisap penuh nafsu. Dina seperti memandikan kemaluan sang lelaki tua dengan bibirnya yang indah.

Kepala Dina bergerak naik turun seiring dengan panjang kemaluan keriput Bonar. Kadang ia melepas penis sang lelaki tua dan membiarkan lidahnya bergerak lincah menjilat kantung kemaluannya tanpa sedikitpun merasa jijik. Ciumannya mendarat di sekujur batang dan kantong kemaluan Bonar dengan serangan bertubi. Lelaki tua itu tersenyum puas, sungguh enak sekali rasanya disepong wanita yang cantik ini. Ia sama sekali tak menduga di balik wajahnya yang anggun Dina memiliki kemampuan memuaskan hasrat pria semacam dirinya.

Penis tua itu menegak tinggi bagai menantang langit dengan batang terselimuti air liur dari mulut sang bidadari. Dina tersenyum nakal dan naik ke atas selangkangan Bonar. Dengan sengaja si cantik itu duduk menghadap ke arah kaki sang lelaki tua sambil perlahan-lahan menyelipkan kemaluan keriput yang telah menegak ke lubang senggamanya. Dina melenguh ketika akhirnya batang panjang Bonar melesak masuk seluruhnya ke dalam. Si cantik itu jugalah yang menggerakkan pinggulnya mengendarai kemaluan sang pria tua. Punggungnya yang mulus tanpa cacat melejit di hadapan Bonar, punggung indah yang basah kemilau oleh keringat. Bonar sendiri tak mampu melepas pandangan dari bulat indah pantat Dina yang bergerak naik turun.

Dina bergerak binal mengendarai penis Bonar lebih dari lima menit lamanya, si cantik itu juga memainkan kantong kemaluan dan klitorisnya sendiri dengan jemarinya yang menjelajah lincah. Nafas Dina berhembus keras dan gerakannya kian lama kian menuntut, ia ingin segera mencapai puncak kenikmatan. Bonar sendiri sudah merem melek mendaki orgasme. Keduanya mengerang tanpa akhir, saling mengelus, menyentuh, menikmati tiap lekuk tubuh masing-masing. Kantong kemaluan Bonar terlempar-lempar tiap kali ia memompakan penisnya menghujam vagina Dina. Pria tua itu menahan geraman saat ia akhirnya benar-benar tak mampu bertahan!

Dina mengembik berulang, mendesis dan menjerit lirih, kenikmatan yang rasakan makin lama makin mendaki, membuat si cantik itu tak lagi mampu bertahan dan diam. Dengan penuh nafsu ia menggesekkan jemarinya di bibir kemaluan dan klitorisnya sendiri, gerakannya makin menggila dan jeritannya makin keras. Lenguhannya yang keras menggema di kamar hotel ketika akhirnya tubuhnya berhenti bergerak dan menegang. Bonar tahu sekali, si cantik itu pasti sudah hampir sampai di puncak kenikmatannya. Punggung Dina melejit lentur ke belakang dan lehernya digelengkan ke samping menjatuhkan tetesan keringat sebesar biji jagung. Dengan satu jeritan memuncak, tubuh lelah Dina ambruk di atas tubuh Bonar.

Dina dan Bonar tersengal-sengal karena kelelahan, Dina berguling ke samping dan mengatur nafasnya. Keduanya terbaring tanpa daya di atas ranjang. Ketika nafas Bonar mulai stabil, pria tua itu kemudian duduk dengan puas dan memperhatikan keindahan tubuh Dina, matanya berbinar penuh kekaguman, sungguh ia tak percaya ia baru saja bersetubuh dengan wanita seindah ini yang mampu memberikan kenikmatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kulit Dina yang seputih pualam berkilau dan paha bagian dalamnya penuh bercak bauran cairan cinta. Kaki wanita cantik itu agak diangkat sampai ke atas sehingga Bonar bisa melihat lelehan campuran cairan cinta mereka berdua menetes di atas ranjang. Bulat pantat Dina merekah membuka seakan mengundang.

“Puas…?” bisik Dina.

Matanya yang tadi terpejam kini terbuka, tatapan manja terbias di wajahnya yang terlihat letih.

“Sangat.” Jawab Bonar singkat.

Bonar tak berkedip menatap selangkangan Dina.

Dina yang risih akhirnya mengatupkan kakinya. “Ngelihatinnya kok sampai segitunya?”

“Aku hanya heran, kita... hm... bersenggama... tanpa proteksi... apa... kamu tidak takut hamil?” Dengan penuh kelembutan Bonar menarik selimut dan menyelimuti tubuh telanjang Dina. Sifatnya yang kebapakan dari pria yang pantas menjadi ayahnya itu membuat Dina makin merasa terlindungi.

“Tidak. Suamiku justru suka kalau aku hamil lagi.”

Bonar tergelak dan membaringkan tubuhnya. Kepalanya dihempaskan pelan di atas bantal. Ini menyenangkan sekali, lebih menyenangkan dari menyewa lonthe murahan. Dina seorang wanita yang elegan, lembut dan memiliki kharisma, dia cantik, menarik dan juga pewaris sebuah perusahaan besar. Tidak disangka wanita seperti itu ternyata cukup binal di ranjang. Beruntung sekali dia bisa bercinta dengannya.

“Mumpung kita sama-sama terbangun, ada baiknya aku mengajukan proposal sekarang. Seperti kesepakatan kita, aku ingin semua proyek yang berkasnya ada di dalam tas ini ditandatangani.” kata Dina sambil tersenyum dan menyerahkan tas yang segera dibuka Bonar. “Termasuk kerjasama long term lima belas tahun dengan BUMN yang ‘itu’.”

“Ini kan bisa nanti...” Bonar bersungut-sungut, ia sedikit mengumpat karena Dina tiba-tiba saja mengajukan berkas usai mereka bercinta habis-habisan. Kertas-kertas yang disodorkan kepadanya membuat pria tua itu kehilangan gairah.

“Aku tidak mau kamu terlupa. Kalau kamu sampai lupa, percuma aku melakukan ini semua.”

“Kamu memang nakal sekali, sayang. Cantik, seksi dan anggun… tapi nakal.” Balas salah satu pejabat pemerintahan itu dengan ciuman di bibir Dina, dengan cekatan dia mengambil pena yang ada di saku bajunya yang jatuh ke lantai dan menandatangani semua berkas-berkas yang diberikan Dina. “Mudah-mudahan suamimu yang bodoh itu juga segera mati, sehingga kekayaan keluarga Haryanto jatuh ke tanganmu. Kamu cantik dan cerdik, pandai memanfaatkan situasi.”

Dina hanya tersenyum tanpa menjawab.

Mereka berpelukan mesra, lalu kembali rebah ke tempat tidur. Tak perlu waktu lama bagi keduanya untuk bisa segera terlelap karena sama-sama letih setelah baru saja bercinta hebat dan sama-sama meraih kenikmatan. Sayangnya mereka bercinta namun bukan dengan pasangan masing-masing. Bonar adalah ayah dari empat orang anak, bahkan anaknya yang paling besar adalah adik kelas Dina semasa SMA dulu.

Kenapa Dina melakukannya?

Sebagai pimpinan perusahaan, Dina memang tidak memiliki background memadai. Relasinya terbatas dan kemampuan organisasionalnya juga tidak bisa dibilang luar biasa. Tugas sebagai pimpinan perusahaan sangat berat, terkadang dia sebenarnya tidak mampu mengeluarkan keputusan penting di saat-saat pelik dan memilih menyerahkan problem kepada para manajer di bawahnya yang tentu lebih memiliki kompetensi penyelesaian masalah. Dina sadar ia tidak mungkin melakukannya terus menerus.

Tapi Dina adalah wanita yang cerdas, walaupun memiliki banyak kekurangan, si cantik itu selalu belajar dari pengalaman dan mengambil pendidikan disana-sini untuk mempertebal ilmu manajerialnya. Kemampuan leadership Dina memang tidak bisa semalam jadi, namun lain halnya kalau membicarakan urusan perebutan tender. Kalau soal yang satu ini Dina tidak akan kalah dengan siapapun. Kemampuan Dina untuk bernegosiasi ada di atas rata-rata, ditambah dengan kecantikan alaminya yang menyegarkan membuat sebagian besar calon klien atau pemodal ikut saja dengan kemauannya.

Jika semua negosiasi sudah luruh, Dina tahu dia masih memiliki kartu as paling ampuh untuk menundukkan lawannya yang rata-rata adalah pria tua bertubuh tambun berkepala botak dengan mata yang tatapannya merendahkan lawan bicara.

Dina bisa menundukkan mereka semua, dengan kemolekan tubuhnya.

Entah sudah berapa kali Dina melayani para bos dengan handjob atau blowjob, entah sudah berapa kali si cantik itu membiarkan mereka meraba dan meremas-remas tubuhnya dengan kasar dan cabul. Jika jumlah yang ia dapatkan benar-benar signifikan untuk kemajuan perusahaan, Dina juga sudah tidak peduli lagi jika untuk urusan seperti ini dia harus membayar dengan tubuhnya, demi perusahaan apapun akan dilakukan.

Pak Bonar adalah salah satu contoh, dengan melayaninya bercinta, Dina baru saja memastikan barisan proyek besar kembali jatuh ke tangannya. Jumlah yang benar-benar masif memastikan surplus dalam finansial perusahaan, beratus-ratus persen dibanding peningkatan sebelumnya. Tidak akan habis tujuh turunan.

Ini juga artinya mereka bisa menambah jaringan bisnis property di semua provinsi.

Senyum kemenangan tersungging di bibir tipis Dina.





.::..::..::..::.





Siang mulai redup, sore menjelang datang, suasana rumah senyap. Opi sudah lelap beristirahat, Hendra sibuk dengan laptop dan kertas-kertas bermap.

Paidi duduk di meja makan sembari menikmati hidangan fast food yang dipesan dari ojek online. Alya tidak masak apa-apa hari ini. Si cantik itu hanya membereskan saja meja makan dan meletakkan satu persatu piring kotor ke cucian.

“Mau nemenin makan?” tanya Paidi dengan senyumnya, ia menatap Alya tanpa kedip.

“Aku tadi sudah makan, barusan Opi juga sudah.”

“Nggak seru kalau tidak kamu temani makan.” Lanjut Paidi masih merayu.

“Kan barusan sudah aku bilang aku sudah makan?”

Paidi mendekat ke arah Alya, si cantik itu kini sedang mengaduk nasi dalam magic jar. Karena didesak oleh Paidi, iapun terpepet ke tembok.

“Mmm... Mas Paidi kok nakal ya? Mas mau ngapain?”

“Mau makan siang...” kata si tua kurus itu sambil mengelus lingkar buah dada di baju Alya menggunakan jari telunjuknya.

Alya langsung tahu apa yang diinginkan Paidi dan menggeleng manja, “Mas Hendra ada di dalam. Nanti kedengeran. Jatah Mas nanti malam saja. Mas Paidi jangan nekat.”

“Aku selalu pengen tau apa susumu masih netes.” Kata Paidi dengan berani ketika ia merasakan basah di baju kemeja berkancing depan yang dikenakan Alya, memang benar, Alya sebenarnya sudah berhenti menyusui Opi namun air susunya masih sering sesekali menetes. “Butuh pelepasan...?”

“Tidak, cuma setetes dua tetes... aku sudah jarang me-... asi... aku... me-... hmmmh...” walaupun terus menolak, lingkar-lingkar kecil yang dibuat oleh telunjuk Paidi di dadanya membuat Alya mau tidak mau geli juga. Nafasnya mulai memberat. “Mas... jangannnhhh...”

“Aku mau minum susu.” Kata Paidi dengan suara yang tegas dan jelas. Alya yang sudah mulai terangsang terkejut mendengarnya. “Aku mau minum susu yang mengalir dari puting payudaramu, sayang.”

Alya mundur teratur ke arah tembok, tubuhnya bergetar antara takut ketahuan suaminya dan ingin merasakan kenikmatan. Namun pikirannya yang selalu kabur di hadapan pria tua kurus ini membuat Alya kalah. Ia memilih kenikmatan lebih daripada ketakutan. Dengan anggukan pelan dan gerakan ringan, si cantik itu mulai membuka kemejanya yang ketat menangkup buah dadanya yang sentosa.

“Sini, biar aku.....” Kata Paidi.

Sopir yang sudah sangat bernafsu itu melepas semua kancing baju Alya hingga bagian depannya terbuka lebar, menampilkan belahan dada tertutup bra dan kulit yang begitu indah dipandang, mulus dan mengundang. Sambil melepaskan kemeja yang dikenakan dewi molek itu, Paidi membiarkan jempolnya mengelus lembut kain BH yang dikenakan Alya merasakan posisi pentil sang dewi yang mulai menghunjam keluar. Paidi sudah sangat ahli melepas bh milik Alya, sehingga si cantik itu bahkan tidak tahu kapan Paidi mulai melepas kait dan kapan buah dadanya sudah terpampang jelas di hadapan sang sopir. Wajah Alya memerah karena malu ketika setetes air ASI keluar dari ujung putingnya yang menjorok keluar.

Paidi berdecak kagum, “indahnya payudara seorang ibu muda.”

Alya terpaksa duduk di pinggir meja kecil yang ada disampingnya karena Paidi langsung membungkuk ke depan dan menyerangnya. Lidah si tua kurus itu menjilati tetesan air susu mentah dan berasa hambar yang keluar dari pentil indah si cantik. Getaran kenikmatan yang belum pernah ia duga sebelumnya membuat payudaranya mengeras membulat. Desahan kenikmatan yang tak mampu ia tahan membuat Alya memekikkan erangan.

“Hkkkkgghhh!”

Alya menutup mulutnya sendiri dengan kaget.

Menyadari ini, Paidi pun segera menggandeng tangan Alya yang sudah hampir merem melek, kalau begini terus, Hendra bisa curiga. Enaknya kemana sekarang? Ah ya. Paidi merogoh kantong celananya, lalu menarik kunci mobil.

“Mau ikut?” bisik Paidi sambil memainkan kunci mobil di tangannya, wajah Alya memerah, ia pun mengangguk.

Kedua insan yang sedang dimabuk nafsu itu kemudian keluar dari rumah, naik ke mobil, dan berjalan saja berputar-putar kompleks. Lalu keluar, menyusuri jalan entah kemana, yang penting menikmati waktu berdua saja. Mobil itu masuk ke jalan tol menuju kota tetangga, lalu melaju menuju rest area yang sepi.

Setelah membeli kopi dari cafe yang ada di rest area untuk sekedar menemani duduk-duduk di mobil, keduanya pun mulai saling menatap dengan penuh harap. Tangan mereka bergandengan.

“Terlalu jauh ga sih jalan ke sini?” tanya Alya geli.

“Bingung mesti kemana lagi.” Paidi menggaruk kepalanya.

Alya tersenyum manis. Sungguh beruntung Paidi bisa mendapatkan tubuh dan hati wanita seindah Alya. “Terima kasih untuk semuanya, Mas.” Alya membuka percakapan. “Terima kasih sudah hadir dalam kehidupan aku yang carut marut ini. Aku merasa beruntung, kalau gak ada Mas Paidi aku tidak akan pernah tahu apa yang akan aku alami sekarang.”

Paidi tersenyum, “Mungkin aku diciptakan untuk melindungimu, kapanpun dan dimanapun.”

Paidi mendekat ke arah Alya, ia memejamkan mata. Alya juga ikut memejamkan mata. Keduanya berpagutan lembut, penuh kemesraan, intim, hangat, dan saling melengkapi.

Paidi menurunkan kursinya, membuat ruang agar lebih lega.

“Hah? Mau di sini?” Alya bertanya-tanya.

“Kenapa tidak? Sepi ini. Kita juga di pojok, tidak akan kelihatan siapapun.”

“Gila kamu, Mas.”

“Aku tergila-gila sama kamu, sayang.”

Alya tersenyum mendengar gombal dari supirnya, ia pun mendekat ke arah Paidi dan mencumbui supirnya dengan penuh cinta, tak ada lagi kasta, tak ada lagi jenjang, yang ada hanya keinginan untuk saling meluapkan asmara. Alya hanya ingin membalas perhatian yang sudah Paidi berikan dengan memberikan layanan terbaik untuknya.

“Sejak kapan sih jadi nakal begini?” Paidi menggoda sang kekasih.

“Hmm... siapa coba yang ngajarin?” Alya manja merajuk, “tanggung jawab!”

Jemari Alya yang lembut mengelus kulit wajah Paidi yang kasar, bibirnya tak berhenti untuk terus memagut bibir supirnya, sementara tangan Paidi dengan nakal meraba dan meremas bokong majikannya.

“Aku buka ya?” ucap Alya sambil melepaskan kancing kemeja yang Paidi kenakan.

Tatkala kemeja itu sudah tak terkancing lagi, tangan lembut Alya meraba-raba tubuh kurus Paidi yang penuh codet dan berwarna gelap, ia tak merasa ngeri atau jijik, ia justru merasa senang bisa melayani pahlawannya dengan penuh cinta.

“Ahhhhhh... sayaaaang, enakkkghhhhhh!” lenguh nikmat Paidi ketika sang ibu muda yang masih berpakaian lengkap menggesek-gesek penis Paidi.

“Jangan keras-keras. Nanti ada yang denger.” bisik Alya ketika ada pengendara motor melewati mereka. “Gila banget ngajakin ke rest area begini sih, Mas?”

“Aku bosen di kamar terus.”

“Ish, kan lebih aman.”

“Tapi ada suamimu.”

“Dia kan di depan.”

“Ya udah ya udah. Tapi kita sudah terlanjur di sini, boleh minta dibikin enak dulu gak, sayang? Biar tambah romantis.” bisik Paidi yang kemudian menurunkan celananya hingga muncul penis yang dipuja-puja oleh Alya.

“Ih, si Mas.”

Walau sudah sering melihat dan merasakannya, namun sepertinya ia tetap saja tak sanggup berhenti untuk mengagumi batang kejantanan Paidi yang besar, kuat dan panjangnya penis itu. Lemes aja segini, gimana kalau kenceng?

Alya pun melepaskan jaket kulit yang dipakai Paidi, jari-jemarinya dengan lihai menggenggam penis sang kekasih dan menaikturunkannya dengan penuh kelembutan. Paidi geli keenakan, ditambah dengan cumbuan Alya yang sudah dipenuhi oleh nafsu birahi.

Alya menurunkan kepala, dan mulai menjilati penis milik sang kekasih dengan lidahnya. Paidi kian terangsang. Ada yang hangat dan basah yang menyentuh, mengelus, dan mengecup semua sisi batang kejantanan yang ia banggakan.

Paidi mengerang.

Alya tersenyum mendengar suara erangan Paidi. Sudah saatnya. Sang dewi pun segera beraksi, naik turun memasukan penis besar tersebut ke mulutnya, ketika ia melepaskan penis itu dari mulutnya terlihatlah kilauan yang bersinar dari penis tersebut, lendir dan liur dari mulut Alya yang manis, dirinya melihat wajah Paidi sejenak dan mengocoknya sesaat sebelum ia kembali mengulum benda keras tersebut.

“Kamu cantik dan seksi banget hari ini.”

“Hmmpphh...” Alya melepas penis Paidi, “Masa?”

“Aku tidak tahan lagi.” Paidi bergeser ke belakang, posisi kursi sudah tidak karuan. Alya duduk di pangkuan sang kekasih. Paidi bergerak cekatan. Tanktop ketat dan bra yang sejak tadi dipakai Alya, kini sudah entah terbang kemana. Payudara sempurna sang ibu muda dimainkan dengan remasan, dan dihisap dengan penuh kenikmatan. Seolah-olah Paidi adalah seorang bayi tua yang kehausan.

Alya merinding geli.

Tapi Paidi tak akan peduli, ia hanya ingin menyusu dan meremasi payudara super milik majikannya ini, Alya pun diminta untuk berbalik arah, tubuh indahnya kini bersandar pada dada kurus milik sang supir, tangan Paidi kini lebih leluasa dalam menggerayangi payudara indah majikannya dari belakang, bibir mereka pun tak henti hentinya untuk saling mencium.

Kalau saja ada orang yang melihat mereka dari depan, mereka akan melihat adegan panas yang tak terbayangkan. Seorang pria kurus dengan penuh luka tengah menggerayangi tubuh indah seorang wanita muda yang montok, namun begitulah yang terjadi, tak ada yang dapat menghalangi ketika sepasang manusia telah jatuh ke lembah birahi.

Paidi melepas kancing celana Alya. Ia melirik ke arah sang kekasih, dan dibalas dengan anggukan kepala. Alya membiarkan saja tangan kasar supirnya meloloskan celana dari kaki jenjangnya. Alya pun hanya tinggal mengenakan celana dalam saja. Paidi pun berhenti sejenak untuk berdecak kagum dan terpesona oleh keindahan tiada dua yang berada di depannya, ya inilah santapan yang bebas Paidi makan kapanpun ia mau. Beruntungnya ia.

Alya tersenyum dan melepas celana dalamnya. “Ayo.”

Ia memejamkan mata saat Paidi mulai melesakkan batang kejantanannya perlahan-lahan dari belakang.

“Oooooohhhmm, Maasssshhhh.” lenguh Alya antara sakit dan nikmat.

“Sedikit lagi, sayang. Belum semua.”

Paidi mendorong pinggulnya semakin dalam.

Alya mengernyit kesakitan walau penis supirnya sudah dibasahi oleh pelumas alami yang sudah membanjiri liang cintanya, tapi ukuran penis yang super besar membuatnya tak dapat menahan rasa perih ini, hingga akhirnya beberapa saat kemudian penis Paidi sudah mentok menyundul Rahim sang majikan.

Tubuh Alya sudah penuh keringat walau mereka justru baru mulai, napasnya memburu dan ia sudah mulai ngap seolah baru saja lari maraton 10k.

“Siap?”

“He’em”

Paidi mengecup pundak Alya, lalu menggerakkan pinggulnya perlahan. Desahan-desahan kecil keluar dari bibir mungil Alya.

Liang cintanya begitu sesak oleh benda kencang dan panjang yang kini membuatnya merasa penuh, rasa perih akibat penetrasi tadi perlahan tergantikan oleh rasa nikmat akibat gesekan yang dirindukan. Napas Paidi begitu memburu, dirinya masih tidak menyangka mampu menyetubuhi wanita yang pertama kali dilihatnya di pos ronda, sungguh kurang ajar Bejo telah menyakiti wanita seindah ini. Dia bersyukur akhirnya semua baik-baik saja.

Payudara Alya yang indah mulai menari-nari seiring cepatnya gerakan pinggul yang Paidi lakukan. Sang mantan preman memejamkan mata, sulit rasanya untuk terus melek menikmati keindahan ini, karena penisnya ibarat tengah dipijat oleh memek legit dan rapat.

“Pelaaaan, Maaaas. Pelaaan ajaaa.”

Paidi mengangkat salah satu kaki Alya dan berusaha memasukan penisnya semakin dalam di liang cinta Alya. Sang bidadari jelita itu menggigit bibir untuk terus menahan agar tak mengeluaran suara yang mencurigakan, namun apa daya nikmatnya tiap tusukan membuat Alya tak kuasa.

Brrrrmmmm.

Ketika sedang asyik asyiknya berasyik masyuk, tiba-tiba terdengar suara truk yang diparkir tak jauh dari posisi mereka berada, truk itu memuat kayu-kayu besar dan berat. Usai parkir, sang sopir berwajah garang dengan topi buluk keluar sambil menyelipkan sebatang rokok yang sudah menyala di bibirnya. Sopir itu melintasi mobil mereka dengan langkah yang teramat pelan.

Gawat kalau sampai dia melongok ke dalam! Meski kaca film mobil Alya gelap dari luar dan terang di dalam, tapi siapa tahu kan?

Karena tak ingin ketahuan, Paidi segera memeluk tubuh Alya hingga mereka saling menghimpit ke sisi mobil. Sempit? Pasti. Posisi Alya sama sekali tidak nyaman karena kakinya tertekuk aneh. Tapi Paidi ternyata tidak peduli, ia perlahan-lahan melanjutkan niatnya.

Paidi kembali menggenjot dari belakang.

“Ahhh...! Mas! Jangan gila! Ada yang lewat, Mas!!” Alya protes, “Aaaaahhhh!”

Sang sopir berlalu dengan santai.

Paidi tak peduli, tangannya menyekap mulut sang kekasih agar tidak terlampau kencang berteriak, ia menggerakkan pinggulnya yang sesak sebisa mungkin agar Alya dapat merasakan kenikmatan dunia yang semakin mewujud.

“Haaagkkkkhhh! Haaaakkkghhh!” Alya merem melek sembari menggelengkan kepala.

Setelah sang sopir truk berlalu, mereka kembali ke posisi semula. Paidi pun melepaskan sekapan tangannya.

“Mas iiih!” Alya sewot. “gimana kalau ketahuan tadi? Sembarangan aja!”

“Buktinya aman kan?”

“Sebodo ah.”

“Cup ah, jangan marah. Kalau pun ada yang lihat, aku akan melindungimu, karena hanya akulah yang berhak menikmati keindahan tubuhmu,” ucap Paidi sembari mencolek dagu Alya.

Alya mencibir imut, membuat Paidi makin membara nafsu birahinya. Ia kembali menciumi bibir Alya seperti tak peduli hari esok.

“Kita selesaikan cepat ya?” tanya Paidi.

Alya mengangguk. Posisinya masih ada di depan Paidi, spoon sex. Backseat car spoon sex. Ia tidak akan pernah mengira akan melakukan percintaan ala-ala dengan sang sopir yang kurus. Gerakan kedua sejoli seirama, pelan dan lembut tapi saling menuntut. Masing-masing menjadi penurut, menggerakkan badan sesuai posisi lutut, tubuh bergoyang pun ikut, semakin lama semakin larut.

Ini nikmat sekali, tidak terlalu kencang, tapi saling membutuhkan.

Alya tersenyum sambil menatap wajah Paidi, sang sopir menatap wajah majikannya. Betapa indahnya saat ini. Pelan, pelan, pelan, terus, terus, terus, sodok, sodok, sodok, masukkan, terus, semakin dalam, semakin dalam, ahh, lanjut, lanjut, terus.

Sampai akhirnya keduanya mulai mengejang bergantian, bersamaan, mendaki puncak yang tak terasa telah hadir.

“Aku sudah mau keluar.” Bisik Paidi sambil mengecup bibir Alya.

“Aku juga.”

Keduanya berpelukan, berpagutan, beradu birahi untuk mencapai puncak secara bersama-sama, tangan mereka saling mengait, hujaman penis Paidi dipercepat, Alya merasakan dinding vaginanya mulai diobrak-abrik oleh besarnya penis Paidi.

“Hkkkkghhhh! Hkkkkgghhh! Aaaaaaah! Aaaaah! Maaaasss!!”

Kecepatannya yang meningkat membuat Alya tak kuasa untuk terus mendesah, begitupula dengan Paidi yang merasakan akan ada gelombang hebat yang akan meledak dari dalam dirinya,

“Ahhhhh! Ahhhhh! Maaaaasss! Maaaaassss! Ahhhhh!” Alya melenguh tanpa henti.

Matanya terpejam, ia nyaris berada di puncak kenikmatan, payudaranya yang semakin besar dan keras ditambah nafasnya yang semakin memburu membuat ia tak tahan lagi. Gesekan ini sudah tak mampu ia tahan lagi, hingga akhirnya dengan tusukan terakhir yang Paidi lakukan mereka pun mengakhiri kenikmatan mereka bersama dengan menuju puncak.

“Aaaaaaaaaaaaaaahhh.”

Desah kenikmatan dilalui bersama.

Tubuh Paidi yang lemas ambruk menindihi tubuh indah Alya, lututnya merasa lemas, dan tubuhnya mengejang begitu hebat, sungguh kenikmatan yang luar biasa bersama wanita cantik yang ia cintai. Begitupula dengan Alya, tubuh masih mengejang merasakan sisa-sisa orgasme terhebat yang ia rasakan, tubuhnya sangat lelah hingga dirinya nyaris lelap dalam pelukan sang pahlawan.

“Eh, sudah yuk, Mas.” Alya yang mengingatkan.

Paidi setuju.

Ia pun mencabut penisnya dari dalam vagina Alya dan mengalirlah cairan cinta yang begitu banyak keluar dari dalam vagina sang dewi. Alya melongo tak menyangka begitu banyaknya cairan cinta yang leleh.

“Banyak banget sih, Mas? Kalau Opi punya adik gimana nih? Duh... kamu ini...” Alya merajuk. “Lain kali pakai pengaman, ah.”

“Emang mau pakai pengaman?” Tanya Paidi sambil tersenyum. “Emang enak?”

“Nggak.” Alya tertawa.

Paidi juga.

Mereka berdua memastikan semua aman dan baik-baik saja sebelum akhirnya berjalan kembali pulang ke rumah.

Sang sopir truk yang parkir tak jauh dari Alya dan Paidi geleng-geleng kepala melihat mobil itu pergi. Dia meminum kopi dalam gelas plastik. “Wong edian. Main kok di rest area. Geblek. Untung saja tidak ketahuan. Bisa digrebek. Donya wes ra nggenah. Tanda-tanda mau tamat.”





BAGIAN 12-A SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 12-B
 
BAGIAN 12-B
AKHIR KISAH MEREKA



.: PADA SUATU KETIKA :.




Dina duduk santai sambil membaca novel di sofanya yang besar dan empuk. Di hari minggu yang tenang seperti ini ibu muda yang cantik itu memilih untuk bermalas-malasan di rumah sambil menikmati hari daripada sibuk memikirkan pekerjaan. Matanya melirik keluar jendela, Dudung sedang bermain bola dengan kedua anak tirinya dengan senyum riang tersungging di wajah-wajah mereka. Suaminya yang menderita cacat mental itu memang hampir tidak mungkin sembuh total, namun kebesaran hatinya membuat Dina semakin mencintainya dari hari ke hari. Dudung bukanlah pria dan suami yang sempurna, tapi Dina tidak membutuhkan kesempurnaan, dia membutuhkan hati. Dudung memberikannya kebesaran hati yang lebih dari cukup.

Smartphone-nya berdering lembut, Dina meletakkan novel di meja kecil dan mengangkat telepon genggam berharga jutaan rupiah itu. Nomer sekretarisnya muncul di layar.

“Halo? Ya? Gimana, Manda?”

Tak lama kemudian suara sang sekretaris terdengar menjelaskan sesuatu pada DIna dan berakhir tiga menit kemudian.

Dina tersenyum dan dengan lembut menjawab. “Manda, aku pernah bilang apa? Kalau sedang weekend aku tidak mau diganggu untuk urusan apapun, ingat kan? Aku paling tidak suka diganggu di hari libur, lain kali pending semua urusan sampai aku masuk lagi hari Senin. Tapi untuk kali ini tidak apa-apa deh. Kamu bilang saja ke Pak Hasto kalau aku sudah mendapatkan kontrak dari Pak Bonar, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dua, kalau telpon jangan nyerocos terus seperti itu, pelan-pelan saja dan pakai jeda sedikit, biaya pulsamu kan ditanggung kantor, jadi cerita dengan pelan-pelan.”

Sekretaris Dina berulang kali meminta maaf, membuat si cantik itu geli sendiri. “Tidak apa-apa, Manda. Tidak aku tidak akan mengirim SP, aku tidak sekaku itu. Hanya saja lain kali jangan diulangi ya? Ya. Ya... ya, ok terima kasih. Ya...”

Dina sudah bersiap menutup telepon ketika tiba-tiba dia teringat sesuatu.

“Eh iya, Manda... ada satu hal lagi.” Kali ini suara Dina terdengar tegas. “Aku ingin kamu menyiapkan orang untuk menyelidiki perusahaan xxx, ya... perusahaannya Pak Pramono. Cari tahu seluk beluknya detail dari A sampai Z. Akhir-akhir ini hubungan kerjasama kita sepertinya kurang bagus. Aku ingin mengadakan evaluasi. Betul, ok, terima kasih, Manda. Selamat berlibur.”

Ketika Dina menutup teleponnya, senyum aneh melintas di bibirnya yang mungil.





.::..::..::..::.





Alya membasuh keringat yang menetes di dahinya, ia akhirnya menyelesaikan masakannya untuk hari ini, sup asparagus dan lauk udang goreng yang sangat spesial. Dulu saat Hendra belum sakit dan Opi belum lahir, Alya sering sekali memasakkan sup asparagus untuk suaminya dan berapapun banyaknya sup dan lauk yang ia masak, Mas Hendra selalu menghabiskannya sampai bersih tak bersisa. Alya tak akan pernah melupakan senyum puas yang tersungging di bibir Mas Hendra usai menyantap makanannya, senyum yang ingin ia hadirkan kembali.

Setelah menyiapkan meja makan, Alya berjalan penuh harap ke kamar kerja Hendra. Ia membuka pintunya pelan agar tidak mengganggu pekerjaan dan memanggilnya juga dengan suara pelan, “mas, sudah waktunya makan.”

Hendra yang duduk membelakangi Alya berkonsentrasi penuh ke layar monitor komputernya. Suami Alya itu tidak membuka mulutnya, dia hanya melambaikan tangan meminta Alya tidak menganggu dan menyuruhnya pergi. Alya sudah menduga Hendra akan bersikap demikian. Sudah sering suaminya itu hanya melambaikan tangan saja tanpa menengok ke belakang sedikitpun, seakan menghindar bertatap mata dengannya. Ia hanya berharap semoga alasannya adalah karena Hendra sangat sibuk dengan pekerjaannya di depan komputer sehingga lupa makan, bukan karena membencinya. Walaupun mendesah kecewa, tapi wanita jelita itu pantang menyerah.

“Makan, Mas. Nanti kamu sakit, aku sudah memasakkan makanan kesukaanmu.”

Hendra menggelengkan kepala dan mengucapkan empat patah kata yang menusuk hati Alya. “Tutup pintu. Jangan ganggu.”

Alya menundukkan kepala dan mengucapkan jawaban dengan lirih, “baik, mas.” Kata-kata itu seperti tercekat di tenggorokan tidak mampu dikeluarkan dengan lantang.

Tak terasa setetes air mata mengalir menelusuri pipi halus Alya ketika ia menutup pintu ruang kerja Hendra dan memutar langkah, tetes air matanya terjatuh ke lantai dengan lembut. Kapankah kepedihan seperti ini berakhir? Kapan Mas Hendra akan kembali sebagai lelaki yang ia kagumi, cintai dan hormati? Ia tidak ingin menyerah, tapi tidak seperti ini caranya...

Tiba-tiba satu lengan liat memeluk pundaknya dari belakang, Alya menengok kaget dan ia mendapati Paidi menatapnya lembut.

“Aku belum makan...” kata pria tua sambil menghapus air mata Alya dengan punggung tangannya.

Alya mengangguk lemah dan tersenyum.





.::..::..::..::.





Suara smartphone yang berdering menggema di semua ruangan di rumah pasangan Andi dan Lidya. Dering telepon yang menjerit-jerit semakin lama semakin mendesak pendengarnya, bergoyang meminta diangkat secepat mungkin.

“Iya... sebentar.” teriak Lidya sambil berlari kecil, kebetulan saat itu dia sedang masak. Meskipun orang yang menelepon tentunya tidak akan mendengar apa yang baru saja diteriakkan Lidya, namun si cantik itu mengulang lagi jawabannya sebelum mencapai pesawat telepon yang terus mendengungkan deringnya dengan kencang. “Iya-iya... sebentar...”

Setelah sampai di ruang tengah, Lidya segera mengangkat telepon, “Halo?”

Tidak terdengar suara di ujung sana.

“Halo?”

Masih belum ada suara.

“Halo?” ulang Lidya sedikit jengkel, pekerjaannya masih banyak, kalau ini hanya telepon iseng saja maka waktunya akan terbuang percuma dan ia akan terlambat menyiapkan makan malam Mas Andi. Lidya yang sebenarnya sedang kesal karena Andi tak kunjung pulang menjadi semakin emosi. Kemana juga suaminya itu? Sudah hampir waktunya makan malam namun dia belum juga pulang dan sama sekali tidak memberikan kabar. Beginilah kebiasaan buruk suaminya itu.

“...ini aku.”

Terdengar satu suara akhirnya menjawab sapaan Lidya. Si cantik itu sangat hapal dengan suara yang muncul, itu suara Mas Andi. Tapi kenapa suara suaminya itu terdengar sangat lemas dan tak bertenaga? “Mas Andi?”

“Ba... Bapak....” suara Andi yang terbata-bata membuat Lidya mulai merasa aneh, degup jantung di dadanya berdetak lebih keras. Ia mulai merasa khawatir, jangan-jangan ada yang tidak beres?

“Bapak kenapa, Mas? Ngomong yang jelas dong. Kamu dimana sekarang?”

“A... aku di rumah sakit. Bapak stroke...” suara Andi patah-patah dan sengau seperti terisak.

Mendengar itu hati Lidya seperti ditancap panah. “Apa??! Bapak kena stroke?!!”

“Bapak... stroke... bapak... meninggal...”

Dunia Lidya mendadak menjadi kabur.

Semuanya menjadi kabur.





.::..::..::..::.





Hujan lebat mengguyur di satu sore yang sendu, satu dua kendaraan melintas di jalanan yang basah di bawah rintik hujan yang menyelimuti kota dengan keheningan semu. Namun suasana di Rumah Sakit xxxxx justru ramai oleh teriakan yang menyayat yang berasal dari Unit Gawat Darurat. Jeritan berulang yang terdengar dari ruang UGD memecah kesunyian di lorong-lorong rumah sakit. Teriakan nyeri itu membuat merinding beberapa pasien yang dirawat hanya karena influenza atau masuk angin. Sebenarnya suara jeritan itu memang hanya berasal dari satu pasien, namun hampir semua orang tidak ingin mendengarnya.

Di dalam ruang UGD, seorang wanita muda berambut acak-acakan meronta marah dan mengamuk. Ia sebenarnya cantik dan tubuhnya juga semampai, namun wajahnya meronakan amarah yang luar biasa. Mirip seperti kesurupan, ia meronta habis-habisan, mengamuk meminta dilepaskan.

Wanita muda itu adalah Anissa.

Darah terus saja mengucur dari selangkangan gadis cantik bernasib malang itu. Wajahnya yang jelita lenyap berganti pucat karena ketakutan yang amat sangat dan rasa sakit setengah mati bercampur dengan kemarahan hebat. Anis memukul-mukul perutnya dan berteriak-teriak tanpa henti. Pada saat yang bersamaan, gadis itu marah, takut dan sakit.

Dodit yang berada di depan Anissa mengelus dada dan menggelengkan kepala tak percaya. Kesedihan yang ia rasakan tambah berlipat melihat Anis seperti ini. Batin Dodit menahan pilu.

Apa yang sedang berkecamuk di kepalamu, sayang? Setan apa yang tega membuatmu jadi seperti ini?

“PERGI! PERGI! PERGI! PERGI! PERGI!” jerit Anis sambil terus memukuli perutnya. “KELUAR! KELUAR! KELUAAAARRR!!! KELUARRRKAANNN!!!”

Para suster jaga bergerak sigap untuk menidurkan Anissa yang mengamuk. Mereka membaringkan Anis di tempat tidur dorong sambil menyuntikkan obat penenang. Begitu disuntikkan, tidak butuh waktu lama bagi obat penenang itu untuk bekerja. Gadis malang itu berhenti meronta, matanya yang sejak masuk ke UGD mengeluarkan airmata kini sudah bisa dipejamkan dengan tenang. Nafasnya yang kembang kempis juga sudah mereda. Ia tidak lagi menjerit dan berteriak. Beberapa pengunjung yang penasaran dengan keributan yang ditimbulkan dan mengintip dari sela pintu berangsur mulai membubarkan diri.

Dodit bingung melihat tunangannya seperti ini, apa yang harus dilakukannya? Tidak mungkin memberitahu Mas Hendra karena akan menambah bebannya, memberitahu Mbak Alya juga tidak ingin dilakukannya karena Dodit sedang berusaha menghindar dari pesona istri Mas Hendra itu. Sedangkan keluarga Anissa yang lain sudah pasrah. Mereka pasti akan tambah shock melihat keadaan Anissa yang semakin parah, kepada siapa dia harus meminta tolong?

Seorang dokter memeriksa Anissa untuk beberapa saat lamanya dan meminta pada para suster untuk menyiapkan ruang khusus bagi gadis malang itu. Ketika pemeriksaan usai dan ia berjalan keluar, Dodit langsung menghampiri sang dokter.

“Bagaimana keadaannya, dokter?”

“Anda siapa?”

“Saya tunangannya, dok.”

“Tunangan ya, bukan suaminya?”

“Bukan. Kami belum menikah...”

Sang dokter mengangguk-angguk dengan wajah muram, “anda sudah tahu kalau tunangan anda... ehm... tunangan anda hamil?”

Dodit mengiyakan, “Sudah, dok. Saya dan juga pihak keluarga juga sudah tahu. Bagaimana kandungannya?”

Dokter ini dokter baru yang baru kali ini menangani Anissa, Dodit tentu saja tidak ingin bercerita panjang lebar kalau janin yang sedang dikandung Anissa bukanlah anaknya, melainkan buah dari perkosaan yang dilakukan oleh sekelompok bajingan yang kini sudah mendekam di penjara. Mungkin dokter itu juga sudah tahu.

“Walaupun Nona Anissa selamat setelah kehilangan banyak darah, dia harus mendapatkan perawatan yang cukup serius agar kelak tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sebagai akibat dari peristiwa ini. Memang sudah sebaiknya Nona Anissa dirawat di rumah sakit.” Sang dokter mendesah sedih dan menggelengkan kepala. “Berita buruknya adalah... mengenai kandungannya... sayang sekali kita kehilangan bayinya.”

Dodit tercengang, “maksud dokter?”

“Nona Anissa keguguran. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya. Sepertinya Nona Anissa memang sengaja ingin menggugurkan kandungannya.”

Jantung Dodit serasa berhenti berdetak.

Dodit menundukkan kepala dengan sedih, setega itukah kamu, Anis? Kenapa? Kenapa kau bunuh sendiri bayi yang tak berdosa itu? Kenapa kamu tidak memberikannya kesempatan untuk bernafas dan menjalani hidup yang lebih baik walaupun dihasilkan dari bibit seorang bajingan? Dia tidak berdosa, Nis... dia bahkan tidak perlu tahu siapa ayahnya, dia masih punya harapan. Dia masih punya masa depan. Kenapa, Nis? Apakah kamu takut dia akan terus mengingatkanmu pada peristiwa itu? Batin Dodit kecewa. Kekecewaan pemuda itu bercampur dengan rasa bersalah yang sepertinya tidak akan pernah hilang selamanya-Anis tidak bersalah, dialah yang bersalah. Anis hancur, janin itu hancur, semua adalah kesalahannya.

“Bo... boleh saya duduk di samping Anissa, dokter?”

“Silahkan. Saya sarankan sebaiknya anda menyelesaikan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk opname dan keperluan administrasi lainnya. Saya sudah meminta suster untuk menyediakan ruangan khusus agar pasien lain tidak terganggu selama Nona Anissa belum mendapatkan kamar.”

“Baik, Dok.”

Setelah mengurus keperluan administrasi, Dodit duduk di samping Anissa mulai dari UGD sampai ke ruangan khusus sebelum transit. Sampai kamar untuk rawat inap selesai disiapkan, Anissa belum bisa dipindahkan dari UGD. Dodit memegangi tangan Anissa dengan erat, tidak akan dia lepaskan lagi kekasih yang amat ia sayangi ini. Betapa bencinya Dodit pada pria tua busuk yang telah menghancurkan masa depan Anissa seperti ini, dia berharap Pak Bejo akan membusuk di penjara. Dalam hatinya yang terdalam, Dodit juga mengutuk dirinya sendiri yang malah terpikat kecantikan Mbak Alya justru ketika Anissa sedang membutuhkannya.

Sayang belum sampai Anissa dipindah ke kamarnya, obat yang disuntikkan suster mulai menghilang khasiatnya. Gadis muda itu terbangun dan langsung duduk dengan punggung tegak dan pandangan mata melotot, mengagetkan Dodit yang sebelumnya sempat melamun.

Tanpa ancang-ancang, Anissa berteriak sekencang-kencangnya.

Semua orang yang berada di ruangan itu tentunya kaget. Suster kepala memarahi suster yang tadi menyuntik Anissa dengan obat bius yang takarannya tanggung.

“Tenang sayang, tenang.” kata Dodit yang panik melihat sang tunangan berteriak-teriak tanpa henti. Dodit terus saja berusaha menenangkan Anis ketika para suster masuk dan berlari ke arah mereka.

Tapi Anissa tidak lagi menjawab. Ia hanya berteriak.

Ia tidak pernah lagi menjawab.





.::..::..::..::.





Paidi menjadi saksi perjuangan Hendra ketika ia mencoba berdiri dengan gerakan patah-patah, majikan Paidi itu berusaha menyangga beban tubuhnya dengan bertumpu pada dua tangan yang mencengkeram pegangan pipa besi berjarak dua meter yang sudah disiapkan oleh pihak rumah sakit. Seorang suster dengan penuh kesabaran membimbing Hendra supaya bisa melangkahkan kaki dan bergerak maju.

“Sedikit demi sedikit..... usahakan kaki yang sakit yang terlebih dahulu maju dengan berpegangan kencang pada penyangga.” Kata sang suster membimbing Hendra. “Jangan paksa tangan untuk menumpu jika memang tidak kuat dan terasa sakit di bahu. Atur nafas agar bisa lebih seimbang.”

Hendra yang sehari-hari tampil seperti pesakitan itu menggerakkan tubuhnya dengan sekuat tenaga dan memperlihatkan wajah antusias yang sebelumnya tak pernah ia tunjukkan di rumah. Paidi tersenyum melihat wajah Hendra, inilah rupanya dia, pria yang mati-matian dicintai oleh Alya. Ini Hendra yang berbeda dari yang biasa ada di rumah, inilah dia Hendra yang sesungguhnya. Kenapa ia tak mau menunjukkan semangat ini di rumah? Di samping sang istri yang selalu mendukungnya?

“Ayo, Pak Hendra!” Kata Paidi memberi semangat. Ia bertepuk tangan dan menunggu majikannya itu di ujung. “Pasti bisa! Pasti!”

Hendra tersenyum, keringatnya menetes deras dan tubuhnya makin lemas tapi ia tak patah semangat. Ia harus terus maju dan mencoba, harus terus berusaha, harus bisa dan harus berhasil. Tertatih-tatih namun pantang menyerah, Hendra ingin segera sampai di tempat Paidi. Ia tak peduli jika dalam perjalanan itu ia hampir jatuh atau bahkan ambruk, karena tiap kali ia jatuh, ia pasti akan berdiri dan melanjutkan. Semangat luar biasa ini membuat Paidi berdecak kagum. Luar biasa semangat Hendra untuk sembuh.

“Terima kasih, Pak Paidi.” Hendra mengulurkan tangan pada supirnya yang kurus itu. “Teriakan bapak mengingatkan aku pada satu hal, semangat pantang menyerah.”

“Nah begitu, Pak. Harus semangat untuk bisa sembuh! Dengan begini Bu Alya bisa tenang dan...”

“Jangan.” Tiba-tiba saja raut wajah Hendra berubah. “Aku tidak ingin kamu menceritakan sepatah katapun pada istriku. Jika aku dengar Alya mengetahui sedikit saja apa yang terjadi dan aku lakukan hari ini, kamu akan aku pecat. Mengerti?”

Paidi yang tadi sudah senang sontak berubah kaget, “Memangnya kenapa, Pak? Apa salahnya mengabarkan berita gembira ini pada Bu Alya?”

“Ada satu yang... ah, aku masih belum bisa memaafkan dia karena satu hal. Kamu tidak perlu tahu hal apa itu, yang pasti.... sampai aku sembuh nanti dan sampai saat kami berdua bisa bicara dari hati ke hati, aku akan terus berusaha menghapus luka yang ada.”

“Mak... maksud Bapak... Bapak akan menceraikan Bu Alya?”

Hendra tersenyum pahit, ia menggelengkan kepala sembari mengelap keringat yang menetes, “orang gila seperti apa yang akan menceraikan istri sebaik dan seindah Alya, Pak Paidi? Tidak... aku tidak akan pernah memaksa Alya bercerai, sampai kapanpun hal itu tidak akan terjadi. Aku sudah berikrar untuk menikahinya dan hanya akan menceraikannya dalam kematian, jadi kata cerai tidak akan pernah tercuat dari mulutku. Lain halnya kalau dia yang menuntut perceraian, aku pasti akan mengabulkannya.” Hendra mendesah panjang. “Aku sudah cacat dan kemungkinan sembuh sangat kecil. Lihat saja tadi, hanya berjalan seperti itu aku tidak sanggup. Wanita seperti dia tentu berhak mendapatkan yang lebih baik, lebih dari seorang suami yang tidak mampu melindungi istrinya. Kenapa dia harus bertahan dengan orang egois seperti aku?”

Kini giliran Paidi yang tersenyum, “saya yakin Bu Alya juga tidak akan pernah melayangkan gugatan cerai apapun. Bu Alya pasti akan menanti saat Pak Hendra sanggup kembali ke keluarga. Rasanya Pak Hendra bukan tidak sanggup berjalan, tapi belum. Saya rasa, maaf kalau saya kurang ajar karena sok tahu, tapi saya rasa Bu Alya pun tahu Pak Hendra akan sembuh suatu saat kelak.”

Hendra tersenyum dan menepuk pundak Paidi, “Mudah-mudahan seperti itu.”

Hendra berbalik dan kembali memanggil suster untuk berlatih ulang. Semangat pria itu sungguh luar biasa untuk sembuh, Paidi mengaguminya, sebagai majikan, sebagai sesama lelaki, sebagai seorang pejuang, sebagai suami dari wanita yang paling ia cintai. Inilah bukti bahwa sampai kapanpun ia tak akan pernah bisa dibandingkan dengan Pak Hendra. Kualitas mereka berbeda, bukan dari fisik, tapi dari hati.

Renungan pria tua kurus itu makin dalam, jadi begitu rupanya. Walaupun komunikasi diantara pasangan suami-istri ini hancur lebur, namun sebenarnya mereka berdua masih menyayangi satu sama lain. Alya mungkin bukan istri setia dan tak akan bisa dipuaskan oleh Hendra seperti dulu karena setelah terus menerus diperkosa oleh Pak Bejo, hal itu sedikit mempengaruhi mentalnya yang menjadi haus akan belaian. Paidi tahu sekali jika posisinya hanyalah sebagai pembantu, ia mungkin meniduri istri Hendra, tapi ada waktunya berhenti suatu saat nanti. Paidi hanyalah lemparan kasih sayang berlebih dari Alya yang tak bisa ia salurkan ke suaminya, ia hanyalah cadangan, obyek pengalih yang membantu.

Paidi akan berusaha pelan-pelan memberikan semangat pada kedua orang ini, dengan caranya sendiri-sendiri, dengan jalan mereka masing-masing agar mereka bisa bersatu kembali. Ia mungkin hanya seorang bajingan tapi ia tahu apa yang terbaik bagi Alya dan Hendra.

Paidi kini sadar betul, Hendra memang membutuhkan amarah. Kemarahan itu menjadi pemicu semangatnya untuk terus berusaha berjuang, berusaha membuktikan pada diri sendiri. Hendra tak akan bisa kembali menerima orang lain seperti dulu sebelum ia berdamai dengan dirinya sendiri. Hendra harus kembali tegak untuk bisa memiliki kepercayaan diri kembali. Sedangkan tanpa seks penuh kasih dan kelembutan Alya tidak mungkin bisa memaafkan dirinya yang telah dinodai oleh Pak Bejo.

Dengan jalan mereka masing-masing...

Suatu saat nanti...





.::..::..::..::.





.: AKHIR KISAH BEJO SUHARSO :.



Pak Bejo berdehem.

Pria tua yang gemuk dan berwajah buruk itu melonggarkan tenggorokan sembari menyunggingkan senyuman yang tidak ia tujukan untuk siapapun.

Jeruji besi tempat Pak Bejo menyandarkan dagunya terasa dingin membekukan tulang, hujan yang tengah turun dengan lebat menambah dinginnya besi dan dinding penjara. Entah kenapa pria tua itu ngotot ingin melihat keluar jendela. Tidak ada pemandangan yang bisa dilihat selain tembok besar mengitari sebuah kebun yang berlumpur, lapangan basket yang sepi dan sebuah halaman gersang. Pemandangan yang sama yang dilihatnya setiap hari setelah menetap di kolong penjara ini. Ditambah dengan hujan lebat dan gelap yang menyelimuti, apa yang ada di luar sana bukanlah pemandangan yang nyaman dilihat.

Siapa yang bilang bahwa tinggal di penjara itu menyiksa? Sebenarnya dia sama sekali tidak merasa tersiksa. Tidak, dia tidak merasa tersiksa, dia punya banyak teman, dia bisa makan gratis dan dia bisa bebas dari keluarga yang bisanya hanya merepotkan saja. Tidak tersiksa, tidak ada yang tersiksa. Toh dia hanya sebentar saja berada di sini, hanya beberapa tahun saja dan dia sudah akan bebas. Cukup bertahan beberapa tahun lagi dan dia akan menghirup udara di luar penjara. Semuanya akan baik-baik saja baginya...

Semua pasti baik-baik saja...

...tapi sungguh ada sesuatu yang membuatnya gusar. Sangat gusar.

Sebetulnya bukan rasa dingin menghisap tulang yang menyakiti pria tua itu, melainkan gambaran berulang yang terus muncul seperti rekaman video yang diputar tanpa henti dalam benaknya. Semua imaji yang muncul menusuk angan langsung ke hati dengan sangat menyakitkan.

Dalam khayalnya gambaran tubuh molek kakak beradik Dina, Alya, Lidya dan Anissa yang indah dan gemulai menggodanya dengan keseksian mereka, seakan mengundangnya kembali ke dunia nyata, tak terbelenggu jeruji, lepas dari balik dinding tebal yang mengitari penjara, lepas dari batasan fisik yang mengungkung. Mereka bersenda gurau bersama, bermain-main di sebuah danau tanpa mengenakan sehelai benangpun sembari memanggil-manggil namanya dengan suara yang paling mesra yang pernah ia dengar sepanjang hidup.

Dalam bayangnya itu, Pak Bejo melangkah masuk ke danau dan menghampiri kakak beradik jelita bagai bidadari yang memanggil-manggil namanya. Tapi....... tapi anehnya..... berapapun besarnya kekuatan yang ia keluarkan, sekuat apapun ia mencoba, kakinya tidak juga mau beranjak maju. Ia hanya terpekur kaku tak berdaya bahkan untuk melangkahkan kaki! Ia kesal sekali!

Lamunan dalam benak Pak Bejo tersentak lepas.

Pria tua bejat itu menepuk jeruji besinya dengan jengkel. Apa-apaan ini? Malah melamun tidak karuan.

“Suatu saat nanti, aku pasti akan meniduri mereka semua.” batin Pak Bejo dalam hati, iapun terkekeh pelan membayangkan dirinya memeluk semua wanita itu. “Dina, Alya, Lidya, Anissa. Aku pasti akan datang kembali demi menikmati kemolekan kalian. Pasti. Ini janji! Dendam yang ada di dada ini akan menjadi semangat untuk bisa bertahan. Aku masih belum mencicipi moleknya tubuh Dina dan Lidya. Hanya masalah waktu saja...”

Pak Bejo meninggalkan jendela, kemudian duduk di pembaringannya sambil bersiul.

Dalam benaknya, kalaupun ia tak pernah bisa lepas dari penjara ini, rencana kabur sudah mulai terbentuk. Pak Bejo tidak ingin menghabiskan delapan tahun sisa hidupnya membusuk di tempat ini tanpa bisa merasakan memek siapapun. Pasti ada jalan untuk kabur atau keluar lebih cepat. Pasti ada. Ketika saat itu tiba, ia akan memburu para ibu dan mamah muda molek yang innocent dan alim sebagai incaran.

Tidak perlu terburu-buru, perlahan-lahan saja. Pasti ada...

Deru nafasnya bersaing dengan suara hujan yang makin deras.





.::..::..::..::.





.: AKHIR KISAH DINA :.



Pak Pramono meneguk ludah dalam-dalam. Belum pernah ia setegang ini sebelumnya, terakhir kali ia mengalami ketegangan seperti ini adalah ketika dia menghadapi ujian akhir di masa kuliah atau ketika dia pertama kali harus menghadapi wawancara saat kerja dan itu pun sudah sangat-sangat lama. Baru kali ini ia kembali merasakan detak jantungnya meningkat dengan sangat cepat.

Ruangan tempatnya berada sekarang sebenarnya sangat sejuk, AC yang menyala membuat kondisi ruangan dingin semillir. Namun keringat tetap menetes di sekujur tubuh Pak Pramono. Ketegangan sekaligus penyakit yang ia derita membuat pria tua itu mengeluarkan banyak sekali keringat. Beberapa kali ia harus berdehem untuk melonggarkan tenggorokan dari batuk yang tiba-tiba saja mengganggunya.

Suara kertas yang dibuka lembar demi lembar menjadi satu-satunya suara yang terdengar di ruangan yang cukup besar, lengang, dan sepi tempat Pak Pramono berada sekarang. Pria tua itu memandang dengan banyak harap ke arah sang direktur yang saat ini tengah terdiam jumawa sembari memeriksa berkas-berkas dihadapannya.

Nama direktur itu? Dina Febrianti.

Setelah perusahaannya bangkrut karena efek domino dari kasus korupsi bertingkat, buruknya pengelolaan manajemen, kesalahan pembukuan yang disengaja, dan perilaku lalai dari para petinggi, maka Pak Pramono kini harus mengemis agar perusahaan Dina bersedia mengalokasikan dana pinjaman dalam jumlah besar untuk kelanjutan beberapa proyek yang tertunda.

Dina menutup berkas yang ia baca dan meletakkannya di meja. Wajahnya yang acuh membuat Pak Pram semakin geregetan. Si cantik itu menatap Pak Pramono dengan pandangan angkuh, Dina tahu ia saat ini berada di atas angin.

“Baiklah. Setelah membaca proposal dan perhitungan rugi laba yang sebelumnya telah diserahkan kepada saya, maka saya tidak bisa berkata tidak.” Kata si jelita itu. “Apalagi 70% keuntungan dari proyek-proyek ini akan masuk ke perusahaan saya. Proyeknya sendiri saya yakin akan sukses jika ditangani dengan serius. Jadi kami akan meletakkan orang-orang terbaik untuk mengawasi pelaksanaannya. Begitu pihak anda melakukan kesalahan, sekecil apapun kesalahan itu, kami akan langsung mengambil alih semua proses dari awal sampai akhir sesuai yang tertera dalam surat kontrak.”

Dina terdiam sesaat, mengatupkan jari jemarinya dan tersenyum, “saya yakin 30% sudah lebih dari cukup untuk sanggup menyelamatkan perusahaan Bapak yang berada di ujung tanduk.”

Senyum lega tersungging di mulut Pak Pramono. “Syukurlah kalau beg...”

“Akan tetapi…”

Pak Pramono terdiam. Wajahnya menegang.

“Saya dengan senang hati akan menyetujui semua proposal ini, jika dan hanya jika Pak Pramono bersedia melakukan sesuatu untuk saya.” Lanjut Dina. Pandangan matanya tajam bagai pisau yang sanggup mengiris apapun. Mata tajam nan indah yang kini menatap Pak Pramono tanpa ampun itu membuat sang pria tua merinding.

“Apa saja akan saya lakukan. Hidup mati perusahaan saya di tangan Ibu Dina. Selain keuntungan yang bisa diraih dari proyek-proyek terakhir tersebut, kami tidak punya apa-apa lagi untuk dijadikan jaminan. Proposal ini adalah harapan terakhir kami. Jadi apapun yang Ibu Dina minta, pasti akan saya penuhi.” Kata Pak Pramono dengan wajah memelas, ia berkata jujur di hadapan Dina, wanita yang dulu pernah ia lecehkan dengan keji. Tidak ada waktu lagi untuk memperjuangkan harga diri, masa depan suram membuat pria tua itu menunduk pasrah, dia kalah.

“Baiklah kalau begitu, saya harap anda tidak akan menyesali keputusan yang telah anda ambil.” Si cantik itu menghela nafas panjang dan mengistirahatkan punggungnya di kursi yang nyaman. “Tolong buka baju dan celana yang sedang anda pakai saat ini. Saya ingin melihat anda telanjang.”

Pak Pramono seperti tersambar petir mendengar ucapan Dina itu, ia makin geram ketika melihat Dina memandangnya dingin tanpa ekspresi. Ini serius?

“A-apa saya tidak salah dengar?” Pak Pramono gelagapan.

“Tidak. Haruskah saya mengulangi permintaan saya lagi?”

Pak Pramono menggemeretakkan giginya dengan geram. Tangannya mencengkeram kursi seakan ingin menghancurkannya.

“Kita toh sudah pernah berada dalam situasi yang mirip seperti ini sebelumnya, walaupun berada dalam posisi yang terbalik.” kata-kata Dina terdengar sangat tegas dan sinis, membuat ciut nyali Pak Pramono. “Silahkan buka baju dan celana yang sedang anda pakai saat ini, Pak Pramono, dan jangan lama-lama. Ini jam kerja dan saya sangat sibuk, sebentar lagi ada meeting yang harus saya hadiri. Saya akan terima proposal ini dengan syarat yang sudah saya sebutkan, tapi seandainya Pak Pramono menolak, saya rasa cukup sekian kelanjutan kerjasama kita ini. Perusahaan ini toh tidak merugi jika hanya kehilangan satu proyek saja.”

Pria tua itu meneguk ludah. Tidak ada jalan lagi baginya kecuali menuruti semua yang diperintahkan oleh Dina. Dasar lonthe busuk! Maki pria tua itu dalam hati. Pak Pramono mengangguk lemah dan mulai melucuti pakaian yang ia kenakan. Ia terus memaki-maki Dina dalam batin.

“Jangan lupa, celana dalamnya juga dicopot.” Dina tersenyum penuh kemenangan.

Saat Pak Pramono sudah melucuti seluruh pakaiannya, wanita cantik itu menekan sebuah tombol berwarna merah yang terdapat di pesawat telepon. “Bimo, kamu boleh masuk sekarang.” Kata Dina penuh percaya diri.

Tak lama kemudian, dari pintu yang berada di samping ruangan, masuklah satu sosok pria perkasa bertubuh kekar berkulit hitam yang mengenakan kaos tanktop hijau dan celana pendek bermotif marinir. Wajah Pak Pramono makin ketakutan melihat sosok pria yang baru masuk itu, apa yang akan dilakukan Dina kepadanya? Keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuh Pak Pramono. Jangan-jangan orang ini akan disuruh memukulinya sampai babak belur? Pak Pramono ketakutan, melihat kekarnya tubuh Bimo, ia bisa mati kalau dihajar olehnya!

Dia hanya seorang pria tua yang lemah! Apakah Dina sekejam itu?

“Kenapa, Pak Pram? Belum-belum kok sudah takut.” Ejek Dina dengan senyum menghina. Ingin rasanya si cantik itu tertawa terbahak-bahak, tapi ia menahannya.

Siapa sangka, kini ia bisa menyuruh Pak Pram bersimpuh dihadapannya tanpa mengenakan sehelai pakaianpun. Persis seperti apa yang terjadi beberapa tahun lalu saat Pak Pramono menghancurkan kehidupannya. Dendam sudah terbalas, keadaan sudah berbalik. Masih terekam jelas kenangan pahit di benak Dina saat Pak Pram mempermainkannya di hadapan mantan suaminya - Anton di hari yang naas itu.

Kini ia akan membalasnya.

“Kenalkan, Pak Pramono. Rekan saya yang kekar ini namanya Bimo, berdarah campuran Indonesia Timur dan Arab. Dia menjabat sebagai salah satu bodyguard saya. Maklum saja, saya ini wanita lemah tak berdaya, butuh kehadiran bodyguard.” Kata Dina sambil menyunggingkan senyum sinis. “Bimo, tolong kamu ikat tangan Pak Pramono di tempat yang kuat, posisi nungging.”

Bimo mengangguk tanpa ekspresi, dengan kasar, pria bertubuh besar bak binaragawan itu menarik tangan Pak Pramono ke arah jendela. Ia lalu memaksa Pak Pramono membungkuk dan mengikat kedua tangannya di teralis besi. Pak Pramono makin ketakutan, apa yang akan dilakukan lonthe itu sekarang? Mencambuknya sampai mati? Pak Pramono sangat menyesal dulu dia pernah mempermainkan Dina, ia juga sangat menyesal telah menyerahkan Dina pada Pak Bambang. Seandainya dulu Dina tetap menjadi miliknya, keadaannya tidak akan separah sekarang.

Tapi Dina tidak melakukan apa-apa, wanita cantik dan anggun itu hanya merapikan berkas-berkas di meja, lalu menutup laptop dan memasukkan telepon genggam ke saku kantong bajunya. Dina lalu melangkah menuju pintu tanpa mempedulikan Pak Pram yang terikat. Ia melenggang begitu saja dengan cuek.

“Tu-tunggu… sebentar! Bu Dina! Bu Dina! Ibu tidak akan meninggalkan saya sendirian di sini, kan? Bu Dina! Saya telanjang ini! Bu Dina!” panggil Pak Pramono dengan panik.

Dina berhenti melangkah, mengambil nafas panjang seperti kesal dan berbalik sesaat. “Wah, anda ini rewel sekali ya, Pak Pramono? Tentu saja saya tidak akan meninggalkan anda sendirian, kan ada Mas Bimo.” Dina tertawa genit. “Tolong servis Pak Pramono dengan baik ya, Mas Bimo.”

Pak Pramono membelalakkan mata ngeri ketika Bimo mengangguk dan mulai melangkah mendekatinya. Ia akan dihajar! Ia akan dipukuli! Dicambuk! Dibunuh!

Dina berhenti mendadak di dekat pintu keluar, ia berbalik dan menatap mata Pak Pramono dengan tajam, di mulutnya tersungging sebuah senyuman penuh kemenangan. “Oh iya, ada satu hal lagi yang perlu saya sampaikan sebelum saya pergi, kebetulan saya tadi lupa mengatakan kalau Mas Bimo ini homoseksual, jadi dia hanya suka laki-laki, itu sebabnya saya akan meninggalkan anda berdua. Supaya lebih akrab satu sama lain.”

Dina berbalik dan keluar dari ruangan. Ia sempat menyaksikan panik dan takut luar biasa di wajah Pak Pramono ketika Bimo mulai mendekati pria tua itu, tidak ada jalan keluar bagi Pak Pramono! Ia terperangkap! Bimo berjalan pelan ke arah Pak Pramono sambil menjilat bibir penuh kenikmatan.

Pria tua itu mencoba berontak ke segala arah.

Ketika Dina menutup pintu, terdengar teriakan-teriakan menyayat dari dalam ruangan. Dina melangkah dengan penuh kepuasan diiringi jeritan kesakitan Pak Pramono.

Seorang sekretaris yang duduk di luar pintu ruangan Dina mengangguk sopan, ia tidak berani menanyakan apa yang telah terjadi di dalam ruangan dan siapa yang tengah menjerit-jerit kesakitan.

Ketika sang sekretaris menunjukkan wajah penuh tanda tanya, Dina hanya tersenyum sambil meletakkan telunjuk di depan bibirnya.

Dendam telah terbalaskan.





.::..::..::..::.





.: AKHIR KISAH ALYA :.



Hujan yang turun seperti enggan berakhir, tak berhenti mengguyur bumi dengan derasnya. Tanaman yang berada di taman seakan bersorak-sorai ketika hujan menyiram mereka dengan air yang tercurah dari langit, membuat batang dan daun mereka segar setelah seharian terusap debu. Kesenyapan yang dipadukan dengan turunnya hujan tanpa henti membuat malam bertambah senyap dan dingin.

Jam dinding berdentang dua belas kali.

Alya mematikan televisi, meletakkan kacamata dan majalah yang ia baca ke atas meja di samping tempatnya duduk. Si jelita itu melangkah pelan tanpa menimbulkan suara ke arah pintu tempat suaminya tidur. Pintu kamar terbuka sedikit sehingga ibu muda itu bisa melihat ke dalam kamar dan melihat suaminya di atas ranjang. Alya tersenyum melihat Mas Hendra sudah tertidur pulas.

Pikiran Alya melayang ke saat-saat paling mengerikan dalam hidupnya, saat-saat yang ingin ia kubur dalam-dalam. Ia tidak akan pernah lupa perlakuan keji Pak Bejo terhadap dirinya dan Anissa. Alya bersyukur semua masalah berat itu kini telah berakhir, mereka bisa kembali hidup normal.

Normal?

Ya, sebagian dari mereka setidaknya telah menemukan sedikit rasa damai, walau apa yang telah terjadi tak akan bisa mereka ubah selamanya. Luka itu sudah menganga, pahit itu sudah terasa. Sehingga getir yang menangkup di jiwa berulang menjadi pembiasaan yang dirasakan sebagai sesuatu yang normal.

Sampai saat ini Alya tidak tahu apakah Mas Hendra sudah mengetahui apa yang telah terjadi, terutama tentang kejadian naas yang menimpa dirinya dan Anissa. Mungkin akan lebih baik kalau Mas Hendra tidak pernah tahu, cukup dia saja yang menanggung beban ini. Alya tidak ingin suaminya tahu bencana apa yang telah menimpa keluarga mereka dan siapa penyebabnya.

Suatu saat nanti Mas Hendra akan kembali sehat dan kehidupan mereka yang carut marut akan kembali tertata, ia yakin saat itu akan datang dan Alya tak akan pernah berhenti berharap. Sampai saat itu tiba, sampai saat Mas Hendra kuat menerima kenyataan bahwa tetangganya yang buruk rupa telah memperkosa dan menyiksa adik serta istrinya, semua mulut akan terkunci rapat. Ia juga tidak akan pernah menceritakan nasib buruk yang kini tengah menimpa Anissa sampai Mas Hendra kuat menerimanya.

Dengan langkah lembut Alya masuk ke kamar, ia mendekati suaminya yang tertidur lelap. Si jelita itu mengecup pelan pipi suaminya tanpa membuatnya terbangun, dibisikkannya kata-kata sayang di telinga Hendra, berharap kata-kata itu bisa disampaikan lewat mimpi. Walaupun tubuhnya sudah pernah ditiduri lelaki lain, walaupun tubuh ini kotor oleh tangan-tangan pria yang hanya menghendaki bersetubuh dengannya, tapi cinta Alya hanya satu untuk suaminya seorang. Hal itu tidak akan pernah berubah sampai kapanpun.

Sampai kapanpun, Mas.

Dengan langkah berjingkat Alya meninggalkan kamar dan menutup pintunya perlahan.

Si cantik itu masuk ke kamar lain, kamar Opi. Tidak ada orang lain yang lebih dikasihinya dalam hidup ini selain makhluk kecil yang imut ini. Cahaya hidup yang membuatnya bertahan bahkan di kala kemalangan bertubi menimpanya. Saat Opi tertidur lelap sambil memeluk boneka kesayangannya, Alya berjanji, ia akan melindungi Opi dan memberikan yang terbaik untuknya. Bencana apapun yang telah menimpanya, tidak akan pernah dan tidak boleh terjadi pada Opi. Alya akan melindungi buah cintanya dengan segenap jiwa.

Setelah mengecup lembut dahi buah hatinya, Alya kembali berjingkat meninggalkan kamar itu. Kali ini dia melalui ruang tengah dan menuju pintu belakang.

Alya berhenti sebentar ketika Ia melihat bayangan wajahnya di kaca ruang tengah. Walaupun lelah, dia masih terlihat cantik dan mempesona, meskipun hal itu tidak pernah ia sadari. Alya kadang heran kenapa semua lelaki menatapnya dengan penuh nafsu, karena menurut pandangannya sendiri ia bukanlah sosok yang sanggup membuat langit runtuh. Setelah merapikan rambut dan pakaian, Alya mematikan lampu. Si cantik itu lalu berjalan tanpa suara meninggalkan rumah utama dan masuk ke sebuah kamar berukuran kecil di bagian belakang rumahnya.

Seorang pria tua kurus namun berotot sedang duduk di dalam kamar, memainkan gitarnya dengan petikan pelan mengalunkan senandung lembut yang belum pernah didengar Alya. Di mulut sang pria terselip rokok murahan yang berbau tak sedap. Dia bukan lelaki yang tampan, tapi pandangannya terhadap Alya sangat lembut dan memuja. Ketika bidadari jelita itu masuk, sang pria kurus menghentikan permainan gitarnya.

“Aku tidak suka Mas merokok.” Kata Alya pelan, hampir berbisik namun tegas.

“Kupikir kamu tidak datang malam ini.”

“Jadi begitu ya? Kalau aku tidak datang Mas merokok seenaknya.” Alya berkacak pinggang, wajahnya yang cantik merengut manis, “Datang tidak datang aku tetap tidak suka Mas merokok.”

Pria itu meletakkan gitarnya dan melucuti kaos yang ia kenakan. Sambil bertelanjang dada ia mendekati Alya. Dengan santai pria itu mengelus-elus Alya yang saat itu mengenakan baju tidur tipis berwarna hitam yang jelas memperlihatkan kemolekan tubuhnya.

“Kenapa kamu tidak suka aku merokok? Kamu tidak sayang sama aku?” tanya pria kurus yang memainkan jemarinya tanpa bisa dilarang oleh siapapun di tubuh Alya.

“Rokok itu sumber penyakit. Lagipula... aku tidak suka bau rokok di bibir Mas. Kalau menciumku baunya tidak enak.”

“Aku mau berhenti asal kamu bilang sayang sama aku.”

“Gombal.”

“Ya sudah, malam ini lebih baik aku tidur sendirian saja.”

“Huh. Dasar laki-laki. Maunya menang sendiri.” Alya merajuk manja dalam dekapan sang pria kurus, “Mas Paidi, aku sayang banget sama Mas. Aku temani tidur ya, malam ini?”

Paidi meringis penuh kemenangan, iapun mengangguk. Paidi menurunkan kepalanya untuk bisa mencium bibir merekah milik Alya. Paidi sedikit geli ketika Alya mengernyit saat bibir mereka saling bertaut. Paidi membopong tubuh sang pujaan ke pembaringan kecil yang berada tidak jauh dari jendela.

Alya memandang keluar jendela sambil memeluk erat Paidi. Dia tahu kini dia telah menemukan pasangan hidup rahasianya yang baru, yang akan selalu melindunginya kapanpun dan dimanapun ia berada. Meskipun hanya seorang supir dan penjual bakso, Paidi telah memberikan apa yang selama ini dirindukan oleh Alya, perlindungan dan rasa aman. Si durjana busuk Bejo Suharso yang telah menghancurkan keluarganya telah dijebloskan ke bui untuk waktu yang lama, seandainya dia keluar nanti, tidak ada rasa takut lagi dalam hati Alya, karena Paidi akan selalu melindunginya.

Alya tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya Mas Hendra sembuh suatu saat nanti dan menemukan istrinya yang tercinta sedang ditiduri oleh supirnya sendiri.

Tapi itu masalah yang akan muncul pada suatu ketika nanti. Untuk saat ini, walaupun cintanya hanya untuk Hendra dan Opi, tubuhnya ikhlas ia berikan untuk Mas Paidi. Untuk pertama kalinya selama berbulan-bulan, Alya bisa memejamkan matanya yang indah dengan perasaan tenang dan aman, dalam pelukan seorang lelaki yang melayani kebutuhan hewaninya yang menggelegak.

Wanita cantik itu mencium Paidi dengan penuh kasih. Bibir mungilnya berpagutan dengan bibir tebal dan keras milik Paidi, saling mengelus, saling memuja, saling mereguk nafsu untuk memuaskan dahaga.

Saat ini Alya selalu siap bermain cinta dengannya. Dimanapun. Kapanpun. Tubuhnya bebas diapakan saja oleh Paidi. Karena hanya dengannya, Alya akhirnya memperoleh ketenangan batin.

Alya telah bertekad, kisah pahitnya berakhir di sini.





.::..::..::..::.





.: AKHIR KISAH ANISSA :.



Dodit mengikuti langkah seorang perawat yang berjalan perlahan menyusuri koridor rumah sakit, di samping mereka terbentang sebuah taman luas yang dikelilingi pagar kawat tinggi. Di taman rumah sakit itu terdapat tanaman-tanaman yang ranting dan daunnya dipotong dengan bentuk mirip dengan binatang seperti gajah dan jerapah. Tanaman-tanaman itu mengitari satu air mancur yang menambah asri suasana. Setelah melalui lorong yang meliuk-liuk, Dodit dan sang suster sampai di tempat yang dituju, satu sudut kecil di taman yang dinaungi pohon rindang.

Di taman itu terdapat beberapa tempat duduk yang terbuat dari semen, sebagian sudah ditempati oleh pasien yang berkumpul dan bersenda gurau. Salah satu dari tempat duduk itu adalah sudut tempat tujuan Dodit dan sang suster. Di bangku taman di hadapan mereka, duduk seorang gadis cantik berambut pendek yang mengenakan baju rumah sakit, walaupun tanpa make-up, rambutnya agak acak-acakan dan wajahnya sayu, namun gadis muda itu terlihat masih sangat cantik.

Gadis itu adalah Anissa.

“Aku akan menunggumu, Mas Bejo. Sampai saat kau nanti keluar dari penjara. Aku akan setia menunggumu, aku dan anakmu.” Kata Anissa sambil menunduk dan mengelus-elus perutnya. Bibirnya bergumam cepat ketika ia meracau. “Kita beri nama apa anak kita nanti, Mas? Aku ingin memberinya nama Dodit. Bagaimana kalau anak kita nanti namanya Dodit? Kamu suka nama itu? Aku suka nama itu. Kenapa Dodit? Kenapa ya? Kenapa, Mas? Aku kenal orang yang namanya Dodit. Siapa ya? Siapa itu Dodit? Kamu kenal, Mas? Kamu ingat, Mas? Aku lupa siapa temanku yang namanya Dodit. Anak kita namanya Dodit. Apa anakku ini temanku? Kamu dimana, Mas? Aku salah apa sama kalian, Mas? Aku salah apa? Perkosa aku, Mas. Perkosa aku lagi. Aku akan menunggumu, Mas Bejo.”

Dodit menggelengkan kepala dengan sedih sambil menatap Anissa yang sedang duduk di kursi taman. Pandangan mata gadis itu kosong dan sendu sementara mulutnya meracau tak tentu arah. Kecantikannya memang masih terpancar namun tubuh Anis kini jauh lebih kurus, tulang pipinya juga lebih terlihat. Semua ini menimbulkan iba di hati Dodit, sepertinya ia tak pernah benar-benar pulih dari trauma akibat perkosaan Pak Bejo terlebih setelah ia keguguran.

Dodit merasa sangat menyesal dan bersalah, kenapa ia dulu terlambat menyelamatkannya? Kenapa justru saat dibutuhkan Anis dia malah menambatkan hati pada Mbak Alya? Betapa terkutuknya. Ia terlambat mengetahui nasib sang tunangan ternyata begitu tragis, jatuh dalam pelukan lelaki jahanam seperti Bejo Suharso. Untunglah lelaki bengis itu kini telah masuk ke bui untuk waktu yang lama.

“Bagaimana harapan sembuhnya, suster?” tanya Dodit pada perawat yang menemaninya.

Suster itu tersenyum, “Kondisi kerusakan mental Mbak Anis cukup berat, harapan untuk bisa sembuh memang selalu ada, tapi tipis sekali kemungkinan kesadaran Mbak Anis bisa kembali pulih seperti semula. Jadi, selama Mbak Anis dirawat di sini, teruslah berdoa, siapa tahu suatu saat nanti, kesadarannya akan pulih kembali.” Lanjut Suster itu menepuk bahu Dodit dengan pandangan lembut yang melegakan. “Jangan pernah berhenti berharap dan berdoa.”

“Dia akan baik-baik saja di sini?” tanya Dodit lagi.

“Kami merawatnya dengan penuh rasa sayang, dia akan baik-baik saja. Setelah mengetahui apa yang ia alami sebelumnya, semua suster di sini merasa iba dan kasihan pada Mbak Anis. Kami memperlakukannya seperti adik sendiri. Apalagi dia juga sangat manis dan penurut. Setelah beberapa tahun di sini, sepertinya Anissa sudah mulai terbiasa dengan lingkungan rumah sakit jiwa ini.”

Seorang wanita yang sedang mengandung datang menyusul sambil tertatih memegang perutnya. Ia tersenyum pada sang suster dan memberikan sebotol air minum kemasan pada Dodit. Kandungannya belum terlalu besar, mungkin sekitar lima atau enam bulan.

“Terima kasih sayang. Oh iya, kenalkan suster, ini istri saya, Ussy.” Kata Dodit sambil mengenalkan wanita hamil yang menghampirinya.

“Selamat datang.” Sambut sang suster sambil menyalami istri Dodit yang juga tersenyum ramah.

“Bagaimana keadaannya, Mas?” tanya Ussy.

“Masih seperti itu.”

“Dia belum mengenalimu?”

“Belum. Mudah-mudahan suatu saat kelak dia bisa kembali seperti semula. Sembuh dan sehat, menjalani hidupnya yang masih panjang dengan keceriaan.”

“Iya Mas. Semoga. Aku juga merindukan Anissa yang dulu.”

Seekor kupu-kupu terbang melewati mereka, terbang pelan memutar melewati kebun dan hinggap di samping Anissa. Dodit merangkul Ussy dan mengajak suster meninggalkan taman menuju ke ruang administrasi, selama Anissa dirawat di tempat ini, Doditlah yang mengeluarkan semua biaya yang dibutuhkan Anissa. Dodit menundukkan kepala setelah melihat Anissa sekali lagi, lalu membiarkan mantan tunangannya bermain dalam dunianya yang sunyi ditemani sang kupu-kupu.

Mata Anissa tiba-tiba saja meneteskan air mata saat sosok Dodit mulai menghilang dari pandangan.

Gadis cantik yang malang itu berbisik pelan, “Mas Dodit…”





.::..::..::..::.





.: AKHIR KISAH LIDYA :.



Lokasi pemakaman yang berada di atas bukit di Desa Kapukrandu tidak bisa dicapai oleh kendaraan roda empat. Untuk bisa mencapai tempat tersebut, para peziarah harus mendaki tangga beton yang disusun mengitari bukit dengan berjalan kaki sementara kendaraan diparkir di kaki bukit. Walaupun sebenarnya bukit itu tidak terlalu tinggi namun cukup melelahkan bagi yang tidak terbiasa, terlebih di cuaca panas seperti sekarang.

Lokasi pemakaman yang susah dijangkau ini memang sudah ada sejak zaman Belanda dan masih tetap digunakan sampai sekarang, bahkan terus menerus direnovasi-terutama sekali karena keberadaan makam seorang pahlawan perjuangan yang konon merupakan pengikut Pangeran Diponegoro. Jalanan yang terbuat dari beton yang ada di sana merupakan pengganti jalan bebatuan yang lama kelamaan dirasakan kurang nyaman sesuai dengan perkembangan jaman.

Menaiki jalanan di bukit yang menanjak bukan hal yang aneh bagi masyarakat Desa Kapukrandu, sebaliknya bagi orang kota, mendaki menuju makam tentu sangat merepotkan dan melelahkan, terlebih bagi Lidya yang juga harus menggendong putranya.

Wanita jelita itu mengeluh, dia kelelahan mendaki bukit yang sepertinya tanpa akhir, sementara Arya tak mau diam begitu saja di gendongan.

“Sudah capek? Kenapa tidak tinggal saja di mobil?” tanya Andi yang berjalan di depan Lidya.

“Nggak lah, Mas. Sekali-kali aku juga ingin mengunjungi makam Bapak.” Jawab Lidya sambil membasuh peluhnya.

“Iya sih, sejak anak kita lahir, baru sekali ini kamu mengunjungi makam Bapak.”

Lidya mengangguk, “Maunya sih ziarah, tapi tahu sendiri kan Si Arya belum bisa ditinggal.”

Andi sangat memahami kerepotan istrinya yang kini telah menjadi ibu rumah tangga yang sejati. Dengan lembut ia menggantikan Lidya menggendong Arya. Andi lalu menggandeng istrinya itu naik ke atas bukit perlahan sementara satu tangannya menggendong putranya yang masih mungil.

Untungnya tak berapa lama kemudian, sampailah mereka di lokasi pemakaman. Mereka langsung menuju makam Pak dan Bu Hasan yang dimakamkan bersebelahan tepat di bawah sebuah pohon kamboja yang rindang. Setelah berdoa beberapa saat lamanya, Andi dan Lidya menebarkan bunga.

Ketika Andi hendak mengunjungi makam salah seorang saudara yang lokasi nisannya agak jauh, Lidya menggelengkan kepala. “Sorry, Mas. Tapi aku capek banget. Aku istirahat di tempat Bapak aja ya?”

Andi tersenyum dan mengelus rambut sang istri. “Iya, gak apa-apa. Aku kesana dulu ya?”

Lidya tersenyum dan mengangguk. Si cantik itu kembali menggendong Arya dan duduk di sisi makam Pak Hasan. Lidya membungkuk dengan sangat berhati-hati agar tidak mengganggu posisi Arya dalam gendongannya.

“Arya, ini makam kakek.” Kata Lidya pada putranya, bocah yang masih bayi itu tentu saja belum mengerti kata-kata ibunya. Lidya tersenyum saat melihat wajah tampan sang anak. Ia berbisik pelan sambil menepuk pusara ayah mertuanya. “Kalau anak ini besar nanti, ia pasti akan memanggilmu kakek.”

Lidya tersenyum sendiri dan mengelus pusara Pak Hasan. “…padahal Arya seharusnya memanggilmu ayah.”

“Sayang??” panggil Andi dari kejauhan. “Sudah belum?? Kita turun yuk!”

“Iya mas. Tunggu sebentar.” Lidya bangkit dari makam Pak Hasan dan melangkah pergi dengan hati-hati. Bayi mungil yang sedang ia gendong tersenyum manis saat Andi dan Lidya melangkah pelan meninggalkan tempat itu. Wajahnya sangat mirip dengan mertuanya dan saudara tirinya, Andi.

Lidya menengok ke belakang sesaat dan tersenyum penuh arti ke arah makam Pak Hasan.

Ketika Andi tak melihat dan sibuk bermain dengan Arya saat menuruni bukit, Lidya mengambil telepon genggamnya dan mengetik satu pesan WhatsApp yang panjang. ia lalu mengirimkan pesannya pada seseorang bernama Nyoto.

Entah kenapa, Lidya merasa ingin berjalan-jalan di mal lagi.

Secepatnya.





.::..::..::..::.





.: EPILOG :.
.: BEBERAPA MINGGU KEMUDIAN :.




Paidi mengunci semua pintu depan sekaligus gemboknya dengan rapat, pagar depan ia cek dua kali untuk memastikan. Malam telah larut dan ia sudah lelah sekali setelah seharian membantu Pak Hendra fisioterapi di rumah sakit. Sekali dua kali Paidi menekuk leher ke kanan dan kiri, tak apalah capek karena nanti malam pasti ada yang memijit pundaknya.

Ia tersenyum dalam hati sambil membayangkan kedatangan istri majikannya larut malam nanti di biliknya. Alya berbalutkan lingerie adalah mimpi yang mewujud nyata dalam benak semua pria.

Tapi... tapi badannya terlalu letih hari ini. Dia lelah, lesu, dan sedikit lemah.

Mungkin - ini hanya mungkin, untuk pertamakali dalam hidupnya, ia akan menolak bercinta dengan bidadarinya yang mempesona. Sungguh tubuh tuanya terasa amat letih, pegal sekali rasanya hari ini. Jangankan melayani bercinta, membuka pelupuk mata sudah amat susah. Mudah-mudahan saja wanita pujaannya itu tetap mau mampir sekedar memijat pundaknya yang pegal.

Sedikit berharap tentu tidak ada salahnya, kan?

Melalui lorong dan ruangan rumah, Paidi memadamkan satu demi satu lampu yang masih menyala. Memperhatikan setiap sudut dan memastikan pintu dan jendela telah terkunci. Pria kurus itu berjalan ringan dalam kegelapan karena tak ingin menganggu para penghuni rumah yang telah tertidur.

Saat hendak menutup pintu terakhir, ia melihat satu cahaya terbias dari sebuah pintu yang sedikit terbuka. Itu kan pintu kamar kerja Pak Hendra, kok masih menyala? Apa Pak Hendra tertidur di dalam ruang kerja? Atau mungkin lembur mengerjakan sesuatu?

Dengan langkah hati-hati supaya tidak menimbulkan suara, Paidi berjalan lebih pelan dari sebelumnya, menandak menuju pintu dan mengintip perlahan.

Paidi terkejut saat melihat ke dalam.

Alya sedang duduk bersimpuh di bawah sofa panjang yang digunakan tiduran oleh Hendra. Si cantik itu tengah konsen membuka lembaran-lembaran novel dengan judul berbahasa Inggris yang tak dimengerti Paidi. Bidadari cantiknya itu rupanya membacakan novel dengan suara lembut dan perlahan, begitu lembutnya sampai-sampai Paidi hanya bisa mendengarkan desahan pelan dan tak mampu menangkap sepatah katapun dari jarak sejauh ini.

Tak nampak wajah acuh dan kesal di wajah Pak Hendra seperti yang biasa ia nampakkan saat berdua bersama Alya, ia justru berbaring tenang dan menikmati setiap ucapan yang keluar dari bibir mungil istrinya.

Yang membuat hati Paidi kian nyaman adalah tautan tangan Pak Hendra dan Alya yang saling menggandeng. Keduanya saling memainkan jemari dalam temaram suasana malam yang sepi. Hanya bacaan lirih dari bibir Alya yang mewarnai malam mereka.

Paidi tersenyum dan perlahan menutup pintu dengan hati-hati sekali. Ia berjalan menuju kamarnya sendiri dengan langkah ringan. Langkah paling ringan yang pernah ia rasakan selama berada di rumah ini.

Ia berani bertaruh, malam ini majikannya yang cantik pasti tak akan melangkah masuk ke kamarnya. Bukankah ia seharusnya merasa kesal dan terbakar cemburu? Tidak, ia justru merasa lega. Apa yang seharusnya terjadi dan sepantasnya berlaku akan menjadi kenyataan.

Apa yang akan terjadi pada mereka semua?

Entah.

Tapi rasanya, semua akan baik-baik saja.





RANJANG YANG TERNODA.
SELESAI.



Finally. My work here is done.
Pecah telur. Ada juga karya saya yang tamat.


Terima kasih pada suhu @Doyan_Akhwat dan suhu @Balanewpati yang telah menyumbangkan input dan tulisan dalam edisi terakhir RYT, terutama di episode 12-A. Berkat jasa mereka saya akhirnya bisa menuntaskan karya yang sudah bertahun-tahun mangkrak – meski tentunya sudah saya edit terlebih dahulu. Editnya lumayan banyak, hahaha.

Semua bagian akhir dan epilog di episode 12-B adalah tulisan yang sudah bertahun-tahun saya simpan dengan sedikit perubahan minor, jadi ini benar-benar ending yang saya inginkan dari RYT.

Lunas sudah hutang saya. Lega sekali rasanya.
Berkat jasa pembaca yang setia juga, akhirnya karya ini bisa saya tuntaskan.


Semoga berkenan.
Terima kasih atas dukungannya.
 
Saya belum baca, tapi saya turut berbahagia atas pencapaian suhu @killertomato... saya sudah jadi fans sejak cerita ini terbit di blog kbb.... akhir sekarang tamat juga...

Sehat selalu dan terus berkarya suhu
 
akhirnya setelah menanti ribuan purnama tamat juga nih cerita!😁😁😁
makasih hu...
tinggal nunggu lanjutan xyz neh...
😂😂😂
 
Akhirnya tamat huehue
Padahal ini cerita ane baca tahun 2014 dlu tpi taunya malah lebih lama. Banyak yang namatin cerita ini dengan versi yang berbeda. Bahkan ada yang mengembangkan cerita ini sampai bejo yang kembali kepada alya dan berhasil membunuh paidi dan suami alya. Tapi akhirnya setelah berbagai versi, akhirnya Tamat juga ini cerita. Salah satu cerita lama yang berkesan bagi banyak orang. :D :D
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd