Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT AMNESIA

Sambungan LAMSIJAN 3


Stelah selesai dengan pilihan mie instannya, Koman mengajak Lamsijan dengan setengah memaksa untuk segera pulang. Padahal anak muda itu tengah menakar-nakar sejauh mana Kades Cantik semok nan menggemaskan itu bisa di SSI (speak-speak iblis). Namun pikiran logisnya mengatakan bahwa semuanya terlalu cepat. Sedangkan hatinya mengatakan bahwa STW itu menyukainya. Dia merasa senang dengan perasaan itu. Perasaan yang mengatakan dia diinginkan oleh seorang perempuan secara seksual. Namun jauh dalam hatinya, dia merasa tidak percaya diri. Dia tidak percaya kalau dirinya diinginkan secara seksual oleh seorang perempuan.

Dan rasa tidak percaya diri itu benar-benar menyiksanya.

Sambil melangkah menyusuri jalan desa, anak muda itu berbicara dengan dirinya sendiri. Koman telah melangkah jauh mendahuluinya sambil memeluk barang-barang belanjaan. Beberapa warga yang mengenal Koman, menyapa remaja belia itu dengan keheranan.
"Woy, belanja nih. Udah panen apa?" Kata seorang lelaki sebaya Koman, menyapa dengan cara berteriak dari dalam rumahnya.
"Moal dibeja-beja (tidak akan diberitahu)!" Jawab Koman, cuek.
"Woy sombong woy!"
"Kajeun (biarin)!"

Jalanan desa menuju RW 07, lurus agak menanjak. Anakmuda itu merasa sedikit khawatir dia akan merasa letih; tetapi kekhawatirannya tidak beralasan. Dia bahkan bisa menyusul Koman dengan langkah kakinya yang panjang ketika sampai di portal RW. Portal itu berada di belokan sebelah kanan, sementara jalan Desa yang berbelok ke kiri adalah wilayah RW 06. Jalan yang berbelok ke kiri itu adalah jalan menuju ke desa tetangga dan sekaligus sebagai arah menuju kota Kecamatan.

Setelah melewati portal "Selamat Datang di RW 07" mereka melanjutkan langkahnya melewati beberapa gang sampai tiba di gang ke-4, di situ mereka berbelok dan masuk ke dalamnya dengan beriringan. Pagi hari sudah berlalu menuju siang sekitar jam setengah sebelas. Sepanjang gang terasa sepi.
"Koman, ih, kamu belanja apa?" Seorang cewek ABG berkulit hitam manis menyapa, dia ke luar dari pintu sebuah rumah yang sederhana dengan mengenakan celana pendek dan kaos yang warnanya sudah tidak jelas.
"Eh, Neni... ini punya kang Ijan." Jawab Koman, agak gugup. "Permisi ya."
"Tapi kamu belum jawab belanja apa." Kata Neni dengan nada agak menjengit.
"Ini... macem-macem... ada sabun, odol..."
"Yang itu mie instan kan?"

Koman mengangguk.
"Pengen ih. Udah lama enggak makan mie."
"Tapi ini punya Kang Ijan bukan punya aku." Kata Koman.
"Dasar pelit." Neni berkata sambil berbalik dan masuk ke dalam rumahnya.

Koman menarik nafas dan melanjutkan langkahnya.
"Dia sangat manis." Kata Lamsijan dengan senyum penuh arti. Koman diam saja dan terus melanjutkan langkahnya. Tiba di ujung gang, mereka berbelok ke kiri dan menemukan seorang perempuan sedang menjemur buah kopi.
"Wah wah... Koman belanja apa nih?" Tanya perempuan itu yang memiliki rambut setengah kriting. Dia berusia sekitar 35 tahun-an. "Koq bejibun begitu?" Tanyanya, sedang matanya melirik ke arah Lamsijan.
"Belanja mie Ceu Odah." Kata Koman, "ini ngejemur kopi apa ceu?"
"Ini kopi Careuh (luwak) hasil ngumpulin Kang Kemed selama seminggu, dari hutan."
"Oh." Kata Koman pendek. "Sekarang Kang Kemed-nya ke mana?"
"Ke Bandung di ajak Mang Ujang, katanya ada proyek di Ujungberung."
"Aduh, kenapa Koman enggak diajak ya?"
"Kata Mang Ujang cuma buat 3 hari, enggak lama." Kata Ceu Odah, "Man, Ceuceu nuker mie-nya sama biji kopi mau enggak?"
"Boleh, Ceu." Tiba-tiba Lamsijan, yang sejak tadi hanya diam, menimpali.
"Eh, Kang Lamsijan... itu belanjaan punya akang ya?"

Anak muda itu, yang sudah pasrah dipanggil Lamsijan, mengangguk sambil tersenyum.
"Ceuceu pengen empat bungkus mie, dituker sama kopi sekilo, mau?"
"Mau, boleh." Jawab Lamsijan.

Setelah mereka melakukan barter, Koman dan Lamsijan melanjutkan perjalanan.
"Kang Ijan, memasak mie-nya di rumah Koman aja ya... soalnya kalau di rumah Bah Dadeng enggak ada panci.
"Boleh, Man. Akang sudah lapar nih, dari pagi belum sarapan."
"Siap, Kang."

Ketika mereka tiba di rumah Koman, Ceu Popon emaknya Koman, ternyata belum kembali dari kebun.

***

Sambil menunggu mie selesai dimasak, Lamsijan permisi ikut mandi di kamar mandi yang setengah terbuka di belakang rumah. Dia menggosok tubuhnya dengan sabun hingga bersih dan menghabiskan 2 sachet shampo untuk mencuci rambutnya. Selesai mandi, dia menggosok giginya selama 15 menit.

Lamsijan melakukannya dengan santai dalam keadaan full body naked (telanjang sepenuhnya), padahal dia tahu ada sepasang mata bening sedang mengintipnya dengan tekun di balik rimbun pepohonan halaman belakang itu.
"Cepat atau lambat aku pasti akan mengenal cewek itu." Bisik Lamsijan dalam hatinya sambil sedikit tertawa.

***

Sore itu, usai Lamsijan menyusun uang yang sudah kering, yang dia jemur di dalam keranjang bambu, serta menghitungnya dengan cermat; dia menemukan Bah Dadeng pulang sambil bersiul-siul. Wajahnya tampak gembira.
"Abah ke mana saja?" Tanya Lamsijan.
"Tiga ronde Jan, tiga ronde." Jawabnya sambil masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri di atas dipan bambu yang beralaskan kasur busa lepet.
"Maksudnya apa, Bah?"
"Pokoknya tiga ronde." Katanya.

Lamsijan mengerutkan keningnya. Lalu tiba-tiba dia tertawa.
"Gempor lututnya atuh, Bah." Kata Lamsijan di ujung tawanya.
"Enggak dong." Kata Si Abah dengan nada suara yang tegas dan meyakinkan.
"Sama Ceu Popon ya, Bah?" Duga Lamsijan.

Mendengar pertanyaan itu Bah Dadeng sontak duduk dari berbaringnya. Dia merasa kaget.
"Tahu dari mana kamu, Jan? Ngintip ya?"
"Cuma dugaan, Bah. Tapi bener kan?"

Si Abah tiba-tiba tertawa dengan keras.
"Dugaan kamu tepat." Katanya, "cuma satu hal yang tidak abah sangka..."
"Apa tuh bah? Ke luarnya seperti pancuran ya?"
"Hah, pancuran? Apaan itu? Bukan Jan, bukan. Tapi gunung Jan, meletus... he he he..."
"Tiga tiganya, Bah?" Tanya Lamsijan.
"Ya i ya, ketiga tiganya. Semuanya meletus seperti gunung meledak."
"Luar biasa si abah...tidak sangka..."
"Eh, bukan itu yang tidak disangkanya mah." Kata Bah Dadeng dengan ekspresi wajah antusias, "jambu batu ternyata sangat berkhasiat!"
"Khasiat apa, Bah?"
"Pokoknya berkhasiat!" Kata si Abah, "besok abah ingin membuktikannya lagi tapi pengen abah mah sama Nyi Aan... akh, pasti ceplak-ceplok..."
"Rayu aja, Bah, pake Mie Instan, siapa tahu dia mau."
"Mie Instan itu mahal Jan, jauh lagi belinya ke kantor desa."
"Ijan punya, Bah, tuh banyak di kantong kresek."
"Yang bener? Mana?"
"Tuh..."

Bah Dadeng, bangkit dari duduknya dan melangkah menuju kantong kresek yang disimpan di atas meja.
"Wah, banyak sekali." Kata Si Abah. "Jan, abah pergi dulu ya ke hutan, mau nyari jambu batu."
"Udah sore, Bah, nanti kemalaman."
"Bodo amat!" Kata Bah Dadeng sambil setengah berlari ke luar dari rumah.

Kira-kira dua jam kemudian, ketika malam sudah jatuh, Bah Dadeng pulang sambil memanggul keranjang bambu berisi jambu batu. Dia membawa keranjang itu ke tengah rumah yang setengah gelap karena tak ada penerangan dan mengajak Lamsijan untuk menghabiskannya bersama-sama. Kebetulan, anak muda itu juga merasa sangat lapar. Dia pun menemani Bah Dadeng menyantap buah jambu batu itu sampai habis sekeranjang.

Setelah kenyang, mereka masuk ke dalam kamar.

Di kamar itu ada 2 dipan, Abah tidur di dipan yang beralas kasur busa lepet dan Lamsijan tidur di atas dipan tanpa alas apa pun. Tapi dipan itu seribu kali jauh lebih nikmat dari pada lantai dingin yang gelap dan berbau busuk. Kini dia ingat, selama berminggu-minggu dia tidur di lantai dingin dengan tangan dan kaki diikat. Ya, kini dia ingat siksaan itu.

Mereka menginterograsinya, memukulinya dan melecehkannya. Tapi anak muda itu lupa, apa sebenarnya yang mereka inginkan darinya. Apa yang mereka cari?

***

"Jan, bangun. Sudah siang." Kata Bah Dadeng.
"I ya, Bah. I ya."
"Nasi kemarin sama pais belum kamu makan ya?"
"Belum, Bah."
"Abah udah angetin di tungku, kamu mau?"
"Buat abah aja."
"Ya, udah sama abah mau dihabisin." Kata Bah Dadeng, "Jan, abah minta mie-nya ya 5 bungkus."
"I ya, Bah. Silahkan ambil saja."
"Makasih ya Jan, sejak kamu tinggal di sini, abah selalu beruntung."

***

Potongan-potongan ingatan itu saling berlarian di kepalanya setiap kali terjaga. Dia tersiksa. Potongan-potongan ingatan itu seperti tombak yang menusuk-nusuk kepalanya.
"Aku harus konsentrasi pada satu ingatan saja... satu saja... konsentrasi... ayo..." Katanya sambil memegangi kepalanya.

Tapi dia tidak sanggup menahan rasa sakitnya. Seluruh tubuhnya mengejang menahan rasa sakit itu. Sampai pada puncaknya, dia pingsan!

Itu adalah pingsannya yang ke 7 kali sejak pertama terjaga di malam buta hingga mendusin di pagi hari ini.

***

Bah Dadeng dengan kepercayaan diri yang tinggi melangkah menuju rumah Nyi Aan di RW 06, beberapa orang yang mengenalnya, menegur mengapa tidak pergi ke kebun. Bah Dadeng menjawab bahwa dia sedang ada urusan bisnis yang penting, sambil terkekeh. Di teras depan rumah Nyi Aan Bah Dadeng bertemu dengan Oded dan Cucun, Bapak dan Ibunya Nyi Aan, yang akan pergi ke kebun.
"Ada apa ke sini, Deng." Tanya Oded.
"Ada perlu ke Nyi Aan."
"Perlu apa, Deng?" Tanya Cucun.
"Ini, mau tukeran Mie." Bah Dadeng memperlihatkan kantong kresek hitam berisi 5 bungkus mie instan.
"Wah, mie kesukaan saya itu mah." Kata Oded dengan mata bersinar gembira, "cuma sayangnya si Nyai lagi saya suruh ke Warung Desa buat beli bibit terong."
"Euuhh..." Keluh Bah Dadeng sedikit menyesal.
"Tunggu aja, sebentar lagi juga pulang." Kata Oded, ikut merasa menyesal. "Udah ya Deng, saya pergi dulu, keburu siang." Kata Oded menyusul Cucun yang sudah melangkah lebih dahulu.

Bah Dadeng menarik nafas panjang dan hendak berlalu ketika Nyi Iin, adiknya Nyi Aan, ke luar dari rumah itu sambil menggendong anaknya yang berumur 2 tahun. Nyi Iin mengenakan daster terusan yang bermotif batik.
"Memangnya mau dituker sama apa, Bah?" Tanya Nyi Iin dengan wajah penasaran, soalnya dia tahu, di rumah mereka sudah tak punya apa-apa untuk dijadikan sebagai alat tukar.
"Ah, enggak." Kata Bah Dadeng pendek. Dia kemudian melangkah menjauhi rumah itu.
"Bah, tunggu dulu." Kata Nyi Iin, "sini dulu."

Bah Dadeng berpaling dan berbalik mendekati Nyi Iin.
"Sini dulu, Bah, masuk dulu." Kata Nyi Iin dengan suara pelahan, dia masuk ke dalam rumah diikuti oleh Bah Dadeng.
"Ada apa Nyi Iin?" Tanya Bah Dadeng setelah berada di dalam rumah.
"Bah, tapi ini rahasia kita ya, mie-nya mau dituker enggak sama ini." Kata Nyi Iin sambil menarik tangan Bah Dadeng dan membawanya ke selangkangannya. Begitu tangan Bah Dadeng menempel ke selangkangan yang terhalang kain daster itu, dia langsung menggosoknya pelahan.
"Mau, Nyi. Mau." Kata Bah Dadeng Antusias.
"Yuk atuh kita lakukan di belakang." Kata Nyi Iin.
"Anak ini gimana? Masa mau dibawa?"
"Biar tidur sama bapaknya saja di kamar."
"Hah? Si Dudi ada di rumah?"
"Ada, tuh lagi ngorok." Kata Nyi Iin, "tunggu sebentar, Bah."

Nyi Iin kemudian masuk ke kamar dan membangunkan suaminya yang lagi tidur.
"Kang bangun dong, tidur aja kerjaan." Kata Nyi Iin dalam bahasa Sunda yang agak kasar.
"Apa sih?"
"Ini nitip si Otong, aku mau ke warung... siapa tahu dapat mie instan."
"Awas kamu kalau ngutang."
"Enggak."
"Sini, nak, tidur sama bapak di sini." Kata Dudi sambil memeluk anaknya dan membaringkannya di sisinya.

Anak umur dua tahun itu hanya diam saja sambil menyedot jempolnya sendiri. Nyi Iin kemudian menutupkan gorden yang menggantung di kusen pintu. Sebelum mereka ke luar lewat pintu belakang, suara ngorok suaminya terdengar lagi.
"Bah, sini lihat dulu mana mie instannya." Kata Nyi Iin sambil mengambil kantong kresek hitam dan memeriksa isinya. "Sip." Kata Nyi Iin.
"Nyi bener ini teh nyai mau?"
"Ya bener atuh, Bah... tapi..."
"Tapi apa Nyi?"
"Abah dilarang nyium Iin dan meremas toket."
"Terus?"
"Terus apa Bah? ya langsung aja ngentot." Bisik Nyi Iin dengan nada getas.
"Baiklah, setuju." Kata Bah Dadeng. "Kalau Nyi Iin teh sekarang umurnya berapa?"
"22 tahun, Bah."
"Adeeuuuhhh..." Kata Bah Dadeng menahan rasa gemas dan gembira.
"Bah, ke sini bah." Ajak Nyi Iin sambil menuntun Bah Dadeng masuk ke dalam kandang domba yang kosong dan sudah dibersihkan. Nyi Iin kemudian menghamparkan kain terpal warna oranye di tanah lalu melepaskan celana dalamnya sebelum berbaring. Dalam kepalanya, Nyi Iin menduga kalau lelaki setengah baya itu paling lama juga 3 menit. Begitu nempel, pasti langsung ke luar. Suaminya saja yang lebih muda dari si abah hanya kuat 5 menit, apalagi orang tua ini. Bagi Nyi Iin, 5 bungkus mie instant itu berarti dia bisa makan dirinya dan anaknya selama 5 hari. Ini adalah pekerjaan termudah yang pernah dia dapatkan dengan bayaran yang cukup adil. Nyi Iin membayangkan memotong-motong ubi dan singkong, merebusnya sampai matang lalu mencampurnya dengan mie instan. "Pasti sedap dan kenyang."

Usai memikirkan makanan yang akan dimasaknya, Nyi Iin kemudian menyingkap dasternya dan membuka ke dua pahanya dengan lebar. Sementara Bah Dadeng melepaskan celana pendeknya dan melipatnya. Batang penis Bah Dadeng sudah menegang walau belum sempurna. Sepasang mata tua Bah Dadeng tanpa kesip menatap belahan bibir-bibir kemaluan Nyi Iin yang tebal dan berwarna coklat. Tidak ada bulu-bulu apa apun tumbuh di daerah itu. Sangat berbeda dengan milik ceu Popon yang bibir-bibirnya sudah agak keriput dan brewokan; yang satu ini lebih muda, lebih kenyal dan lebih rapat.

Melihat vagina mamah muda itu, batang penis Bah Dadeng berreaksi dengan cepat. Batang itu menegang dan mengeras, sepertinya ingin cepat-cepat masuk menembus liang gua yang masih tertutup rapat.
"Nyi, memeknya masih kering.... boleh sama abah dijilatin dulu?" Tanya Bah Dadeng sambil berjongkok di antara selangkangan Nyi Iin yang terbuka lebar.

Nyi Iin sama sekali tidak menduga dengan permintaan Bah Dadeng.
"Abah enggak jiji?" Tanya Nyi Iin.
"Ya enggak atuh nyi, memek sebagus ini mana bisa abah jiji."
"Tapi Iin belum pernah dijilat, Bah. Takut ah."
"Takut apa?"
"Takut geli, Bah. Iin enggak kuat kalau geli mah."
"Kata almarhumah istri abah dijilatin teh enak Nyi.. tapi itu bibir-bir memeknya harus dibeliakin dulu biar itilnya kelihatan...."
"Itilnya bah?"
"I ya, itilnya. Coba Nyi sama dua tangan ditarik bibir-bibir memek luarnya... nah seperti itu... sekarang sama abah kelihatan liang memek nyi iin yang merah..." Berkata demikian Bah Dadeng lalu merunduk dan memonyongkan mulutnya untuk mencaplok sebuah daging kecil berbentuk seperti kacang. Bah Dadeng dengan mulut tuanya lalu mengunyah-ngunyah kacang itu.
"Akkhhhh.... abaaahhh.... enaaakk... bah...okhkhhh... terussshh bbaaahhh... pake lidah.... akhhh.... ssshhhhh... ssshhhhh..." Nyi Iin mendesah-desah dengan mulut nyengir merasakan kenikmatan yang tak pernah diduganya itu.

Bah Dadeng tersenyum senang dalam hatinya. "Memek Nyi Iin enak dan harum, itilnya juga lembut." Kata Bah Dadeng sambil mengangkat mukanya dan melihat wajah Nyi Iin sedang meringis sambil memejamkan mata.
"Lagi bah... lagi... enak...enggak nyangka ya bah dijilatin teh enak."
"Nyi Iin suka?" Tanya Bah Dadeng.
"Suka banget, Bah. Cepet jilat lagi pake lidah..."

Tanpa menunggu perintah yang ke dua, Bah Dadeng kembali membenamkan kepalanya di antara selangkangan Nyi Iin. Seperti kerbau yang kelaparan, Bah Dadeng dengan rakus memamah lingkaran daging bibir-bibir elips tanpa merasa kenyang.

"Abaaahhhh.... sshhhhh.... abaaaahhh... adduuuhhh.... sekarang... bah... masukin.... cepeettthhh..."

Bah Dadeng mengekeh senang melihat mamah muda itu memintanya untuk segera dimasuki. Namun, sebelum mengarahkan batang penisnya, Bah Dadeng terdiam sejenak untuk menikmati ketelenjangan selangkangan Nyi Iin.
"Cepet atuh bah."
"Baik, baik." Kata Bah Dadeng sambil tetap mengekeh, lalu dia mencecabkan batang penisnya hingga masuk seluruhnya. Dia menggenjotnya dengan tenang pelahan.
"Yang cepet bah... biar berasa." Bisik Nyi Iin sambil melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Bah Dadeng.
"Yang cepet, nyi? Kayak gini?" Tanya Bah Dadeng sambil mempercepat genjotannya.
"Lebih cepet lagi, bah."
"Baik... lebih cepet ya..."
"Aaaakhhhh... aabbbaaaahhh... lebih cepet... terusssshhhh.... aauuuhkhkhh.... abaaah... iin enggak kuat... pengen nyemprottthhh...."
"Abah juga Nyi..."
"Abah..."
"Nyi Iin..."
"Abaaaaaaahhhhhh!!!!!!!"
"Nyiiiiiiiiii Iiiiinnnnnnnn!!!!!"

Srrrrrrrrrrr....cret cret cret... srrrrrr...
srrrrr... prot...prot...prottt...

"Abah, jangan cabut dulu."
"Enggak."
"Cape bah?"
"Lumayan."
"Teu sangka bah... ewean sama abah enak sekali."
"Iya nyi...abah juga enak sekali."
"Sekarang cabut pelan-pelan bah."
"I ya, nyi, dicabut ya sama abah..."
"Ahhkh..."
"Uhhkh."

***
(Bersambung)
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd