Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT RANJANG YANG TERNODA - REMASTERED

Dari serial RYT, ane paling suka karakter Lidya. Dan sekarang Krn ryt sudah tamat, tidak sabar untuk menunggu kelanjutan dari serial XYZ.
Bening oh Bening, si cantik nan alim tapi terpendam sisi masochist di dalamnya.
Jangan-jangan Nyoto-nya Lidya, Nyoto-nya si Bening juga. It'll be great. :konak:
 
mantap,,walaupun ada yg sad ending jga,tpi ending nya sngat realistis,,tidak mengada-0ngada
 
Menunggu suhu - suhu yang sukarela mau mengisahkan perjalanan lidya si mamah muda dengan pak nyoto di mall:nenen:
 
Aku baru tau kalo RYT ternyata dilanjutkan. Kirain penulis udah pensiun dan gantung pena. Udah berapa tahun ya mandeg. 🤣
Masih ingat dulu pertama kali baca cerita ini pake hp sony ericsson k320i tahun 2007 atau 2008, udah lupa. wkwkwkkwkw. Ngorbanin pulsa banyak bgt.

Akhirnya baru baca lanjutannya hari ini. Terima kasih Pujangga Binal.

Semoga diankanon bisa terinspirasi dan menyelesaikan Eliza the series.
 
Mudah-mudahan juga Cast Away ada yg mau melanjutkan. Mau baca nasibnya Shinta bakal diapain sama para napi yg lepas itu....
 
BAGIAN 12-B
AKHIR KISAH MEREKA



.: PADA SUATU KETIKA :.




Dina duduk santai sambil membaca novel di sofanya yang besar dan empuk. Di hari minggu yang tenang seperti ini ibu muda yang cantik itu memilih untuk bermalas-malasan di rumah sambil menikmati hari daripada sibuk memikirkan pekerjaan. Matanya melirik keluar jendela, Dudung sedang bermain bola dengan kedua anak tirinya dengan senyum riang tersungging di wajah-wajah mereka. Suaminya yang menderita cacat mental itu memang hampir tidak mungkin sembuh total, namun kebesaran hatinya membuat Dina semakin mencintainya dari hari ke hari. Dudung bukanlah pria dan suami yang sempurna, tapi Dina tidak membutuhkan kesempurnaan, dia membutuhkan hati. Dudung memberikannya kebesaran hati yang lebih dari cukup.

Smartphone-nya berdering lembut, Dina meletakkan novel di meja kecil dan mengangkat telepon genggam berharga jutaan rupiah itu. Nomer sekretarisnya muncul di layar.

“Halo? Ya? Gimana, Manda?”

Tak lama kemudian suara sang sekretaris terdengar menjelaskan sesuatu pada DIna dan berakhir tiga menit kemudian.

Dina tersenyum dan dengan lembut menjawab. “Manda, aku pernah bilang apa? Kalau sedang weekend aku tidak mau diganggu untuk urusan apapun, ingat kan? Aku paling tidak suka diganggu di hari libur, lain kali pending semua urusan sampai aku masuk lagi hari Senin. Tapi untuk kali ini tidak apa-apa deh. Kamu bilang saja ke Pak Hasto kalau aku sudah mendapatkan kontrak dari Pak Bonar, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dua, kalau telpon jangan nyerocos terus seperti itu, pelan-pelan saja dan pakai jeda sedikit, biaya pulsamu kan ditanggung kantor, jadi cerita dengan pelan-pelan.”

Sekretaris Dina berulang kali meminta maaf, membuat si cantik itu geli sendiri. “Tidak apa-apa, Manda. Tidak aku tidak akan mengirim SP, aku tidak sekaku itu. Hanya saja lain kali jangan diulangi ya? Ya. Ya... ya, ok terima kasih. Ya...”

Dina sudah bersiap menutup telepon ketika tiba-tiba dia teringat sesuatu.

“Eh iya, Manda... ada satu hal lagi.” Kali ini suara Dina terdengar tegas. “Aku ingin kamu menyiapkan orang untuk menyelidiki perusahaan xxx, ya... perusahaannya Pak Pramono. Cari tahu seluk beluknya detail dari A sampai Z. Akhir-akhir ini hubungan kerjasama kita sepertinya kurang bagus. Aku ingin mengadakan evaluasi. Betul, ok, terima kasih, Manda. Selamat berlibur.”

Ketika Dina menutup teleponnya, senyum aneh melintas di bibirnya yang mungil.





.::..::..::..::.





Alya membasuh keringat yang menetes di dahinya, ia akhirnya menyelesaikan masakannya untuk hari ini, sup asparagus dan lauk udang goreng yang sangat spesial. Dulu saat Hendra belum sakit dan Opi belum lahir, Alya sering sekali memasakkan sup asparagus untuk suaminya dan berapapun banyaknya sup dan lauk yang ia masak, Mas Hendra selalu menghabiskannya sampai bersih tak bersisa. Alya tak akan pernah melupakan senyum puas yang tersungging di bibir Mas Hendra usai menyantap makanannya, senyum yang ingin ia hadirkan kembali.

Setelah menyiapkan meja makan, Alya berjalan penuh harap ke kamar kerja Hendra. Ia membuka pintunya pelan agar tidak mengganggu pekerjaan dan memanggilnya juga dengan suara pelan, “mas, sudah waktunya makan.”

Hendra yang duduk membelakangi Alya berkonsentrasi penuh ke layar monitor komputernya. Suami Alya itu tidak membuka mulutnya, dia hanya melambaikan tangan meminta Alya tidak menganggu dan menyuruhnya pergi. Alya sudah menduga Hendra akan bersikap demikian. Sudah sering suaminya itu hanya melambaikan tangan saja tanpa menengok ke belakang sedikitpun, seakan menghindar bertatap mata dengannya. Ia hanya berharap semoga alasannya adalah karena Hendra sangat sibuk dengan pekerjaannya di depan komputer sehingga lupa makan, bukan karena membencinya. Walaupun mendesah kecewa, tapi wanita jelita itu pantang menyerah.

“Makan, Mas. Nanti kamu sakit, aku sudah memasakkan makanan kesukaanmu.”

Hendra menggelengkan kepala dan mengucapkan empat patah kata yang menusuk hati Alya. “Tutup pintu. Jangan ganggu.”

Alya menundukkan kepala dan mengucapkan jawaban dengan lirih, “baik, mas.” Kata-kata itu seperti tercekat di tenggorokan tidak mampu dikeluarkan dengan lantang.

Tak terasa setetes air mata mengalir menelusuri pipi halus Alya ketika ia menutup pintu ruang kerja Hendra dan memutar langkah, tetes air matanya terjatuh ke lantai dengan lembut. Kapankah kepedihan seperti ini berakhir? Kapan Mas Hendra akan kembali sebagai lelaki yang ia kagumi, cintai dan hormati? Ia tidak ingin menyerah, tapi tidak seperti ini caranya...

Tiba-tiba satu lengan liat memeluk pundaknya dari belakang, Alya menengok kaget dan ia mendapati Paidi menatapnya lembut.

“Aku belum makan...” kata pria tua sambil menghapus air mata Alya dengan punggung tangannya.

Alya mengangguk lemah dan tersenyum.





.::..::..::..::.





Suara smartphone yang berdering menggema di semua ruangan di rumah pasangan Andi dan Lidya. Dering telepon yang menjerit-jerit semakin lama semakin mendesak pendengarnya, bergoyang meminta diangkat secepat mungkin.

“Iya... sebentar.” teriak Lidya sambil berlari kecil, kebetulan saat itu dia sedang masak. Meskipun orang yang menelepon tentunya tidak akan mendengar apa yang baru saja diteriakkan Lidya, namun si cantik itu mengulang lagi jawabannya sebelum mencapai pesawat telepon yang terus mendengungkan deringnya dengan kencang. “Iya-iya... sebentar...”

Setelah sampai di ruang tengah, Lidya segera mengangkat telepon, “Halo?”

Tidak terdengar suara di ujung sana.

“Halo?”

Masih belum ada suara.

“Halo?” ulang Lidya sedikit jengkel, pekerjaannya masih banyak, kalau ini hanya telepon iseng saja maka waktunya akan terbuang percuma dan ia akan terlambat menyiapkan makan malam Mas Andi. Lidya yang sebenarnya sedang kesal karena Andi tak kunjung pulang menjadi semakin emosi. Kemana juga suaminya itu? Sudah hampir waktunya makan malam namun dia belum juga pulang dan sama sekali tidak memberikan kabar. Beginilah kebiasaan buruk suaminya itu.

“...ini aku.”

Terdengar satu suara akhirnya menjawab sapaan Lidya. Si cantik itu sangat hapal dengan suara yang muncul, itu suara Mas Andi. Tapi kenapa suara suaminya itu terdengar sangat lemas dan tak bertenaga? “Mas Andi?”

“Ba... Bapak....” suara Andi yang terbata-bata membuat Lidya mulai merasa aneh, degup jantung di dadanya berdetak lebih keras. Ia mulai merasa khawatir, jangan-jangan ada yang tidak beres?

“Bapak kenapa, Mas? Ngomong yang jelas dong. Kamu dimana sekarang?”

“A... aku di rumah sakit. Bapak stroke...” suara Andi patah-patah dan sengau seperti terisak.

Mendengar itu hati Lidya seperti ditancap panah. “Apa??! Bapak kena stroke?!!”

“Bapak... stroke... bapak... meninggal...”

Dunia Lidya mendadak menjadi kabur.

Semuanya menjadi kabur.





.::..::..::..::.





Hujan lebat mengguyur di satu sore yang sendu, satu dua kendaraan melintas di jalanan yang basah di bawah rintik hujan yang menyelimuti kota dengan keheningan semu. Namun suasana di Rumah Sakit xxxxx justru ramai oleh teriakan yang menyayat yang berasal dari Unit Gawat Darurat. Jeritan berulang yang terdengar dari ruang UGD memecah kesunyian di lorong-lorong rumah sakit. Teriakan nyeri itu membuat merinding beberapa pasien yang dirawat hanya karena influenza atau masuk angin. Sebenarnya suara jeritan itu memang hanya berasal dari satu pasien, namun hampir semua orang tidak ingin mendengarnya.

Di dalam ruang UGD, seorang wanita muda berambut acak-acakan meronta marah dan mengamuk. Ia sebenarnya cantik dan tubuhnya juga semampai, namun wajahnya meronakan amarah yang luar biasa. Mirip seperti kesurupan, ia meronta habis-habisan, mengamuk meminta dilepaskan.

Wanita muda itu adalah Anissa.

Darah terus saja mengucur dari selangkangan gadis cantik bernasib malang itu. Wajahnya yang jelita lenyap berganti pucat karena ketakutan yang amat sangat dan rasa sakit setengah mati bercampur dengan kemarahan hebat. Anis memukul-mukul perutnya dan berteriak-teriak tanpa henti. Pada saat yang bersamaan, gadis itu marah, takut dan sakit.

Dodit yang berada di depan Anissa mengelus dada dan menggelengkan kepala tak percaya. Kesedihan yang ia rasakan tambah berlipat melihat Anis seperti ini. Batin Dodit menahan pilu.

Apa yang sedang berkecamuk di kepalamu, sayang? Setan apa yang tega membuatmu jadi seperti ini?

“PERGI! PERGI! PERGI! PERGI! PERGI!” jerit Anis sambil terus memukuli perutnya. “KELUAR! KELUAR! KELUAAAARRR!!! KELUARRRKAANNN!!!”

Para suster jaga bergerak sigap untuk menidurkan Anissa yang mengamuk. Mereka membaringkan Anis di tempat tidur dorong sambil menyuntikkan obat penenang. Begitu disuntikkan, tidak butuh waktu lama bagi obat penenang itu untuk bekerja. Gadis malang itu berhenti meronta, matanya yang sejak masuk ke UGD mengeluarkan airmata kini sudah bisa dipejamkan dengan tenang. Nafasnya yang kembang kempis juga sudah mereda. Ia tidak lagi menjerit dan berteriak. Beberapa pengunjung yang penasaran dengan keributan yang ditimbulkan dan mengintip dari sela pintu berangsur mulai membubarkan diri.

Dodit bingung melihat tunangannya seperti ini, apa yang harus dilakukannya? Tidak mungkin memberitahu Mas Hendra karena akan menambah bebannya, memberitahu Mbak Alya juga tidak ingin dilakukannya karena Dodit sedang berusaha menghindar dari pesona istri Mas Hendra itu. Sedangkan keluarga Anissa yang lain sudah pasrah. Mereka pasti akan tambah shock melihat keadaan Anissa yang semakin parah, kepada siapa dia harus meminta tolong?

Seorang dokter memeriksa Anissa untuk beberapa saat lamanya dan meminta pada para suster untuk menyiapkan ruang khusus bagi gadis malang itu. Ketika pemeriksaan usai dan ia berjalan keluar, Dodit langsung menghampiri sang dokter.

“Bagaimana keadaannya, dokter?”

“Anda siapa?”

“Saya tunangannya, dok.”

“Tunangan ya, bukan suaminya?”

“Bukan. Kami belum menikah...”

Sang dokter mengangguk-angguk dengan wajah muram, “anda sudah tahu kalau tunangan anda... ehm... tunangan anda hamil?”

Dodit mengiyakan, “Sudah, dok. Saya dan juga pihak keluarga juga sudah tahu. Bagaimana kandungannya?”

Dokter ini dokter baru yang baru kali ini menangani Anissa, Dodit tentu saja tidak ingin bercerita panjang lebar kalau janin yang sedang dikandung Anissa bukanlah anaknya, melainkan buah dari perkosaan yang dilakukan oleh sekelompok bajingan yang kini sudah mendekam di penjara. Mungkin dokter itu juga sudah tahu.

“Walaupun Nona Anissa selamat setelah kehilangan banyak darah, dia harus mendapatkan perawatan yang cukup serius agar kelak tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sebagai akibat dari peristiwa ini. Memang sudah sebaiknya Nona Anissa dirawat di rumah sakit.” Sang dokter mendesah sedih dan menggelengkan kepala. “Berita buruknya adalah... mengenai kandungannya... sayang sekali kita kehilangan bayinya.”

Dodit tercengang, “maksud dokter?”

“Nona Anissa keguguran. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya. Sepertinya Nona Anissa memang sengaja ingin menggugurkan kandungannya.”

Jantung Dodit serasa berhenti berdetak.

Dodit menundukkan kepala dengan sedih, setega itukah kamu, Anis? Kenapa? Kenapa kau bunuh sendiri bayi yang tak berdosa itu? Kenapa kamu tidak memberikannya kesempatan untuk bernafas dan menjalani hidup yang lebih baik walaupun dihasilkan dari bibit seorang bajingan? Dia tidak berdosa, Nis... dia bahkan tidak perlu tahu siapa ayahnya, dia masih punya harapan. Dia masih punya masa depan. Kenapa, Nis? Apakah kamu takut dia akan terus mengingatkanmu pada peristiwa itu? Batin Dodit kecewa. Kekecewaan pemuda itu bercampur dengan rasa bersalah yang sepertinya tidak akan pernah hilang selamanya-Anis tidak bersalah, dialah yang bersalah. Anis hancur, janin itu hancur, semua adalah kesalahannya.

“Bo... boleh saya duduk di samping Anissa, dokter?”

“Silahkan. Saya sarankan sebaiknya anda menyelesaikan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk opname dan keperluan administrasi lainnya. Saya sudah meminta suster untuk menyediakan ruangan khusus agar pasien lain tidak terganggu selama Nona Anissa belum mendapatkan kamar.”

“Baik, Dok.”

Setelah mengurus keperluan administrasi, Dodit duduk di samping Anissa mulai dari UGD sampai ke ruangan khusus sebelum transit. Sampai kamar untuk rawat inap selesai disiapkan, Anissa belum bisa dipindahkan dari UGD. Dodit memegangi tangan Anissa dengan erat, tidak akan dia lepaskan lagi kekasih yang amat ia sayangi ini. Betapa bencinya Dodit pada pria tua busuk yang telah menghancurkan masa depan Anissa seperti ini, dia berharap Pak Bejo akan membusuk di penjara. Dalam hatinya yang terdalam, Dodit juga mengutuk dirinya sendiri yang malah terpikat kecantikan Mbak Alya justru ketika Anissa sedang membutuhkannya.

Sayang belum sampai Anissa dipindah ke kamarnya, obat yang disuntikkan suster mulai menghilang khasiatnya. Gadis muda itu terbangun dan langsung duduk dengan punggung tegak dan pandangan mata melotot, mengagetkan Dodit yang sebelumnya sempat melamun.

Tanpa ancang-ancang, Anissa berteriak sekencang-kencangnya.

Semua orang yang berada di ruangan itu tentunya kaget. Suster kepala memarahi suster yang tadi menyuntik Anissa dengan obat bius yang takarannya tanggung.

“Tenang sayang, tenang.” kata Dodit yang panik melihat sang tunangan berteriak-teriak tanpa henti. Dodit terus saja berusaha menenangkan Anis ketika para suster masuk dan berlari ke arah mereka.

Tapi Anissa tidak lagi menjawab. Ia hanya berteriak.

Ia tidak pernah lagi menjawab.





.::..::..::..::.





Paidi menjadi saksi perjuangan Hendra ketika ia mencoba berdiri dengan gerakan patah-patah, majikan Paidi itu berusaha menyangga beban tubuhnya dengan bertumpu pada dua tangan yang mencengkeram pegangan pipa besi berjarak dua meter yang sudah disiapkan oleh pihak rumah sakit. Seorang suster dengan penuh kesabaran membimbing Hendra supaya bisa melangkahkan kaki dan bergerak maju.

“Sedikit demi sedikit..... usahakan kaki yang sakit yang terlebih dahulu maju dengan berpegangan kencang pada penyangga.” Kata sang suster membimbing Hendra. “Jangan paksa tangan untuk menumpu jika memang tidak kuat dan terasa sakit di bahu. Atur nafas agar bisa lebih seimbang.”

Hendra yang sehari-hari tampil seperti pesakitan itu menggerakkan tubuhnya dengan sekuat tenaga dan memperlihatkan wajah antusias yang sebelumnya tak pernah ia tunjukkan di rumah. Paidi tersenyum melihat wajah Hendra, inilah rupanya dia, pria yang mati-matian dicintai oleh Alya. Ini Hendra yang berbeda dari yang biasa ada di rumah, inilah dia Hendra yang sesungguhnya. Kenapa ia tak mau menunjukkan semangat ini di rumah? Di samping sang istri yang selalu mendukungnya?

“Ayo, Pak Hendra!” Kata Paidi memberi semangat. Ia bertepuk tangan dan menunggu majikannya itu di ujung. “Pasti bisa! Pasti!”

Hendra tersenyum, keringatnya menetes deras dan tubuhnya makin lemas tapi ia tak patah semangat. Ia harus terus maju dan mencoba, harus terus berusaha, harus bisa dan harus berhasil. Tertatih-tatih namun pantang menyerah, Hendra ingin segera sampai di tempat Paidi. Ia tak peduli jika dalam perjalanan itu ia hampir jatuh atau bahkan ambruk, karena tiap kali ia jatuh, ia pasti akan berdiri dan melanjutkan. Semangat luar biasa ini membuat Paidi berdecak kagum. Luar biasa semangat Hendra untuk sembuh.

“Terima kasih, Pak Paidi.” Hendra mengulurkan tangan pada supirnya yang kurus itu. “Teriakan bapak mengingatkan aku pada satu hal, semangat pantang menyerah.”

“Nah begitu, Pak. Harus semangat untuk bisa sembuh! Dengan begini Bu Alya bisa tenang dan...”

“Jangan.” Tiba-tiba saja raut wajah Hendra berubah. “Aku tidak ingin kamu menceritakan sepatah katapun pada istriku. Jika aku dengar Alya mengetahui sedikit saja apa yang terjadi dan aku lakukan hari ini, kamu akan aku pecat. Mengerti?”

Paidi yang tadi sudah senang sontak berubah kaget, “Memangnya kenapa, Pak? Apa salahnya mengabarkan berita gembira ini pada Bu Alya?”

“Ada satu yang... ah, aku masih belum bisa memaafkan dia karena satu hal. Kamu tidak perlu tahu hal apa itu, yang pasti.... sampai aku sembuh nanti dan sampai saat kami berdua bisa bicara dari hati ke hati, aku akan terus berusaha menghapus luka yang ada.”

“Mak... maksud Bapak... Bapak akan menceraikan Bu Alya?”

Hendra tersenyum pahit, ia menggelengkan kepala sembari mengelap keringat yang menetes, “orang gila seperti apa yang akan menceraikan istri sebaik dan seindah Alya, Pak Paidi? Tidak... aku tidak akan pernah memaksa Alya bercerai, sampai kapanpun hal itu tidak akan terjadi. Aku sudah berikrar untuk menikahinya dan hanya akan menceraikannya dalam kematian, jadi kata cerai tidak akan pernah tercuat dari mulutku. Lain halnya kalau dia yang menuntut perceraian, aku pasti akan mengabulkannya.” Hendra mendesah panjang. “Aku sudah cacat dan kemungkinan sembuh sangat kecil. Lihat saja tadi, hanya berjalan seperti itu aku tidak sanggup. Wanita seperti dia tentu berhak mendapatkan yang lebih baik, lebih dari seorang suami yang tidak mampu melindungi istrinya. Kenapa dia harus bertahan dengan orang egois seperti aku?”

Kini giliran Paidi yang tersenyum, “saya yakin Bu Alya juga tidak akan pernah melayangkan gugatan cerai apapun. Bu Alya pasti akan menanti saat Pak Hendra sanggup kembali ke keluarga. Rasanya Pak Hendra bukan tidak sanggup berjalan, tapi belum. Saya rasa, maaf kalau saya kurang ajar karena sok tahu, tapi saya rasa Bu Alya pun tahu Pak Hendra akan sembuh suatu saat kelak.”

Hendra tersenyum dan menepuk pundak Paidi, “Mudah-mudahan seperti itu.”

Hendra berbalik dan kembali memanggil suster untuk berlatih ulang. Semangat pria itu sungguh luar biasa untuk sembuh, Paidi mengaguminya, sebagai majikan, sebagai sesama lelaki, sebagai seorang pejuang, sebagai suami dari wanita yang paling ia cintai. Inilah bukti bahwa sampai kapanpun ia tak akan pernah bisa dibandingkan dengan Pak Hendra. Kualitas mereka berbeda, bukan dari fisik, tapi dari hati.

Renungan pria tua kurus itu makin dalam, jadi begitu rupanya. Walaupun komunikasi diantara pasangan suami-istri ini hancur lebur, namun sebenarnya mereka berdua masih menyayangi satu sama lain. Alya mungkin bukan istri setia dan tak akan bisa dipuaskan oleh Hendra seperti dulu karena setelah terus menerus diperkosa oleh Pak Bejo, hal itu sedikit mempengaruhi mentalnya yang menjadi haus akan belaian. Paidi tahu sekali jika posisinya hanyalah sebagai pembantu, ia mungkin meniduri istri Hendra, tapi ada waktunya berhenti suatu saat nanti. Paidi hanyalah lemparan kasih sayang berlebih dari Alya yang tak bisa ia salurkan ke suaminya, ia hanyalah cadangan, obyek pengalih yang membantu.

Paidi akan berusaha pelan-pelan memberikan semangat pada kedua orang ini, dengan caranya sendiri-sendiri, dengan jalan mereka masing-masing agar mereka bisa bersatu kembali. Ia mungkin hanya seorang bajingan tapi ia tahu apa yang terbaik bagi Alya dan Hendra.

Paidi kini sadar betul, Hendra memang membutuhkan amarah. Kemarahan itu menjadi pemicu semangatnya untuk terus berusaha berjuang, berusaha membuktikan pada diri sendiri. Hendra tak akan bisa kembali menerima orang lain seperti dulu sebelum ia berdamai dengan dirinya sendiri. Hendra harus kembali tegak untuk bisa memiliki kepercayaan diri kembali. Sedangkan tanpa seks penuh kasih dan kelembutan Alya tidak mungkin bisa memaafkan dirinya yang telah dinodai oleh Pak Bejo.

Dengan jalan mereka masing-masing...

Suatu saat nanti...





.::..::..::..::.





.: AKHIR KISAH BEJO SUHARSO :.



Pak Bejo berdehem.

Pria tua yang gemuk dan berwajah buruk itu melonggarkan tenggorokan sembari menyunggingkan senyuman yang tidak ia tujukan untuk siapapun.

Jeruji besi tempat Pak Bejo menyandarkan dagunya terasa dingin membekukan tulang, hujan yang tengah turun dengan lebat menambah dinginnya besi dan dinding penjara. Entah kenapa pria tua itu ngotot ingin melihat keluar jendela. Tidak ada pemandangan yang bisa dilihat selain tembok besar mengitari sebuah kebun yang berlumpur, lapangan basket yang sepi dan sebuah halaman gersang. Pemandangan yang sama yang dilihatnya setiap hari setelah menetap di kolong penjara ini. Ditambah dengan hujan lebat dan gelap yang menyelimuti, apa yang ada di luar sana bukanlah pemandangan yang nyaman dilihat.

Siapa yang bilang bahwa tinggal di penjara itu menyiksa? Sebenarnya dia sama sekali tidak merasa tersiksa. Tidak, dia tidak merasa tersiksa, dia punya banyak teman, dia bisa makan gratis dan dia bisa bebas dari keluarga yang bisanya hanya merepotkan saja. Tidak tersiksa, tidak ada yang tersiksa. Toh dia hanya sebentar saja berada di sini, hanya beberapa tahun saja dan dia sudah akan bebas. Cukup bertahan beberapa tahun lagi dan dia akan menghirup udara di luar penjara. Semuanya akan baik-baik saja baginya...

Semua pasti baik-baik saja...

...tapi sungguh ada sesuatu yang membuatnya gusar. Sangat gusar.

Sebetulnya bukan rasa dingin menghisap tulang yang menyakiti pria tua itu, melainkan gambaran berulang yang terus muncul seperti rekaman video yang diputar tanpa henti dalam benaknya. Semua imaji yang muncul menusuk angan langsung ke hati dengan sangat menyakitkan.

Dalam khayalnya gambaran tubuh molek kakak beradik Dina, Alya, Lidya dan Anissa yang indah dan gemulai menggodanya dengan keseksian mereka, seakan mengundangnya kembali ke dunia nyata, tak terbelenggu jeruji, lepas dari balik dinding tebal yang mengitari penjara, lepas dari batasan fisik yang mengungkung. Mereka bersenda gurau bersama, bermain-main di sebuah danau tanpa mengenakan sehelai benangpun sembari memanggil-manggil namanya dengan suara yang paling mesra yang pernah ia dengar sepanjang hidup.

Dalam bayangnya itu, Pak Bejo melangkah masuk ke danau dan menghampiri kakak beradik jelita bagai bidadari yang memanggil-manggil namanya. Tapi....... tapi anehnya..... berapapun besarnya kekuatan yang ia keluarkan, sekuat apapun ia mencoba, kakinya tidak juga mau beranjak maju. Ia hanya terpekur kaku tak berdaya bahkan untuk melangkahkan kaki! Ia kesal sekali!

Lamunan dalam benak Pak Bejo tersentak lepas.

Pria tua bejat itu menepuk jeruji besinya dengan jengkel. Apa-apaan ini? Malah melamun tidak karuan.

“Suatu saat nanti, aku pasti akan meniduri mereka semua.” batin Pak Bejo dalam hati, iapun terkekeh pelan membayangkan dirinya memeluk semua wanita itu. “Dina, Alya, Lidya, Anissa. Aku pasti akan datang kembali demi menikmati kemolekan kalian. Pasti. Ini janji! Dendam yang ada di dada ini akan menjadi semangat untuk bisa bertahan. Aku masih belum mencicipi moleknya tubuh Dina dan Lidya. Hanya masalah waktu saja...”

Pak Bejo meninggalkan jendela, kemudian duduk di pembaringannya sambil bersiul.

Dalam benaknya, kalaupun ia tak pernah bisa lepas dari penjara ini, rencana kabur sudah mulai terbentuk. Pak Bejo tidak ingin menghabiskan delapan tahun sisa hidupnya membusuk di tempat ini tanpa bisa merasakan memek siapapun. Pasti ada jalan untuk kabur atau keluar lebih cepat. Pasti ada. Ketika saat itu tiba, ia akan memburu para ibu dan mamah muda molek yang innocent dan alim sebagai incaran.

Tidak perlu terburu-buru, perlahan-lahan saja. Pasti ada...

Deru nafasnya bersaing dengan suara hujan yang makin deras.





.::..::..::..::.





.: AKHIR KISAH DINA :.



Pak Pramono meneguk ludah dalam-dalam. Belum pernah ia setegang ini sebelumnya, terakhir kali ia mengalami ketegangan seperti ini adalah ketika dia menghadapi ujian akhir di masa kuliah atau ketika dia pertama kali harus menghadapi wawancara saat kerja dan itu pun sudah sangat-sangat lama. Baru kali ini ia kembali merasakan detak jantungnya meningkat dengan sangat cepat.

Ruangan tempatnya berada sekarang sebenarnya sangat sejuk, AC yang menyala membuat kondisi ruangan dingin semillir. Namun keringat tetap menetes di sekujur tubuh Pak Pramono. Ketegangan sekaligus penyakit yang ia derita membuat pria tua itu mengeluarkan banyak sekali keringat. Beberapa kali ia harus berdehem untuk melonggarkan tenggorokan dari batuk yang tiba-tiba saja mengganggunya.

Suara kertas yang dibuka lembar demi lembar menjadi satu-satunya suara yang terdengar di ruangan yang cukup besar, lengang, dan sepi tempat Pak Pramono berada sekarang. Pria tua itu memandang dengan banyak harap ke arah sang direktur yang saat ini tengah terdiam jumawa sembari memeriksa berkas-berkas dihadapannya.

Nama direktur itu? Dina Febrianti.

Setelah perusahaannya bangkrut karena efek domino dari kasus korupsi bertingkat, buruknya pengelolaan manajemen, kesalahan pembukuan yang disengaja, dan perilaku lalai dari para petinggi, maka Pak Pramono kini harus mengemis agar perusahaan Dina bersedia mengalokasikan dana pinjaman dalam jumlah besar untuk kelanjutan beberapa proyek yang tertunda.

Dina menutup berkas yang ia baca dan meletakkannya di meja. Wajahnya yang acuh membuat Pak Pram semakin geregetan. Si cantik itu menatap Pak Pramono dengan pandangan angkuh, Dina tahu ia saat ini berada di atas angin.

“Baiklah. Setelah membaca proposal dan perhitungan rugi laba yang sebelumnya telah diserahkan kepada saya, maka saya tidak bisa berkata tidak.” Kata si jelita itu. “Apalagi 70% keuntungan dari proyek-proyek ini akan masuk ke perusahaan saya. Proyeknya sendiri saya yakin akan sukses jika ditangani dengan serius. Jadi kami akan meletakkan orang-orang terbaik untuk mengawasi pelaksanaannya. Begitu pihak anda melakukan kesalahan, sekecil apapun kesalahan itu, kami akan langsung mengambil alih semua proses dari awal sampai akhir sesuai yang tertera dalam surat kontrak.”

Dina terdiam sesaat, mengatupkan jari jemarinya dan tersenyum, “saya yakin 30% sudah lebih dari cukup untuk sanggup menyelamatkan perusahaan Bapak yang berada di ujung tanduk.”

Senyum lega tersungging di mulut Pak Pramono. “Syukurlah kalau beg...”

“Akan tetapi…”

Pak Pramono terdiam. Wajahnya menegang.

“Saya dengan senang hati akan menyetujui semua proposal ini, jika dan hanya jika Pak Pramono bersedia melakukan sesuatu untuk saya.” Lanjut Dina. Pandangan matanya tajam bagai pisau yang sanggup mengiris apapun. Mata tajam nan indah yang kini menatap Pak Pramono tanpa ampun itu membuat sang pria tua merinding.

“Apa saja akan saya lakukan. Hidup mati perusahaan saya di tangan Ibu Dina. Selain keuntungan yang bisa diraih dari proyek-proyek terakhir tersebut, kami tidak punya apa-apa lagi untuk dijadikan jaminan. Proposal ini adalah harapan terakhir kami. Jadi apapun yang Ibu Dina minta, pasti akan saya penuhi.” Kata Pak Pramono dengan wajah memelas, ia berkata jujur di hadapan Dina, wanita yang dulu pernah ia lecehkan dengan keji. Tidak ada waktu lagi untuk memperjuangkan harga diri, masa depan suram membuat pria tua itu menunduk pasrah, dia kalah.

“Baiklah kalau begitu, saya harap anda tidak akan menyesali keputusan yang telah anda ambil.” Si cantik itu menghela nafas panjang dan mengistirahatkan punggungnya di kursi yang nyaman. “Tolong buka baju dan celana yang sedang anda pakai saat ini. Saya ingin melihat anda telanjang.”

Pak Pramono seperti tersambar petir mendengar ucapan Dina itu, ia makin geram ketika melihat Dina memandangnya dingin tanpa ekspresi. Ini serius?

“A-apa saya tidak salah dengar?” Pak Pramono gelagapan.

“Tidak. Haruskah saya mengulangi permintaan saya lagi?”

Pak Pramono menggemeretakkan giginya dengan geram. Tangannya mencengkeram kursi seakan ingin menghancurkannya.

“Kita toh sudah pernah berada dalam situasi yang mirip seperti ini sebelumnya, walaupun berada dalam posisi yang terbalik.” kata-kata Dina terdengar sangat tegas dan sinis, membuat ciut nyali Pak Pramono. “Silahkan buka baju dan celana yang sedang anda pakai saat ini, Pak Pramono, dan jangan lama-lama. Ini jam kerja dan saya sangat sibuk, sebentar lagi ada meeting yang harus saya hadiri. Saya akan terima proposal ini dengan syarat yang sudah saya sebutkan, tapi seandainya Pak Pramono menolak, saya rasa cukup sekian kelanjutan kerjasama kita ini. Perusahaan ini toh tidak merugi jika hanya kehilangan satu proyek saja.”

Pria tua itu meneguk ludah. Tidak ada jalan lagi baginya kecuali menuruti semua yang diperintahkan oleh Dina. Dasar lonthe busuk! Maki pria tua itu dalam hati. Pak Pramono mengangguk lemah dan mulai melucuti pakaian yang ia kenakan. Ia terus memaki-maki Dina dalam batin.

“Jangan lupa, celana dalamnya juga dicopot.” Dina tersenyum penuh kemenangan.

Saat Pak Pramono sudah melucuti seluruh pakaiannya, wanita cantik itu menekan sebuah tombol berwarna merah yang terdapat di pesawat telepon. “Bimo, kamu boleh masuk sekarang.” Kata Dina penuh percaya diri.

Tak lama kemudian, dari pintu yang berada di samping ruangan, masuklah satu sosok pria perkasa bertubuh kekar berkulit hitam yang mengenakan kaos tanktop hijau dan celana pendek bermotif marinir. Wajah Pak Pramono makin ketakutan melihat sosok pria yang baru masuk itu, apa yang akan dilakukan Dina kepadanya? Keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuh Pak Pramono. Jangan-jangan orang ini akan disuruh memukulinya sampai babak belur? Pak Pramono ketakutan, melihat kekarnya tubuh Bimo, ia bisa mati kalau dihajar olehnya!

Dia hanya seorang pria tua yang lemah! Apakah Dina sekejam itu?

“Kenapa, Pak Pram? Belum-belum kok sudah takut.” Ejek Dina dengan senyum menghina. Ingin rasanya si cantik itu tertawa terbahak-bahak, tapi ia menahannya.

Siapa sangka, kini ia bisa menyuruh Pak Pram bersimpuh dihadapannya tanpa mengenakan sehelai pakaianpun. Persis seperti apa yang terjadi beberapa tahun lalu saat Pak Pramono menghancurkan kehidupannya. Dendam sudah terbalas, keadaan sudah berbalik. Masih terekam jelas kenangan pahit di benak Dina saat Pak Pram mempermainkannya di hadapan mantan suaminya - Anton di hari yang naas itu.

Kini ia akan membalasnya.

“Kenalkan, Pak Pramono. Rekan saya yang kekar ini namanya Bimo, berdarah campuran Indonesia Timur dan Arab. Dia menjabat sebagai salah satu bodyguard saya. Maklum saja, saya ini wanita lemah tak berdaya, butuh kehadiran bodyguard.” Kata Dina sambil menyunggingkan senyum sinis. “Bimo, tolong kamu ikat tangan Pak Pramono di tempat yang kuat, posisi nungging.”

Bimo mengangguk tanpa ekspresi, dengan kasar, pria bertubuh besar bak binaragawan itu menarik tangan Pak Pramono ke arah jendela. Ia lalu memaksa Pak Pramono membungkuk dan mengikat kedua tangannya di teralis besi. Pak Pramono makin ketakutan, apa yang akan dilakukan lonthe itu sekarang? Mencambuknya sampai mati? Pak Pramono sangat menyesal dulu dia pernah mempermainkan Dina, ia juga sangat menyesal telah menyerahkan Dina pada Pak Bambang. Seandainya dulu Dina tetap menjadi miliknya, keadaannya tidak akan separah sekarang.

Tapi Dina tidak melakukan apa-apa, wanita cantik dan anggun itu hanya merapikan berkas-berkas di meja, lalu menutup laptop dan memasukkan telepon genggam ke saku kantong bajunya. Dina lalu melangkah menuju pintu tanpa mempedulikan Pak Pram yang terikat. Ia melenggang begitu saja dengan cuek.

“Tu-tunggu… sebentar! Bu Dina! Bu Dina! Ibu tidak akan meninggalkan saya sendirian di sini, kan? Bu Dina! Saya telanjang ini! Bu Dina!” panggil Pak Pramono dengan panik.

Dina berhenti melangkah, mengambil nafas panjang seperti kesal dan berbalik sesaat. “Wah, anda ini rewel sekali ya, Pak Pramono? Tentu saja saya tidak akan meninggalkan anda sendirian, kan ada Mas Bimo.” Dina tertawa genit. “Tolong servis Pak Pramono dengan baik ya, Mas Bimo.”

Pak Pramono membelalakkan mata ngeri ketika Bimo mengangguk dan mulai melangkah mendekatinya. Ia akan dihajar! Ia akan dipukuli! Dicambuk! Dibunuh!

Dina berhenti mendadak di dekat pintu keluar, ia berbalik dan menatap mata Pak Pramono dengan tajam, di mulutnya tersungging sebuah senyuman penuh kemenangan. “Oh iya, ada satu hal lagi yang perlu saya sampaikan sebelum saya pergi, kebetulan saya tadi lupa mengatakan kalau Mas Bimo ini homoseksual, jadi dia hanya suka laki-laki, itu sebabnya saya akan meninggalkan anda berdua. Supaya lebih akrab satu sama lain.”

Dina berbalik dan keluar dari ruangan. Ia sempat menyaksikan panik dan takut luar biasa di wajah Pak Pramono ketika Bimo mulai mendekati pria tua itu, tidak ada jalan keluar bagi Pak Pramono! Ia terperangkap! Bimo berjalan pelan ke arah Pak Pramono sambil menjilat bibir penuh kenikmatan.

Pria tua itu mencoba berontak ke segala arah.

Ketika Dina menutup pintu, terdengar teriakan-teriakan menyayat dari dalam ruangan. Dina melangkah dengan penuh kepuasan diiringi jeritan kesakitan Pak Pramono.

Seorang sekretaris yang duduk di luar pintu ruangan Dina mengangguk sopan, ia tidak berani menanyakan apa yang telah terjadi di dalam ruangan dan siapa yang tengah menjerit-jerit kesakitan.

Ketika sang sekretaris menunjukkan wajah penuh tanda tanya, Dina hanya tersenyum sambil meletakkan telunjuk di depan bibirnya.

Dendam telah terbalaskan.





.::..::..::..::.





.: AKHIR KISAH ALYA :.



Hujan yang turun seperti enggan berakhir, tak berhenti mengguyur bumi dengan derasnya. Tanaman yang berada di taman seakan bersorak-sorai ketika hujan menyiram mereka dengan air yang tercurah dari langit, membuat batang dan daun mereka segar setelah seharian terusap debu. Kesenyapan yang dipadukan dengan turunnya hujan tanpa henti membuat malam bertambah senyap dan dingin.

Jam dinding berdentang dua belas kali.

Alya mematikan televisi, meletakkan kacamata dan majalah yang ia baca ke atas meja di samping tempatnya duduk. Si jelita itu melangkah pelan tanpa menimbulkan suara ke arah pintu tempat suaminya tidur. Pintu kamar terbuka sedikit sehingga ibu muda itu bisa melihat ke dalam kamar dan melihat suaminya di atas ranjang. Alya tersenyum melihat Mas Hendra sudah tertidur pulas.

Pikiran Alya melayang ke saat-saat paling mengerikan dalam hidupnya, saat-saat yang ingin ia kubur dalam-dalam. Ia tidak akan pernah lupa perlakuan keji Pak Bejo terhadap dirinya dan Anissa. Alya bersyukur semua masalah berat itu kini telah berakhir, mereka bisa kembali hidup normal.

Normal?

Ya, sebagian dari mereka setidaknya telah menemukan sedikit rasa damai, walau apa yang telah terjadi tak akan bisa mereka ubah selamanya. Luka itu sudah menganga, pahit itu sudah terasa. Sehingga getir yang menangkup di jiwa berulang menjadi pembiasaan yang dirasakan sebagai sesuatu yang normal.

Sampai saat ini Alya tidak tahu apakah Mas Hendra sudah mengetahui apa yang telah terjadi, terutama tentang kejadian naas yang menimpa dirinya dan Anissa. Mungkin akan lebih baik kalau Mas Hendra tidak pernah tahu, cukup dia saja yang menanggung beban ini. Alya tidak ingin suaminya tahu bencana apa yang telah menimpa keluarga mereka dan siapa penyebabnya.

Suatu saat nanti Mas Hendra akan kembali sehat dan kehidupan mereka yang carut marut akan kembali tertata, ia yakin saat itu akan datang dan Alya tak akan pernah berhenti berharap. Sampai saat itu tiba, sampai saat Mas Hendra kuat menerima kenyataan bahwa tetangganya yang buruk rupa telah memperkosa dan menyiksa adik serta istrinya, semua mulut akan terkunci rapat. Ia juga tidak akan pernah menceritakan nasib buruk yang kini tengah menimpa Anissa sampai Mas Hendra kuat menerimanya.

Dengan langkah lembut Alya masuk ke kamar, ia mendekati suaminya yang tertidur lelap. Si jelita itu mengecup pelan pipi suaminya tanpa membuatnya terbangun, dibisikkannya kata-kata sayang di telinga Hendra, berharap kata-kata itu bisa disampaikan lewat mimpi. Walaupun tubuhnya sudah pernah ditiduri lelaki lain, walaupun tubuh ini kotor oleh tangan-tangan pria yang hanya menghendaki bersetubuh dengannya, tapi cinta Alya hanya satu untuk suaminya seorang. Hal itu tidak akan pernah berubah sampai kapanpun.

Sampai kapanpun, Mas.

Dengan langkah berjingkat Alya meninggalkan kamar dan menutup pintunya perlahan.

Si cantik itu masuk ke kamar lain, kamar Opi. Tidak ada orang lain yang lebih dikasihinya dalam hidup ini selain makhluk kecil yang imut ini. Cahaya hidup yang membuatnya bertahan bahkan di kala kemalangan bertubi menimpanya. Saat Opi tertidur lelap sambil memeluk boneka kesayangannya, Alya berjanji, ia akan melindungi Opi dan memberikan yang terbaik untuknya. Bencana apapun yang telah menimpanya, tidak akan pernah dan tidak boleh terjadi pada Opi. Alya akan melindungi buah cintanya dengan segenap jiwa.

Setelah mengecup lembut dahi buah hatinya, Alya kembali berjingkat meninggalkan kamar itu. Kali ini dia melalui ruang tengah dan menuju pintu belakang.

Alya berhenti sebentar ketika Ia melihat bayangan wajahnya di kaca ruang tengah. Walaupun lelah, dia masih terlihat cantik dan mempesona, meskipun hal itu tidak pernah ia sadari. Alya kadang heran kenapa semua lelaki menatapnya dengan penuh nafsu, karena menurut pandangannya sendiri ia bukanlah sosok yang sanggup membuat langit runtuh. Setelah merapikan rambut dan pakaian, Alya mematikan lampu. Si cantik itu lalu berjalan tanpa suara meninggalkan rumah utama dan masuk ke sebuah kamar berukuran kecil di bagian belakang rumahnya.

Seorang pria tua kurus namun berotot sedang duduk di dalam kamar, memainkan gitarnya dengan petikan pelan mengalunkan senandung lembut yang belum pernah didengar Alya. Di mulut sang pria terselip rokok murahan yang berbau tak sedap. Dia bukan lelaki yang tampan, tapi pandangannya terhadap Alya sangat lembut dan memuja. Ketika bidadari jelita itu masuk, sang pria kurus menghentikan permainan gitarnya.

“Aku tidak suka Mas merokok.” Kata Alya pelan, hampir berbisik namun tegas.

“Kupikir kamu tidak datang malam ini.”

“Jadi begitu ya? Kalau aku tidak datang Mas merokok seenaknya.” Alya berkacak pinggang, wajahnya yang cantik merengut manis, “Datang tidak datang aku tetap tidak suka Mas merokok.”

Pria itu meletakkan gitarnya dan melucuti kaos yang ia kenakan. Sambil bertelanjang dada ia mendekati Alya. Dengan santai pria itu mengelus-elus Alya yang saat itu mengenakan baju tidur tipis berwarna hitam yang jelas memperlihatkan kemolekan tubuhnya.

“Kenapa kamu tidak suka aku merokok? Kamu tidak sayang sama aku?” tanya pria kurus yang memainkan jemarinya tanpa bisa dilarang oleh siapapun di tubuh Alya.

“Rokok itu sumber penyakit. Lagipula... aku tidak suka bau rokok di bibir Mas. Kalau menciumku baunya tidak enak.”

“Aku mau berhenti asal kamu bilang sayang sama aku.”

“Gombal.”

“Ya sudah, malam ini lebih baik aku tidur sendirian saja.”

“Huh. Dasar laki-laki. Maunya menang sendiri.” Alya merajuk manja dalam dekapan sang pria kurus, “Mas Paidi, aku sayang banget sama Mas. Aku temani tidur ya, malam ini?”

Paidi meringis penuh kemenangan, iapun mengangguk. Paidi menurunkan kepalanya untuk bisa mencium bibir merekah milik Alya. Paidi sedikit geli ketika Alya mengernyit saat bibir mereka saling bertaut. Paidi membopong tubuh sang pujaan ke pembaringan kecil yang berada tidak jauh dari jendela.

Alya memandang keluar jendela sambil memeluk erat Paidi. Dia tahu kini dia telah menemukan pasangan hidup rahasianya yang baru, yang akan selalu melindunginya kapanpun dan dimanapun ia berada. Meskipun hanya seorang supir dan penjual bakso, Paidi telah memberikan apa yang selama ini dirindukan oleh Alya, perlindungan dan rasa aman. Si durjana busuk Bejo Suharso yang telah menghancurkan keluarganya telah dijebloskan ke bui untuk waktu yang lama, seandainya dia keluar nanti, tidak ada rasa takut lagi dalam hati Alya, karena Paidi akan selalu melindunginya.

Alya tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya Mas Hendra sembuh suatu saat nanti dan menemukan istrinya yang tercinta sedang ditiduri oleh supirnya sendiri.

Tapi itu masalah yang akan muncul pada suatu ketika nanti. Untuk saat ini, walaupun cintanya hanya untuk Hendra dan Opi, tubuhnya ikhlas ia berikan untuk Mas Paidi. Untuk pertama kalinya selama berbulan-bulan, Alya bisa memejamkan matanya yang indah dengan perasaan tenang dan aman, dalam pelukan seorang lelaki yang melayani kebutuhan hewaninya yang menggelegak.

Wanita cantik itu mencium Paidi dengan penuh kasih. Bibir mungilnya berpagutan dengan bibir tebal dan keras milik Paidi, saling mengelus, saling memuja, saling mereguk nafsu untuk memuaskan dahaga.

Saat ini Alya selalu siap bermain cinta dengannya. Dimanapun. Kapanpun. Tubuhnya bebas diapakan saja oleh Paidi. Karena hanya dengannya, Alya akhirnya memperoleh ketenangan batin.

Alya telah bertekad, kisah pahitnya berakhir di sini.





.::..::..::..::.





.: AKHIR KISAH ANISSA :.



Dodit mengikuti langkah seorang perawat yang berjalan perlahan menyusuri koridor rumah sakit, di samping mereka terbentang sebuah taman luas yang dikelilingi pagar kawat tinggi. Di taman rumah sakit itu terdapat tanaman-tanaman yang ranting dan daunnya dipotong dengan bentuk mirip dengan binatang seperti gajah dan jerapah. Tanaman-tanaman itu mengitari satu air mancur yang menambah asri suasana. Setelah melalui lorong yang meliuk-liuk, Dodit dan sang suster sampai di tempat yang dituju, satu sudut kecil di taman yang dinaungi pohon rindang.

Di taman itu terdapat beberapa tempat duduk yang terbuat dari semen, sebagian sudah ditempati oleh pasien yang berkumpul dan bersenda gurau. Salah satu dari tempat duduk itu adalah sudut tempat tujuan Dodit dan sang suster. Di bangku taman di hadapan mereka, duduk seorang gadis cantik berambut pendek yang mengenakan baju rumah sakit, walaupun tanpa make-up, rambutnya agak acak-acakan dan wajahnya sayu, namun gadis muda itu terlihat masih sangat cantik.

Gadis itu adalah Anissa.

“Aku akan menunggumu, Mas Bejo. Sampai saat kau nanti keluar dari penjara. Aku akan setia menunggumu, aku dan anakmu.” Kata Anissa sambil menunduk dan mengelus-elus perutnya. Bibirnya bergumam cepat ketika ia meracau. “Kita beri nama apa anak kita nanti, Mas? Aku ingin memberinya nama Dodit. Bagaimana kalau anak kita nanti namanya Dodit? Kamu suka nama itu? Aku suka nama itu. Kenapa Dodit? Kenapa ya? Kenapa, Mas? Aku kenal orang yang namanya Dodit. Siapa ya? Siapa itu Dodit? Kamu kenal, Mas? Kamu ingat, Mas? Aku lupa siapa temanku yang namanya Dodit. Anak kita namanya Dodit. Apa anakku ini temanku? Kamu dimana, Mas? Aku salah apa sama kalian, Mas? Aku salah apa? Perkosa aku, Mas. Perkosa aku lagi. Aku akan menunggumu, Mas Bejo.”

Dodit menggelengkan kepala dengan sedih sambil menatap Anissa yang sedang duduk di kursi taman. Pandangan mata gadis itu kosong dan sendu sementara mulutnya meracau tak tentu arah. Kecantikannya memang masih terpancar namun tubuh Anis kini jauh lebih kurus, tulang pipinya juga lebih terlihat. Semua ini menimbulkan iba di hati Dodit, sepertinya ia tak pernah benar-benar pulih dari trauma akibat perkosaan Pak Bejo terlebih setelah ia keguguran.

Dodit merasa sangat menyesal dan bersalah, kenapa ia dulu terlambat menyelamatkannya? Kenapa justru saat dibutuhkan Anis dia malah menambatkan hati pada Mbak Alya? Betapa terkutuknya. Ia terlambat mengetahui nasib sang tunangan ternyata begitu tragis, jatuh dalam pelukan lelaki jahanam seperti Bejo Suharso. Untunglah lelaki bengis itu kini telah masuk ke bui untuk waktu yang lama.

“Bagaimana harapan sembuhnya, suster?” tanya Dodit pada perawat yang menemaninya.

Suster itu tersenyum, “Kondisi kerusakan mental Mbak Anis cukup berat, harapan untuk bisa sembuh memang selalu ada, tapi tipis sekali kemungkinan kesadaran Mbak Anis bisa kembali pulih seperti semula. Jadi, selama Mbak Anis dirawat di sini, teruslah berdoa, siapa tahu suatu saat nanti, kesadarannya akan pulih kembali.” Lanjut Suster itu menepuk bahu Dodit dengan pandangan lembut yang melegakan. “Jangan pernah berhenti berharap dan berdoa.”

“Dia akan baik-baik saja di sini?” tanya Dodit lagi.

“Kami merawatnya dengan penuh rasa sayang, dia akan baik-baik saja. Setelah mengetahui apa yang ia alami sebelumnya, semua suster di sini merasa iba dan kasihan pada Mbak Anis. Kami memperlakukannya seperti adik sendiri. Apalagi dia juga sangat manis dan penurut. Setelah beberapa tahun di sini, sepertinya Anissa sudah mulai terbiasa dengan lingkungan rumah sakit jiwa ini.”

Seorang wanita yang sedang mengandung datang menyusul sambil tertatih memegang perutnya. Ia tersenyum pada sang suster dan memberikan sebotol air minum kemasan pada Dodit. Kandungannya belum terlalu besar, mungkin sekitar lima atau enam bulan.

“Terima kasih sayang. Oh iya, kenalkan suster, ini istri saya, Ussy.” Kata Dodit sambil mengenalkan wanita hamil yang menghampirinya.

“Selamat datang.” Sambut sang suster sambil menyalami istri Dodit yang juga tersenyum ramah.

“Bagaimana keadaannya, Mas?” tanya Ussy.

“Masih seperti itu.”

“Dia belum mengenalimu?”

“Belum. Mudah-mudahan suatu saat kelak dia bisa kembali seperti semula. Sembuh dan sehat, menjalani hidupnya yang masih panjang dengan keceriaan.”

“Iya Mas. Semoga. Aku juga merindukan Anissa yang dulu.”

Seekor kupu-kupu terbang melewati mereka, terbang pelan memutar melewati kebun dan hinggap di samping Anissa. Dodit merangkul Ussy dan mengajak suster meninggalkan taman menuju ke ruang administrasi, selama Anissa dirawat di tempat ini, Doditlah yang mengeluarkan semua biaya yang dibutuhkan Anissa. Dodit menundukkan kepala setelah melihat Anissa sekali lagi, lalu membiarkan mantan tunangannya bermain dalam dunianya yang sunyi ditemani sang kupu-kupu.

Mata Anissa tiba-tiba saja meneteskan air mata saat sosok Dodit mulai menghilang dari pandangan.

Gadis cantik yang malang itu berbisik pelan, “Mas Dodit…”





.::..::..::..::.





.: AKHIR KISAH LIDYA :.



Lokasi pemakaman yang berada di atas bukit di Desa Kapukrandu tidak bisa dicapai oleh kendaraan roda empat. Untuk bisa mencapai tempat tersebut, para peziarah harus mendaki tangga beton yang disusun mengitari bukit dengan berjalan kaki sementara kendaraan diparkir di kaki bukit. Walaupun sebenarnya bukit itu tidak terlalu tinggi namun cukup melelahkan bagi yang tidak terbiasa, terlebih di cuaca panas seperti sekarang.

Lokasi pemakaman yang susah dijangkau ini memang sudah ada sejak zaman Belanda dan masih tetap digunakan sampai sekarang, bahkan terus menerus direnovasi-terutama sekali karena keberadaan makam seorang pahlawan perjuangan yang konon merupakan pengikut Pangeran Diponegoro. Jalanan yang terbuat dari beton yang ada di sana merupakan pengganti jalan bebatuan yang lama kelamaan dirasakan kurang nyaman sesuai dengan perkembangan jaman.

Menaiki jalanan di bukit yang menanjak bukan hal yang aneh bagi masyarakat Desa Kapukrandu, sebaliknya bagi orang kota, mendaki menuju makam tentu sangat merepotkan dan melelahkan, terlebih bagi Lidya yang juga harus menggendong putranya.

Wanita jelita itu mengeluh, dia kelelahan mendaki bukit yang sepertinya tanpa akhir, sementara Arya tak mau diam begitu saja di gendongan.

“Sudah capek? Kenapa tidak tinggal saja di mobil?” tanya Andi yang berjalan di depan Lidya.

“Nggak lah, Mas. Sekali-kali aku juga ingin mengunjungi makam Bapak.” Jawab Lidya sambil membasuh peluhnya.

“Iya sih, sejak anak kita lahir, baru sekali ini kamu mengunjungi makam Bapak.”

Lidya mengangguk, “Maunya sih ziarah, tapi tahu sendiri kan Si Arya belum bisa ditinggal.”

Andi sangat memahami kerepotan istrinya yang kini telah menjadi ibu rumah tangga yang sejati. Dengan lembut ia menggantikan Lidya menggendong Arya. Andi lalu menggandeng istrinya itu naik ke atas bukit perlahan sementara satu tangannya menggendong putranya yang masih mungil.

Untungnya tak berapa lama kemudian, sampailah mereka di lokasi pemakaman. Mereka langsung menuju makam Pak dan Bu Hasan yang dimakamkan bersebelahan tepat di bawah sebuah pohon kamboja yang rindang. Setelah berdoa beberapa saat lamanya, Andi dan Lidya menebarkan bunga.

Ketika Andi hendak mengunjungi makam salah seorang saudara yang lokasi nisannya agak jauh, Lidya menggelengkan kepala. “Sorry, Mas. Tapi aku capek banget. Aku istirahat di tempat Bapak aja ya?”

Andi tersenyum dan mengelus rambut sang istri. “Iya, gak apa-apa. Aku kesana dulu ya?”

Lidya tersenyum dan mengangguk. Si cantik itu kembali menggendong Arya dan duduk di sisi makam Pak Hasan. Lidya membungkuk dengan sangat berhati-hati agar tidak mengganggu posisi Arya dalam gendongannya.

“Arya, ini makam kakek.” Kata Lidya pada putranya, bocah yang masih bayi itu tentu saja belum mengerti kata-kata ibunya. Lidya tersenyum saat melihat wajah tampan sang anak. Ia berbisik pelan sambil menepuk pusara ayah mertuanya. “Kalau anak ini besar nanti, ia pasti akan memanggilmu kakek.”

Lidya tersenyum sendiri dan mengelus pusara Pak Hasan. “…padahal Arya seharusnya memanggilmu ayah.”

“Sayang??” panggil Andi dari kejauhan. “Sudah belum?? Kita turun yuk!”

“Iya mas. Tunggu sebentar.” Lidya bangkit dari makam Pak Hasan dan melangkah pergi dengan hati-hati. Bayi mungil yang sedang ia gendong tersenyum manis saat Andi dan Lidya melangkah pelan meninggalkan tempat itu. Wajahnya sangat mirip dengan mertuanya dan saudara tirinya, Andi.

Lidya menengok ke belakang sesaat dan tersenyum penuh arti ke arah makam Pak Hasan.

Ketika Andi tak melihat dan sibuk bermain dengan Arya saat menuruni bukit, Lidya mengambil telepon genggamnya dan mengetik satu pesan WhatsApp yang panjang. ia lalu mengirimkan pesannya pada seseorang bernama Nyoto.

Entah kenapa, Lidya merasa ingin berjalan-jalan di mal lagi.

Secepatnya.





.::..::..::..::.





.: EPILOG :.
.: BEBERAPA MINGGU KEMUDIAN :.




Paidi mengunci semua pintu depan sekaligus gemboknya dengan rapat, pagar depan ia cek dua kali untuk memastikan. Malam telah larut dan ia sudah lelah sekali setelah seharian membantu Pak Hendra fisioterapi di rumah sakit. Sekali dua kali Paidi menekuk leher ke kanan dan kiri, tak apalah capek karena nanti malam pasti ada yang memijit pundaknya.

Ia tersenyum dalam hati sambil membayangkan kedatangan istri majikannya larut malam nanti di biliknya. Alya berbalutkan lingerie adalah mimpi yang mewujud nyata dalam benak semua pria.

Tapi... tapi badannya terlalu letih hari ini. Dia lelah, lesu, dan sedikit lemah.

Mungkin - ini hanya mungkin, untuk pertamakali dalam hidupnya, ia akan menolak bercinta dengan bidadarinya yang mempesona. Sungguh tubuh tuanya terasa amat letih, pegal sekali rasanya hari ini. Jangankan melayani bercinta, membuka pelupuk mata sudah amat susah. Mudah-mudahan saja wanita pujaannya itu tetap mau mampir sekedar memijat pundaknya yang pegal.

Sedikit berharap tentu tidak ada salahnya, kan?

Melalui lorong dan ruangan rumah, Paidi memadamkan satu demi satu lampu yang masih menyala. Memperhatikan setiap sudut dan memastikan pintu dan jendela telah terkunci. Pria kurus itu berjalan ringan dalam kegelapan karena tak ingin menganggu para penghuni rumah yang telah tertidur.

Saat hendak menutup pintu terakhir, ia melihat satu cahaya terbias dari sebuah pintu yang sedikit terbuka. Itu kan pintu kamar kerja Pak Hendra, kok masih menyala? Apa Pak Hendra tertidur di dalam ruang kerja? Atau mungkin lembur mengerjakan sesuatu?

Dengan langkah hati-hati supaya tidak menimbulkan suara, Paidi berjalan lebih pelan dari sebelumnya, menandak menuju pintu dan mengintip perlahan.

Paidi terkejut saat melihat ke dalam.

Alya sedang duduk bersimpuh di bawah sofa panjang yang digunakan tiduran oleh Hendra. Si cantik itu tengah konsen membuka lembaran-lembaran novel dengan judul berbahasa Inggris yang tak dimengerti Paidi. Bidadari cantiknya itu rupanya membacakan novel dengan suara lembut dan perlahan, begitu lembutnya sampai-sampai Paidi hanya bisa mendengarkan desahan pelan dan tak mampu menangkap sepatah katapun dari jarak sejauh ini.

Tak nampak wajah acuh dan kesal di wajah Pak Hendra seperti yang biasa ia nampakkan saat berdua bersama Alya, ia justru berbaring tenang dan menikmati setiap ucapan yang keluar dari bibir mungil istrinya.

Yang membuat hati Paidi kian nyaman adalah tautan tangan Pak Hendra dan Alya yang saling menggandeng. Keduanya saling memainkan jemari dalam temaram suasana malam yang sepi. Hanya bacaan lirih dari bibir Alya yang mewarnai malam mereka.

Paidi tersenyum dan perlahan menutup pintu dengan hati-hati sekali. Ia berjalan menuju kamarnya sendiri dengan langkah ringan. Langkah paling ringan yang pernah ia rasakan selama berada di rumah ini.

Ia berani bertaruh, malam ini majikannya yang cantik pasti tak akan melangkah masuk ke kamarnya. Bukankah ia seharusnya merasa kesal dan terbakar cemburu? Tidak, ia justru merasa lega. Apa yang seharusnya terjadi dan sepantasnya berlaku akan menjadi kenyataan.

Apa yang akan terjadi pada mereka semua?

Entah.

Tapi rasanya, semua akan baik-baik saja.





RANJANG YANG TERNODA.
SELESAI.




Finally. My work here is done.
Pecah telur. Ada juga karya saya yang tamat.


Terima kasih pada suhu @Doyan_Akhwat dan suhu @Balanewpati yang telah menyumbangkan input dan tulisan dalam edisi terakhir RYT, terutama di episode 12-A. Berkat jasa mereka saya akhirnya bisa menuntaskan karya yang sudah bertahun-tahun mangkrak – meski tentunya sudah saya edit terlebih dahulu. Editnya lumayan banyak, hahaha.

Semua bagian akhir dan epilog di episode 12-B adalah tulisan yang sudah bertahun-tahun saya simpan dengan sedikit perubahan minor, jadi ini benar-benar ending yang saya inginkan dari RYT.

Lunas sudah hutang saya. Lega sekali rasanya.
Berkat jasa pembaca yang setia juga, akhirnya karya ini bisa saya tuntaskan.


Semoga berkenan.
Terima kasih atas dukungannya.
S Y A L U T juga utk mu suhu yang telah berkarya sedemikian rupa
 
Suatu kebanggaan bisa menjadi saksi tamatnya RYT setelah bertahun tahun, dari saya SMP sampai sekarang saya sudah bekerja. Legend is always be a legend.
 
Selamat atas kesuksesannya dalam menyeselesaikan crita yang bertahun2 berjalan sampe sekarang suhu.. Cerita legend dari jaman ono sampe ini akhirnya terseleseikan dengan manis. Very big thanks atas kerja keras suhu membuat crita ini dan membuat pembaca/fans puas. Congrats suhu :tepuktangan: :horey::hore:
 
Selamat dan terimakasih mastah PB KT sudah mentamatkan cerita fenomenal ini. Setelah lebih dari sepuluh tahun lalu saya menemukan cerita ini dan memburu ke berbagai blog yang menyajikan ulang cerita ini (atau itu copas-an ya? Hekekek) tapi begitulah cara saya mencari jawaban penasaran saya. Sampai mastah memperkenalkan diri kembali disini, dan menyelesaikan cerita ini. Terimakasih
Apakah ending cerita ini masih sejalan dengan kerangka awal cerita ini dibuat? Atau baru sekarang menemukan bagaimana endingnya? :D

Trus trus ada colab lanjutan nggak antara mastah killer dengan suhu balapati? Hekekek


Eh iya, ada baca didepan kalo xyz mau di close, kasihan pak bejo lho mastah kalo keluar penjara nanti bingung mau ngapain ga dapet cerita.. hekekek.. sama pak pram juga ya? (Duh lupa2ingat)
 
Bimabet
Suhu Kalo bs bantu tamatkan cerita Eliza jg dong yg di kbb dulu pasti Bnyak yg minat jg..... 👍 👍 👍 👍

Hehehe, bukan wewenang saya kalau itu.

Lidya-Nyoto? Aw aw aw....
Jangan-jangan Nyoto-nya Lidya, Nyoto-nya si Bening juga. It'll be great. :konak:

What do you think? Hehehe.

big project yg itu jadinya gimana bro pb? sempet muncul teaser nya kn dulu

Yang mana ya? Sudah lupa. Anggap saja gagal.

uwoooowww... 😍😍
Ijin baca ya suhu

Silahkan, Hu.

mantap,,walaupun ada yg sad ending jga,tpi ending nya sngat realistis,,tidak mengada-0ngada

Makasih Hu. :ampun:

Menunggu suhu - suhu yang sukarela mau mengisahkan perjalanan lidya si mamah muda dengan pak nyoto di mall:nenen:
Setuju banget dengan ini..emg lidya yang masih bisa diexplore lebih lagi..

Silahkan kalau ada yang mau melanjutkan.

Hu bikini setory dodi sama alya hu bikin cerita cinta

Hehehe. Untuk RYT sudah tutup buku. Mungkin yang lain kalo mau bikin silahkan.

Aku baru tau kalo RYT ternyata dilanjutkan. Kirain penulis udah pensiun dan gantung pena. Udah berapa tahun ya mandeg. 🤣
Masih ingat dulu pertama kali baca cerita ini pake hp sony ericsson k320i tahun 2007 atau 2008, udah lupa. wkwkwkkwkw. Ngorbanin pulsa banyak bgt.

Hahaha, wadidaw jiwa, dulu masih pake hengpong soner yak.

Mudah-mudahan juga Cast Away ada yg mau melanjutkan. Mau baca nasibnya Shinta bakal diapain sama para napi yg lepas itu....

Boleh aja kalo ada yang mau nerusin. Bisa izin juga ke om Shusaku.
Gimana om? colek @caligula1979

terima kasih utk cerita yg sampai tamatnya om
akhirnya tamat juga cerita legend nya
selamat suhu
S Y A L U T juga utk mu suhu yang telah berkarya sedemikian rupa
Selamat atas kesuksesannya dalam menyeselesaikan crita yang bertahun2 berjalan sampe sekarang suhu.. Cerita legend dari jaman ono sampe ini akhirnya terseleseikan dengan manis. Very big thanks atas kerja keras suhu membuat crita ini dan membuat pembaca/fans puas. Congrats suhu :tepuktangan: :horey::hore:
Akhirnya ........ Oenaabtian panjang itu terjadi ...... Standing aplaus buat @killertomato

Terima kasih buat dukungannya. Terima kasih sudah sabar menanti.
Aplaus juga buat kalian.

Apakah ending cerita ini masih sejalan dengan kerangka awal cerita ini dibuat? Atau baru sekarang menemukan bagaimana endingnya? :D
Trus trus ada colab lanjutan nggak antara mastah killer dengan suhu balapati? Hekekek
Eh iya, ada baca didepan kalo xyz mau di close, kasihan pak bejo lho mastah kalo keluar penjara nanti bingung mau ngapain ga dapet cerita.. hekekek.. sama pak pram juga ya? (Duh lupa2ingat)

Masih sejalan dengan kerangka awal? Masih. Karena ending ini bener-bener saya tulis entah di tahun 2010 atau 2011 dan terus menerus digubah. Dulu pernah share spoiler di blog, kalau ada yang lihat mungkin bakal nemu kesamaannya. Yang bikin lama itu karena saya kebanyakan berpikir buat manjangin cerita dan bikin sekuelnya. Yang ternyata tidak perlu. Yang perlu dilakukan cuma namatin. Karenanya ide-ide sekuel dan cerita panjangnya saya buang. Sudah cukup berkutat dengan RYT-nya. Mau move-on. Hehehe.

Kalau dengan suhu @Balanewpati dulu pernah ada rencana sih, tapi kalau sekarang kayaknya sedang sibuk dengan proyek masing-masing.
Pak Bejo mah udah gede, pasti gampang buat dia nemu mamah muda. Wkwkwk.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd