Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT JALAK v2

Menurut anda, siapa cewek yang kelak paling cocok untuk bersanding dengan si Nanto si Bengal?

  • Kinan. The one and only. Apalagi dia kan sedang... begitu tuh. Harus lah jadi sama Kinan.

    Votes: 153 39,5%
  • Ara. Cinta pertama si Jalak. Jadinya cilandak - cinta lama datang kembali. Yang lain mah lewat.

    Votes: 8 2,1%
  • Hanna. Tunggu apalagi? Cakep, kaya, baik, penyayang, hormat orang tua, dan guru. Single.

    Votes: 43 11,1%
  • Nada. Putri penguasa wilayah selatan. Cakep, kaya, sudah dilepas segelnya. Cus lah gaskeun.

    Votes: 189 48,8%
  • Asty. The MILF. Mantan guru sendiri, sang kekasih rahasia, cakepnya ga kaleng-kaleng.

    Votes: 60 15,5%
  • Rania. Nikung Roy, terlalu lama ditinggal sangat memudahkan modus penikungan. Wadidaw. Sok lah.

    Votes: 0 0,0%
  • Nuke. Nikung Rao, bikin jealous Joko Gunar. Siap-siap dikeroyok DoP dan PSG.

    Votes: 2 0,5%
  • Dinda. Nikung Amar Barok sekaligus Deka. Mantap jiwa. Mau cinta segi berapa?

    Votes: 2 0,5%
  • Eva. Cewek genit tapi cakep. Dicolek dikit pasti kebuka. Sudah pasti bakal NTR route.

    Votes: 2 0,5%
  • Hasna. Baru keluar dikit tapi kayaknya potensial nih. Kalo yang lain puyeng.

    Votes: 4 1,0%
  • Shinta. Anggota tim khusus kepolisian. Pasti galak di ranjang. Ihihihihi.

    Votes: 20 5,2%
  • Yang lain aja wes. Biar tambah puyeng. Aseeek.

    Votes: 23 5,9%

  • Total voters
    387
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Bimabet
BAGIAN 6
TERLALU SINGKAT




Mustahil akan ada kemajuan tanpa perubahan.
Orang yang tak dapat mengubah pikirannya tak akan bisa mengubah apa-apa.
- George Bernard Shaw






Dua orang pemuda duduk santai di balkon lantai dua sebuah rumah yang terdapat di dekat porok jalan, amat dekat dari Jalan Manggar. Dari lokasi mereka yang juga terlindung beberapa pohon rambutan besar, keduanya bisa mengamati proses tawur yang terjadi tanpa terlalu terlihat.

Tawur rame yang terjadi dua kali. Pertarungan pertama antara Lima Jari dengan RKZ dan sekarang Lima Jari dengan Dinasti Baru.

Orang yang pertama berdiri bersandar tembok dengan tangan bersidekap, ia mengenakan jaket dengan hoodie tanpa lengan, menyembunyikan wajah di balik kerudung gelap, tapi mempertontonkan tangan yang besar dan kekar, bisa diduga kalau dia termasuk maniak gym. Tato tribal berkesinambungan menghias sepanjang lengan kirinya yang terpampang dipamerkan.

Orang yang kedua duduk di pagar tembok balkon. Rambutnya yang dicat perak berkibar ditiup angin pagi. Ia mengenakan jaket abu-abu, celana warna hitam, kaus abu tua, sarung tangan motor warna hitam, dan sepatu V@ns juga warna hitam dengan garis putih. Pakaian yang modis dan senada dari atas sampai bawah menandakan kalau dia bukanlah pemuda yang berkekurangan.

Kedua orang ini tentunya adalah X dan Jun, kapten muda harapan baru dari QZK. Punya kemampuan, banyak dukungan, penuh percaya diri, dan yakin dengan kekuatan kelompok sendiri membuat keduanya bebas melenggang kemanapun mereka mau. Saat ini keduanya tentu saja tidak ingin ikut campur dalam masalah Dinasti Baru, mereka hanya ingin menonton saja dengan tenang.

Jun yang lebih muda duduk dan ongkang-angking kaki sembari sesekali menusukkan tusuk gigi ke lopis dalam pincuk, mengangkat beberapa, dan menelannya dengan puas. Ia melakukannya sembari menyaksikan pertarungan di bawah – ibarat makan popcorn sembari menonton bioskop.

“Gimana? Tidak sia-sia kan kita pagi-pagi nyari lopis terus jalan pulangnya muter lewat sini? Kalau tidak lewat sini, kita tidak akan ketemu kejadian seru begini. Antuisiku memang dapat diandalkan.” Ujar Jun sembari tersenyum. “Sebenarnya sih agak lucu juga rasanya, karena kita lebih cepat menemukan adegan tawur begini dibandingkan polisi. Normalnya, kalau ada kejadian serangan di jalan umum seperti ini seharusnya sudah didatangi polisi sejak tadi.”

“Hhrh.” X mendengus, “Dinasti Baru pasti sudah memperkirakannya. Mereka mencegah polisi datang terlalu cepat. Sepertinya sudah disengaja agar yang berwajib terlambat datang – pos polisi kan ada di luar situ di Jalan Oslo. Tidak mungkin mereka tidak memahami ada perkelahian di sini. Mereka pasti sudah dibayar Dinasti Baru untuk tidak cepat-cepat datang – kelompok seperti mereka punya agenda tersendiri.”

“Luar biasa memang Dinasti Baru – jadi mereka justru sedang mencari konfrontasi. Untuk memancing keluarnya informasi. Semakin banyak tahu lawan, semakin banyak tahu medan. Mereka sedang melakukan scanning para lawan.”

“Utamanya memang melawan RKZ, tapi sekarang pemuda-pemuda dari Aliansi itu yang berhadapan dengan Dinasti Baru.”

Jun mengangguk, “Itu. Yang di sana itu, itu Nanto dan gengnya – aku kenal dia. Lama sekali tidak jumpa. Menarik sekali begitu tahu dia ternyata bergabung dengan Aliansi.” Jun tersenyum saat mengenali si Bengal, “akan ada saatnya nanti aku akan bertemu lagi dengannya dan membalas apa yang dulu dia lakukan ke teman-teman dan sekolahku.”

“Bagaimana menurutmu dia sekarang?”

“Aku tidak melihat ada apapun yang istimewa darinya. Entah apa yang ia lakukan selama ini, tapi dari pengamatanku, perkembangannya lambat. Dulu terlihat sangat hebat, sekarang jadi biasa saja. Mungkin karena dia tidak banyak berlatih, sementara aku sudah meningkat sepuluh kali lipat.” Jun meletakkan lopisnya di pinggir pagar. “Pada pertemuan berikutnya aku yakin akan dapat menandingi atau bahkan mengalahkannya.”

“Hrrrh, percaya diri sekali.” X mendengus. “Yakin?”

Jun hanya tersenyum, “kita lihat saja kelak seandainya kami akhirnya benar-benar berhadapan. Mau taruhan apa?”

“Aku pikirkan dulu.”

“Sate sapi lapangan Kurung?”

“Hrrrh.”

X bersidekap sementara Jun masih terus mengamati apa yang terjadi di bawah sana.

Entah bagaimana caranya mereka berdua bisa berada di tingkat dua rumah ini, mungkin karena rumahnya sendiri sedang kosong sehingga mereka bisa masuk dengan mudah tanpa perlu permisi, padahal pagar depan lumayan tinggi dan tebal. Lebih kebetulan lagi adalah bagaimana mereka bisa berada di tempat ini tepat saat terjadi perseteruan antara Amar dan Lima Jari melawan RKZ.

Kota ini memang kadang-kadang jadi terasa kecil dan sempit dengan banyaknya kebetulan yang kadang terlalu kebetulan. Mungkin juga kebetulan itu sebatas petikan jari Thanos.

Jun menggosok hidungnya yang gatal. Udara pagi yang dingin sering membuatnya bersin berulang. Meski matahari mulai tinggi, tapi dia masih juga tetap gatal ingin bersin.

X penasaran dan bertanya, “sebenarnya bagaimana sih kondisi Dinasti Baru itu sekarang? Seperti apa struktur kepemimpinan mereka akhir-akhir ini?”

“Jadi mau diceritain soal Dinasti Baru? Boleh saja. tapi ini bakal jadi cerita yang panjang. Jadi duduklah dengan santai sambil dengerin. Boleh disambi makan kacang rebus, jagung, atau kacang kedelai sambil menikmati juga wedang ronde.”

X mendengus, “yang benar saja.”

Jun tertawa, “Seperti yang sudah jadi pengetahuan umum bagi seluruh warga, kota terbagi menjadi dua wilayah, utara dan selatan. Sejak bertahun-tahun, wilayah utara menjadi kekuasaan QZK dan selatan menjadi wilayah kekuasaan JXG. Entah permusuhan antara utara dan selatan ini terjadi sejak kapan tahu, mungkin bahkan sejak jaman simbah-simbah kita dulu.

“Nah sebenarnya ada satu wilayah lagi di kota yang bukan milik utara dan juga bukan milik selatan, wilayah itu adalah wilayah perbatasan keduanya, kita sebut saja wilayah tengah.

“Wilayah tengah atau perbatasan antara kedua wilayah sempat menjadi bahan perseteruan dan menjadi perebutan antara QZK dan JXG, namun perebutan ini terhenti ketika keduanya dipaksa untuk melakukan gencatan senjata oleh pihak yang berwajib setelah terjadi pertarungan besar yang merenggut nyawa. Baik QZK maupun JXG dilarang beroperasi sementara waktu.

“Vakumnya kekuatan di kota membuat sempalan dari kedua kelompok berusaha mbalelo dan menjadikan kawasan perbatasan sebagai markas mereka. pecahan dari JXG dan QZK kemudian bergabung membentuk kelompok baru karena sering nongkrong di kawasan yang sama, lahirlah Dinasti Baru. Sementara pada saat yang bersamaan, di kawasan selatan PSG tumbuh dan berkembang menggantikan kiprah JXG, sedangkan di utara Patnem melakukan gerilya untuk menjaga wilayah Kalipenyu.

“Meski berawal dari kawan nongkrong dan geng motor, Dinasti Baru bukanlah kelompok kaleng-kaleng, kiprah sepak terjangnya mirip dengan PSG. Mereka melebarkan sayap dari ujung ke ujung perbatasan, dan dari hari ke hari jumlah anggota mereka semakin banyak. Tahu sendiri kan bagaimana ini kota dikelilingi oleh jalan melingkar atau ringroad? Nah Dinasti Baru adalah kelompok yang seakan-akan membuat garis tepat di tengah lingkaran itu dengan pusat pengembangan mereka terletak di kawasan toko Dinasti Baru.

“Dinasti Baru punya dua sayap, pengguna slayer biru yang disebut New World Order beroperasi di area sebelah tengah ke timur laut dari mabes Dinasti Baru dan unit slayer merah mengatur wilayah sebelah barat. Keduanya bersaing untuk mendapatkan pendapatan terbesar di wilayah tengah entah itu melalui pemerasan, perjudian, penjualan miras, ataupun prostitusi. Dinasti Baru memang bukan kelompok yang putih bersih. Mereka terlibat dalam banyak masalah, tapi punya backing yang cukup kuat sehingga bertahan lama.

“Amar Barok dan seorang rekan lain berada di tengah-tengah, menangani semua masalah seandainya terjadi masalah internal maupun eksternal, misalnya jika ada perseteruan antara unit slayer merah dan unit slayer biru, maka Amar dan rekannya yang akan turun tangan mencari solusi. Dari ketiganya, unit yang paling ngetop tentu saja adalah unit NWO di bawah pimpinan Martoyo Kimpling, sehingga wajar saja kalau orang-orang sering menyebut Dinasti Baru sebagai NWO atau sebaliknya. Padahal NWO hanyalah sayap dari Dinasti Baru.”

Jun mengakhiri ceritanya dan menenggak minuman kemasan yang sudah ia siapkan. “Huff... bentar minum dulu, aus.”

Swsh.

Satu angin berhembus.

“Di sini angin lumayan sejuk. Silir rasane.”

“Betul.” Ucap X.

“Iya benar.” Jawab Jun.

“Agak canggung juga setelah kita lama tidak ketemu, ya. Bagaimana kabar kalian? Ikhsan dan Junaedi – X dan Jun, dua kapten muda dari QZK?”

“Baik.” Ucap X.

“Kabar kami baik.” Jawab Jun.

“Syukurlah.”

“Eh?”

“Ehh?”

X dan Jun mengejapkan mata. Keduanya saling bertatapan. Hah!? Siapa yang barusan mengajak mereka berdua bicara?

Suara yang menyapa tiba-tiba membuat kedua orang dari QZK itu amat terkejut! Ada orang yang mampu mengetahui posisi dan siapa mereka? Siapa? Bagaimana bisa hadir tanpa terdeteksi? Kedua kapten muda dari QZK itu segera bersiaga dan memasang kuda-kuda di balkon yang sempit. Di kota tak banyak yang mengenal mereka, lebih tak banyak lagi yang mengetahui nama asli mereka berdua, jadi siapa orang yang baru datang?

Keduanya menengok ke samping dan di atas pagar balkon sudah berdiri seorang lelaki yang tengah nyengir lebar sembari mengangkat jari berbentuk V.

Bak daun yang lembut turun ke tanah setelah terhempas angin, bak kapas yang diombang-ambingkan hembusan udara hingga menepuk pelan landasan bumi. Sang pria yang baru saja menyapa melompat lembut ke halaman rumah di bawah.

Orang yang baru saja datang itu tak menunjukkan wajah takut sedikitpun, ia malah duduk dengan santai di atas batu taman sambil makan lopis yang rupanya ia ambil dari Jun yang sama sekali tak menyadari lopis-nya sudah pindah tangan. Pria itu duduk di batu besar dengan menampakkan wajah tak peduli pada X dan Jun.

X dan Jun segera turun ke bawah untuk menemuinya, tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk mengenal siapa sebenarnya sosok orang yang baru datang.

Orang itu mengenakan pakaian seragam warna abu-abu dengan garis-garis oranye. Kulitnya gelap dan mengkilap karena terbakar matahari, rambut ijuknya sebagian sudah mulai beruban. Senyum lebar menghias wajahnya yang tidak istimewa. Jika bertemu di jalan – orang tidak akan menduga bahwa orang ini salah satu orang paling berbahaya di jajaran punggawa JXG.

“Salam sejahtera, Om Sunu Sudarwaji.” Ucap Jun saat ia mengenali siapa yang datang, “Ada kabar kalau si Jagal sudah kembali ke kota, begitu pula dengan si Hantu. Seharusnya saya sudah menduga kalau si Tukang Pos juga sudah hadir untuk melengkapi tiga dari empat andalan utama JXG.”

X tersenyum, dia senang karena akhirnya bertemu dengan salah satu legend dari kelompok sebelah. Salah seorang pemuka yang amat dihormati, tangannya sudah gatal saja untuk menjajal kemampuan yang telah ia latih selama ini. “Bapak Pos. Luar biasa sekali ketemu sampeyan di sini.”

Jun melirik ke arah X. Tangannya terkepal, menandakan dirinya sudah bersiap dan siaga.

Keempat mata panah dari JXG bukanlah jajaran pasukan yang bisa diremehkan, mereka adalah pasukan maut yang masing-masing punya kemampuan yang mumpuni dan amat disegani. QZK di sisi lain sebenarnya juga punya orang-orang yang setara kemampuannya dengan mereka berempat – dan sayangnya orang-orang itu untuk sementara ini bukanlah X maupun Jun, tapi seandainya mereka bisa membuktikan kemampuan mereka, barangkali saja hirarki kekuatan di kedua kubu akan berubah.

Tukang Pos, Pak Pos, Pengantar Pos, sang Pengantar Surat, adalah banyak julukan dari Sunu Sudarwaji yang memang bekerja sebagai pengantar pos. Sayangnya dia terkadang tidak mengantarkan surat biasa, tapi mengantarkan surat kematian. Jika suatu ketika dia mengetuk pintu rumahmu sembari menyeringai, lebih baik jangan dibukakan. Kaburlah sejauh mungkin, jangan pernah menerima surat apapun darinya.

“Kita baru saja bertemu setelah lama tak jumpa.” Sang Tukang Pos terkekeh, “kenapa malah pasang kuda-kuda? Kita ini bangsa yang ramah lho, kita ini warga kota yang Berhati Nyaman. Setelah lama tak berjumpa seharusnya kita ngobrol, nongkrong bareng, bersenda-gurau, ngomongke cerita lama, dan jajan Lotek Tatag deket flyover.”

“Kami tak akan pernah mempercayai apapun yang keluar dari mulut anggota JXG. Terlebih ucapan dari anggota empat mata panah,” ucap Jun – ia mulai menyalakan tenaga Ki yang selama ini ia simpan. “Kami memang muda, tapi kami tidak bodoh.”

Pak Pos tertawa, “bagaimana tidak bodoh. Kalau kalian menyalakan Ki, bisa-bisa orang Dinasti Baru akan menyadari kalau ada orang dengan Ki berlebih sedang berada di lokasi ini. Yang ada mereka bakal memburu kalian!”

“Kami sih tidak peduli, Dinasti Baru bukan lawan bagi QZK. Saya sih hanya tertarik dengan kemampuan sang Tukang Pos. Seperti makanan yang hanya dari katanya saja enak, belum benar-benar enak kalau belum dicicipi.” Jun sang ksatria baju putih tersenyum sinis, ia menekuk kesepuluh jarinya untuk melemaskan, lalu menekuk kepalanya ke kanan dan ke kiri, bibirnya mulai bergumam saat ia mulai merapal jurusnya. Jari Jun diarahan ke depan dengan tiga jari tertekuk ke dalam, jari telunjuk ke depan, jari jempol ke atas – semacam membentuk pistol dengan jari.

Jun menarik napas panjang dan menghelanya. “Si vis pacem, para bellum.”

Boom!

Satu sentakan energi besar menghentak keluar dari jari pistol Jun, gelombang ledakan energi Ki yang terfokus melesat menuju ke sang Tukang Pos.

Sunu Sudarwaji alias sang Tukang Pos tersenyum, tanpa menengok arah serangan ia mengayunkan tangan kiri. Lengannya bergerak memutar, membentuk lingkaran. Jari jemari menekuk seperti tengah mencengkeram sesuatu di udara. Sungguh ajaib! Ia merenggut angin yang sudah tercampur dengan tenaga Ki yang dilontarkan oleh Jun. Pak Pos memutarnya sembari membentuk pertahanan kokoh tak kasat mata. Tangan dibentangkan melebar, menerima ledakan energi Jun.

Serangan hebat dari Jun diterimanya bak pebasket menerima bola, hanya dengan satu tangan ia memutar dan memilin tenaga Ki yang ia terima bagai mengolah adonan donat – bahkan tanpa menyentuh. Sang Tukang Pos lalu menghempaskan lontaran Ki itu ke dalam tanah! Gerakannya gemulai seperti menari, tapi tangannya tegas menghentak seperti melesakkan pasak ke dalam bumi.

Bmmmmh!

Tanah bergetar pelan, debu berterbangan.

“Tenaga hebat yang terpusat, teknik luar biasa, Junaedi,” ujar Pak Pos. “tapi ada baiknya kamu redam sebelum banyak orang-orang Dinasti Baru datang. Kita tidak ingin ada keributan bukan?”

Pria yang dipanggil dengan sebutan Pak Pos atau Tukang Pos itu lantas duduk di samping Jun dengan santai, dari posisi yang sekarang mereka masih dapat mengamati kejadian di area Jalan Manggar tempat perseteruan Dinasti Baru dan Lima Jari tengah berlangsung.

“Aku datang karena hendak mengamati sepak terjang RKZ. Tidak kusangka mereka akan membuat kekacauan begini pagi-pagi,” kata Pak Pos, “kejadian ini sudah viral. Banyak yang rekam di media sosial. Tapi sewaktu aku datang, alih-alih RKZ, Dinasti Baru malah sudah berseteru dengan kelompok lain.”

Jun mendengus, akhirnya dia melepas Ki yang sudah dihimpunnya dan ikut duduk santai di batu besar tempat Pak Pos berada.

“Sudah viral tapi polisi belum datang, Dinasti Baru punya backing yang cukup lumayan, Pak.” Kata Jun. “Sebagaimana JXG punya backing yang cukup kuat, bukan?”

“Pastinya.” Pak Pos terkekeh, “sebagaimana QZK juga punya backing yang lumayan, kan?”

Perwakilan kedua kelompok itu saling sindir dan saling uji kesabaran masing-masing. Saat ini mereka memang tidak sedang berseteru, sehingga duduk santai pun tak apa. Meski tetap saja Jun dan X siaga, karena sang Tukang Pos bukanlah tokoh yang bisa ditebak apa kemauannya. Sementara Jun duduk di samping Pak Pos, X bersiaga di belakang mereka.

“Tontonan sudah digelar, makan snack sudah, masih kurang satu lagi.” lanjut Pak Pos.

“Ha?” Jun mengerutkan kening. “Kurang satu lagi?”

“Masih kurang BGM - background music. Kurang soundtrack. Pertandingan apapun kurang seru tanpa soundtrack.”

Hadeh.

“Loh, iya lho. Hidup ini akan sepi tanpa musik, musik itu menenangkan jiwa. Setiap kali bekerja, aku selalu mendengarkan musik. Musik dan lagu yang aku nikmati menunjukkan siapa jati diriku sebenarnya, intinya inti, core of the core. Selain menggemari musik keroncong, sejatinya aku adalah penggemar lagu-lagu mixed-core, contohnya lagu seperti Another Road, Water from the Sky, Showcasing Your Spouse, Poor man’s Bone, Back-up slowly, Kartonyono Breaking-Up Promises. Masih banyak lagi yang lain. Xixixi.”

Wasyu. Ini sih dagelan bapack-bapack.” Jun menepuk jidatnya.

Pak Pos hanya terkekeh.





.::..::..::..::.





Tak jauh dari posisi Pak Pos dan dua kapten QZK, arena sedang digelar.

Nanto berhadapan dengan sang ketua Dinasti Baru.

Dengan berani si Bengal menghalangi jalan sang Ketua, mencegatnya.

Nanto bersiap. Ia memperhatikan wajah sang ketua Dinasti Baru yang baru saja melepas slayer, masker, dan helmnya. Sinar mentari pagi yang mulai terangkat tinggi di angkasa membantu menerangi wajahnya yang berkeringat setelah mengendarai kendaraan roda dua dari luar kota. Pria ini berkulit agak gelap, memiliki rahang yang tinggi dan gagah, serta kumis tebal yang seakan memamerkan kejantanan. Rambut gondrong berombaknya berkibar ditiup angin sepoi, sudah ada selipan uban di rambutnya – orangnya memang tak lagi muda, tapi tubuhnya masih kencang dan terbentuk kekar mengintimidasi. Badannya besar dan tinggi, mungkin bahkan lebih besar dari Amar Barok – dengan bahu teramat lebar, seakan menghalangi sinaran surya untuk jatuh langsung ke tubuh si Bengal.

Sang ketua Dinasti Baru, bagaikan sosok monster buatan dokter Frankenstein.

“Siapa kamu?” tanyanya dingin.

“Nanto. Jalak Harnanto” si bengal berdiri tepat di depan ketua Dinasti Baru. Tanpa takut, tanpa ragu, penuh keyakinan, percaya bahwa dia benar. “Perwakilan Lima Jari dan Aliansi.”

“Aliansi? Hehehe. Kelompok baru yang nggegirisi. Baru terbentuk tapi sudah berhasil menumbangkan kekuatan lama yang bertahta di utaranya utara. Hehehe. Hebat. Sepak terjang kalian lumayan juga, berkat kalian kami tidak perlu turun langsung untuk menghadapi ulah busuk KSN. Mungkin kamu tidak tahu kalau Darsono itu bekas anggota kami juga.” sang Ketua mendengus sambil tersenyum sinis, dia mendekat ke arah Nanto, mata bertaut ke mata. Dia agak menunduk karena badannya yang tubuhnya lebih tinggi dari si bengal. “Ini pertama kali kita bertemu ya, Mas Nanto? Namaku Bintoro Muji Wiguno, mau panggil Bintoro boleh, Pak Toro boleh, tapi anak-anak Dinasti Baru yang kurang ajar sering menyingkat namaku jadi BMW. Wedhus kabeh pancene. Tapi berhubung singkatan kuwi yo wes terlanjur ngetop ya sudah, kamu juga bisa memanggilku dengan singkatan itu. Rak yo ndagel to, Mas? BMW tapi numpake Vespa.”

Si bengal tersenyum, “salam kenal Om BMW. Keren namanya.”

Om BMW tertawa tapi sesaat kemudian terdiam sembari menatap Nanto dengan penasaran. Matanya bagai menyala-nyala. Nanto baru menyadari kalau sang Ketua tengah memindai kemampuannya.

“Kamu punya tenaga Ki mentah yang luar biasa, Mas. Boleh juga,” kata Om BMW.

Nanto menggeleng, “Masih belum apa-apa kok, Om.”

“Bagaimana kalau kita bikin apa-apa supaya matang?”

Tubuh si Bengal bagai membeku, ada hawa dingin yang ia rasakan keluar dari tubuh om BMW. Kekuatan macam apalagi ini? Dia tidak tahu ilmu kanuragan apa yang dikuasai oleh om BMW, yang jelas Nanto merasakan kekuatan dahsyat terpancar dari tubuh sang Ketua Dinasti Baru.

Dahsyat.

Si bengal mendengus dan menepuk hidungnya dengan punggung telunjuk.

Bahkan ketika sudah teramat besar sekalipun, kekuatan yang ia rasakan dari Om BMW ternyata terus mendaki melebihi perkiraan dan logikanya. Kekuatan hebat yang menanjak dari tubuh pria bertubuh kekar di depan si Bengal membuat pemuda itu berdecak kagum. Luar biasa, tokoh wangun macam apa yang sekarang ia hadapi? Jika dibandingkan apple to apple – apa yang saat ini dipancarkan Nanto terasa kerdil jika dibandingkan apa yang sedang menyala dalam tubuh Om BMW.

Ibarat Nokia 5510 berhadapan dengan iPhone terbaru yang harganya di atas 2 digit. Wuedyan. Wangun tenan. Sungguh menarik.

Wes wedi durung? Sudah merasa takut belum?” Om BMW memancing sambil menyunggingkan senyum sinis. Dia sadar kalau Nanto sudah paham perbedaan kekuatan di antara mereka berdua sesama pengguna Ki.

Tapi ya dasarnya bengal, Nanto kok ditantang. Pemuda itu malah tersenyum sembari memasang kuda-kuda, kedua tangan diangkat sejajar di depan dada, tubuh membungkuk sedikit dengan kaki ditekuk separuh.

“Justru takut kalau aku ga bisa nyobain, Om.” ucap si Bengal tegas. “Maju!”

Amar Barok, Hageng, Deka, Roy, dan Bian sama-sama menatap ngeri pertemuan langsung antara Nanto dan BMW. Mereka yang menguasai dan bisa membaca Ki tahu perbedaan kekuatan antara Nanto dan Om BMW. Mereka jelas mengkhawatirkan si Bengal. Tapi yang dikhawatirin malah menunjukkan wajah sumringah. Biangane tenan ok. Tentu saja ini bukan tanpa alasan, Nanto memang selalu menantikan bertemu dengan orang-orang yang lebih kuat dan lebih tangguh, karena dengan begitulah ia bisa menempa diri.

Deka menggeleng kepala, “Nanto akan selalu menjadi Nanto.”

Bian menatapnya, “apa maksudmu?”

“Dia itu bajingan kalau soal bertarung. Sudah berapa kali dia memaksa berhadapan dengan yang lawan yang lebih kuat, lalu berusaha keras entah bagaimana caranya untuk melampaui kemampuan lawannya itu? Dia selalu menemukan jalan untuk menjebol batas atas kemampuannya sendiri. Itu yang dia lakukan sekarang, dia selalu tertantang berhadapan dengan lawan yang lebih kuat – terlepas dari sifatnya yang selalu pasang badan di depan kawan.”

Pemuda bandel itu mengangguk dan setuju dengan apa kata Deka. “Bajingan memang Nanto. Memanfaatkan situasi gawat, justru untuk mengasah kemampuan diri. Tapi ia melakukannya bukan tanpa alasan, ia melakukannya demi kawan-kawannya.”

Itulah kenapa mereka dari Lima Jari selalu berada di sisi si Bengal dengan setia. Karena dia tidak hanya sekali melindungi mereka, tapi sudah berkali-kali. Tak sekalipun Nanto pernah meninggalkan sahabat-sahabatnya di medan laga. Dia juga tidak hanya melindungi Lima Jari dan Aliansi, tapi siapapun juga yang dia anggap pantas dilindungi. Satu-satunya hal yang membuat mereka tegang – mungkin adalah ketika dia sudah ingin meningkatkan kemampuan, maka tidak ada apapun yang bisa menghalangi jalannya.

Sebagaimana manusia yang tak mudah puas dan ingin terus menerus meningkatkan diri, kita tidak akan berkembang jika kemampuan yang kita miliki hanya digunakan untuk menghadapi lawan atau ujian yang lebih mudah atau lebih lemah, kita juga tidak akan berkembang jika hanya selalu menjajal mereka yang sepadan dengan kita. Kita baru dapat meningkatkan kemampuan, menemukan gairah, dan meningkatkan batas diri saat menghadapi sesuatu atau seseorang yang memiliki kemampuan di atas jangkauan kita.

Memang di atas langit selalu ada langit, tapi langit yang lebih tinggi itu ada bagi kita untuk menjajal kemampuan maksimal dan menembus batasannya untuk berusaha menggapai tingkatan yang lebih tinggi itu dengan sekuat tenaga, mencoba melalui batasan diri tanpa bersikap jumawa, karena tantangan adalah ujian untuk mengembangkan diri.

Kali ini pun begitu – Nanto ingin menjajal kemampuan Om BMW bukan karena ia merasa yakin akan menang, justru sebaliknya. Ia yakin sekali ia akan kerepotan menghadapi sang pucuk pimpinan Dinasti Baru – tapi jika ia mampu mencari cara untuk mengatasinya, itu tandanya ia berhasil mencapai level yang lebih tinggi. Jadi harus dicoba!

Tapi mungkinkah kali ini dia menantang orang yang salah?

Amar Barok tidak bisa membiarkan ini terjadi, sang punggawa sayap kanan Dinasti Baru itu melompat ke tengah laga antara Nanto dan om BMW. Kakak Deka itu membungkuk hormat di hadapan sang pimpinan.

Nanto mundur selangkah. Om BMW menatap ke arah Amar dengan heran.

Amar tidak menunggu waktu lama untuk menjelaskan. “Mohon kebijaksanaan dan pertimbangannya, Bos. Dia dan kawan-kawannya baru saja membantu saya mengusir RKZ dari lokasi kita. Mungkin bisa dijadikan tolak ukur sebelum Bos menghadapi mereka. Saya yakin mereka bukan tandingan pemimpin tertinggi Dinasti Baru – bahkan jika mereka berlima maju bersamaan sekalipun.”

Om BMW menatap Amar dengan tegas. Ia melirik ke arah anak buahnya yang lain, ke Edi Jerangkong, lalu ke arah Nanto dan kawan-kawan.

“Tapi kita tidak bisa membiarkan nama kita tercoreng oleh anak-anak kelas piyik begini. Mereka juga bukan kelompok main-main rasanya – mereka tergabung ke Aliansi. Kamu tahu sendiri bagaimana mereka meluluhlantakkan KSN.” Kata Om BMW sambil menggeleng kepala, “tidak. Tidak bisa. Kita tidak boleh membiarkan masalah ini berlarut-larut. Harus ada penyelesaiannya.”

Amar kebingungan menatap Om BMW, lalu ia berbalik menatap Deka, Nanto, dan yang lain. Bagaimana... bagaimana cara menyelamatkan adiknya? Mungkin... hanya ada satu cara.

Amar mendesah panjang. “Saya ada satu usulan. Mohon dipertimbangkan.”

“Apa itu?” Om BMW menghela napas, Amar adalah salah satu punggawa setia Dinasti Baru, ia tidak bisa tidak mendengar kata-katanya. “Kamu salah satu orang terbaik Dinasti Baru, pasti akan aku pertimbangkan apapun usulanmu.”

“Tarung Antar Wakil. Lima Jari melawan Dinasti Baru, lokasi tuan rumah di lapangan markas Talatawon di Universitas Teknologi Digdaya, tanggal menyusul kemudian. Tiga lawan tiga.”

Nanto dan Lima Jari saling berpandangan. Tarung Antar Wakil? Melawan Dinasti Baru?

Om BMW bersidekap, “mereka tidak sepadan dengan kita. Mengapa kita harus melayani mereka dalam Tarung Antar Wakil? Bahkan kalau mereka turun sebagai Aliansi pun, kita masih belum sepadan. Cuma rombongan anak-anak yang sok jago. Apa maksudmu dengan Tarung Antar Wakil?”

“Supaya tidak berjatuhan korban yang tidak diperlukan hanya untuk membenahi opini dan pandangan masing-masing kelompok, Bos. Ini semua masalah kecil yang sebenarnya tidak perlu berlarut-larut. Aliansi punya wilayah sendiri di utara, sebagaimana Dinasti Baru punya wilayah lain di perbatasan utara selatan. Kita bisa menyelesaikan permasalahan ini di mimbar tersebut dengan lebih elegan.”

Om BMW menggeleng kepala, dia masih belum yakin masalah ini perlu diselesaikan di Tarung Antar Wakil. Dia sendiri pun sebenarnya sudah cukup menghabisi mereka berlima. Tapi karena masih memandang status Amar, Om BMW mengangkat bahu, “apa yang dipertaruhkan? Kalau kita menang atau kalah? Aku tidak mau mempertaruhkan nama besar Dinasti Baru di ajang busuk dengan lawan yang tidak sepadan dengan kita. Sebutkan apa yang dipertaruhkan, dan akan aku pertimbangkan.”

Amar menatap Nanto. Si Bengal mengangguk, dia paham.

“Baiklah. Sepertinya cara itu lebih baik, tidak perlu ada korban yang lebih banyak, dan kita tidak akan mempertaruhkan eksistensi kelompok di ajang pertarungan. Kalau ada yang kalah maka mereka tidak akan bubar atau dibubarkan.” Ucap Nanto, “kalau Dinasti Baru menang – kami akan mengaku kalah dan Lima Jari akan mengundurkan diri dari Aliansi. Kami dari Lima Jari juga tidak akan ikut campur seandainya ada pertikaian antara Aliansi atau Dinasti Baru.”

“Hmm... kalau kalian yang menang?”

“Maka semua permusuhan dan dendam di antara kita dianggap lunas dan Dinasti Baru wajib membantu Aliansi dalam pertikaian melawan kelompok besar seandainya suatu saat pecah, entah itu lawan QZK, PSG, ataupun JXG. Bagaimana?”

Om BMW mengelus-elus janggutnya dan mengangguk-angguk, lalu dia tertawa. “Hahahaha. Kurang! Bocah edan! Kamu pikir syaratmu itu sepadan? Tidak! Tidak imbang! Kalau kami menang, maka Aliansi harus melebur di bawah Dinasti Baru untuk menaklukkan semua wilayah utara dan harus mau turun di garda terdepan! Termasuk jika kami berperang melawan QZK sekalipun! Bagaimana? Hahahahahaha.”

Nanto menatap satu persatu kawan-kawannya. Wajah mereka tegang, mereka tahu keputusan harus segera diambil dan suara mereka dibutuhkan si Bengal, semuanya mengangguk. Tidak mungkin mengatakan tidak bukan? Meskipun banyak yang dipertaruhkan, intinya hanya satu - mereka harus menang, titik.

Melihat persetujuan kawan-kawannya, Nanto menatap tajam ke arah Om BMW. “Baik. Setuju.”

“Hahahaha. Mantap jiwa, cah edan!

“Apakah ini artinya deal?” tanya Nanto lagi, “kita akan mengadakan Tarung Antar Wakil?”

“Hahahaha. Siapa bilang ini deal?” Om BMW tertawa terbahak-bahak saat mendengar pertanyaan Nanto, “itu kan tadi baru usulan dari Amar. Aku belum mengiyakan atau mengatakan tidak.”

Amar kaget mendengar ucapan sang pimpinan.

Nanto yang merasa tertipu lantas menggeram, “jadi bagaimana?”

“Bos, tidak lama lagi polisi pasti akan sampai di tempat ini.” ujar Amar. “Harap segera ambil keputusan yang bijaksana.”

Om BMW mengangguk. “Baiklah. Ini karena aku mempercayai apapun yang diusulkan oleh Amar maka aku akan menyetujuinya. Tapi... nah, ada tapinya, ada syaratnya! Aku hanya mau melakukan ini semua jika kamu bersedia menerima syarat dariku.”

Nanto mengangkat bahu. Dia tidak peduli. “Sebutkan saja, Om.”

“Aku hanya akan menyetujui diadakannya Tarung Antar Wakil antara kalian dan Dinasti Baru hanya jika kamu mau menerima tiga serangan dariku pagi ini. Jika menolak syarat yang aku berikan ini, maka hari ini juga Dinasti Baru akan bergerak untuk membumi-hanguskan Aliansi. Kami tidak peduli kalaupun kami harus masuk ke kampus-kampus untuk melakukannya.” kembali Om BMW bersidekap dengan jumawa. “Nah, bagaimana? Keputusan ada di tanganmu.”

Nanto menggemeretakkan gigi dengan geram. Itu artinya dia tidak punya pilihan bukan? Dia harus mau menerima tiga pukulan dari sang pemuka Dinasti Baru. “Saya tidak ingin tidak hormat, Om... tapi jika memang harus... saya terima syaratnya! Saya siap menerima tiga serangan pimpinan Dinasti Baru!”

Amar menggeleng kepala melihat kebebalan si Bengal. Ia mencoba maju sekali lagi, “Bos, mohon kebijaksanaannya. Mereka ini cuma anak-anak yang baru masuk kuliah, usia masih sangat muda dan sering membuat keputusan yang salah. Mungkin bisa dipertimbangkan kemba...”

Om BMW mengangkat tangan dan membentangkannya pada Amar. “Apakah tidak cukup satu usulanmu aku lakukan hari ini? Aku sebenarnya tidak peduli mereka siapa. Seperti yang kamu inginkan, urusan kita akan diselesaikan dengan Tarung Antar Wakil, jadi mereka harus pantas berdiri sejajar dengan kita. Untuk apa kita bertarung di ajang itu dengan lawan yang lebih lemah? Mau ditaruh di mana mukaku nanti dengan menyetujui pertarungan seperti itu? Kalau mereka memang ingin sejajar, maka mereka harus diperlakukan sejajar. Aku sudah mengambil keputusan.”

Amar terdiam. Dia sudah tak bisa apa-apa lagi kalau Om BMW sudah begitu. Dia menatap Deka dan menggelengkan kepala. Deka menarik napas panjang, nasib mereka akan ditentukan oleh kemampuan Nanto kali ini. Mampukah dia bertahan?

Om BMW melirik ke satu arah di balik rimbunnya pohon rambutan sambil tersenyum, “Aku tidak mau malu menyetujui ajang Tarung Antar Wakil dengan lawan yang lebih lemah, apalagi ada perwakilan dari QZK dan JXG yang sedang menonton kita pagi ini.”

Amar terkesiap, ia memandang ke arah yang sama. Perlahan-lahan ia juga merasakan energi Ki besar yang menyeruak dari arah tersebut. “I-ini... tenaga milik Pak Pos?”

Om BMW mengangguk sambil mencibir. “Dia sudah semakin meningkat kemampuannya. Salah satu dari pengguna terakhir ilmu kanuragan Inti Angin Sakti selain Pak Zein. Entah apa maunya sang Tukang Pos memperlihatkan hidungnya di tempat ini pagi ini. Sepertinya jadi penanda kalau JXG sudah mulai turun gelanggang. Mereka mengamati calon-calon lawan dengan mengutus keempat mata panah-nya kemana-mana.”

“Ada dua pengguna Ki lain yang bersama Pak Pos.”

“Mereka dari QZK. Mungkin dua kapten mudanya, aku belum pernah bertemu mereka.” Ujar Om BMW. “Pattern aliran tenaga Ki tidak bisa dibohongi.”

“Bagaimana ini? Jadi tidak? Aku sudah menunggu!” pancing Nanto yang dicuekin.

Om BMW kembali fokus pada si Bengal, ia maju tanpa banyak bicara. Sang pemuka Dinasti Baru menepuk kedua tangannya seperti gerakan membersihkan debu dari telapak tangan sembari menggumamkan sesuatu yang tak terdengar. Ia menarik mundur tangan kanan dan kiri bersamaan, lalu menyorongkan keduanya ke depan secara bersamaan.

Om BMW melakukannya sembari setengah berlari ke arah si Bengal. “Sambut yang ini!”

Nanto tak hendak melawan, karena memang ia hanya diperbolehkan menerima serangan saja. Si Bengal menundukkan kepala, berbisik lembut pada dirinya sendiri. Ia merapal gerbang ketiga Kidung Sandhyakala.

Si Bengal menggerakkan tangan ke depan, seakan menyiapkan kedua tangan untuk menyambut dua telapak dari sang pemuka Dinasti Baru. Tapi Om BMW tidak begitu saja menerimanya. Tangannya yang menyorong ke depan berkelit dengan mudah bak seekor ular berbisa yang melompat untuk menyerang lawan, lalu dengan cekatan tangan itu menyambar dadar Nanto dengan kuatnya! Patukan ular berbisa!

Bkkgh!

Sambaran itu datang begitu cepat sehingga menyentak si Bengal yang terkejut dan tak sempat menyelesaikan rapalannya! Tubuh Nanto terdesak ke belakang hingga ia jatuh terguling hingga beberapa kali! Nanto baru berhenti saat ia terganjal pot beton di pinggir trotoar.

Jbkgh!

“Nyuuuuk!” Deka dan kawan-kawan menghampiri Nanto.

Si Bengal menyorongkan telapak tangan ke arah mereka. menandakan bahwa ia tidak apa-apa. Meski begitu ia tersengal-sengal, keringatnya mengalir deras, tubuhnya gemetaran. Begini rasanya menerima hantaman tanpa dilindungi oleh Gerbang Pertahanan. Runyam rasanya luar dalam.

Nanto mencoba berdiri dengan menggunakan pot beton sebagai tumpuan tangan.

“Hakgh!”

Semburat darah keluar dari mulutnya. Ia kembali roboh.

Semua anggota Dinasti Baru bersorak-sorai, berteriak riuh dengan penuh rasa jumawa. Kalau sampai si Bengal gagal menahan tiga pukulan dari Om BMW, maka mulai hari ini Dinasti Baru akan merajalela di utara.

“Nyuk!” Deka kembali maju dengan khawatir.

Nanto menggelengkan kepala sembari melambaikan tangan, ia membuang ludah darah. Si Bengal menatap Deka dan kawan-kawan. “Jangan mendekat! Tidak perlu khawatir, aku tidak apa-apa. Yang seperti ini tidak akan membunuhku.”

Deka mendengus kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu si Bengal, tapi dia tahu memang tidak ada gunanya mendekati Nanto saat sedang dalam fighting mode begini. Kalah? Mungkin saja, tapi menyerah? Tidak akan. Bocah gemblung itu tak akan pernah menyerah.

Nanto berdiri dengan kaki bergetar hebat dan tubuh gemetaran. Kembali ia menggunakan pot beton sebagai tumpuan tangan. Luar biasa sambaran yang barusan, hanya sekali tapi bisa membuatnya seperti ini. Padahal dia juga tidak merasakan aliran Ki yang berlebihan.

“Om BMW. Aku sudah menerima pukulan pertama... sisanya tinggal dua, kan?”

Cah bagus, sebaiknya kamu menyerah dan mengaku kalah. Segera batalkan kedua pukulan sisa. Sekarang saja kamu sudah tidak kuat berdiri padahal baru menerima satu pukulan saja. Aku buka kartu, Patukan Kobra yang pertama tadi bahkan hanya sekitar dua puluh persen dari seluruh kekuatanku.” ucap OM BMW, “aku tidak tahu apa yang membuatmu begitu ngotot. Menakjubkan, tapi konyol. Ayolah, sudahi saja. Pukulanku yang berikutnya bisa lebih besar lagi tenaganya.”

“Maju, Om!”

Om BMW geleng-geleng kepala. “Kamu sendiri yang cari mati. Jangan salahkan aku.”

Pria berbadan besar itu melejit ke depan, gerakannya mirip seperti yang awal tadi. Nanto bersiap menerima serangan, tapi kali ini dia tidak menyorongkan tangan sama sekali, ia bahkan pasrah saja dengan tatapan mata menatap ke depan. Mulutnya bergumam mencoba mengucapkan rapalan Gerbang Pertahanan.

Tangan Nanto secara reflek diangkat ke depan untuk membentuk kuda-kuda.

Tapi sekali lagi, Om BMW lebih cepat dari gerakan bibirnya mengucap rapalan.

Pertahanan Nanto bisa dilewatkan dengan mudahnya. Om BMW menekuk siku tangannya sedikit dan memutar tangannya dengan gerakan yang tak terbayangkan – tangan Om BMW meliuk bak tanpa tulang untuk masuk ke dalam pertahanan si Bengal! Semua yang menyaksikan terpukau karena tangan Om BMW bisa bergerak dan menekuk secara mustahil. Lagi-lagi Patukan Kobra.

Bkgh!

Terjangan hantaman pertama mengenai dada Nanto, bahkan energi yang dikeluarkan dari kepalan tangan Om BMW sudah sanggup membuatnya terdesak! Untungnya pertahanannya berfungsi kali ini, tepat pada saat dibutuhkan! Nanto hanya berputar saja, tanpa terlempar jauh. Om BMW terkejut karena sodokan energi Ki yang ia keluarkan gagal menemui sasaran. Kali ini kepalan tangan Om BMW benar-benar masuk dan menyeruak ke tubuh sang pemuda.

Nanto tidak melawan dan tidak mengaktifkan Gerbang Kewaspadaan atau Gerbang Kecepatan karena dia tidak ingin menghindar. Tujuannya adalah menerima pukulan, dan itu yang ia lakukan. Tanpa perlindungan, tanpa tedeng, tanpa aling-aling.

Untuk keduakalinya, tubuh Nanto terbang ke belakang, dia terguling, terhentak di tanah, terbanting di aspal, dan tersentak-sentak beberapa kali.

Amar Barok, Deka, Hageng, Roy, dan Bian hanya dapat menyaksikan adegan itu dengan ngeri. Mereka tidak bisa mendekat karena Nanto sendiri yang meminta. Tapi kalau melihat keadaannya sekarang... bisa-bisa dia mati!

Akhirnya tubuh si Bengal berhenti terguling, dan ia pun roboh tanpa bergerak lagi.

Semua yang menyaksikan terhenyak sesaat.

Om BMW yang menyaksikan robohnya Nanto kemudian menghempaskan napas dari dalam mulutnya, dan menggeleng kepala. Amar menatap Om BMW dengan khawatir. Jangan-jangan sang ketua sudah membunuhnya? Patukan Kobra sang pimpinan bukan pukulan main-main.

“Anak ini alot sekali. Tapi pertahanannya luar biasa di luar dugaan. Sampai saat inipun aku masih merasakan tenaga Ki-nya menyala melindungi. Tanpa pertahanan yang luar biasa, dia pasti sudah tewas sejak tadi.” ucap Om BMW sembari mendengus menatap si Bengal. Tidak ada perlawanan lagi, Nanto sudah tamat. Sang ketua pun membalikkan badan, “Selesai sudah. Jadi mulai sekarang...”

Hakgh. Serangan yang pertama dua puluh persen. Serangan yang kedua sekitar lima puluh persen. Yang ketiga mau berapa persen?”

Suara itu!? Om BMW terbelalak dan memutar badan. Tidak mungkin! Tidak mungkin! Impossible! Tempe gembus kapur barus obat murus-murus! Ajaib! Pemuda itu masih bisa bangun? Mulut sang pemuka Dinasti Baru terbuka lebar melihat demonstrasi kekuatan Nanto di depan matanya.

Perlahan-lahan Nanto bergerak, sesaat berikutnya ia mencoba duduk. Tapi karena kondisinya lemah, dia jatuh kembali. Terengah-engah Nanto menatap tajam sang pimpinan Dinasti Baru, ia mengelap bibirnya yang berdarah dengan punggung tangan, lalu menghentakkan lengan sebagai tumpuan, dan untuk kedua kalinya mencoba berdiri kembali.

“Nyuk! Sudah! Jangan bunuh diri! Kita sudah...” Deka mencoba menyadarkan Nanto, tapi si Bengal adalah si Bengal.

Nanto tersenyum menatap Deka dan menggelengkan kepala.

Si Gondes lemas melihat sahabatnya.

Setelah menolak usulan Deka, Ia kembali menatap ke depan ke arah Om BMW. Seandainya bisa – seandainya bisa, dia ingin rebah, rebah saja, istirahat sejenak, tidak ingin berdiri lagi. Tapi seorang laki-laki harus menepati janji, bukan? Dia masih harus menerima satu pukulan lagi.

Nanto menarik napas dalam-dalam, menghirup segarnya udara pagi. Ia bersila dan memejamkan mata, mencoba mengalirkan tenaga murni ke seluruh tubuh. Hawa panas terasa di tiap bagian penting tubuhnya. Ki sejati dialirkan dan berputar-putar, mengisi tiap ruang dan tiap sisi dalam tubuhnya.

Om BMW tak percaya menatap Nanto yang masih bertahan. Patukan Kobra yang ia sentakkan tadi ternyata tidak sanggup membuat Nanto pingsan. Baiklah, kalau begitu, dia harus meningkatkan kekuatan yang ia gunakan untuk menerjang si Bengal. Dari dua puluh persen naik ke lima puluh persen, sekarang siap digeber penuh! Sekarang... dia harus serius dan menuntaskan pemuda ini!

Nanto membuka mata, ia bangkit meski masih agak lemah. Si Bengal berjalan tertatih menemui sang Ketua Dinasti Baru.

Nanto dan Om BMW berdiri berhadapan, saling mengukur kekuatan – kali ini keduanya serius. Jarak antara mereka tidak jauh, mungkin hanya empat meter. Siapa yang akan terlebih dahulu? Amar menatap khawatir pada Deka dan kawan-kawannya. Mereka mungkin memang kuat, bisa dibuktikan dengan kemampuan saat berhadapan dengan RKZ tadi. Tapi ketua Dinasti Baru? Dia punya level yang berbeda. Ini bukan lagi ajang main-main.

“Ucapkan kata-kata terakhirmu.” Bisik Om BMW.

“Aku pengen makan sate.”

Om BMW tersenyum sinis sembari geleng-geleng kepala.

Nanto menatap tajam tanpa ekspresi.

Om BMW mengangkat kepalannya sampai ke depan wajah, senyum sinisnya makin mengembang, matanya tajam menatap si Bengal, bibirnya bergumam. “Tereptrep in awakku, gebyar-gebyar panuwunku. Watu item ing tanganku, katrajang remuk ilang tanpo banyu. Kasebut lathi mantra aji. Awak wesi, getih geni. Ajiku Prana Pasopati.”

Mata si Bengal perlahan-lahan membesar, ia terbelalak dan mulutnya menganga.

Ki dahsyat yang tadi ia rasakan dari tubuh Om BMW, kini meningkat berlipat ganda hingga batas yang tak sanggup ia bayangkan. Luar biasa kemampuan orang ini! Kekuatannya sangat mengerikan, jauh lebih besar dari Darsono – orang kuat terakhir yang bertarung dengannya.

Tapi bukannya ketakutan, si Bengal justru tersenyum lebar. Justru ini yang dia cari-cari – adu kekuatan dengan orang yang sudah pasti lebih kuat dan lebih hebat.

“Luar biasa Ki njenengan, Om BMW. Jujur saya kagum.” Kata si Bengal terus terang. Ia mengubah kuda-kudanya. Kini ia membuka kaki melebar, badan menunduk, tubuh menyamping, pandangan lurus ke depan, tangan dibentangkan. Terasa Ki dari Nanto juga mulai menanjak. Dia tidak mungkin menerima begitu saja serangan kali ini tanpa penahan, dia harus mengaktifkan gerbang keempat!

Kidung Sandhyakala ya? Om BMW mendengus dan tersenyum sinis, Ki segini mau melawannya? Mimpi!

Sang pemuka Dinasti Baru melangkah mendekat ke arah Nanto, ia menarik kepalan tangan kanannya ke belakang, menggenggam erat, merancakkan tenaga di seluruh tubuh untuk pertahanan, dan memusatkan Ki penyerang ke satu titik ledak dalam genggaman. Ia tidak akan menggunakan semua kekuatan – tapi ia pastikan untuk membuat si bocah terjengkang terkagum-kagum!

Kaki kiri dihentakkan, tubuh melecut, tangan dihempaskan ke depan, kepalan tangan melayang dengan kecepatan tinggi! Jurus pertama dari ilmu kanuragan Prana Pasopati! Pukulan Bulan Sabit!

Nanto bersiap, ia menyilangkan tangan di depan wajah. Ki diledakkan, mulutnya bergumam. Hanya ada satu jurus yang ia kuasai yang mungkin dapat menandingi kehebatan pukulan Om BMW. Gerbang Pertahanan Kidung Sandhyakala. Dicoba saja!

Kalis ing rubeda, nir ing sambikala.”

Blaaaaaam!

Lecutan pukulan Om BMW membentuk setengah lingkaran bagaikan bulan sabit. Pukulan dahsyatnya bertemu dengan pertahanan Nanto yang menggila dengan curahan Ki penuh. Gerbang pertahanan dibuka sampai ke titik maksimal.

Meski gerbang ketiga dibuka, namun Nanto tetap terseret mundur oleh gebrakan dahsyat pukulan sang pemuka Dinasti Baru. Nanto terseret ke belakang hampir lima meter, sebelum akhirnya Ia terjerembab ke belakang, meski sempat terduduk satu kaki, namun Nanto bisa menguasai diri dan posisinya sendiri. Nanto menggapai keseimbangan tubuh sebisanya, dan ia bertahan tanpa jatuh ke aspal. Si Bengal sukses menahan Pukulan Bulan Sabit!

Banyak orang terhenyak menyaksikannya!

Siapa pemuda cabe rawit ini?

Bagaimana bisa dia menahan serangan dahsyat dari sang pimpinan Dinasti Baru?

Nanto terengah-engah, ia tersedak dan memuntahkan kembali darah. Dia bukannya menerima begitu saja pukulan yang baru saja menyerangnya. Dia juga menggunakan perhitungan dengan melepaskan pertahanan ekstra. Sayang memang, tiap kali gerbang ketiga dibuka, dia harus mengorbankan Ki yang cukup besar. Sama juga dengan saat ini – beruntung dia sudah dilatih Om Janu untuk membuka keran Ki hingga tahap maksimal meski masih berbatas di bawah segel. Nanto tahu dengan pasti, dia tidak akan mampu menerima pukulan keempat seandainya ada.

Om BMW melotot melihat tangannya bergetar. Dia bagaikan baru saja menghantam sebuah baja yang tergeser! Meski tubuh Nanto memang mencelat mundur, tapi dia sama sekali tidak menyangka ada seorang muda yang sudah sanggup menahan serangan pertama Prana Pasopati-nya! Siapa bocah ini? Dia sudah pernah melihat Kidung Sandhyakala, tapi tak menyangka bocah ini mampu mempraktekkan gerbang keempat dengan baik. Apakah dia benar-benar dipaksa harus menyalakan seluruh Ki demi berhadapan dengan bocah ini?

Om BMW menatap Nanto. Si Bengal menatap balik.

Keduanya terdiam.

Ki menyala, siap tarung ulang.

Om BMW mendengus, “Bocah... kamu membuatku penasaran. Jurus pertahananmu membuat aku ingin menghabisimu saat ini juga. Jadi sepertinya aku tidak ingin menunggu sampai...”

“Bubaaaaaaar! Bubaaaaaaaaarr! Hongip!!” teriak salah seorang penjaga jalan dari Dinasti Baru. “Hongip!!

Suara sirene polisi terdengar, satu persatu anggota Dinasti Baru membubarkan diri sesuai perintah atasan yang mengambil jalan aman untuk tidak mencari masalah lebih jauh. Mereka sudah menahan pihak yang berwajib terlalu lama. Saatnya membubarkan diri.

Om BMW mendengus dan terkekeh, ia kembali menatap Nanto dengan anggukan kepala puas, dia sangat senang bisa berhadapan dengan orang muda yang kemampuannya mumpuni seperti si Bengal. Sayang sekali dia tidak sempat menuntaskannya. Pertarungan hari ini sudah dipastikan berakhir, tapi pertarungan berikutnya akan menjadi ajang yang sebenarnya.

“Kita cukupkan sekian saja perkenalan hari ini, sayang sekali terlalu singkat.” ucap Om BMW sambil membersihkan tangannya dengan tepukan, “sayang juga tenagamu masih berada dalam kuncian, disegel tak bisa dibuka. Aku ingin menjajalnya ketika ilmu-mu berada di puncak. Tidak lagi nanggung seperti sekarang. Aku yakin bisa menembus pertahananmu dengan seratus persen Prana Pasopati. Jadi capailah Ki tertinggi, jadilah kuat. Ketika saat itu tiba, kita bisa bandingkan mana yang lebih hebat. Prana Pasopati atau Kidung Sandhyakala.”

Nanto mendengus, tapi kemudian mengangguk sambil tersenyum, dia juga kagum dengan kekuatan Om BMW yang masih belum nampak jelas, dia menyimpan kekuatan yang lebih besar dan tidak ditunjukkannya pagi ini. “Hanya orang-orang berkemampuan linuwih yang memahami keberadaan segel kekuatan. Njenengan memang punya kanuragan papan atas, Om. Jadi mau tidak mau suka tidak suka saya harus mengakui kalau saat ini kemampuan kita tidak sepadan. Saya yang saat ini pasti akan sangat kerepotan untuk bisa mengatasi satu saja jurus dari ilmu kanuragan Prana Pasopati yang njenengan kuasai – sedikit banyak saya sudah merasakannya meskipun Om belum mengerahkan segenap kekuatan. Tapi saya ingin menjajalnya lagi kelak dengan kemampuan yang lebih sempurna, jadi saya harap – kita berdua bisa sehat untuk kembali bertemu di ajang Tarung Antar Wakil.”

Nanto mengulurkan tangan untuk bersalaman. Om BMW tertawa, ia membalas salam itu. Tangan keduanya saling menggenggam erat, berjanji untuk kelak bertemu menguji diri.

“Percaya diri, menyimpan banyak rahasia, yakin pada kemampuan untuk meningkatkan diri, dan tahu bagaimana harus bersikap. Kombinasi yang unik dari laki-laki semuda kamu. Sungguh mati aku jadi penasaran.” Om BMW kembali tertawa, ia melepaskan salamannya. “Kamu menarik, cah bagus. Kemampuanmu pasti akan meningkat! Aku yakin. Mudah-mudahan saat kita bertemu lagi, aku sudah bisa mencicipi ilmu kanuragan sempurna yang kamu kuasai. Aku akan menantikan saat bertemu kembali denganmu di medan laga!”

Om BMW membalik badan dan melangkah pergi sambil tersenyum.

“Siap.” Nanto menggenggam erat kepalan tangannya.

Ada yang membara dalam batinnya.

Saat Om BMW pergi, Nanto ambruk.

Deka dan kawan-kawan segera berlari menghampirinya.

Pertarungan hari ini usai.





.::..::..::..::.





Simon baru saja memarkirkan motornya di depan Indom@ret Jalan Kalipenyu kilometer sekian. Dia melepas helm dan mengaitkannya di kaca spion. Wajahnya yang tampan masih tersembunyi di balik masker yang ia kenakan. Pemuda bertubuh tinggi dan gagah itu lalu masuk ke dalam dan memilih kaleng minuman larutan penyegar rasa jambu, setelahnya ia ke bagian lain dari refrigerator, membuka pintunya dan menarik sebotol minuman teh kemasan.

Masih di lorong minuman, Simon beralih ke rak makanan kecil. Ia mengambil dua bungkus roti coklat keju, lalu beralih ke lorong berikutnya dan tersenyum saat melihat bungkus unik coklat yang berujung segitiga dan paling seru dipotek. Ia mengambil dua dan membawa apa yang ia beli ke kasir.

Sembari menunggu mbak-mbak kasir melakukan scanning barang yang ia beli, mata Simon menatap keluar. Di atas motornya, seorang gadis melambaikan tangan sembari tertawa manis. Gadis itu menunjuk jam tangannya. Simon pun mengangguk sambil menyunggingkan senyum lebar yang memamerkan lesung pipinya.

Maknyesss.

Mbak-mbak kasir Indom@ret menatap Simon dengan wajah memerah. Ini orang gantengnya gawat banget, damage-nya on point. Alhasil grogi-lah si Mbak-mbak kasir yang manis itu. Simon sendiri masih menatap gadis di atas motor dan menunjuk kursi dan meja yang ada di luar Indom@ret. Gadis itu mengangguk. Ia turun dari motor dan duduk di kursi yang baru saja ditunjuk oleh Simon.

Tak lama kemudian Simon pun keluar dari Indom@ret dan menyusul cewek yang tadi ia boncengkan. “Buat cewek perkasa yang sejak pagi sudah jogging dan bersedia menemaniku olahraga di Kalipenyu, aku persembahkan... es teh, roti, dan... coklat.”

Simon memberikan snack-nya pada Ara.

Ya, Ara.

Ara pagi tadi berbincang dengan Simon melalui WhatsApp dan ketika ia tahu Simon hendak jogging di Kalipenyu, gadis itu pun minta dijemput untuk ikut berolahraga. Kali ini mereka berdua sudah turun dari Kalipenyu dan mampir sebentar di Indom@ret untuk istirahat dan makan seadanya.

“Wow. Snack yang sangat lengkap.” Ara sumringah melihat makanan kecil yang dibeli oleh Simon. “Tidak lupa juga membeli coklat. Suka banget coklat ini, makasih yaaa.”

“Aku tahu kamu pasti suka. Tidak perlu dimakan sekarang. Aku hanya mau kasih saja sambil iseng-iseng, ucapan terima kasih karena pagi ini mau ikut nemenin jalan-jalan di Kalipenyu.”

“Suka sih suka. Tapi ini kan kontradiktif ya. Percuma dong pagi ini olahraga kalau ujung-ujungnya digempur coklat begini.”

“Tidak diet kan? Buat apa lah diet. Badan kamu sudah perfect. Tidak gemuk tidak kurus. Pas lah. Seksi dan menarik.”

Ciyeee. Terus-terusin aja ngasih coklat, lama-lama juga bakalan gemuk.”

“Hehehe... kalau memang suka, pasti aku kasih terus. Mau kamu gemuk atau kurus, buat aku kamu tetap terlihat sempurna.” ujar Simon. Ia melihat Ara yang tiba-tiba saja memerah pipinya mengalihkan pandangan ke arah jauh, tidak ingin menatap wajahnya lekat-lekat. Simon berdehem, “Serius deh nanya, tunangan kamu apa tidak masalah kalau kamu pergi sama orang asing begini? Kalau aku jadi tunangan kamu, pasti bakal cemburu berat.”

“Kamu kan bukan orang asing. Dia sudah pernah ketemu kamu.”

“Bukan pertemuan yang baik sepertinya. Ada kesan dia tidak suka sama aku. Mungkin dia cemburu.”

“Tidak apa-apa.” Ara mencibir, “lama-lama juga dia pasti terbiasa. Kami baru tunangan, belum menikah. Kalau dari sekarang sudah dilarang-larang, mau seperti apa besok. Aku tidak ingin dikekang sebagaimana dia juga sepertinya juga tidak ingin dikekang.”

“Seperti ada nada permusuhan dan dendam, duka dan nestapa. Jangan-jangan kalian sedang berantem ya? Sudah mendapat solusi? Mungkin sebaiknya kalian bicarakan baik-baik dulu sebelum mengambil keputusan apapun yang akan kalian sesali. Mempertahankan memang lebih sulit daripada mencari. Aku tidak ingin menjadi masalah bagimu ke depan nanti.”

Ara terdiam, bukankah masalah antara dirinya dengan Deka semakin meruncing? Apakah tidak akan menjadi masalah jika dia pergi dengan Simon begini? Mungkin ya mungkin tidak, tapi dia hanya ingin merasakan ketenangan dalam hatinya. Dia resah dan gelisah, dia tidak bisa melupakan kenyataan bahwa si Bengal sudah punya kekasih yang baru – lho? Kok si Bengal? Apa hubungannya? Ya, dia masih tetap membayangkan Nanto. Dia masih sulit menerima kenyataan kalau pria yang pernah menjadi raja di hatinya kini menjadi raja di hati gadis lain.

Cinta pertama memang susah diusir dari sanubari. Melekat di hati, menjadi memori, sakit tapi terpatri, inginnya dilupakan tapi selalu teringat kembali. Setelah sekian lama, Ara mungkin baru menyadari – kalau Deka memang baik, tapi dia bukan Nanto. Bagaimanapun dia mencoba untuk meyakinkan diri sendiri kalau Deka lebih baik, lebih gentleman, lebih penyayang; tapi rasa aman itu tak kunjung tiba. Dia tidak merasa nyaman, dia selalu mencari sosok Nanto pada Deka, dan dia tidak menemukannya.

Mungkin ini saat yang tepat untuk jujur pada dirinya sendiri, apakah dia benar-benar tidak bisa hidup tanpa Deka dan bersedia bersanding dengannya sampai akhir hayat, ataukah kehidupan mereka berdua selama ini sebenarnya hanya impian di kertas buram.

“Ara?”

“Tidak ada. Tidak ada masalah kok. Kita berdua kan cuma berteman, ini juga sekedar jogging saja. Dia tidak bisa mendikteku siapa yang akan menjadi temanku seperti aku juga tidak ingin mendikte siapa saja yang akan menjadi temannya.”

Simon tersenyum, “kenapa bisa yakin begitu? Kita juga baru ketemu beberapa kali. Siapa tahu aku pembunuh berdarah dingin.”

“Lho, jangan salah! Siapa tahu justru aku yang pembunuh berdarah dingin. Lady Killer. Siapa tahu setelah ini aku bakal mutilasi dan giling kamu jadi daging cilok.” Seloroh Ara. “terus aku buka stand cilok tiap minggu pagi di Sunday Morning. Bahahaha.”

Simon terbahak, “guyonnya serem banget, Mbak. Jokes bapack-bapack.”

Ara mengangkat bahu dan tersenyum manis. “Aku banyak bergaul sama orang-orang serem.”

“Aku termasuk orang yang serem-kah?”

Ara mencibir, “orang serem kok bikin Mbak-mbak kasir lirik-lirik melulu ke sini.”

“Hah?” Simon jadi ikut memandang ke arah kasir. “Yang bener?”

“Ga usah dilihatin.”

Simon tertawa. “Jadi penasaran.”

“Lihat aku aja.”

“Boleh emang?”

“Lihat boleh pegang jangan.”

Simon tertawa sambil berdiri, kaleng minumannya sudah kosong. Ia pun melangkah menuju tempat sampah dan membuang kaleng minumannya di sana. Tapi sebelum sempat ia melangkah kembali ke arah Ara, ada seseorang yang memanggilnya dengan nada terkejut.

“Mas Simon?”

Pemuda tampan itu menengok dan kaget saat melihat wajah orang yang menyapanya.

“Nada?”







BAGIAN 6 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 7

Contain a tribute to JY’s HS&DS.
Kapan update suhu
 
BAGIAN 7
TUNJUKKAN PADAKU




Sebuah kapal akan aman jika selalu berada di pelabuhan,
tapi bukan itu tujuan kapal dibuat.
- John Augustus Shedd






“Nada?”

“Mas Simon?”

Simon menghampiri gadis cantik yang hendak masuk ke dalam Indom@ret. Mereka pun bersalaman dan saling senyum sapa dengan wajah cerah sumringah.

Ara mengamati dari kejauhan dengan pandangan mata menelisik. Hm, ada cewek bening nan manis kinyis-kinyis kayak kue pukis deketin Simon. Alarm tanda bahaya berngiang di benaknya, Red alert. Eh, tapi kenapa juga dia harus red alert? Simon kan bukan siapa-siapanya. Gimana sih Ara?

Hmm, tapi menarik juga kalau Simon di-prank, gimana reaksinya ya? Hihihi. Senyum jahil terkembang di bibir Ara.

“Hai. Gimana kabarnya, hime?” tanya Simon ramah.

“Idih... masa manggilnya hime. Kabar saya baik, Mas Simon. Ogenki desuka? Mas Simon bagaimana kabarnya? Terakhir kita ketemu sewaktu pemakaman ya?”

“Iya.” Nada suara Simon tiba-tiba tercekat ketika kenyataan menyambarnya, ah ya... pemakaman Abi.

Dia masih tak percaya wakilnya di Sonoz yang setia itu kini telah tiada. Hidup jadi terasa lebih kosong kala sosok orang yang sering ceriwis padanya sudah tak lagi menyapa. Kadang kangen pada sosok yang selama ini di sampingnya. Ketika sudah pergi, barulah Simon sadar betapa berartinya Abi bagi Sonoz, baginya.

Kita kadang menyepelekan sesuatu yang kita miliki sampai kita kehilangan. Syukuri apa yang ada dan pastikan kita tidak menyianyiakan apa yang sudah menjadi milik kita sebelum rasa sesal hadir mengisi relung dan hanya sanggup membalasnya dalam kenangan.

“Masih belum bisa sepenuhnya nyadar kalau Abi ternyata sudah tidak ada lagi ya, Mas.” Sambung Nada dengan nada gamang. Dia juga sangat kehilangan sosok Abi.

Simon mengangguk dan tersenyum.

Simon memang mengenal Nada karena dulu sesekali mereka jalan bareng dengan Abi, sepupu Nada. Meski status mereka hanya sepupu tapi Abi selalu melindungi Nada bak adik kandung sendiri – hal itu yang membuat Simon juga menganggap Nada adalah sosok lembut yang harus selalu dilindungi.

Terlebih lagi... ada aura berbeda dari sang gadis cantik yang hingga saat ini tidak bisa dijelaskan oleh Simon. Setiap kali bertemu Nada selalu ada perasaan ingin melindungi. Hari ini dia merasakannya lagi. Ini bukan Ki – karena gadis ini sudah pasti tidak menguasai Ki. Tapi entah aura apa itu hingga saat ini Simon masih bertanya-tanya, terlebih lagi susah dijelaskan dengan kata-kata.

“Kok bisa ada di utara?” tanya Simon.

“Aku kan sekarang kuliah di Universitas Amora Lamat, Mas. Ambil kelas malam sambil iseng-iseng usaha sampingan. Berhubung ngekos, jadi sering main kesana kemari di utara.”

“Ambil di UAL? Kenapa tidak di Unzakha saja?”

“Hahaha. Lebih suka yang angker dan banyak tantangan, Mas. Hahaha.”

Renyah sekali tawa Nada. Gigi putih bersih terawat rapi membuat setiap orang yang melihat terpatri, terpaku, dan menghayati. Ternyata ada gadis seindah ini di dunia, perwujudan dari seorang Disney’s princess di kehidupan nyata.

“Ehem.”

Simon melirik ke sampingnya dan ternyata sudah ada gadis cantik lain di sisi kiri, tak kalah jelita dengan body goals mempesona.

“Hai, aku Ara.”

“Halo! Aku Nada.”

Sembari bersalaman dengan Nada, Ara menyelipkan tangan kirinya ke lengan Simon, menggandengnya. Tanpa ada kata, tanpa ada pandangan mata, semua dilakukan tiba-tiba. Simon mengerutkan kening dan tersenyum melihat aksi gadis disampingnya. Hmm?

“Kalian...?” Nada memiringkan kepala sambil tersenyum.

“Iya. Dia cewekku. Kami baru aja jadian.” Simon mengangguk sambil menepuk lembut jari jemari Ara yang menggandengnya. Sekarang giliran Ara yang wajahnya memerah. Prank-nya berbalik.

Nada tersenyum lagi dengan manisnya, “Selamat yaaaa, Mas. Cakep banget ih Mbak Ara-nya.”

“Siap.” Simon menahan ketawa saat melihat wajah Ara makin tak karuan. Salah sendiri iseng. Kena kan sekarang? Kadal kok dikadalin.

“Tadi kamu bilang kamu juga kuliah di UAL ya?” Ara mencoba mengubah arah pembicaraan sembari menarik tangannya dari lengan Simon. “Aku juga kuliah di sana lho, tapi aku kelas reguler angkatan tahun kemarin.”

“Oh yaa? Waaaah. Seniorku ini, Mas!” Wajah Nada kembali ceria sembari mengelus lengan Ara hangat, gadis ceria ini memang selalu membuat orang-orang yang berdekatan dengannya bahagia.

Entah kenapa. Simon jadi teringat ke masa lalu, saat dia jalan-jalan keliling tempat wisata dan kebun binatang bersama dengan Abi dan Nada. Saat itu dia terheran-heran dengan pesona Nada, bukan untuk memacari – sama sekali bukan, malah justru aura proteksi yang muncul, seperti seorang kakak pada adiknya, seperti seorang ksatria pada putrinya, seperti seorang ninja pada junjungannya. Kali ini pun sama, sekali lagi, ada aura yang berbeda yang muncul dari Nada. Gadis ini seperti punya kharisma aneh yang tidak bisa ia jelaskan. Kharisma itu membuat Simon merasa ingin selalu melindunginya.

Nada melanjutkan percakapan, “Jurusan apa, Kak?”

Ara menyebutkan salah satu jurusan, Nada menimpali dengan jurusan yang ia ambil - IT.

Ara mengernyit. Jurusan IT, kelas malam, angkatan tahun ini? Sama dengan si Bengal dong? Jangan-jangan dia juga kenal dengan pria yang masih belum bisa ia lupakan sosoknya itu?

Ara meneguk ludah, “Kamu kenal... Nanto?”

“Nanto? Nanto... Jalak Harnanto ya? Yang kerja di The Donut’s Pub? Hahaha, kenal sekali, Kak.”

Hati Ara bergejolak bagai botol soda habis digoyang, mau meletup-letup. Gadis itu mengangguk, dia sampai tahu tempat Si Bengal kerja? Berarti bocah itu masih saja brengsek ya kalau sama cewek? Asal mulus dikit jidatnya langsung disamperin. Dasar keong racun.

Ara mengangguk, “Iya, Nanto yang itu.”

“Hahaha. Waaah, dunia memang kecil ya. Kenal banget, Kak. Kalau sama Mas Nanto sering chat juga – kebetulan satu grup di WhatsApp.” Nada tertawa, “di grup itu kami sering bantu tugas-tugas dia karena dia kan kuliah sambil kerja terus banyak kegiatan di luar gitu. Hahaha, jangan bilang-bilang ke dosen ya, Kak.”

Ara hanya tersenyum kecut. Dia merasa genggamannya pada sosok Nanto yang sudah jauh menjadi makin kabur. Memang sudah tidak ada kesempatan lagi ya? Berapa banyak lagi cewek yang kini dekat dengannya? Kini dia sudah bersama Kinan, tanpa adanya Kinan, masih berbaris gadis-gadis di sisi si Bengal yang entah kenapa bisa mengundang mereka ibarat magnet. Ara tahu memang sudah saatnya dia melepas semua asa pada sang mantan, tapi kenapa susah sekali diwujudkan?

Percakapan kedua cewek cantik di dekatnya tentang Nanto membuat Simon geleng-geleng kepala. Nanto sang ketua Aliansi memang sosok yang menarik. Hampir mirip dengan Nada, si Bengal juga punya kharisma aneh yang tidak bisa ia jelaskan. Aura aneh apa sebenarnya yang ia rasakan ini? Tidak mungkin cuma dia sendiri yang bisa merasakannya.

Nada melirik ke arah mobil yang diparkir di halaman Indom@ret. Beberapa teman yang ada di dalam mobil memberinya kode.

“Eh, iya sudah ya, Kakak kakak. Aku ditunggu temen-temen tuh, mau beli jajan buat cemilan bikin tugas bareng. Maaf jadi ganggu kalian.” Nada pun pemit buru-buru hendak masuk ke Indom@ret karena dikejar waktu. “Senang ketemu kalian, kapan-kapan kita ngobrol lagi.”

“Oke. Sampai kapan-kapan, Nada.”

“Dah Nada.”

Nada melambaikan tangan, tersenyum hangat, dan melangkah masuk ke dalam.

Saat Nada masuk, Ara dan Simon saling berpandangan, tersenyum menahan geli, dan melangkah ke arah motor yang diparkir. Keduanya berjalan beriringan. Simon melirik ke arah Ara dan berdehem.

“Tidak digandeng lagi?” goda Simon.

“Lihat boleh. Pegang jangan.”

“Kan tadi udah pegang?”

“Tadi sedang latihan akting. Siapa tahu ada PH lewat cari talent.”

Simon tertawa. “Akting ya? Makasih aktingnya. Bikin jantung jadi dagdigdug.”

Ara memukul pelan pundak Simon, “jangan jadi kebiasaan. Nanti jadi penyakit.”

“Andai saja yang tadi bukan akting.”

Ara mendengus sembari memasang helm, “Sudahlah. Jangan bikin yang sudah runyam jadi tambah runyam. Jangan mencari kapal yang sudah tertambat, cari kapal yang masih berlabuh saja.”

Simon kembali tertawa.

Apakah... tidak ada kesempatan?

Ia naik ke motornya dan menyalakan starter tangan.









.::..::..::..::.







Motor Deka meraung lembut.

Bengkel Amar sudah tenang saat ini, motor berlalu lalang di jalan depan bengkel tanpa halangan lagi. Di beberapa bagian memang masih ada bekas tawur tadi pagi, tapi tidak terlampau menyolok karena sudah rapi dan dibersihkan anggota Dinasti Baru. Tidak akan ada yang menduga kalau pagi tadi tempat ini menjadi ajang tarung antar tiga kelompok sekaligus. Polisi yang datang juga hanya sekedar datang, tidak melakukan penyisiran karena sekedar formalitas sekaligus nampang.

Deka sudah mengenakan helm dan memanaskan motornya, Dinda sedang mengenakan helm dan bersiap membonceng Deka. Mereka berada di tepian trotoar di depan bengkel Amar, bersiap kembali ke kota sebelah.

Amar mengantarkan keduanya sebelum pergi.

“Jaga dia baik-baik, Kun. Antarkan sampai rumah.” pesan Amar Barok pada Deka.

“Pasti, paling kami mampir makan siang saja.”

Amar mengangguk.

Di belakang Deka, Dinda menatap wajah Amar tanpa berkedip. Ada jutaan kata yang belum sempat ia sampaikan pada Amar, ada jutaan kalimat yang tak sempat ia utarakan. Tapi pandangan mata keduanya sudah berbicara bagai ucapan dari dalam hati masing-masing. Dinda menundukkan wajah, menyembunyikannya dalam bayangan.

“Maaf aku masih belum bisa memutuskan,” kata Dinda lirih. Untuk mengucapkan kalimat itu dia harus mengumpulkan banyak keberanian. Ia tak dapat menatap mata Amar saat mengatakannya. “Tadinya aku pikir aku sudah dapat menentukan siapa yang akan aku pilih, tapi melihat kalian berdua – aku tidak bisa... aku butuh waktu.”

“Tidak apa-apa. Pikirkan nanti saja soal itu, sekarang yang penting kalian berdua selamat sampai tujuan. Kita sudah melalui pengalaman pagi yang buruk, jadi sekarang saatnya menenangkan diri. Lain kali jangan lagi melakukan hal mendadak seperti ini. Aku tahu apa yang harus aku lakukan demi menghormati waktumu. Aku akan membekukan semua pembicaraan tentang rencana pernikahan dengan EO, pihak ketiga, dan keluarga sampai kamu memperoleh kepastian dan mengambil keputusan. Kalau memang pernikahan kita tidak jadi dilanjutkan, tidak akan jadi masalah. Sampaikan saja padaku,” ujar Amar.

Dinda hanya menunduk, tak kuasa menjawab.

“Kami pergi dulu, Mas.” Deka sudah bersiap.

“Permisi, Mas.” Dinda di belakangnya.

“Ya. Hati-hati.”

Motor Deka melaju pelan meninggalkan bengkel Amar. Sebelum benar-benar menghilang dari pandangan, Dinda sempat melirik ke arah Amar dan pria gagah itu ternyata juga sedang mengamatinya. Sama-sama saling menatap, banyak kata tak terucap tapi kini sudah harus berpisah. Keduanya saling bertukar pandangan.

Akhirnya Deka dan Dinda meninggalkan Amar.

Amar menghela napas panjang, menekuk kepalanya yang pegal dan sedikit memijat bahunya. Pagi yang kisruh. Terlalu kisruh malah. Mulai dari masalah pribadi sampai masalah kelompok menderanya tanpa jeda dan bertubi-tubi. Pertanda apakah ini?

Pertanda kerjaan belum beres yang pasti.

Amar melirik ke arah beberapa motor berjajar di dalam bengkel yang masih harus ia kerjakan, ia mendengus dan tersenyum. Setidaknya hari ini semua berjalan lancar, masalah Dinda dengan Deka bisa ditunda, RKZ berhasil diusir, dan kesalahpahaman antara Dinasti Baru dan Lima Jari diselesaikan sementara. Setidaknya tidak ada korban yang jatuh dari pihak mereka.

Jadi hari ini seharusnya baik-baik saja.

Seharusnya.

Saat itu ada bayangan berkelebat di belakang tubuhnya.

Suara serak lantas menyapanya tiba-tiba, “Amar Barok. Kamu memang mengagumkan. Pagi yang kisruh ternyata bisa diselesaikan dengan baik-baik saja. Aku sungguh-sungguh kagum, kamu memang patut diacungi jempol.”

Amar menghela napas sangat panjang. Baru saja hendak santai dan bekerja, sudah ada gangguan dari orang busuk ini. Tanpa menengok ke belakang pun, Amar sudah tahu siapa sang pengganggu bersuara serak. Pria gagah itu tetap berjalan masuk ke bengkel, menarik handuk kecil dari meja, dan membersihkan badannya yang berkeringat. Ia membungkuk untuk memeriksa blok mesin motor CB 100 yang ada di dekatnya, ia lalu mengetuk dan memeriksa beberapa bagiannya.

Orang yang mengganggunya? Tidak perlu menengok ke belakang untuk mengenalinya. Tapi kehadirannya tetap saja bikin risih. Amar berdehem dan bertanya, “Arep ngopo, Pak? Apa maumu? Kalau cuma mau mengganggu cari lain waktu saja, aku sedang sibuk.”

Sosok yang datang mengganggu adalah sang pengantar surat dari JXG, Sunu Sudarwaji.

Sang Tukang Pos duduk di dingklik – kursi kayu kecil di depan bengkel Amar. Sambil menyandarkan kepala di tembok, pria berumur itu menikmati lalu-lalang motor yang tak berhenti. Tempat ini memang sering hanya dilalui, jarang disinggahi.

Ora sah ngegas. Jangan emosi begitulah. Hehehe, aku ke sini hanya sekedar mampir saja. Tujuan utamanya mau mengantarkan surat undangan pernikahan anaknya Pak Zein ke Om BMW. Masa yang begini dianggap mengganggu?”

“Sudah datang dari tadi, kenapa tidak diserahkan langsung?”

“Supaya aku bisa ngobrol sama kamu.”

Amar mendengus, “aku banyak kerjaan. Taruh saja surat undangannya di meja dan segera pergi dari sini. Sudah cukup pagi ini aku diganggu urusan yang aneh-aneh. Tidak perlu diganggu urusan lain. Kepalaku baru puyeng.”

“Biar aku tebak, masalah cewek ya? Oalah, rok... Barok. Ga nyangka kamu akan takluk di hadapan wanita juga pada akhirnya.” Pak Pos meletakkan surat undangan di meja dan balik lagi ke depan untuk duduk di dingklik.

“Apa tidak ada urusan yang lebih penting pagi ini daripada ngrecokin orang? Apa surat yang diantar sudah habis?”

Pak Pos tertawa terkekeh, “Mana ada anak sekarang kirim surat, adanya kirim email. Surat yang paling sering dikirim cuma tinggal surat lamaran kerja. Tugas seorang tukang pos jadi banyak berkurang, gaji sedikit, nasib ga jelas, masa depan embuh. Mungkin aku harus belajar buka bengkel sama kamu.”

Amar mendengus. “Ya sudah bikin saja.”

Pak Pos tidak menjawab. Ia memejamkan mata dengan bersandar di dinding, menikmati hari yang beranjak siang dengan sejenak beristirahat.

Mereka berdua hening untuk beberapa saat lamanya, saling mengerjakan urusan masing-masing. Amar asyik membenahi motor dan mencari kerusakan yang mungkin terlihat dan lolos dari pengamatannya, sementara Pak Pos memejamkan mata dan beristirahat.

Hampir sepuluh menit kemudian barulah Pak Pos berucap, “Tahukah kamu, ada halaman kosong di rumah depan situ. Tadi aku menonton kejadian di sini dari sana.”

“Terus?”

“Satu lawan satu. Sekarang juga. Test drive.”

“Heleh. Sudah aku bilang aku sibuk.”

“Cewek tadi cantik juga – yang diboncengin adikmu.” Pak Pos tersenyum.

Amar mendengus, mencoba tak terpancing.

Pak Pos terkekeh, “aku tadi mendengarkan percakapan kalian. Gadis itu tinggal di kota sebelah, namanya Dinda dan dia adalah calon mantenmu. Tidak sulit mencari calon istri Amar Barok. Mungkin saja kalau aku ada kesempatan ke sana aku akan berkenalan dengannya dan...”

“Bajingan! Jangan ganggu dia! Apa maumu!?”

Amar mendengus kesal. Ia membuang handuknya ke arah motor. Untuk pertama kalinya sejak mereka berdua saling sapa, Amar menatap tajam ke arah Pak Pos. Mata balas mata. Ancam berbalas ancaman.

Pak Pos tersenyum dingin. “Kamu sudah tahu apa mauku, Barok. Tanah kosong. Satu lawan satu. Dua serangan berbalas dua serangan. Sekarang.”

Amar menggemeretakkan giginya.

Dia bergegas berjalan ke depan, tanpa melirik sedikitpun ke arah Pak Pos yang duduk di samping pintu, Amar menarik rolling door bengkelnya dan menutupnya. Amar lantas berjalan menuju tanah kosong yang dimaksud oleh sang lawan.

“Ayo.”

Pak Pos terkekeh.





.::..::..::..::.





Siang ini cafe The Donut’s Pub tidak ramai.

Tidak ramai mungkin karena weekdays, belum mendekati akhir pekan, dan masih di jajaran tanggal tua. Sebagian besar penduduk kota pasti belum gajian atau belum dikirim transferan. Jadi wajar saja kalau cafe juga sepi.

Berhubung sepi, Nanto dan Lady yang dapat shift pagi berdua duduk-duduk saja sambil ngobrol dengan Kinan yang kebetulan juga datang untuk membawakan makan siang bagi sang kekasih. Kinan sejak tadi menggerutu melihat kekasihnya luka-luka di beberapa bagian tubuh.

Ia membubuhkan bet@dine ke siku lengan Nanto yang luka terseret aspal sedikit.

“Terus-terusin aja begini,” keluh Kinan. “Kamu itu lho, Mas. Hobi kok berantem. Ga bisa apa sehari aja ga cari masalah? Aku harus gimana coba? Apa ya harus terus-terusan khawatir kalau kamu kenapa-kenapa? Kalau ada waktu luang itu istirahat di kontrakan, nonton film, main game, bikin rujak, yang normal-normal aja gitu. Lha ini tiap kali ada waktu kosong malah berantem mulu kerjaannya. Angel wes... angel...”

“Dengerin tuh.” Sahut Lady ikutan mencecar si Bengal, “udah tau pagi kerja malam kuliah, masih aja sembrono. Jaga kesehatan napa sih. Apa ga kasihan sama Kinan yang khawatirin kamu terus? Dasar bungkus terigu.”

“Bener itu, Kak. Dikiranya ga ada yang khawatir kali ya.”

“Nah iya. Jangan kasih kendor – hajar aja kalau kamu sebel, Kinan. Kalau dibiarin terus lama-lama dia ngelunjak. Orang seperti dia ini harus digecek kayak ayam geprek.”

“Woy! Dasar kompor!” Nanto ngamuk

Kinan dan Lady cekikikan.

“Ini apa-apaan ya kalian? Kok malah aku dikeroyok begini.” Nanto tertawa, dengan berani ia merangkul sang kekasih di depan Lady. “Iya Kinan-ku sayang. Kalau memang ga ada yang macem-macem ngajak berantem, aku juga ga bakalan aneh-aneh, kok. Begini-begini aku itu orangnya introvert. Buktinya kalau ada tukang tagih cicilan kredit aku selalu sembunyi, hehehe, introvert banget kan? Aku juga jarang lho ngobrol sama orang yang tidak dikenal.”

“Sekalinya ngobrol maen pukul, kan?” Kinan masih lanjut. “Kalau cowok maen pukul, kalau cewek tanyain nomer hape. Begitu ya?”

“Pepet terus aja, Kinan. Jangan dikasih celah. Semongko, sis.”

“Woy! Lady! Apa-apaan ya!?” Nanto setengah menggerutu setengah tertawa, “jangan dikomporin dong! Kinan ini orangnya manis, baik hati, dan tidak barbar. Ga kayak kamu yang masih satu server sama rombongan chihuahua nyari makan. Berisik banget.”

Kinan tertawa.

“Sembarangan.” Giliran Lady yang mencibir. Gadis bertubuh semlohay itu kembali menikmati hidangan yang ada di depannya. Hidangan itu sesungguhnya makan siang Nanto yang dibawakan dan dibuat oleh Kinan. Tapi karena Lady tidak membawa bekal, Kinan membagi dua bekal untuk sang kekasih dan separuhnya diberikan pada Lady.

“Mana dihabisin pula jatahku.” Nanto mendesah sambil bergelayut manja pada Kinan. “Padahal itu semua kamu yang bikin ya, sayang?”

“Ya... ga semua juga sih...”

“Asli. Kalau sampai dia jahat sama kamu, dia ga berhak dapatin makan siang se-semlidut ini,” ujar Lady sambil mengunyah sosis dan kentang berselimut mayonnaise. “Ini enak banget sumpah. Masa sih Kinan bikin sendiri mayo-nya?”

“Hahaha... ya enggak lah, Kak. Itu mayo sachetan. Percaya aja omongannya Mas Nanto.” Kinan tertawa manis, “enggak asin kan kentangnya? Mestinya nggak aku bikinin fish and chips ya buat makan siang, udah tau kerja di cafe malah maksi-nya dibawain makanan begini. Huhuhu... habis aku bingung mau bikin apa.”

“Ah, enak ini. Sekali-sekali ga apa-apa dibawain beginian. Biar dia ga ndeso-ndeso amat. Kemarin kan udah makanan jawa terus maksinya. Kemarin gado-gado, kemarin lusa nasi lauk ayam goreng sama jangan bening, terus kapan itu sego brongkos.”

Nanto mendengus, “kok jadi malah kamu yang hapal maksi-ku apa aja. itu jangan dihabisin, woy! Itu makan siangku!”

Lady mencibir, “sudahlah. Anggap saja ini bayaran kalian mesra-mesraan di depanku begini. Bikin hati miris, terasa diiris, aku pun menangis, pilu sepi sendiri di tepian gerimis.”

“Hahahaha. Weeeek.” Kinan menjulurkan lidah sambil bergurau.

“Asli, kamu ini memang berbakat Kinan. Mestinya ikut audisi mesescef.” Kembali Lady memuji kekasih Nanto, tentunya sambil terus ngemil.

Mesescef?” Kinan mengerutkan kening sebelum akhirnya paham apa yang dimaksud Lady sambil tertawa lepas, “oalah, MasterChef. Hahaha, gila apa? Ga pantes banget aku masuk ke situ. Kemarin aja pas bikin telur dadar asin banget kata Mas Nanto.”

“Asin itu kode.” Lady dengan sengaja menyenggol Nanto menggunakan siku tangannya, “makanan asin pertanda yang masak kebelet pengen nikah. Begitu konon kata simbah-simbah. Gih buruan dilamar, nunggu apalagi sih? Keburu dipepet orang.”

Gleg.

Nanto meneguk ludah.

Melihat Nanto panas dingin, Kinan pun tertawa, “Hahaha, belum lah, Kak. Belum saatnya ngomong begituan. Masih jauh perjalanan. Doain kami ya, Kak.”

“Amin. Pasti... pasti... kalian pasangan serasi kok. Mirip seperti Cinderella dan kuda penarik kereta.”

“Weeeek. Sirik aja nih, Lady.” Nanto mencibir lagi. “Dasar kotak kanebo.”

“Dasar daster bekas yang dijadiin lap pel.”

“Dasar baterai jam dinding.”

“Kutu kocheng.”

“Timun lembek.”

“Acar pempek.”

Kinan tertawa.

“Eh, kok kamu ikutan ketawa? Mulai bandel ya?” Nanto memeluk dan menggelitik pinggang ramping sang kekasih.

Kinan pun memberontak sambil mendorong-dorong si Bengal, dia paling tidak tahan digelitikin. “Maaaas! Ih geli, Maaaas!!”

Klinting.

Lonceng pintu terdengar. Nanto melepaskan pelukannya pada sang kekasih dengan buru-buru. Lady dan si Bengal lantas sama-sama bersiap. Saat tamu duduk di kursi, Nanto segera menyiapkan menu dan menghampirinya sementara Lady menunggu pesanan di belakang bar.

“Selamat datang di The Donut’s Pub. Apa yang bisa kami...”

Bademdes.

Nanto terbelalak saat menatap sang tamu.

Jika di luar matahari mulai menyengat, maka di dalam ruangan cafe hari ini semilir angin air conditioner yang menyala kencang seharusnya dapat mendinginkan, tapi Nanto tiba-tiba saja saja justru keringetan. Jantungnya berdegup kencang, lidahnya kelu, dan dia bingung mau bilang apa.

Nanto meneguk ludah, keringatnya mengalir deras. Gawat... gawat... gawat. Bagaimana ini? Apa yang harus dia lakukan?

“Ma-maaf, mau pesan apa?” tanya Nanto sambil berusaha sopan sesuai aturan.

“Hati ada?”

“Hati? Ti-tidak ada. Kami tidak jual...”

“Tidak jual hati? Hati yang terluka? Hati yang terluka karena dicurangi oleh pengkhianat cinta yang pingsan ditimbun sarung goni?”

“Lho kok kayak judul sinetron religi? Nganu...”

“Kalo hati yang lara? Sang pengkhianat cinta penyebab hati yang lara akhirnya ditolak bumi dan tubuhnya berasap?”

“Ayolah...”

“Hati yang kau campakkan? Pria pendusta tukang mencampakkan hati kena hukum alam tersedot lumpur hidup-hidup?”

Nanto menghela napas panjang, “Bu Asty.”

“Hati yang kau celupkan dalam bubur sumsum...?”

“Lho? Yang terakhir kok jadi wagu?”

Asty tertawa kecil, ia memiringkan kepala sembari menatap Nanto dengan pandangan manja. “Bisa kita ngobrol?”

Nanto mengangguk. “Bisa. Tapi...”

Asty paham, dia melirik ke arah menu. “Aku pesan Mango Float with Cola, sama cronuts coklat dua. Ga pakai lama.”

Nanto mengangguk. Ia setengah berlari ke arah Lady, memberikan pesanan Asty, dan berlari kecil untuk kembali pada sang mantan guru BK. Kinan melirik dari kejauhan. Siapa wanita cantik itu? Kenapa Mas Nanto sepertinya kenal?

Nanto berdiri di hadapan Asty dengan diam sejuta wicara. Wajahnya nampak merindu, tapi juga takut berbuat salah di hadapan sosok wanita yang ia agung-agungkan. Bagaimana ini? Bagaimana dia harus bersikap? Di depannya Asty, di belakang sana Kinan. Salah bersikap dan semuanya bubar ambyar sakmodare.

“Tenang saja, aku tidak akan marah kok.” Asty menghela napas panjang, “Aku tidak akan marah setelah tahu kamu sudah punya pacar sekarang. Aku tidak marah karena saat masuk ke cafe ini aku melihat kamu dan pacarmu sedang asyik masyuk berduaan di pojokan. Tidak aku tidak marah, aku tidak cemburu.”

Nanto pernah baca entah di mana, kalau cewek bilang dia tidak marah, itu artinya dia sedang marah besar. Kalau bilang dia tidak cemburu, itu artinya harus siap-siap ditombak pakai garpu Aquaman. Si Bengal meneguk ludah. Jadi kalau Asty bilang dia tidak marah, itu artinya dia murka.

“Yang membuat aku kecewa adalah... kamu akhir-akhir menjauh dan tak pernah lagi menghubungi aku. Apakah sejijik itu kamu sama aku sekarang? Setelah merayu dan tidur bersamaku, semudah itu kamu pergi?” bisik Asty sembari menautkan jemari dan menyandarkan siku tangan pada meja. Tatapannya tajam ke arah sang pemuda yang sedang belingsatan tak berdaya. Ibarat main catur, Asty meletakkan Ratu Putih dua kotak di depan Raja Hitam yang sudah tersudut. Ke kanan ada Benteng Putih, ke kiri dihadang Menteri. Kemanapun dia pergi, Raja Hitam siap disantap.

Checkmate.

“Aku...” Si Bengal mati kutu. “Aku tidak bermaksud untuk...”

“Apakah kamu sebenarnya sama saja seperti cowok-cowok brengsek lain yang kabur setelah mencicipi tubuh seorang wanita? Aku pikir kamu lebih baik daripada itu.” tegas Asty mencecar Nanto, membuat pria yang garang di arena itu ternyata lembek di depan wanita. “Kamu mempermainkan perasaanku, sayang.”

“Bisa diberi waktu untuk menjawab? Aku bisa jelaskan.” Nanto mencoba tegas. Ini tidak boleh berlarut-larut panjang kali lebar. Dia hendak duduk di depan Asty, tapi tentunya itu akan memancing kecurigaan Kinan dan Lady. Aduh duh gimana ini.

“Silakan jelaskan. Aku punya banyak waktu hari ini.” Asty tersenyum dan menunjuk ke kursi di hadapannya, memancing Nanto untuk duduk dan bercakap-cakap dengannya. “Aku tidak akan pergi kemana-mana.”

“Pesanannya, Kak.”

Tangan lembut dengan gemulai meletakkan minuman dan dua cronuts yang dipesan.

Eh?

Lho kok Kinan?

Kagetnya Nanto karena yang mengantarkan pesanan Asty bukannya Lady melainkan Kinan! Kok jadi Kinan? Modar wes! Modaaar! Modar!! Kidung Sandhyakala tingkat 88 juga tidak akan bisa melindunginya dari serangan dua cewek cantik ini! Haduuuuh.

Kok jadi Kinan yang nganterin pesanan Asty?

Sesungguhnya sejak tadi Kinan mengawasi Asty dan Nanto dan merasa aneh dengan sikap kedua orang ini. Kenapa kekasihnya jadi kikuk dan canggung di hadapan sang wanita jelita? Apakah mereka kenal? Apakah mereka sebelumnya pernah bertemu? Saudara? Teman? Atau lebih? Karena penasaran, saat makanan dan minuman sudah disiapkan Lady, Kinan-lah yang membawakannya ke depan. Untungnya suasana sepi jadi Lady tidak keberatan. Mudah-mudahan Mbak Linda sang pemilik cafe tidak tahu.

“Saya Kinan.” Kinan tersenyum manis sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman, ada perasaan tidak nyaman pada gadis itu ketika bertatap muka dengan Asty.

“Oh ini ya pacarnya Nanto?”

Kinan mengangguk ramah.

Asty berdiri dan membalas salam dari Kinan, “Aku Asty. Mantannya Nanto.”

“Hah!? Ma-mantan!?” Kinan terbelalak karena kaget.

Gadis manis itu lantas memandang Asty, lalu ke Nanto, lalu ke Asty lagi, lalu ke Nanto, begitu berulang-ulang. Meski cantik dan seksi, tapi Bu Asty ini usianya pasti beberapa tahun di atas Nanto dan dirinya. Cincin kawin indah juga tersemat dijarinya. Yang benar saja! Masa Mas Nanto pernah pacaran dengan...

“Bu Asty!” Nanto juga terkejut.

Ibu muda jelita itu tertawa sambil duduk kembali. Sekali lagi Asty menggunakan tangannya untuk memangku dagu, pandangan matanya tajam ke arah Kinan. “masa iya sih aku pacaran sama dia. Kamu percaya?”

“Ya... ya... ya gimana ya, kan saya juga tidak tahu. Tapi kakak cantik banget sih, jadi ya... saya tidak akan heran kalau kalian berdua pernah... maksud saya, anu... saya tidak akan menyalahkan Mas Nanto kalau... tapi kok...”

“Bu Asty!” Nanto mencoba menengahi dan membenahi suasana. Gawat gawat... wes tenan tobat soto babat campur engine pesawat.

“Aku memang mantan... mantan Guru BK-nya.” Asty mendengus sambil tersenyum ketus pada si Bengal. Takut ketahuan amat sih si Nanto? Asty juga tidak akan membuka skandal mereka berdua di depan umum begini kali. Dia masih punya harga diri dan nama baik yang harus dijaga. “Hahaha, masa iya mantan beneran, Mbak. Aku umurnya sudah tuek. Sudah menikah punya anak satu. Yang seperti Nanto begini cocoknya sama kamu, bukan sama aku.”

“Ooooh... maaf, Kak. Sudah salah sangka. Eh, boleh kan ya panggil Kak saja, soalnya kalo panggil Bu agak kurang nyaman. Kakak cantik banget, kelihatan muda.” Kinan menghela napas dengan lega.

“Tidak apa-apa. Duh kamu memang adem banget, pantesan si Bengal naksir mati-matian sama kamu. Sampai rela meninggalkan Guru BK-nya sendirian.”

Kinan tertawa menganggap kalimat Asty cuma candaan. Untunglah ketakutannya tidak beralasan. Ternyata ibu muda cantik ini hanya Guru BK-nya saja. Eh, tapi kenapa juga sang Guru BK nyariin Mas Nanto? Bukankah itu pertanda kalau mereka sangat dekat?

“Lalu kalau boleh tahu, kedatangan hari ini ada keperluan apa ya, Kak?”

“Aku ada urusan kecil dengan Mas Nanto-mu ini. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, agak penting sih. Boleh pinjam sebentar?”

“Boleh dong, terima kasih ya, Kak.” Kinan mengangguk dengan ceria lalu berbalik ke belakang untuk ngobrol berdua dengan Lady. Sementara Nanto masih berdiri kaku di depan Bu Asty.

“Huuu, jadi cowok kok kayak keripik. Kemarin dulu saja tetiba nge-sun aku pas di ruang BK. Giliran sekarang kebingungan mau jawab apa sama ceweknya.” Ledek Bu Asty, “makanya jadi cowok jangan buaya. Asal ada yang bening dikit langsung gilas. Bingung kan sekarang?”

Nanto menghela napas panjang, ia membuka mulut dan mulai bercakap pelan, supaya Lady dan Kinan tidak mendengar percakapannya. “Ya udah iya. Aku minta maaf tidak bisa menepati janji sebagai kekasih, tapi Bu Asty kan tahu sendiri kita berdua tidak bisa melangkah terlalu jauh. Ada batasan besar dan penghalang di depan mata. Aku hanya bisa menawarkan apa yang aku miliki saat ini pada orang yang bisa aku temui setiap saat tanpa ada penghalang, bukan yang kebingungan mencari jadwal.”

Bu Asty mencibir dan mengangguk-angguk. Ia menggeleng kepala, “bisa aja jawaban ngelesnya dasar pot kaktus.”

Nanto menghela napas lagi, “maaf, Bu. Aku tak bisa menjaga janji.”

“Shh. Sudah. Aku sedang tidak mood membicarakan masalah itu hari ini, melihat kamu sama dia bikin hatiku hancur tau ga sih?” Asty menggeleng kepala, ia berusaha keras meredam emosi. Sesaat kemudian wajahnya menatap Nanto dengan khawatir, “Aku kesini untuk masalah yang lebih serius. Aku butuh bantuanmu.”

“Bantuan?” Nanto akhirnya duduk di depan Asty, belum pernah ia menghadapi Asty yang seperti ini. Wajahnya sangat berbeda dari biasanya.

“Ada orang yang mengancam dan menerorku. Orang ini orang yang sama yang tempo hari hendak memperkosa aku di sekolah, orang yang sama yang membuatku resign dari SMA CB, dan orang yang akhir-akhir ini membuat tidurku tidak tenang. Jadi begini awalnya...” Asty pun melanjutkan runut cerita dari awal masuknya Rey ke SMA CB sampai peristiwa percobaan pemerkosaan yang membuatnya resign. Ia menambahkan juga perihal ancaman-ancaman yang dikirimkan oleh Rey ke hape-nya.

“Siapa namanya?” tanya Nanto.

“Rey. Reynaldi. Reynaldi yang brengsek, bukan Tukul.”

“Penampilannya?”

“Ganteng, badan six pack, tinggi, gagah.” Asty menghela napas lagi, “tapi hatinya busuk. Dia punya sederet hobi menjijikkan termasuk memperkosa dan mempermainkan wanita. Yang aku tahu, salah satu rekan guru di SMA CB sudah ada yang jatuh dalam pelukannya. Gilanya lagi, dia tidak peduli apakah wanita incarannya itu sudah menikah atau belum. Dia akan meniduri, mempermalukan, dan entah apa lagi yang akan dia lakukan untuk menghancurkan hidup wanita yang dia incar. Dia lebih parah daripada kamu.”

Nanto menahan geram mendengar cerita Bu Asty. Laki-laki yang ia ceritakan sepertinya merupakan sosok durjana pemetik bunga yang patut dihajar. Dia memang mulai menjauh dari Asty sejak kehadiran Kinan dan adanya penolakan dari gerbang kewaspadaan yang entah kenapa selalu aktif saat ia berada di sekitar Asty, tapi kabar bahwa ada orang yang mengancam keselamatan wanita yang sangat berarti di hatinya ini membuat Nanto bergejolak. Si Bengal menggemeretakkan gigi, “di mana aku bisa menemukannya?”

“Aku tidak tahu rumahnya – tapi bisa aku tanyakan ke HRD SMA CB, mudah-mudahan mereka bisa kasih info di mana rumah si Reynaldi ini. Masalahnya adalah dia punya backing di kantor polisi dan sering lolos dari jeratan hukum. Dia ulet dan licin sekali. Tak tersentuh, licik, dan punya banyak akal.”

Nanto mengangguk, “jangan khawatir. Aku pasti akan mendapatkan orang ini.”

Saat serius begini, wajah si Bengal jadi terlihat lebih ganteng dari biasanya. Wajah Asty pun memerah saat ia terlalu lama memandang wajah Nanto. Bu Asty berdehem dan melanjutkan, “A ku tahu. Hanya kamu yang bisa menolongku.”

“Aku pernah berjanji kalau aku tak akan membiarkan seorang pun menyakitimu. Itu masih berlaku. Kalau ada apa-apa hubungi aku secepatnya, termasuk kalau dia mulai mengancam lagi, aku akan membereskannya.” kata Nanto. “Jangan khawatir. Aku akan tetap selalu ada di sisi Ibu.”

“Ibu...” Asty tersenyum kecut, “kenapa kamu tidak lagi memanggilku dengan sebutan sayang?”

“Karena...” Nanto melirik ke arah Kinan yang sedang bercerita dan bercanda dengan Lady. “Karena aku sudah bersama yang lain. Aku minta maaf kalau kenyataan pahit ini harus kita hadapi lebih cepat dari yang aku perkirakan, tapi aku sudah mengambil keputusan untuk membahagiakan Kinan. Dia masa depanku.”

“Aku tahu. Aku juga bahagia dengan suamiku... sampai kemudian kamu datang kembali ke kota ini dan membuat aku jatuh cinta denganmu.” Tangan kanan Asty meremas tangan kiri Nanto di atas meja, untung saja adegan ini terhalang oleh papan menu yang berdiri tegak sehingga tidak terlihat oleh Kinan dari kejauhan. “sampai sekarang pun aku masih menyayangimu, anak bandel. Jadi kamu mau bilang apapun percuma, karena aku akan terus sayang sama kamu. Apakah ada masalah dengan itu?”

“Bu...”

“Jangan panggil, Bu. Aneh rasanya.” Asty menatap tajam mata Nanto, “coba katakan dengan jujur padaku. Bilang di depanku kalau kamu tidak rindu padaku. Aku menahan jutaan rasa ingin memelukmu siang ini, jadi setidaknya aku berhak mendapatkan jawaban kenapa kamu tak lagi menghubungiku.”

“Aku...” Nanto melirik ke arah Kinan sebentar, tangannya masih dipegang erat oleh Asty. Nanto menundukkan kepala, mencoba melawan hasratnya yang menggelegak kuat saat menatap wanita pujaannya. “...aku tidak rindu padamu.”

“Bener tidak rindu?”

Nanto melirik ke arah Kinan lagi.

Dia masih merindukan Asty. Tapi tahu kalau jawaban yang tepat untuk Asty adalah tidak - karena kini dia sudah bersama Kinan. Nanto meyakinkan dirinya sendiri untuk menjawab meski rasanya sulit mengucapkan. “Aku tidak...”

Kalimat Nanto terhenti saat melihat mata Asty berkaca-kaca, siap untuk melelehkan air mata.

“Bu...”

Nanto hendak maju untuk menghapus air mata yang menetes, tapi dia takut Kinan akan melihatnya. Akhirnya si Bengal menarik tissue dari dalam kotak di samping mereka dan memberikannya pada Asty.

“Terima kasih.” Asty tersenyum, menerima tissue itu, dan menggeleng, “ternyata aku belum siap mendengarnya.”

Nanto ikut tersenyum, ia mengelus lembut punggung tangan Asty.

“Boleh aku mendengarkan jawaban itu lain kali saja? Sampai suatu saat nanti aku siap.”

Nanto kembali mengangguk.

Si Bengal mencoba mengalihkan perhatian Asty dengan hal yang lebih serius, “Saat ini yang paling penting adalah keselamatan dari ancaman. Aku tidak ingin si brengsek itu datang dan meneror lagi. Jadi pastikan kalau dia datang, aku tahu bagaimana dan di mana dia berada. Aku akan selalu menjagamu, aku janji.”

Asty memandang dalam-dalam bola mata si Bengal.

“Aku tahu. Itu sebabnya aku sayang sama kamu. Kamu selalu ada saat aku benar-benar membutuhkan, entah itu karena kamu benar-benar hadir atau hanya bayanganmu saja yang ada.” Asty berbisik pelan, “Jadi aku juga mau bilang, kalau kamu butuh seseorang... aku juga akan selalu hadir untuk kamu. Kapanpun itu, bilang saja. Aku akan datang demi kamu.”

SI Bengal menunduk.

“Aku...”

“Omong-omong cronut di sini enak juga. Bisa jadi langganan nih.”

Si Bengal tersenyum lebar dan mengangkat kepalanya. Di depannya, kini Asty sudah tersenyum cerah. Seperti mentari yang kembali bersinar di balik awan kala hujan telah reda. Perasaan yang kalut dipaksa minggir meski sejenak untuk memberikan senyawa rasa bahagia yang meski sekilas tapi ada.

“Silakan datang kemari setiap waktu. Aku akan selalu menunggu.” Nanto tersenyum.

Asty mengangguk, “pasti. Hanya ke tempat ini sepertinya aku bisa mengobati rindu.”

“Aku tadi bohong.”

“Tentang?”

“Tak lagi rindu.”

“Aku tahu.” Asty mengangguk, “aku juga tahu apa yang bisa dan tidak bisa. Yang penting aku tahu kamu baik-baik saja, dan aku tahu di mana aku bisa menemuimu.”

“Maafkan aku.”

“Tidak apa-apa. Kamu sudah melakukan apa yang seharusnya, kok. Kamu benar juga tadi. Sebaiknya kita hadapi dulu saja apa yang ada di depan kita. Masalah si brengsek Reynaldi.”

Nanto mengangguk.

Asty menghela napas panjang, “boleh aku minta satu permintaan?”

“Pasti. Apa itu?”

“Nambah cronuts-nya satu lagi.”

Nanto tertawa.









.::..::..::..::.





Tanah kosong di dekat Jalan Manggar.

Pagi tadi ada serangan kecil di sini. Pertarungan singkat antara Pak Pos dari JXG dan Jun dari QZK. Tapi itu tadi pagi, siang ini Amar Barok dari Dinasti Baru berhadapan dengan Pak Pos di lokasi yang sama. Dua laki-laki yang berada di posisi seimbang dan diandalkan oleh kelompok masing-masing.

“Matahari mulai tinggi, siang ini pasti panas. Sebaiknya kita mulai sa...”

Roaaaaaaaaaaaaaaaaaar!

Bledaaaam! Bledddaaaaaaam! Bledaaaaaam!


Amar Barok tidak lagi bisa menahan kesabarannya. Sejak pagi dia sudah disudutkan oleh Deka, setelah itu diombang-ambingkan oleh RKZ yang hendak merekrutnya, lalu setengah mati berusaha menahan bos-nya yang sudah hendak menghancurkan Lima Jari. Semua masalah membuatnya pusing, tapi ia berusaha sebaik mungkin menyelesaikannya.

Tapi saat ini Pak Pos menantangnya dan dia tidak ingin bersabar lagi. Bajingan dari JXG ini perlu dihajar dan dia tidak ingin menahan kekuatannya.

Pak Pos yang terkejut karena serangan mendadak dari Amar mundur tiga langkah ke belakang, duduk bertongkat lutut sembari menyilangkan tangan di depan wajah. Ia memejamkan mata dan berusaha sekuat tenaga menahan serangan dari Raungan Singa Emas yang tidak main-main. Serangan ini bagai hendak menerbangkan tubuhnya ke udara karena kuat menghentak.

“Hrrrghhh!” Pak Pos menggemeretakkan gigi karena berusaha sekuat mungkin menahan gelombang serangan kencang yang tiba-tiba menderanya. Bagai berada di tengah mata angin tornado! Semakin lama semakin kencang ia terdesak!

Saat ia benar-benar sudah kewalahan, satu kakinya terangkat.

Gawat.

Dia bisa tersambar dan terlempar ke belakang kalau tidak mampu bertahan!

Pak Pos mencengkeram tanah dan mengerahkan Ki untuk menahan tubuhnya agar tidak terlempar. Kalau sampai ia terlempar hanya dari serangan ini saja, maka nama JXG akan tercoreng karena ulahnya. Agak menyesal juga kenapa tadi dia menantang sang pria gagah yang berhasil membuatnya kalangkabut hanya dengan satu serangan saja. Bajingan memang si Amar.

“Gyaaaaaaaaaaaaaaaagkkkhhh!”

Cengkraman Pak Pos pada tanah kian lama kian tergerus. Tidak mengherankan karena permukaan tanah jelas bukan beton kuat atau baja besi yang mampu menahan serbuan serangan angin kencang yang bagaikan badai.

Pak Pos menggeleng kepala. Sial. Dia sejatinya tidak mau menurunkan Angin Sakti dalam sekali duduk, tapi mau tidak mau dia harus mengerahkannya di awal. Amar sudah memaksanya mengeluarkan jurus andalan hanya dalam serangan pertama.

Baiklah.

Pria setengah baya itu memejamkan mata, merapal jurusnya, dan melepaskan cengkramannya pada tanah. Tubuhnya segera terbang ke belakang terbawa angin kencang, terhenyak, dan seharusnya terlempar ke arah tembok di belakang.

Seharusnya.

Pak Pos mengerahkan jurus andalannya, Inti Angin Sakti. Alih-alih terlempar dan menghentak tembok, dia membiarkan tubuhnya mengendarai angin, bagai bulu yang diterbangkan mengikuti arah sang bayu. Kesana kemari tanpa arah tapi tak dihentak dengan parah, saat serangan mereda, Pak Pos turun dengan ringan menjejak tanah.

Serangan Amar gagal.

Pria gagah itu tersenyum sinis melihat Pak Pos, demikian juga sebaliknya.

Raungan Singa Emas tak pernah mengecewakan. Tapi tak akan memberi efek mujarab pada pengendara angin pengguna Inti Angin Sakti, kamu membuang kesempatan pertama.” ucap Pak Pos sembari menggosok hidung. “Giliranku.”

Pak Pos melompat tinggi ke udara, hanya dengan sekali loncat ia memangkas jarak empat meter ke depan untuk berada di atas Amar. Ia menarik tangan kanan ke samping hingga sejajar kepala. Lalu melecutkannya dengan kencang ke bawah.

Amar mendengus, dia tahu pukulan ini. Pukulan Gada Angin, salah satu jurus pukulan luar andalan dari Inti Angin Sakti. Amar menyilangkan tangan dan bersiap dengan Perisai Genta Emas.

Booooooom!

Gelombang pertemuan antara pukulan Pak Pos dengan pertahanan Amar menghentak arena hingga debu-debu bertebaran. Pak Pos terbang kembali ke belakang dengan perlahan. Ia mendarat ringan di tanah bak sehelai bulu yang ringan.

Amar masih berdiri kokoh tanpa cela.

Pak Pos geleng kepala, kekuatan pertahanan Perisai Genta Emas memang sudah jadi legenda. Sulit sekali menembusnya kecuali punya jurus yang teramat mumpuni dan lebih tinggi levelnya dari level Perisai Genta Emas yang dikuasai lawan, atau mengetahui titik kematian sang penguasa Perisai Genta Emas.

Cara yang kedua mustahil ia lakukan. Harus pakai cara yang pertama.

Meski baru saja menyerang, Pak Pos sudah berinisiatif mengambil kesempatan berikutnya untuk melancarkan serangan kedua. Dia mengangkat tangannya, menekuk semua jari ke dalam kecuali jari tengah dan jari telunjuk. Dengan kedua jari yang berdiri sejajar, Pak Pos seperti menulis di udara, membuat aksara jawa. Tulisan ba dan yu.

Amar mendengus, dia juga tahu jurus ini. Dia pernah menghadapinya dulu. Ki milik Amar memancar lebih kuat. ia meningkatkan level Perisai Genta Emas dari tujuh ke delapan. Jurus ini cukup unik dan ajaib. Sekuat apa Pak Pos sekarang?

Pak Pos mulai menggerakkan tangannya dan bersamaan dengan itu, ia berhasil mengangkat beberapa batu berukuran sekepalan tangan bersamaan. Ia mengangkatnya ibarat mempunyai tenaga telekinesis - tapi sesungguhnya sedang menyalurkan Ki ke bebatuan dengan jurus anginnya. Ilmu kanuragan Inti Angin Sakti memang membutuhkan Ki yang sangat mumpuni sehingga tidak diturun-temurunkan secara asal.

Saat menggerakkan jemarinya ke depan, bebatuan itu terbang dengan kecepatan tinggi ke arah Amar Barok! Beruntung dia sudah meningkatkan level Perisai Genta Emas-nya. Bebatuan itu terhantam ke dinding tubuh kuat laksana perisai tak kasat mata yang digeber oleh Amar.

Pak Pos mundur selangkah saat serangan keduanya gagal. Dia tahu Amar pasti akan menyerang dengan tiba-tiba. Benar saja, begitu bebatuan penyerangnya ambyar, Amar dengan sekali lompat sudah berada di hadapan Pak Pos!

Tangan kanan Amar berhenti dengan gerakan seperti akan mencengkeram jakun sang lawan, tepat hanya beberapa sentimeter sebelum mencapai sasaran. Pak Pos tahu jika Amar melanjutkan serangannya, maka dia bisa merobek jakun itu dengan kekuatan jurus mautnya Cakar Singa Emas. Tapi Amar sengaja menghentikan serangan itu dengan tangan kiri menahan tangan kanan Pak Pos yang juga sudah bersiap mencengkeram bagian selangkangan Amar.

Dengan kecepatan dan kecermatan yang sama, keduanya bisa saling menghancurkan dalam sekejap mata. Sama-sama setanding. Saling pandang, saling hadang, salin kuat menghadapi lawan.

Pak Pos dan Amar sama-sama terengah-engah. Keduanya mengeluarkan tenaga, kecepatan, dan seluruh daya upaya pada serangan terakhir mereka.

“Inti Angin Sakti memang luar biasa.” bisik Amar sambil menatap tajam ke arah sang lawan.

“Bagaimana kalau kita anggap hasil hari ini imbang?” Pak Pos tersenyum.

Amar menarik tangannya dan mundur.

Begitu juga dengan Pak Pos.

Amar mendengus. “Jangan ganggu aku lagi. Sedang banyak kerjaan.”

Pria gagah itu berbalik arah dan meninggalkan Pak Pos yang bersidekap. Amar melangkah gagah menyeberang jalan untuk kembali ke bengkelnya. Pak Pos geleng-geleng kepala. Sungguh kekuatan pertahanan yang luar biasa yang dipamerkan oleh Amar Barok. Pada pertemuan selanjutnya, dia pasti bisa menembus Perisai Genta Emas!

Pasti!

Pak Pos mendengus sengit.





.::..::..::..::.





Malam yang larut menggelayut tidak membuat hari lantas tertutup kabut. Saat sekian juta manusia menaikkan selimut, sesosok pria duduk tenang di sebuah sudut, memainkan rokok di bibir tanpa resah tanpa kalut. Pria itu mengenakan pakaian hitam yang lusuh dan dekil, dengan wajah sangar mirip buto cakil, sosoknya sekilas lihat mirip percampuran antara Candil, Kiwil, dan kuda nil. Susah dijelaskan karena ganjil, apalagi bertatapan mata langsung dari depan akan membuat badan menggigil.

Tokoh ganjil itu bernama Ki Demang Undur-undur, sosok yang bagaikan mayat bangkit dari kubur. Jenggot dan rambut tak beraturan jarang dicukur, penasaran tidak penasaran jangan pernah menanyakan umur. Wajahnya putih pucat bak tertumpah kapur, dengan bingkai mata hitam terkombinasi ala kotak catur. Kalaupun ditelusur secara kabar kabur, ternyata namanya telah mahsyur sebagai dukun ngawur.

Ki Demang Undur-undur adalah salah satu tokoh dunia hitam yang aneh dan diselimuti banyak misteri. Tidak banyak yang tahu asal muasal dia dipanggil undur-undur, sebagian besar karena tidak berani bertanya, sebagian lagi tidak peduli. Ada spekulasi yang mengatakan kalau nama itu muncul karena dia suka menyuguhkan satu toples peyek undur-undur.

Ki Demang tinggal di kawasan pantai selatan, di sebuah rumah mungil di samping makam yang konon angker dengan nisan batu raksasa bertatahkan nama dalam aksara jawa. Konon di bawah nisan itu dimakamkan sosok sakti yang pernah menjadi legenda pada suatu ketika di sebuah masa.

Ki Demang Undur-undur atau biasa dipanggil Ki Demang sebenarnya tidak tergabung dalam kelompok manapun. Dia dihormati oleh orang-orang di kota dan kawasan pantai selatan sebagai salah seorang tetua dunia hitam dan orang pinter. Tetapi kepinterannya banyak yang menyangsikan karena penampilannya yang kurang meyakinkan.

Selalu berpakaian hitam-hitam, kemana-mana membawa tongkat berpahatkan kepala ular di ujung atas di bagian pegangan, blangkon warna gelap yang tak pernah meninggalkan kepala, kumis lebat tak beraturan, rokok yang silih berganti mengisi mulut – satu habis langsung hisap yang berikutnya, dan alis tebal yang menyatu tepat di pertengahan dahi.

Ganjil adalah padanan kata yang tepat menggambarkan sosoknya, Ki Demang adalah sosok manusia yang ganjil dan menyeramkan. Sosok inilah yang malam ini ditemui oleh Reynaldi.

“Maaf mengganggu hari ini, Guru. Saya butuh petunjuk.” Rey menjura dan duduk bersila di depan Ki Demang. Asap rokok yang tidak benar-benar meninggalkan ruangan membuat suasana menjadi sesak. sekali dua kali Rey terbatuk. Sebenarnya ruangan itu sangat terbuka, namun entah kenapa angin membawa asap berulangkali menemui Reynaldi – pria itu batuk berulang.

Menyadari Rey batuk, Ki Demang mengayunkan tangan, menyuruh Rey membuka pintu, agar asap lebih cepat keluar. Rey mengangguk dan membuka pintu seperti diminta. Dinginnya angin malam membuatnya sedikit menggigil.

Ruangan tempat Ki Demang berada bukanlah ruangan yang seperti dibayangkan ruangan dukun pada umumnya. Ruangan ini sejatinya hanyalah pawon yang dialih fungsi sebagai ruang menemui tamu. Sebuah tungku kayu tengah menyala memanaskan panci berisi sayur lodeh, sementara di piring sudah tersedia nasi, paha ayam goreng dan tempe bacem.

Wes mangan?” suara serak Ki Demang membuat Rey segan.

“Sudah, Guru. Saya sudah makan.”

Mangan opo? Rasah ngapusi. Ayo mangan meneh.”

“Saya tidak bohong, Guru. Sebelum berangkat ke sini tadi saya sudah makan malam di rumah.” Rey meneguk ludah, “saya benar-benar sudah kenyang sekali ini. Jadi maaf, malam ini tidak bisa membantu guru menghabiskan makanan.”

“Hmm... yo wes.”

“Siap, Guru.”

Menyadari Ki Demang hendak makan malam, buru-buru Rey menyiapkan makanannya, ia mengambil sendok sayur dan mengambil sayur lodeh untuk kemudian dituangkan di piring nasi Ki Demang. Perlakuan istimewa Rey pada gurunya ini lebih ke rasa hormat, bukan karena Ki Demang membutuhkan dirinya dilayani.

Ki Demang mengangguk-angguk, mengapresiasi niatan sang murid.

Piring makanan disajikan di depan Ki Demang, berikut teh yang nasgitel – panas, legi, tur kentel. Nyamleng. Dukun kok minumnya teh? Kenapa bukan kopi? Jadi kurang serem dong. Nah, akhir-akhir Ki Demang menghindari kopi karena lehernya sering kenceng gara-gara tensi tinggi. Sewaktu bertandang ke puskesmas disarankan oleh dokter untuk minum obat selama sisa hidup. Kan tidak lucu kalau dukun malah langganan obat puskesmas, jadi mending menghindari kopi dan iwak wedhus, lalu membiasakan diri makan belimbing, timun, dan semongko. Tarik sis.

Ono opo kowe gage-gage maring nggonaku?” tanya Ki Demang sambil mengunyah paha ayam. Dia menanyakan kenapa Rey datang dengan tergopoh-gopoh ke tempatnya. Orang seperti Rey pasti ada maunya.

“Nganu, Guru... saya penasaran dengan jurus yang sudah guru ajarkan. Saya sudah menghapalkan teori dan gerakan luarnya. Tapi ada bagian yang saya masih belum paham. Kira-kira, bagaimana saya bisa menyempurnakan jurusnya?”

Jurus seng endi?” Ngomong sambil makan membuat Ki Demang keseleg, ia pun mencoba meminum teh, tapi langsung mangap-mangap karena keslomot. Dia mengumpat karena Rey mengambilkan tehnya pakai jarang panas, bukan dicampur dengan air dingin sedikit. Murid damput.

“Saya penasaran dengan jurus Cakar Tangan Hitam, Guru.”

Ki Demang melotot.

Rey agak mundur sedikit. Ngeri asli kalau bertatapan mata dengan Ki Demang yang melotot dan urat-uratnya keluar semua, mirip Limbad lagi narik tank pakai gigi.

Cakar Tangan Hitam!!” saat mengucapkan kalimat itu, rangkaian nasi putih melayang dari mulut Ki Demang dan menyebar kemana-mana.

Rey sedikit menjauh karena jijay. “Iya, Guru. Cakar Tangan Hitam.

“Apa iya itu jurusku?”

“Lho lha iya. Kan Guru yang ngajarin.”

“Wo ya ya...” Ki Demang manggut-manggut sambil mengunyah paha ayam lagi. “Aku punya banyak jurus, jadi kadang-kadang lupa sendiri.”

“Dulu katanya ini yang paling ampuh, Guru?”

“Iya, jurusku yang ampuh ada banyak. Jadi tidak hapal yang mana saja, namanya juga orang sakti mandraguna. Begini-begini aku pernah pulang ke masa lampau untuk membantu Bandung Bandawasa membangun candi ke 54 dan 78. Percoyo karepmu, ora karepmu. Hahahaha.”

“Tapi dulu katanya jurus ini yang paling sakti yang pernah Guru kuasai.”

Wes to rasah crigis! Aku tak mangan sek!

“I-iya, Guru. Silakan.” Rey menahan diri untuk tidak mengganggu sang Guru.

Suara binatang malam terdengar hingga ke ujung malam. Rey sudah terbiasa menginap di tempat ini, berdua saja mengobrol dengan Ki Demang, atau ikut dengannya bersemedi di tepian karang pantai selatan. Jurus demi jurus diajarkan pada Reynaldi – dan meski tidak meyakinkan, tapi jurus-jurus itu benar-benar membuatnya mampu meningkatkan Ki tanpa harus serepot saat menggunakan jurus yang diajarkan oleh aliran putih.

Ia yakin sekali, menggabungkan Cakar Tangan Hitam dan Kidung Sandhyakala akan membuatnya sakti mandraguna tanpa tanding di muka bumi. Dia bisa membantu kakaknya mengalahkan JXG, Dinasti Baru, dan PSG – serta mengancam gadis-gadis untuk membuka paha menerima sodokannya. Rey tersenyum sadis dengan semua rencana di otaknya.

“Jangan senyum-senyum begitu. Awas di sini banyak yang suka nyamber.” Ki Demang mengingatkan.

“I-Iya, Guru.”

“Tapi yang lebih penting, aku juga jadi takut lihatnya. Ketawa-ketawa sendiri nggilani.”

“Iya, Guru.”

“Aku sudah ingat sekarang – Cakar Tangan Hitam. Jurus yang mengerikan. Untuk dapat menguasainya kamu butuh tumbal. Butuh korban. Jurus ini haus darah, kalau memang tidak kuat jangan dijalankan. Kalau memang tidak sanggup lebih baik ditinggalkan. Ini bukan sekedar ucapan ngalor ngidul ngulon ngetan.” ucap Ki Demang dengan wajah serius, meski tetap sambil makan, “Kenapa aku bilang bukan hanya sekedar ucapan waswisweswos welgeduwelbleh? Karena jurus ini akan berbalik memangsamu jika kamu tidak memberinya tumbal. Ada kontrak yang harus kamu lakukan dengan dunia sebelah untuk menguasainya.”

“Siap, Guru. Apapun akan saya jalani.”

Ki Demang berdehem, menarik napas panjang melalui hidung, dan menghelanya melalui mulut. Pria ganjil itu lalu mengayunkan tangannya dengan anggun ke arah depan.

Rey mengangguk dan mengikuti gerakannya. Ia menarik tangan ke dada, menghirup udara dengan hidung, dan menghembuskannya melalui mulut. Sekali, dua kali, tiga kali, lalu ia pun mengayunkan tangannya ke depan dengan gerakan anggun dan lembut menirukan gerakan sang guru.

“Kamu ngapain?” tanya Ki Demang.

“Mengikuti gerakan yang baru saja Guru ajarkan.”

“Ajaran apa? Aku barusan minta tolong diambilkan piring isi tempe bacem di meja. Bukan ngajarin apa-apa. itu yang di sana itu.” Ki Demang kembali mengayunkan tangannya ke depan dengan anggun.

Rey melongo.

Tiwas sudah serius ternyata cuma suruh ngambilin lauk. Ia pun buru-buru berdiri untuk mengambilkan makanan yang sudah diminta oleh sang guru. Saat meletakkan piring di depan Ki Demang, tangan laki-laki tua itu mencengkeram lengan Rey erat.

“Apa lagi, Guru? Apa perlu saya ambilkan piring ayamnya juga?”

“Tanganmu. Kenapa tanganmu hitam begitu?” Ki Demang menatap Rey tajam. Matanya membulat besar, “apakah... apakah kamu sudah berlatih Cakar Tangan Hitam?”

“Sudah. Kan Guru yang ngajarin.”

“Dengan siapa kamu membuat kontrak?”

“Tidak tahu.”

“Apa maksudmu tidak tahu?”

“Ya tidak tahu, Guru. Tahu-tahu begini saja tangannya.”

Cengkraman tangan Ki Demang makin kencang. Wajahnya sangat serius, keringatnya mengalir deras, dan napasnya terengah-engah, berbeda dengan tadi saat makan paha ayam. “Dengan siapa kamu membuat kontrak maut Cakar Tangan Hitam? Siapa yang datang ke mimpimu? Siapa yang mengajakmu bersalaman di malam kamu belajar jurus ini?”

“Mana saya ingat, Guru. Saya sering lupa mimpi saya sendiri.”

Ki Demang menatap dalam-dalam ke mata Rey.

Dia menatapnya tanpa berkedip.

Ki Demang mendesah kecewa.

“Begitu.” Pria ganjil itu melepas Rey dengan kecewa. Dia berdiri dan mengambil gelas berisi air putih di pojokan meja, dia meminumnya dengan terburu-buru. “Sudah bertahun-tahun aku bermimpi bertemu dengannya, junjunganku yang perkasa, yang pernah memporak-porandakan dunia persilatan. Dia yang namanya tak lagi disebutkan, dia yang dibaringkan di makam di bawah nisan batu!”

“Saya tidak pernah mimpi mengenai kontrak atau apapun. Kalaupun ada, sudah tidak ingat. Jangankan mimpi, kemarin makan apa saja sudah lupa.”

Tenan? Ora ngapusi?

“Sungguh.” Rey mengangguk. Wajahnya menunjukkan kejujuran, dia tidak tahu. “Guru, kedatangan saya kemari untuk menanyakan mengenai kelanjutan kawruh kanuragan Cakar Tangan Hitam. Apakah yang harus saya lakukan demi meningkatkan kemampuan dan menguasai secara sempurna jurus ini?”

Ki Demang mengamati tangan Rey, ia menekuk-nekuk tangan muridnya itu, dan mengangguk. “melihat tanganmu yang sudah menghitam, kamu sudah berada di tingkat 8 dari Cakar Tangan Hitam. Coba kamu perbaiki cengkramanmu dengan mencobanya pada batok kelapa.”

“Jadi sudah bisa langsung dicoba ya Guru?”

“Betul.”

“Bagaimana dengan tumbalnya, Guru? Sepengetahuan saya jurus ini memerlukan tumbal untuk tanda jadi kontrak.”

“Pelan-pelan... kita akan mencari mangsa, tapi pelan-pelan.” Ki Demang terkekeh. “Wes kono! Aku mangan ndhisik!

“Baik, Guru! Terima kasih masukannya!” Rey tersenyum. Dia meletakkan segepok uang ratusan yang masih terikat rapi di depan sang guru. “Saya pamit dulu.”

“Hmm.”

Rey pun keluar dari rumah Ki Demang Undur-undur sambil memasang wajah bahagia. Ia berulang kali melontarkan tangannya ke depan, seakan-akan hendak mencakar udara malam. Pria itu melirik ke arah batu nisan besar di atas makam.

Rey mendekatinya, melirik ke kanan, melirik ke kiri, melirik ke arah rumah, lalu membungkuk. Sang pria tampan itu tersenyum sambil menepuk batu nisan raksasa di atas makam angker. “Seperti yang kita perbincangkan dalam mimpi, saya akan melakukan semua yang njenengan inginkan, Ki Suro. Asalkan mampu menciptakan jurus baru hasil padu-padan Cakar Tangan Hitam dan Kidung Sandhyakala dengan selaras, maka akan kita koyak langit kota.”

Ia menepuk batu nisan itu tiga kali, menarik ingus dalam hidung, dan tersenyum aneh. Tak lama kemudian, Rey berdiri dan berjalan ringan ke arah mobilnya.

Ki Demang menatap kepergian Rey dari kejauhan di sela-sela gorden jendela. Ada perasaan tidak nyaman yang ia pendam saat melihat Rey menepuk pusara di samping rumahnya. Aura gelap yang berada di tempat itu makin terasa berat dan membebani sang dukun tua. Sesungguhnya ia telah didapuk sebagai kuncen oleh leluhur, tapi dengan niat busuk ia menjerumuskan anak muridnya demi langit gelap yang siap mendera. Ia menggenggam erat pucuk tongkatnya yang berbentuk ular, meremasnya dengan antisipasi akan datangnya hari yang dinanti-nanti.

Junjungannya akan sekali lagi menggoncang dunia melalui sosok anak muda ambisius yang akan membantunya memanen jagad.

Sembari senyum, bibirnya berbisik dalam keheningan malam.

Ontran-ontran jagad diwiwiti kanthi lahire Batara Kala.





.::..::..::..::.





Rokok di bibir ditempatkan, bermain dari sisi kiri ke kanan dengan lincah, batang belum dinyalakan, masih terkecap rasa manis di ujung lidah. Tiga orang pemuda tengah duduk-duduk santai sambil mencicipi hidangan yang disediakan oleh sang penjual angkringan yang ramai kala malam di jalan di dekat stadion baru.

Jalan ini cukup sepi saat malam, kosong dan gelap dengan lampu jalan redup tak membantu pengguna jalan. Sering dibuat trek-trekan dan merupakan lokasi favorit tukang begal. Ada seorang penjual angkringan di dekat stadion, meski lauk yang disajikan tidak lengkap, tapi cukup nyaman bagi penggemar gelap-gelapan.

Adalah Jo, Surya, dan Bondan – tiga serangkai dari kelompok Remon DoP yang sedang nongkrong-nongkrong cantik di samping warung angkringan di tepi jalan utama menuju ke stadion baru. Surya masih makan dengan lahapnya dan menambah bungkus nasi kucing keempat, sementara Jo dan Bondan yang masing-masing sudah menghabiskan tiga bungkus dan segelas susu jahe mulai menyalakan dan mengebulkan rokok yang sejak tadi terselip di bibir.

“Belum juga ada setahun, tapi sudah banyak sekali perubahan di tempat ini.” Ucap Bondan sembari menyaksikan motor berlalu-lalang di jalan utama yang cukup besar dan dikenal sebagai jalan tembus alternatif dari jalan Kalipenyu ke arah jalan menuju bandara lama. “akhir-akhir ini Kandang Walet jadi agak sepi setelah para jendral dan kapten tak lagi ada.”

Jo mengangguk. “Dulu Oppa dan Amon sering mentraktir kita-kita semua makanan di sini. Pantas saja kalau banyak yang berpaling ke KSN saat keduanya membelot, karena sebenarnya mereka berdua termasuk orang baik pada bawahan kalau saja tidak berkhianat. Tidak semua dari kita menaruh hormat mati pada Rao seperti Remon.”

“Tapi pengkhianat tetaplah pengkhianat. Lihat nasib mereka sekarang. KSN bubar dan nasib mereka tidak jelas.” sahut Surya, “kita bertiga malah naik tingkat menjadi penjaga utara menggantikan Patnem dan KSN dengan berada di Aliansi.”

Bondan mengangguk, “betul – dan apesnya, bocah yang pernah kita bully malah jadi ketua Aliansi. Mau ditaruh mana mukaku ini.”

Jo mendengus, “bocah itu memang selalu mengejutkan kiprahnya. Tidak dulu tidak sekarang, selalu saja ada yang mengejutkan darinya. Belum ada satu tahun masuk ke UAL dan dia sudah berada di atas Rao dan Simon sekaligus. Bangsat kan?”

Bondan menggeleng kepala, “awalnya aku kira dia cuma menguasai wing chun, tapi ternyata lebih dari itu. si tembelek lencung itu punya simpanan yang jauh lebih besar lagi.”

Jo dan Surya mengangguk bersamaan.

Bondan melanjutkan, “Menurut kalian, dari keempat pimpinan di Aliansi – Beni Gundul, Rao, Simon, dan Nanto... mana yang paling mumpuni kemampuannya?”

“Simon sih. Pukulan Geledek-nya dahsyat,” ujar Jo sambil menatap bintang di langit. Seakan-akan benda langit itu akan memberinya jawaban akan masalah-masalah kehidupan. Padahal bintang akan selamanya menjadi bintang, selalu berada di atas sana berkerlap-kerlip dan bercanda dengan pantulan cahaya.

“Rao punya Lontaran Ki yang seimbang dengan Simon.” timpal Surya. “Secara kemampuan tempur dia juga tidak kalah kalau pakai jurus luar. Meski memang pukulannya belum ada yang sebanding dengan Pukulan Geledek.”

“Susahlah menyamai Pukulan Ge...”

Tiba-tiba saja pawai motor melalui jalanan. Hanya lewat saja tanpa mampir. Suara kencang, tawa cekakakan, yang bonceng lompat-lompat sambil geleng kepala. Menganggap diri mereka terhebat di dunia. Kemungkinan baru saja menang trek-trekan di kawasan lain. Bajingan-bajingan bangsat itu pergi secepat mereka datang. Datang tak diundang, pulang tak diantar.

Setelah rombongan itu berlalu, Jo, Surya, dan Bondan memilih lokasi yang lebih gelap untuk minum susu jahe mereka sembari ngebul. Jalan di depan mereka dibagi menjadi dua lajur ke kanan dan ke kiri yang dipisahkan oleh pembatas jalan di tengah, sementara mereka nongkrong di pinggiran trotoar jalan.

Di sebuah sudut gelap, ketiganya mantap mengistirahatkan pantat. Senda gurau dilanjutkan di lokasi yang kini tak lagi dijamah sinar lampu jalan yang redup. Mereka mengira mereka bertiga seharusnya bisa santai malam ini.

Seharusnya.

Yang selanjutnya terjadi di luar bayangan mereka.

Sebuah mobil berwarna gelap berhenti di tengah jalan. Suara tawa terdengar bagaikan cekikikan hantu malam. Beberapa orang turun ke pinggir jalan.

Tiba-tiba terdengar dua kali suara berdebam.

Orang-orang yang tadi keluar dari mobil kini masuk kembali sembari tetap cekakakan. Mobil berwarna gelap itu melaju dengan kencang meninggalkan jalan gelap menuju stadion baru.

Jo, Surya, dan Bondan saling berpandangan.

Dua kali debaman tadi, ternyata adalah dua tubuh yang dilemparkan begitu saja di tepian jalan. Siapa orang-orang ini? Mengapa dua orang itu dibuang begitu saja di antah berantah?

Jo tersentak ketika melihat salah satu dari dua tubuh yang dibuang mencoba berdiri dengan susah payah. Surya dan Bondan segera berlari mendekat. Mereka memang geng kampus, tapi tidak mau juga meninggalkan orang-orang yang membutuhkan. Lampu ponsel mereka menyala menjadi penerang dari wajah ke wajah.

Jo, Surya, dan Bondan terkejut saat mengenali sosok itu!

Orang yang sedang terluka parah dan mencoba berdiri itu orang yang sangat mereka kenal!

“Ka-kalian bertiga dari DoP... aku masih ingat wajah kalian...” terengah-engah orang itu mencoba mengambil napas. Tapi ia kembali terbatuk dan sentakannya membuat ia memuntahkan darah. Wajahnya sudah tidak karuan, lebam membiru, sedikit kulitnya bahkan sampai terkelupas mengucurkan darah segar. Darah mengucur dari mana-mana. Siapa yang bisa membuatnya luka parah seperti ini?

Bondan tergagap saat menatap wajah orang yang baru saja muntah darah dan rekannya yang terkapar di jalan dengan satu lengan patah hingga tulangnya keluar dari siku. “I-ini kan... itu kan...”

Orang yang sedang terluka parah itu melangkah dengan susah payah, tubuhnya terhuyung karena tulang kakinya yang bengkak besar sudah menekuk ke arah yang salah. Ia mengernyit kesakitan tiap kali berjalan. Ia patah tulang, terluka parah, dan berdarah-darah. Dia tidak akan bisa bertahan tanpa pertolongan.

Pria itu tetap memaksakan diri melangkah ke depan. Ke arah tiga serangkai DoP.

Ketika sampai, Pria itu menggenggam kerah baju Jo dengan kedua tangannya.

“Pe-peringatkan Ra-Rao. Jangan berurusan dengan RKZ. Mereka berbahaya. Sangat berbahay... hkgh! Peringatkan Ra-Ra...Rao! RKZ sebenarnya adalah... hkgghhhh!!”

Ia sudah tidak kuat lagi, untuk kedua kalinya ia muntah darah sampai akhirnya ambruk ke bawah, tanpa tenaga dan tanpa daya. Ia terkapar lemas.

Jo berkeringat dingin, wajahnya pucat pasi. Dia tidak mengira akan bertemu lagi dengan orang ini dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Tulang-tulang patah dan sepertinya luka dalam. Kalau tidak ditolong, nyawa kedua orang ini pasti melayang.

“Jo!”

Jo tergagap ketika Surya memanggilnya. “I-ini kan...”

Surya mengangguk dengan wajah khawatir.

Apa yang harus mereka lakukan?

Jo, Surya, dan Bondan berdiri kebingungan di tengah jalan. Mereka saling berpandangan dengan wajah pucat. Di dekat mereka, dua sosok pria terkapar tanpa daya meregang nyawa.

Dua orang itu adalah mantan kapten mereka, Oppa dan Amon.





BAGIAN 7 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 8
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd