Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
biasanya langsung ada label tamat, tumben belum. wajib ditunggu
 
Aku lahir tiga bersaudara sebagai anak tengah. Sudah terbiasa tidak diperlakukan istimewa dibandingkan dengan kakakku dan adikku. Abah cenderung lebih memperhatikan kakakku karena dia digadang-gadang akan meneruskan kepengurusan pondok. Sementara itu, Umi, awalnya lebih dekat dengan adik bungsuku karena dia anak perempuan satu-satunya.

Sepertinya Umi memang mengidam-idamkan anak perempuan setelah melahirkan dua anak lanang dan merasa jengah di rumah dikelilingi oleh laki-laki. Terlihat jelas sekali, ia sangat menyayangi adik bungsu. Mereka sering ke mana-mana berdua. Karena wajah dan perawakan Umi yang awet muda, mereka sering dikira saudara oleh orang-orang yang belum kenal. Barulah nanti orang-orang itu terkejut begitu mengetahui bahwa adikku itu adalah anak bungsu Umi.

Aku tahu Umi itu cantik. Dan sebagai anaknya, tentu saja aku bangga meskipun awalnya bingung juga kenapa aku harus bangga. Tidak pernah kupikirkan itu.

Pada awalnya interaksiku dengan Umi sangatlah minim. Sebagaimana normalnya interaksi ibu dan anak laki-laki. Dia mengurus hampir semua keperluan sehari-hari, seperti mencuci baju, menyiapkan makanan, merapikan kamarku, dan hal-hal mendasar lainnya yang dilakukan oleh seorang ibu. Umi tidak membedakan perlakuannya antara kepada kakakku dan kepadaku.

Awalnya aku tak pernah pikir banyak soal kebaikan-kebaikan yang Umi berikan kepadaku. Ya, kuanggap biasa-biasa saja karena kupikir memang begitulah peran seorang ibu—yakni mengurusi anak-anaknya.

Umi bukan tipe ibu yang cerewet atau suka mengatur. Tapi bukan tipe yang cuek juga. Ia sesekali memarahiku jika aku melakukan kesalahan-kesalahan kecil. Terasa sekali marahnya itu bukan karena emosi, tetapi marah yang mendidik. Dan memang, karena terbiasa mendapat kepercayaan darinya, aku jadi tidak suka neko-neko. Ketika sekolah, aku tak pernah merokok, bolos, atau nongkrong-nongkrong tidak jelas.

Selepas sekolah menengah, tidak banyak anak muda di dearahku yang terpikirkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Aku termasuk ke dalam kelompok yang tidak banyak itu. Lahir di dalam keluarga yang lumayan ber-privilege secara ekonomi, aku mendapatkan sedikit lebih banyak akses terhadap dunia luar. Makanya aku ngotot ingin pergi kuliah.

Tapi ternyata dibutuhkan lebih banyak hal, lebih dari sekadar privilege ekonomi, untuk bisa tembus kampus di kota-kota besar. Dan sejak awal targetku memang sangat muluk-muluk. Pada saat itu aku belum memahami kerasnya pertarungan hidup. Tak ada yang membimbingku untuk mengatur strategi dan segala macam hal lainnya yang perlu dipertimbangkan. Aku dengan polosnya memilih jurusan dengan passing grade paling tinggi.

Sudah jelas aku pun gagal. Dimulailah masa-masa terpuruk dalam hidupku.

Aku tak pernah mengalami kegagalan sebelumnya. Dan orang yang tak pernah gagal adalah orang dengan mental paling lemah. Aku tak siap menghadapinya. Rasanya seluruh hidupku sia-sia belaka. Maka aku pun mengurung diri di kamar selama hampir sebulan penuh.

Tidak ada yang menduga—termasuk diriku sendiri—bahwa aku akan mengalami depresi. Hal paling menyebalkan dari depresi adalah kenyataan bahwa dia ada, tetapi tak tampak oleh mata. Dan ini wajar saja sebab pada awalnya aku bahkan tak tahu apa itu depresi. Yang kutahu aku tak lagi punya semangat untuk melakukan apa-apa.

Umi lah yang pertama kali menyadari perubahan dalam pola hidupku. Umi tahu aku merasa sedih atas kegagalanku. Tapi pada awalnya dia pun tidak pernah menyangka bahwa masalahku bisa sedemikian serius.

Setiap hari selama aku mengurung diri, Umi tidak pernah terlambat mengantarkan makan ke kamarku. Setiap Umi masuk ke dalam, selalu ia temukan aku tengah meringkuk di dalam selimut. Umi tidak berkata apa-apa. Ia hanya menaruh makananku di atas meja, kemudian keluar lagi. Dia memberiku ruang untuk bersedih. Itu yang kurasa.

Namun, setelah satu bulan dilihatnya aku tak ada perkembangan, malah semakin buruk, Umi akhirnya bingung juga. Semakin hari aku semakin jarang menyentuh makanan yang diantarkannya. Kadang satu hari hanya sekali aku makan, padahal Umi menyiapkan makanan pagi, siang, dan sore hari. Hingga yang paling parah, sempat aku tak makan selama tiga hari penuh. Lantas badanku pun akhirnya terbawa sakit juga. Umi panik waktu mengecek suhu tubuhku ternyata sangat tinggi.

“Wan! Ridwan…! Kamu sakit?”

Aku tak punya tenaga bahkan hanya untuk menjawabnya.

“Wan… panas banget badan kamu, Nak.” Umi mengusap-usap wajah dan leherku. “Kita ke dokter ya.”

Waktu itu mobil sedang dipakai Abah keluar kota. Kakakku pun sedang tidak di rumah. Maka Umi pun sendirian, dengan tubuhnya yang mungil itu, memapahku, lalu membawaku ke rumah sakit. Kalau dipikir-pikir sekarang, lumayan menakjubkan peristiwa itu. Dan kurasa itulah titik awal segala sesuatunya berubah.

Sepulang dari rumah sakit, kurasakan perubahan yang sangat drastis. Aku diberi obat yang harus rutin kuminum tiga kali sehari. Umi stand-by memastikan aku makan dengan benar dan meminum obatku. Melalui rutinitas itulah secara perlahanan jarak di antara kami berdua semakin terkikis.

“Kamu itu… kalau ada apa-apa mbok cerita sama Umi. Jangan bikin Umi khawatir.”

Kondisiku sudah agak mendingan. Umi sedang menyuapiku makan malam. Awalnya aku bersikeras ingin makan sendiri, tetapi Umi juga bersikeras ingin menyuapiku. Entah kenapa.

“Kamu masih sedih nggak keterima di kampus inceranmu?”

Aku mengangguk pelan.

“Ya sudah. Nggak apa-apa. Kamu boleh sedih. Tapi jangan dipendem sendiri. Kamu boleh datang ke Umi kapan aja. Umi ini ibu kamu, nggak ada yang nggak bisa Umi bantu.”

Sesuatu tiba-tiba terasa menyeruak dari palung terdalam perasaanku. Setelah kuingat-ingat, sejak mendapat berita ditolak kampus itu aku tak sempat menangis setetes pun. Aku memang bersedih, tetapi tak sedikit pun aku mengucurkan air mata.

Umi lanjut menyuapiku sampai habis. Lantas disuruhnya aku minum obat. Aku langsung menurut. Sebetulnya lebih karena di dalam pikiranku sedang berkecamuk berbagai macam perasaan. Jadi tubuhku seperti semi-otomatis. Ketika Umi hendak beranjak keluar, tahu-tahu kutahan ia dengan menarik pakaian gamisnya.

Umi berhenti dan menatapku. Wajahku tertunduk dalam. Dengan naluri keibuannya yang sudah tertanam dalam, Umi tahu apa yang sedang kubutuhkan. Maka ia kembali mendekat ke sampingku. Ditatapnya aku lekat-lekat, lalu didekaplah aku.

Itu pertama kali Umi memelukku lagi selepas masa kanak-kanak dulu. Di dalam pelukannya segala bentuk perasaan yang berjubel di dalam benakku, akhirnya, menemukan jalan keluar. Semua jenis emosi yang selama ini kutekan atau kuabaikan akhirnya mendapat pijakan.

Aku memulainya dengan isakan pelan. Umi mengusap-usap rambutku. Seketika terbuka memori bertahun-tahun silam ketika Umi melakukan hal yang sama waktu aku jatuh saat sedang belajar naik sepeda. Tarikan napasku semakin tersendat-sendat, dan kepala terasa semakin berat. Tanganku balas memeluk Umi seraya pita suaraku melepaskan beban yang telah cukup lama ditahannya. Aku menangis sejadi-jadinya. Pertama kali dalam usiaku beranjak dewasa.

Untuk meredam suara tangisanku, naluri membimbing supaya aku membenamkan wajahku di dada Umi. Semakin dalam aku menekan dadanya, semakin kencang aku bisa mengeluarkan suara tangisan. Umi merespon dengan mengusap-usap punggungku.

Cukup lama aku menangis. Rasanya semua beban yang kutahan-tahan tumplek begitu saja.

Bagian dada pakaian gamis Umi basah kuyup oleh air mataku.

Selesai aku menangis, Umi mengelap sisa-sisa air mata di wajahku dengan lengan gamisnya. Termasuk ingus basah yang meluber. Aku masih sesenggukan. Kalau kuingat-ingat, rasanya malu, tetapi sekaligus senang juga karena itulah yang betul-betul menjadi gerbang pertama keindahan yang membangkitkanku selanjutnya.

Umi melumat wajahku lekat-lekat dengan tatapan teduhnya. Umi tersenyum. Lalu wajahnya mendekat, diciumnya keningku selama beberapa detik. Pertama kali pada saat itu kurasakan sengatan listrik yang nantinya akan membuat jalinan yang lebih rumit atas hubunganku dengan Umi.

“Kamu boleh nangis ke Umi kapan pun kamu mau. Jangan sungkan. Umi selalu ada buat kamu.”

Selepas Umi pergi aku langsung tertidur. Tidurku paling nikmat selama bertahun-tahun. Rasanya seperti terlahir kembali.

Setelahnya aku mulai berbicara secara lebih mendalam dengan Umi. Aku mulai menceritakan keluh kesah yang selama ini kurasakan. Bagaimana aku sangat ketakutan tidak akan bisa menginjakkan kaki di kampus impianku. Bagaimana aku ingin mencari pengalaman baru, makanya aku pilih untuk pergi kuliah ke kota besar. Aku juga menjelaskan bahwa aku ingin bisa membanggakan orang tua, terutama Umi sendiri. Di lubuk hatiku, sebetulnya yang kuharapkan adalah sebuah pengakuan, terutama dari Abah. Tetapi aku tak menyadari hal itu sampai waktu yang cukup lama.

Umi menggenggam dan mengusap-usap tanganku, seraya berkata, “Buat Umi, kamu itu udah membanggakan. Kamu lulus dengan nilai yang baik. Kamu selama sekolah selalu jadi anak baik. Kamu nggak macem-macem. Umi gak bisa membayangkan yang lebih dari ini.”

Aku tersenyum mendengar penuturan Umi. Baru kali ini rasanya hidupku diapresiasi.

Sempat ragu-ragu, aku akhirnya memantapkan diri untuk bertanya.

“Umi, boleh aku minta sesuatu?”

“Boleh dong.”

“Aku pengen peluk Umi lagi.”

Umi tertawa kecil sebelum menjawab, “Ya ampun, Umi kirain apa. Ya udah, sini.” Umi merentangkan tangannya.

Aku beringsut menghampiri Umi yang duduk di tepi kasur. Kupeluk Umi-ku tersayang dengan penuh perasaan. Karena tidak sedang menangis, aku memposisikan supaya pelukan kali ini lebih proper.

Aku berkata di dekat telinganya, “Umi, makasih ya udah baik sama Ridwan.”

“Kamu ini… ya iyalah Umi baik sama kamu. Umi kan ibu kamu.”

“Iya, Umi. Tapi selama ini aku belum sempat bilang terima kasih sama Umi.”

Umi mengusap-usap punggungku dengan kedua tangannya. “Kebahagiaan bagi seorang ibu adalah kalau bisa membuat bahagia anaknya.”

“Aku bahagia karena terlahir sebagai anak Umi.”

Hening sejenak. Hanya terdengar hembusan napas kami berdua. Entah kenapa jadi lebih tak terdengar suara-suara. Umi lantas menarik wajahnya untuk bisa menatap wajahku. Kami berpandangan.

Lama kami bertatapan.

Ada suatu perasaan yang menggedor-gedor hatiku. Aku hampir yakin itu perasaan cinta. Tetapi tak bisa kusangkal ada sedikit kebingunganku dengan perasaan ini.

Saking lamanya kami saling lihat, menyelami kedalaman mata masing-masing, aku jadi sadar. Selama ini aku tahu bahwa ibuku adalah seorang perempuan yang cantik. Tidak perlu banyak pikir karena kecantikannya memang semudah itu untuk dipahami. Akan tetapi, dalam momen yang luar biasa terasa ganjil ini, aku jadi paham bahwa Umi bukan sekadar cantik, tetapi wajahnya itu bagaikan keindahan yang mampu menyergap jiwa seseorang.

Aku menyapu bersih setiap detail wajah Umi dengan tatapanku. Alisnya yang hitam tegas. Beberapa bintik kecokelatan tersusun cantik di atasnya, kontras dengan kulit wajahnya yang berwarna buah persik. Salah satu yang bikin Umi tampak awet muda adalah wajahnya yang kecil. Hidugnya cukup mancung—tapi juga kecil. Lalu pengamatanku akhirnya mendarat di bibirnya yang berwarna merah muda cerah alami. Bibir itu kecil tapi berisi. Selalu tampak basah dan sehat. Lama sekali aku memandangi bibir itu. Cukup lama hingga aku tak sadar memajukan wajahku sendiri.

Mungkin aku kena sihir atau apalah itu, tetapi yang kutahu aku betul-betul sulit menahan wajahku yang maju itu. Dan Umi diam saja. Tentu saja, kan? Mungkin Umi bingung. Aku juga bingung. Persetan segalanya.

Namun kewarasan segera mendekapku lagi ketika tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku reflek beringsut mundur. Umi secepat kilat langsung melesat ke arah pintu. Dibukanya pintu itu, rupanya adikku.

Satu pertanyaan terngiang-ngiang di benakku sepanjang minggu itu: bagaimana kalau adikku tidak mengetuk dan langsung membuka pintu?

Hah? Memangnya kenapa kalau begitu? Kenapa harus dipikirkan? Pikiranku berusaha memberikan jawaban rasional—yang justru malah membuktikan bahwa apa yang mungkin terjadi bukanlah perkara biasa-biasa.

Titik itu mengawali sedikit rasa canggungku. Dan rasa canggung inilah yang kemudian menjadi setir perubahan cara pandangku terhadap Umi. Ibuku itu, jelas fakta bahwa dia adalah ibuku dan ibu saudara-saudaraku, istri dari bapakku, tetapi sebelum itu semua, dia adalah seorang wanita. Yang amat cantik luar biasa.

Aku tak lagi mengurung diri di kamar. Alasannya, kalau melihat kasur, terbayang-bayang terus di kepalaku apa yang mungkin terjadi di sana seandainya adik bungsu tidak mengetuk pintu—seandainya dia sedang pergi main ke luar kala itu. Aku ingin mengusir pikiran itu.

Aku jadi sering pergi ke luar rumah. Sekadar membeli jajan. Jalan-jalan. Apapun itu asal aku tidak bengong. Sebab kalau aku bengong sudah pasti otak akan mengarahkanku mengingat-ingat bagaimana basahnya bibir Umi.

Aku jadi jarang berinteraksi dengan Umi karena aku otomatis selalu berusaha menghindar. Saking effort-nya diriku, aku bahkan jadi berusaha untuk ngobrol dengan Abah—meskipun gagal total. Abah tak punya ketertarikan terhadapku. Selama aku tak bikin onar, baginya silakan saja aku mau berbuat apa. Begitulah kira-kira.

Namun aku tak berkutik ketika Umi memintaku untuk menemaninya berbelanja sayur untuk kebutuhan masak pengajian rutin. Giliran rumah kami yang menjadi host. Awalnya Umi berencana ditemani Abah, pakai mobil supaya bisa bawa banyak barang. Ndilalah, subuh itu Abah ke luar kota sebab ada keperluan mendadak.

Seharian itu aku selalu bersama Umi. Pagi buta kami pergi ke pasar. Selesai dari pasar aku ikut bantu-bantu di dapur. Sesuatu yang aku sendiri merasa sedikit janggal melakukannya, tetapi tetap kulakukan juga. Tubuhku, lagi-lagi, seperti dibajak. Umi bahkan tak memintaku, aku otomatis saja bantu-bantu.

Beberapa ibu-ibu yang bantu-bantu di dapur juga sampai memuji keterlibatanku. Dibilangnya aku ini laki-laki teladan karena ringan tangan membantu urusan dapur. Kuperhatikan Umi tersenyum lepas saat mendengar pujian-pujian itu. Keparat, aku pun ikut melayang-layang dibuatnya. Bukan sebab pujiannya, tapi sebab ia bikin Umi tersenyum sedemikian.

Tak banyak kami mengobrol meskipun bersama-sama dari pagi sampai petang. Pikiran Umi pasti terfokus pada acara pengajian. Dan pikiranku mati-matian memblokir berbagai macam bayangan sinting yang bermekaran.

Saat acara pengajian usai, dan kami sedang beres-beres, muncul kesempatan Umi menghampiriku, berbicara kepadaku.

“Makasih ya udah bantuin Umi hari ini.”

Aku hampir saja menjatuhkan piring-piring yang sedang kubawa. Tolol, memang.

“Aku seneng kok.” Respon ****** karena otak yang ada di dalam kepalaku tengah kacau balau. “Ridwan seneng bisa bantuin Umi.” Lanjutku.

Umi mengusap kepalaku. “Nanti Umi ke kamar. Kita ngobrol ya.”

Kalau bukan karena sedang beres-beres, ingin rasanya aku langsung melesat, ke mana pun. Perutku sedikit ngilu.

Beberapa menit kemudian, diriku teronggok duduk di tepi kasur, tatapan tegang menatap daun pintu. Belum apa-apa kakiku rasanya ingin melompat lari. Tapi seluruh sel dalam tubuhku seakan berkonspirasi untuk menahanku tinggal.

Suara ketukan terdengar.

“Wan, Umi masuk ya…”

“Iya, Umi.” Jawabku. Terlalu cepat hingga tak bisa menyembunyikan kegrogianku.

Umi tersenyum begitu melihatku. Ia lantas berjalan dengan begitu anggunnya, ke arahku, lalu duduk tepat di sampingku. Begitu rapat sehingga tubuh kami menempel.

“Kamu nggak kecapean, kan?”

“Nggak, Umi.”

Aku menunduk karena tidak yakin pikiranku akan tenang kalau kuarahkan pandang kepadanya.

Ada jeda sekian lama, yang menurutku sangat lama, untuk kemudian Umi langsung meng-K.O.-ku dengan pertanyaan pamungkas.

“Kamu kenapa sih ngejauhin Umi?”

Deg!

Seketika wajahku langsung menatap ke arah wajah Umi. Takut luar biasa bahwa hatinya terluka tersebab tingkah tololku belakangan ini. Rupanya wajah itu tetap tenang dan anggun. Sehingga memberiku nyali untuk bersuara.

“Aku minta maaf, Umi.”

“Minta maaf kenapa? Emangnya kamu bikin salah ke Umi?”

“Aku minta maaf karena Umi jadi ngerasa aku ngejauh. Padahal sebaliknya. Sekarang aku nggak bisa kalau nggak deket sama Umi.”

“Terus?”

Sebisa mungkin kususun kata-kata paling tepat yang ingin kukeluarkan. Tapi sekuat apapun aku berusaha, tak bisa kulepaskan. Mana mungkin aku terus terang bilang bahwa bibirnya telah membuatku gila.

Aku menunduk lagi karena ciut mengungkapkan kata.

“Waktu itu kamu pengen cium Umi ya?”

Deg!

Umi tahu!


Bukan hanya gravitasi, kini rasa malu juga ikut membetot jantungku ke bawah. Ingin rasanya menjadi undur-undur saja.

Beberapa saat kemudian, Umi malah tertawa. Mengagetkanku. Tapi sekaligus menghibur telingaku karena suara tawanya yang renyah itu sungguh indah bukan bualan.

“Dulu waktu kecil kamu itu paling suka ciumin Umi.”

Aku terperanjat dan otomatis menoleh lagi ke Umi. Terheran dan sedikit tak percaya dengan apa yang barusan dia ucapkan. Tapi Umi-ku tak mungkin berbohong.

“Dari semua anak-anak Umi, cuma kamu yang kalau Umi cium, selalu balik cium. Kakak kamu nggak, adek kamu juga nggak.”

“Aku kok nggak inget, Umi?”

Umi tertawa lagi. “Ya, udah lama banget sih. Wajar kamu nggak inget.”

Berarti, dari apa yang kutangkap, Umi pasti menganggap tempo hari itu aku hendak mencium pipinya. Aman dong kalau begitu?

“Maaf ya, Umi.”

“Lho, kok minta maaf?”

Eh? Jadi maksudnya boleh aku cium pipi?

“Umi malah seneng, tahu. Jujur ya, dari semua anak Umi, kamu itu sebetulnya dulu yang paling manja waktu kecil.”

“Masa sih?”

“Dulu ya… kamu itu kalau bangun tidur pasti langsung cari Umi, terus habis itu pasti minta cium.”

Sejujur-jujurnya, selain takjub dengan kelakuanku sendiri di masa lalu, aku juga sedang memikirkan arah pembicaraan yang Umi kehendaki sebetulnya ke mana.

“Seinget Umi, kamu masih suka cium dan minta cium sampe kelas 2 SD. Beda sama kakak sama adek kamu. Mereka mah begitu masuk TK udah ogah Umi cium-cium.”

Oke, ini mungkin sesi pembeberan aib masa kecilku.

“Jadi…” Umi menatap wajahku lekat-lekat, lalu dekat-dekat, “Kalau kamu mau cium, ya cium aja.”

Dan…

Cup!

Satu ciuman manis mendarat di pipi kiriku.

Untuk beberapa detik aku tampak seperti robot nge-hang. Semua sistem organ di tubuhku tampak keteteran. Yang jelas terlihat adalah wajahku yang jadi merah seperti udang rebus.

Umi tersenyum penuh kemenangan melihat reaksiku.

“Kalau kamu mau peluk juga, langsung peluk aja.”

Umi memelukku sebentar, seraya mengacak-acak rambutku, lalu beranjak.

Malam itu banyak yang kupikirkan. Terlampau banyak hingga aku tak juga tidur sampai bertemu pagi.

Setelahnya interaksiku dengan Umi dekat kembali. Bahkan mungkin semakin lagi.

Kebetulan sekali adikku, si bungsu yang biasanya menjadi teman main Umi itu, dia mulai punya pergaulan dengan teman-teman sebayanya. Jadilah dia hanya di rumah untuk makan dan tidur saja. Selebihnya dia di sekolah dan bermain bersama teman-temannya.

Gantian jadi aku yang menempel terus dengan Umi. Aku belajar memasak. Aku menemani Umi ke pasar. Aku membantu Umi mencuci baju. Sesekali kami menonton film di TV. Pada titik ini aku bersyukur sekali pada kenyataan bahwa aku tak lolos masuk PT. Hidupku tak mungkin lebih mujur lagi. Pikirku.

Aku, dengan tak segan-segan lagi, betul-betul menjalankan apa yang dikatakan oleh Umi, yakni boleh cium dan peluk sesukaku. Setiap ada kesempatan, biasanya kusempatkan minimal sehari satu kali. Kesempatan yang kumaksud adalah ketika tak ada orang lain di sekitar kami. Anehnya perasaan ganjil khawatir ketahuan orang lain ini malah membuatku semakin suka saja melakukannya.

Sering aku memeluk Umi dari belakang ketika dia sedang memasak di dapur. Pada awalnya, karena masih tidak yakin akan banyak hal, ketika memeluknya selalu kupastikan bagian bawah kami tidak bersentuhan.

Adapun untuk urusan cium-mencium, aku masih sedikit sungkan. Justru Umi yang tidak perhitungan. Saat membangunkanku dia menciumku. Kalau aku pamit ke luar dia menciumku. Sebelum aku tidur aku diciumnya. Dan aku selalu merasa tersetrum ketika bibirnya menyentuh kulih wajahku. Ada beberapa kesempatan, entah karena aku grogi, atau mungkin Umi yang grogi, entah disengaja atau tidak, ciuman Umi hampir mendarat di bibirku—bukan di pipi.

Semakin hari aku semakin senang kalau di rumah hanya kami berdua. Dan takdir memang mendukungnya. Adik bungsuku sudah bisa dipastikan akan kelayaban bermain bersama temannya sepulang sekolah. Abah sering berpergian ke luar kota. Sementara kakakku juga jarang sekali berada di rumah jika Abah tidak di rumah. Kalau tidak memantau pondok, dia akan pergi ke rumah guru-gurunya atau teman-temannya. Jadilah aku ditinggal berdua saja dengan Umi di dalam rumah yang sepi. Kiri-kanan rumah kami tak langsung ada rumah tetangga. Ada jarak sekitar lima sampai sepuluh meter.

Di satu sisi, aku merasa kembali pada masa kecilku. Tubuhku mulai mengingat betapa clingy dan manjanya diriku dulu. Selalu ingin memeluk Umi, tak pernah ingin lepas berlama-lama. Rasanya seperti jadi anak kecil lagi. Namun, di sisi lain, justru sebaliknya. Semakin aku melekat dengan Umi, semakin aku merasakan sesuatu tumbuh di dalam diriku. Sesuatu yang sama sekali baru. Entah apa itu namanya, mungkin orang-orang menyebutnya hormon. Ada kecenderungan yang sulit kutahan untuk menggesekkan bagian selangkanganku ke tubuh Umi.

Kontak fisikku dengan Umi semakin menjadi-jadi. Aku pun jadi sering menciumnya tiba-tiba. Setiap kali ada yang mencium duluan, pasti ada balasan. Berbalas cium hingga belasan kali sudah sering kami lakukan. Biasanya kalau sedang di depan TV, atau saat aku mau tidur.

Perasaan di dalam hatiku juga berletupan tidak terkira.

Hari itu hujan turun di tengah siang. Abah sedang ke luar kota, kakakku ikut dengannya. Sementara adikku—tentu saja—bermain di bersama teman-temannya. Karena aku selalu membantu, pekerjaan rumah jadi selesai lebih cepat. Kami sedang menonton TV ketika hujan mulai turun. Seingatku itu adalah hujan pembuka musim. Aku masih ingat betul wangi tanah kering yang menguap terkena tetesan air hujan.

Dalam tempo singkat, hujan yang awalnya mengguyur dengan sopan berganti menjadi badai.

“TV-nya jadi gak kedengeran, matiin aja ya.” Umi berbicara dengan mendekatkan mulutnya ke telingaku.

“Iya, Mi. Lagian ada petir juga kan.”

TV pun dimatikan. Suara hujan dan petir menggelegar silih berganti. Aku terduduk diam memandang layar hitam. Begitu juga Umi. Baru kusadari bahwa menonton TV di siang hari sudah menjadi semacam rutinitas yang kulakukan dengan Umi. Biasanya selepas memasak kami menonton TV. Tapi tadi itu kami makan lebih dulu dari biasanya karena merasa lapar.

“Adek kamu kehujanan nggak ya?” Umi bersuara memecah kesunyian—yang padahal tidak sunyi sama sekali.

“Paling lagi di rumah temennya.”

Sepi lagi—yang padahal tidak sepi. Ini aku saja atau Umi juga sedang merasa kikuk, bingung mau melakukan apa?

Setelah sekian menit diam-diaman seperti orang baru melakukan PDKT, aku memutuskan untuk beranjak. Aku menyadari bahwa kalau berlama-lama dalam kondisi semendukung ini di dekatnya, aku mungkin tidak akan bisa menahan diri untuk menghambur memeluknya dan menciuminya dan…—aku bahkan tak punya nyali membayangkannya.

“Aku mau tidur siang aja, Umi. Agak ngantuk.”

Umi tidak segera merespon, dan aku pun tidak menunggu respon darinya, aku segera melangkah pergi menuju kamarku. Ketika tanganku memegang gagang pintu, tahu-tahu tangan Umi menyentuh bahuku.

“Mau tidur siang bareng?”

Perutku ngilu seketika. Adrenalin membanjiri sekujur pembuluh darah, ingin rasanya aku berlari-larian, berlompat-lompatan. Tapi tubuhku lebih menginginkan hal yang lainnya.

“Umi sebetulnya agak takut sama geledek.”

Aku tidak menjawab perkataan Umi. Dan kurasa Umi pun tak butuh jawaban dariku. Aku hanya melanjutkan memutar gagang pintu dan melengang memasuki kamarku, diikuti oleh Umi.

“Umi mau tidur di sebelah mana?” Tanyaku ketika kami sudah di ambang kasur.

“Umi di situ aja.” Umi menunjuk sisi kasur yang menempel dinding, lantas beranjak naik ke kasur. Umi lalu tiduran terlentang.

Aku, tanpa banyak omong, juga ikut naik ke kasur. Juga tidur terlentang di sebelah Umi. Kepalaku memikirkan bahwa tidur siang ini hanya omong kosong saja pada akhirnya. Mana mungkin aku bisa tidur dengan tubuh Umi terbaring begitu dekat di sisiku. Jantungku saja tidak karu-karuan dari tadi.

Gelegar kilat menyambar, cahaya silaunya dapat teramati dengan begitu jelas. Aku menoleh ke samping, kulihat Umi memejamkan matanya. Bibirku seketika maju dan mengecup pipi Umi tanpa aba-aba.

Padahal sudah sering, tapi sepertinya situasi saat ini berbeda. Umi langsung membuka matanya dan tampak agak kaget. Begitu kagetnya sampai suara geluduk yang muncul kemudian tak membuatnya kaget.

Umi menatap mataku, aku menatap matanya. Aku merasa bahwa pada titik ini tubuhku sudah akan bertindak semau dia. Maka kumajukan lagi bibirku, mengecup lagi pipinya, kali ini dengan tatapan Umi bagai elang mengawasi gerak-gerikku.

Suara hujan deras seperti menghilang dari panca indera kami. Ketika aku memajukan lagi bibirku untuk yang ketiga kalinya, Umi menyambutku. Dengan bibirnya. Dia ikutan maju. Dan terjadilah ciuman pertama kami. Aku cukup takjub bahwa diriku tidak begitu kaget. Mungkin karena aku sudah mengantisipasinya. Semenjak masuk kamar ini, aku sudah membayangkan apa yang mungkin dan akan terjadi. Tinggal mengumpulkan nyali.

Ciuman bibir pertama kami berlangsung begitu cepat dan singkat. Seperti salam perkenalan. Dalam jeda waktu, kami saling bersitatap lagi. Napasku mulai memberat, begitu juga dengan Umi. Kulihat dadanya naik turun.

Dadanya.

Ciuman kedua segera terjadi. Kali ini lebih lama dari sebelumnya. Aku memajamkan mataku. Ciuman berakhir ketika Umi meletakkan tangannya di wajahku. Aku membuka mata.

“Wan…” Umi memanggil namaku lirih.

“Iya, Umi?”

Kulihat arah tatapan Umi bergantian antara menatap mataku dan menatap bibirku. Begitu juga aku.

“Kamu suka cium bibir Umi?”

“Suka, Umi.”

“Kamu mau lagi?”

“Mau, Umi.”

“Ya udah, sini, Nak.”

Umi menarik tubuhku supaya bangkit. Lalu ditempatkannya aku di atas tubuhnya. Kami bertatapan lagi untuk beberapa saat. Aku masih tak percaya aku berada di posisi hendak menindih Umi, ibuku sendiri yang amat kusayangi. Umi tersenyum, kemudian lembut tangannya membimbing wajahku mendekat ke wajahnya. Kami pun berciuman. Kali ini terasa amat dalam dan penuh perasaan. Sedikit gelagapan, aku berusaha memasukkan lidahku ke dalam mulutnya. Ternyata Umi menyambutnya.

Ciuman ketiga ini sungguh basah dan panas. Kedua tanganku awalnya masih menyangga tubuhku supaya aku tidak benar-benar menindih Umi. Namun tak lama satu tangan Umi mendekap punggungku, lalu mendorongnya agar turun. Akhirnya aku pun sempurna menindihnya. Dadaku menempel dengan payudaranya. Perutku menempel pada perutnya. Dan, yang hampir tak kusadari, pelirku yang tegang menempel di atas selangkangannya.

Setelah itu, sebagian besar yang terjadi dikendalikan oleh naluri. Naluri tubuh laki-laki dan naluri tubuh seorang wanita.

Aku memberanikan diri memegang pelan satu buah dada Umi. Tak ada penolakan, tak ada perubahan, aku pun lanjut sedikit meremasnya.

“Ahh…” Umi melenguh tertahan.

Aku langsung menghentikan remasanku. Khawatir melangkah terlalu jauh dan dia tidak berkenan. Ternyata malah sebaliknya. Tangan Umi membimbing tanganku untuk meremas payudaranya lagi.

Posisi ini berlangsung selama beberapa menit, dan aku tanpa sadar mulai menekan-nekan bagian selangkangan. Nikmatnya luar biasa padahal belum apa-apa.

Aku mengangkat wajahku, tetapi tanganku tetap memegang buah dada Umi.

Umi membelai-belai wajahku, tatapannya tajam sekali menembus relung jiwaku. Menemukan hasrat terbesarku. Memahaminya. Mewujudkannya.

Umi memakai gamis berwarna biru gelap dengan tiga kancing. Sambil tak lepas ia menatapku, dibukanya kancing-kancing itu, satu per satu, sesekali tersenyum nakal. Mataku bergantian menatap mata Umi dan menatap bagian dadanya yang perlahan terbuka.

Yang pertama menyambutku adalah BH berwarna dasar putih dengan pola-pola cantik berwarna biru. Ketika seluruh kancingnya sudah terbuka, Umi menyibak kain gamisnya ke samping kiri-kanan sehingga terpampang jelas buah dadanya yang masih terbungkus BH itu, menyembul keluar. Tak kusangka keduanya ternyata lebih besar dan ranum dari dugaanku. Mataku terasa mau copot saking lekat memandangi dua gundukan itu.

Umi membimbing satu tanganku untuk kembali meremas-remas buah dadanya. Aku menuruti petunjuknya. Sambil saling pandang, satu tanganku meremas-remas lembut buah dada Umi. Lalu Umi mendekatkan bibirnya, dan kami pun berciuman lagi.

Setiap ciuman yang kami lakukan terasa semakin panas, saling mengemut lidah, tubuh kami terbakar gairah. Pinggulku sudah tidak malu-malu lagi bergerak-gerak menekan selangkangan Umi. Ingin sekali aku memasukinya.

Seakan tahu betul apa yang terlintas di pikiranku, Umi tiba-tiba menghentikan ciuman. Didorongnya tubuhku sampai terduduk. Lalu Umi menarik kakinya yang kutindih dan dia sendiri duduk. Posisi kami jadi sama-sama duduk berhadapan.

Umi lalu mengangkat badanku sehingga aku bertumpu pada kedua lutut. Tanpa banyak basa-basi, Umi membuka resleting celanaku. Saat itu aku memakai celana pendek berbahan kargo. Umi memelorotkan celanaku dengan amat telaten seperti seorang ibu yang hendak mengganti celana anaknya yang mengompol. Umi mengaturku untuk duduk kembali, lalu dia menarik celana itu. Setelah celana itu sempurna terlepas, Umi masih sempat-sempatnya melipat celana itu dengan rapi, lalu menaruhnya di atas kasur.

Aku menimbang-nimbang apakah kubuka juga celana dalamku. Sudah jelas terlihat pelirku yang tegang menonjol. Tapi aku menunggu Umi. Dan benar saja, tak lama Umi meraih celana dalamku dan melepaskannya. Lalu dia menaruhnya di atas celanaku tadi. Umi melakukannya tanpa ada terlihat risih atau apapun. Aku lumayan takjub sekaligus semakin sange.

Begitu selesai melucuti celanaku sehingga pelirku bebas menyembul, tanpa ambil banyak tempo, Umi mengangkat bagian bawah gamisnya, lantas memelorotkan celana dalamnya sendiri. Aku menyaksikannya dengan muka super bego seperti orang kena sirep. Umi menaruh celana dalamnya di atas celana dalamku.

Dengan posisi sedikit rebahan, Umi mengangkang. Terpampang dengan amat sangat jelas bagian kemaluan Umi. Sedikit berwarna lebih gelap di bagian luar, tetapi ada selipat kulit berwarna senada dengan kulit tubuhnya. Rambut-rambut kemaluannya tercukur rapi, tidak lebat, juga tidak jarang. Aku betul-betul linglung dibuatnya. Pikiranku seperti ada yang mengacak-acak, sehingga tubuhku bergerak secara penuh menggunakan instingnya.

“Kamu pasti udah nggak tahan kan? Ayo sini masukin.” Suara Umi, dan apa yang ia ucapkan, macam mantra merasuki pendengaranku. Suara hujan samber geledek dan segala apapun selain suaranya tak kuhiraukan.

Satu tangan Umi menyingkap belahan vaginanya. Warna persik dan tekstur yang basah itu begitu indah. Sudah becek vagina Umi. Satu tangannya yang lain meraih pelir tegangku, lalu ditariknya pelan mendekati vaginanya. Hingga kepala pelirku menyentuh permukaan kulit berlendir itu. Hangat kurasa, menjalar ke seluruh tubuhku.

Mata kami berdua terfokus pada usaha penyatuan dua alat kelamin kami. Aku tegang menatap persentuhan keduanya. Namun, pada titik sekelebat sebelum ia masuk, Umi menengadah, menatap ke arah mataku. Aku otomatis menyambut tatapan itu.

“Masukin…” Umi memberi instruksi.

Perlahan mulai kudorong pinggulku. Mata kami kembali menekuri proses docking alat kelamin kami. Tidak ada hambatan berarti, kepala pelirku segera ambles masuk ke dalam kemaluan Umi. Aku menyaksikannya dengan penuh takjub setengah tak percaya.

Ingin kusetop waktu. Ingin selamanya momen ini terjadi. Momen batang penisku bergesekan dengan dinding vagina Umi yang hangat dan berlendir. Tak kurang dari 10 detik proses docking itu hingga akhirnya ambles semua pelirku bersarang di tempik Umi.

Umi memegang pinggulku, menahannya. Sebagai seorang pemula tentu aku bodoh soal beginian, maka kuputuskan untuk ikut semua instruksi dari Umi-ku.

“Diam dulu bentar ya. Memek Umi udah lama gak begini.”

Deg!

Kacau ini…


Bagaimana mungkin aku bisa stay cool mendengar Umi-ku yang sehari-hari sungguh anggun luar biasa itu mengucapkan sebuah kata yang bahkan aku sendiri tak berani mengatakannya.

Tapi aku menurut. Mungkin kalau mengikuti naluri lelaki, saat itu pasti langsung kugenjot, tapi aku bukan anak yang tidak tahu diri. Aku ingin menjadi anak patuh mengikuti semua arahan Umi.

Selang beberapa saat, sesuai aba-aba dari tangan Umi yang berada di pinggangku, aku pun perlahan menarik pelirku. Setiap gesekan yang terjadi membawaku ke angkasa.

Lagi-lagi, mengikuti aba-aba dari tangan Umi, aku pun mendorong lagi. Kutarik lagi, kudorong lagi, sesuai arahan tangan Umi. Sulit kugambarkan kenikmatan yang menjangkiti sekujur tubuhku. Aku benar-benar tak peduli apapun lagi selain menyatukan kelaminku dengan kelamin Umi.

“Terus, Wan. Pelan-pelan dulu aja ya.”

Setelah beberapa kali siklus tarik dan dorong, Umi melepaskan tangannya, dirasanya aku sudah bisa sendiri. Aku menarik dan mendorong sesuai ajaran yang kuterima.

Segini saja sudah tak kuasa aku menahan nikmatnya.

“Ahhhh… Mmmhhh…”

Umi mulai mengerang. Umi mulai mendesah. Apa yang harus kulakukan?! Desahannya itu bagaikan serangan tambahan yang membombardir kesadaranku.

Belum selesai aku dibombardir desahan seksi, Umi melakukan serangannya lagi. Dibukanya pengait BH yang membungkus payudaranya. Ternyata itu tipe BH dengan pengait di depan. Tahu begitu mungkin dari tadi sudah kulakukan.

Terpampanglah jelas, tanpa halangan apapun, kedua buah dada Umi-ku yang begitu…

Ahhhh…!! Ingin kulumat saja.

Lihat puting berwarna pink itu. Menonjol dan menantang.

“Jilat pentil Umi, Wan…” perintahnya.

Mulutku langsung terjun bertempur. Tentu saja aku sudah lihai melakukannya. Tubuhku punya ingatan yang kuat akan masa-masa menetek dulu. Aku tak perlu diajari. Semua sudah kupahami dengan baik.

Satu tangan Umi menjambak rambut belakangku, lalu mengusap-usapnya.

“Ahh…!! Enak, Wan… Mhhhhh…!”

Tanpa bisa kukendalikan, genjotan pelirku di tempik Umi menjadi lebih cepat secara perlahan. Semakin lama semakin cepat.

Satu tangan Umi yang lain mengusap-usap punggugku, menelusup ke dalam baju yang kukenakan.

“Terus, Wan… Ahhh…!! Ahh!! Ahhh!!”

Umi lalu mengangkat wajahku yang menetek, lantas kami berciuman lagi, tapi kali ini sambil kedua alat kelamin kami tersambung.

Genjotanku semakin cepat dan cepat dan menghujam dalam. Naluriku berkata untuk segera memuntahkan muatanku ke dalam rongga vagina wanita yang sedang kusetubuhi itu. Akan tetapi wanita itu berkata.

“Wan, kalau udah mau keluar bilang ya. Umi nggak tahu lagi subur atau nggak. Takutnya iya.”

Aku tak paham sebagian besar perkataannya, tetapi intinya aku mesti melawan instingku untuk melakukan pembuahan.

Aku mengangguk cepat.

“Mhhh…!” Yang ini desahanku. Aku sedikit terkejut. Apakah senikmat itu sehingga aku ikut mendesah? Masabodoh lah.

“Wan… nanti keluarin di luar ya.”

“Iya, Umi.” Suara pertamaku sejak memulai pergumulan kami.

Aku menegakkan badanku supaya bisa menggenjot lebih leluasa. Semaki kuat sodokanku, sebetulnya aku sedikit khawatir sodokanku terlalu keras. Tetapi mendengar desahan Umi yang tidak berhenti, maka kulanjutkan saja dengan tetap berusaha mengontrol hentakannya agar tidak terlalu kencang.

Umi menggenggam kedua lenganku yang kujadikan tumpuan.

“Ayo, Ridwan… terus sayang…” Pertama kali Umi memanggilku sayang—lagi. Ia seperti sedang menyemangatiku yang sebentar lagi segera mencapai puncak.

Terbukti genjotanku semakin memburu, seperti dikejar-kejar sesuatu. Sampai terasa sedikit pegal bagian pahaku, tetapi rasa nikmatnya melampaui rasa pegal itu.

“Ahh!! Umi…!!” Aku merengek.

“Iya, sayang? Ayo sayang… mau keluar ya?”

Pada saat itu aku sangat tidak mengantisipasi bahwa yang hendak mencapai puncak rupanya bukan cuma kenikmatan tubuh yang kurasakan, tetapi juga luapan emosional. Aku sendiri heran.

“Umiii… Umi…” Aku memanggil-manggil Umi dengan suara setengah menangis.

“Iya, sayang, ayo…”

Satu tangan Umi beralih memegang pinggulku, kemudian satu tangannya lagi membelai-belai wajahku.

“Ayo, Ridwan… kamu mau keluar ya? Ayo sayang… keluarin…”

“Umi… Ahhhh…!!! Umiiii…!!!”

“Iya! Iya. Terus sayang. Dikit lagi…”

“UMIIII!!!!!”

Berbarengan dengan erangan panjangku, aku segera mencabut penisku dari vagina Umi.

Umi dengan sigap segera mengocok, mengurut, penis tegangku itu. Yang seketika langsung memuntahkan muatannya. Pejuku berceceran di atas kasur.

“Mhhh..!!!! Mmmhh! Mmmh!!” Tarikan napasku tidak karu-karuan.

Umi mengurut pelirku sampai tetes terakhir muntahannya. Umi juga sama terengah-engah.

Detik itu aku tak berani langsung menatapnya. Pandanganku tertunduk, memperhatikan batang pelirku sendiri, memperhatikan peju yang berceceran di atas sprei, dan tak sengaja ikut kuperhatikan belahan vagina Umi yang tampak sangat lembab, baju gamisnya yang tergulung ke atas, betis Umi yang cerah seperti pualam.

Lama kami hanya terengah-engah dan stand by dengan pikiran masing-masing.

Apa yang telah kulakukan? Apa yang sudah kami perbuat? Sebagian pikiran warasku aktif kembali. Akan tetapi sebagian yang lainnya menggaungkan: Gila, itu tadi nikmat luar biasa.

“Umi…” Ucapku lirih. Tak kuduga aku yang membuka suara duluan.

Mata kami bertatapan lagi. Aku berusaha mencari tahu apa yang sedang Umi pikirkan, bagaimana perasaannya setelah melakukan hal yang tabu itu.

Sekonyong-konyong Umi merentangkan kedua tangannya dan tersenyum. Otomatis aku langsung menghambur ke pelukannya. Kami berpelukan dengan bagian bawah kami masih sama-sama tak tertutupi apa-apa.

“Umi…” aku memanggilnya lagi. Isak tangisku sudah di ujung pita suara.

“Nggak apa-apa…” Umi dengan suaranya yang kembali anggun dan penuh kelembutan.

“Umi…” lepas sudah, air mata pertamaku meluncur lancar.

“Nggak apa-apa, Ridwan…”

Aku sudah sesenggukan.

“Umi nggak marah. Umi sayang sama kamu.”

Semakin saja aku menangis.

Berbagai rasa, seperti badai siklon, mengaduk-aduk jiwaku. Senang, tenang, takut, khawatir, lega, was-was, semuanya bercampur aduk tidak karu-karuan. Aku mungkin menangis lebih intens dari tempo hari ketika aku pertama kali dekat dengan Umi. Kali ini pundak Umi yang basah kuyup oleh air mata dan lelehan ingusku.

Tak banyak yang kuingat setelah itu kecuali aku tertidur pulas dan baru bangun lima jam kemudian dalam kondisi nyaman di dalam selimut dan sudah pakai celana lagi. Rasanya, demi Tuhan, seperti terbangun dari mimpi. Aku hampir yakin bahwa aku baru mengalami mimpi basah, kalau saja tidak kulihat sisi satunya kasurku yang tampak ada bekas basah dan lembab. Bekas persetubuhanku dengan Umi.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd