Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Cinta tapi beda

Bimabet
Wkwkwkwk. Tak kira tamat beneran bro. Asli, gantung banget. Dan itu kelihatan banget baru awal set up. Sebelum masalah2 selingan muncul, entah dari nadea, ortu masing2 tokoh utama, dll. Ditunggu kelanjutannya, moga lancar RL sama Laptopnya buat ngetik. Hehe.
 
Gan cerita ente luar biasa. Alus pisan. Jadi ingat masa lalu jaman SD. Sama persis dan akhirnya sma kita sepakat g saling kontak sampai sama2 lupa. Dan tetep saling mendoakan. Lanjut gan
 
Cinta memang tak harus saling memiliki
Mantap ceritanya hu
 
Gan cerita ente luar biasa. Alus pisan. Jadi ingat masa lalu jaman SD. Sama persis dan akhirnya sma kita sepakat g saling kontak sampai sama2 lupa. Dan tetep saling mendoakan. Lanjut gan
Wah .... kasusnya sama hu? Boleh sharing sharing lah pengalamannya ...siapa tau bisa jadi referensi wkwkwk
 
Ditunggu lanjutannya gan.

Ceritanya bagus.

Pernah rasain seperti ini, tapi posisinya dibalik..
 
8. Maafkan aku (pov Surya)

Pernahkah kalian merasakan indahnya jatuh cinta? Banyak orang yang bilang rasanya jatuh cinta itu sukar dijelaskan. Campur aduk rasa senang, gembira, galau, sedih, bahkan kecewa sering hinggap di hati orang yang sedang jatuh cinta. Mereka akan melakukan segala cara agar bisa melihat orang yang disukainya tersenyum. Bahkan akan muncul rasa ingin memilikinya seutuhnya. Tidak peduli dengan sifat baik dan buruk orang yang disukai. Namun ketika norma dan adat istiadat membatasimu, apakah kamu masih berpikir untuk jatuh cinta dengannya? Apakah kamu masih berpikir untuk memperjuangkan cintamu agar dapat tumbuh dengan sempurna? Sampai akhirnya kamu harus memilih antara cinta dan adat, pilihan mana yang akan kamu ambil?
Malam itu adalah malam yang tidak akan pernah terlupakan bagiku. Untuk pertama kalinya aku menyatakan cinta kepada seorang wanita. Aku tidak tahu apakah cinta ini adalah cinta monyet atau bukan. Tetapi aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri meski sudah kusimpan rapat-rapat. Malam itu setelah aku sampai di rumah, aku bergegas masuk ke dalam kamar dan lekas tidur. Tapi entah kenapa mata ini terasa sulit untuk dipejamkan. Bibir ini terasa tidak ingin berhenti tersenyum. Pikiranku masih tertinggal di pekarangan rumah Rahayu.

“Ah ... mengapa aku jadi terus memikirkannya?” gumamku dalam hati. Aku mengambil handphone yang tergeletak di atas meja dan mencari kontak Rahayu. Aku tekan tombol untuk mengirimkan pesan padanya.

“Tapi ini sudah jam 1 pagi. Apakah dia masih terjaga?” pikirku. Aku kembali mengembalikan handphoneku ke atas meja. Lagipula aku tidak tahu pesan pertama seperti apa yang akan kukirimkan padanya. Ah ... sungguh malam ini pikiranku terkunci olehnya. Aku kembali mengambil handphoneku dan membuka facebook untuk mengundang rasa kantukku yang hilang entah kemana. Aku lihat ada sebuah notifikasi muncul di jendela akunku.

“Rahayu menginvite facebook-ku?!” ujarku kaget saat memeriksa notifikasi. Jariku dengan segera menekan tombol konfirmasi atas permintaan pertemanannya. Sejenak aku melihat profil akun facebook Rahayu. Ia hanya mengupload 3 foto dirinya ke akun facebook. Itu pun bukan foto selfie, melainkan foto bersama teman-temannya. Sementara sisanya adalah foto quotes berbau islami. Beberapa statusnya pun seakan mengajak teman-temannya untuk senantiasa ingat kepada tuhan. Dia memang gadis yang istimewa. Di saat remaja lain sibuk mengupload foto selfie terbaik mereka di media sosial, ia malah tidak pernah mengupload foto dirinya sendiri seakan-akan ingin menyembunyikan identitas aslinya. Di saat remaja lain sibuk curhat dengan masalah pribadi yang menimpanya di facebook, Rahayu malah memotivasi teman-temannya dengan status dan quotes bermutu. Mungkin hanya ada satu diantara 100 gadis yang mempunyai sifat seperti Rahayu. Aku merasa seperti pemuda yang paling beruntung karena bisa membuat gadis seperti Rahayu jatuh cinta. Tiba-tiba handphoneku berbunyi tanda sebuah chat masuk. Ternyata Rahayu mengirimkan chat padaku. Ah ... mengapa aku jadi tegang begini? Apakah ini rasanya ketika orang yang kita suka mengirimkan pesan kepada kita? Jari jempolku membuka pesan yang dikirimkan Rahayu.

“Sudah malam ‘kok masih on? Jangan terlalu banyak begadang, Ya.” Bibirku tersenyum saat membaca chat darinya. Jariku mulai menari membalas chat darinya.

“Nggak tahu kenapa aku tidak bisa tidur, Yu. Mungkin masih kepikiran kejadian tadi kali hehe ...”

“Ih ... sudah. Jangan terlalu diingat. Aku malu tahu. Sudah tidur sana.”

“Iya ... iya. Biasanya adikku selalu membangunkanku ‘kok. Tenang saja. kamu sendiri kenapa belum tidur?”

beberapa menit ia tidak membalas atau membaca chat dariku. Aku kembali melihat-lihat isi profil akunnya. Aku menyimpan beberapa gambar quotes yang menurutku sangat menginspirasi. Jam digital di handphoneku sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Rahayu masih belum membaca pesan dariku. Mungkin dia sudah terlelap tidur. Perlahan rasa kantuk mulai menyerangku. Suasana malam yang sepi dan dingin membuat badanku rileks. Perlahan aku mulai memejamkan mataku. Alam bawah sadar mulai mengambil alih kesadaranku. Handphone yang masih kugenggam bergetar, tetapi mata ini sudah sulit untuk kembali terjaga.
Suara alarm di pagi hari membuat kesadaranku perlahan kembali. Mataku masih terasa berat untuk dibuka. Handphone di tanganku bergetar hebat. Sepertinya ada yang meneleponku di seberang sana. Dengan mata masih terpejam aku menekan layar handphone untuk menerima panggilan.

“Halo, siapa ini? mengapa meneleponku pagi-pagi sekali?” tanyaku lemas.

“Selamat pagi, Surya. Ayo bangun. Jangan lupa ibadah,” gumam suara perempuan yang terasa tidak asing di telingaku.

“Nadea?! Ini Nadea? Tumben kamu meneleponku pagi – pagi,” gumamku kaget sambil bangkit dari tempat tidurku. Ia terkikik pelan mendengar pertanyaanku.

“Iya, ini aku. Kamu baru bangun, ya. Ayo cepat mandi dan bersiap ke gereja. Sudah dulu, ya. Sampai ketemu di Gereja” gumamnya.

“Tut ... tut ... tut ...” suara telepon terputus terdengar di handphoneku. Ah ... ternyata ia sudah memutus teleponnya. Memang belakngan ini Nadea semakin gencar mendekatiku dan memberikan perhatiannya padaku. Bahkan beberapa kali ia memberikanku bekal buatannya saat jam istirahat. Aku melihat layar handphoneku menampilkan sebuah chat facebook yang masuk. Ternyata dari Rahayu. Ia baru membalas chatku pukul 4 pagi.

“Maaf, aku baru selesai ibadah malam. Sekarang aku mau lanjut menghapal sambil menunggu waktu shubuh. Aku sudah tidur di mushola tadi, jadi aku tidak merasa ngantuk,” ketiknya. Aku benar-benar dibuat kagum olehnya. Ia masih menjalankan kewajibannya ketika orang-orang beristirahat. Jika saja tidak ada batas diantara kita, mungkin aku akan langsung mempersiapkan proposal untuk melamarmu. Aku tidak ingin kehilangan gadis yang memiliki kecantikan luar dalam seperti dirimu. Aku bersumpah akan menjagamu sepenuh hatiku. Jarum jam menunjukkan pukul delapan pagi saat aku bersiap menuju gereja. Stevani, adikku merasa heran melihat kakaknya yang sudah bersiap.

“Kakak tumben bangun pagi. Biasanya tidak akan bangun sebelum aku membangunkanmu. Biasanya juga jam 9 kamu baru berangkat ke gereja,” gumam Stevani. Aku hanya tersenyum mendengar celotehan adikku.

“Sudah, cepat bersiap. Mau bareng nggak berangkatnya?” tanyaku. Stevani menganggukkan kepalanya dan bergegas mengganti bajunya. Setibanya di gereja, aku bertemu dengan Nadea. Ia tampak anggun menggunakan kemeja batik dan rok panjang hitam dengan rambut hitam panjang tergerai.

“Selamat pagi, De,” sapaku. Ia hanya tersenyum dan menatap mataku sekilas. Ada apa dengannya? Biasanya ia membalas dan mengajakku bicara sebentar sebelum masuk ke dalam gereja. Padahal saat dia meneleponku tadi ia tampak ceria. Ah ... entahlah. Mungkin ia sedang terburu-buru. Aku menyusulnya masuk ke dalam gereja. Aku beribadah sampai pukul 11:00. Aku mengajak adikku pulang, tetapi ia menolak karena ingin bermain di rumah temannya. Aku membuka layar handphoneku dan mencari kontak Rahayu. Aku ingin sekali menelepon atau meng-SMSnya untuk sekedar mengetahui apa yang sedang ia kerjakan sekarang. Tapi aku tidak tahu apa yang harus kutulis di pesanku.

“Ah ... mengapa aku jadi bingung sendiri?” gumamku pelan.

“Surya, kamu belum pulang?” tanya seorang gadis yang datang menghampiriku.

“Eh ... Nadea. Iya ini baru mau pulang,” ujarku. Beberapa saat Nadea menatap mataku. Aku melihat tatapannya seolah penasaran padaku.

“Ada apa, De, “ tanyaku.

“Eh ... nggak. Aku tadi kesini bareng sama Mama. Tapi Mama malah mampir dulu buat arisan. Maukah kamu mengantarkanku pulang, Ya? Sekalian ada yang ingin aku tanyakan padamu,” ujar Nadea. Aku tersenyum sambil memberikan helm cadangan kepadanya. Nadea membalas senyumku dan memakai helm cadangan yang kuberikan.

“Makasih, ya” ujarnya.

“Woles aja kali, De. Kamu ‘kan sahabatku,” ujarku sambil menstarter motor matic-ku. Dalam hati aku penasaran apa yang ingin dia tanyakan. Apakah ini ada hubungannya dengan sikap cueknya padaku tadi pagi? Atau jangan-jangan dia melihatku membonceng Rahayu kemarin? Ah ... entahlah. Sekarang aku harus fokus menyetir dan mengantarkan Nadea dengan selamat.
Sebuah rumah tingkat 2 bergaya minimalis menyambut kedatanganku dan Nadea. Teriknya sinar matahari siang ini terhalang oleh pohon mangga yang ditanam di halaman rumah. Suasana semakin sejuk dan asri ketika aku melihat beberapa tanaman hias dan tanaman bunga di halaman rumahnya yang cukup luas.

“Ayo masuk dulu, Ya,” ujar Nadea setelah aku memarkirkan motorku. Meskipun aku dan Nadea sudah menjadi teman dekat sejak kelas 1, ini adalah pertama kalinya aku mengantarnya pulang. Biasanya ia pergi ke sekolah menggunakan mobilnya atau dijemput oleh sopirnya. Aku sedikit terkesan saat pertama kali melihat dekorasi ruang tamu rumah Nadea. Dekorasi campuran bergaya modern dan sunda membuatku kagum.

“Duduk dulu aja, Ya. Aku ganti baju dulu,” teriak Nadea dari lantai 2. Sejenak aku memandangi beberapa foto yang terpampang di ruang tamu. Ternyata Nadea adalah anak bungsu dari 2 bersaudara. Kakaknya sudah berkuliah di salah satu kampus terkenal di Indonesia. Sebuah foto Nadea dengan kakaknya yang berlatar sebuah kampus yang membuatku berpikiran demikian.

“Maaf menunggu lama, Ya,” ujar Nadea sambil membawa baki berisi jus jeruk dan stik kentang goreng. Nadea menyuruhku duduk di sofa dan menuangkan segelas jus jeruk.

“Ya, semalam aku melihatmu berboncengan dengan Rahayu loh sepulang pensi. Aku belum pernah melihatmu mengantar seorang gadis sebelumnya. Kalau aku boleh tahu, apa hubungan kalian berdua? Kamu suka sama Rahayu?” tanya Nadea sambil memberikan segelas jus jeruk padaku. Aku terkejut mendengar pertanyaan Nadea. Ternyata dugaanku benar. Sikap cueknya tadi pagi ternyata karena ia cemburu melihatku mengantar pulang Rahayu. Sejenak aku terdiam sambil memandang jus jeruk yang ada di depanku. Aku bingung bagaimana caraku menjelaskannya pada Nadea. Jika aku berkata jujur, ia mungkin akan marah padaku dan persahabatan kami menjadi renggang. Jika aku berbohong, aku takut membuatnya merasakan sakit lebih dari ini. Ah ... apa yang harus kukatakan padanya? Kulihat Nadea menatapku erat. Seakan ingin masuk kedalam otakku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Ya,” gumamnya lirih. Kuberanukan diriku menatap wajahnya yang tampak gelisah menunggu jawaban dariku.
“Iya, De. Aku suka sama Rahayu. Aku suka sama dia sejak kelas 1. Semalam aku mengantarkannya pulang ke rumah dan menyatakan perasaanku padanya. Tapi dia belum menjawab perasaanku ‘kok, De. Dia memilih untuk bersahabat denganku,” jawabku jujur. Aku mendengar Nadea menghela napas panjangnya. Sejenak kami berdua terdiam dalam kesunyian tenggalam di dalam pikiran masing-masing. Hanya suara burung perkutut di pekarangan rumah yang terdengar diantara kesunyian ini. Aku tahu saat ini Nadea pasti kecewa padaku. Sebuah jawaban yang tidak ingin ia dengar dan menghancurkan harapannya padaku.

“Kamu yakin kalau kamu jatuh cinta dengan Rahayu, Ya?” tanya Nadea lirih.
“Sepertinya begitu, De. Aku kagum sama sikapnya, sifatnya, aku benar-benar suka padanya,” jawabku.Nadea tersenyum menatapku. Aku terkejut melihatnya tidak marah padaku. Bahkan aku tidak melihat raut kesedihan di wajahnya.

“Kamu nggak marah, De?” tanyaku penasaran.

“Kenapa aku harus marah? Aku ‘kan cuma sahabatmu. Aku tidak punya hak untuk marah,” ujar Nadea tersenyum. Aku bingung melihat reaksi Nadea. Biasanya orang akan kecewa bila mengetahui orang yang disukainya menyukai orang lain. Apakah selama ini Nadea berbohong tentang perasaannya padaku?

“Tapi tolong dipikir lagi matang-matang ya, Ya. Aku takut bahagia yang kamu rasakan saat ini akan membuatmu sakit hati pada akhirnya. Kalau kamu nekat melanjutkan hubunganmu dengan Rahayu, kamu harus siap menanggung akibatnya,” ujar Nadea.

“Aku tahu ‘kok, De. Aku pasti bakal menghadapi permasalahan yang rumit kalau serius melanjutkannya. Tapi aku yakin kalau ada niat pasti ada jalan,” senyumku.

“Jangan ragu lagi buat cerita ke aku ya, Ya. Tentang masalah sekolah, keluarga, atau hubunganmu dengan Rahayu. Aku selalu siap menjadi pendengar baikmu. Apapun masalahmu pasti akan aku bantu sebisaku.”

“Tapi, De. Aku takut kamu malah sakit hati jika aku curhat tentang hubunganku dengan Rahayu.”

“Santai aja, Ya. Aku memang sayang sama kamu dan itu nggak bakal berubah. Aku tahu yang namanya perasaan ‘kan nggak bisa dipaksain. Selama aku bisa melihatmu tersenyum dan mengobatimu disaat terluka itu sudah cukup buat aku, Ya,” ujar Nadea. Aku tersenyum pada Nadea. Aku merangkul lengan kanannya dan mengelus pundaknya. Orang mungkin akan mengganggapku bodoh karena mensia-siakan perasaan yang tulus dari salah satu idola sekolah. Tapi perasaanku tidak bisa berbohong. Rasanya beruntung sekali aku memiliki sahabat yang sangat pengertian padaku.

“Terima kasih ya, De. Aku yakin kamu akan mendapat pasangan yang lebih baik dariku,” gumamku dalam hati.
 
9. Kisah masa lalu dan sebuah tekad (pov Nadea)

Suara alunan adzan shubuh yang berasal dari masjid dekat rumahku membuat aku terbangun dari mimpi malam ini. Perlahan mataku terbuka dan terdiam mengumpulkan sisa kesadaranku yang masih sedikit terbawa saat bermimpi. Sejenak aku mengingat sebuah kejadian malam kemarin yang membuatku kembali merasakan pahitnya cinta. Saat luka lama dihatiku kembali tergores dan semakin terbuka oleh lelaki yang sama. Lelaki yang menolak cintaku saat kelas 10. Lelaki yang terus aku dekati tanpa kenal lelah selama 2 tahun terakhir. Lelaki yang membuatku pertama kali merasakan sakitnya patah hati. Semua perjuangan dan pengorbananku padanya selama ini terasa sia-sia saat kulihat ia berusaha mendekati Rahayu, siswi manis yang terkenal paling alim di sekolah. Bahkan Surya mengantarnya pulang malam itu. Ya, lelaki itu bernama Surya Prasetya, siswa paling populer di sekolah sekaligus sahabatku sendiri. Aku berusaha bangkit dari tidur dan duduk termenung di pinggir kasur menghadap cermin. Kulihat pantulan cermin yang menampakkan kondisi tubuhku yang berantakan dengan mata sedikit sembab sisa ratapanku semalam. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya kisah asmaraku kandas. Ketika SMP aku sering menjalin kisah asmara dengan teman sekolahku. Kakak kelas, adik kelas, hingga teman sekelas pernah mengajakku berpacaran. Bahkan aku dijuluki “Nadea, playgirl sang penakluk” oleh beberapa temanku karena memiliki pacar lebih dari satu. Aku memang dianugerahi dengan postur tubuh yang tinggi dibandingkan gadis sebayaku, tubuh yang terbilang ideal, kulit kuning langsat dan wajah chinese yang diturunkan dari kedua orang tuaku. Tidak heran aku dinobatkan sebagai siswi tercantik saat SMP. Bahkan gelar itu tetap bertahan saat aku pindah ke SMA. Meskipun sudah sering berpacaran, baru kali ini aku merasakan pahitnya sakit hati. Surya memang lelaki spesial yang bisa membuat playgirl sepertiku tidak berdaya. Sejenak aku teringat kenangan saat pertama kali aku mengenalnya.
***
Udara pagi hari itu terasa sejuk menyapaku yang bersiap pergi menuju sekolahku yang baru. Setelah merapihkan rambut panjangku dan menghabiskan sarapan, aku berangkat ke sekolah ditemani sopir keluargaku. Sepanjang perjalanan aku sangat menikmati pemandangan hamparan sawah di pinggir jalan yang biasanya sangat jarang aku temui di tempat tinggalku yang dulu. Aku baru seminggu tinggal di kabupaten bernama Purwakarta ini. Sebuah kabupaten kecil di Jawa Barat yang terkenal dengan sate marangginya. Aku pindah mengikuti ayahku yang baru saja diangkat sebagai kepala cabang sebuah bank swasta di Purwakarta. Meskipun kecil, ternyata purwakarta adalah kabupaten dengan potensi wisata alam dan budaya yang sangat bagus. Satu kata dariku untuk Kabupaten ini. ISTIMEWA. Setelah menempuh perjalanan selama 15 menit, akhirnya aku sampai di sekolah baruku. Sebuah gerbang besar dengan plang bertuliskan “SMA NEGERI 2 PURWAKARTA” menyambutku saat aku baru turun dari mobil. Tampak beberapa siswa yang masih menggunakan seragam SMP melewatiku dan masuk kedalam gerbang. Mungkin mereka adalah siswa baru seperti diriku. Hari ini adalah hari pertama MOS (Masa Orientasi Siswa) di sekolahku. Aku melihat papan pengumuman mencari namaku di daftar kelas sebelum masuk ke dalam kelas. Setelah mengetahui nama kelas dan letak ruangannya, aku bergegas menuju kelas untuk bertemu teman baruku. Beberapa pasang mata menatap ke arahku saat aku memasuki kelas. Aku membalas tatapan mereka dengan tersenyum ramah. Aku mengintari pandangan mencari sebuah kursi kosong.

“Permisi ... maaf, apakah kursi ini kosong?” tanyaku kepada seorang siswi berjilbab yang tengah asyik duduk sendiri sambil menulis sesuatu di buku tulis. Ia menghentikan kegiatannya dan beralih menatapku.

“Oh ... iya. Kosong ‘kok. Silahkan kalau kamu ingin duduk disini. Kenalkan namaku Yunita,” ujar gadis itu sambil tersenyum manis dan mengulurkan tangan kanannya padaku.

“Namaku Nadea,” ujarku sambil membalas uluran tangannya. Sejenak kami berdua asyik mengobrol saling mengenalkan diri masing-masing. Ternyata Yunita juga sama sepertiku. Dia adalah siswa pindahan dari pesantren dan baru pertama kali bersekolah di sekolah umum. Beberapa menit kemudian bel masuk berbunyi. Tampak 2 orang siswa memakai seragam putih abu-abu dan blazer hitam berlambang OSIS memasuki kelasku. Kulihat Ternyata mereka adalah pembimbing kelasku saat kegiatan MOS. Mereka langsung menjelaskan beberapa informasi mengenai kegiatan MOS dan profil sekolahku.

“Jadi siapa yang bersedia menjadi ketua kelas?” tanya salah satu pembimbing kelasku. Kelas mendadak terasa hening menunggu sukarelawan yang bersedia menjadi ketua kelas. Terlihat raut wajah yang sedikit kesal dari pembimbing kami saat tak kunjung ada yang berani mengajukan diri. `

“Selamat pagi, Kak ... ```````maaf saya terlambat. Tadi ada masalah di jalan,” ujar seorang siswa laki-laki yang tiba-tiba da`tang dan berdiri terengah-engah di depan pintu kelas. Tampak peluh membanjiri wajah`putihnya yang tampak kemerahan. Walaupun penampilannya berantakan, wajahnya tetap terlihat tampan.

“Siapa namamu? Mengapa kamu bisa terlambat?” cecar salah satu pembimbing.

“Nama saya Surya, Kak. Saya terlambat karena ada masalah di jalan,” jawab siswa itu.

“Baiklah, karena kamu terlambat kamu saya hukum push up 15 kali sebelum masuk kelas.”

“Waduh ... tadi di depan gerbang saya sudah dihukum, Kak. Masa di kelas dihukum lagi?”

“Jangan ngeyel kamu .... masih untung tidak saya tambah hukumannya. Oh iya, agar kamu tidak terlambat lagi, kamu saya angkat sebagai ketua kelas.” Tampak kedua pembimbing menampilkan senyum jahat dan puasnya melihat anak baru itu dihukum.

“Tapi, Kak ...”

“Sudah jangan banyak alasan. Sekarang kamu pilih salah seorang perempuan sebagai wakil ketua kelas,” titah salah satu pembimbing. Ia sejenak memandang seisi kelas.

“Itu, Kak. Yang duduk di barisan depan meja guru nomor 2 dari depan. Di samping cewek yang pakai kerudung,” ujarnya sambil tersenyum dan menunjuk kearahku. Aku terkejut saat ia menunjukku sebagai wakilnya. Semua mata di kelas langsung terfokus padaku. Sial ...

“Pinter juga kamu milih yang paling cantik. Siapa namanya?” tanya salah satu pembimbing.

“Eh ... nggak tahu, Kak. ‘Kan saya baru pertama kali masuk.”

“Makannya ajak kenalan. Coba kamu kedepan dan berkenalan dengan ketua kelas yang baru,” titah salah satu pembimbing padaku.

“Eh ... tapi, Kak ...” gumamku keberatan.

“Ayo cepat ke depan. Atau kamu mau saya hukum?” ancamnya. Akhirnya dengan terpaksa aku bangkit dan melangkah ke depan kelas. Suara sorakan dan siulan dari teman-trman kelasku. Aku hanya tersenyum kecut melihat mereka menggodaku dengan Surya saat kami berada di depan kelas.

“Ayo cepat kenalan. ‘kok malah pada malu-malu, sih,” ujar seorang pembimbing. Surya melangkah pelan kearahku tersenyum manis dan mengulurkan tangan kanannya padaku.

“Kenalkan, namaku Surya. Nama kamu siapa?” ujarnya sambil tersenyum malu.

“Nadea,” jawabku sambil menyambut uluran tangannya.

“Cie ... cie ... haha ...” teriak teman sekelasku sambil tertawa.

“Tembak ... tembak ...” celetuk Imam, salah satu siswa yang paling berisik di kelas. Kulihat kedua pembimbingku tersenyum dan tertawa puas berhasil mempermalukanku dengan Surya di depan kelas. Sejak saat itu hubunganku dengan Surya semakin dekat. Bahkan beberapa temanku menyebut kami seperti anak ayam dengan induknya karena selalu bersama. Beberapa siswa yang ingin mendekati kami berdua seakan mundur perlahan karena menyangka kami berpacaran.
***
“De ... kamu sudah bangun? Ayo bangun, De. Temenin aku joging di taman.” Suara ketokan pintu dan teriakan Siska, Kakakku. Aku segera tersadar dari lamunanku dan bergegas membuka pintu kamar. Kulihat Kak Siska sudah rapih mengenakan kaos jersey dan celana training. Kak Siska memandangi wajahku dengan tatapan aneh.

“Kamu kenapa, Dek? ‘Kok kucel banget? Matamu juga merah. Kamu begadang semalam?” tanya Kak Siska.

“Nggak ‘kok, Kak. Aku agak susah tidur semalam,” jawabku.

“Ah ... aku tahu. Kamu lagi galau, ya? Pasti gara-gara Surya. Haha ....” Aku hanya tersenyum kecut melihat reaksi kakakku yang tertawa mengejekku. Aku dan Kak Siska memang sangat dekat dan kami mengetahui semua masalah dan rahasia masing-masing.

“Ih ... Kakak, adiknya lagi galau malah diketawain,” gumamku sambil memasang wajah kesal.

“Haha ... jarang-jarang aku lihat kamu galau berkepanjangan gara-gara cowok. Biasanya cowok yang galau sama kamu. Haha ... kena karmanya kamu.”

“Bodo, Ah ...” ujarku kesal sambil menutup pintu kamarku.

“Eh ... tunggu ... uh ... adekk`u sayang jangan ngambek dong ... Haha ...”

“Bodo amat ... lagian ngapain, sih ngetok kamarku pagi-pagi,” gerutuku.

“Ikut Kakak lari pagi, yuk,” ajak Kak Siska.

“Ogah ... males ...”

“Yah ... masih ngambek aja, nih. Nanti Kakak traktir kupat tahu, deh ... “ rayu Kak Siska.

“Iya, deh ... aku ganti baju dulu,” jawabku sambil masuk ke dalam kamar. Pagi ini `suasana taman kompleks tampak lebih ramai dari hari biasanya. Mungkin karena hari libur beberapa orang memanfaatkannya untuk berolahraga atau berjalan-jalan di taman bersama keluarga. Udara segar khas pagi hari dan beberapa pohon mangga menyambut kami saat tiba di pintu masuk taman. Aku langsung menuju joging track dan berlari kecil mengiintari taman. Beberapa siulan burung pipit yang hinggap di tanah dan dahan pohon membuat suasana taman semakin asri. Beberapa kali aku bertemu dan bertegur sapa dan berbincang dengan tetangga rumahku yang sedang berolahraga di taman. Sungguh sebuah kearifan lokal yang jarang aku temui ketika aku tinggal di Jakarta. Purwakarta memang sebuah kota kecil yang menyimpan banyak `wisata alam dan kearifan lokal yang masih` terjaga. Sebuah tempat yang` bagus orang-orang yang ingin beristirahat menghindari keramaian ibukota.

“Dek ... tungguin, dong. Aku sudah tidak kuat lagi,” teriak Kak Siska sambil berlari dibelakangku.

“Ah ... payah. Baru juga 5 putaran sudah capek,” ejekku.

“Sudahalah ... ayo sarapan dulu. Aku sudah lemas banget, nih.” Akhirnya kami beristirahat sambil menikmati kupat tahu di pinggir taman. Aku menyapukan pandangan ke arah taman sambil menunggu pesanan kupat tahuku datang. Kulihat sepasang kekasih tengah bercanda di bangku taman. Aku hanya bisa mendengus kesal karena iri melihat kebersamaan mereka. Andaikan Surya mau memberiku sedikit perhatian dan kesempatan padaku untuk merebut hatinya. Sudah berbagai cara kulakukan untuk mendapatkan hatinya. Tetapi ia hanya menganggapku sebagai sahabatnya.

“Kepikiran Surya lagi?” tanya Kak Siska memecah lamunanku.

“Eh ... `eng ... nggak ‘kok.”

“Semakin kamu berusaha menutupi semakin terlihat jika kamu berbohong. Luka di dalam hati tidak akan hilang jika kamu hanya memendamnya seorang diri. Ceritakan padaku apa masalahmu,” ujar Kak Siska. Aku menarik nafas perlahan dan mulai menceritakan kejadian semalam yang membuatku sakit hati. Kak Siska menyimak ceritaku sambil memakan kupat tahu pesanannya yang baru datang.

“Jadi begitu, Kak ceritanya,” ujarku mengakhiri cerita.

“Memang kamu punya bukti lain kalau mereka pacaran? Kamu sudah tanya Surya langsung?” aku menggelengkan kepalaku.

“Belum ada buktinya tapi kamu sudah berpikiran seperti itu,” ujar Kak Siska.
“Tapi, Kak ...”

“Coba kamu tanya Surya dulu. Nanti kalian bertemu di Gereja’ kan?”

“Tapi kalau Surya beneran suka sama Rahayu gimana, Kak?”

“Kalau kamu beneran suka sama Surya, perjuangin. Aku yakin selama mereka masih berbeda agama, kisah asmara mereka akan berakhir singkat. Kamu juga bisa membuat Rahayu menjauhi Surya dengan perlahan,” gumam Kak Siska.

“Hah? Maksud Kakak aku harus melabrak Rahayu? Memusuhi Rahayu? Ah ... Surya nanti pasti akan membela Rahayu dan ikut memusuhiku, Kak.”

“Hadeh ... masih jaman ngelabrak cewek lain untuk mendapatkan cinta seorang cowok? Kamu tidak akan mendapatkan apa-apa dari cara itu. Serang sisi psikologisnya. Buat dia berpikir kalau hubungan ini tidak pantas untuk ia perjuangkan. Buat dia berpikir masih ada cowok lain yang lebih baik dari dia. Tegaskan padanya jika perbedaan diantara mereka berdua itu sangat besar. Buktikan cintamu lebih besar dari cintanya,” jelas Kak Siska sambil menyeruput teh tawar hangat miliknya. Tanganku memainkan sendok dan garpu yang berapda di atas piring kupat tahuku sambil berusaha mencerna nasihat dari Kak Siska. Memang benar jika mereka berdua saling menyukai sekalipun, terdapat batas yang menghalangi mereka berdua. Mereka berdua harus ada yang berkorban dan terluka untuk melewati atau bahkan melanggar batas ini. Aku yakin Rahayu tidak mungkin melewati batas itu karena dia sangat agamis. Yang harus kulakukan adalah memadamkan rasa suka Rahayu kepada Surya. Sebelum ada yang terluka dan demi kebaikan kita bertiga, aku harus melakukannya. Ini adalah wujud rasa cinta dan sayangku kepada Surya. Aku masih belum kalah dan akan memperjuangkan rasa ini. Siang itu aku meminta Surya mengantarku ke rumah setelah beribadah di Gereja. Aku memaksanya untuk mampir dan bercerita tentang kejadian semalam. Ternyata benar, Surya menyukai Rahayu. Aku tidak mungkin menyuruh Surya untuk menjauhi Rahayu. Ia adalah tipe laki-laki yang keras kepala yang akan terus berjuang sampai keinginannya terwujud. Aku akan berusaha mendekati Rahayu dan menghasutnya untuk mundur perlahan. beberapa orang mungkin berpendapat jika cinta tidak selamanya harus memiliki dan kita akani kut bahagia jika melihat orang yang kita suka bahagia. Tetapi menurutku mencintai tanpa memliki hanya akan menyakiti perasaan kita sendiri dan membuat diri kita “terbunuh” dengan perlahan. aku tahu jika kalian memaksakan hubungan ini hanya penderitaan cinta yang kalian dapatkan. Aku akan bertindak sebelum salah satu diantara kita terluka terlalu dalam.
 
Hmm.. memang rumit ane ngalamin dan akhirnya bisa dilewatin batasannya walaupun pasti bnyk pihak yg gk setuju. Keren om ceritanya. Ini kisah yg sering trjadi tapi jarang berakhir dgn indah.
 
10. Nasihat sahabat dan sebuah tekad
Pov Rahayu

“Tidak akan ada putih tanpa adanya hitam, tidak akan ada kebenaran tanpa adanya kesalahan, tidak akan ada kebaikan tanpa adanya kejahatan. Lantas apakah perbedaan pantas menjadi alasan untuk sebuah perpisahan?”

Aku tengah asyik memainkan gadget nya sambil tiduran di sofa ruang tamu, tersenyum saat membaca sebuah postingan dari akun media sosialnya. Sebuah gambar yang menampakkan sebuah perbandingan gambar air berwarna merah dengan gambar air berwarna orange, seolah menggambarkan bahwa adanya perbedaan bukan sebagai pemisah, melainkan pemersatu dan membat semuanya menjadi lebih indah. Sepertinya gadis itu setuju dengan statement postingan tersebut. Sejatinya memang setiap manusia memiliki latar belakang, sifat, dan kemampuan yang berbeda. Tetapi mereka masih bisa hidup berdampingan dan bekerjasama untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Lantas apa landasan mereka yang menjadikan perbedaan menjadi sebuah alasan untuk saling berpisah dan bermusuhan?

“Rahayu .... nanti sore bantu ibu mengajar lagi, ya,” teriak Ibuku dari arah dapur.

“Iya, Bu,” jawabku sambil menaruh gadget dan bangkit menghampiri ibunya. Terlihat seorang wanita setengah baya tengah sibuk memotong sayur untuk makan siang. Aku perlahan mendekati ibunya dan duduk disampingnya. Tangan mungilnya menyambar sebuah wortel yang belum dipotong.

“Rahayu bantu ya, Bu.” Ibuku hanya tersenyum sambil tetap fokus memotong kol dan seledri.

“Bagaimana sekolahmu? Apakah semuanya lancar? Bagaimana dengan nilaimu?,” tanya Sang Ibu. Rahayu terdiam sejenak. Ingin rasanya ia bercerita tentang kejadian yang dialaminya belakangan ini. Kejadian yang membuatnya jadi sering termenung dan sulit tidur. Biasanya ia memang selalu menceritakan segala hal tentang dirinya pada Sang Ibu. Namun sepertinya ia belum siap menceritakan kejadian yang menimpanya saat ini. Ia tidak bisa mambayangkan bagaimana reaksi Ibunya ketika seorang siswa baru saja menyatakan cintanya pada anak gadisnya. Apalagi ketika ia mengetahui jika pemuda itu adalah seorang kristiani.

“Apakah sudah ada laki-laki yang mendekatimu? Atau jangan-jangan kamu sudah mempunyai pacar?” selidik Sang Ibu. Aku terkejut saat mendengar pertanyaan Ibunya. Apakah Ibu melihatku pulang diantar Surya semalam? Atau inikah yang dinamakan feeling seorang Ibu terhadap keadaan anaknya.

“Emh ... tidak ‘kok, Bu. Aku terlalu fokus belajar dan menghapal surat. aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal seperti itu,” gumamku berbohong. Ibuku terdiam sejenak menatapku dan tersenyum.

“Masa SMA adalah masa yang indah, Nak. Masa dimana kita bisa mempunyai teman banyak, sahabat yang baik, bahkan merasakan indahnya jatuh cinta. Ibu tidak akan marah jika kamu jatuh cinta. Sangat wajar diusiamu yang sekarang merasakan jatuh cinta. Tapi kamu harus ingat batasan dan larangan ketika kita berteman dengan laki-laki. Cukup rasakan, cintai, dan kagumi dia dalam diam. Kita tidak pernah tahu kapan iblis datang dan menggoda kita. Percayakan semuanya kepada Allah SWT. Percaya bahwa Allah sudah mengatur kisah cintamu lebih indah dibandingkan pasangan yang menghiraukan larangannya karena jatuh cinta,” ujar Ibuku. Aku tersenyum mendengar nasihat ibuku. Memang semua yang dikatakan Ibuku benar. Namun aku juga tidak tahu apakah aku sanggup menahan perasaan ini dan menikmatinya dalam diam. Terkadang aku berpikir, apakah salah seorang gadis muslimah sepertiku tidak boleh merasakan jatuh cinta? Jika di usiaku saat ini jatuh cinta hanya akan mendatangkan kemudharatan, mengapa Allah mendatangkan perasaan ini sekarang? Mengapa perasaan ini datang di saat yang tidak tepat? Ah ... entahah. Semakin aku memikirkannya, kepalaku semakin pusing. Aku percaya semua yang terjadi di dunia ini telah diatur oleh Sang pencipta dengan maksud dan tujuan tertentu. Mungkin waktu akan memberi tahu padaku maksud dari semua kejadian ini.

Matahari mulai menunjukkan rupanya saat aku bersiap berangkat ke sekolah. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 06:20 ketika aku melihat sebuah sepeda motor matic terparkir di depan pagar rumahku. Aku merasa tidak asing dengan warna dan model sepeda motor itu. tampak seorang siswa SMA mengenakan helm full face tengah asyik duduk di atas jok motor sambil mengotak-atik layar gadgetnya. Ah ... entahlah, aku mengacuhkannya dan bersiap berangkat sekolah karena aku sedikit terlambat.

“Bu, aku berangkat dulu, ya. Assalamualaikum,” ujarku sambil mencium punggung tangan Ibuku.

“Waalaikumsalam. Hati-hati ya, Nak,” ujar Ibuku sambil mengelus ujung kepalaku. Ketika aku berjalan melewati gerbang, tiba-tiba siswa SMA berhelm full face itu menghampiriku.

“Selamat pagi Rahayu. Izinkan aku mengantarmu ke sekolah.” Aku terkejut mendengar suara siswa itu. Sebuah suara yang menggetarkan hatiku belakangan ini.

“Surya? Kamu Surya? Kenapa kamu datang kemari?” tanyaku kaget. Siswa itu melepas helm full facenya. Tampak seorang siswa berwajah chinese dengan rambut yang sedikit berantakan karena terkena helm.

“Iya, ini aku. Aku sudah menunggu disini dari jam 6 subuh loh. Aku ingin berangkat sekolah bersamamu,” gumam Surya tersenyum. Aku berusaha terseyum mengatasi rasa kagetku. Baru kali ini ada seorang laki-laki yang terang-terangan berusaha mendekatiku.

“Maaf, Ya. Aku tidak bisa berboncengan lagi denganmu. Kita bukan mahram,” ujarku sambil berjalan meninggalkan Surya.

“Ayolah, Yu. Aku sudah menunggumu selama 1 jam. Kita bersahabat ‘kan.. Apakah salah jika aku membantu sahabatku?”

“Niatmu tidak salah, Ya. Tapi caramu yang salah. Agamaku melarang adanya kontak fisik antar manusia berlainan jenis. Aku harap kamu memaklumi itu. bukankah kamu sendiri yang bilang tidak ingin melampaui batas diantara kita,” gumamku sambil terus melanjutkan langkahku.

“Baiklah. Aku tidak akan memaksamu, tapi izinkan aku mengikutimu dari belakang,” ujar Surya. Aku tidak memperdulikan perkataannya. Aku tidak ingin kejadian malam itu terulang kembali. Setelah beberapa meter aku berjalan menuju gerbang kompleks, mataku melirik ke belakang. Kuliuhat Surya mendorong motornya sambil mengikutiku dari belakang. Ia tetap tersenyum walaupun peluh mulai bercucuran di dahinya. Astaga ... sebenarnya aku tidak tega melihatnya. Beberapa kali kusuruh ia untuk berangkat duluan ke sekolah. Tetapi ia menolak dan tetap mendorong motornya. Bahkan ia tetap menguntitku ketika aku sudah naik angkutan kota (Angkot). Akhirnya aku tiba di sekolah 15 menit sebelum bel masuk. Sebuah gerbang dengan gardu besar menyambutku ketika turun dari Angkot. Angin pagi yang sejuk, deretan pohon pinus, dan suara cicitan burung membuatku semangat menjalani hari ini.

“Rahayu tunggu ... bareng ...” gumam seorang siswi berhijab yang baru saja turun dari angkot.

“Ah ... Yunita. Selamat pagi, Nit. Sudah mengerjakan tugas?” tanyaku ketika ia menghampiriku. Yunita adalah teman terdekatku di sekolah. Kami sudah dekat sejak kelas 10 karena sesama anggota ROHIS. Kebetulan kami berada di divisi yang sama.. Ia adalah salah satu anggota ROHIS yang paling kental ilmu agamanya karena berasal dari pesantren. Beruntungnya aku sekelas dengannya saat ini.

“Pagi, Yu. Tugas fisika, ya? Nomor 3 aku kurang mengerti, Yu. Kalau yang lain aku sudah mengerjakannya. Kamu bagaimana?” tanya Yunita.

“Nomor 3 memang agak susah, sih. Tapi alhamdulilllah aku sudah menyelesaikan semuanya. Kalau kamu mau aku bisa memberitahu caranya,” gumamku.

“Tolong ajari aku ya, Yu. Ayo kita ke kelas dan ajarkan cara mengerjakannya sebelum bel masuk berbunyi,” Gumam Yunita semangat sambil menarik tangan kananku. Tiba-tiba sebuah motor matic berhenti di depan kami. Aku tahu itu adalah motor Surya. Sang pengendara membuka kaca helm full face miliknya.

“Sampai nanti, Yu. Semangat ya belajarnya,” ujar Surya sambil mengedipkan mata kanannya. Aku hanya tersenyum sambil menundukkan pandanganku. Ia menutup kaca helm dan pergi menuju parkiran. Yunita langsung menatapku curiga.

“Tadi itu Surya ‘kan? Kamu ada hubungan apa dengannya? Kamu pacaran sama dia?“ Yunita langsung memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Aku hanya tersenyum tipis dan berjalan mendahuluinya.

“Rahayu ....” Yunita sedikit menggerutu sambil menarik tali tasku.

“Iya-iya ... nanti akan kuceritakan semuanya padamu.”

Suasana sekolah ketika istirahat memang selalu ramai. Mayoritas siswa memilih menghabiskan waktunya di kantin atau bercanda dan berolah raga di lapangan basket dan futsal. Sementara aku dan Yunita memilih berdiam diri di dalam kelas. Kebetulan hari ini Yunita membawa bekal berlebih yang bisa dibagi denganku. Suara tawa dan candaan beberapa siswa yang berkumpul di koridor kelas menjadi pengiring ceritaku bersama Surya belakngan ini. Ya, aku menceritakan semuanya kepada sahabatku. Aku tidak mungkin menanggung dan menyelesaikan permasalahan ini sendiri. Terlebih aku kurang paham dengan masalah hati dan lawan jenis.

“Jadi begitu ceritanya, Nit. Sekarang aku bingung harus bagaimana,” gerutuku sambil menikmati sepotong sandwich milik Yunita.

“Kamu suka sama dia, Yu?” tanya Yunita. Aku menghela napas sejenak.

“Entahlah, Nit. Baru pertama kali aku merasakan perasaan seperti ini. Aku tidak tahu apakah ini cinta atau hanya kagum. Aku takut apa yang kurasakan saat ini hanya akan membawa kemudharatan bagiku,” ujarku sambil menundukkan pandangan.

“Yu, sangat wajar di usia kita saat ini mulai tertarik dengan lawan jenis. Yang terpenting adalah bagaimana cara kita mengatasi perasaan ini. Salah langkah sedikit saja, kita bisa terjebak dalam lubang zinah,” ujar Yunita.

“Aku tahu, Nit. Makannya aku bingung. Ketika aku berusaha mengabaikan perasaan ini, hati dan pikiranku menjadi kacau. Bahkan rasa ini semakin kuat setiap harinya. Tolong bantu aku, Nit,” ujarku sambil menyandarkan kepalaku di bahu sahabatku ini. Ynita menghela napas sejenak sambil mengelus hijab belakangku.

“Mungkin ini adalah cobaan bagimu, Yu. Ustadzah di pesantrenku dulu pernah bercerita ketika seorang akhwat jatuh cinta, itu adalah penderitaan bagi dirinya. Keceriaan diwajahnya akan berubah menjadi gelisah karena hatinya merindukan sesuatu yang bukan haknya. Segala macam upaya harus dilakukan untuk memadamkan perasaannya. Bahkan jika ia harus menjauh dan menghilang dari pandangan sang ikhwan, ia akan melakukannya,” ujar Yunita. Aku terdiam sejenak meresapi semua perkataan Yunita. Memang benar rasa yang aku miliki adalah sebuah kesalahan. Layaknya sebuah virus di dalam komputer, aku harus segera membunuh dan membatasi perasaan ini sebelum menjalar lebih jauh ke dalam hatiku. Terlebih Surya berbeda keyakinan denganku.

“Berpuasalah, Yu. Mulailah menjaga jarak dengan Surya. Ingat kalian bukan mahram dan kalian berbeda golongan. Percayalah Allah sudah mengatur semuanya. Aku tahu kamu pasti akan merasakan sakit yang terbayangkan sebelumnya. Tapi yakinlah semua akan indah pada waktunya. Allah sudah menyiapkan sesuatu yang spesial untukmu setelah semua ini berakhir. Aku yakin kamu kuat menghadapinya karena Allah tidak akan memberikan ujian melebihi kemampuan kaumnya. Tenang saja, aku akan selalu berada di sisimu sampai semua ini berakhir,” gumam Yunita sambil merangkul pundakku. Aku tidak bisa lagi menahan tangisku. Tangan kananku menggenggam erat telapak tangannya. Ia kambali mengelus belakang hijabku dan mengeratkan rangkulannya. Sungguh beruntung sekali aku mempunyai sahabat seperti Yunita. Suasana ruangan kelas yang hanya ada kami berdua mendukungku untuk mencurahkan semua kegalauan dan isi hatiku dalam tangisku. Akhirnya dalam hati aku bertekad untuk menjauh dan membunuh rasa ini bagaimanapun caranya. Maafkan aku, Ya. Tapi ini adalah yang terbaik untuk kita berdua.
 
Bimabet
11. dukungan sahabat lama
pov Nadea
Angin pagi berhembus lembut memasuki sela jendela kamar yang masih tertutup rapat dan mengelus permukaan kulitku. Rasa dingin langsung menjalar ke seluruh tubuhku dan membuat bulu kudukku berdiri. Aku langsung terbangun dan bersiap menjalani rutinitas hari ini. Entah mengapa sejak aku menyusun rencana untuk mendapatkan Surya semalam, semangatku terus meningkat.

“Semangat Nadea. Kamu belum kalah. Ini adalah awal perjuanganmu,” gumamku dalam hati. Aku bergegas bersiap ke Sekolah dan memulai misi pertamaku, mendekati Rahayu melalui teman pertamaku di sekolah, Yunita. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 06:30 saat aku menunggu Pak Bejo, sopir pribadi keluargaku yang sedang menyiapkan mobil. Setiap hari aku memang selalu diantar jemput oleh Pak Bejo. Karena kedua orangtuaku sibuk bekerja, mereka menyewa seorang sopir untuk mengantar dan menjagaku setiap aku pergi. Sejujurnya aku kurang nyaman dengan cara orang tuaku yang cenderung over protectif terhadap kedua anaknya, terutama kepadaku. Terkadang aku iri dengan Kak Siska yang diperbolehkan membawa mobilnya sendiri. Namun aku tahu ini adalah wujud kasih sayang mereka padaku.

“Setiap orangtua mempunyai caranya masing-masing untuk menjaga anaknya, Dek. Bahkan setiap anak terkadang mendapatkan perlakuan berbeda dengan saudaranya. Bukan mereka lebih menyayangi salah satu anak mereka dibandingkan anak mereka yang lain, tetapi karena mereka tahu sifat dan apa yang dibutuhkan anak mereka,” nasihat Kak Siska ketika aku curhat tentang perlakuan orangtuaku yang membuaku sedikit tidak nyaman.

“Maaf agak lama, Non. Mesinnya sedikit bermasalah. Ayo berangkat, Non,” teriak Pak Bejo dari garasi. Aku segera menghampirinya dan masuk kedalam mobil.

Bel pulang sudah berbunyi sejak 10 menit yang lalu. Hampir semua teman sekelasku sudah keluar kelas untuk pulang atau mengikuti kegiatan organisasi dan ekstrakulikuler. Sementara aku masih sibuk piket membersihkan kelas bersama beberapa temanku. Saat aku sedang asyik menyapu, tiba-tiba seorang siswi berjilbab muncul dari balik pintu kelas dan tersenyum padaku.
“Yunita? Kamu apa kabar? Sejak kita berpisah di kelas 12, aku jarang berjumpa denganmu,” sapaku membalas senyum.

“Alhamdulillah baik, De. Padahal kelas kita hanya dipisahkan 2 ruangan, tapi sulit sekali aku berjumpa denganmu,” ujarnya sambil masuk kedalam kelas dan mendekatiku. Aku menghampiri dan memeluknya sesaat seperti dua orang yang sudah lama tidak berjumpa.

“Kebetulan kamu datang kemari, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu,” gumamku sambil melepas pelukanku.

“Wah ... kebetulan sudah lama kita tidak saling bercerita. Bagaimana jika kita bertemu di kafe di persimpangan dekat halte sekolah?” ujar Yunita.

“Baiklah. Kamu pergi duluan saja. Aku harus menyelesaikan tugasku dulu. Secepatnya aku akan menyusulmu.”

“Ok siap, De,” ujar Yunita sambil melangkah pergi keluar kelas. Aku langsung mengambil gadget dan mengirim pesan pada Pak Bejo agar menjemputku di cafe nanti sore.

Sebuah cafe kecil di dekat sekolah menjadi pilihanku untuk bertemu dengan Yunita. Konsep cafe yang tradisional dan tenpatnya yang bersih menjadikannya sebagai tempat yang cocok untuk menghabiskan waktu berbincang dengan teman dan sahabat. Suasana cafe sedikit sepi saat aku tiba. Hanya ada beberapa orang pengunjung yang tengah menikmati makan siangnya. Pandanganku mengintari seluruh sudut cafe dan terpaku pada seorang gadis manis berjilbab yang tengah membaca buku sambil menikmati jus alpukat. Aku bergegas menghampiri dan menepuk pundak kanannya.

“Maaf agak lama, Nit,” sapaku sambil duduk di depan Yunita.

“Oh ... iya, De. Silahkan duduk dan pesan dulu,” gumam Yunita sambil menutup buku bacaannya. Seorang waiters langsung menghampiri mejaku saat aku duduk. Aku memesan seporsi cup cake cokelat dan segelas jus mangga.

“Sebenarnya alasanku menemuimu adalah ingin meminta saranmu tentang masalah yang tengah dihadapi temanku,” ujar Yunita setelah waiters pergi meninggalkan meja kami.

“Memang temanmu punya masalah apa? ‘kok sampai harus meminta saranku?” tanyaku penasaran.

“Ini masalah serius, De. Aku sendiri belum pernah menyelesaikan masalah seperti ini.”

“Jadi apa masalahnya?”

“Temanku tengah didekati oleh seorang cowok di sekolah kita. Sementara ia sendiri tidak ingin berpacaran dengannya. Meskipun ia merasakan hal yang sama dengan cowok itu, dalam agama kami pacaran itu dilarang.” Aku masih terdiam menyimak permasalahan yang tengah dihadapi oleh teman Yunita. Kudengar permasalahan cinta memang sudah menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian akhwat seperti Yunita. Kita memang tidak bisa menolak untuk jatuh cinta., meskipun banyak hal rumit yang menghalangi datangnya cinta tersebut. Jatuh cinta bukanlah sebuah pilihan, karena jatuh cinta adalah salah satu rasa yang telah ditanamkan oleh Sang kuasa kepada setiap mahkluknya.

“Bukankah ia tinggal menghindar dan berkata jujur padanya? Aku yakin cowok itu pasti akan “mundur” dan menjauhi temanmu,” gumamku.

“Temanku sudah melakukan keduanya, De. Tetapi cowok itu malah semakin intens mendekatinya. Menjauhinya saja sudah merupakan suatu hal yang sulit baginya, namun sangat menyakitkan ketika melihat perjuangan Sang cowok untuk mendapatkan hatinya. Itulah yang membuatku bingung, De,” ujar Yunita. Aku sedikit terkejut mendengar cerita Yunita. Sangat jarang aku melihat kegigihan seorang pria yang tetap memperjuangkan cintanya meskipun telah mengalami penolakan. Pria dalam cerita Yunita membuatku sedikit penasaran.

“Kalau aku boleh tahu, siapa cowok yang kamu maksud itu, Nit? Dari sekolah kita?” tanyaku penasaran.

“Kamu pasti sangat mengenalnya karena dia juga adalah teman baikmu di sekolah. Dia adalah Surya, siswa kelas 12 IPS 1.” Aku hanya menunduk dan membuang napasku perlahan ketika mendengar kabar dari Yunita. Memang aku sudah mendengar kabar ini dari Surya sendiri, namun hatiku masih terasa sakit ketika kembali mendengarnya. Yunita menatapku heran saat melihat reaksiku.

“Maaf, De. Kudengar dari beberapa siswa di sekolah kalau kamu menyukai Surya. Tetapi kulihat kamu tidak kaget ketika mendengar ceritaku,” gumam Yunita. Aku tersenyum mencoba menahan rasa sakitku.

“Temanmu itu bernama Rahayu ‘kan.” Kali ini justru Yunita yang terkejut. Pembicaraan kami terhenti sejenak ketika seorang pelayan datang mengantarkan pesananku.

“Ya, aku sudah mengetahuinya, Nit. Surya sudah menceritakannya padaku kemarin. Oleh karena itu aku mengajakmu kemari. Aku ingin meminta bantuanmu,” ujarku.

“Maksudmu?” ujar Yunita sambil mengerutkan dahinya.

“Nit, aku menyukai Surya. Aku jatuh cinta padanya sejak kelas 10. Beberapa kali aku berusaha mendekati dan menyampaikan perasaanku. Tetapi dia hanya menerimaku sebagai sahabatnya. Sekarang ia malah jatuh cinta dengan orang yang salah. Kamu tahu ‘kan jika mereka berdua tidak mungkin bersatu. Kisah cinta mereka hanya akan menyebabkan rasa sakit padaku dan mereka berdua,” gumamku. Yunita menyimak perkataanku dengan serius sambil menikmati jus alpukatnya.

“Jadi apa yang kamu inginkan?” tanya Yunita. Aku menghela napas sejenak dan memakan sesendok cup cake.

“Aku ingin kamu membantuku menjauhi Surya dengan Rahayu. Tolong bantu aku untuk menjalankan rencanaku, Nit. Demi Rahayu juga,” gumamku penuh harap. Yunita hanya terdiam setelah mendengar permintaanku. Sepertinya ia sedikit ragu untuk membantuku.

“Kamu bertanya padaku tentang solusi untuk masalah Rahayu ‘kan? Inilah jawabanku, Nit. Jika aku berhasil menjauhkan mereka berdua, maka masalah sahabatmu akan selesai dan aku berkesempatan menjadikan Surya sebagai pacarku. Kamu tidak ingin Rahayu terluka semakin dalam ‘kan,” ujarku sambil meneguk pelan coklat panas pesananku. Yunita masih terdiam sambil memejamkan mata dan menikmati sisa jus alpukatnya.

“Baiklah. Selama rencanamu tidak membahayakan mereka berdua, aku akan berusaha membantumu.” Aku tersenyum senang mendengar pernyataan Yunita. Rencana pertamaku berjalan mulus.

“Jadi apa yang harus aku lakukan?” tanya Yunita.

“Tolong pertemukan aku dengan Rahayu. Aku ingin berbagi kisah dan rasaku dengannya. Mungkin kita dapat saling mengerti setelah mengetahui isi hati masing-masing,” gumamku.

“Baiklah. Besok aku akan mempertemukanmu di pelataran mushola sekolah saat jam istirahat. Aku dan Rahayu selalu shalat dhuha disana saat istirahat,” ujar Yunita.

“Makasih ya, Nit. Sebenarnya aku ingin menemuimu lebih dulu karena ingin menceritakan masalah ini. Tetapi ternyata malah kamu yang datang ke kelasku,” ujarku tersenum lega. Beberapa menit kemudian kami larut dalam berbagai obrolan seperti sepasang sahabat yang lama tidak berjumpa. Sejak aku menjadi anggota cheerleaders sekolah, aku memang terlalu disibukkan dengan kegiatan dan kompetisi ekskul. Hal itu membuatku sulit brtemu dan berbicara dengan Yunita. Apalagi ketika kelas kami terpisah saat kelas 11 dan 12, seolah aku hanya menjadikan Yunita sebagai temanku selama beradaptasi. Namun sesungguhnya ia adalah teman yang baik dan bisa membuatku nyaman. Aku tidak sabar menanti pergantian hari. Aku ingin tahu sebesar apa rasa yang dimiliki Rahayu untuk Surya. Kuharap ia mengerti perasaanku dan membantuku mendapatkan Surya.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd