Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT RANJANG YANG TERNODA - REMASTERED

Itu mah tema cerita aja, intinya wanita cantik main ama cowok jelek kan, banyak yg temanya gitu macam ranjang ternoda ini, derita eliza, kisah aliya, derita sasa, predator sekolah, holiday challenge atau gak yg paling terkenal ya nightmare campus sampe dibikinin side story nya oleh akun lain, disitu kan kita belum tau gmna ending dari imron dkk, setau ane terakhir kali si imron ngerjain megan si cewek foreign
Kereen...... Veteran banget, ntu smua cerita legend di site KBB, hormat hamba buat suhu
 
Biasa.... sdh biasa di php soal RYT... sdh tahunan jadi biasa zaja.....wkwkwk
 
Thread saya lock dulu
TS silahkan PM jika merasa akan melanjutkan.




banyak laporan masuk tentang komen provokatif dan junk post.
Semoga suhu2 maklum dan bisa membaca cerita lain dulu

:beer:


---

SUDAH DIBUKA KEMBALI
13-09-2020
04:28 a.m
 
Terakhir diubah:
BAGIAN 11-B
ANISSA TERANIAYA




“Kamu kenapa, sayang?” tanya Dodit saat mobilnya melintas di jalan tol yang lengang.

Tidak ada jawaban. Mulut Anis seperti terkunci dengan rapat, bahkan tipis semburat senyumpun tak nampak. Anissa seperti bukan Anissa, dia seperti batu karang teguh yang diam menahan benturan ombak. Padahal hari ini mereka rencananya berangkat untuk makan malam berdua pertama yang bisa mereka lalui bersama setelah sekian bulan meninggalkan rumah Mas Hendra.

“Nis?”

Masih belum ada jawaban.

Sejak tinggal di rumah Mas Hendra beberapa bulan yang lalu Anissa tiba-tiba berubah, perangainya yang lembut dan ceria kini hilang ditelan sosok pendiam yang selalu menutup diri dan baper parah. Dia jarang sekali tersenyum dan lebih senang melamun. Anissa dan Dodit sendiri sebenarnya sudah cukup lama tidak jalan berdua namun calon suami istri ini seperti kehilangan gairah cinta di antara mereka.

Setidaknya itu yang dirasakan Dodit.

“Kemarin aku sudah bertanya kesana kemari tentang jadwal gedung-gedung yang mungkin kosong pada tanggal yang sudah kita rencanakan tahun depan. Ada tiga gedung, hampir semuanya punya biaya sewa mahal, tapi salah satunya ternyata dikelola teman omku, kita bisa menyewanya dengan potongan harga yang lumayan.” Kata Dodit membuka cerita, ia membicarakan rencana pernikahan mereka. “Untuk pre-wedding kita bisa pergi ke studio foto milik Dimas, dia cukup bisa diandalkan. Baik untuk foto maupun pembuatan kartu undangan. Yang masih bikin bingung itu masalah catering dan baju… bagaimana sayang?”

Mendengar pernyataan Dodit itu Anis seperti ingin menangis, ingin berteriak dan ingin melemparkan dirinya ke api. Tahukah kamu, Mas Dodit… kalau kekasihmu ini, kalau wanita yang kami cintai ini… telah menjadi wanita yang sangat kotor? Yang telah bersetubuh tidak hanya dengan Pak Bejo yang sangat menjijikkan itu melainkan juga dengan Pak Doni, dosennya sendiri? Kekasihmu ini sudah tidak pantas lagi mendapatkan cinta sejatimu, Mas Dodit. Sudah tidak pantas lagi memperoleh kasih yang tulus… Kekasihmu telah kotor… sangat-sangat kotor.

“Aku tidak pantas lagi…” lirih Anis berucap.

“Apa maksudmu, sayang?”

Anis mendesah kecewa, pandangannya kembali dilemparkan ke luar, “tidak apa-apa. Lupakan saja. Lupakan…”

Dodit mengernyitkan kening. Ada apa lagi ini?

“Lupakan apa, sayang?”

“Bukan apa-apa. Aku… tidak apa-apa. Ayo ceritakan lagi mengenai gedungnya….”

Malam itu berlalu begitu saja dan Anissa masih terdiam seribu bahasa. Bahkan ketika mereka berdua duduk di kafe The Donut Pub sambil menikmati minuman hangat. Sepasang calon pengantin yang biasanya mesra dan saling memuji ini bagaikan kehilangan nyala api mereka. Tidak ada canda, tidak ada kata. Sepi, senyap, kaku dan menjemukan.

“Sebenarnya kamu ini kenapa? Kenapa diam terus? Ini tidak seperti biasanya.”

Anissa terdiam.

“Apa aku telah melakukan kesalahan? Apa aku membuatmu jengkel?”

Tidak ada jawaban.

“Apa karena aku terlalu sibuk sehingga beberapa hari terakhir ini aku tidak menjemputmu?”

Anissa menggelengkan kepala, suara lirih keluar dari mulut mungilnya. “Tidak ada apa-apa. Aku hanya capek saja. Akhir-akhir ini aku mudah capek. Kita pulang yuk, aku pusing sekali, mau tidur.”

Dodit mendesah kecewa, apa yang terjadi padamu, sayang? Kenapa kamu tidak mau cerita? Adakah sesuatu yang kamu sembunyikan? Tapi Dodit tidak menolak ketika Anissa sudah bangkit dari duduk dan ingin segera pulang. Paling tidak hanya itu yang bisa dilakukannya untuk sang tunangan saat ini, melakukan apa yang diinginkan Anissa tanpa banyak berucap.



.::..::..::..::.



“Gadis ini berbakat jadi pelacur. Wajah cantiknya seperti tanpa dosa, apalagi dia juga sangat lembut. Dia bisa menjadi penggoda yang hebat tanpa harus mengeluarkan sepatah katapun. Tidak ada laki-laki normal yang bisa menolak cewek seperti ini. Keseksiannya muncul tanpa harus tampil seksi.” Kata Pak Dahlan memuji kemolekan Anissa. “hebat kamu menemukan barang bagus seperti ini, Jo.”

Pak Bejo mengangguk-angguk dengan bangga. “Pastinya.”

“Lain kali aku ajak kamu keliling kampus buat belanja barang dagangan baru, Jo. Jadi tidak fokus cuma ke tetangga-tetanggamu saja.” Susul Imron yang langsung disetujui oleh Pak Dahlan dan Pak Kobar. Mulut penjaga kampus itu komat-kamit sibuk mengunyah makanan yang sepertinya sangat lezat. “Tapi yang ada di hapemu itu semuanya memang seksi. Lebih lagi yang namanya Alya dan Lidya.”

“Terima kasih, Bro… tapi saat ini aku cuma pengen kipas-kipas pake duit yang disetor ke kita. Dosen ****** satu itu ternyata menepati janjinya. Kalau begini terus, kita bisa kaya.” Jawab Pak Bejo jumawa.

“Hehehe, jangan melecehkan institusi kampus, aku kan juga dosen. Tapi Pak Doni itu memang sok alim, giliran dapet anak ayam saja dia jadi penakut. Dia kan sebenarnya ada niat buat mencalonkan diri jadi rektor di tahun mendatang, satu skandal seperti kemarin bakal menghancurkan reputasinya. Tahu rasa dia sekarang! Dasar sok alim, sukanya cari muka.” kembali Pak Dahlan pegang peranan menjelaskan. “Aku tahu awalnya kalian meminta aku menjadi orang dalam, tapi bukankah cara seperti ini lebih seru? Lagipula dengan reputasi yang bersih aku bisa mencalonkan diri menjadi rektor di tahun mendatang tanpa gangguan. Posisiku aman, uang pun datang. Rektor itu bermandikan proyek.”

Pak Dahlan menghentikan ucapannya dan segera beralih ke orang-orang di sekitarnya, “Silahkan, silahkan dimakan. Perjamuan makan seperti ini konsepnya dari Jepang, kebetulan aku baru belajar tentang budaya yang seperti ini. Dengan bantuan salah satu lontenya Imron untuk memasak, kami bisa menyajikan mirip seperti aslinya.” Pak Dahlan mempersilahkan semua yang ada di ruangan itu untuk makan, berbagai macam jenis penganan disajikan di tatakan besar.

Pak Kobar meneguk ludah, “Aku baru tahu ada jamuan makan seperti ini, siapa yang punya ide nih, menarik. Mungkin bisa kita jadikan ajang bulanan? Bazing, mantap tenan.” dia mencomot satu makanan berlapis daun. “Ini apa ya? Lemper? ”

Pak Dahlan tergelak, “jamuan makan seperti ini ideku, aku juga setuju kalau bisa bulanan. Asalkan menemukan target yang sesuai. Yang sampeyan makan itu namanya makizushi, bisa dibilang semacam lemper Jepang.”

“Aneh-aneh aja, lemper ya lemper bukan mitsubishi. Aku sih tidak peduli lempernya, aku peduli sama tatakannya ini.” kata Pak Kobar mengedipkan mata sambil mencolek tatakan makanan yang ia maksud. “tatakan yang tidak bakal dijual di toko.”

Terdengar suara erangan.

Pak Bejo dan Pak Dahlan tergelak, sementara Imron berusaha menahan tawa karena masih mengunyah makanan.

“Lemper yang ini rasanya manis.” Kata Pak Kobar lagi setelah mencicipi makanan yang ia ambil, “ambil lagi boleh, kan?”

Pak Dahlan mengangguk-angguk sembari juga menjumput satu penganan, “silahkan pak, silahkan. Berapapun saja, monggo.”

Ketika mengambil sekali lagi, secara sengaja… atau mungkin juga tidak, makanan yang diambil Pak Kobar jatuh ke tatakan. “Aduh… cerobohnya aku. Makanan enak sebaiknya jangan disia-siakan!” Pak Kobar memajukan kepalanya dan memakan apa yang tadi jatuh langsung di tatakan! Mulutnya mengunyah dan menjilat di tatakan itu.

Saat lidah Pak Kobar menjilat, tatakan itupun bergetar.

Bukannya jijik, bapak-bapak itu justru tertawa bersamaan.Bibir Pak Kobar tidak berhenti begitu saja, ia masih terus menjilat dan mencium, sementara tatakannya juga tidak berhenti bergetar.

Kenapa bisa demikian?

Wajar saja, karena apa yang disebut tatakan itu sebenarnya adalah Anissa! Gadis malang itu berbaring telanjang dengan bagian mata ditutup handuk yang dilipat, tubuhnya yang indah dihidangkan tepat di hadapan Pak Dahlan, Pak Bejo, Imron dan Pak Kobar yang duduk bersila. Di atas tubuh Anis dihidangkan makanan-makanan kecil, ada yang makanan asli lokal, ada yang ala Jepang. Selama makanan dihidangkan dan belum habis, Anissa harus diam saja terbaring mematung tanpa boleh bergerak sedikitpun.

“Konsep jamuan makan menggunakan tatakan hidangan cewek telanjang seperti ini namanya nyotaimori dan asalnya dari Jepang, di Indonesia mah belum pernah ada dan rasa-rasanya bakalan dilarang.” kata Pak Dahlan. “Agar bisa menghidangkan makanan di atas tubuh cewek telanjang seperti ini, tubuh si cewek harus benar-benar bersih. Dimandikan dengan sabun khusus yang memiliki aroma wangi spesial agar membangkitkan selera. Itu sebabnya si Anis ini tadi sudah saya minta mandi sampai bersih. Tentu saja, Pak Bejo yang memandikannya.”

Pak Bejo terkekeh sementara Pak Kobar tidak peduli apa yang dikatakan oleh Pak Dahlan, ia terus saja menjilati perut Anis, pemilik hotel melati tempat mereka berkumpul saat ini itu mengincar buah dada sang dara jelita. Namun rupanya Imron jauh lebih cepat, dengan cekatan penjaga kampus itu mengambil makanan yang mirip lemper yang diletakkan di atas buah dada Anissa. Geliat lidah Imron yang menyusuri lekuk dada membulat milik Anissa membuat si cantik itu menggelinjang tak henti, antara geli dan jijik. Ia mengeluarkan desahan dan erangan.

Walaupun mata si cantik itu ditutup oleh handuk, namun Pak Bejo bisa melihat air mata menetes di pipi Anissa. Ia hanya tertawa, “eh, kalau jadi tatakan kamu tidak boleh menangis. Belum diapa-apain kok sudah nangis. Nangisnya nanti aja. Hahaha.”

“Jangan lama-lama ya kalian, kalau makanannya sudah habis aku mau mencicipi tatakannya.” Kata Pak Dahlan. “Aku sudah mengeluarkan uang lebih buat mempersiapkan jamuan mahal ini, jadi pantas kan kalau aku duluan yang pakai?”

Pak Kobar mengerang kecewa karena sebenarnya dia berharap bisa memakai Anissa.

Pak Dahlan tertawa nakal, dia memberi tanda dengan menyilangkan telunjuk secara vertikal di depan mulut pada Imron dan Pak Kobar agar mereka tidak mempermasalahkan siapa yang akan memakai Anissa hari ini. Imron geleng-geleng kepala, “dasar otak kontol. Tidak bisa lihat barang bagus nganggur sebentar saja.”

Mendengar apa yang akan terjadi pada dirinya sebentar lagi, lelehan tangis Anissa makin deras turun meski tidak sampai bersuara. Tubuhnya menggigil saat ia senggugukan.

Imron memberi tanda pada Pak Bejo yang langsung berbisik pada Anis. “Kalau kamu tidak diam, kami yang ada di sini akan langsung memperkosamu beramai-ramai sampai pagi. Kalau kamu tidak mau itu terjadi biar kami selesaikan makan dengan tenang dan nanti kamu hanya perlu melayani Pak Dahlan. Mengerti?”

Anissa mengangguk karena ketakutan.

“Ayo kita lanjutkan pestanya!” teriak Pak Bejo dengan senang. Iapun mengambil kesempatan untuk mencium bibir Anissa yang tengah merekah. Bibir mereka bertemu dan bertumbuk, bibir tebal milik seorang pria berusia lanjut dengan seorang gadis muda yang sangat seksi.

Lidah Pak Bejo menggeliat cepat di antara struktur manis bibir Anis, menjelajahi dan mengelilinginya. Membuat si cantik itu menggelinjang karena selain dicium begitu nafsu oleh Pak Bejo, Imron tengah menjelajahi buah dadanya sementara perutnya menjadi bagian dari serangan Pak Kobar.

Pak Dahlan sendiri tidak ikut menyerang karena setelah ini, dialah yang akan meniduri Anissa. Dia menyimpan tenaganya.

Anissa hanya bisa diam dan pasrah membiarkan para pria tua ini menjilati tubuhnya beramai-ramai. Ia teringat wajah Dodit yang kecewa kemarin, wajah orangtuanya, wajah Pak Doni… mengapa dia sampai jatuh ke perangkap Pak Bejo seperti ini?

Kenapa dia setuju mengikuti semua perintahnya?

Anissa kembali melelehkan air mata.



.::..::..::..::.




Sepeninggal Pak Dahlan dan Anissa yang masuk ke kamar berdua, Imron, Pak Kobar dan Pak Bejo melanjutkan bersenda gurau. Setelah cukup lama berbincang-bincang, tiba-tiba telepon genggam Pak Kobar berdering nyaring.

“Halo? Ya, aku masih di motel. Kamu mau kesini? Boleh, ya kesini saja.” Pak Kobar menutup hape dan kembali mengantonginya, “Keponakanku. Minta duit jajan buat beli quota – paling-paling itu quota habis dipake buat nonton streaming-an bokep. Aku suruh kesini saja.” Kata Pak Kobar. “Walaupun sudah sering ngewe tapi ponakanku ini masih malu-malu kucing, kucingnya ya kucing garong, dibilang malu tapi suka nyolong. Daripada belajar dari bokep, mending kita kasih dia pertunjukan langsungnya.”

Pak Bejo dan Imron tertawa bersama.

Tak sampai lima menit kemudian terdengar ketukan di pintu, ketika Pak Kobar membukanya masuklah seorang pemuda. Kulitnya gelap dan wajahnya jauh dari tampan. Rambutnya yang keriting tak terawat membuatnya makin terlihat kumal. Usianya sebenarnya baru menjelang 20, tapi wajahnya terlihat lebih tua dari itu.

“Ini keponakan saya, Bahrudin, tapi panggilannya Udin.” Kata Pak Kobar.

Pemuda yang berpenampilan kusut dengan rambut semrawut itu segera menyalami kedua orang yang ada di hadapan Pak Kobar. Sambil menunjuk, Pak Kobar mengenalkan mereka, “yang ini Imron, yang itu Pak Bejo. Mereka berdua kawan bisnisku.”

“Selamat datang, Din.” Kata Imron sambil memberi salam.

“Salam kenal, santai saja di sini.” Kata Bejo.

“Rasanya wajahmu nggak asing, Din?” tanya Imron. “kamu kuliah di Universitas X?”

“Betul. Saya kuliah di sana di Fakultas X.”

“Ooo, pantes aja kok aku sepertinya pernah lihat.” Lanjut Imron. “Dunia memang sempit. Aku penjaga kampus itu, tapi lebih sering berkeliaran di Fakultas XX.”

“Oooh, itu sebabnya tadi wajah Om Imron tidak asing.” Kata Udin sambil cengar cengir.

“Ayo duduk sini, itu ada bir atau kalau tidak minum bir, di sana ada teh botol.” kata Pak Bejo sambil menunjuk ke arah meja sajian. “Kamu sedikit terlambat, tadi di sini ada sajian spesial.” Katanya sambil tersenyum lebar.

“Iya, Pak.” Udin mengangguk sopan dan duduk di samping Pak Kobar.

“Gimana, Din? Kamu mau nambah uang jajan buat apa lagi sih? Mau nge-lonte?” tanya Pak Kobar yang disambut gelak tawa Imron dan Pak Bejo. “Di sini saja banyak live show, kenapa harus nyari lonte sih?”

“Yaelah, Pakde. Siapa juga yang nyari lonte.” Kata Udin ikut tergelak, “tapi saya jadi tertarik waktu tadi Pakde bilang ada live show. Memangnya live show macam apa?”

“Pakdemu itu kan orang kreatif, Din.” Timpal Imron, “begitu punya duit, dia langsung pasang kamera di semua sudut kamar, hasilnya kalau ada pasangan ngewe, pakdemu ini dapat tontonan gratis. Kalau kamu mau lihat, bisa nonton di TV yang ada di kamar pojok. Aku yang bantuin masang kabel kameranya tempo hari.”

“Oooo, gitu. Wah, menarik sekali! Saya boleh lihat dong, Pakde?” Udin cengengesan sambil ngiler.

“Boleh aja, mau langsung sekarang?” tanya Pak Kobar, melihat anggukan Udin, iapun geleng-geleng sambil tersenyum lebar. “Dasar anak jaman sekarang, otak gak jauh dari selangkangan. Pak Bejo mau ke belakang? Sekalian tolong anterin ya si Udin ya?”

“Oke.” Pak Bejo yang sedikit mabuk karena kebanyakan minum bir berdiri sempoyongan. Ia harus menjejakkan kaki beberapa kali untuk bisa berdiri tegak. Setelah yakin bisa berdiri, pria tua itu merangkul Udin tanpa lupa menarik satu botol minuman keras. Mulutnya yang bau bir membuat Udin agak sedikit jengah namun dia tetap tersenyum, jangan sampai gagal nonton live show nih!

Sembari berangkulan Pak Bejo dan Udin berjalan keluar ruangan penjaga motel dan berjalan menuju sebuah kamar kecil di pojok. Kamar itu sebenarnya disediakan Pak Kobar untuk karyawannya yang mau tidur usai jaga malam, tapi hari ini kamar itu sepi karena Pak Kobar meliburkan karyawannya berkaitan dengan jamuan makan spesial bersama Pak Dahlan, Pak Bejo dan Imron.

Masuk ke ruangan, Udin mengajak Pak Bejo untuk menonton bersama namun orang tua itu menolak, karena mabuk - gelengan kepalanya lebih kencang dari seharusnya.

“Tidak usah, aku mau ke belakang dan tidur setelah ini. Kamu nonton saja di situ, gambarnya lumayan jelas. Aku juga sering nonton kalau lagi ada pasangan ngewe.” Kata Pak Bejo sambil menyalakan layar monitor, suara desahan terdengar cukup keras ketika suara dikencangkan. Pak Bejo tergelak ketawa, “Itu Pak Dahlan sedang ngentotin kembang baruku, masih muda dan cantik. Kamu kenal Pak Dahlan kan?”

“Tahu, Pak. Dosen di Universitas X. Saya kan juga kuliah di sana, cuma beda jurusan. Pakde Kobar yang cerita.”

“Iya betul. Ya sudah, nonton saja.”

“Iya, Pak. Terima kasih.”

“Aku tinggal dulu ya,” kata Pak Bejo sambil menenggak birnya sekali lagi.

“Iya Pak.”

Udin mengeluskan telapak tangannya mengusir dingin, ini nih! Nonton live show! Seru!

Layar monitor itu menampilkan gambar yang jernih dan suara yang jelas meskipun tayangan hanya disaksikan melalui sebuah tv berukuran 14 inchi, tapi bagi Udin semua jadi serasa high-def karena dia ingin sekali menyaksikan live show seks semacam ini. Edan banget, selain kamera seperti kamar ini juga sudah dipasangi mic yang dengan jelas mentransfer suara ke ruang kamera ini. Udin cekikikan melihat di layar ada seorang pria yang sudah berumur menggumuli seorang gadis yang sepertinya cukup cantik dan muda belia.

Ya, gadis itu sangat cantik. Terlalu cantik malah untuk pria seperti Pak Dahlan, wajahnya yang cantik itu…

Udin memicingkan matanya, kenapa kok rasanya dia mengenal gadis itu ya? Pernah lihat dimana ya? Seperti…

Udin terbelalak kaget!

ITU KAN ANISSA??!!

Lampunya redup, tapi Udin bisa melihat dengan jelas. Gadis yang sangat ia kenal, yang pernah mengisi relung hatinya, yang membuatnya tak bisa tidur siang malam, yang ia inginkan seumur hidup, yang ingin ia jadikan ibu dari anak-anaknya, gadis yang ia cintai… bagaimana mungkin gadis itu sekarang berada di sana sedang bergumul tanpa busana dengan Pak Dahlan?!

Tak salah lagi, ia hapal benar wajah dan lekuk tubuh Anis! Benar itu Anissa! Anissa ada di sana! Terbaring telanjang di samping Pak Dahlan, salah seorang dosen Universitas X. Tangan Anis bergerak lincah menyusuri penis Pak Dahlan dan mengocoknya pelan sementara dosen itu memainkan payudara Anissa dengan bebas.

Udin benar-benar terkejut, dia tak mampu menggerakkan badan sedikitpun.

Bangsat tua itu!! Apa ia lakukan pada Anissa?!

Namun Udin perlahan menyadari, Anissa tidak seperti terpaksa melakukan ini semua, dia diam saja dan menerima perlakuan Pak Dahlan dengan pasrah, bahkan terkadang membalas perlakukan pria tua itu dengan lembut.

Apakah… di balik semua keluguannya selama ini...

Apakah Anis menipu semua orang? Apakah sebenarnya dia adalah seorang pelacur?

Tidak mungkin.

Tidak mungkin…

Tidak mungkin!

Tidak mungkin itu Anissa?!!!

Walaupun besar keinginan Udin untuk mengingkari perasaannya bahwa gadis yang tengah bergumul dan berpagutan dengan Pak Dahlan di ruangan itu adalah Anissa, namun setelah detik demi detik berlalu untuk memastikan gerak tubuh yang sangat ia hapal itu memang benar yang ia kenal, Udin semakin dihadapkan pada kenyataan bahwa gadis itu memang benar Anissa.

Jemari Pak Dahlan terus saja memainkan puting susu Anissa dengan bebasnya, gadis itu menggelinjang karena rangsangan yang terus ia terima. Pak Dahlan tak berlama-lama di sana, tangan dosen tua itu akhirnya sampai di bibir kemaluan Anis.

“Ja, jangan, Pak…” protes si cantik itu ketakutan.

Pak Dahlan tentunya tidak mau berhenti begitu saja, jari tengahnya dengan lembut mengelus ujung kelentit Anissa.

“Sa, saya puaskan cuma pakai tangan saja boleh, Pak?” Anis masih terdengar takut.

“Aku mau merasakan memekmu.” Tangan dosen itu menangkup kemaluan Anis yang merekah merah dengan malu.

Anissa mendesah ketika jemari Pak Dahlan makin nakal, membuat si cantik itu mau tak mau membuka jenjang kakinya lebar. Salah satu tangan Anis mencoba menahan jemari Pak Dahlan agar tidak terus menerus menggoyang kelentitnya yang makin membuat Anissa gila.

“Ja, jangan… pak…”

Pak Dahlan tidak menjawab, bibirnyalah yang bergerak maju untuk mencium bibir mungil Anis. Udin tidak bisa mendengar bunyi ciuman mereka dari tempat ia menonton, tapi ia seakan bisa mendengar kecupan yang berkecipak cukup keras, basah dan lengket. Jelas mereka melakukannya dengan mulut yang terbuka. Tangan Pak Dahlan makin maju, kini masuk ke dalam liang cinta Anis dan bergerak memutar di dalam. Pemandangan ini, suara desahan yang kian lama terdengar makin keras dari keduanya, membuat Udin makin panas, ia tak bisa bergerak sedikitpun.

Udin bersumpah ia bisa melihat jempol Pak Dahlan bergerak untuk merangsang kelentit Anis menggantikan jari tengahnya yang kini masuk ke dalam memek Anissa menemani jari telunjuknya. Kaki Anissa yang jenjang ditekuk lututnya ke kanan dan kiri untuk memudahkan Pak Dahlan bermain. Bahkan pantat Anis pun kini bergerak seiring dengan gerakan jemari nakal Pak Dahlan. Udin bahkan bisa melihat saat Pak Dahlan membuka bibir kemaluan si cantik itu lebar-lebar untuk memperlihatkan bagian dalam liang yang berwarna merah muda. Udin gemetar, itu adalah bibir kemaluan gadis yang ia cintai!

Detak jantung Udin makin lama makin keras, ia tidak tau apakah sebaiknya menangis atau berteriak. Ia tidak rela Anissa diperlakukan seperti ini, namun ia juga tak bisa mengingkari kalau pemandangan ini membuatnya terangsang hebat. Udin hanya bisa terpaku karena tak percaya apa yang ia lihat, ia bahkan tak percaya ia masih bisa bernafas setelah melihat semua ini.

Tangan Pak Dahlan kini bergerak dari bawah ke atas kembali, mengincar buah dada sempurna milik Anis, ia meremas-remas kenyal payudara itu dan memilin pentilnya yang mungil. Ia tak lama melakukannya karena kemudian salah satu tangannya segera membimbing penisnya yang sudah mengeras ke bibir kemaluan Anissa. Udin bisa melihat kalau Anis ketakutan melihat penis itu mulai bergerak tanpa henti di mulut vaginanya, benar saja, dengan satu sodokan tanpa aba-aba Pak Dahlan melesakkan kontolnya ke dalam memek Anissa, membelahnya tanpa ampun, Anis hanya bisa menjerit karena sakit. Udin gemetar karena marah dan cemburu, pria itu tak pantas menyetubuhi Anis! Ia tak rela penis Pak Dahlan masuk ke dalam vagina Anissa yang ia cintai! Tapi… tapi pemandangan ini membuatnya… sangat panas… emosi dan nafsu Udin berbaur menjadi satu menimbulkan percikan perasaan yang tak bisa ia gambarkan.

Bibir kemaluan Anissa merekah menyambut penis Pak Dahlan yang keluar masuk tanpa ampun, bergerak cepat penuh tuntutan. Tubuh Udin gemetar antara tak tega melihat Anis diperlakukan seperti itu dan nafsu birahi binatang yang menggelegak dalam tubuhnya. Gadis yang cantik itu, yang jadi pujaan di kampus, yang telah bertunangan dengan seorang pria yang baik, sedang digauli oleh seorang serigala tua yang buas. Udin masih terus menatap tak percaya.

Ujung gundul penis Pak Dahlan menumbuk Anissa seperti pejuang yang hendak meruntuhkan tembok pertahanan musuh, cepat dan keras, tubuh Anis berulangkali terlonjak antara rasa sakit dan desakan yang sangat keras dari bawah. Udin sadar tak ada gunanya ia memprotes apa yang terjadi. Dalam alam bawah sadarnya ia ingin ini terjadi, ia ingin Anissa yang telah menolaknya itu dihakimi dan direndahkan seperti ini. Namun kecipak ciuman yang terjadi antara dosen dan mahasiswi dengan rentang usia jauh itu membuat Udin sakit hati.

Kenapa bukan dia yang ada di sana memeluk sang buah hati?

Kenapa bukan dia yang ada di sana mencium Anissa?

“Kamu manis sekali.” kata Pak Dahlan yang masih memeluk Anis.

Pak Dahlan mencium bibir Anis sekali lagi dan membisikkan beberapa kata yang terlalu pelan bagi Udin untuk bisa mendengarkannya. Tapi ia bisa melihat dengan jelas penis Pak Dahlan masih terus keluar masuk, menguasai vagina Anissa.

Yang bisa didengarkan Udin adalah suara erangan penuh nafsu yang dikeluarkan dari mulut manis Anissa. Gadis itu mendesah, mengembik dan mengerang ketika penis lelaki tua yang pantas menjadi ayahnya itu menguasai liang cintanya yang mungil.

Air mata hampir menetes di pelupuk mata Udin.

Sudah cukup. Sepertinya itu semua sudah cukup, batin Udin sambil berdiri dan mematikan TV. Ia tidak butuh melihat ini lebih lama lagi. Ia berhenti bukan karena ia tidak ingin melihat kemolekan Anissa, ia berhenti karena tidak kuat menahan gejolak cemburu dan nafsu yang terus menggelegak dan memangsanya dari dalam. Dengan pilu Udin meninggalkan tempatnya menonton. Pedih rasanya melihat Anissa seperti itu. Kenapa, Nis? Kenapa kamu lakukan ini? Kenapa kamu jatuh ke dalam situsasi hina seperti itu? Apa yang telah terjadi?

Tangan pemuda itu terkepal dan nafasnya menjadi tak teratur.

Ya. Udin tahu apa yang ia inginkan.

Bukan. Ia tidak menginginkan jawaban kenapa Anissa berbuat demikian.

Yang ia inginkan adalah Anissa. Ia ingin tubuh indah itu jadi miliknya.

Ketika ia kembali ke ruangan tempat Pak Kobar, Pak Bejo dan Imron berada, mereka masih saja bersenda gurau dan bermabuk-mabukan. Udin menolak tawaran bir, duduk di pojok dan langsung memeras otak. Besok dia harus bicara dari hati ke hati dengan Anissa.

Oh ya, hati-hatilah Anissa.

Udin yang baru telah datang.

…dan kamu akan membayar mahal atas semua ini.



.::..::..::..::.



Burung-burung berkicau di pagi yang indah, matahari bersinar terang dan hembusan angin sepoi membuat pagi itu terasa sejuk. Terlebih di Kampus X yang mahasiswanya sedang mempersiapkan diri untuk masuk kelas, sejuknya angin menjadikan suasana menjadi lebih tenang dan damai.

Dodit yang saat itu mengantarkan Anissa tengah duduk-duduk bersama tunangannya dan juga Ussy dan Udin. Sebenarnya Udin tidak diundang ke dalam percakapan mereka, tapi tentu saja ketiga kawan lain tidak mungkin menolak kehadiran pemuda aneh itu. seperti biasa, dia selalu bergabung sambil mengucapkan puisi-puisi gombal yang membuat Dodit, Ussy dan Anissa menahan tawa.

Anissa masih belum berubah, sikapnya sama dengan kemarin, dia masih menjadi sosok yang pendiam dan hanya mengeluarkan sepatah dua patah kata saja. Dodit sampai kebingungan dibuatnya. Ia melihat jam tangan dan menggelengkan kepala.

“Aduh, sudah waktunya aku pergi. Aku pamit dulu ya, sayang.” Kata Dodit sambil menepuk punggung tangan Anissa dan mencium kening kekasihnya itu. Anis hanya mengangguk dan tersenyum seulas. Tidak kurang dan tidak lebih. Udin melengos dan menghembuskan nafas karena cemburu melihat kedekatan mereka berdua.

“Dodit! Kamu mau lewat mana?” tanya Ussy tiba-tiba.

“Aku.. mungkin lewat pintu timur, kenapa?”

“Ah, kebetulan! Aku numpang sampai gerbang boleh?” Ussy menggoyangkan gulungan kertas yang isinya cukup banyak. “Aku harus fotokopi catatan kuliah ini semua rangkap lima.”

Dodit tersenyum, “tentu saja boleh. Sesuai aplikasi ya.”

Ussy merengut.

Dodit tertawa, “yuk, becanda, neng.”

“Oke, eh aku pinjam dulu tunanganmu, ya? Janji tidak akan lama, hihi…” Ussy melambaikan tangan pada Anis dan Udin yang langsung disambut anggukan Anis dan senyum lebar Udin. Setelah Ussy dan tunangannya pergi, Anissa seperti tidak peduli dan membalikkan tubuh.

Senyuman Udin semakin lebar, tentu tidak ada yang memperhatikannya.

Dodit dan Ussy berjalan beriringan, sebenarnya kepergian dengan Dodit ini hanya alasan Ussy saja karena ia butuh waktu untuk membicarakan sesuatu dengan tunangan sahabatnya itu. “Dodit, kamu tahu tidak sikap Anissa akhir-akhir sangat aneh.” Kata Ussy saat mereka sudah jauh dari posisi Anis dan Udin.

Dodit menundukkan kepala dan memainkan kunci mobilnya dengan kaku, “iya aku amati juga gitu. Rasanya aneh kenapa dia berubah. Aku sendiri ga tahu apa yang terjadi dan kenapanya. Rasa-rasanya aku tidak pernah berbuat salah kepadanya.”

Ussy menggelengkan kepala, “kamu yakin kamu tidak pernah berbuat salah? Yang di sana itu bukan Anissa, dia itu kayak gadis asing yang tidak kita kenal sama sekali! Pasti ada sesuatu!”

“Sungguh aku tidak tahu apa yang terjadi padanya.” Dodit sempat menengok ke belakang untuk melihat Anissa, namun terhalang rindang pepohonan taman di depan kantin tempat tadi mereka duduk-duduk, ia menghela nafas dan menggelengkan kepala. “Entahlah, aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk mencari tahu, tapi Anis yang sekarang itu tertutup sekali.”

Ussy ikut menghela nafas sedih, “yang sabar ya. Berasa aku juga kehilangan Anissa yang dulu.”

Dodit tersenyum pahit.

Ketika Ussy dan Dodit melangkah pergi, Anis juga melakukan hal yang sama menuju kelas, namun ke arah yang berlainan.

Ia diikuti oleh Udin.

Udin berkali-kali melihat ke arah belakang untuk memastikan Ussy dan Dodit sudah hilang dari pandangan dan ketika saat itu tiba, Udin memanggil gadis jelita disampingnya dengan pelan.

“Nis…”

Anissa menengok ke samping dan melihat ke arah Udin. “Ya, Din?”

Tapi Udin diam saja, ia bukannya menjawab malah menikmati kecantikan Anissa seperti hendak menelannya hidup-hidup. Dari atas, dari ujung rambut yang indah, hingga ke bawah, melalui lekuk tubuh yang seksi dalam balutan pakaian sederhana dan jeans ketat yang memperlihatkan lekuk tubuh yang indah.

Pandangan mata Udin sangat menghina, membuat Anissa menjadi jengah. Ia mencoba menghindari tatapan Udin dan melangkah menjauh. Tapi Udin mengejarnya dan memaksakan diri untuk bertatapan muka kembali dengan sang dara jelita itu. Anissa mengerutkan kening, mempertanyakan sikap Udin yang aneh ini.

“Apaan sih, Din?”

“Aku tahu rahasiamu… Anissa…”

“Apa maksudmu?” Anis menghela nafas, mau apa lagi anak satu ini? Rahasia apa lagi yang...

“Semalam, di hotel melati X.. aku melihat…”

Mata Anis mulai terbelalak terbuka, tidak mungkin…!

“…kamu… sedang berduaan dengan Pak Dahlan…”

Kini mulut Anissa yang terbuka lebar, jantungnya seakan berhenti berdenyut dan nafasnya menjadi sangat berat! Udin tahu??!! Bagaimana dia bisa tahu?? Aduh, bagaimana ini?!! Dengan ketakutan dan panik Anis mencoba mencari alasan.

“I…itu bukan aku! Aku semalam ada di ru-… rumah!”

“Oh ya? Kalian ada di kamar nomer XXX dan bercinta hingga larut malam sampai Pak Dahlan mengantarkanmu pulang. Semalam kamu sempat terlelap sehingga tidak sadar ada orang yang masuk ke kamarmu. Kamu tidak sadar ada yang membuka tasmu dan mengambil sebuah kartu dari dalam dompetmu.”

Keringat Anis turun deras.

“Ini kartu mahasiswamu, kan?” Udin mengeluarkan kartu Anissa dari kantong bajunya.

Kepala Anissa berputar dan pandangan matanya berkunang-kunang. Dia gegabah! Anis duduk di kursi beton yang ada di belakang mereka dengan hempasan tubuh yang pasrah. Kepalanya menunduk dan tangannya digunakan untuk menyandarkan kening.

“Apa maumu, Din?”

Udin terkekeh sambil duduk di samping Anissa, “Oh aku tidak mau apa-apa. Aku hanya ingin mendapatkan penjelasan darimu.”

“Penjelasan?”

Udin meremas-remas jemari Anis dengan gemas, membuat gadis itu merasa risih. Ia menyentakkan tangan Udin dan menatapnya galak.

“Apa-apaan sih, Din? Jangan kurang ajar ya! Awas kamu!” desis Anissa dengan jengkel.

“Aku hanya butuh waktu untuk berdua saja denganmu dan mendengarkan penjelasanmu tentang apa yang terjadi semalam di Hotel X! Bukan hal yang susah kau iyakan karena selama ini kamu juga sudah melayani banyak lelaki lain.” Bisik Udin dengan pandangan mata yang sangat merendahkan. Sambil mengutarakan maksudnya, tangan Udin tak henti bergerak menelusuri lekuk tubuh Anissa yang aduhai.

Mata Anissa terbelalak kaget! Bagaimana Udin bisa tahu…

“Pak Kobar adalah pakdeku, Nis! Aku tahu apa yang kamu lakukan semalam dengan Pak Bejo, Pak Dahlan dan Om Imron! Siapa yang mengira, Nis. Di balik penampilanmu yang sopan dan santun, ternyata kamu adalah seorang pelacur!”

Langit seakan runtuh menimpa kepala Anissa! Ia kaget setengah mati, tidak saja karena Udin mengetahui rahasianya, melainkan juga karena Udin mengatainya pelacur!

“Kurang ajar kamu, Udin! Aku melakukan itu semua karena terpaksa! Aku ini bukan pelacur!”

“Entah bagaimana aku harus menghitung sakit hatiku, Nis.” Udin menunjukkan wajah sedih dan geram. “Yang pertama? Aku selama ini selalu memujamu, menganggapmu suci, menganggapmu sebagai wanita terindah yang jauh dari nista. Kenyataannya? Kamu tak ubahnya lonte pinggir terminal yang hobi mengobral vagina. Selama ini aku mengalah dari Dodit karena aku pikir kalian adalah pasangan serasi. Ternyata…”

“Sudah aku bilang aku melakukannya karena terpaksa, Din! Walaupun tubuhku pernah dijamah lelaki lain, hatiku selalu dan selamanya akan menjadi milik Dodit.”

“Tapi justru di situlah sakit hatiku yang kedua, Nis.” Udin masih tak bergeming, matanya berkaca-kaca. “sejujurnya, aku mencintaimu. Aku tak rela kamu dimiliki siapapun kecuali aku. Menyaksikanmu disetubuhi orang lain membuatku sakit, Nis. Sangat sakit. Melihatmu berdua dengan Dodit membuatku ingin mengiris urat nadiku sendiri. Setiap kali aku melihatmu, setiap kali pula aku cemburu.”

Anissa seperti dihantam palu raksasa yang meluluhlantakkan hati dan perasaannya. “Kamu… mencintaiku…?”

“Sejak pertama kali bertemu.” Udin mengangguk. “Aku hanya ingin diberi kesempatan untuk bersamamu berdua saja.”

Anissa menunduk dan airmatanya membayang, demi dewa…kapan ini semua akan berakhir? Kenapa semua orang menginginkannya? Apa kelebihannya? Dia hanya gadis biasa saja! Hanya karena dia cantik?! Hanya karena dia seksi?! Dia hanya gadis biasa saja! Kenapa semua orang ingin mendekatinya dengan alasan yang dibuat-buat? Apakah mereka tidak sadar bahwa dia bukanlah seonggok daging yang tak berperasaan? Dia juga manusia!

“Bagaimana, lonteku sayang?”

“Sekali lagi kau panggil aku seperti dan aku akan…”

“Apa?” tantang Udin, “kamu mau apa? Apa hah? Lonte ya lonte!”

Air mata menggenang deras di ujung mata Anissa, “baik! Kalau itu maumu! Aku memang lonte! Aku lonte terkutuk! Pelacur murahan! Kamu mau tubuhku? Aku beri! Kamu mau aku telanjang sekarang? Bisa! Di depan semua orang ini aku akan telanjang! Aku akan beri kamu kenikmatan! Itu mau kamu, kan?”

“Malah nyolot! Siapa bilang aku mau tubuhmu?! Aku hanya ingin penjelasanmu!” Udin makin marah, ia menengok ke kanan kiri untuk memastikan tidak ada teman yang menyaksikan pertengkaran mereka. “Oke! Kalau itu maumu! Ikut aku sekarang juga ke losmen di utara kampus! Kita pesan short time agar bisa bicara dari hati ke hati tanpa gangguan seorangpun! Kita bicara terus terang dan selesaikan semuanya di sana!!”

Anissa yang tak berdaya ditarik dengan kasar oleh Udin, kenapa harus ke losmen? Apa yang harus dilakukannya? Sepertinya semua keputusannya selalu salah. Keadaan bukannya semakin membaik, melainkan justru bertambah parah. Kini dia harus menuruti apa permintaan Udin karena kalau tidak Udin akan menyebarkan aibnya dan orang-orang di kampus ini akan mengetahui apa yang terjadi pada gadis itu. Anis menatap geram ke arah Udin.




.::..::..::..::.



Anissa melelehkan air mata ketika Udin memeluknya dari belakang dan memberi kehangatan. Udin mengecup pundak Anis yang berpeluh. Ia kagum pada gadis bertubuh indah ini, lihat saja kulitnya yang putih dan mulus ini, bahkan air keringatpun meluncur menuruni pundaknya seakan tak mampu berpijak. Tak ingin rasanya Udin melepas tubuh Anis, ia ingin selalu memeluknya. Udin membelai seluruh tubuh Anissa dari belakang dengan penuh kelembutan dan rasa cinta.

Tanpa disadari Udin, lelehan air mata Anis menetes dari kelopaknya yang memerah. Seumur hidupnya, Anis tak pernah membayangkan ia akan melayani Udin bermain cinta seperti ini. Tidak saja pernah membayangkan, ia sebenarnya tidak akan sudi melayani Udin seandainya saja tidak seperti ini keadaannya. Dunia seakan gelap bagi Anis, makin lama makin gelap.

Bahrudin atau Udin, selalu membayangkan Anissa setiap kali dia bermasturbasi di kamar mandi paling tidak seminggu tiga kali. Bulat pantat yang bergoyang menggoda setiap kali Anis berjalan didepannya, paha mulus milik kaki jenjang yang sering diperlihatkan saat Anis mengenakan hot pants, rambut panjang halus yang sebelumnya dia pikir hanya bisa dimiliki oleh seorang model iklan shampoo, kulit mulus seputih pualam yang halus licin, satu tubuh sempurna seorang wanita jelita yang layaknya bidadari khayangan. Dulu sekali, desakan dada kenyal Anis yang menumpuk dada Udin saat mereka berpelukan pada acara ulang tahun gadis jelita itu membuat batang kemaluannya tegang tak mau turun untuk beberapa saat lamanya, kini Udin bisa memeluknya lebih lama.

“Kenapa kamu melakukannya, Nis?” tanya Udin dengan suara parau. Nafsunya sudah menggelegak tapi ia mencoba bertahan demi berbincang sejenak.

Anissa yang kebingungan tergagap mencoba menjelaskan duduk masalahnya, gadis itu menghela napas panjang. “tidak semua seperti yan kamu bayangkan, Din.”

“Apa maksudmu tidak seperti yang aku bayangkan? Coba saja kamu menemui teman baikmu sedang bergumul dengan laki-laki lain yang bukan suaminya, bahkan bukan tunangannya.. bermain cinta semalam suntuk! Apa menurutmu yang akan aku bayangkan?” gertak Udin.

“A..aku tidak bercinta,” Anissa mencoba bertahan, nada suaranya bergetar karena takut, “aku dipaksa. Aku terpaksa melakukannya karena, karena orang itu menyimpan.. gambar dan videoku! Orang itu..”

Udin menatap gadis itu tanpa perasaan iba sedikitpun, membuat Anissa kian turun mental dan percaya diri.

“Sekarang coba jawab pertanyaan mudah ini, Nis.” Kata Udin tegas. “Benar atau tidak kamu sudah tidur dengan laki-laki lain yang bukan suami, tunangan bahkan pacar kamu? Mudah kan jawabannya? Benar atau tidak?”

“Aku tahu, Din! Aku tahu! Aku tahu aku mengacaukan semuanya!” suara Anis makin terdengar getarannya, ia memohon dengan putus asa, “tapi aku akan memperbaiki kesalahanku, begitu gambar dan video itu dihapus, semua akan baik-baik saja, semua akan kembali seperti semula, Dodit tidak perlu tahu.”

“BODOH!” bentak Udin.

Bentakan pemuda itu membuat Anissa melompat karena kaget, ia tidak menduga Udin akan mengeluarkan suara sekeras itu. Bibir bawah Anissa bergetar, matanya yang bulat, besar dan indah kini mulai mengambangkan air mata, Anissa gemetar di hadapan Udin, wajahnya yang jelita memerah karena perasaan bersalah, ia bagaikan tengah dihakimi. Batang kejantanan Udin justru makin menegak melihat gadis yang sudah pasrah ini.

“Yang namanya pengkhianatan tidak ada alasan. Kamu sudah berkhianat atas cintamu pada Dodit, aku seharusnya menghubunginya untuk…”

“Jangan! Jangan, Din! Aku mohon! Aku mohon!!” Anissa mengangkat tangannya untuk mencoba menahan Udin, karena lengannya mendesak dada dan menyempit, Udin bisa melihat buah dada Anissa seperti ditekan dan menghunjuk ke depan dengan indahnya. Gila, Anissa memang benar-benar gadis yang teramat seksi.

“Jangan, jangan lakukan itu, Din! A..aku harus pulang, aku akan pulang dan tidak akan melakukannya lagi. Aku janji, aku janji perbuatan terkutuk itu memang harus dihentikan..”

“BODOH LAGI!” kembali Udin membentak Anissa. Ia kini benar-benar memuncak emosinya, “kamu sadar tidak semua sudah terlambat? Yang kamu hadapi itu orang-orang berbahaya yang tidak bisa dianggap main-main! Seharusnya dari dulu kamu sudah lapor polisi! Sekarang lihat apa yang terjadi! Kamu sadar tidak pada kebodohanmu?” Udin membalikkan badan dan mencoba meraih telepon genggam yang ia letakkan di meja. Anissa yang terkejut segera mengejar Udin, membalikkan tubuhnya dan menahan tangannya.

“Bahrudin! Jangan, Din. Aku mohon!!! Aku benar-benar mohon padamu, jangan ceritakan semua ini pada Dodit! Jangan pernah! A..Aku sangat mencintainya, Din! Aku sangat-sangat-sangat mencintainya! Jangan biarkan dia tahu aku telah menjadi wanita yang hina seperti ini! Jangan biarkan hatinya hancur, Din!! Aku mohon!”

Bola mata indah milik Anissa menjadi sangat sayu saat ia meratap memohon agar Udin tidak menghubungi tunangannya, ia bahkan memanggil Udin dengan nama lengkap tanpa sadar.

Udin menatap gadis itu iba, ia bisa merasakan nafas berbau mint yang segar dari mulut sang dara dan tetesan keringat membasahi belahan buah dada gadis jelita itu. Tubuh seksi itu kini hampir-hampir memeluk Udin, memohon dengan putus asa. Tanpa perlu dipinta, Udin sebenarnya tidak ingin melaporkan apapun pada siapapun, ia sangat mencintai Anissa, bahkan mungkin lebih dari apa yang ia sendiri bayangkan. Tapi kini rasa sayang itu berubah menjadi nafsu berlipat ganda.

Udin mengangkat tangannya dan menyentuh kulit mulus Anissa, lembut dan perlahan ia memainkan jemarinya menelusuri keindahan lekuk tubuh sang dara, mulai dari kerongkongannya hingga ke atas balon buah dada Anissa. Degup jantungnya yang berdetak menghentak berulang kali dalam diri Udin, pikirannya seperti terbang tanpa tujuan, rasionalitasnya terpinggirkan oleh nafsu birahi menggelegak. Satu-satunya yang Udin inginkan sekarang adalah membuka pakaian yang dikenakan Anissa dan menikmati keindahan buah dada gadis itu!

“U..Udin? ka-kamu ngapain?” kepanikan Anissa membuatnya tergagap, ia benar-benar terkejut melihat kelakuan Udin ini hingga kalimat yang ia ucapkan menjadi terpatah-patah.

Udin memandangi wajah bingung Anissa sembari menggerakkan tangan yang makin berani, ia kini meremas-remas buah dadanya tanpa peduli. “Kamu bukan orang bodoh, Nis. Kamu tahu pasti apa yang aku inginkan.” Katanya dengan dingin. Melihat Anissa panik dan tak berdaya membuatnya merasa iba, namun di saat yang bersamaan Udin bisa merasakan adik kecil yang ada diselangkangannya justru kian mengeras. “Kamu tahu apa yang akan aku lakukan dan kamu juga tahu tidak ada gunanya melawan. Kenapa? Karena kamu tahu aku memiliki apa yang kamu tahu tidak sepantasnya aku miliki.”

Udin tidak percaya ia mampu mengucapkan kata-kata ancaman pada gadis yang ia cintai itu. Sejak ia mengenal Anissa, Udin hanya bisa melihatnya dari kejauhan, mengaguminya dan memimpikannya. Ia cemburu saat Anis dan Dodit saling berpelukan mesra, ia cemburu ketika pria lain mengajak gadis itu berbincang atau mengelus bagian tubuhnya pelan. Kini ia bebas menyelipkan jemari ke dalam belahan tengah buah dada Anissa untuk membuat gadis itu sadar siapa yang saat ini menguasainya.

“Ta…tapi, Din. Kita tidak bisa.. kamu tidak boleh… maksudku kita tidak bisa..” wajah Anissa memerah karena ia tidak sanggup mengucapkan kata yang tepat yang ingin disampaikan. Ia yakin Udin tahu apa maksudnya. “Jangan lakukan ini, Din… aku yakin kamu bukan orang seperti itu!”

“Aku tidak perlu membuktikan apapun pada seorang pengkhianat. Kamu sudah mengkhianati cinta Dodit dan aku bisa saja datang kepadanya membawa bukti yang kuat. Kalian akan berpisah, namamu akan cemar, orangtuamu mungkin bisa sakit keras dan kamu hanya akan dianggap sebagai pelacur jalanan. Aku tidak peduli apa yang terjadi padamu seperti kamu selama ini tidak peduli padaku.” Udin merespon dengan ketus, tangannya yang bebas mengangkat smartphone-nya. “Kalau kamu pikir aku bohong, aku bisa menelpon dia kapan saja aku mau untuk menceritakan pelacur kecil yang mengaku sebagai tunangannya.” Udin yakin sekali ancaman ini akan mengena tepat di hati Anis, menohok si cantik yang tak sanggup mengatakan apa yang telah terjadi kepada tunangannya dengan jujur. Dengan berani Udin memainkan telunjuknya untuk merunut kulit mulus Anissa mulai dari belahan dada yang menggiurkan naik hingga ke rahangnya yang mulus. Mereka berdua sama-sama terengah-engah dan Udin tahu Anissa menatapnya dengan panik.

“Ja..jangan… jangan telepon.” Desah Anissa lirih. “Apa yang kamu inginkan?”

“Buka bajumu.” Hanya dengan mengatakan itu saja penis Udin menggeliat mengeras, membayangkan tubuh indah wanita secantik Anis tanpa sehelai benangpun membuat teman kuliah Anis itu terangsang hebat. Anis ragu-ragu melakukan apa yang diminta Udin itu, membuat pemuda itu sedikit naik pitam. “Apa yang kamu tunggu? Cepat buka bajumu!”

Anissa masih ragu-ragu dan mempertimbangkan beberapa hal dalam benaknya untuk beberapa saat, namun ia kemudian membuka kancing bajunya dan segera memperlihatkan sebentuk buah dada sempurna yang kenyal dan empuk. Gadis jelita itu melempar bajunya ke lantai dan menatap Udin tajam, teman kampusnya itu tidak bergerak dan melihat keindahan tubuh bagian atas milik Anissa tanpa berkedip. Perut gadis itu amat tipis, langsing, rata dan seksi sementara payudaranya yang menjulang naik bagai menantang dengan bulat sempurna dan pentil susu yang menjorok keluar hingga membayang di beha mungil berwarna gelap yang dikenakan si cantik itu. Udin meletakkan smartphone dan mulai beraksi meraba payudara ranum milik Anissa.

Anissa memejamkan mata dan mendesah panjang saat jemari Udin mengelus dan meremas-remas payudaranya, merasakan buah dada besar itu dalam genggaman tangannya. Udin bisa melihat wajah kacau Anis saat tangan-tangan Udin yang kasar bersentuhan dengan kulit mulus di sekitar balon buah dada Anissa. Dengan tangan gemetar Udin melepas kaitan beha sang dara jelita yang kini wajahnya memerah antara malu dan gelisah.

Udin seperti disadarkan pada apa yang tengah terjadi, gadis cantik yang selalu muncul dalam mimpi indahnya, dalam mimpi basahnya, dalam masturbasinya, kini hadir secara nyata, darah dan daging, telanjang dada. Menyadari Anissa kini berada dalam kekuasaannya Udin meremas payudara gadis itu lebih kencang lagi, membuat sang pemilik menjerit lirih karena kesakitan. “Susumu ini, Nis…membuatku.. tidak bisa.. ini indah sekali..” nafas Udin menjadi berat seiring nafsu yang semakin membebani batinnya.

Cengkraman tangan Udin pada balon buah dada Anis membuat puting susu Anis kian lama kian mengeras seperti tutup botol yang menjorok keluar. Udin menciumi dan menjilati buah dada sempurna itu bergantian, merasakan kenyalnya keindahan susu sang bidadari jelita, membuat Anissa menggelinjang dan mengembik pelan. Udin mengoles puting susu Anis dengan jempolnya hingga keduanya benar-benar sampai menghunjuk ke atas. Tak tahan lagi, Udin turun ke bawah untuk melepas sisa pakaian yang dikenakan Anissa dan memperlihatkan tubuh indahnya.

Anis mengerang pelan karena kebingungan, gadis itu menyilangkan tangan di depan payudaranya saat Udin melepas pelindung terakhirnya. Bulu kemaluan yang halus dan rapi membuat Udin kian kagum, ia berhenti sejenak untuk menikmati keindahan selangkangan Anis yang dipadu sempurna dengan paha mulus yang tidak saja enak dilihat tapi juga nyaman disentuh.

Tak boleh disia-siakan begitu saja!

Udin meremas bokong Anissa dengan kedua tangannya, menahan supaya gadis itu tak bergerak, lalu dengan tiba-tiba membenamkan kepalanya ke dalam selangkangan Anis! Mulut dan hidungnya tenggelam di silang kemaluan sementara lidahnya menyusur dan mencari.

Anis terkejut setengah mati melihat kelakuan Udin ini! Si cantik itu mencoba meronta, mencoba membalikkan badan, mencoba menekan kepala Udin, namun semua sia-sia. Gerakan lidah Udin yang lincah memainkan bibir kemaluan Anissa membuat gadis itu menggelinjang hebat. Ampun! Ini enak sekali! Bagaimana ia bisa bertahan? Ia hanya gadis biasa! Tak bisa menolak kenikmatan seperti ini! Anissa yang tak bisa menemukan apapun sebagai pegangan, mencoba meraih sesuatu, tapi satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah justru memegang bagian belakang kepala Udin dan menekannya agar masuk semakin dalam!

Lidah Udin yang lincah bergerak mengitari bibir kemaluan Anissa, lalu naik hingga mencapai kelentitnya yang menjorok keluar. Rasanya benar-benar susah dibayangkan bagi Anissa. Ia merem melek tak karuan, tubuhnya bagai hancur lebur ditelan kenikmatan yang diberikan oleh Udin! Untuk beberapa saat Udin masih terus memainkan kelentit Anissa dengan pagutan, jilatan dan kuluman yang memabukkan hingga Anissa akhirnya melenguh panjang sebagai penanda kekalahan.

Mendengar suara erangan Anissa yang pasrah, Udin berdiri dan mencumbu tunangan Dodit itu seperti sepasang kekasih. Gadis ini adalah tunangan orang lain dan kini ia bebas mengelus tubuhnya dan mencium bibirnya! Mereka berciuman lama, lidah dan bibir saling menaut menjadi satu kesatuan. Tangan Anissa kini bergerak bebas mengitari kepala dan pundak Udin menuntut sesuatu segera terjadi. Gadis itu rupanya sudah sangat pasrah dengan nasibnya. Udin melepaskan pagutannya dari mulut Anissa dan menatapnya dengan pandangan penuh nafsu birahi.

“Jongkok.” Perintahnya singkat sambil mengelus pipi si cantik itu.

Anissa tahu pasti si Udin kini ingin merasakan anunya disepong. Anissa turun ke bawah tanpa membantah sembari Udin melucuti celananya sendiri. Teman kuliah Anissa yang dijauhi banyak kawan itu kini berdiri telanjang dengan bangga di hadapan Anis dengan penis yang terhunus. Anissa jongkok di hadapan Udin, memandangi kemaluan Udin, dengan tangan gemetar Anis mulai menyentuh benda panjang yang agak lembek itu, merasakan ujung gundul dan batang kejantanan Udin dalam genggaman tangannya. Pemuda itu merasakan hembusan hangat nafas Anissa berada sangat dekat dengan batang kemaluannya. “Ayo anak manis, lakukan saja. Kamu sudah tahu apa yang aku inginkan.”

Nafas Udin tertahan ketika Anissa membuka mulutnya yang mungil dan mulai menelan ujung gundul kemaluan Udin seperti hendak menelan bola lampu. Udin merem melek hanya membayangkannya saja, wanita termolek yang pernah ia cintai sedang menyepong kontolnya. Hangat dan basah membungkus batang kemaluannya, ia tidak peduli kalau si cantik ini sudah bertunangan dengan laki-laki lain yang juga ia kenal. Anis memandang ke atas, matanya yang indah menatap pria yang tak pantas ia kulum kemaluannya dengan pandangan tajam dan jengkel sementara mulutnya yang manis membuka lebar menangkup batang kemaluan Udin. Mata mereka berpadu, mata tajam Anis dengan mata Udin yang terbelalak lebar karena tak percaya bibir manis Anissa mengelus batang kemaluannya.

Jemari Udin bermain di rambut indah Anissa dan ia mengangguk-angguk penuh nikmat. Si molek itu menggunakan pinggul Udin sebagai pegangan dan mulai mengulum kemaluan pemuda itu dengan berirama. Lidahnya menyusuri bagian tebal yang menggumpal di bagian bawah batang kejantanan Udin.

“Gila, Nis..” pandangan mata Udin mengabur dengan sensasi kenikmatan yang bertubi. “kamu sudah sering melakukan ini ya? Enak gila..”

Anissa diam saja, dia melanjutkan menghisap batang kejantanan Udin bagaikan permen lollypop yang rasanya sangat manis, lidah si cantik itu bergerak lincah mengukur batang dari ujung gundul hingga ke pangkal berbulunya. Beberapa kali Anissa harus memejamkan mata untuk menahan bau tak sedap yang ada di batang kemaluan Udin.

Sekali-sekali Udin membantu Anissa dengan mendorong bagian belakang kepala si cantik itu dengan lembut agar bisa bergerak lebih cepat. Batang kemaluan Udin kian basah oleh ludah Anissa yang terus menerus dioleskan ke seluruh bagiannya. Suara kecipak mulut yang mengulum, pipi menggembung dan menipis, kenikmatan melihat wajah bidadari membuat Udin kian terangsang.

Makin lama batang kemaluan itu makin melesak masuk dalam mulut si jelita, dengan lembut Udin menambah tekanan pada bagian belakang kepala Anis supaya gadis itu bergerak lebih cepat. Tidak ada yang bisa dijelaskan dari penis Udin yang ukurannya biasa-biasa saja, namun batang kelelakian Udin itu sangat keras seperti baja.

Udin memandang takjub bagaimana helai-helai rambut Anissa turun menyentuh pundaknya yang mulus. Lebih turun lagi Udin bisa melihat balon buah dada si cantik itu bergelinjang ringan saat ia menjilati kejantanannya yang menegang. Udin memang bukan perjaka tulen, ia sudah pernah merasakan dan mencicipi pelacur murah yang ia beli di dekat pasar, tapi merasakan bibir manis Anis menaungi kemaluannya dan hangat mengatup batang zakarnya membuat Udin terbang ke langit ke tujuh. Anissa memang bidadari terindah, apalagi ini belum usai, dia masih akan merasakan bibir kewanitaan Anissa yang sangat ia inginkan melebihi apapun.

Walaupun Udin merasakan rasa nyaman yang ingin ia perpanjang sepanjang hari saat penisnya berkuasa di mulut Anis, namun ia menarik batang kemaluannya dari bibir mungil itu dengan perlahan. Si cantik itu menatap Udin dengan tatapan meminta iba, seakan tak percaya ia baru saja mengulum batang kejantanan orang yang selama ini ia anggap kawan.

“Seponganmu enaknya luar biasa,” puji Udin dengan jujur, semakin bernafsu setelah menerima rangsangan dari Anis, Udin berniat mendorong si cantik itu ke tempat tidur. Tapi pandangan mata pemuda itu tertumbuk pada satu cermin besar yang digantung di samping ranjang. Alih-alih dilempar ke ranjang, Anis dibimbing Udin ke lemari pakaian pendek yang ada di samping cermin.

Udin mendorong tubuh Anis ke depan sehingga wajahnya menempel di atas lemari kecil itu. Pantat seksi si cantik itu menghunjuk ke belakang membuat siapapun yang melihatnya akan terangsang hebat. Udin tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menampar kedua pipi pantat Anis dengan telapak tangannya.

“Aduuuh!” Anissa menjerit kecil, dia memandangi Udin dengan pandangan heran. “Sakit, Din! Kenapa ditampar?”

Udin tidak menjawab, dia terus saja menekan punggung bagian bawah Anissa agar si cantik itu tetap menempel di lemari, posisi ini membuat kemaluan Udin mengeras karena tubuh Anissa jadi terlihat sangat seksi, terlebih lagi mulusnya pantat si cantik itu membuat Udin serasa tak ingin usai merabanya. Tiba-tiba saja Udin ingin sedikit menyakiti bokong Anissa sebelum ia menyetubuhinya.

“Kamu ini benar-benar anak manis yang nakal.” Kata Udin sambil menampar bokong Anissa saat menyebutkan kata anak dan manis, Anis melenguh kesakitan dan berusaha meronta. Tapi Udin memeganginya erat, “biar kutunjukkan padamu apa yang seharusnya dilakukan pada anak manis yang nakal!”

Bokong Anis bergetar setiap kali telapak tangan Udin menamparnya, setiap tamparan pula, buah dada Anissa bergoyang-goyang. Cermin besar yang menggantung di samping tempat tidur menjadi saksi bisu pertemuan pandangan mata mereka. Ada cahaya redup penderitaan di wajah Anissa, tapi di bagian bawah, Udin bisa merasakan selangkangan si cantik itu mulai basah.

“Menurutmu... apa yang seharusnya dilakukan pada seorang anak manis yang nakal, Nis?”

“..dihukum?” parau terdengar suara Anissa.

“Benar sekali, aku akan menghukummu, anak manis. Aku akan memukul pantatmu pakai penggaris karena sudah nakal. Kayak guru dan murid. Hahaha.” Kata Udin sambil tertawa, lelucon itu sama sekali tidak lucu bahkan kalimat yang melecehkan itu membuat Anissa semakin geram.

Seluruh tubuh Anis bergetar hebat ketika Udin benar-benar memukul pantat Anissa menggunakan telapak tangannya, bukan rasa takut yang membuatnya gemetar, tapi rasa terhina. Si cantik itupun meneteskan air matanya. Udin yang melihat linangan air mata Anis menjadi segan. “Tidak mau disentuh bokongnya? Menurutmu, hukuman apa lagi yang tepat bagi orang sepertimu, Nis? Pelacur kecil yang senang berkhianat sepertimu?”

Anissa menatap Udin dengan pandangan panik, baru kali ini ia melihat Udin begitu kasar dan jahat kepadanya, biasanya Udin memperlakukannya dengan sangat manis. Anissa menunduk takut, apalagi yang bisa ia lakukan kecuali menuruti permintaan temannya yang sudah hilang akal oleh nafsu birahi ini? Jawabannya jelas hanya satu itu.

“…dientotin.” suara datar Anissa yang sudah pasrah menjadi musik indah bagi Udin.

“Benar sekali. Mereka pantasnya dientotin sampai kapok.” Udin mengelus lekuk-lekuk indah pinggul Anissa. Udin menatap puas cermin besar di samping mereka yang memperlihatkan dirinya sedang meraba-raba tubuh indah bidadari yang selama ini mengisi mimpinya. Nafsu birahinya semakin menggelegak.

Udin mendorong Anissa hingga berdiri dengan berjinjit, dengan kasar ia memisahkan kaki jenjang si cantik itu supaya melebar dan menekan ujung gundul batang kejantanannya ke dalam sela basah di selangkangan Anissa. Sembari terengah-engah Anis menengok ke belakang, wajahnya penuh dengan sejuta emosi. “Aku tidak percaya kamu tega melakukan ini……”

“Sekarang harus percaya.” Gumam Udin sembari menikmati saat yang sangat merangsang ketika bagian ujung gundul kemaluannya melesak perlahan ke dalam memek Anissa. Sedikit demi sedikit liang cinta Anis yang mungil itu menelan batang kontol Udin yang sudah keras seperti batang kayu. Anissa berusaha menahan jeritannya dengan menggemeretakkan gigi, matanya terpejam dan tubuhnya mengejang ketika merasakan ada benda asing memasuki liang cintanya.

“Sudah percaya sekarang?” sindir Udin.

Sodokan kemaluan Udin tidak lagi pelan dan lembut, ia menumbukkan batangnya ke dalam liang cinta Anis dengan kekuatan penuh hingga gadis itu bahkan sampai terangkat dan berjinjit tiap kali Udin melesakkan kemaluannya. Anissa berulangkali menjerit dan menggunakan pinggiran lemari yang ada di samping tempat tidur untuk menahan desakan dari Udin. Begitu bernafsunya Udin menggiling kemaluannya sehingga Anis berulang kali terangkat bahkan sampai hampir melayang. Sebenarnya Udin tidak sampai hati membuat Anissa kesakitan, tapi merasakan kemaluannya melesak masuk ke dalam vagina Anissa adalah mimpi yang menjadi kenyataan, sangat nikmat sekali.

Udin menarik penisnya, mundur sedikit lalu dengan kekuatan penuh menyodokkannya lagi ke dalam hingga membuat Anis berulang kali menjerit. “Ogghh, gila… kamu bener-bener enakkkgg…” erang Udin keenakan. Kini tubuh Anis benar-benar menempel di lemari, ia tak bisa bergerak karena Udin terus saja mendesaknya tanpa ampun, keras, cepat dan kencang. Memek Anis yang mulai membanjir membuat Udin kian giat menggenjot penuh nafsu. Tiap kali Udin melesakkan penisnya, Anissa tidak bisa tidak menjerit dan mengerang.

Dari cermin yang berada di samping ranjang, Udin bisa melihat buah dada Anissa bergoyang setiap kali ia menusuk-nusuk memek si cantik itu. Wajah Anis bersemu merah karena menahan campuran emosi yang hampir tak tertahan ia marah, sedih, geram namun juga merasa nikmat. Udin melihat dirinya sendiri di cermin itu, bukan seperti Udin biasanya, Udin yang dihina, Udin yang dihindari cewek-cewek atau Udin yang dikucilkan. Kini ia berubah menjadi Udin yang kuat, Udin penakluk dan Udin yang berhasil meniduri salah satu gadis paling didambakan lelaki di seantero kampus.

Udin menekuk tubuhnya dan bersandar di punggung Anissa sembari terus menggoyang kemaluannya di dalam liang cinta tunangan Dodit itu, wajahnya yang menyebalkan diturunkan hingga menempel beberapa senti saja dari wajah Anis, membuat gadis itu muak dan memalingkan muka.

“Kamu cantik sekali, Nis. Cantik dan seksi. Memekmu enak gila! Sempit banget!” Udin kembali mengerang-erang keenakan, membuat Anissa menjadi risih. “…kamu tidak pernah tahu, Nis. Kalau aku ingin melakukan ini sudah sejak lama sekali. Aku kira aku hanya bisa melakukannya dalam mimpi. Ka..kamu tahu itu?”

“Yaaa…” Anis melenguh, “oooughhh… sakit sekali…!! jangan kasar-kasar!!”

Kata-kata Anissa jelas tidak menghentikan niat Udin, justru makin membuatnya bernafsu. Pemuda itu mulai bermain-main. Ia menarik batang kemaluannya hingga hanya tertinggal ujung gundulnya di dalam liang cinta Anis, lalu setelah bertahan sebentar, ia menumbuk lagi dengan memberikan tekanan yang sangat hebat sampai-sampai Anissa terlempar ke ranjang.

“Pegang kepala tempat tidurnya.” Perintah Udin, yang segera dituruti oleh Anissa yang merangkak dan menggunakan kepala tempat tidur sebagai pegangan sementara ia merenggangkan kaki kembali karena tadi penis Udin hampir keluar. “Duh, Anis…tahu nggak sih? Memekmu ini enak bangeeeeet!!”

Tapi Anissa sendiri sebenarnya melakukan lebih dari apa yang diperkirakan Udin, untuk beberapa saat dia merintih dan meringkuk, lalu tiba-tiba saja satu tangannya beralih dari memegang kepala tempat tidur menuju selangkangannya sendiri. Untuk sejenak Anis berhenti saat ia sadar apa yang sedang ia lakukan, tapi Udin memegang pergelangan tangannya agar tidak urung turun, pemuda itu senang melihat Anis mulai terangsang dan menggiring jemari Anis untuk menyentuh kelentitnya sendiri.

“Ayo sayang… enak sekali kan?” bisik Udin menggoda. “sentuh dirimu sendiri, biarkan kepuasan itu datang lebih cepat.”

Di bawah bimbingan Udin, jemari Anis bergerak lincah menggosok selangkangannya sendiri. Tangan Udin sendiri kembali menekan bahu Anis sementara si cantik itu terangsang hebat sehingga ia bisa memusatkan perhatian penuh pada rasa nyaman yang ia rasakan pada batang kemaluannya.

Anissa bukanlah bintang film porno atau pelacur yang sudah sangat sering bermain cinta, dia hanyalah seorang gadis yang terjerat oleh serigala-serigala pemangsa penuh nafsu. Walaupun sudah sering diperkosa oleh Pak Bejo dan pernah bermain cinta dengan Pak Doni atau Pak Dahlan, Anis tetaplah gadis biasa yang mudah dirangsang ketika bercinta. Gadis itu setahap demi setahap hampir mencapai puncak orgasmenya, lenguhannya yang berirama makin lama makin naik dan berubah menjadi teriakan dan jeritan tak tertahan. Seluruh tubuh Anis seakan menjadi menciut ketika jemari si cantik itu bermain sendiri di kelentitnya sementara memeknya tengah menerima sodokan penuh tenaga dari Udin, terasa sekali bagi Anissa betapa kuat cengkraman dinding liang kewanitaannya pada batang kemaluan pria yang tengah menyetubuhinya. Anissa hanya bisa merem melek menerima tusukan demi tusukan penuh nikmat yang menghentakkan tubuhnya. Sensasi itu, bersamaan dengan bergetarnya tubuh indah dan lengkingan kecil jerit kepuasan membahana di ruangan yang sempit, membawa Anissa ke puncak kenikmatan.

Udin melepas pegangannya pada bahu Anissa dan menangkup buah dada si cantik itu yang membusung besar dengan puting susu yang tegap menjorok keluar, Udin menyingkirkan lengan Anis yang melindungi payudara itu dan meremasnya dengan sangat kuat seakan ingin mencairkan daging kenyal yang membuatnya sangat bernafsu itu. Anissa memang telah mencapai puncak, namun tubuhnya masih terus menghamba pada batang kemaluan Udin, banjir demi banjir pelumas dan cairan cinta bercampur menjadi satu sementara tubuh Anissa sendiri masih terus terhentak-hentak.

Tekanan yang makin menghebat berkumpul di kantong kemaluan Udin yang membesar seperti sansak. Bagi Udin, kemaluannya terasa seperti hendak melepaskan ledakan hebat yang akan melontarkan dirinya dan Anis ke segala penjuru. Tubuhnya bergetar seperti gunung besar yang menyimpan tenaga untuk memuntahkan material vulkanik. Semua ototnya mengeras, matanya terpejam dan tangannya meremas kencang buah dada Anissa hingga si cantik itu menjerit kesakitan, sedikit lagi… sedikit lagi….. sedikit lagi……. dan ahhhhh!! Semprotan cairan cinta terlontar dari ujung gundul kemaluan Udin bagai pompa air yang baru saja dibuka. Kepala Udin sampai terlontar ke belakang dan ia melolong keenakan saat pejuhnya terlempar banjir demi banjir di dalam liang cinta gadis yang sangat seksi itu.

“Arraaaaghhhhhhhhh! Aaaahhhhh!! Hhngggg!! Ooooowwwhh!!” Udin mengosongkan kantong kemaluannya sampai ke tetes terakhir sembari memeluk erat tubuh indah wanita cantik yang sangat ia idam-idamkan. “Oaaaaghhhh!!…. ahhh..hah..hah..hah..”

Tubuh Udin yang kelelahan ambruk ke depan menumpuk di atas tubuh Anis yang masih bergetar. Semua semangat dan keinginan untuk menikmati setiap lekuk tubuh gadis pujaannya lenyap tak bersisa dengan muntahnya klimaks yang ia keluarkan, untuk kali pertama ingatan Udin kembali bisa fokus. Ia baru sadar kalau ia sedang berada di sebuah ruangan di hotel melati yang khusus ia sewa untuk bisa meniduri Anissa. Tubuh yang ada di bawahnya ini adalah gadis yang sangat ia cintai, gadis yang baru saja menerima semprotan air mani darinya.

Udin menepuk dahinya sendiri. Gila, apa yang telah dilakukannya? Ia baru saja meniduri Anissa! Ia tak ubahnya pria yang dibutakan nafsu yang semalam juga membuat gadis ini menderita walaupun harus diakui, bisa menyetubuhi Anissa adalah impiannya sejak lama. Cairan cinta menetes baik dari sela-sela bibir vagina Anissa maupun sisi-sisi penis Udin. Dengan sepelan mungkin Udin menarik penisnya keluar dari mulut kemaluan Anis, penisnya yang masih sedikit tegak agak lengket sehingga harus ditarik kencang. Ketika Udin menariknya, Anissa mengerang pelan.

“Kamu, kamu tidak apa-apa, Nis?” tanya Udin pada Anis yang tergeletak bermandikan keringat dengan nafas menderu. “Anissa?”

Anis hanya menganggukkan kepala sambil mengeluarkan suara letih, “Ya… aku baik-baik saja.”

“Aku bisa mengambilkanmu sesuatu? Air minum?” sepertinya memang terdengar konyol, tapi Udin sungguh mencintai Anissa, rasa bersalah yang muncul karena memaksanya bermain cinta membuat Udin ingin melakukan sesuatu untuk gadis ini.

Anis menggulingkan badan ke samping dan menatap wajah Udin dengan kabur, seperti tidak sadar siapa yang ada di sebelahnya kali ini. Agak lama bagi Anissa sebelum ia bisa fokus kembali, “Ya… segelas air. Tolong.”

Udin bergegas mengambilkan segelas air untuk Anis, gadis itu kemudian minum di depan Udin dengan keadaan masih telanjang, seperti tidak lagi merasa malu memamerkan keindahan tubuhnya. Setelah meletakkan gelas di meja di samping ranjang, Anis menatap Udin lekat-lekat.

“Bisakah kamu berjanji tidak akan menceritakan ini pada orang lain? Termasuk orang-orang yang ada di hotel semalam?”

“Aku janji,” jawab Udin jujur. “Aku mencintaimu, Nis. Aku tidak ingin kamu dimiliki orang lain, kamu bisa mempercayaiku untuk hal satu itu. Aku ingin bisa hidup selamanya denganmu. Aku ingin menikahimu, menghamilimu, memiliki anak darimu…”

Anissa seperti tidak peduli dengan kata-kata Udin setelah kata janji. Udin memakai celananya dengan seadanya sementara Anissa mengenakan pakaiannya kembali, tidak ada kata terucap di antara mereka. Seperti ada sebuah ikatan yang tak nampak untuk saling menahan diri dan mengerti posisi masing-masing.

“Tidak ada yang keluar dari mulutmu, Din.”

“Pasti, Nis.”

“Termasuk di kampus. Jangan ganggu aku lagi seperti tadi. Aku butuh ruang gerak.”

“Baik.”

“Aku pergi dulu.”

“Ya.”

Anissa merapikan diri dan berjalan tertatih menuju pintu.

Anissa berdiri termangu di pintu kamar sesaat sebelum dia pergi. Ada pandangan aneh yang ia tujukan pada Udin, pandangan tajam seperti yang biasa ditunjukkan seorang pengadil sebelum menghakimi seorang terdakwa.

“Bahrudin. Kita sudah berteman sangat lama, tapi aku tidak pernah menyangka kamu tega melakukan ini semua. Rasa-rasanya pertemanan ini kita akhiri saja. Aku tidak sudi lagi berteman denganmu, aku tak pernah menduga kamu serendah ini.”

Udin yang masih berbaring di ranjang menatap pintu yang ditutup dengan keras. Dentuman jantungnya perlahan kembali normal.

Pemuda itu menerawang ke arah langit-langit.

“Begitu juga aku, Nis. Aku tidak pernah mengira aku serendah ini.” Bisiknya pada diri sendiri. “begitu juga aku.”





BAGIAN 11-B SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 11-C

Part 11-A, B, C, and D memuat kehadiran (cameo) beberapa tokoh ciptaan Mr. Shusaku.
 
Terakhir diubah:
Akhirnya update jg hu. Sekian lama dintunggu. Makasih hu, makasih bnyak

Sehat selalu ya hu 🖖
 
Mantap :pandapeace:
Sudah 11B, sebentar lagi bagian 11C, checkpoint pertama menuju bagian lanjutan yg sudah sangat ditunggu2.
Semoga master @killertomato selalu diberikan kesehatan, kebahagiaan & semangat sehingga tetap mendapat ide segar & waktu luang utk tetap berkarya.
Thanks master atas update nya
 
Bimabet
Akhirnya update juga, makasih suhu.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd