Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Pendekar Naga Mas

Frantines

Kakak Semprot
Daftar
27 Nov 2012
Post
162
Like diterima
284
Lokasi
Jakarta Barat
Bimabet
Karya Yen To

Bab I. Sorga cewek di Pesanggrahan Hay-thian.

Lian-hong-san disebut juga gunung Lian-bong-san, mempunyai ketinggian empat ratus kaki dari permukaan laut, jauh memandang ke depan terlihat samudra luas terbentang hingga kaki langit, memandang ke arah barat terlihat rentetan pegunungan saling sambung.

Bila memandang ke arah timur, terlihat pulau Chin-huang (Chin-huang-to) berada nun jauh di sana.

Di atas pintu gerbang sebuah gedung yang sangat megah dan indah, terpampang sebuah papan nama bertuliskan "Hay-thian-itsi" (samudra dan langit satu pandangan), penulisnya tercatat: Ong Sam-kongcu.

Di balik halaman gedung yang luas, banyak ditumbuhi pohon siong yang lebat dan kekar, aneka bunga tumbuh mengelilingi sebuah taman dengan jembatan batu yang indah, di sana tampak juga sebuah kebun menjangan serta tugu peringatan.

Di halaman bagian belakang tampak sebuah kolam mandi yang amat lebar, kolam itu beralaskan batu hijau yang lebar, air kolam berasal dari sebuah mata air yang memancarkan air dengan deras, kolam itu cukup dalam tapi terawat bersih, sebuah ukiran nama terpampang di atas sebuah batu besar Ti-sim (pusat mandi).

Bulan tiga, udara di wilayah Kanglam amat sejuk dan nyaman, rumput tumbuh amat subur, burung beterbangan sambil menyanyikan lagu yang indah, tapi suasana di dalam gedung Hay-thian-it-si milik Ong Sam-kongcu masih nampak bersih bagai sedia kala, hanya tampak asap mengepul dari arah dapur.

Pada saat itulah tampak seorang pemuda berusia dua puluh tahunan berperawakan tinggi tapi kekar, berwajah tampan, dengan bertelanjang dada dan mengenakan celana pendek sedang berenang dalam kolam.

Selain pemuda itu, tampak juga dua belas gadis muda belia yang rata-rata berwajah cantik berkumpul di situ, kawanan gadis itu terbagi dalam tiga kelompok, kelompok pertama mengenakan kutang berwarna merah, kelompok kedua memakai kutang berwarna putih dan kelompok ketiga mengenakan kutang berwarna kuning.

Saat itu mereka sedang bermsin kejar-kejaran dengan pemuda tampan itu di dalam kolam, suara tertawa cekikikan meramaikan suasana.

Pemuda tampan itu adalah Ong Sam-kongcu (tuan muda ketiga dari keluarga Ong) Ong it-huan, seorang jago silat termashur dalam dunia persilatan sebagai "cepat serangannya bagai petir, kuat pukulannya bagai bukit karang, memandang uang bagai tanah dan menyayangi perempuan bagai bunga".

Sementara kedua belas gadis cantik bertubuh seksi itu tak lain adalah dua belas tusuk konde emas, pengawal pribadi Ong Sam-kongcu.

Bicara soal Ong Sam-kongcu, dia benar-benar termasuk seorang aneh.
Ditinjau dari ilmu silat yang dimiliki, perawakan. tubuh serta wajahnya yang menawan, ditambah kekayaan keluarganya yang berlimpah, boleh dibilang dia merupakan idaman setiap gadis dan pendekar wanita, tapi anehnya dia tak pernah tertarik dengan gadis mana pun, entah sudah berapa banyak gadis yang menitikkan air mata kekecewaan.

Sementara kedua belas tusuk konde itu terhitung gadis-gadis berperangai lembut, hangat dan setia, bukan saja mereka bergabung tanpa imbalan, bahkan mereka rela melayani semua keperluan Ong Sam-kongcu tanpa berkeluh kesah.

Pada mulanya, Ong Sam-kongcu pernah mengemukakan perasaan hatinya kepada kedua belas gadis itu, apa mau dikata kedua belas gadis itu tetap bersikeras untuk melayani keperluannya, kata mereka, asal tiap hari dapat memandang wajahnya, mesti berkorban pun mereka rela.

Menghadapi desakan ini, terpaksa Ong Sam-kongcu menerimanya sambil tertawa getir.
Karena gagal membujuk mereka mengurungkan niatnya, Ong Sam-kongcu pun memberi kebebasan seluas-luasnya kepada para gadis itu untuk berbuat sekehendak mereka, toh resiko ditanggung penumpang.

Kedua belas gadis itu berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda, namun tujuan kedatangan mereka rata-rata hampir sama.

Mereka sepakat untuk berjuang hingga titik darah penghabisan, batu cadas yang amat keras pun akhirnya akan berlubang bila tiap hari terkena air, apalagi perasaan cinta seseorang, toh pepatah bilang: Cinta itu datang bila sering bertemu.

Mereka semua berjanji, bila tuan muda tidak mendahului melakukan reaksi, siapa pun dilarang memikat atau merangsang majikannya dengan cara yang licik.

Selama dua tahun kedua belas tusuk konde emas selalu memerankan posisi sebagai seorang "dayang", jika Ong Sam-kongcu tidak memanggil, siapa pun tak berani mendekat atau mengiringinya.

Perasaan manusia memang tak sekeras baja, siapa bilang napsu dan cinta bisa dibendung? Apalagi satu-satunya perempuan yang dicintai secara diam diam tak pernah memberi tanggapan, dia selalu bertepuk sebelah tangan, lama kelamaan jalan pikiran Ong Sam-kongcu pun mulai berubah.

la mulai mengajak bicara kedua belas tusuk kondenya, mulai bergurau dan menggoda.
Akhirnya dia putuskan untuk pergi meninggalkan kota Kim-ling, kota penuh kesedihan itu dan mendirikan pesanggrahan megah Hay-thian-it-si di atas bukit.

Setiap pagi jam 6, ia selalu bertelanjang dada menceburkan diri ke dalam kolam yang amat dingin itu untuk membenamkan diri, dia ingin menggunakan hawa dingin yang menusuk tulang untuk mengusir rasa rindunya terhadap kekasih hati.

Orang bilang, jika kau patah hati, makanlah kulit pisang yang dibubuhi abu gosok. Tapi Ong Sam-kongcu lebih suka memakai "ilmu membeku" untuk menghadapi perasaan patah hatinya, dia ingin mendinginkan gejolak hawa panas yang membara dalam dadanya.

Untuk mengimbangi kemauan tuannya, setiap kali Ong Sam-kongcu terjun ke kolam maka dua belas tusuk konde pun ikut terjun ke kolam menemani, tak heran kalau tak sampai sepuluh hari, ilmu berenang yang dikuasai kedua belas orang gadis itu sudah sangat hebat.

Di luar kebiasaan, semalam Ong Sam-kongcu mengundang mereka berdua belas untuk berenang bersama pagi ini.

Undangan itu membuat mereka terkejut bercampur girang, saking tegangnya, nyaris semalaman tak bisa tidur. Belum lagi jam menunjukkan pukul 4 fajar, mereka sudah tiba di tepi kolam untuk melakukan pemanasan badan.

Begitu tiba di tepi kolam, Ong Sam-kongcu segera mengejek sambil tertawa:

"Hahaha ... mana ada orang melakukan pemanasan dengan mengenakan pakaian setebal itu!"

Sambil berkata ia lepaskan jubah luarnya dan bertelanjang dada.

Berdebar keras hati kawanan gadis itu setelah melihat kulit tubuhnya yang putih bersih tapi kekar berotot, tersipu-sipu mereka menundukkan kepala dengan wajah bersemu merah.

Menghadap datangnya sang fajar Ong Sam-kongcu menarik napas panjang sambil mengatur hawa murninya, lalu diiringi pekikan nyaring mulai memainkan ilmu pukulan Pat-kwa naga sakti Yu-liong-pat-kwa-ciang.

Terlihat bayangan manusia berkelewat ringan bagaikan asap, deru angin pukulan menggelegar bagai guntur, begitu dahsyat ilmu pukulan itu membuat kedua belas tusuk konde terbelalak kagum.

Tiba-tiba Ong Sam-kongcu berpekik panjang, tubuhnya melambung setinggi tiga kaki, sambil menekuk tubuh, sepasang tangannya diluruskan ke muka, dan ... "Byruuuur....!" diiringi percikan air, ia terjun ke dalam kolam.

"Ilmu gerakan tubuh yang indah!" puji kedua belas tusuk konde serentak.

Buru-buru mereka melucuti pakaian sendiri dan beruntun menceburkan diri ke dalam kolam.

Sesudah berenang berapa saat, Ong Sam-kongcu mengusulkan untuk bermain "perang air", biarpun dua belas tusuk konde tak paham bagaimana mainnya, namun mereka segera menyanggupi seraya tertawa cekikikan.

"Ayo kita mulai!" teriak Ong Sam-kongcu tiba-tiba, badannya segera menyelam
ke dasar kolam.

Kolam Ti-sim ini mempunyai kedalaman hampir dua kaki, dengan ilmu berenang yang dimiliki Ong Sam-kongcu ditambah tenaga dalamnya yang amat sempurna, biarpun berada di dalam air, dia dapat melihat pemandangan di sekelilingnya dengan jelas.

Tak selang berapa saat kemudian ia dapat melihat dengan jelas paha, pinggul serta payudara kawanan cewek muda itu.

Apalagi tiga cewek yang mengenakan kutang berwarna putih, lekukan payudaranya nampak begitu jelas dan nyata, ditambah bentuk teteknya yang besar tapi kenyal, betul-betul membuat darah di tubuhnya mendidih.

Sejak terjun ke dalam dunia persilatan, walaupun Ong Sam-kongcu sudah banyak pengalaman bermain cewek, sudah berulang kali mencicipi pelbagai jenis cewek, yang kurus, yang gemuk, yang muda, yang setengah tua, namun semuanya itu hanya sebatas iseng saja, apalagi kawanan cewek itu adalah cewek penghibur dan semuanya tak pandai ilmu silat.

Sebaliknya kedua belas cewek ini berani mendekati Ong Sam-kongcu yang status sosialnya tinggi dan berilmu silat hebat, tentu saja karena mereka anggap status serta kemampuan sendiri mampu menandingi pemuda itu.

Oleh sebab itu mereka berdua belas bukan saja termasuk "barang yang pantas digunakan", bahkan terhitung "barang kelas satu".

Dalam pada itu Ong Sam-kongcu sudah mulai terangsang setelah melihat paha-paha mulus itu.

Karena pikiran bercabang, dua gadis yang berada di belakangnya segera menyusul tiba.

Sadar akan terkejar, buru-buru tangannya mendayung ke belakang sembari menjejakkan kakinya, lagi-lagi tubuhnya menyelam ke bawah air.

Kebetulan waktu itu ada seorang gadis berkutang merah sedang muncul di atas permukaan air untuk berganti napas, Ong Sam-kongcu segera menghampirinya sambil menggelitik ketiak kirinya.

Tiba-tiba gadis itu merasa geli bercampur kaku, badannya jadi lemas hingga tak tahan lagi minum satu tegukan air kolam.

Sambil munculkan diri berganti napas, Ong Samkongcu membuat muka setan kepadanya lalu menyelam lagi ke dalam air.

Gadis itu malu bercampur girang, dengan badan lemas dia paksakan diri berenang ke tepi kolam, lalu sambil merendam kakinya ke dalam air, ia menonton Ong Sam-kongcu mempermainkan gadis lain.

Dari balik air kolam yang jernih, terlihat tubuh Ong Sam-kongcu bagaikan seekor naga berenang kian kemari, menggelitik setiap gadis yang dijumpai, membuat nona-nona muda itu Kegelian dan tertawa cekikikan.

Mereka berniat mengepung pemuda itu, sayang kepandaian mereka masih kalah setingkat, tiap kali sudah terkepung tahu-tahu anak muda itu terlepas lagi.

Yang lebih parah lagi, setiap kali menerobos keluar kepungan, seperti tak disengaja atau mungkin memang disengaja, Ong Sam-kongcu selalu menyentuh payudara mereka yang montok, sentuhan ini membuat mereka merasa kaku, gatal dan membangkitkan hawa napsu, tubuh mereka seakan terkena listrik tegangan tinggi.

Tak heran gerak tubuh mereka semakin melambat, menggunakan kesempatan itu Ong Sam-kongcu semakin bergairah mempermainkan mereka, kalau bukan menyentuh, menyenggol atau bahkan seakan menumbuk ... anehnya, hanya bagian tertentu dari kawanan nona itu yang disentuhnya.

Gelak tertawa, jeritan kaget bergema memenuhi angkasa dan memecahkan keheningan fajar.

Dua belas tusuk konde menganggap mereka senasib sependeritaan, oleh sebab itu di antara mereka ada tingkat urutan disesuaikan usia masing-masing, gadis yang saat itu sedang duduk di tepi kolam adalah tusuk konde nomor enam, Lan-hoa Losat, iblis wanita bunga anggrek Pek Lan-hoa.

Sebelum bergabung, dia adalah putri tunggal seorang piausu, setelah ayahnya tewas dalam suatu pengawalan barang, tak lama kemudian ibunya menyusul ke alam baka lantaran sedih ditinggal mati suaminya.

Atas perantara kakak seperguruan ayahnya, Pek Lan-hoa mengangkat Kiu-ci Popo menjadi gurunya, setelah berlatih hampir lima tahun lamanya, dengan ilmu silat yang cukup tangguh dia membuat perhitungan dengan musuh besar pembunuh ayahnya.

Karena telengas di saat menuntut balas, dia mendapat julukan si iblis wanita bunga anggrek.

Saat itu dia menonton dari tepi kolam hingga suasana dalam kolam terlihat sangat jelas, tiba-tiba ia temukan di bagian bawah celana Ong Sam-kongcu ada sesuatu benda yang menonjol keluar, tonjolan benda itu besar sekali hingga membuat celana pendek yang ketat itu seolah hampir terobek.

Jangan dianggap dia masih seorang gadis perawan, namun pengetahuannya soal hubungan laki perempuan sangat matang dan jelas, begitu melihat bentuk "memalukan" dari celana Ong Sam-kongcu, dia segera mengerti kalau anak muda itu mulai terangsang dan napsu birahinya bangkit, diam-diam ia merasa kegirangan.

Setelah berputar biji matanya, sambil berpikir sejenak mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya.

Buru-buru dia memeriksa sekeliling tempat itu, setelah yakin tak ada orang yang perhatikan, pelan-pelan Pek Lan-hoa mengendorkan tali kutangnya, kemudian sekali lagi ia terjun ke air dan berenang mendekati Ong Sam-kongcu.

Melihat Pek Lan-hoa telah terjun kembali ke dalam air, diam-diam Ong Samkongcu berenang mendekati.

Melihat pemuda itu mendekat, secepat kilat Pek Lan-hoa menjejakkan kakinya sementara tangan kanannya segera menyambar lengan kanan lawan.

Buru-buru Ong Sam-kongcu mengegos ke samping, setelah lolos dari cengkeraman nona itu, dia menyusup dari samping dan menggelitik ketiak kanan gadis itu.

Kaget bercampur gelisah cepat-cepat Pek Lan-hoa menyembur pemuda itu
dengan air. Terkena semburan air yang datang secara tak terduga, otomatis Ong Samkongcu menarik tali kutang di sisi nona itu, akibatnya kutang yang sudah kendor talinya itu segera terbetot lepas dari tubuh Pek Lan-hoa.

Tubuh yang putih dengan payudara yang gede, kenyal dan kencang itu segera muncul di hadapan Ong Sam-kongcu, membuat napas pemuda itu mulai tersengal karena menahan diri....

Pek Lan-hoa menjerit kaget, tubuhnya jadi lemas dan .... "Glukk ...!" beberapa teguk air kolam masuk ke dalam mulutnya, membuat nona itu mulai tenggelam ke dalam kolam.

Jerit kaget dari kawanan gadis lainnya bergema memecah keheningan. Cepat-cepat Ong Sam-kongcu berenang mendekat, dengan tangan kiri menjepit perut nona itu, dia berenang naik ke atas permukaan.

Tiba-tiba Pek Lan-hoa merangkul punggungnya dengan kedua belah tangannya, ia tempelkan tubuhnya rapat-rapat dengan pemuda itu.
Ong Sam-kongcu mengira hal itu merupakan reaksi alami dari seorang yang tercebur ke dalam air, buru-buru dia balas memeluk tubuhnya erat-erat.

Kini golok sudah dicabut keluar dan sulit disarungkan kembali, Pek Lan-hoa pura-pura meronta terus ke kiri kanan, padahal secara diam-diam ia mulai persiapkan sarung golok di balik celananya secara tepat agar golok lawan nantinya bisa langsung disarungkan ....

Gadis itu segera merasa "benda besar" di balik celana dalam pemuda itu semakin membengkak hingga tegang besar.
Entah bagaimana ceritanya, tahu-tahu "benda besar" itu sudah meloncat keluar dari balik celana, Pek Lan-hoa kegirangan, buru-buru dia menggaet punggung lawan dengan sepasang kakinya, lalu badannya ditekan ke bawah kuat-kuat.

"Aaah ....!" tiba-tiba ia merasa lubang miliknya terasa sakit sekali.
Ong Sam-kongcu bukan orang bodoh kemarin sore, sadar kalau dia sudah "dikerjai", ditambah lagi dia sendiri memang mempunyai "kebutuhan" ke situ, maka ia pun berlagak pilon dengan menggerakkan badannya semakin melekat ke tubuh gadis itu.
Pek Lan-hoa merasa malu bercampur girang, ia pejamkan sepasang matanya sambil menikmati, dalam keadaan begini ia tak berani memandang ke arah rekan lainnya.

Dengan tangan kiri memeluk gadis itu, tangan kanan mendayung, pelan-pelan Ong Sam-kongcu membawa nona itu berenang ke tepi kolam, setelah itu kepada dua orang gadis yang berada di sisinya, ia berkata sambil tertawa: "Tolong bantu aku membopong dia!"

Kini kawanan gadis yang lain sudah tahu tentang "siasat busuk" Pek Lan-hoa, biarpun dalam hati merasa tak puas karena dia telah melanggar "kesepakatan", namun mereka pun berterima kasih kepadanya karena telah menjadi "pelopor" untuk yang lain.

Setelah naik ke tepi kolam, kedua orang gadis itu segera mengambil tiga stel pakaian yang digunakan sebagai alas untuk punggung Pek Lan-hoa, kemudian dengan menarik kedua lengannya ke atas dan disejajar-kan dipermukaan kolam, mereka mulai memeganginya kuat-kuat.

Pada kesempatan itu, Ong Sam-kongcu menempelkan sepasang lututnya di tepi kolam, lalu sambil berpegangan di sisi batu, ia mulai menaik turunkan badannya ... pertempuran dalam air segera dimulai.

Sepasang kakinya menggaet belakang punggung Ong Sam-kongcu, Pek Lanhoa
pejamkan mata rapat-rapat, wajahnya bersemu merah, biarpun menahan rasa sakit karena robeknya selaput perawan, ia membiarkan majikannya berbuat sekehendak hati.

Titik noda darah mulai muncul di atas permukaan air kolam, para nona tahu Pek Lan-hoa masih perawan dan baru saja kegadisannya direnggut Ong Samkongcu, diam-diam mereka kagum kepada nona itu karena rela berkorban demi kebutuhan majikannya.

Menyaksikan hubungan laki perempuan yang berlangsung secara "hidup" dihadapan mereka, para gadis mulai merasakan hatinya berdebar keras, napasnya ikut tersengal dan wajahnya bersemu merah seperti orang mabuk, siapa pun rasanya ingin turut serta dalam pertempuran itu dan ikut mencicipi bagaimana rasanya "ditiduri" majikan mereka.

Dengan penuh bemapsu Ong Sam-kongcu menggerakkan tubuhnya naik turun, makin lama gerakannya makin cepat....

Tak selang berapa saat kemudian terdengar ia mendengus tertahan, lalu gerakan tubuhnya mulai melambat sebelum akhirnya berhenti.

Terdengar anak muda itu menghembuskan napas lega, lalu sambil memeluk kencang tubuh Pek Lan-hoa, ia tak bergerak lagi.

"Kongcu" nona nomor satu segera menghampiri sambil menegur: "apa perlu beristirahat sebentar di tepi kolam?"

"Aaah! Betul" teriak Ong Sam-kongcu kaget, "setelah mengeluarkan cairan mani, aku memang tak boleh berendam terus di air dingin, bisa merusak kondisi badanku!"

Maka sambil tersenyum dia manggut-manggut. Dua orang nona itu segera menariknya kuat-kuat dan membawanya ke tepi kolam.

Tampak "benda" Ong Sam-kongcu sudah tidak setegang tadi, biarpun begitu, ukurannya ternyata sungguh mengejutkan!

Dalam pada itu gadis nomor satu telah membantu Ong Sam-kongcu mengenakan pakaian.

Mengawasi celana dalamnya yang sempat robek karena diterjang "barang"nya yang membesar, merah padam selebar wajah Ong Sam-kongcu, kuatir digoda para nona yang lain, selesai berpakaian buru-buru perintahnya: "Cepat bawa nona nomor enam ke dalam kamarnya"

Para nona pun segera menutupi badan Pek Lan-hoa yang telanjang bulat dengan pakaian, kemudian menggotongnya balik ke dalam kamar.

Memandang bayangan tubuh kawanan gadis yang menjauh, diam-diam Ong Sam-kongcu tertawa getir, gumamnya: "Habis sudah riwayatku, gara-gara ulah Lan-hoa yang mendobrak tradisi, hari-hari berikut aku bakal kerepotan setiap malam!"

Selesai berkata, dia pun segera berlalu dari situ kembali ke dalam kamarnya.
Angin gunung yang dingin berhembus kencang, kegelapan malam mulai mencekam seluruh jagat, cahaya lentera mulai berkelip bagai cahaya bintang di langit.

Saat dan suasana seperti ini merupakan waktu yang paling tepat untuk bersembunyi di balik selimut sambil memeluk "selimut" yang lain.

Tapi suasana dalam gedung Hay-thian-it-si justru amat riuh ramai oleh gelak tertawa dan suara nyanyian.

Tampak Ong Sam-kongcu didampingi kedua belas tusuk kondenya sedang berpesta pora sambil minum arak, mendengarkan kisah pengalaman Ong Samkongcu yang luas dan suara kawanan gadis yang merdu bagai kicauan burung kenari, suasana dalam ruang utama terasa begitu hangat bagaikan berada di wilayah Kang-lam.

Tiba-tiba Pek Lan-hoa bangkit berdiri, setelah menjura di hadapan Ong Samkongcu,
ujarnya lembut "Kongcu, saudaraku sekalian, untuk merayakan hari teramat bahagia hari ini, siaumoay sengaja telah menciptakan sebuah lagu baru, mohon kongcu sudi memberi petunjuk!"

Baru habis berkata, sepasang pipinya telah berubah semu merah, lalu kepalanya tertunduk dengan tersipu-sipu.

Ong Sam-kongcu mengerti yang dimaksud gadis itu adalah hubungan badan yang telah terjadi pagi tadi, tak tahan ia tertawa tergelak: "Hahahaha ... bagus sekalian kalau begitu, biar aku nikmati merdunya suaramu."

Di antara berkelebatnya bayangan manusia, enam orang gadis masing-masing mengambil sejenis alat musik, sementara Si Ciu-ing sebagai kakak paling tua segera berdiri di tengah ruangan, gerak-geriknya lembut dan indah bagai bidadari.

Sementara lima orang gadis yang lain berdiri berjajar di belakang tubuh toacinya sembari memandang Ong Sam-kongcu dengan senyum di kulum.

Terdengar Si Ciu-ing dengan suara merdu berkata: "Kongcu, Ciu-ing bersama beberapa orang adik akan memainkan sebuah lagu "Hun-sou-ciu-mong" (impian lama pengikat sukma), mohon petunjuk dari anda."

Sembari tersenyum Ong Sam-kongcu manggut-manggut.
Irama musik pun mulai bergema memecahkan keheningan.
Lima orang gadis yang berdiri di belakang Si Ciu-ing mulai menggerakkan tubuhnya yang lemah gemulai membawakan tarian yang indah mengikuti irama musik..

Dengan suaranya yang merdu, Si Ciu-ing mulai bersenandung:

"Bunga rontok air mengalir, musim semi berlalu tanpa sisa, yang tampak hanya
angin timur yang kejam.
Bunga mekar embun di kuncup, itulah saat yang romantis untuk bermesraan.
Bila masa remaja berlalu, tak pemah akan kembali lagi, lenyap di ujung langit,
hilang tak berbekas.
Walet beterbangan kupu-kupu menari, suasana di musim semi sungguh
menawan hati"

Dengan termangu Ong Sam-kongcu menikmati alunan musik dan senandung yang merdu merayu itu, tanpa terasa ia mulai bangkit berdiri dan mengawasi wajah Si Ciu-ing dengan penuh kehangatan dan perasaan cinta yang amat mesra.

Tak kuasa sepasang kakinya mulai bergeser menghampiri nona itu.
Musik masih mengalun sangat merdu, sementara Ong Sam-kongcu sudah memeluk pinggang Si Ciu-ing yang ramping dan mengikuti alunan musik, tubuhnya mulai bergeser meninggalkan ruangan.

Tak selang berapa saat kemudian, ia telah membawa Si Ciu-ing masuk ke dalam kamarnya.
Sambil berjalan, dengan tangannya yang terlatih dan penuh pengalaman, dia mulai melucuti pakaian yang dikenakan gadis itu satu per satu.

Baju luar, kutang, celana panjang, celana dalam ... satu demi satu berguguran jatuh ke lantai.
Sedetik kemudian Si Ciu-ing sudah berbaring di atas ranjang dalam keadaan telanjang bulat.
Ong Sam-kongcu tidak menunggu lebih lama, sambil menikmati tubuh bugil sang nona yang putih halus, dengan sepasang tetek yang besar tapi kencang itu, dia mulai melucuti pakaian sendiri satu per satu, tak lama kemudian dia pun sudah dalam keadaan bugil.

Dengan lidahnya yang basah pemuda itu mulai menjilati seluruh bahu Si Ciuing, sementara tangan kanannya mulai meraba dan menggerayangi sekujur badan si nona, meremas sepasang payudaranya, membelai pusarnya, lalu turun ...
turun terus ... mulai membelai hutan bakau yang hitam lebat dan ... sebuah kolam surga yang mungil tapi teramat indah ....

Si Ciu-ing mulai terangsang, peluh mulai bercucuran membasahi tubuhnya, ia merasa geli tapi nikmat... sebuah aliran hawa panas mulai muncul dalam tubuhnya, menimbulkan perasaan yang aneh sekali....

Melihat gadisnya mulai gemetar, Ong Sam-kongcu makin terangsang, dari
bahu, dia mulai menjilati punggung dan tengkuk si nona.

Si Ciu-ing gemetar makin keras.
"Kongcu, aku ... aah!" desisnya lirih.
Ong Sam-kongcu mengerti, walaupun Si Ciu-ing masih perawan, namun rangsangan yang dia lakukan membuat si nona terangsang dan mulai tak tahan, ia pun mulai berbaring di sisi tubuhnya seraya memanggil: "Adik Ing!"

"Ehmm ...." dengan wajah jengah dan malu Si Ciu-ing menyahut.
Dengan lembut Ong Sam-kongcu menempelkan tubuhnya di atas badan si nona, terasa payudaranya yang hangat, lembut tapi penuh kekenyalan mulai menempel di atas badannya, ia tak tahan dan segera memeluknya erat-erat.

Menyusul kemudian ia mulai menciumi seluruh jidatnya, kelopak matanya, ujung hidungnya, sepasang bibirnya dan berhenti di telinganya, dimana dia mulai menjilat, menggigit dan menghisapnya pelan-pelan.

Si Ciu-ing semakin gemetar, tak kuasa badannya mulai menggeliat tiada hentinya.
Dengan sepasang bibirnya, Ong Sam-kongcu menciumi bibirnya yang panas dengan penuh bemapsu, Si Ciu-ing mendesis, tiba-tiba dia balas merangkul tubuh Ong Sam-kongcu, memeluk kencang dan balas mencium pemuda itu dengan penuh bernapsu.
Bibir bertemu bibir, lidah bertemu lidah ....
Ong Sam-kongcu dengan tangan kirinya membelai lembut punggung dan pinggulnya, ia merasa tubuh nona itu sangat halus, lembut dan penuh daya rangsang yang memikat.

Belaian itu membuat Si Ciu-ing semakin bemapsu, dia cium pemuda itu makin buas, menciuminya hingga nyaris tak mampu bernapas, kemudian setelah melepaskan ciumannya, ia mulai berbaring terengah-engah.

Dengus napas yang memburu membuat sepasang payudaranya yang putih montok ikut gemetar keras, Ong Sam-kongcu tidak berdiam diri, mengawasi payudara si nona yang bergetar naik turun, terutama sepasang puting susunya yang mulai mengeras dan berdiri menantang, ia merasa hawa napsunya makin membara, ia mulai tak sanggup menahan diri lagi....

Dengan bibirnya yang hangat dia mulai menghisap puting susu sebelah kanan yang mengeras, sementara tangan kirinya mulai membelai, meraba ... dan meremas payudara kirinya yang menantang....

Seperti tersambar kilatan halilintar Si Ciu-ing gemetar keras, hisapan pada puting susunya membuat ia merasa geli ... geli tapi amat merangsang, begitu terangsangnya
hingga ia mulai berkunang-kunang, dengus napasnya makin cepat... semakin terengah.

Yang lebih menyiksa lagi, ternyata Ong Sam-kongcu bukan cuma menghisap, dia mulai menggigit puting susunya yang sedikit lebih besar dari kacang itu dengan bernapsu, biarpun gigitan itu ringan dan merangsang, tapi si nona merasa amat geli, gatal dan aneh sekali....

Tiba-tiba Si Ciu-ing merasa seperti ingin "kencing", tak tahan ia mulai bersin berulang kali. Menyaksikan hal itu, dengan tangan kirinya Ong Sam-kongcu segera meraba
"lubang surga" di antara sepasang paha si nona, dengan cepat dia dapati semacam cairan basah yang licin tapi lengket telah membasahi sekeliling tempat itu, tak tahan pikirnya: "Tak salah orang berkata, semakin montok seorang nona, semakin gampang ia mencapai "puncak"nya!"

Maka dia pun mulai menghisap dan menggigit pelan puting susu yang kiri.

Dengan wajah tersipu dan suara gemetar Si Ciu-ing mulai mendesis: "Aaah kongcu ... jangan ... jangan begitu ... aku ... aku mulai tak tahan ... aah ... aahh ...!"

Ong Sam-kongcu tertawa pelan, dia mulai berjongkok di atas badan si nona, merentang lebar sepasang kakinya lalu "tombak panjang" miliknya mulai ditempelkan di atas “sarung senjata" lawan dan pelan-pelan dihujamkan ke bawah dengan penuh kelembutan.

Si Ciu-ing merasa amat sakit, terutama ketika "tombak" lawan mulai mengoyak jaring tipis miliknya ... sambil mengertak gigi ia menahan diri, biar sakit dia tak bergeming, dia biarkan majikannya menjebol "jaring" pertahanan miliknya....

Ong Sam-kongcu merasakan Kenikmatan yang luar biasa muncul dari ujung "tombak"nya langsung menyebar ke sekujur badan, ini membuat dia semakin bernapsu untuk menghisap, menjilat dan menggigit sepasang puting susu nona itu.

Si Ciu-ing mencengkeram ujung bantalnya kuat-kuat menahan rasa sakit dan pedih yang amat sangat, terutama ketika ujung "tombak" lawan mulai menembusi "jaring" pertahanannya, dia hadapi "serangan" lawan dengan penuh ketegangan....

Menurut yang dia ketahui, robeknya selaput perawan seorang gadis adalah saat yang paling sakit dan menderita, bahkan ada sementara orang tak mampu turun dari ranjang selama tiga hari sebelum rasa sakit itu dapat di atasi, karena itu dia tingkatkan kewaspadaan untuk menghadapi serangan itu.

Untung sekali Ong Sam-kongcu bukan termasuk kekasih yang kelewat terburu napsu, dia selalu memperhitungkan penderitaan lawan, pemuda itupun bukan termasuk lelaki golongan "kereta cepat" yang ingin terburu-buru sampai di tempat tujuan.

Kenyataan ini membuat Si Ciu-ing diam-diam menghembuskan napas lega, tak lama kemudian rasa geli, gatal dan kesemutan sekali lagi menyelimuti sekujur badannya.

Tak kuasa lagi dia mulai menggeliat, mulai bergerak, mulai mengimbangi gerak tubuh lawan ... ia mulai mendengus, mendesis dan merintih ....

Tangan yang semula dipakai untuk mencengkeram Ujung bantal, kini digunakan untuk memeluk punggung Ong Sam-kongcu.

Entah berapa lama sudah lewat... akhirnya ... ujung tombak telah mencapai dasarnya! Sepasang tangannya yang semula dipakai untuk memeluk punggung Ong Sam-kongcu, kini mulai bergeser turun, bergeser ke atas pinggulnya bahkan secara pelan-pelan rnulai membantu gerakan pinggul pemuda itu agar bisa menghujam lebih ke bawah ... menghujam lebih dalam ....

Dengan gerakan "mengikuti arus mendorong sampan" Ong Sam-kongcu membiarkan tombaknya menusuk "lubang surga" gadis itu dalam-dalam.

Semakin ditusuk, ujung tombak yang menembusi "lubang surga" lawan menghujam makin dalam sehingga akhirnya hampir seluruh badan "tombak" terbenam dalam tubuh lawan....

Dalam posisi seperti ini, Ong Sam-kongcu tak mau membuat gadis pujaannya mengerang kesakitan, dia berusaha agar nona itu bebas dari penderitaan.

Sekali lagi dia cium bibir nona Si dengan penuh kemesraan, menjilat, mencium dan menghisap ujung lidahnya.

Si Ciu-ing balas mencium pemuda itu dengan penuh napsu.
Biarpun gerakannya masih kaku dan terasa asing, namun penuh mengandung kehangatan cinta dan napsu yang membara.

Pelan-pelan Ong Sam-kongcu masukkan ujung lidahnya ke dalam bibir gadis itu, menyongsong ujung lidahnya yang lembut, halus dan hangat, lalu menghisapnya pelan.
Selama hidup belum pernah Si Ciu-ing mengalami kejadian seperti ini, apalagi dalam hubungan antara laki dan perempuan, hakekatnya dia hanya seekor ayam yang tercebur dalam sumur, sarna sekali tak punya pengetahuan apalagi pengalaman, mendengar pun belum pernah.

Tahu kalau gadis itu tak punya pengalaman, Ong Sam-kongcu mulai member petunjuk dan kursus kilat, tak sampai seperminum teh kemudian Si Ciu-ing yang pintar segera dapat menguasai tehnik itu dan mempraktekkan dengan sempurna.

Sepasang ujung lidah pun sebentar masuk sebentar keluar, dalam bibir masing-masing saling menggaet saling menghisap dan saling menggigit....

Menggunakan kesempatan itu diam-diam Ong Sam-kongcu mulai menaik turunkan tubuhnya beberapa kali, dia segera dapat merasa kalau "jalanan mulai becek dan basah" bahkan "lorong jalan" itu sudah semakin longgar ketimbang tadi, maka dia pun rnulai beraksi dengan menggoyangkan tubuhnya, bukan cuma naik turun, bahkan mulai memutar sambil menekan.

"Aaah ... kongcu ... aaah...." desis merdu bergema memecah keheningan: "aaah
... kongcu ... nikmat”

Dalam waktu singkat kedua orang itu sudah lupa diri, mereka tenggelam dalam deru napsu yang makin meningkat, gerak tubuh mereka kian lama kian bertambah cepat.
Kalau semula Si Ciu-ing belum berani melakukan gerak balasan, kini dia mulai aktif berperan, pinggulnya ikut bergoyang sambil berputar mengimbangi gerakan tubuh lawan....

Begitu asyiknya mereka "bertempur" hingga siapa pun tak tahu sejak kapan
irama lagu di luar gedung sudah berhenti berbunyi.

Beruntun tiga hari tiga malam Ong Sam-kongcu tak pernah bergeming selangkah pun dari dalam kamar tidur Si Ciu-ing.

Malam itu untuk kesekian kalinya mereka bertempur sengit, setengah jam kemudian mereka berdua sama-sama "terluka dan mengucurkan darah" hingga mesti tergeletak lemas di ranjang.

Saat itulah terdengar Si Ciu-ing berbisik lirih: "Kongcu, aku ... aku benar benar merasa nikmat!"
Ong Sam-kongcu menciumnya penuh rasa sayang, kemudian ujarnya serius:
"Adik Ing, aku ... aku ingin meminangmu!"

Tertegun Si Ciu-ing sehabis mendengar berita gembira yang sama sekali tak terduga itu, dengan senyum di kulum dan nada gemetar tegasnya: "Kongcu, kau ... kau serius?"

"Tentu saja serius adik Ing, kau bukan cuma cerdik, kehangatan tubuhmu dapat memuaskan napsuku, mendatangkan kegembiraan yang luar biasa! Kau ... kau bersedia aku kawini?"

Sambil mengucurkan air mata kegirangan Si Ciu-ing mengawasi pemuda itu tanpa bicara, dia seperti ragu untuk menjawab.

"Adik Ing!" kembali Ong Sam-kongcu bertanya sembari menjilati butiran air mata yang membasahi kelopak matanya: "cepatlah jawab, paling tidak kau mesti anggukkan kepala."

"Kongcu," kata Si Ciu-ing dengan nada gemetar, "tentu saja aku seratus satu persen setuju dan menerima pinanganmu, tapi bagaimana dengan kesebelas saudara lainnya? Mereka semua mencintaimu, apa yang harus kau lakukan terhadap mereka?"

"Waah, kalau soal ini..”

"Kongcu, aku boleh mengajukan usul?"

"Katakan saja adik Ing."

"Kongcu, bagaimana kalau sekaligus kau kawini semua gadis itu?"

"Tapi... apa tidak kelewatan?"

"Kongcu, dengan latar belakang keluargamu serta harta kekayaan yang kau miliki, tak mungkin ada orang berani menentang, lagipula dari dua belas tusuk konde emas, kecuali Jit-moay (adik ketujuh) dan Pat-moay (adik kedelapan), hampir semuanya adalah gadis bebas."

"Soal ini... kita bicarakan nanti saja!"

Si Ciu-ing tahu majikannya pasti punya pemikiran lain, maka dia pun tak banyak bicara lagi dan mulai membantu pemuda itu untuk membersihkan "tombaknya yang penuh berlepotan darah.”

Hari kedua, baru saja tengah hari menjelang tiba, Ong Sam-kongcu didampingi dua belas tusuk konde emas sedang melukis di depan gunung gunungan, tiba-tiba Ong tua, congkoan dari perkampungan muncul dan memberi laporan: "Kongcu, di luar kedatangan seorang tamu yang mengaku dari marga Go ingin berjumpa dengan kongcu!"

"Dari marga Go? Apa tidak membawa kartu nama?" gumam Ong Sam-kongcu sambil berhenti melukis.

"Tidak, katanya dia adalah sahabat karib kongcu ketika masih di kota Kimleng."

"Aneh!"

Sambil bangkit berdiri Ong Sam-kongcu mengikuti Ong tua menuju ke pintu gerbang, ia jumpai seorang pemuda berjubah biru yang mengenakan topi dan mantel kulit sedang berdiri membelakangi pintu sembari menikmati pemandangan alam di sekeliling tempat itu.

"Go-kongcu!" orang tua Ong segera menyapa sembari menjura, "kongcu kami telah datang!"

"Terima kasih!" sahut pemuda Go sembari pelan-pelan membalikkan badan.

Begitu mendengar kata "terima kasih", tiba-tiba saja tubuh Ong Sam-kongcu gemetar keras, apalagi setelah melihat jelas paras muka orang itu, tak kuasa ia menjerit tertahan: "Aah, rupanya kau!"

"Betul, memang aku, Go Hoa-ti, bersedia menerimaku?" ujar pemuda itu sambil tersenyum.

"Tentu saja, tentu saja jawab Ong sam-kongcu agak gugup.

"Blaaam!" saking gugupnya sikut Ong Sam-kongcu menghantam pintu kuat kuat hingga menimbulkan suara keras, tak kuasa lagi merah padam wajahnya.

Waktu itu, dua belas tusuk konde emas masih berdiri di muka gununggunungan, tapi perhatian mereka sesungguhnya tertuju keluar pintu, mendengar suara benturan yang nyaring, serentak mereka memburu tiba, para gadis mengira majikannya terkena bokongan.

"Kongcu, apa yang terjadi?" tanya Si Ciu-ing penuh rasa kuatir.

"Aaah, tidak apa-apa ..,!" buru-buru Ong Sam-kongcu menyahut agak panik,

"mari kuperkenalkan kalian semua, mereka adalah..”

Belum selesai pemuda itu bicara, Go Hoa-ti telah menukas duluan sambil tertawa: "Kongcu, tak heran kau tega meninggalkan semua hasil karyamu di kota Kim-leng, rupanya dalam rumah kau banyak menyembunyikan cewek jelita"

Ong Sam-kongcu tersipu-sipu hingga untuk sesaat tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.

Dalam pada itu Si Ciu-ing telah mengamati wajah Go Hoa-ti beberapa saat, dari logat bicaranya dia tahu lawan adalah seorang nona yang sedang menyaru, maka ia pun menegur "Kongcu, tolong tanya apa kau kenal dengan Kim-leng-lihiap (pendekar wanita dari kota Kim-leng)?"

"Si-lihiap, tak malu kau mendapat julukan Li-cukat (Cukat/Khong Beng wanita), betul, siaumoay adalah Go Hoa-til"

Seraya berkata, ia lepaskan topi kulit penutup kepalanya.

Rambutnya yang hitam panjang mengkilap segera terurai di atas bahunya.

Semua orang merasa pandangan matanya jadi silau, diam-diam mereka menaruh rasa kagum akan kecantikan wajahnya yang luar biasa.

Terutama Ong Sam-kongcu, dia sampai tertegun menyaksikan kecantikan wajah gadis itu.

Tiba-tiba Si Ciu-ing berbisik: "Kongcu, di luar angin sangat deras, lebih baik undang masuk lebih dulu nona Go ke ruang tengahi"

"Aaah, betul" kata Ong Sam-kongcu agak gugup, "nona Go, silahkan masuk!"

"Terima kasih!" sambil tersenyum Go Hoa-ti berjalan masuk ke dalam ruangan.

Kemudian setelah memperhatikan sekelilingnya, katanya lagi dengan suara merdu: "Kau memang pantas menyandang julukan sebagai "To-cing Kongcu" tuan muda romantis yang menggetarkan sungai telaga, tak nyana di tengah bukit yang terpencil pun bisa membangun sebuah gedung semegah ini."

Sejak tahu yang hadir adalah gadis yang diidamkan dan dicintai selama banyak tahun, tingkah laku Ong Sam-kongcu berubah jadi gugup dan tak tenang, tapi setelah berbincang sesaat, kondisinya lambat laun berubah tenang kembali.

Mendengar ucapan tersebut ia segera tertawa lantang: "Hahaha ... nona kelewat memuji, silahkan duduk!"

Sementara itu Pek Lan-hoa sudah menyuguhkan air teh sambil menyapa: "Silahkan minum!"

"Terima kasih nona Pek!" , "Apa? Kalian sudah saling mengenal?" tegur Ong Sam-kongcu tercengang.

"Kongcu," sahut Go Hoa-ti, "biarpun siaumoay jarang berkelana di dunia persilatan, tetapi masih cukup mengerti siapa nama dari kedua belas orang cici itu!"

"Nona kelewat memuji!" serentak para gadis menyahut.

Melihat hanya dia dan Ong Sam-kongcu yang duduk di bangku, sementara dua belas gadis itu hanya berdiri, tak tahan Go Hoa-ti bertanya: "Cici semua, kalian tidak ikut duduk?"

"Terima kasih nona," sahut Si Ciu-ing sambil tersenyum: "kami sudah terbiasa berdiri!"

"Tapi...."

Tidak menunggu gadis itu bicara lagi, Ong Sam-kongcu sudah menukas, katanya kepada para nona sambil tertawa: "Kehadiran nona Go merupakan satu kejadian langka, tolong perintahkan dapur untuk menyiapkan berapa macam hidangan khas daerah Kanglam"

"Baik" sahut Si Ciu-ing, habis berkata mereka berdua belas serentak meninggalkan ruangan.

Sepeninggal kawanan gadis itu, Go Hoa-ti baru berkata sambil tertawa: "Kongcu, tampaknya mereka sangat penurut?"

"Hahaha ... mereka tak segan meninggalkan kehidupan mewah hanya ingin kemari untuk menemani aku, sudah banyak masalahku yang mereka selesaikan!"

"Kongcu, kau memang pandai menikmati hidup!"

Ong Sam-kongcu menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Bagai minum air, kita harus bisa membedakan mana air dingin mana air panas, rasanya tak perlu disinggung lagi! Nona, ada urusan apa tiba-tiba kau muncul di sini hari ini?"
"Kongcu, aku pun pingin tinggal di sini menemanimu, kau bersedia menerimaku?"

"Apa?” Kau Ong Sam-kongcu berseru kaget, belum selesai berkata ia sudah melompat bangun.

Aah! Apa yang telah terjadi? Selama ini si nona selalu bersikap acuh terhadap Ong Sam-kongcu, bahkan tak pernah menanggapi luapan perasaan cintanya, mengapa tiba-tiba ia berubah sikap? Atau... atau mungkin ia sedang bermimpi?

"Kongcu, kau tak sudi menerimaku?" kembali Go Hoa-ti bertanya sambil bangkit berdiri.

"Ooh ... tidak, tidak ... aku senang sekali, amat senang, silahkan duduk!"

Dengan senyuman puas Go Hoa-ti duduk kembali, melihat Ong Sam-kongcu masih berdiri mematung sambil memandang ke arahnya tanpa berkedip, tak kuasa tegurnya lagi sambil tertawa: "Kongcu, silahkan duduk!"

"Baik... baik... aku duduk, aku duduk!"

Ong Sam-kongcu yang biasa perkasa, kali ini hanya berdiri termangu macam orang bodoh, semua kecerdasannya seolah hilang lenyap, rasa kaget serta luapan gembira yang luar biasa membuat dia tak sanggup mengendalikan diri.

Diam-diam Go Hoa-ti merasa sangat bangga, tapi di luaran katanya manja: "Kongcu, kehadiranku tak akan merusak hubunganmu dengan para gadis lain bukan?"

"Ooh ... tidak, tidak ... pasti tidak, bagaimana kalau kuantar untuk melihat lihat kamar tidurmu?"

"Baiklah, memang itu yang kuharap!"

Keluar dari ruangan, mereka berdua menyeberangi kebun bunga, kolam Tisim dan tibalah di sebuah pesanggrahan tunggal di belakang kebun.

Membaca tulisan "Ti-wan" (kebun Go Hoa-ti) yang terpampang di atas pintu berbentuk bulat itu, tiba-tiba Go Hoa-ti merasa badannya gemetar keras, setelah menghela napas katanya: "Kongcu, ternyata kau tak pernah melupakan aku!"

Ong Sam-kongcu tersenyum, katanya: "Mari kita tengok suasana dalam pesanggrahan nona!"

Setelah melewati pintu berbentuk bulat, tiba-tiba Go Hoa-ti merasa seolah dia sudah balik ke kota kelahirannya, Kim-leng!

Baik bentuk kebun bunga maupun bentuk ruang tamu, kamar tidur serta kamar baca, hampir semuanya persis seperti keadaan rumahnya, bahkan termasuk perabot serta hiasan dinding pun tak ada bedanya, tak kuasa lagi sepasang matanya berkaca-kaca.

Tiba-tiba ia menubruk ke dalam pelukan pemuda itu sambil terisak: "Kongcu, aku sudah kelewat banyak berhutang kepadamu!"

Melihat pujaan hatinya tiba-tiba menubruk ke dalam pelukannya, Ong Samkongcu merasa hatinya berdebar keras, tubuhnya menggigil kencang.

Cepat dia menarik napas panjang, setelah berhasil mengendalikan emosi, katanya lembut: "Nona, udara dan kelembaban tempat ini jauh berbeda ketimbang kota Kim-leng, karena itu banyak jenis bunga yang tak bisa tumbuh di kebun bunga ini, aku akan undang orang untuk melengkapinya"

"Ti ... tidak usah! Siaumoay merasa tak sanggup menerima semua kebaikanmu....”

Bicara sampai di situ, air matanya bagai air bah jatuh bercucuran.

Tak selang berapa saat kemudian pakaian di bagian dada Ong Sam-kongcu sudah basah oleh air mata.

Tapi Ong Sam-kongcu seperti tidak merasa, rasa gembira yang luar biasa membuat dia melupakan segala-galanya ....

0oo0

Sebulan kemudian, suasana di gedung "Hay-thian-it-si" tampak sangat
meraih, seluruh gedung dihiasi lentera merah, suasana gembira menyelimuti
seluruh bangunan.
Akhirnya Ong Sam-kongcu berhasil menyunting seorang gadis sebagai istri
sahnya, dia menikah dengan Go Hoa-ti!
Sebetulnya Ong Sam-kongcu ingin mengundang segenap sahabat dan rekan
baiknya untuk merayakan pesta pernikahan itu, namun usul itu ditampik Go
Hoa-ti, maka dari itu tamu yang hadir dalam pesta tersebut, hanya dua belas
orang tusuk konde emas yang mendelu di dalam hati serta dua puluhan orang
tamu undangan.
Setelah pesta berlangsung setengah harian, tiba waktunya para tamu
mengiringi sang pengantin masuk ke kamar, selesai mengucapkan selamat,
semua tamu pun berpamitan.
Begitu juga dengan dua belas tusuk konde emas, diiringi wajah yang kaku dan
lesu, mereka balik ke dalam kamar masing-masing, di situlah mereka baru
berani menyeka air mata yang telah berlinang sejak tadi.
Di antara mereka, Si Ciu-ing yang merasa paling sedih bercampur bimbang,
karena ia temukan "Ang-sianseng atau tuan merah" yang tiap bulan datang
berkunjung secara rutin, tiba-tiba menyatakan mogok bekerja!
Dia telah hamil!
Tapi kongcu mereka telah kawin secara resmi dengan nona Go.
Apa yang akan terjadi dengan dirinya?
Haruskah janin dalam kandungannya dipertahankan, atau lebih baik dipaksa
keluar?
Tentu saja harus dipertahankan!
Tapi dirinya masih berstatus seorang gadis perawan, seorang gadis bangsawan
yang belum bersuami, apa jadinya bila si jabang bayi telah lahir nanti? Apakah
nona Go bersedia menerimanya?
Makin dipikir perasaan hatinya makin pedih, akhirnya pecahlah isak
tangisnya yang memilukan hati.
Sementara itu Ong Sam-kongcu sedang memeluk Go Hoa-ti di dalam kamar
pengantin, sambil minum arak, mereka saling merayu dan saling berangkulan.
Tak lama kemudian kedua orang itu sudah dalam keadaan mabuk oleh air
kata-kata.
Dalam keadaan begini, sepasang pengantin itu mulai saling berpelukan dalam
keadaan bugil, tanpa mengalami hambatan apa pun "tombak" Ong Sam-kongcu
langsung bersarang di dalam "liang naga".
Tapi begitu "tombak" dihujamkan, ia jumpai "jalan lorong" sangat lebar, selain
tak ada hambatan, lalu lintas dapat berlalu sangat lancar, dengan gagah berani
dia melangkah lebih ke dalam.

Sayang keadaannya saat itu setengah sadar oleh pengaruh alkohol, sehingga
gejala yang "luar biasa" itu sama sekali tidak disadari.
Kalau bicara menurut aturan, bila nona itu benar-benar masih perawan, "liang
naga'nya pasti sempit, banyak alat jebakan dan sukar dilalui, setiap langkah dan
gerakannya harus dilakukan berhati-hati dan amat lambat, sebab kalau dilalui
secara kasar, "banjir darah" bakal terjadi....
Tapi kenyataannya sekarang, bukan saja "semua jebakan" telah terbuka,
"lorong rahasia" pun sangat lebar dan gampang dilalui, jangan-jangan ....
Sementara itu, Go Hoa-ti mengimbangi gerakan pasangannya dengan penuh
bemapsu, walaupun goyangan pinggulnya menggila, napasnya terengah-engah,
namun secara diam-diam ia letakkan sepasang tangannya di bagian bawah
perut, seakan tak disengaja saja, dia selalu menghindari tekanan tubuh Ong
Sam-kongcu yang kelewat keras di atas perutnya.
Ong Sam-kongcu mengira gadis itu kesakitan, bukan saja tidak menaruh
curiga malah sebaliknya dia peringan tenaga "genjotan"nya dan tidak
membiarkan "pasukannya” menyerbu kelewat dalam ke "liang naga", dia takut
kekasih hatinya tidak suka hati
Melihat kejadian ini diam-diam Go Hoa-ti menghembuskan napas lega,
menggunakan kesempatan ketika pemuda itu tidak memperhatikan, ia segera
merobek ujung jari tangan sendiri hingga berdarah, lalu diam-diam meneteskan
darah itu di atas kain putih yang berada di bawah "lubang rahasia"nya.
Berapa genjotan kemudian, lagi-lagi dia masukkan ujung jarinya yang
berdarah ke dalam lubang rahasia sendiri, mengikuti gerakan tubuh Ong Samkongcu
yang masih bergoyang tiada hentinya, ia nodai cairan mereka berdua
yang telah berbaur itu dengan tetesan darahnya.
Setelah berjuang berapa saat, akhirnya Ong Sam-kongcu mulai mengerang
keras sambil menyerahkan "cairan kental"nya ke dalam liang musuh.
Menggunakan kesempatan itu Go Hoa-ti mendorong tubuhnya dari atas badan
sendiri, lalu sambil miringkan badan ke arah lain, cepat ia hentikan pendarahan
ujung jari sendiri.
Ketika Ong Sam-kongcu melihat di atas kain putih ternoda oleh "cairan kental"
miliknya yang bercampur dengan noda darah, diam-diam ia merasa kegirangan,
pikirnya: "Aaah, akhirnya aku berhasil menikmati keperawanan adik Ti!"
Sampai mati pun dia tak menyangka kalau Go Hoa-ti secara diam-diam telah
mengerjai dirinya.
Keesokan malamnya ketika Ong Sam-kongcu kembali minta "jatah", setelah
agak sangsi sejenak akhirnya dengan senyuman yang dipaksakan Go Hoa-ti
melepaskan seluruh pakaian sendiri hingga bugil.
Ketika "tombak" mulai menghujam ke dalam "liang"-nya, meskipun Go Hoa-ti
ikut menikmati dengan bernapsu, namun keningnya tampak berkerut, seakan
sedang menahan sakit.
Melihat itu buru-buru Ong Sam-kongcu menegur: "Adik Ti, bagian mana vang
sakit?"
"Semalam kau ... kau kelewat bernapsu, aku ... milikku agak pedih dan
berdarah ... sampai sekarang, bagianku yang "di situ" masih terasa sakit...."
"Aaah!" buru-buru Ong Sam-kongcu mencabut kembali tombaknya sambil
melompat bangun: "maaf adik Ti, aku kelewat ceroboh!"
"Tidak apa-apa kakak Huan, aku ... aku minta maaf
Diiringi senyum penuh rasa sayang Ong Sam-kongcu segera membersihkan
"tombak" sendiri kemudian berpakaian.

Sejak hari itu, Go Hoa-ti selalu menggantung tanda "tidak berperang" setiap
kali Ong Sam-kongcu datang mengambil "jatah".
Tapi Ong Sam-kongcu sendiri tidak memasukkan ke dalam hati, karena tiap
hari istrinya selalu menemaninya main catur, melukis, membuat pantun dan
melayani semua kebutuhannya dengan senyuman yang menggairahkan.
Dia tidak pergi berenang pagi!
Dia pun tidak lagi berlatih silat!
Tiap hari kerjanya hanya mendekap istrinya di dalam kebun Ti-wan.
Waktu berlalu amat cepat, dalam sekejap mata tiga bulan telah berlalu.
Hari ini ketika Ong Sam-kongcu sedang duduk bersantai bersama Go Hoa-ti,
tiba-tiba terdengar ia mendengus tertahan sembari memegangi perutnya dengan
kening berkerut, buru-buru dia menegur: "Adik Ti, kenapa kau?"
Dengan wajah merah jengah Go Hoa-ti mengerlingnya sekejap, lalu sahutnya:
"Apalagi, semua gara-gara kau!"
Melengak Ong Sam-kongcu setelah mendengar perkataan itu.
Tapi sewaktu sinar matanya tertuju di atas pefuinya yang mulai menonjol
besar, tergerak perasaan hatinya, terkejut bercampur girang serunya tertahan:
"Jadi kau ... kau sudah hamil?"
Tersipu-sipu Go Hoa-ti mengangguk.
"Horee pekik Ong Sam-kongcu kegirangan, ia segera memeluk pinggangnya
sembari teriaknya keras: "Hahaha... aku bakal jadi ayah, aku bakal jadi ayah!"
"Koko Huan, hati-hati, jangan membuat janin tergerak!" bisik Go Hoa-ti
memperingatkan.
Mendengar itu Ong Sam-kongcu segera menghentikan goyangannya, dengan
amat lembut dia bopong perempuan itu ke atas ranjang, lalu setelah membaringkan
tubuhnya, menyelimuti badannya dengan sangat hati-hati.
Setelah itu sembari menghembuskan napas panjang, katanya: "Adik Ti, mulai
sekarang kau mesti banyak makan, istirahat, kurangi kelelahan, kalau butuh
apa, perintahkan saja kepada bawahan* untuk melakukan."
"Omong kosong, memangnya kau suruh aku jadi seekor babi betina yang
gemuk?"
"Hahaha ... jika kau babi betina, berarti aku babi jantannya, paling bagus lagi
kalau kita bisa memiliki dua belas ekor anak babi!"
"Aaah, siapa sudi..”
"Hahaha ... istirahatlah dulu! Akan kusuruh orang menyiapkan makanan
kecil”
 
Selesai bicara dia segera berlari keluar ke halaman depan.
la sampaikan berita gembira itu kepada dua belas tusuk konde emas.
Siapa sangka ketika tiba di halaman depan, di tempat itu tak nampak sesosok
bayangan manusia pun, beruntun dia masuk ke dalam tiga buah kamar tidur,
tapi semuanya tak berpenghuni.
Sementara sedang kesal, tiba-tiba ia mendengar suara Si Ciu-ing sedang
muntah di dalam kamarnya.
Menyusul kemudian terdengar Pek Lan-hoa berkata dengan nada kuatir:
"Toaci, coba makan sebutir kiam-bwe, mungkin rasa mualmu agak berkurang!"
Ketika Ong Sam-kongcu masuk ke dalam ruangan, ia saksikan dua belas
tusuk konde emas sedang berdiri berjajar di depan pembaringan Si Ciu-ing,
sementara Pek Lan-hoa duduk di sisinya, sembari memeluk tubuh perempuan
itu, dia sedang mengurut dadanya.
Melihat paras muka Si Ciu-ing pucat pias, buru-buru ia menegur dengan agak
panik: "Adik Ing, kenapa kau?"

Sejak tahu dirinya hamil, Si Ciu-ing sudah merasa amat malu, apalagi secara
beruntun berapa bulan tak pernah nampak bayangan tubuh Ong Sam-kongcu
datang mengunjunginya, rasa kecewa, panik dan gelisah yang luar biasa
membuat ia jatuh sakit.
Beberapa kali rekan-rekannya ingin melaporkan kejadian ini kepada Ong Samkongcu,
tapi setiap kali selalu dicegahnya.
Tak heran kalau hatinya menjadi sedih bercampur girang setelah mendengar
pertanyaan majikannya kali ini yang penuh perhatian, tak kuasa lagi air mata
jatuh bercucuran, tak sepatah kata pun sanggup diucapkan.
Melihat hal ini Ong Sam-kongcu semakin menaruh rasa iba bercampur
sayang, duduk di sampingnya sembari memeluk badannya, kembali dia
bertanya: "Adik Ing, kenapa wajahmu pucat dan kondisi badanmu amat lemah?"
"Kongcu ...." bisik Si Ciu-ing lirih, dia tak mampu melanjutkan perkataannya.
"Kongcu!" Pek Lan-hoa segera berbisik, "toaci sudah hamil!"
"Sungguh?" seru Ong Sam-kongcu dengan badan bergetar, "adik Ing, kau
sungguh hamil?"
Dengan wajah tersipu Si Ciu-ing mengangguk, tak sepatah kata pun
diucapkan.
"Aaah, aku sangat gembira! Aku sangat gembira!" teriak Ong Sam-kongcu
kegirangan, "ini namanya dua kegembiraan datang berbareng, adik Ing, kenapa
tidak kau kabarkan sejak awal? Aku benar-benar telah menyiksamu!"
Cukup!
Dengan adanya perkataan dari Ong Sam-kongcu itu, Si Ciu-ing merasa
hatinya lega sekali.
Rasa risau, sedih, murung, panik dan tak tenang yang dideritanya selama
berapa hari belakangan, seketika hilang lenyap tak berbekas, tanyanya dengan
suara lembut: "Kongcu, ada urusan apa kau muncul kemari secara tiba-tiba?"
Setelah memandang dua belas tusuk konde sekejap, kata Ong Sam-kongcu
penuh kegembiraan: "Adik Ti juga telah hamil!"
Sekali lagi kawanan gadis itu mengucapkan selamat kepada Ong Sam-kongcu,
walau kali ini ucapan selamat diutarakan dengan perasaan sedikit mengganjal.
Sesudah mengucapkan terima kasihnya, kembali Ong Sam-kongcu berkata:
"Adik Ing, selanjutnya kau harus banyak istirahat, banyak makan makanan
bergizi, jangan sampai bayi dalam kandunganmu jadi kurus."
"Terima kasih atas perhatian kongcu."
Kepada sebelas orang nona lainnya kembali Ong Sam-kongcu berpesan: "Nona
semua, kondisi badan adik Ing kurang sehat, selanjutnya aku mohon bantuan
kalian untuk merawat dirinya"
"Kongcu tak usah kuatir!"

0oo0

Bunga bwe mulai mekar di musim dingin, semenjak pesanggrahan "Hay-thianit-
si" diramaikan suara tangisan bayi, suasana di tempat itu nampak bertambah
riang dan hidup.
Go Hoa-ti melahirkan seorang bayi perempuan yang berwajah cantik dan
bertubuh halus.
Sebulan setengah kemudian, Si Ciu-ing melahirkan juga seorang bayi lelaki
yang gemuk dan sehat.
Dua belas tusuk konde emas sangat gembira.
Sedikit banyak dalam hati kecil mereka semua selalu menaruh perasaan
cemburu yang amat sangat terhadap Go Hoa-ti, tapi dengan kelahiran seorang
bayi lelaki oleh toaci mereka, tanpa terasa mereka semua dapat menghembuskan

napas lega, sebab paling tidak toaci mereka telah membuktikan dapat
mengungguli Go Hoa-ti.
Oleh karena bayi perempuan Go Hoa-ti diberi nama Bu-jin, maka bayi lelaki Si
Ciu-ing diberi nama Bu-ciau. Ong Bu-ciau!
Sejak pagi hingga malam gedung pesanggrahan hampir selalu diramaikan
teriakan nyaring Ong Bu-ciau.
Dua belas tusuk konde emas saling berebut merawat Ong bu-ciau, asal dia
menangis maka sebelas tusuk konde berebut menggantikan popok bayinya yang
basah oleh air kencing.
Seandainya mereka semua bisa "menyusui", mungkin Si Ciu-ing tak akan
mendapat kesempatan untuk bertemu dengan putranya.
Ong Sam-kongcu sebagai seorang bapak, tentu saja gembira sekali
menyaksikan hal ini.
Orang bilang: "ibu terhormat karena sang putra", begitu juga dengan posisi Si
Ciu-ing, gara-gara Ong Bu-ciau, posisinya dalam pandangan Ong Sam-kongcu
pun ikut terkatrol.
Ong Sam-kongcu tidak lagi sepanjang hari mengendon dalam kebun Ti-wan,
saban hari, paling tidak selama tiga hingga empat jam dia selalu meluangkan
waktunya berada di halaman muka.
Tanpa terasa setengah tahun sudah lewat.
Dua orang bocah itu betul-betul menikmati perawatan yang prima di dalam
gedung, sehingga bukan saja kondisi badannya jauh lebih sehat ketimbang bayi
kebanyakan, mereka pun jauh lebih lincah dan cekatan.
Biarpun Ong Bu-ciau dilahirkan sebulan setengah lebih lambat ketimbang
Ong Bu-jin, namun perawakan tubuhnya jauh lebih sehat dan lebih lincah
ketimbang encinya, melihat hal ini diam-diam dua belas tusuk konde merasa
kegirangan karena tak sia-sia pengorbanan mereka selama ini.
Malam itu rembulan tampak amat cerah menyinari angkasa, Ong Sam-kongcu
dengan mengenakan mantel kulitnya sedang berjalan di dalam kebun sambil menikmati
keindahan malam.
la memang patut merasa gembira. Istri tercinta, gundik tersayang, putra putri
yang sehat, semuanya membuat kehidupannya terasa lebih bahagia dan nikmat.
Tiba-tiba dari kejauhan sana, di atas jembatan kecil, ia mendengar ada suara
wanita sedang berbisik-bisik, dengan perasaan keheranan Ong Sam-kongcu
segera membatin: "Aneh! Sudah begini malam kenapa adik kelima dan adik
keenam masih berada di situ? Apa yang sedang mereka bicarakan?"
Terdorong rasa ingin tahu, diam-diam ia menyelinap di balik semak belukar
dan mencuri dengar isi pembicaraan mereka.
Terdengar Pek Lan-hoa sedang berkata dengan suara lirih: "Ngo-ci (enci
kelima), ternyata kau pun merasa kalau wajah Bu-jin sama sekali tak mirip
dengan kongcu kita? Padahal sudah lama aku menyimpan perasaan itu, hanya
tak berani kuutarakan."
"Lak-moay (adik keenam), ada satu hal lagi apa kau perhatikan juga? Padahal
toaci berhubungan intim lebih duluan dengan kongcu, tapi anehnya kenapa
justru nona Go yang melahirkan oroknya lebih duluan?"
"Aaah, kenapa aku tidak perhatikan persoalan ini? Coba kuhitung .... ehmm!
Betul, paling tidak toaci satu bulan setengah lebih cepat ketimbang nona Go
pertama kali berhubungan intim dengan kongcu, tapi nona Go justru melahirkan
satu bulan setengah lebih awal ketimbang toaci, aneh, kenapa bisa selisih waktu
begitu jauh?"

"Yaa, betul! Bila dihitung secara keseluruhan, berarti paling tidak ada selisih
waktu dua setengah bulan!"
"Ngo-ci, apa mungkin ada udang di balik batu?"
"Huss, jangan sembarangan omong! Kongcu adalah orang yang mengawininya,
dia pasti jauh lebih tahu ketimbang kita, bila dia pun tidak bilang apa-apa,
berarti semuanya tak ada masalah, siapa tahu dia memang melahirkan
prematur?"
"Tidak mungkin! Ngo-ci, sewaktu nona Go melahirkan, kebetulan aku pun
hadir di situ, bila dilihat dari kulit wajah Bu-jin yang menghitam, jelas usia si
jabang bayi sudah lebih dari cukup!"
"Haah, sungguh?"
"Benar, ketika nenek masih hidup, beliau paling suka membantu orang
melahirkan, setiap kali selesai membantu kelahiran, beliau selalu menceritakan
pengalamannya dengan penuh kegembiraan, oleh sebab itu pengetahuanku
tentang hal tersebut sudah lebih dari cukup."
"Lantas ... jika ... jika kongcu mengetahui rahasia ini, apa mungkin...."
"Ngo-ci, asal kita tidak menyinggung persoalan ini, aku percaya kongcu juga
tak bakalan tahu."
"Aaai ... padahal cinta kongcu terhadap nona Go amat mendalam, sungguh
tak disangka yang diperoleh justru akhir semacam ini."
"Sudahlah, malam sudah semakin kelam, ayo kita balik ke kamar dan
beristirahat!"
Dalam pada itu Ong Sam-kongcu masih berjongkok di balik semak belukar
dengan perasaan tertegun.
Semua pembicaraan kedua orang nona itu terasa selalu mengiang di sisi
telinganya.
Mungkinkah semua yang dibicarakan itu benar?
Selama ini aku selalu mencintainya setulus hati, kenapa ia membalas
demikian terhadapku?
Tidak ... tidak mungkin! Pasti tidak mungkin!
Tapi wajah Jin-ji yang berbeda serta saat kelahiran adik Ti yang lebih awal ...
dua kejadian itu merupakan kenyataan dan sudah terpampang di hadapan
matanya, apakah aku harus menipu diri sendiri? Haruskah aku menghibur diri
sendiri dengan mengatakan bahwa semuanya hanya rekayasa belaka?
Dengan penuh penderitaan dia bungkukkan badannya, ia sembunyikan raut
wajah sendiri di balik telapak tangan.
Angin malam berhembus amat kencang, hawa dingin yang merasuk dalam
tulang bagaikan pecut yang tiada hentinya melecuti perasaan hati Ong Samkongcu
yang lemah, dia merasa hatinya mulai berdarah, perasaannya tercabikcabik....
Akhirnya dengan perasaan lemas ia menjatuhkan diri berbaring di atas
permukaan tanah yang dingin.

0oo0

Keesokan harinya sekitar pukul lima pagi, ketika bawahan mulai
membersihkan halaman, tiba-tiba mereka menjumpai majikan muda mereka
tergeletak di tanah, disangkanya Ong Sam-kongcu teian dicelakai orang, suasana
pun jadi gempar.
Go Hoa-ti, Si Ciu-ing beserta sebelas tusuk konde tergopoh-gopoh berlari ke
tempat kejadian.
Sambil membopong tubuh Ong Sam-kongcu yang tidak sadarkan diri, Go Hoati
memanggil tiada hentinya: "Engkoh Huan, engkoh Huan ..."

Apa lacur Ong Sam-kongcu merasa pukulan batin yang diterimanya teramat
berat, ditambah lagi sudah semalaman semaput di tengah hujan salju yang
teramat dingin, mana mungkin ia bisa mendengar panggilan gadis-gadisnya.
Baru saja Go Hoa-ti akan mengerahkan hawa murninya untuk menolong, tibatiba
terdengar Si ciu-ing berkata: "Nyonya, aku mengerti sedikit ilmu pertabiban,
bagaimana kalau kita antar dulu kongcu ke dalam kamarnya?"
Agak tertegun Go Hoa-ti setelah mendengar panggilan yang begitu sopan dari
Si Ciu-ing, selanya: "Enci Ing, kita sudah sekeluarga, kenapa kau masih panggil
aku nyonya?"
"Nyonya, lebih baik kita menolong kongcu lebih dahulu!" tukas Si Ciu-ing
sambil tertawa getir.
Habis berkata dia balik ke kamar sendiri mengambil kotak obat, kemudian
balik lagi ke kamar Ong Sam-kongcu.
Waktu itu Ong Sam-kongcu sudah dibaringkan di atas ranjang, sementara
kawanan gadis yang lain menanti dalam kamar dengan gelisah. Si Ciu-ing
dengan menggunakan jari tengah dan telunjuk menekan nadi di pergelangan
kanan Ong Sam-kongcu lalu sambil memejamkan mata memeriksanya dengan
seksama.
Tak selang berapa saat kemudian, ia baru membuka kembali matanya dan
berkata sambil menghembuskan napas lega- "Untung kongcu hanya sedikit
terserang hawa dingin, asal minum obat dan beristirahat sejenak, keadaan akan
membaik dengan sendirinya."
Seraya berkata dia ambil sebuah botol porselen putih, menuang keluar dua
butir pil dan dijejalkan ke mulut Ong Sam-kongcu.
Setelah itu katanya lagi dengan suara lirih: "Nyonya, pergilah beristirahat,
serahkan ini kepada kami untuk berganti menjaganya!"
Go Hoa-ti berpikir sejenak, akhirnya dia mengangguk: "Baiklah, kalau begitu
merepotkan kalian semua!"
Selesai berkata, dia melirik Ong Sam-kongcu sekejap lalu pergi dari situ tanpa
bicara.
Memandang hingga bayangan tubuhnya lenyap dari pandangan, Pek Lan-hoa
baru mendengus seraya mengomel: "Benar-benar tak tahu budi, bagaimanapun,
tinggallah sedikit lebih lama sebelum pergi, percuma kongcu begitu menyayangi
dirinya!"
"Lak-moay!" buru-buru Si Ciu-ing menyela: "hujin tak mengerti ilmu
pengobatan, lagi pula mesti merawat Jin-ji, tentu saja kurang leluasa baginya
untuk merawat kongcu, toh kita banyak orang, biar kita saja yang bergilir
menjaga!"
"Hmm! Kongcu sudah minum obat, asal keluar keringat, dia pasti akan
mendusin, biarpun tak mengerti ilmu silat, rasanya tak sulit untuk merawatnya.
Sementara si budak Jin kan dirawat bibi Ong, kapan sih dia pernah ikut
campur? Hmm! Aku rasa dia memang tak berminat ke situ, toaci, kau ...."
Hi Ku-lan (enci nomor lima) tahu Pek Lan-hoa akan menyinggung lagi urusan
semalam, cepat-cepat dia memotong: "Lak-moay, kau tak boleh mengkritik hujin
di belakangnya"
Pek Lan-hoa segera mengerti, ia membungkam dan menundukkan kepalanya.
Si Ciu-ing kuatir dua orang itu salah tingkah, buru-buru dia bertanya: "Adik
sekalian, dengan ilmu silat serta kebiasaan hidup kongcu, kenapa dia bisa
mendadak jatuh pingsan di halaman luar?"
Hi Kui-lan dan Pek Lan-hoa mengerti pasti secara tak sengaja kongcu telah
mendengar pembicaraan mereka berdua semalam hingga jatuh pingsan karena

tak kuat menahan pukulan batin, walau begitu, mana berani mereka berdua
mengakuinya secara terus terang?
Melihat para gadis tak ada yang menjawab, kembali Si Ciu-ing melanjutkan:
"Aku masih ingat sewaktu kemarin sore bermain dengan Cau-ji, dia nampak
sangat gembira, tapi barusan, aku merasa denyut nadinya sangat cepat dan
memburu, seakan-akan ada sebuah masalah besar yang mengganjal perasaan
hatinya."
Pek Lan-hoa memandang Ngo-cinya sekejap, lalu katanya: "Toaci, mungkin
belakangan kongcu menjumpai kejadian yang tidak menyenangkan, tapi dia
enggan memberitahu kepada kita?"
"Aku rasa ... tidak mungkin, malah berapa hari berselang kongcu sempat
punya usul akan menyelenggarakan upacara perkawinan resmi denganku, tapi
kutolak tawaran itu."
"Aaai ... kongcu memang pemuda romantis yang banyak main cinta," keluh
Pek Lan-hoa sambil menghela napas, "aku takut setelah dewasa nanti Cau-ji
meniru perangainya itu .... Oyaa, toaci, kau pandai ilmu pengobatan, boleh aku
bertanya tentang satu hal?"
"Katakan saja!"
"Orang bilang antara ayah dan anak pasti mempunyai hubungan darah yang
amat dalam, seandainya kita ambil berapa tetes darah Cau-ji dan darah kongcu
lalu dicampurkan, mungkin tidak kedua darah itu akan menyatu jadi satu?"
Hi Kui-lan tahu adik keenamnya ingin membuktikan lebih jauh apakah Jin-ji
si bocah perempuan itu anak kandung kongcu mereka atau bukan, tapi kuatir
cicinya menaruh curiga, buru-buru selanya sambil tertawa: "Lak-moay, kau
pingin lihat apakah di kemudian hari anak Cau adalah seorang lelaki yang suka
main perempuan atau bukan?"
"Betul!"
"Sejak dulu, pemeriksaan cairan darah hanya bisa dipakai untuk
membuktikan apakah seseorang punya hubungan darah atau tidak, mana
mungkin bisa membuktikan tabiat seseorang?" kata Si Ciu-ing sambil tertawa,
"sebab baik buruknya watak seseorang sangat dipengaruhi faktor lingkungan
serta pergaulan."
"Cici, bagaimana caranya untuk membuktikan pertalian darah seseorang?"
desak Hi Kui-lan dengan rasa ingin tahu.
"Sederhana sekali, kita ambil darah dari dua orang dan dimasukkan ke dalam
cawan porselen, kemudian dikocok sebentar, bila darah itu segera berbaur dan
lagi memancarkan warna yang sama, berarti kedua orang itu mempunyai tali
hubungan yang sangat dekat."
"Ooh, rupanya begitu, adik keenam, lebih baik kau bersabarlah menunggu
enam-tujuh belas tahun lagi, saat itu kita baru bisa membuktikan anak Cau
seorang hidung belang atau bukan."
Han Gi-ang, si adik nomor buntut yang selama ini hanya membungkam, tibatiba
ikut bicara sambil tertawa: "Cici kelima, cici keenam, kalian tak usah
menunggu kelewat lama, secara diam-diam aku telah meramalkan nasib anak
Cau!"
"Aaah betul," seru Pek Lan-hoa tertawa, "aku sampai kelupaan kalau adik kita
dijuluki orang "Poan-sian" setengah dewa, adik Ang, cepat ceritakan!"
Han Gi-ang tertawa.
"Cici semua, sebelum bicara, siaumoay ingin menyatakan satu hal lebih dulu,
apa yang kuucapkan hari ini hanya menjadi behan pertimbangan saja."

"Sudahlah adik, jangan hilangkan selera orang, cepat cerita," tukas Pek Lanhoa.
Setelah tarik napas panjang, dengan wajah serius Han Gi-ang berkata: "Berkat
perlindungan dan karma baik nenek moyangnya, di kemudian hari bukan saja
anak Cau akan termashur, dalam hal percintaan pun akan jauh lebih bahagia
ketimbang kongcu, tetapi dia mesti pergi jauh meninggalkan desa kelahiran bila
ingin meraih sukses besar."
Terkejut bercampur girang menyelimuti perasaan bi Ciu-ing, tapi dia pun
merasa berat hati bila harus berpisah dengan putra kesayangannya.
 
Bab II. 10 tahun mengembara, mencari jejak kekasih hati.

Pek Lan-hoa termenung sambil berpikir sejenak, kemudian kembali tanyanya:
"Adik, menurut penglihatanmu, bagaimana penghidupan rumah tangga kongcu
kita di kemudian hari?"
Han Gi-ang melirik Ong Sam-kongcu sekejap, kemudian katanya sambil geleng
kepala: "Maaf Lak-ci, rahasia langit tak boleh bocor, maaf bila siaumoay tak
berani buka rahasia ini!"
"Hai, kita adalah sama-sama saudara, kenapa sih kau mesti sok rahasia
begitu?"
"Kalau begitu biar kubuka sedikit rahasia ini, sebelum akhir tahun, bintang
Ang-loan (bintang kegembira-an)-mu kelihatan bersinar, jangan lupa suguh
beberapa cawan arak kegiranganmu untuk siaumoay! Hahaha
Akhir tahun ini? Ooh, bukankah tinggal dua bulan lagi?
Tapi... apa mungkin?
Dengan hati berdebar Pek Lan-hoa segera berseru: <Adik buncit, kau jangan
coba makan tahu cici, kini cici sudah jadi milik kongcu sementara kongcu ...."
"Maksudku Lak-ci akan menikah dengan kongcu!" tukas Han gi-ang sambil
tertawa.
"Kau ...." Pek Lan-hoa jengah bercampur girang, tak tahan ia menundukkan
kepalanya
"Lak-moay!" Si Ciu-ing ikut bicara, "ramalan adik buncit kita ini selalu tepat,
dulu dia pernah memberitahu kepadaku bakal jadi seorang ibu, waktu itu aku
pun sama sekali tak percaya."
"Toaci, kau jangan bayangkan aku kelewat sakti, hanya kebetulan ramalanku
cocok," kata Han Gi-ang merendah.
Mendadak terdengar Ong Bu-ciau menjerit keras, bagai menerima "tanda
bahaya" serentak kawanan perempuan itu berebut lari menuju ke asal suara itu.
Sepeninggal kawanan perempuan itu, terlihat Ong Sam-kongcu pelan-pelan
membuka matanya, dua titik air mata tak terasa meleleh membasahi ujung
matanya, membasahi bantal dan seprei.
Ya, siapa percaya Ong Sam-kongcu yang selalu diliputi gelak tertawa, kini
justru melelehkan air mata?
Ketika pil pemberian Si Ciu-ing tertelan ke dalam perutnya tadi, dengan hawa
murninya yang sempurna tidak selang berapa saat kemudian ia sudah sadar
dari pingsannya.
Kebetulan waktu itu ia mendengar Si Ciu-ing sedang berbicara dengan Pek
Lan-hoa masalah dirinya dengan Go Hoa-ti, maka dia pun pura-pura pingsan
untuk mencuri dengar pembicaraan mereka.
Kini, setelah para gadis berlalu, dia mulai tak kuasa menahan rasa sedihnya
hingga air mata pun jatuh bercucuran.

Pelan-pelan ia duduk bersila di pembaringan, sepintas orang mengira dia
sedang bersemedi mengatur napas, padahal pikiran dan perasaannya sedang
gejolak keras, sampai lama sekali perasaan itu belum juga mau tenang.
Dalam pada itu dua belas tusuk konde emas pun tidak mengurusi Ong Samkongcu,
karena sewaktu mereka balik ke situ dilihatnya pemuda itu sedang
mengatur pernapasan.

0oo0

Tengah hari, setelah sadar dari semedinya, Ong Sam-kongcu memerintah bibi
Ong dan Si ciu-ing untuk membawa kedua orang bayinya yang masih tertidur
pulas masuk ke dalam kamarnya, lalu ditatapnya kedua orang bocah itu
bergantian.
Sesaat kemudian terdengar ia berkata dengan suara dalam: "Sungguh
menyenangkan! Adik Ing, bibi Ong, biarkan mereka berada di sini sejenak lagi!"
Si Ciu-ing berdua mengangguk sambil tersenyum dan segera mengundurkan
diri.
Mengawasi dua orang bayi di hadapannya, Ong Sam-kongcu merasa semakin
dipandang semakin merasa ada yang tak beres, ia merasa walaupun kedua
orang bocah itu sama bagusnya namun bentuk wajah mereka justru memiliki
ciri yang sama sekali berbeda.
Ketika ia perhatikan Ong Bu-ciau, makin dipandang ia merasa semakin wajah
bocah itu semakin mirip dirinya.
Sebaliknya ketika perhatikan Cng Bu-jin, makin dipandang ia merasa semakin
ada yang tak beres.
Akhirnya dia siapkan tiga cawan kecil di atas meja, mula-mula dia robek
sendiri jari tengah tangan kirinya dan meneteskan darah itu ke dalam cawan.
Kemudian ia robek kaki kiri kedua orang bocah itu dan masing-masing
diambilnya beberapa tetes darah.
Dengan perasaan tegang ia mulai campurkan darah dari kedua orang bocah
itu masing-masing dengan darah sendiri yang telah dipersiapkan.
Apa yang kemudian terlihat membuat badannya gemetar keras.
Tetesan daran yang berasal dari Ong Bu-ciau bukan saja segera menyatu
dengan darahnya, bahkan warna pun persis sama.
Sebaliknya darah dari Ong Bu-jin kelihatan agak mengambang di atas
permukaan, bahkan warna darahnya nampak jauh lebih tua dan gelap.
Jika Ong Sam-kongcu tidak periksa dengan seksama, sulit rasanya untuk
menemukan perbedaan itu, dia tak puas dengan hasil tes pertama, dirobeknya
lagi kaki kanan Ong Bu-jin dan sekali lagi melakukan percobaan kedua.
Tapi hasil yang muncul kemudian membuat pemuda tersebut mendengus
tertahan, dengan tubuh lemas dan bertenaga ia jatuhkan diri terduduk di sisi
pembaringan.
Tampaknya Ong Bu-jin yang sedang tertidur nyenyak seperti tahu kalau
rahasia asal-usulnya telah terbongkar, tiba-tiba saja ia terbangun dan menangis
keras.
Tangisan itu menyebabkan Ong Bu-ciau ikut terbangun dan menangis juga
dengan kerasnya.
Tergopoh-gopoh Ong Sam-kongcu menyambar cawan berisi darah dan masuk
ke kamar mandi.
Ketika ia balik kembali ke depan pembaringan, tampak Pek Lan-hoa dan Si
Ciu-ing masing-masing telah membopong seorang bayi dan menenangkan
mereka.

"Hantar mereka balik ke kamarnya!" perintah Ong Sam-kongcu kemudian
dengan suara berat.
Semenjak hari itu Ong Sam-kongcu menolak untuk keluar dari kamar
tidurnya, sepanjang hari dia menyibukkan diri membaca, melukis atau membuat
pantun.
Pek Lan-hoa adalah gadis yang teliti, ketika membawa balik Ong Bu-ciau ke
kamarnya hari itu, ia segera menemukan adanya bekas sayatan kecil di kaki
kanan bocah itu, ia segera mengerti apa yang telah terjadi.
Rahasia tersebut tidak diberitahukan kepada siapa pun. tapi tiap pagi secara
rutin dia selalu membopong Ong Bu-ciau ke dalam kamar Ong Sam-kongcu dan
menjenguknya sebentar.
Anehnya, tiap kali bocah itu diajak masuk ke dalam kamar Ong Sam-kongcu,
dia selalu menjejakkan kakinya dengan aktif, seakan sangat senang berada di
situ, biar popoknya basah oleh air kencing atau perutnya lapar, bocah itu tak
pernah rewel.
Berapa hari permulaan, Ong Sam-kongcu belum bisa menguasai gejolak
perasaan hatinya, dia hanya membaca terus atau kadang kala melukis.
Satu minggu kemudian, dia hanya membaca setengah jam, sisa waktunya
digunakan untuk bermain dengan Cau-ji.
Lewat seminggu kemudian ia sudah curahkan segenap perhatiannya untuk
bermain dengan putranya.
Tanpa terasa satu bulan kembali sudah lewat.
Selama ini Go Hoa-ti dan Ong Bu-jin tak pernah meninggalkan pesanggrahan
Ti-wan, sementara sebelas tusuk konde memang berniat menjodohkan Pek Lanhoa
dengan majikannya, maka hanya dia seorang yang diberi tugas untuk
menemani Cau-ji menjumpai bapaknya.
Malam itu udara amat dingin, angin bercampur bunga salju berhembus
kencang di luar, suasana pesanggrahan Hay-thian-it-si amat hening, semua
penghuninya telah terlelap tidur, hanya kamar Ong Sam-kongcu yang nampak
masih memancarkan sinar lentera.
Pada saat itulah tiba-tiba dari luar pintu kamar terdengar suara gemerisik
yang mencurigakan, Ong Sam-kongcu yang masih membaca buku segera
merasakan itu, hardiknya: "Siapa di situ? Pintu tidak terkunci!"
Daun pintu dibuka orang, Go Hoa-ti muncul di hadapannya.
Agaknya Ong Sam-kongcu tahu siapa yang telah muncul, tanpa
mendongakkan kepalanya ia berkata: "Silahkan duduki"
Diam-diam Go Hoa-ti menggigit bibir, setelah duduk di depan meja baca,
ujarnya dengan lembut: "Engkoh Huan, rupanya kau tahu kalau aku bakal
datang kemari?"
"Betul!" sahut Ong Sam-kongcu sambil menutup bukunya dan memandang
perempuan itu sekejap, "selama ini aku memang selalu menunggumu."
"Jadi kau sudah tahu semuanya?"
"Tidak, aku hanya tahu sebagian, siapa bapak Jin-ji yang sebenarnya?"
Go Hoa-ti gemetar keras, setelah ragu sesaat, sahutnya lirih: "Bwe Si-jin!"
Berkilat sepasang mata Ong Sam-kongcu.
"Oooh, rupanya dia! Hai ... kenapa dia tinggalkan kalian ibu dan anak hingga
telantar di luaran?"
"Dia tak tahu kalau aku sudah hamil!" kata Go Hoa-ti agak tersipu.
"Hmm, kalau begitu biar kuutus orang untuk mencarinya!"
"Jangan, biar aku sendiri yang pergi mencarinya!"

"Bagaimana dengan Jin-ji?" tanya Ong Sam-kongcu setelah termenung berapa
saat.
"Kau bersedia mewakili aku untuk merawatnya?" tanya Go Hoa-ti lirih.
"Baik! Sebelum dia kembali ke marganya, ia masih tetap menjadi putri sulung
keluarga Ong...."
"Engkoh Huan, kau sungguh baik dan berjiwa besar, aku... aku merasa
bersalah kepadamu!"
"Hai, jodoh, semuanya adalah jodoh, aku tak bisa salahkan siapa pun, aku
hanya berharap kau bisa temukan saudara Bwe secepatnya hingga keluarga
kalian bisa bersatu kembali, pintu gerbang Hay-thian-it-si selalu terbuka untuk
keluarga kalian!"
Go Hoa-ti merasa sangat terharu, dengan air mata bercucuran katanya:
"Engkoh Huan, aku berjanji bila dititiskan kembali besok, aku bersedia menjadi
budakmu untuk membalas semua budi kebaikan ini."
Ong Sam-kongcu menggenggam tangannya erat-erat, sambil berusaha
menahan rasa sakit di hatinya, ia bertanya dengan suara tenang: "Adik Ti, kau
rencana akan berangkat kapan?"
"Besok pagi."
"Baiklah, sampai waktunya aku akan menghantarmu, sekarang pergilah
beristirahat."
"Terima kasih kakak Huan!" dengan suara parau dan air mata bercucuran Go
Hoa-ti berlalu dari situ.
Tinggal Ong Sam-kongcu duduk termangu seorang diri, sampai lama
kemudian ia baru bergumam: "Bwe Si-jin ... tak aneh jika dia namakan anaknya
Bu-jin!"

0oo0

Keesokan harinya, ketika dua belas tusuk konde sedang bersantap, Ong Samkongcu
setelah menghantar kepergian Go Hoa-ti, muncul di ruang makan, begitu
masuk dia segera menegur sambil tertawa: "Ada bagian untukku?"
"Ada, ada! Silahkan duduk kongcu!" serentak para gadis berseru sambil
bangkit berdiri.
Setelah duduk Ong Sam-kongcu baru bertanya: "Mana anak Cau?"
"Sehabis mandi dan minum susu, dia tertidur lagi," sahut Si Ciu-ing cepat.
"Hahaha ... dasar bocah cilik, bisanya makan dan tidur melulu, kalian yang
dibikin kerepotan ...."
"Tidak berani," sahut para gadis serentak.
Sambil tertawa Pek Lan-hoa berkata pula: "Anak Cau memang
menggemaskan, apalagi sepasang matanya yang bulat dan bening, persis seperti
sepasang Mata kongcu."
Ong Sam-kongcu tertawa tergelak saking gembiranya.
Sambil bersantap mereka pun berbincang-bincang, masalahnya hanya seputar
kelincahan anak Cau.
Tiba-tiba terdengar Ong Sam-kongcu berkata dengan wajah serius: "Adik
semuanya, ada satu urusan ingin kurundingkan dengan kalian semua."
Perasaan tegang mulai mencekam para gadis, sambil berusaha menenangkan
diri kata Si Ciu-ing: "Kongcu, katakan saja."
Setelah memandang sekejap para gadis, ujar Ong Sam-kongcu dengan wajah
bersungguh-sungguh: "Adik semuanya, lewat dua, tiga bulan lagi anak Cau akan
genap berusia satu tahun, aku harus mengangkatnya secara resmi menjadi
putra mahkota kerajaan keluarga Ong."

"Oleh sebab itu pada tanggal lima belas bulan ini aku ingin menyelenggarakan
satu pesta perkawinan, tentu saja pengantin lelakinya adalah aku, sedang
pengantin wanitanya adalah adik sekalian yang hadir di sini, apakah adik-adik
bersedia mengabulkan permintaanku ini?"
Pengorbanan memang selalu akan membuahkan hasil, setelah ditunggutunggu
sekian lama, apa yang diharapkan akhirnya terwujud juga.
Dengan air mata berlinang karena kegirangan, serentak kedua belas tusuk
konde itu manggut-manggut.
Ong Sam-kongcu kegirangan setengah mati.
Urusannya dengan Go Hoa-ti sudah ada penyelesaian yang pasti, mau tak
mau dia pun mesti padamkan perasaan cinta bertepuk tangan sebelah ini, dia
berjanji sejak hari itu semua perasaan cintanya hanya akan tercurahkan kepada
anak Cau serta dua belas tusuk konde emas.
Seminggu kemudian para ciangbunjin dari sembilan partai besar serta para
jago dari golongan putih yang menerima surat undangan berbondong-bondong
datang memberi selamat, suasana di gedung Hay-thian-it-si pun jadi amat ramai
dan meriah.
Surat undangan disebar oleh para piausu aari perusahaan ekspedisi Tiangshia
piaukiok yang tersohor, tak heran kalau dalam satu hari saja semua
undangan telah tersebar.
Nenek moyang Ong Sam-kongcu, Kim-sin-ci adalah ketua dari kawanan jago
persilatan, tempo hari di bawah pimpinan beliau lah perkumpulan Jit-sin-kau
yang menghebohkan daratan Tionggoan berhasil ditumpas, karena jasanya,
beliau diangkat menjadi Bu-lim bengcu.
Ong Sam-kongcu sendiri, sejak terjun ke dalam dunia persilatan sudah
bertindak adil dan setia kawan, dia selalu menjunjung tinggi kebenaran, biar
romantis tapi tidak bejat moralnya, tak heran kalau semua orang menaruh
kesan batin terhadapnya.
Apalagi sejak kedua orang tuanya mengikuti kakek dan neneknya, Ong Kimsin,
naik ke gunung Kun-lun untuk hidup mengasingkan diri, para rekan dunia
persilatan yang merasa amat berhutang budi, semakin menaruh perasaan
hormat terhadap Ong Sam-kongcu.
Kini, setelah mendapat surat undangan perkawinan yang dikirim Ong Samkongcu,
tak heran kalau para jago segera melakukan perjalanan untuk datang
mengucapkan selamat
Begitulah setelah upacara perkawinan dilangsungkan dan para tamu
menikmati hidangan yang disajikan, lambat laun suasana di Hay-thian-it-si
menjadi tenang kembali.
Ketika semua tamu sudah berpamitan, senja itu Ong Sam-kongcu bersama
kedua belas orang istrinya duduk bersama di ruang tengah sambil bersantai.
Sambil mengangkat cawannya kata Ong Sam-kongcu: "Istriku sekalian, berapa
hari belakangan kalian pasti sudah amat lelah, biarlah kugunakan secawan arak
ini sebagai ungkapan rasa terima kasihku kepada kalian semua."
Habis berkata, dia teguk habis isi cawannya. Selesai para gadis meneguk juga
isi cawan masing-masing, kata Si Ciu-ing: "Engkoh Huan, tak disangka ada
begitu banyak jago kenamaan yang bersedia datang untuk mengucapkan
selamat, kami semua ikut merasa berbangga hati
"Betul!" Ong Sam-kongcu membenarkan, "yang lebih tak disangka adalah
kehadiran para cianbunjin dari sembilan partai besar, menurut apa yang
kuketahui, dari dulu hingga sekarang,.baru kali ini mereka hadir secara
bersamaan."

"Engkoh Huan, berarti kami ikut berbangga karena nama besarmu," ujar Pek
Lan-hoa sambil tertawa.
"Hahaha ... adik Hoa, kita sekarang adalah sekeluarga, rasanya kau tak usah
sungkan-sungkan lagi."
"Baik!"
Makan bersama kali ini dilalui penuh keriangan dan suasana gembira, boleh
dibilang jauh lebih meriah ketimbang waktu "pernikahan" tempo hari.
Selesai bersantap, tiba-tiba Si Ciu-ing berkata sambil tertawa: "Engkoh Huan,
atas usul berapa orang saudara, kini aku sudah siapkan dua belas gulungan
kertas undian, harap kau mengambil sebuah, karena nama yang tercantum
dalam undian itulah yang akan menemani kongcu malam ini!"
Sembari berkata dia ambil keluar dua belas buah gulungan kertas kecil dan
diletakkan di atas telapak tangannya.
"Lebih baik urut usia saja, adik Ing, seharusnya kau yang menemani aku
malam ini," ucap Ong Sam-kongcu sambil tertawa.
"Tidak boleh," dengan wajah merah jengah Si Ciu-ing menggeleng, "lebih adil
kalau memakai undian!"
Sementara itu kesebelas orang nona lainnya hanya berdiri sambil tersenyum,
tampaknya masing-masing sudah punya keyakinan akan sesuatu.
Melihat itu Ong Sam-kongcu segera mengerti apa yang terjadi, ia segera
mengambil sebuah undian dan sahutnya sambil tertawa: "Baiklah, aku
menurut!"
Walau kertas undian sudah diambil, tapi dia sengaja tidak membukanya
secara langsung.
"Engkoh Huan, cepat dibuka!" seru Si Ciu-ing cepat.
"Tak perlu terburu napsu, siapa pun yang terpilih toh dia tak bisa
menghindar, sisanya yang sebelas gulungan undian itu biar aku saja yang
simpan, bisa digunakan lagi lain kali."
Habis berkata dia ambil semua undian dan dimasukkan ke dalam saku.
"Engkoh Huan, sekarang kau boleh membuka kertas undian itu bukan?" pinta
Si Ciu-ing sambil tertawa.
Ong Sam-kongcu tertawa tergelak. "Adik Ing, buka saja sendiri!" katanya.
Begitu undian dibuka. Si Ciu-ing segera berseru tertahan, dia tak mampu
berkata-kata lagi.
Biarpun tahu apa yang terjadi, Ong Sam-kongcu berlagak pilon, sengaja
tanyanya: "Adik Ing, nama siapa yang muncul?"
"Engkoh Huan, namaku! Tapi ... boleh tidak kalau diganti orang lain?"
"Tidak bisa, tidak bisa," seru Ong Sam-kongcu berlagak serius, "masa undian
juga dianggap permainan? Bukan begitu adik-adik sekalian?"
"Setuju!" seru kesebelas nona serentak.
"Hahaha ... mari kita keringkan cawan ini, kemudian masing-masina kembali
ke kamar." kata Ong Sam-kongcu kemudian sambil tertawa tergelak.
Maka kedua orang itupun digiring menuju ke kamar pengantin.
Berdiri di dalam kamar pengantin sambil mengawasi sepasang lilin merah
yang berukirkan naga dan burung hong, Si Ciu-ing merasa jantungnya berdebar
keras.
Setelah mengunci pintu kamar, Ong Sam-kongcu pun berkata: "Adik Ing, aku
rasa kau paling pantas jadi pemimpin kawanan burung hong, karena
kepemimpinanmu bisa diterima semua pihak..."
Sambil berkata dia mulai melepaskan pakaiannya satu per satu.

Kenangan manis pun berlangsung kembali, bunyi gemericit disertai dengus
napas memburu mulai meng-hiasai seluruh ruangan.
Semenjak kehadiran Go Hoa-ti di pesanggrahan Hay-thian-it-si, mereka
berdua belum pernah berkumpul, apalagi melakukan hubungan intim, tak heran
kalau hubungan kelamin yang berlangsung saat ini berjalan lebih panas, lebih
menggila dan menghebohkan ....
Goyangan pinggul Si Ciu-ing yang menggeliat kian kemari mengimbangi
genjotan "benda" Ong Sam-kongcu yang naik turun bagai orang sedang "push
up", ibarat geliat seekor ular berbisa.
Ong Sam-kongcu benar-benar terjerumus dalam rangsangan napsu yang
membara, dia gunakan seluruh kepandaian "ranjang'nya yang paling hebat
untuk mengimbangi goyangan perempuan itu.
Dengusan napas, rintihan yang membetot sukma bergema silih berganti....
"Aaah ... ahh ... koko ... aaah ... lebih cepat... masukkan lebih dalam ... aaah
... koko... aku tak tahan"
"Adik Ing ... aduh ... kau hebat sekali... goyangan-mu membuat aku... aku
bagai dalam surga ...."
Akhirnya Si Ciu-ing mendengar keluhan "engkoh Huan"nya disertai hembusan
napas panjang, mereka berdua pun tak lagi menggerakkan tubuhnya, meski
tergeletak lemas namun tubuh bugil mereka berdua yang putih bagai salju
masih saling mendekap dan menempel dengan eratnya.
"Engkoh Huan, kau... kau memang hebat!"
"Adik Ing, goyangan pinggulmu nyaris membetot sukmaku!"
Selang berapa saat kemudian, mereka berdua baru bangun dengan arasarasan
dan membersihkan badan.
Ketika mereka berdua sudah balik kembali di balik selimut, Si Ciu-ing baru
berkata sambil tertawa: "Engkoh Huan, mulai besok kau mesti lebih banyak
makanan bergizi, karena sudah berapa tahun mereka menunggumu, kau mesti
tunjukkan keperkasaanmu di hadapan mereka!"
"Adik Ing!" bisik Ong Sam-kongcu setelah mengecup bibirnya: "menurut
pendapatmu, besok siapa yang mesti menemani aku tidur?"
"Tentu saja adik kedua, kan menurut urutan!"
"Aku setuju, tapi kalau mereka usul untuk mengambil undian lagi lantas
bagaimana?"
"Kalau begitu ... biar kupilih dulu kertas undian yang mencantumkan nama
adik kedua, asal ada kode rahasianya dan kau mengambil yang berkode,
bukankah ... hahaha
Dalam hati kecilnya, Ong Sam-kongcu tertawa geli, tapi di luar ia menyatakan
persetujuannya: "Baiklah, kalau begitu kita tentukan demikian!"
Melihat pemuda itu sudah setuju maka Si Ciu-ing pun bangkit berdiri dan
mengambil keluar kesebelas kertas undian lainnya dari dalam saku baju Ong
Sam-kongcu.
Tapi begitu dia buka kertas undian itu, kontan teriaknya keras keras: "Waaah.
Ini mah kehangatan!"
Melihat dugaan sendiri tak keliru, Ong Sam-kongcu ikut tertawa terbahakbahak.
"Engkoh Huan, ternyata kau ...."
"Tidak ... tidak ... ooh hujin, jangan salahkan aku, ketika kau mengambil
undian tadi dan melihat mimik muka mereka bersebelas, aku sudah tahu,
mereka pasti sedang mengerjai kamu!"

"Aku tahu, pasti adik Lan-hoa yang punya usul, besok aku mesti bikin
perhitungan dengannya."
"Sudahlah, mereka toh berniat baik kepadamu ...."
"Tidak, Engkoh Huan, kau mesti balaskan dendam..."
"Baik, baik, sekarang juga aku akan membuat perhitungan," sembari berkata
dia merangkak bangun.
"Besok saja engkoh Huan, mari kita tidur dulu!" Si Ciu-ing segera memeluknya
sambil memberi ciuman mesra ke atas bibirnya.

0oo0
 
Waktu berlalu sangat cepat, tanpa terasa sepuluh tahun sudah lewat.
Pesanggrahan Hay-thian-it-si yang biasanya hening dan tenang, kini sudah
berubah jadi ramai sekali.
Hari peh-cun telah tiba, bau harum bakcang terendus sampai dimana-mana.
Tengah hari itu, suasana di tepi kolam Ti-sim amat ramai dengan gelak
tertawa, percikan air menyebar ke empat penjuru.
Ong Sam-kongcu dan dua belas tusuk konde emas duduk mengeliling kolam
sambil menyaksikan dua puluh lima orang bocah sedang bermain perangperangan
di dalam kolam, melihat wajah riang bocah-bocah itu, mereka semua
merasa ikut gembira.
Berkat jerih payah Ong Sam-kongcu selama sepuluh tahun terakhir yang
sangat rajin "mencangkul sawah" dan "menebar benih", belum genap dua tahun
pernikahan dengan sebelas orang tusuk konde emas, mereka telah melahirkan
sebelas orang bocah untuknya.
Yang menjadi juara pertama adalah Si Ciu-ing, setahun setelah
perkawinannya dia telah melahirkan seorang bocah yang gemuk, hingga
pesanggrahan Hay-thian-it-si secara tiba-tiba mendapat tambahan tiga belas
orang bocah lelaki dan dua belas orang bocah perempuan (termasuk Ong Bu-jin).
Kaum pria dikomandani oleh Ong Bu-ciau.
Sementara kelompok wanita dipimpin oleh Ong Bu-jin.
Jangan dilihat kedua orang itu baru berusia sebelas tahunan, bukan saja
wajah mereka tampan dan cantik, mereka pun sangat pandai memimpin saudara
saudaranya hingga orang tua tak perlu kuatir.
Sejak masih sangat kecil, kawanan bocah itu sudah dilatih dasar ilmu silat,
pihak lelaki dilatih secara, langsung oleh Ong Sam-kongcu, sementara kelompok
wanita dididik oleh kaum ibu, tak heran kalau gerak-gerik mereka amat lincah
dan cekatan.
Apalagi Ong Bu-ciau, bukan saja dia berbakat alam, kecerdasannya
mengungguli saudaranya yang lain, tak aneh jika dia berhasil menguasai tiga
belas macam ilmu kungfu, meski belum mencapai tingkat kesempurnaan,
namun kehebatannya sungguh mengejutkan hati.
Tak heran jika dia menjadi putra mahkota yang paling disegani saudara
lainnya.
Ilmu silat yang dilatih Ong Bu-jin berasal dari didikan dua belas tusuk konde
emas.
Setelah mengikuti Ong Sam-kongcu selama banyak tahun, pikiran serta cara
berpandangan dua belas tusuk konde sama sekali telah berubah, sikap mereka
terhadap Ong Bu-jin pun tidak pilih kasih riennan tekun mereka mendidiknya
secara benar.
Bakat yang dimiliki Ong Bu-jin termasuk sangat bagus, sejak berlatih ilmu
silat, bukan saja dia berhasil mempelajari dua belas macam ilmu silat dari dua

belas tusuk konde emas, dia pun secara khusus mempelajari ilmu meramal
nasib dari Han Gi-ang.
Sayangnya, kepergian Go Hoa-ti sejak sepuluh tahun berselang dan hingga
kini bukan saja tak pernah kembali, bahkan kabar berita pun sama sekali tak
ada, hal ini membuat watak Ong Bu-jin jauh lebih matang dibandingkan
usianya, dia nampak lebih pendiam dan sering murung.
Sejak tahu urusan, entah sudah berapa kali dia menanyakan masalah
tersebut kepada dua belas tusuk konde emas, tapi jawaban yang diperoleh selalu
sama.
"Sejak melahirkan dia, Go Hoa-ti yang terluka parah berangkat ke wilayah
Kanglam untuk mengobati penyakitnya."
Biarpun dua belas tusuk konde emas memandang bocah itu seperti putri
sendiri, sementara Ong Sam-kongcu juga amat menyayanginya, namun Ong Bujin
tetap merasa ada ganjalan dalam hatinya.
Mengikuti bertambah dewasanya dia, rasa rindunya dengan ibu kandungnya
justru bertambah kuat.
Tentu saja perasaan itu tak pernah diungkap di hadapan orang banyak,
karena dia tak tega ayah dan bibinya jadi sedih karena menguatirkan dirinya.
Di tengah pertempuran air yang berlangsung antara kelompok laki dan
kelompok wanita, tiba-tiba dari luar pintu gerbang Hay-thian-it-si muncul
seseorang berbaju ungu, dia tak lain adalah Go Hoa-ti yang sudah lenyap
sepuluh tahun berselang.
Ong tua, congkoan pesanggrahan sangat kegirangan, baru saja dia akan
berteriak memanggil, perempuan itu segera memberi tanda agar dia tidak
berisik.
"Ong tua!" sapanya lembut, "kondisi badanmu kelihatan sangat prima!"
"Semua berkat doa restu nyonya sahut kakek Ong sambil tertawa, "nyonya,
selama banyak tahun kau pergi kemana saja? Semua orang rindu kepadamu:"
Go Hoa-ti tahu Ong Sam-kongcu tak pernah mengungkapkan kejadian
sesungguhnya kepada bawahan, maka katanya pelan: "Aah benar, aku pulang
dusun sekalian mengatur rumah lamaku di kota Kim-leng."
"Ooh, rupanya begitu, nyonya, kongcu dan semua nyonya serta siauya serta
siocia sedang berada di kolam Ti-sim, silahkan anda langsung menyusul ke
sana."
"Terima kasih Ong tua"
Go Hoa-ti tak ingin mengejutkan banyak orang maka dia langsung menuju ke
kolam Ti-sim.
Dari kejauhan dia sudah mendengar teriakan ramai dari sekawanan bocah,
tanpa terasa jantungnya berdebar keras.
Diam-diam dia melompat naik ke atas pohon siong lebih kurang lima kaki dari
kolam, dari situ dia mengamati sekeliling kolam dengan seksama.
Tentu saja sorot matanya yang pertama adalah menemukan sosok Bu-jin
pujaan hatinya.
Tak selang berapa saat ia telah menemukan putrinya yang sedang memimpin
pasukan wanita, tak kuasa lagi butiran air mata jatuh bercucuran membasahi
pipinya.
"Terima kasih engkoh Huan, ternyata kau merawat Jin-ji seperti merawat putri
kandung sendiri."
Semakin dipandang, hatinya semakin sedih, air mata pun bercucuran
semakin deras.

Dia tidak menyangka ilmu silat yang dimiliki Jin-ji begitu sempurna, bahkan
kalau ditinjau dari keanekaragaman aliran silat yang dikuasai, jelas semua
kemampuan itu hasil didikan dari dua belas orang tusuk konde emas.
Ketika sinar matanya berhenti di wajah Cau-ji, hatinya kontan bergetar,
pujinya: "Ganteng amat bocah ini, dia tentu anak Cau!"
Tubuh yang kekar dengan wajah yang bersih, hidung yang mancung, apalagi
sepasang matanya yang bulat dan hitam, tampak sinar wibawa memancar keluar
dari balik matanya yang jernih.
Seandainya Ong Sam-kongcu memiliki mata dan wibawa yang dimiliki anak
Cau, mana mungkin Go Hoa-ti bisa terjauh ke dalam pelukan Bwe Si-jin hingga
dia mesti berkelana hampir sepuluh tahun lamanya?
Diam-diam ia coba mengamati Jin-ji sekali lagi, kemudian dengan perasaan
bangga pikirnya: "Bocah ini bakal cantik sekali setelah dewasa nanti, aah ...
wajah Jin-ji serasa perpaduan wajah kakak Jin dan aku
Melihat kedua orang bocah bergaul sangat akrab, kembali dia berpikir "Aai...
selama hidup aku sudah banyak berhutang kepada engkoh Huan, semoga Jin-ji
bisa mewakiliku untuk membalas budi ini."
Apakah dia sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan Jin-ji dengan
anak Cau?
Membayangkan sampai di situ, tanpa terasa ia tersenyum sendiri.
Tiba-tiba terdengar seseorang berseru dari arah kolam: "Tenang, tenang,
diumumkan, hasil perlombaan hari ini dimenangkan pihak perempuan!"
Kawanan bocah perempuan di sisi kolam segera bersorak-sorai penuh
kegembiraan.
Begitulah, diiringi suara teriakan yang amat ramai, kawanan bocah itu
membubarkan diri menuju ke kamar masing-masing.
Jin-ji sambil bergandengan tangan dengan anak Cau juga ikut berlalu dari
situ.
Ong Sam-kongcu saling berpandangan sekejap dengan dua belas tusuk konde
sambil tertawa, baru saja akan balik ke ruang tamu, tiba-tiba terlihat bibi Ong
muncul sambil melongok ke sana kemari.
Melihat itu Si Ciu-ing segera menegur "Bibi Ong, kau sedang mencari siapa?"
"Kongcu, aku sedang mencari nyonya, apa kalian tidak melihat nyonya?"
sahut bibi Ong cepat.
"Bibi Ong, kau mencari nyonya yang mana? Kami semua berada di sini?"
"Nyonya kedua, sewaktu aku mengantar nasi untuk suamiku tadi, dia
mengatakan kalau nyonya besar telah datang, kenapa tidak kelihatan
orangnya?"
"Sungguh?" serentak semua orang berseru dengan perasaan kaget bercampur
girang.
"Benar, malah suamiku minta nyonya besar langsung mencari kalian di sini"
Pada saat itulah tampak sesosok bayangan manusia meluncur turun dari atas
pohon, dengan gerakan Yau-cu-huan-sin (burung belibis membalik badan) tahutahu
Go Hoa-ti sudah melayang turun persis di hadapan mereka.
"Engkoh Huan, cici sekalian, siaumoay telah kembali!" katanya seraya
menjura.
Serentak kawanan wanita itu maju mendekat, dengan air mata berlinang ujar
Si Ciu-ing: "Enci Ti, kami semua merindukan kau!"
"Cici sekalian, terima kasih banyak kalian telah merawat dan mendidik anak
Jin!" ujar Go Hoa-ti dengan air mata bercucuran.

Isak tangis pun menghiasi pertemuan yang sangat mengharukan itu, tidak
terkecuali bibi Ong yang berdiri di samping.
Melihat itu Ong Sam-kongcu segera menegur sambil tertawa: "Pertemuan ini
semestinya disambut dengan gembira, kenapa kalian malah menangis? Cepat
seka air mata kalian, jangan biarkan gerombolan tuyul kecil menertawakan
kalian."
Buru-buru Si Ciu-ing menyeka air matanya kemudian ujarnya sambil tertawa:
"Cici Ti, kau sudah bertemu anak Jin? Dia hebat sekali!"
"Semuanya ini berkat jasa kalian semua," bisik Go Hoa-ti dengan air mata
semakin deras.
Tiba-tiba Han Gi-ang berkata setelah menarik napas panjang: "Enci Ti,
dipandang dari wajahmu yang membawa sinar kegembiraan, tampaknya Thian
tak akan menyia-nyiakan harapanmu, apa yang kau harapkan selama ini bakal
tercapai."
"Enci Ang, apa maksudmu?" Go Hoa-ti tercengang.
"Aah, tepat sekali! Memang cocok sekali," tiba-tiba Ong Sam-kongcu ikut
berseru sambil tertawa, "adik Ti, sebulan berselang adik Ang pernah bilang, ada
orang lama yang bakal pulang kampung di hari Peh Cun, tak disangka kau
benar-benar telah pulang di hari Toan-yang ini!"
Tergerak hati Go Hoa-ti, dia segera menarik tangannya seraya bertanya: "Enci
Ang, kau mengetahui rahasiaku?"
Sambil tersenyum Han Gi-ang menggeleng.
"Tidak, siaumoay tidak tahu, tapi siaumoay tahu paling lambat akhir tahun
depan, apa yang kau harapkan bisa terkabul!"
"Sungguh?"
Han Gi-ang tidak menjawab, dia hanya tersenyum. "Adik Ti, tak bakal
meleset," Ong Sam-kongcu segera menyela, "ayo, jangan biarkan anak-anak
menunggu terlalu lama."
Ketika masuk ke dalam ruang makan, ia jumpai bocah laki dan perempuan itu
masing-masing duduk mengelilingi dua meja bulat, walaupun melihat orang
dewasa masuk ke ruangan, ternyata tak ada satu pun yang bicara ataupun
melongok ke sana kemari.
Kedisiplinan kawanan bocah itu mau tak mau membuat Go Hoa-ti merasa
amat kagum.
Oia melirik anak Jin sekejap, lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun
mengambil tempat duduk.
Ketika Ong Sam-kongcu menganggukkan kepala, anak Cau baru berseru
lantang: "Bersantap dimulai!"
Para bocah pun mulai menggunakan sumpit masing-masing untuk mengambil
bakcang yang tersedia.
Saat itulah Ong Sam-kongcu dengan ilmu coan-im-jit-pit berbisik kepada Go
Hoa-ti: "Adik Ti, mohon kau sudi menahan diri sejenak lagi." Sembari berkata ia
sodorkan sebuah bak-cang kepadanya.
Dengan penuh rasa terima kasih Go Hoa-ti menerimanya dan mengangguk
berulang kali.
Tampaknya pertandingan yang diadakan hari ini telah menguras banyak
tenaga bocah-bocah itu, tak heran kalau napsu makan mereka sangat besar, tak
selang berapa saat kemudian bakcang sebaskom telah habis dianglap.
Dua belas tusuk konde emas saling berpandangan sambil tertawa, setelah
memberi tanda kepada Go Hoa-ti, masing-masing membawa dua buah bak-cang
dan diberikan kepada putra kesayangannya.

Ketika anak Jin melihat orang yang menghampirinya adalah Goa Hoa-ti yang
tak dikenalnya, sekilas perasaan kagum terlintas dalam benaknya, setelah
menerima pemberian bak-cang itu, untuk sesaat dia malah berdiri tertegun dan
tak tahu apa yang harus diperbuat.
Go Hoa-ti berusaha keras menahan kucuran air matanya serta dorongan
keinginan yang kuat untuk memeluk bocah itu, sambil tersenyum dia hanya
mengangguk dan balik kembali ke tempat duduknya.
Hingga kawanan bocah itu pada bubaran, ia baru tersadar kembali dari
lamunannya.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Ong Sam-kongcu berseru: "Anak Jin,
jangan pergi dulu, coba kemari!"
Jin-ji meletakkan bak-cangnya ke meja dan berjalan ke depan Ong Samkongcu
sambil bertanya: "Ada apa ayah?"
"Anak Jin, ayah hendak menyampaikan sebuah kabar baik, ibumu sudah
kembali!"
"Sungguh ayah?" berkilat sepasang mata anak Jin.
Ong Sam-kongcu tersenyum, sambil menggandeng tangannya yang gemetar,
mereka berjalan menuju ke hadapan Go Hoa-ti.
Sementara itu air mata jatuh bercucuran membasahi wajah Go Hoa-ti, sambil
memeluk bocah perempuan itu teriaknya berulang kali: "Anak Jin, anak Jin!"
"Ibu!" anak Jin menubruk ke dalam rangkulannya dan menangis tersedu.
Memandang sekejap kawanan bocah yang berdiri tercengang, Ong Samkongcu
segera menjelaskan: "Bocah-bocah, dia adalah bibi Go, yaitu ibu
kandung cici kalian."
"Bibi... bibi...!" serentak para bocah maju meluruk sambil berteriak
kegirangan.
Dengan air mata berlinang Go Hoa-ti anggukkan kepalanya berulang kali,
"Kalian semua memang anak yang manis!"
"Anak-anak," Si Ciu-ing ikut menjelaskan sambil tertawa, "selama banyak
tahun, bibi kalian merawat lukanya di daerah Kanglam, walaupun luka itu
belum sembuh tapi kali ini sengaja datang untuk merayakan peh-cun bersama
kita semua, untuk menyampaikan rasa terima kasihnya karena kalian selama
banyak tahun membantu anak Jin, maka masing-masing akan mendapat hadiah
sebuah kain uang yang indah."
"Terima kasih bibi, terima kasih bibi ...." kembali tempik sorak bergema gegap
gempita.
"Mari kita kembali ke pesanggrahan T»-wan!" ajak Ong Sam-kongcu kemudian
sambil tertawa.
Ketika melangkah kembali ke dalam pesanggrahan Ti-wan, Go Hoa-ti
menyaksikan segala sesuatunya masih tetap seperti sedia kala, sementara ia
sedang menghela napas, tiba-tiba terdengar anak Jin berseru: "Ibu, setiap hari
aku dan adik Cau pasti datang kemari untuk mengatur pepohonan di sini."
"Enci Ti, jangan dilihat bocah-bocah itu lincah, tanpa undangan atau ijin dari
anak Jin, siapapun tak ada yang berani datang kemari," si Ciu-ing segera
menyela.
"Cici, kalian terlalu baik kepadaku!*
"Adik Ti," sela Ong Sam-kongcu, "di antara orang sendiri kau tak usah
merendah, anak Jin memang sangat pintar, justru dialah yang memimpin adikadiknya
selama ini...."

"Ibu, memang benar begitu," tiba-tiba anak Jin menyela, "semua saudara
takut denganku, tapi aku justru takut dengan anak Cau, asal dia mendelik, aku
sudah ketakutan setengah mati."
Ucapan tersebut segera disambut gelak tertawa semua orang.
"Anak Jin," Go Hoa-ti berkata, "di kemudian hari kau harus menuruti
perkataan adik Cau, harus membantunya, agar kalian bersaudara dapat selalu
akrab."
"Pasti ibu, adik Cau juga takut padaku, setiap kali aku menangis lantaran
rindu padamu, adik Cau akan kebingungan dibuatnya."
Dengan penuh kasih sayang Go Hoa-ti memeluk putrinya.
"Anak jin," katanya kemudian, "selanjutnya ibu pasti akan meluangkan
banyak waktu untuk menemanimu, tapi kau tak boleh sengaja membuat
murung adik Cau.*
"Aku berjanji ibu, tapi... kau masih akan pergi lagi?"
"Ehmm, menurut tabib, ibu harus berobat satu tahun lagi sebelum sehat
seperti sedia kala, setelah itu kita tak akan berpisah lagi."
"Sungguh?"
"Ehmm, masa orang dewasa membohongi anak kecil? Sekarang tidurlah dulu."
Anak Jin berpaling ke arah Ong Sam-kongcu, tanyanya: "Ayah, bolehkah anak
Jin tidur dengan ibu malam ini?"
"Tentu saja boleh, selama ibu di rumah, kau boleh tidur bersamanya."
"Terima kasih ayah, anak Jin pergi tidur siang," setelah memberi hormat
kepada semua orang, dia pun berlalu dari situ.
Memandang hingga bayangan punggung putrinya lenyap dari pandangan, Go
Hoa-ti baru berkata sambil menghela napas: "Engkoh Huan, cici semua, terima
kasih, kalian telah memelihara dan mendidik anak Jin hingga sehebat sekarang."
"Adik Ti, aku tidak berani berebut jasa," sela Ong Sam-kongcu tertawa,
"semua keberhasilan itu adalah hasil karya adik Ing semuanya, bahkan aku
sudah berencana hendak mendirikan sebuah perkumpulan yang dinamakan
Hay-it-pang."
"Perkumpulan Hay-it-pang?"
"Betul.' Toh anggota keluarga kita sangat banyak, dari ketua sampai peronda
bisa kita tangani semuanya, apalagi bakat bocah-bocah itu sangat menjanjikan,
sudah sepantasnya kalau kita muncul sebagai sebuah kekuatan baru."
"Betul sekali, pemikiran semacam ini memang sesuai dengan kondisi dalam
masyarakat sekarang, kenapa tidak segera dilaksanakan?"
Ong Sam-kongcu tertawa.
"Mungkin lantaran kita sudah terlalu lama hidup mengasingkan diri,
kehidupan bersantai tiap hari membuat orang jadi malas, tak punya semangat
lagi untuk cari nama dan kedudukan, apalagi kekayaan keluarga Ong kan cukup
untuk menghidupi berapa generasi."
"Engkoh Huan, pemikiran semacam itu pas jika situasi dunia aman dan
tenteram," kata Go Hoa-ti serius, "tapi menurut pengamatanku, dunia persilatan
saat ini sedang dilanda gejolak yang mengerikan."
Kaget bercampur tertegun Ong Sam-kongcu dan dua belas tusuk konde emas
sesudah mendengar perkataan itu.
"Engkoh Huan, cici sekalian, semenjak empat tahun berselang, di daratan
Tionggoan telah muncul sebuah organisasi massa yang dinamakan Tay-ka-lok",
artinya gembira untuk semua orang, bukan saja banyak teman persilatan yang
bergabung dengan organisasi itu, rakyat biasa pun banyak yang mendaftarkan
diri."

"Tay-ka-lok?" Ong Sam-kongcu tercengang, "dari nama organisasi itu
semestinya organisasi mereka merupakan satu perkumpulan untuk bersenangsenang,
darimana bisa membahayakan masyarakat umum?"
"Aaai! Yang dimaksud Tay-ka-lok sebetulnya tak beda dengan sebutan Paykiu,
kiu-kiu dan sebangsanya, merupakan istilah di dalam perjudian, bukan saja
mereka punya daya tarik yang luar biasa, kehancuran yang timbul akibat
permainan itu beribu kali lipat lebih dahsyat ketimbang permainan judi."
"Wow, permainan yang begitu mengasyikkan?"
"Bila kau berada di daratan Tionggoan, bukan cuma di gedung pertemuan,
bahkan di jalanan atau lorong kecil pun, asal kau mau perhatian pasti akan
mendengar banyak orang sedang meramal nomor berapa yang bakal keluar
nanti. Yang mereka maksud nomor adalah nomor pemenang pacuan kuda yang
keluar sebagai juara pada tanggal lima, lima belas dan dua puluh lima."
"Ooh, rupanya mereka gunakan pacuan kuda sebagai judi buntutan? Jadi
mirip sekali dengan taruhan orang tentang siapa yang bakal terpilih menjadi
Bulim Bengcu?"
"Benar, taruhan siapa yang jadi Bulim Bengcu hanya diselenggarakan berapa
tahun satu kali, sehingga meski kalah taruhan tak bakal mencelakai orang, beda
sekali dengan organisasi Tay-ka-lok, satu bulan diadakan taruhan sebanyak tiga
kali, setiap kali berapa juta orang yang terlibat dalam pertaruhan itu
"Apa? Ada jutaan orang yang ikut taruhan?"
"Betul, menurut data terakhir yang kudengar, sudah ada dua puluh juta orang
yang terjerumus dalam pertaruhan semacam itul"
"Haah? Begitu besar pengaruh Tay-ka-lok?" seru Ong Sam-kongcu terperanjat.
"Betul, sembilan ekor kuda saling berlomba sejauh sepuluh li, pada akhirnya
pasti ada seekor kuda yang mencapai finish duluan, asal orang yang memegang
nomor kuda juara itu maka mereka bisa mendapat uang taruhan yang besar
sekali.
"Ambil contoh kota Kim-leng. kau masih ingat dengan perusahaan ekspedisi
Kim-leng piaukiok? Sekarang mereka tidak usaha ekspedisi lagi, di luar kota
mereka membeli tanah seluas puluhan hektar dan mendirikan arena pacuan
kuda plus tempat peristirahatan.
"Setiap tanggal lima, lima belas dan dua puluh lima, di arena pacuan kuda
Kim-leng akan diselenggarakan lomba pacuan kuda, tiap kali diselenggarakan
ada empat lima juta orang yang ikut bertaruh, tiap taruhan bernilai satu tahil
perak.
"Setiap kali selesai berlomba, siapapun yang menang, pihak Kim-leng piaukiok
akan mengambil satu persen dulu sebagai uang jasa, coba hitung sendiri, kalau
tiap kali bisa meraup empat lima juta tahil perak, satu persennya berarti empat
lima puluh ribu tahil perak."
"Hmmm, hebat amat sistim itu, tidak sampai tiga bulan bukankah semua
modal mereka sudah balik?" dengus Ong Sam-kongcu.
"Benar, dari sembilan nomor yang tersedia, asal kita pilih satu di antaranya
dan menang maka kau bisa menangkan uang taruhan dari delapan nomor yang
lain, apalagi bila nomornya "kandang" alias tidak tertebak, hadiah bisa luar biasa
besarnya."
"Bagaimana kalau kita beli semua kesembilan nomor itu?" tanya Ong Samkongcu
setelah termenung berpikir sebentar.
"Engkoh Huan, aku pernah coba caramu itu, akhirnya aku keluar uang
sembilan tahil tapi yang dimenangkan cuma dua tahil lebih, rugi besar!"

"Hmm, kalau aku si penyelenggara pacuan kuda, akan kuatur perlombaan itu
agar beberapa kali "kandang", lalu dengan keluar uang satu tahil perak, aku
keluarkan nomor kuda yang paling sedikit pasangannya, bukankah aku bakal
meraih keuntungan yang luar biasa?"
"Aaah betul juga!" teriak Go Hoa-ti kaget, "asal kita gunakan kuda yang
berbeda tiap kali berlomba, lalu nomor kuda pemenang selalu diatur nomor kuda
yang paling sedikit pasangan taruhannya, bukankah tiap kali berlomba, si
bandar akan meraup kemenangan luar biasa?"
"Bagus, kalau begitu biar aku pulang ke kota Kim-leng dan membuka sebuah
pacuan kuda juga, dengan bocah-bocah sebagai jokinya, aku yakin tak sampai
satu tahun kekayaanku sudah membukit!"
"Engkoh Huan, jika ada orang memberi petunjuk secara diam-diam lalu
membuat kekacauan pada saat yang tepat, mungkin masalahnya bisa berubah
jadi serius," Si Ciu-ing mengingatkan.
"Betul sekali!" Ong Sam-kongcu mengangguk serius, "adik Ti, apa selama ini
pihak kerajaan dan sembilan partai besar tidak berusaha mencegah, melarang
atau menghalangi ulah mereka?"
"Pernah sih pernah, konon sudah melibatkan banyak orang, tapi siapa sih
yang tak pingin kaya raya dalam semalaman? Bukan saja semua orang jadi gila
harta, gila bertaruh, ditambah lagi dengan beberapa alasan, bukannya padam
dan surut, permainan tersebut malah semakin merajalela."
Semakin dipikir Ong Sam-kongcu merasa semakin ngeri, katanya kemudian
setelah menghela napas panjang: "Kalau kekuatan kelewat lama bersatu,
akhirnya pasti akan berpisah, bila lama berpisah akhirnya akan bersatu
kembali, selama puluhan tahun terakhir, dunia persilatan selalu aman dan
tenteram, kelihatannya kekacauan segera akan melanda seluruh dunia
"Engkoh Huan, cici sekalian," sela Go Hoa-ti tiba-tiba, "demi masa depan
bocah-bocah serta kemampuan mereka untuk menghadapi perubahan dalam
dunia, apa tidak mulai dipertimbangkan perubahan sistim pendidikan serta
materi pendidikan?"
Ong Sam-kongcu berpikir sejenak, lalu katanya: "Ehmm, memang perlu
rasanya, adik semua, bagaimana pendapat kalian?"
Dua belas tusuk konde serentak manggut-manggut.
Si Ciu-ing berkata pula: "Kecerdasan anak Jin dan anak Cau melebihi
kebanyakan orang, bocah lainnya juga tunduk di bawah pengawasan mereka,
asal diberi arahan, semestinya mereka dapat menerima perubahan itu."
Kemudian setelah berhenti sejenak, ujarnya lagi: "Engkoh Huan, cici, kalian
teruskan pembicaraan, aku ingin mengundurkan diri lebih dulu!"
Bersama sebelas orang tusuk konde lain, mereka bersama-sama
meninggalkan pesanggrahan Ti-wan.
Memandang hingga bayangan punggung orang itu lenyap dari pandangan,
Ong Sam-kongcu baru berkata lagi dengan nada kualir "Apakah belum ada
kabar berita dari saudara Bwe...."
"Aaai, kabar beritanya seakan batu yang tenggelam di tengah samudra, sama
sekali tiada kabar apa-apa."
"Jangan putus asa, adik Ang toh pernah meramalkan nasibmu, konon akhir
tahun depan kau bisa berjumpa ladi dengan saudara Bwe, bukan begitu?"
"Haai ... ramalan hanya sesuatu janji yang semu, tanpa dasar bukti yang pasti
mana aku boleh percaya? Tapi aku memang kagum dengan cici Ang, dia makin
lama semakin memikat hati."

"Adik Ti, kau tak usah mengagumi mereka, apa kau tidak merasa bahwa
dirimu lebih matang dan semakin seksi?"
Berkilat sepasang mata Go Hoa-ti setelah mendengar perkataan itu, serunya
tak tahan: "Engkoh Huan, kau pun berpendapat begitu?"
"Benar adik Ti, aku tidak bohong."
Berkaca sepasang mata Go Hoa-ti karena linangan air mata, gumamnya:
"Engkoh Huan, berilah satu kali kesempatan lagi, bila kali ini aku gagal
menemukan jejaknya, aku akan matikan perasaanku ini."
"Sampai waktunya, aku akan tinggal di pesanggrahan Ti-wan dan selama
hidup melayani kau, aku akan melayani semua kemauanmu demi membalas
budi kebaikanmu terhadap aku serta anak Jin selama ini."
"Adik Ti, aku pasti akan menunggumu!"
"Engkoh Huan......." sambil berseru, ia segera menubruk ke dalam
pelukannya.
Sambil memeluk kekasih hatinya, Ong Sam-kongcu merasa pikiran serta
perasaan hatinya bergejolak keras.
Setelah mengetahui asal-usul anak Jin yang sebenarnya, semula dia bertekad
akan melupakan perempuan ini, tapi bayangan tubuhnya sudah kelewat dalam
membekas dalam benaknya. Apalagi mengikuti berlalunya sang waktu, perasaan
itu membekas semakin nyata.
Hari ini, ketika ia mendapat tahu kalau ia masih tak berhasil menemukan Bwe
Si-jin, bara api harapan sekali lagi timbul, apalagi ketika tubuh yang lembut dan
harum berada di dalam pelukannya sekarang, dia benar-benar tak sanggup
mengendalikan diri.
Ketika Go Hoa-ti berjumpa dengan Bwe Si-jin tempo hari di kota Lokyang, ia
jatuh hati pada pandangan pertama, tidak sampai tiga bulan berkenalan, dengan
hati ikhlas dia persembahkan keperawanannya kepada pemuda itu.
Sejak itu mereka berdua hampir selalu bersama mengunjungi tempat-tempat
yang terkenal di sekitar kota Lokyang.
Tapi suatu pagi, ketika Go Hoa-ti mendusin dari tidurnya dalam sebuah
rumah penginapan, ia menjumpai Bwe Si-jin telah hilang lenyap tak berbekas,
maka dia pun mulai melacak keberadaannya.
Tapi pada saat itulah dia menjumpai dirinya mulai hamil.
Demi masa depan jabang bayinya maka dia menggunakan pelbagai cara untuk
bisa dinikahi Ong Sam-kongcu, siapa tahu "manusia boleh berusaha, Thian lah
yang punya kuasa", asal-usul anak Jin akhirnya terbongkar juga.
Dalam keadaan demikian, terpaksa sekali lagi dia mengembara di seluruh
pelosok dunia untuk mencari jejak Bwe Si-jin.
Selama sepuluh tahun, dia sudah menjelajahi hampir setiap sudut kota baik
di Kwan-lwe maupun Kwan-gwa, puluhan ribu orang sudah ditanyai, namun
bukan saja tak ada yang pernah bersua dengan Bwe Si-jin, kabar beritanya pun
sama sekali tak ada.
Selama ini, dia pun sudah banyak menghadapi intrik serta akal busuk banyak
orang yang berusaha ikut "mencicipi" kehangatan tubuhnya, masih untung dia
cerdas dan kungfunya hebat, hingga setiap kali berhasil lolos dari cakaran
"serigala perempuan".
Dalam keputus-asaan akhirnya ia balik ke pesanggrahan Hay-thian-it-si,
rencana semula dia ingin menemani anak Jin untuk melewati sisa hidupnya.
Tapi ramalan dari Han Gi-ang kembali membangkitkan pengharapannya.
Meski di mulut dia bilang tak percaya, tapi api pengharapan justru semakin
berkobar.

Biarpun harapan itu sangat kecil, ia tetap ingin mencobanya.
Selama sepuluh tahun mengembara, Go Hoa-ti selalu berusaha menahan
kebutuhan biologisnya, tapi sekarang, pelukan yang begitu mesra dan hangat
membuat perempuan ini tak sanggup membendung kebutuhannya lagi, ibarat
bendungan yang jebol, napsu birahi seketika menguasai pikiran dan perasaan
hatinya.
Begitu pula dengan Ong Sam-kongcu, perpisahan selama sepuluh tahun
dengan perempuan ini membuat birani yang tertanam selama ini seketika
berkobar, pelukan perempuan itu membuat "anak angkat"nya langsung
menegang keras bagai tombak baja.
"Engkoh Huan, bopong aku ke atas ranjang!" pinta Go Hoa-ti lirih.
Seketika Ong Sam-kongcu merasakan lidahnya kering dan hawa panas
menyelimuti seluruh tubuhnya, ia tak kuasa menahan diri lagi, disambarnya
tubuh perempuan itu lalu setengah berlari masuk ke dalam kamar.
Matahari masih bersinar cerah di angkasa menimbulkan udara panas di
sekitar gedung, tapi panasnya matahari tak bisa menangkan panasnya suasana
dalam kamar pesanggrahan Ti-wan.
Ong Sam-kongcu dan Go Hoa-ti sudah dalam posisi sama-sama telanjang,
mereka saling berpeluk, saling bergumul dengan ganasnya.
Pengalaman selama sepuluh tahun menggilir dua belas tusuk konde emasnya
saban malam, membuat pengalaman dan tehnik "ranjang" Ong Sam-kongcu mengalami
kemajuan pesat, apalagi tenaga dalamnya yang semakin sempurna
membuat kemampuannya berbuat intim betul-betul luar biasa dan amat
berpengalaman.
Sebaliknya Go Hoa-ti merasa walaupun "anu"nya Ong Sam-kongcu kalah
besar dan kalah keras dibandingkan "anu" milik Bwe Si-jin, tapi "jurus
kembangan" serta variasi yang dimiliki lelaki ini jauh lebih matang dan hebat
sehingga dapat menutupi semua kekurangan tersebut, tak heran kalau
perempuan ini tak sanggup bertahan terlalu lama.
Setelah menggeliat tiada hentinya sesaat, lambat laun perempuan itu
mendekati puncak birahtnya....
Tampak badannya gemetar keras, rintihan dan jeritan bergema tiada hentinya
... tak lama kemudian perempuan itu sudah mencapai puncaknya.
Ong Sam-kongcu semakin terangsang, tiba-tiba ia merasa seluruh badannya
mengejang keras, "ujung tombak'nya terasa gatal sekali, dia tahu sebentar lagi
dirinya pun akan mencapai puncaknya.
Buru-buru dia cabut keluar "tombak'nya kemudian ditembakkan ke atas
pusar perempuan itu.
Cairan putih yang kental dan berbau anyir menyembur keluar mengotori dada
serta pusarnya, sampai lama ... lama kemudian Ong Sam-kongcu baru merebahkan
diri lemas di sisi ranjang.
Go Hoa-ti tahu, lelaki itu kuatir dirinya hamil sehingga mengambil tindakan
tersebut, tak kuasa lagi bisiknya dengan perasaan sedih: "Engkoh Huan, maaf,
aku tak bisa memuaskan dirimu."
Seraya berkata dia ambil sebuah handuk dan mulai membersihkan tubuhnya.
"Adik Ti tak usah sedih," sahut Ong Sam-kongcu tertawa, "selama tahun
tahun terakhir, kami selalu menggunakan cara seperti ini untuk berhubungan
intim, kalau tidak ... wah, berapa banyak tuyul kecil yang bakal hadir lagi di
Hay-thian-it-si ..."
"Engkoh Huan, kalian benar-benar mengagumkan."

"Adik Ti tak usah kagum, asal kau bersedia, setiap saat kami akan
menerimamu untuk bergabung."
0oo0
Malam itu, Ong Sam-kongcu didampingi tiga belas orang wanita berkumpul di
pesanggrahan Ti-wan sambil berbincang-bincang.
Saat itulah terdengar Han Gi-ang berkata: "Engkoh Huan, cici Ti, untuk
menghadapi perubahan yang terjadi dalam dunia persilatan, kami berdua belas
telah melakukan perundingan sore tadi, kesimpulan yang kami buat adalah
membiarkan cici Ti mengajak anak Cau terjun ke dalam dunia persilatan untuk
mencari pengalaman!"
Si Ciu-ing menambahkan: "Dengan membiarkan anak Cau mencari
pengalaman dalam dunia persilatan, selain bisa menambah pengetahuannya,
sekembali dari berkelana, dia pun bisa mengajarkan kepada saudara-saudara
lainnya."
"Asal adik Ti tidak merasa keberatan, aku pasti akan setuju," kata Ong Samkongcu
sambil tertawa.
"Bagus sekali," seru Go Hoa-ti, "dengan begitu aku pun tak akan kesepian
sepanjang jalan, cuma ... perubahan cuaca susah diramalkan, biarpun kalian
percaya padaku, aku hanya kuatir bila sampai terjadi sesuatu kejadian di luar
dugaan."
"Enci Ti tak perlu kuatir," Han Gi-ang menerangkan, "anak Cau punya rejeki
yang besar dan umur yang panjang, biarpun terjadi sesuatu dan harus
mengalami pelbagai masalah, otomatis semua kesulitan akan berubah jadi
selamat."
"Kalau memang begitu akan kuterima tanggung jawab ini."
"Cici Ti," seru Si Ciu-ing kemudian dengan penuh rasa terima kasih, "aku
ucapkan terima kasih terlebih dulu, hanya saja anak Cau kelewat agresif dan
lagi keras kepala, mungkin akan banyak menyulitkan dirimu!
 
Bab III. Pertarungan naga sakti versus elang sakti.

Telaga Toa-beng-ou di wilayah Chi-lam.
Pemandangan alam di wilayah Chi-lam memang luar biasa indahnya, ada
mata air, ada telaga juga ada bukit, mata air adalah Ya-tok-swan, telaga adalah
Tay-beng-ouw sedang bukit adalah Jian-hud-san
Telaga Tay-beng-ouw terletak di sebelah barat-laut kota Chi-lam, luasnya
belasan li dan menduduki sepertiga dari luas seluruh kota.
Batas telaga berada di timur, utara dan barat kota, bila fajar baru menyingsing
atau senja menjelang tiba, pemandangan alam di sekeliling tempat itu indah menawan.
Dari jembatan Ing-hoa-kiau menuju ke arah barat-laut telaga, tampak
pepohonan yang-liu tumbuh sepanjang pesisir, gelagah tumbuh subur di
permukaan telaga, khususnya di musim panas atau musim gugur, bunga teratai
mekar semerbak membuat pemandangan di sekitar sana tampak semakin indah
menawan.
Senja itu, matahari memancarkan sinar kemerah-merahan menyelimuti
angkasa, kabut tipis kelihatan mengambang di atas permukaan air telaga.
Saat itulah, di sebuah rumah makan di tepi telaga, tampak seorang pemuda
berwajah tampan didampingi seorang bocah beralis tebal bermata besar dan bertubuh
kekar sedang duduk di tepi jendela menikmati keindahan alam telaga.
Mereka berdua tak lain adalah Go Hoa-ti dan Ong Bu-cau.

"Anak Cau, bagaimana dengan pemandangan alam di sini?" bisik Go Hoa-ti
dengan suara lirih.
"Sangat indah, kalau bisa berpesiar dengan perahu tentu lebih nikmat," sahut
anak Cau kegirangan.
Ucapan yang diutarakan dengan suara lantang seketika memancing perhatian
banyak orang yang memandang ke arahnya dengan sinar mata keheranan.
Belum sempat Go Hoa-ti berbicara, Ong Bu-cau sudah bangkit berdiri dan
berseru kepada semua yang hadir sambil menjura: "Paman dan empek sekalian,
maaf!"
"Bocah cilik, berani berbuat berani tanggung jawab, kau memang hebat," dari
sudut ruangan terdengar seseorang berseru dengan suara keras.
Ketika berpaling, anak Cau melihat orang itu adalah seorang kakek berusia
enam puluh tahunan yang bertubuh kekar, bermata besar dan bermulut lebar.
Melihat pihak lawan memujinya, Cau-ji membalas dengan senyuman simpatik
lalu balik kembali ke tempat duduknya.
Sebaliknya Go Hoa-ti segera berubah wajahnya setelah melihat wajah orang
itu, buru-buru bisiknya: "Cau-ji, mari kita balik dulu ke rumah penginapan, kita
naik perahu besok pagi saja."
Belum sempat kedua orang itu berlalu, tiba-tiba terdengar seseorang berseru:
"Aaah, siau-hui-hiap telah datang!"
"Sungguh? Cepat tanyakan soal lencana Beng-pay..."
Menyusul perkataan itu berduyun-duyun orang berlarian meninggalkan ruang
rumah makan, tak selang berapa saat kemudian di situ tinggal Go Hoa-ti, Cau-ji
serta kakek kekar itu.
Cau-ji sangat heran melihat tingkah polah orang-orang itu, tak kuasa ia pun
bertanya: "Paman, siapa sih siau-hui-hiap yang mereka maksud dan apa pula
lencana Beng-pay?"
Go Hoa-ti segera menuding ke arah seorang bocah berusia enam tujuh
tahunan yang berada di kejauhan sana dan mengenakan baju mewah dengan
cahaya mutiara yang gemerlapan seraya berkata: "Itu dia si pendekar terbang
Siau-hui-hiap!"
"Mana mungkin?" Cau-ji tidak yakin, "kalau ditinjau dari namanya, si
pendekar terbang mestinya bisa bergerak secepat terbang, punya kepintaran dan
keberanian, tidak macam orang tolol begitu."
"Cau-ji, cepat amat kau belajar kata-kata nakal macam begitu," tegur Go Hoati
sambil tertawa.
"Tapi kita kan mesti bilang putih kalau putih dan bilang hitam kalau hitam?"
Go Hoa-ti melirik ke arah kakek kekar itu sekejap, melihat orang itu
mengawasi terus Cau-ji, ia segera tingkatkan kewaspadaannya, bisiknya segera:
"Cau-ji, kau jangan lihat bocah itu macam orang bloon, dia bisa beritahu kepada
orang lain nomor berapa yang baka! keluar dalam pacuan kuda malam nanti!"
"Nomor yang keluar dalam pacuan kuda? Maksud paman nomor yang akan
keluar pada Tay-ka-lok?"
"Benar, nomor ciaji itulah yang disebut beng-pay. Kelihatannya bocah itu
sudah sering memberi ciaji sehingga banyak orang menang lotere, coba lihat
begitu banyak perhiasan yang menghiasi tubuhnya."
"Paman, kenapa siau-hui-hiap bisa memberi ciaji?"
"Soal ini... aku sendiri juga kurang paham."
"Saudara cilik, lohu tahu!" mendadak kakek itu berseru lantang.
Berubah hebat paras muka Go Hoa-ti, buru-buru dia tarik tangan Cau-ji siap
kabur dari situ.

Siapa tahu pada saat itulah terasa angin tajam menderu lewat, tahu-tahu
kakek itu sudah berdiri persis di hadapan mereka berdua.
Melihat usahanya menghindar tidak berhasil, Go Hoa-ti segera menghentikan
langkahnya sambil menegur "Oh-cianpwe, apa maksudmu menghalangi
perjalanan boanpwe?"
"Nona, rupanya kau kenal lohu? Luar biasa, luar biasa, sudah belasan tahun
lohu tak pernah berkelana dalam dunia persilatan, boleh tahu siapa nama
nona?"
Kakek itu dari marga Oh bernama It-siau, orang menyebutnya siu-ong atau
raja hewan, bukan saja dia pandai menjinakkan pelbagai binatang, ilmu silatnya
termasuk luar biasa, sepak terjangnya pun antara lurus dan sesat
Anehnya orang ini justru merupakan sahabat karib Bwe Si-jin, Go Hoa-ti
pernah bertemu Oh It-siau satu kali ketika berada di kota Kim-leng dua belas
tahun berselang, tentu saja kakek itu tidak mengenalinya karena ia sedang
menyaru sebagai seorang pria.
Tergerak hati Go Hoa-ti setelah mendengar si raja hewan menanyakan
namanya, baru saja dia hendak memberitahu nama aslinya, mendadak
terdengar Cau-ji menghardik keras: "Kau tak boleh sembarangan menanyakan
nama ibuku!"
Si raja hewan tidak menyangka seorang bocah berani begitu kurangajar
terhadapnya, baru saja dia akan memberi pelajaran, tiba-tiba dilihatnya bocah
itu sangat keren hingga niat tersebut akhirnya diurungkan kembali.
Melihat lawannya tidak menjawab, Cau-ji mengira kakek itu sudah keder,
kembali bentaknya: "Minggirt"
"Bocah kecil, kau memang kelewat tak tahu sopan santuni" umpat si raja
hewan marah.
'Kau sendiri yang tidak sopan duluan, itu namanya pembalasan!" jawab Cau-ji
tak mau kalah.
Si raja hewan tertawa tergelak, suaranya nyaring bagai geledek.
Buru-buru Go Hoa-ti melindungi diri dengan hawa murninya, sementara
sepasang tangannya dipakai untuk menutupi telinga Cau-ji, setelah itu
diawasinya gerak gerik kakek itu penuh waspada.
Tampaknya gelak tertawa yang amat nyaring itu membuat si bocah yang
disebut siau-hui-hiap terperanjat, sambil menjerit kaget bocah itu lari terbiritbirit
sambil menangis keras.
Padahal waktu itu para pecandu Tay-ka-lok sedang menunggu Siau-hui-hiap
memberikan ciajinya, melihat bocah itu kabur sambil menangis gara-gara gelak
tertawa si raja hewan, serentak mereka jadi marah, dua puluhan orang serentak
datang mendekat dengan penuh amarah.
Melihat kawanan orang itu akan mencari gara-gara dengan si raja hewan, Go
Hoa-ti kegirangan, dia berusaha menggunakan kesempatan itu untuk melarikan
diri, sayang belum sempat ia melakukan satu tindakan, segulung angin tajam
telah menyerang tiba.
Baru saja hendak menghindar, tapi lantaran sepasang tangannya harus
menutupi telinga Cau-ji, akibatnya gerak-gerik tubuhnya kurang lincah, sedikit
terlambat tahu-tahu jalan darah kakunya sudah tertotok.
"Anak Cau, cepat kabur" teriaknya.
Raja hewan menghentikan gelak tertawanya, ia melangkah maju lalu berusaha
menangkap Cau-ji.
"Lihat serangan!" hardik Cau-ji lantang.

Dengan jurus yu-liong-tam-jiau (naga sakti pentang cakar) dia cengkeram
lambung lawan.
Mimpipun raja hewan tak mengira kalau bocah itu mengerti silat bahkan
serangannya secepat sambaran petir, tak ampun lambungnya kena serangan
dengan telak, coba kalau tenaga dalamnya tidak sempurna, mungkin lambung
itu sudah robek dan isi perutnya berentakan.
Biar begitu, lamat-lamat bekas cengkeraman itu terasa sakit bagaikan disayat
dengan pisau.
Berhasil dengan serangan pertama tapi gagal melukai musuhnya, kembali
Cau-ji membentak nyaring, kali ini dia bacok dengan telapak tangan kirinya.
Setelah merasakan serangan pertama musuhnya, tentu saja raja hewan tidak
membiarkan lawan menyerang untuk kedua kalinya, dengan satu gerakan cepat
dia cengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri Cau-ji, kemudian menotok
jalan darah kaku dan bisunya.
Dalam pada itu, dua puluhan orang sudah menyerbu masuk ke dalam rumah
makan, melihat si raja hewan menculik Cau-ji, serentak mereka membentak
nyaring.
"Bajingan tengik, berani amat menculik orang, cepat lepaskan!"
Ada lima orang langsung menerjang ke depan.
Raja hewan mendengus dingin, sembari melanjutkan langkahnya tiba-tiba ia
sentil tangan kanannya berulang kali.
"Aduuuh ...." di tengah jerit kesakitan, dua puluhan orang itu roboh terkapar
di tanah.
Dengan penuh rasa bangga raja hewan tertawa nyaring, sekali berkelebat dia
sudah berada jauh di depan sana.
Sebenarnya Go Hoa-ti ingin melaporkan nama sendiri, tapi melihat lawan
sudah pergi jauh, sementara dia sendiripun tertotok, dia kuatir menggunakan
kesempatan itu ada orang akan memperkosanya. maka dia urungkan niatnya.
Dengan menghimpun segenap kekuatan yang dimiliki ia berusaha melepaskan
diri dari pengaruh totokan.
Tak sampai setengah jam kemudian, akhirnya jalan darah kaku di tubuhnya
berhasil dibebaskan.
Sayang malam hari sudah menjelang tiba, kegelapan malam yang mencekam
membuat ia tak nampak sesosok bayangan manusia pun, dalam keadaan begini
terpaksa ia mengejar ke arah dimana raja hewan pergi.
Dalam pada itu si raja hewan dengan mengempit tubuh Cau-ji sudah berada
tak jauh dari kota, begitu tiba di tempat yang sepi, ia segera berpekik nyaring,
suara pekikan itu aneh sekali.
Menyusul suara pekikan aneh itu, dari kejauhan segera bergema dua kali
suara pekikan yang tak kalah anehnya, begitu aneh dan kerasnya suara pekikan
itu membuat Cau-ji merasa hatinya berdebar keras, coba kalau jalan darah
kakunya tidak tertotok, mungkin dia sudah mendongakkan kepala untuk
mengawasi makhluk aneh apakah itu.
Tak lama kemudian terasa ada segulung angin tajam menyambar lewat, Cau-ji
segera menemukan di atas permukaan tanah telah berdiri seekor burung elang
yang aneh sekali bentuknya.
Elang aneh itu paling tidak mempunyai tinggi badan dua-tiga kaki, seluruh
badannya berwarna coklat tua dengan bulu sayap yang berkilauan, jenggernya
merah menyala dan sepasang matanya terang bercahaya.

Dalam posisi tertotok, sebetulnya Cau-ji hanya bisa melihat sepasang kaki
serta perutnya, tapi lantaran burung itu sedang menjulurkan kepalanya
menghampiri si raja hewan, maka ia dapat melihat jelas bentuk unggas tersebut.
Rasa keheranan, ingin tahu bercampur takut bercampur aduk di dalam
benaknya.
Melihat itu, si raja hewan tertawa terbahak-bahak, serunya: "Hahaha...
monyet kecil, anggap saja kau memang beruntung, masih kecil sudah bisa
merasakan terbang di angkasa ..."
Sambil berkata, ia jepit tubuh Cau-ji lalu menunggang di punggung burung
aneh itu.
"Terbang!" diiringi bentakan nyaring, burung aneh itu pentangkan sayap dan
mulai terbang ke angkasa.
Setelah berada di udara, si raja hewan baru meletakkan tubuh Cau-ji di
sampingnya sekalian menotok bebas jalan darahnya.
Cau-ji merasa angin tajam menerpa di atas wajahnya, begitu kencang
hembusan angin membuat sepasang matanya sulit dipentang lebar, terpaksa ia
pejamkan matanya rapat-rapat
Tak lama kemudian burung aneh itu terbang dengan tenang dan stabilnya di
angkasa, sementara Cau-ji pun tak kuasa menahan rasa kantuknya, ia segera
tertidur pulas.
Ketika mendusin kembali, ia jumpai tubuhnya sudah berbaring dalam sebuah
ruang batu, baru saja ia goyangkan badan, terdengar suara desisan aneh
bergema dari sisi badannya.
Selama ini Cau-ji selalu berdiam dalam pesanggrahan Hay-thian-it-si, tentu
saja ia belum pernah melihat bentuk ular, ketika merasa ada benda sedang
bergerak di bawah bantalnya, buru-buru dia melompat bangun sambil
menengok.
"Aaah!" apa yang terlihat membuat ia menjerit kaget
Tampak sesosok makhluk yang besarnya seperti gentong air berwarna putih
bercampur hitam sedang menggeliat di tengah ruangan, ia tak bisa membedakan
mana kepalanya dan mana ekornya karena belum pernah melihat makhluk
semacam itu sehingga bocah ini tak bisa mengatakan binatang apakah itu.
Dengan mata melotot besar penuh keheranan Cau-ji mengawasi makhluk itu
tanpa berkedip.
Tiba-tiba terdengar suara gelak tertawa bergema memecahkan keheningan,
tampak si raja hewan muncul sambil membawa secawan arak dan menginjak di
atas punggung ular sanca itu.
Melihat mimik muka Cau-ji, serunya sambil tertawa: "Tampaknya kau
memang bocah bernyali!"
Maka dia pun segera berpekik aneh.
Cau-ji melihat makhluk itu menggeliat tiada hentinya, tak lama kemudian
tampak sebuah kepala berbentuk segitiga dengan sepasang mata yang besar
mencorong muncul di hadapannya, yang aneh, dari mulut makhluk itu menjulur
keluar lidah yang bercabang.
Cau-ji segera teringat dengan pelajaran yang pernah diterima dari ibunya
dulu, konon begitulah bentuk muka makhluk yang disebut "ular", tak kuasa
jantungnya berdebar keras.
Kembali si raja hewan tertawa tergelak. "Hahaha ... munyuk, jangan takut,
anak Cing sudah puluhan tahun menjaga gua ini, asal kau tidak mengusiknya,
dia pun tak akan mengganggu dirimu!"
Sementara ia berbicara, ular itu sudah merayap keluar dari dalam gua.

Melihat kakek itu begitu santai membicarakan soal ular tanpa perdulikan
masalah yang lain, timbul perasaan antipati dalam hati Cau-ji, apalagi bila
teringat bagaimana orang itu telah menotok jalan darah bibinya, tak kuasa hawa
amarah membara dalam dadanya.
"Hey, jangan seenaknya memanggil munyuk kepadaku," teriaknya lantang,
"jika kau berani memanggil sekali lagi, jangan salahkan kalau aku pun akan memanggil
kau sebagai setan tua ular busuk. Hey setan tua ular busuk, kenapa
kau menculik aku?"
Raja hewan tidak menyangka kalau monyet kecil yang masih bau susu ibu
berani bersikap kurangajar kepadanya, ia mendengus dingin.
"Kalau lohu lagi suka begitu, mau apa kamu?" Cau-ji tak mau kalah, dia balas
mendengus. "Siauya tidak suka hati!"
"Ooh, sangat menarik, sangat menarik, monyet kecil, lohu dari marga Oh
bernama It-siau, orang memanggilku raja hewan. Siapa namamu?"
"Raja hewan? Hehehe ... kau memang mirip hewan," Cau-ji balas mengejek,
"berarti kau memang mirip harimau, si raja hutan. Jangan kau kira lantaran
bermarga Oh lantas mengaku sebagai raja hewan"
Dalam hati kecilnya raja hewan merasa amat mendongkol, tapi dia coba
menahan diri, kembali ujarnya sambil tertawa: "Monyet kecil, kau memang
punya mata tak berbiji, kalau aku bukan raja dari segala hewan, masa Cing-ji si
ular sanca itu bisa menurut perintahku?"
"Itu mah gampang sekali, asal kau sering memberi makan ke binatang itu,
otomatis dia akan menuruti perintahmu."
"Kurangajar, kalau aku tak hebat, memangnya kau bisa paksa burung aneh
yang kemarin itu membawamu terbang ke angkasa?"
"Hmmm, lebih baik jangan mengibul, bukankah teorinya juga sama?"
"Hmm, kau memang menjengkelkan sekali, ayo jalan, lohu akan buktikan
kepadamu."
Seraya berkata ia comot tangan Cau-ji dan menyeretnya keluar.
Sementara itu, Cau-ji berani bicara dengan nada mengejek karena sejak awal
dia sudah membuat persiapan, maka begitu tangannya dicomot, ia segera
menjejakkan badannya mengegos ke samping sambil melayangkan sebuah
tendangan kilat ke tubuh lawan.
Raja hewan mendengus, menyambut datangnya tendangan itu, otomatis dia
ayunkan tangannya melepaskan sebuah bacokan.
Cau-jl sama sekali tak gentar, dia ayunkan sepasang tangannya menyongsong
datangnya serangan itu.
Setelah melepaskan pukulan tadi, sesungguhnya si raja hewan sudah merasa
amat menyesal, ia semakin terkejut melihat bocah itu berani menyambut
kedatangan serangannya, buru-buru teriaknya: "Cepat mundurl"
"Blaaamm!" benturan nyaring bergema di udara, Cau-ji mendengus tertahan,
badannya langsung terlontar keluar dari dalam gua.
Si raja hewan terkesiap, sambil berpekik nyaring buru-buru dia melesat keluar
dari gua.
Dalam pada itu Cau-ji merasakan sepasang tangannya seperti mau patah,
disusul kemudian dadanya sakit sekali, tak kuasa dia muntah darah segar.
Pada mulanya dia mengira tempat di luar gua adalah tanah datar, jika
badannya sampai terpental maka dia akan gunakan kesempatan itu untuk
melarikan diri.

Siapa tahu begitu buka mata, ia segera menjerit kaget, nyaris bocah itu jatuh
semaput saking terkejutnya, ternyata di luar gua adalah sebuah jurang yang
dalamnya puluhan kaki.
la merasa badannya meluncur ke bawah dengan kecepatan luar biasa, bila
terbentur permukaan tanah, niscaya badannya bakal hancur berantakan.
Di saat yang kritis itulah tiba-tiba ia merasa bajunya mengencang, tahu-tahu
burung aneh itu dengan menggunakan paruhnya telah menggigit ujung bajunya
kuat-kuat ....
"Turun!" hardik si raja hewan. Burung aneh itu sangat menurut, tak berapa
saat kemudian ia sudah letakkan tubuh Cau-ji di atas tanah.
"Hei, monyet kecil, kau tidak apa-apa bukan?" tegur raja hewan dengan penuh
rasa kuatir.
"Setan tua ular busuk, kau tak usah berlagak sok perhatian," umpat Cau-ji
muak, selesai berkata kembali dia berusaha minggat dari situ.
Melihat bocah itu menuju ke arah telaga yang dalam, dengan penuh rasa
kuatir raja hewan berteriak: "Hei monyet kecil, jangan ke situ!"
Bukannya berhenti, Cau-ji malah mempercepat larinya.
"Berhenti!" kembali si raja hewan menghardik seraya menerkam ke depan.
Merasa datangnya terkaman itu, buru-buru Cau-ji menggunakan jurus Toubo-
siang-wi" (lepas jubah menyingkir ke samping) dia menggelinding ke muka
dan berhasil lolos dari cengkeraman lawan.
Sayang ia tak sadar, begitu ia menggelinding, tubuhnya langsung
menggelinding ke arah tengah telaga.
"Monyet kecil, jangan ke situ!" kembali si raja hewan berteriak.
Cau-ji memang bocah bengal yang tak tahu diri, bukannya menurut, dia
malah menceburkan diri ke dalam telaga.
Tingkah laku yang dilakukan bocah itu membuat raja hewan mencak-mencak,
bukan gusar sebaliknya justru panik dan ketakutan.
Sesaat kemudian, ketika melihat bocah itu sudah munculkan diri dari
permukaan telaga, kembali teriaknya lantang: "Hei monyet kecil, dalam telaga itu
ada naga raksasa, cepat naik ke daratan!"
"Setan tua, kau tak usah berbohong, naga itu binatang langka yang sudah
lama punah, kau kira aku masih kecil lantas gampang dibohongi?"
Seraya berkata kembali ia berenang di atas permukaan telaga dengan gaya
yang lincah.
Melihat kemampuan berenang yang begitu hebat dari si bocah, si raja hewan
merasa semakin sayang, kembali teriaknya: "Monyet kecil, apa yang mesti lohu
lakukan hingga kau mau percaya?"
"Hahaha ... itu mah urusanmu, tak ada sangkut pautnya dengan aku!"
Melihat bocah itu keras kepala dan tak menurut, lama kelamaan si raja hewan
jadi jengkel sendiri, tiba-tiba ia berpekik nyaring.
Burung elang aneh itu segera pentang sayapnya terbang ke udara kemudian
langsung menerkam ke tubuh Cau-ji yang berada di permukaan telaga.
Begitu mendengar raja hewan berpekik nyaring,
Cau-ji sudah membuat persiapan yang matang, maka sewaktu burung elang
itu menukik ke arahnya, buru-buru dia menyelam ke dalam telaga.
Selang beberapa saat kemudian, ia sudah muncul kembali di permukaan
telaga tapi sudah sepuluh kaki jauhnya dari posisi semula.
Burung elang itu kembali berpekik sambil menyambar ke arahnya.
Begitulah, terjadi kejar mengejar antara bocah itu dengan burung elang di
seputar telaga.

"Monyet kecil?" teriak si Raja hewan kemudian, "kalau tidak menyerah, akan
kubuat kau mati kelelahan!"
Setelah terhajar oleh pukulan kakek itu, sesungguhnya Cau-ji sudah
menderita luka dalam, apalagi sekarang dia mesti berenang berulang kali,
dadanya kontan terasa sakit sekali, hal ini membuat hatinya sangat terkejut
"Jangan mimpi setan tua..." jeritnya kemudian.
Mendengar umpatan tersebut, si raja hewan semakin gusar, dia melompat
bangun lalu berpekik beberapa kali dengan suara yang aneh.
Tak selang berapa saat kemudian, terasa bumi bergoncang bagai dilanda
gempa dahsyat, dari balik hutan bermunculan aneka ragam binatang buas, ada
singa, harimau, monyet, gajah, beruang, macan tutul dan lain lainnya.
Sementara di tengah udara kembali muncul empat ekor burung elang raksasa.
Biarpun bentuk keempat ekor burung elang ini tidak sebesar dan seganas
burung aneh tadi, namun tampilannya cukup menggetarkan sukma.
Di bawah perintah si raja hewan, ratusan ekor binatang buas itu mulai
mengepung sekeliling telaga, bahkan mulai mengeluarkan suara pekikan yang
menyeramkan ke arah Cau-ji yang berada di tengah telaga.
Keempat ekor burung elang pun menyebar ke empat penjuru dan menyerang
dari tengah udara.
Betapapun besarnya nyali Cau-ji, mengkerut juga nyalinya sesudah
menyaksikan situasi semacam ini, dalam ngeri bercampur takutnya, terpaksa ia
berenang kembali ke tengah telaga.
Dia mencoba menyelam sejauh sepuluh kaki lebih, tiba-tiba terasa pusaran air
yang kuat muncul dari dasar telaga, dalam kagetnya tergopoh-gopoh dia muncul
kembali ke atas permukaan.
Golakan dan pusaran air dari dasar telaga makin lama semakin besar dan
dahsyat, bukan saja Cau-ji tak sanggup menerima tenaga tekanan yang begitu
dahsyat, bahkan kecepatan berenangnya pun makin lama semakin melambat
Sambil menggertak gigi sekuat tenaga dia berenang terus ke atas permukaan
telaga.
Begitu melihat timbulnya pusaran air yang besar dan kuat di tengah telaga, si
raja hewan segera tahu kalau ular raksasa penghuni telaga telah muncul, buruburu
dia berpekik nyaring lagi, burung aneh beserta ke empat ekor elang raksasa
itu serentak terbang balik ke tengah telaga.
Baru saja Cau-ji muncul di atas permukaan, seekor burung elang raksasa
segera menyambar bajunya dan membawanya terbang ke udara.
Raja hewan berpekik sekali lagi, burung aneh itu berputar balik menyambar
tubuh Cau-ji dan membawanya terbang ke tengah angkasa.
Pada saat itulah dari dasar telaga memancar keluar segulung panah air yang
luar biasa dahsyatnya, semburan itu mencapai ketinggian belasan kaki, disusul
kemudian munculnya kepala seekor makhluk aneh seperti naga yang amat
menyeramkan.
Tampak naga raksasa itu pentangkan cakar tajamnya ke arah kawanan
binatang buas yang sedang melarikan diri ke empat penjuru, seketika belasan
ekor binatang buas itu terhisap masuk ke dalam mulut makhluk aneh itu dan
lenyap tak berbekas.
Dalam pada itu Cau-ji sudah balik kembali ke gua tempat kediaman si raja
hewan, dengan perasaan ingin tahu ia mengintip semua adegan menyeramkan
itu, ia saksikan makhluk aneh itu sehabis menghisap kawanan binatang buas,
segera membuat satu pusaran air yang dahsyat lagi di tengah telaga, kemudian
baru menyelam kembali ke dasar.

Akhirnya suasana di permukaan telaga menjadi hening kembali.
Cau-ji menghembuskan napas lega, baru saja dia hendak merangkak bangun,
tiba-tiba ia mendengus tertahan dan roboh kembali.
Rupanya rasa tegang sewaktu menyaksikan betapa garangnya naga sakti itu
menelan kawanan binatang buas membuat Cau-ji lupa akan kondisi badan
sendiri, tapi begitu semuanya telah usai dan semangatnya mengendor kembali,
ia mulai merasakan sekujur badannya jadi linu sekali.
Melihat itu sambil tertawa tergelak si raja hewan berseru: "Hei monyet
tidurlah!"
Sambil berkata, ia totok jalan darah hek-tiam-hiat nya.
Si raja hewan membaringkan tubuh Cau-ji di atas ranjang batu, setelah
meraba sekujur badannya sambil periksa bentuk tulangnya, ia tertawa tergelak
seraya berseru. "Bakat alam, benar-benar bakat alam!"
la berjalan keluar dari gua, belum lagi kakinya menempel tanah, kembali
pekikan panjang bergema memecahkan keheningan.
Tak lama kemudian dari tebing karang sebelah kanan gua muncul seekor ular
sanca yang amat besar.
Dengan wajah serius Raja hewan berkata: "Cing-ji, demi tujuan kita
melenyapkan Su Kiau-kiau, terpaksa aku harus mengorbankan dirimu!"
Sambil berkata ia keluarkan sebutir mutiara kuning dari sakunya lalu
disambitkan ke atas kepala ular raksasa itu.
Begitu melihat mutiara kuning itu, si ular tampak ketakutan setengah mati,
belum sempat menghindar, mutiara itu sudah menghantam persis di kepalanya
membuat ular itu roboh tak berkutik.
Setelah mengejang keras beberapa saat, raja hewan menjejalkan mutiara
kuning itu ke dalam mulut sang ular, lalu dengan menggunakan sebilah pisau
belati dia belah perut ular dan mengeluarkan sebuah empedu sebesar kepalan
tangan.
Sekali lagi raja hewan berpekik nyaring, tiba-tiba burung aneh itu muncul dari
balik lembah dan menukik turun. Kembali si raja hewan berpekik beberapa kali,
sementara jari tangannya menuding ke arah ular sanca.
Dengan kukunya yang tajam, burung elang aneh itu mencengkeram tubuh
ular sebesar gentong air itu, lalu sambil pentang sayap terbang menuju ke
tengah telaga.
"Blaaamm ...!" diiringi percikan air yang memancar keempat penjuru, burung
aneh itu membuang bangkai ular raksasa itu ke tengah telaga.
Sekali lagi si raja hewan berpekik nyaring, burung aneh itu segera terbang
kembali ke sisinya.
Raja hewan menarik napas panjang, ia melompat naik ke punggung burung
aneh itu dan memerintahkan sang burung untuk terbang masuk ke dalam gua.
Sewaktu tiba di sisi Cau-ji, ia bangunkan bocah itu, membuka mulutnya dan
pelan-pelan meloloh cairan empedu ular sanca raksasa itu ke dalam mulutnya.
Selesai meloloh cairan empedu, kembali raja hewan merogoh keluar sebutir pil
yang terbungkus dalam lilin sebesar buah pear, membuka kulit lilin dan
mengorek keluar sebutir pil yang menyiarkan bau harum semerbak.
"Bocah monyet," gumam raja hewan, "besar benar rejekimu, pil sakti Tayhuan-
wan yang tinggal sisa sebutir akhirnya kau yang telan!"
Seraya berkata, ia jejalkan pil itu ke dalam mulutnya.
Dalam pada itu dari luar gua bergema suara gelegar yang sangat memekikkan
telinga, dia tahu naga sakti yang hidup di dasar telaga itu pasti sudah terpancing

oleh bau anyir darah dari bangkai ular raksasa sehingga melakukan gerakan
yang dahsyat.
Buru-buru dia membaringkan Cau-ji ke atas lantai, kemudian melompat ke
mulut gua dan menengok keluar.
Terlihat naga sakti itu sudah mulai melahap bangkai ular sanca sebesar
gentong air itu, wajahnya nampak menyeramkan sekali.
Melihat itu, pelan-pelan si raja hewan keluar dari gua dan menyelinap turun
ke bawah.
Waktu itu, seluruh perhatian naga sakti tersebut sedang tertuju untuk
menelan bangkai ular sanca, sehingga dia tak merasa kalau raja hewan telah
menyusup hingga tiba di tepi telaga.
Pelan-pelan raja hewan mencabut keluar pisau belatinya, kemudian
menunggu kesempatan untuk turun tangan.
Sembari membolak-balikkan badannya, naga sakti itu menelan bangkai ular
sanca itu pelan-pelan, tampaknya hewan itu gembira sekali, ketika sebagian
bangkai sudah masuk ke dalam perutnya, perut naga itu nampak
menggelembung besar sekali.
Tak selang berapa saat kemudian, seluruh tubuhnya sudah tampil di atas
permukaan telaga.
"Sungguh menyeramkan bentuknya," pikir raja hewan dengan perasaan
terkejut, "kalau hewan ini dibiarkan hidup terus, berapa tahun lagi tubuhnya
pasti akan berkembang tambah besar, entah berapa banyak orang yang akan
jadi korbannya, ehmm, hari ini aku harus membasminya!"
Sejak dua belas tahun berselang, raja hewan sudah senang sekali menjelajah
daerah yang masih perawan, sejak menemukan lembah ini, secara tak sengaja ia
menemukan sebuah gejala yang sangat mengerikan.
Setiap tengah malam tiba, dari dasar telaga selalu muncul pusaran arus yang
besar dan kuat, disusul kemudian munculnya seekor naga yang berwajah
mengerikan.
Tiap kali naga seram itu membuka mulutnya, sebuah bola api yang
memancarkan cahaya api selalu muncul dan mengembang di tengah udara,
seakan-akan sedang menghisap inti rembulan.
Keadaan seperti ini biasanya akan berlangsung selama satu dua jam, sebelum
akhirnya bola api itu ditelan kembali dan sang naga menyelam ke dasar telaga.
Dalam terkejut bercampur ngeri, raja hewan bersumpah akan membasmi
makhluk itu agar tidak sampai mencelakai banyak orang.
 
Sayang dia hanya seorang diri, kemampuannya sangat terbatas, ditambah lagi
dia tak pandai ilmu berenang, dalam keadaan begini terpaksa ia balik kembali ke
dunia persilatan, ia punya rencana akan mencari seorang pemuda yang berbakat
agar bisa dididik untuk menjadi pembantunya.
Ketika akhirnya ia menemukan Cau-ji dan melihat bocah itu memiliki bakat
alam, tanpa ragu lagi dia culik bocah itu dan dibawa pulang.
Mula-mula raja hewan bermaksud melatih Cau-ji dengan ilmu berenang, agar
di kemudian hari ia punya kemampuan untuk bertarung di dalam air, siapa
sangka ternyata Cau-ji sangat mahir dalam ilmu berenang.
Maka dia pun putuskan untuk menggunakan empedu ular sanca ditambah
khasiat pil Tay-huan-wan untuk memupuk dahulu dasar kekuatan tubuh si
bocah, agar di kemudian hari bocah itu memiliki kekuatan yang dahsyat untuk
membunuh naga sakti itu.
Waktu itu matahari senja telah bersembunyi di balik bukit, suasana di dalam
lembah diliputi kegelapan yang luar biasa.

Tanpa berkedip raja hewan mengawasi terus gerak gerik naga tersebut, tibatiba
ia saksikan tubuh sang naga yang berwarna hijau tua dengan lingkaran
cahaya putih di sekelilingnya mulai muncul dari permukaan air, diam-diam ia
merasa sangat kegirangan.
Rupanya tubuh bagian itulah merupakan titik kelemahan dari naga sakti
tersebut, justru karena selama ini sangat sulit untuk memancing si naga agar
memperlihatkan bagian tubuhnya yang paling lemah, maka selama ini sama
sekali tak ada kesempatan untuk membasminya.
Sambil menahan rasa girang yang luar biasa, si raja hewan mengawasi terus
lingkaran putih di tubuh naga yang makin lama membengkak semakin besar
lantaran melalap bangkai ular sanca, pisau belatinya segera digenggam semakin
kencang.
Mendadak ia membentak keras, pergelangan tangan kanannya segera
diayunkan ke muka ... "Sreeet!" diiringi kilatan cahaya tajam yang menyilaukan
mata, pisau belati itu langsung menghajar tepat di sasaran.
Terluka oleh serangan maut itu, rupanya si naga sakti kesakitan setengah
mati, tubuhnya bergulingan di atas permukaan hingga menimbulkan gelombang
arus yang luar biasa kerasnya, sementara bangkai ular sanca masih ada lima
enam kaki panjangnya yang belum sempat tertelan segera diobat-abitkan
keempat penjuru.
Secara beruntun raja hewan melepaskan dua bilah pisau belati lagi, sayang
waktu itu si naga sudah menyelam kembali ke dasar telaga.
"Criiing, criiinggl* dua dentingan nyaring diiringi percikan bunga api menyebar
ke udara, kedua belah pisau belati itu menghajar telak di atas sisik tubuhnya
yang tebal dan mencelat ke arah lain.
Agaknya naga sakti itu sudah menemukan tempat persembunyian si raja
hewan, mendadak dia goyangkan kepalanya ke belakang, ekor bangkai ular
sanca yang belum tertelan itu secepat petir langsung menyambar tiba.
Dalam waktu singkat raja hewan merasa datangnya tenaga himpitan sebesar
tindihan gunung Thay-san yang menghantam tiba, terkejut bercampur seram
buru-buru kakek itu melompat ke belakang untuk meloloskan diri.
Walaupun ia berhasil menghindari sapuan maut itu, tak urung tubuhnya
mundur juga beberapa langkah dengan sempoyongan karena terhajar sisa
tenaga sapuan binatang itu.
Gagal dengan serangannya yang pertama, naga sakti itu tampak tidak puas,
lagi-lagi dia goyangkan kepalanya melakukan sebuah sapuan lagi.
Mimpi pun si raja hewan tidak menyangka kalau binatang tersebut masih
memiliki tenaga serangan yang begitu dahsyat kendati tubuhnya sudah terluka
parah, buru-buru dia berkelit lagi ke belakang.
Naga sakti yang sudah bangkit amarahnya menyerang semakin membabi
buta, tanpa perdulikan luka parah yang diderita serta ganjalan bangkai ular
yang masih belum sempat tertelan semua, dia melancarkan sapuan maut
berulang kali.
Gelombang arus yang maha dahsyat segera menggelora di permukaan telaga,
keadaannya mengerikan sekali.
Si raja hewan segera menjumpai permukaan tanah yang semula kering, saat
ini sudah tiga puluh persen terendam air, keadaan tersebut bukan saja
menambah dahsyatnya kekuatan daya serangan dari si naga, bahkan membuat
gerak gerik sendiri semakin tak leluasa
Setengah jam kemudian, permukaan air sudah naik setinggi lutut, si raja
hewan yang tak pandai ilmu berenang mulai panik dan ketakutan.

Sekalipun sapuan maut yang dilancarkan naga sakti itu berhasil dihindari
semua, tapi pukulan gelombang air yang menghajar tubuhnya membuat sekujur
badannya kesakitan, gerak geriknya semakin lamban, terhambat dan tidak
leluasa.
Sementara situasi bertambah kritis, mendadak terdengar suara pekikan aneh
berkumandang dari balik lembah.
Raja hewan kegirangan, buru-buru dia bersiul mengeluarkan suara pekikan
yang nyaring.
Tiba-tiba burung aneh raksasa itu muncul dari balik lembah, kemudian
sambil berpekik keras, ia menukik ke bawah dan menyambar kepala naga sakti
itu.
Si naga segera mengegos ke samping, bukan saja lolos dari gigitan si burung,
malahan dengan menggunakan ekor bangkai ular sanca, ia balas melancarkan
serangan.
Pertempuran sengit antara burung elang raksasa melawan naga sakti pun
segera berlangsung dengan hebatnya.
Waktu itu kondisi badan si raja hewan sudah kelelahan, bukan saja rasa
kaget dan ngerinya belum hilang, hawa murninya juga terkuras banyak, buruburu
dia menelusuri dinding tebing dan kabur masuk ke dalam gua.
Lebih kurang setengah jam kemudian, dengan susah payah akhirnya dia
berhasil merangkak balik ke dalam gua, sambil menghembus napas panjang, ia
segera merebahkan diri ke lantai.
Tiba-tiba terdengar pekikan aneh bergema lagi dari arena pertarungan.
"Aduh celaka!" pekik si raja hewan, tergesa-gesa dia merangkak keluar dari
gua untuk memeriksa keadaan, tampak sayap kanan burung elang raksasanya
telah patah, saat itu burung itu sedang terhempas ke sisi dinding tebing.
Melihat musuhnya terluka, naga sakti itu segera menyusul tiba, kembali dia
menyerang dengan menggunakan bangkai ular sanca.
Burung elang raksasa itu nyata memang burung sakti, tiba-tiba ia kebaskan
sayap kirinya sementara kakinya menjejak di atas permukaan air.
Begitu tiba di samping kepala naga itu, tiba-tiba ia mematuk mata kiri
musuhnya.
Pekikan keras kembali bergema di udara, mata kiri naga sakti itu terpatok
telak, dalam sakitnya naga itu menggelengkan kepalanya menyambar ke tubuh
lawan, burung raksasa itu segera terhajar telak.
"Byuuurrr...!" tak ampun burung raksasa itu tenggelam ke dalam telaga,
setelah meronta beberapa kali akhirnya tubuhnya berdiam kaku.
"Hui-ji!" pekik raja hewan amat sedih, tubuhnya gemetar keras saking
tergoncangnya perasaan hatinya.
Burung raksasa itu berhasil ia jinakkan pada dua puluh tahun berselang di
tengah gurun pasir, selama ini binatang itu selalu menyertainya berkelana dan
mengembara ke seluruh penjuru dunia, hubungan batin antara mereka berdua
boleh dibilang sangat mendalam.
Sungguh tak nyana gara-gara ingin menyelamatkan jiwanya, burung tersebut
harus mengorbankan jiwanya.
Dalam pada itu si naga sakti itu sudah menyelam balik ke dasar telaga dengan
kecepatan luar biasa, rupanya ia kuatir akan bertemu lagi dengan musuh
tangguh, suasana di telaga itupun pelan-pelan pulih kembali dalam keheningan.
Dengan perasaan berat sekali lagi si raja hewan mengamati bangkai burung
raksasa itu, kemudian dengan sempoyongan ia balik ke dalam ruangan, selesai
minum obat, dia pun mulai bersemedi mengatur pemapasan.

Lebih kurang dua jam kemudian, ketika ia membuka matanya kembali,
tampak Cau-ji entah sejak kapan sudah mendusin, saat itu sedang mengawasi
ke arahnya dengan pandangan keheranan. Tak tahan ia segera tersenyum. Cauji
balas senyuman itu dengan senyuman penuh persahabatan, kemudian
tegurnya. "Hei setan ular tua, kenapa keadaanmu begitu mengenaskan? Kenapa
burung aneh itu bisa mati?"
Raja hewan tidak mengira kalau cairan empedu ular sanca ditambah pil Tayhuan-
wan yang dicekokkan ke tubuh Cau-ji bisa mendatangkan reaksi begitu
luar biasa, sehingga totokan jalan darah pada hek-tiam-hiatnya bisa dibebaskan
sendiri, tak tahan ia tertawa tergelak.
"Aneh benar orang ini," pikir Cau-ji di dalam hati, "lagi sedih kok malahan
tertawa, jangan-jangan dia sudah gila lantaran kelewat sedih?"
Belum habis ingatan itu melintas lewat, terdengar si raja hewan kembali
sudah menegur: "Hey monyet, sekarang sudah jam berapa?"
"Kalau dilihat keadaan langit, semestinya menjelang fajar, mungkin sekarang
sudah jam 4 pagi!"
"Hahaha ... cepat amat waktu berlalu, padahal ketika bertarung melawan naga
tadi waktu masih tengah malam...."
"Apa? Kau berani berkelahi dengan makhluk ganas itu?"
"Hahaha ... apanya yang menakutkan? Hanya mengandalkan sebilah pisau
belati, lohu telah bertarung habis-habisan melawan binatang itu, coba aku bisa
berenang, sudah sedari tadi aku habisi nyawanya!"
"Tapi makhluk itu kan berdiam diri di dasar telaga, kenapa kau pingin
membunuhnya?"
"Monyet cilik, hingga kini si naga sakti itu belum mencapai puncak
kedewasaan, kalau dibiarkan hidup berapa tahun lagi, dia pasti akan
mendatangkan banyak kerugian bagi umat manusia, paling tidak bisa
menimbulkan banjir bandang!"
"Betul juga ucapanmu setan ular tua, kemarin aku sempat melihat betapa
dahsyatnya gelombang air yang ditimbulkan sewaktu binatang itu muncul. O ya
... apa yang terjadi dengan burung raksasamu? Kenapa bisa mati?"
"Burung itu mati gara-gara menolongku sewaktu nyawaku terancam, setelah
bertempur satu jam lebih, walaupun Hui-ji berhasil mematuk mata lawannya
sampai buta, sayang dia sendiripun tewasl"
Bergolak darah panas dalam tubuh Cau-ji. sambil menggertak gigi serunya:
"Makhluk itu benar-benar bedebah, kalau ada kesempatan, aku bersumpah
akan membasminya."
Diam-diam raja Hewan merasa kagum sekali dengan semangat jantan bocah
itu, katanya sambil tertawa: "Hey monyet cilik, lambung makhluk aneh itu sudah
termakan sebuah tusukanku, sampai waktunya, asal kau cabut keluar pisau
belati itu maka dia pasti akan segera mampus!"
Mendengar ucapan tersebut Cau-ji kegirangan, ia segera melompat bangun
dan siap keluar dari dalam gua.
"Hey, mau apa kamu?" si raja hewan segera menegur.
"Terjun ke telaga dan membunuh makhluk aneh itul"
"Tidak bocah, sekarang arus bawah telaga sangat deras dan kacau,.
Sementara kekuatanmu belum mencapai pada puncaknya, kepergianmu bisa
mendatangkan celaka buat diri sendiri."
"Tapi... jika makhluk itu sanggup menghilangkan pisau belati yang menancap
di lambungnya, bukankah keenakan baginya?"

"Hahaha ... belati itu menghujam tepat di titik kelemahannya, lohu jamin
mulai sekarang dia tak berani sembarangan bergerak lagi, hanya saja, bila belati
itu mulai berkarat dan akhirnya patah, maka saat itulah dia bakal munculkan
diri kembali."
"Butuh waktu berapa lama pisau belati itu menjadi berkarat dan akhirnya
patah?"
"Hahaha ... tak usah panik, paling tidak butuh waktu selama sepuluh
tahunan!"
"Hmm, sekarang aku baru berusia sebelas tahun, sepuluh tahun kemudian
aku pasti telah berhasil memiliki kungfu yang hebat, sampai waktunya aku pasti
akan membasmi makhluk itu dari muka bumi."
"Punya semangat!" puji si raja hewan nyaring, "hahaha ... jangan kuatir, lohu
jamin dalam lima tahun mendatang kau pasti sudah mampu terjun ke dalam
telaga dan membantai binatang itu"
"Sungguh?"
"Hahaha ... lohu tak pernah bohong, ayo kita turun dan mengubur bangkai
Hui-ji!"
Cau-ji ikut berjalan keluar gua, tapi ketika melihat selisih jarak antara
permukaan telaga dan permukaan gua mencapai puluhan kaki tingginya, dia
jadi sangsi.
"Hey monyet, kenapa berhenti?" raja hewan segera menegur.
"Aku ... jaraknya begitu tinggi, jika melompat turun, bukankah badanku bakal
hancur berkeping?"
"Hahaha ... monyet cilik, coba periksa sekarang sudah jam berapa?"
Cau-ji mendongakkan kepalanya memeriksa letak bintang di langit, kemudian
sahutnya: "Sekitar jam empat pagi."
"Hahaha ... jam empat pagi mestinya merupakan saat yang paling gelap,
kenapa kau bisa melihat bangkai Hui-ji dengan sangat jelas?"
"Aaah benar, kenapa aku tidak perhatikan hal ini? Tapi... sebenarnya apa
yang telah terjadi?"
"Hahaha ... kau masih ingat dengan ranjang batu yang kau gunakan untuk
tidur? Sebetulnya ranjang itu merupakan sebuah benda mestika dari dunia
persilatan, bukan saja dapat menyembuhkan pelbagai luka, juga bisa menambah
tenaga dalam seseorang."
"Oooh, rupanya ranjang itu barang mestika, aku masih mengira ibu
membohongi aku."
Raja hewan tahu kalau bocah ini rasa ingin tahunya sangat besar, maka dia
sengaja mengarang sebuah cerita tentang ranjang batu untuk membohonginya,
tentu saja dia tak tahu kalau dalam kenyataannya, bocah itu memang benarbenar
memiliki sebuah ranjang batu di rumahnya.
Maka sambil tertawa kembali ujarnya: "Hey monyet cilik, sudah melihat
dengan jelas?"
Sambil berkata ia segera melompat turun ke bawah tebing.
Cau-ji tidak menyangka orang itu langsung berangkat begitu selesai bicara,
buru-buru dia melongok ke bawah.
Tampak tubuh si raja hewan meluncur turun dengan cepatnya, tapi setiap
berapa kaki dia selalu melepaskan sebuah pukulan ke dinding untuk
menghambat gerak laju tubuhnya yang meluncur, setelah melepaskan pukulan
yang kesekian kalinya, kekuatan tubuhnya yang meluncur ke bawah semakin
perlahan dan lambat.

Menjelang tiba di permukaan tanah, sekali lagi dia lepaskan sebuah pukulan
ke atas tanah, begitu serangan dilepas, tubuhnya melayang turun semakin
lambat sehingga dia bisa hinggap di bawah dengan santainya.
Cau-ji merasa sangat kagum dengan kemampuan kakek itu, sementara dia
masih melamun, tiba-tiba terdengar si raja hewan membentak nyaring: "Hey
monyet cilik, ayo cepat turun!"
Memandang bayangan tubuhnya yang kelihatan kecil di dasar tebing itu, tibatiba
Cau-ji merasa hawa dingin merasuk ke dalam tubuhnya, tanpa sadar ia
tarik mundur badannya.
"Kenapa monyet? Kau ketakutan?" ejek si raja hewan.
Dirangsang dengan ucapan yang bernada ejekan itu, Cau-ji merasa hawa
panas membara di rongga dadanya, sambil menggertak gigi ia segera melompat
ke bawah.
Terdengar desiran angin tajam menderu di sisi telinganya, begitu tajam
suaranya membuat ia merasa kendang telinganya amat sakit
"Hey monyet, cepat lancarkan pukulan ke dinding tebing!" kembali si raja
hewan berteriak.
"Aaah, betul" batin Cau-ji, "bagaimana sih aku ini? Kenapa lupa memukul ke
dinding?"
Dalam gugupnya buru-buru dia hajar tebing karang itu kuat-kuat
"Blaaammm!" diiringi suara benturan dahsyat, tebing karang yang kuat lagi
keras itu segera terhajar hingga muncul sebuah liang yang amat dalam, percikan
batu dan pasir memancar hingga kejauhan berapa kaki.
Cau-ji sama sekali tidak menyangka kalau dia memiliki kemampuan
sedahsyat itu, untuk berapa saat bocah itu jadi tertegun.
Selama ini dia hanya tahu kalau kekuatan tenaga pukulannya hanya mampu
menghancurkan sebutir batu kecil, tapi mengapa secara tiba-tiba kekuatan
badannya bisa bertambah beratus kali lipat lebih dahsyat.
Sementara dia masih termenung, tubuhnya telah meluncur ke bawah dengan
kecepatan tinggi.
"Hey monyet, kau bosan hidup? Cepat lancarkan pukulan lagi!"
Dalam kagetnya sekali lagi Cau-ji melepaskan pukulan, tapi ia segera
menjumpai badannya berada di sebuah tebing sempit yang dijepit dua tebing
tinggi, untuk sesaat ia jadi bingung harus melepaskan pukulan ke arah tebing
yang mana.
"Hey monyet, cepat lompat ke air!"
Ketika menengok ke bawah, Cau-ji menjumpai tubuhnya sedang meluncur ke
atas permukaan telaga, dalam kagetnya ia berjumpalitan beberapa kali di udara
kemudian mendayung ke samping dan melontarkan badannya ke arah
permukaan air.
"Bruuurr ...!" diiringi percikan air, Cau-ji tercebur ke dalam telaga, buru-buru
dia berenang naik ke atas permukaan.
Menanti hingga bocah itu sudah menongolkan kepalanya dari permukaan air,
raja hewan baru bisa menghembuskan napas lega sambil tertawa terbahakbahak.
Menggunakan kesempatan itu Cau-ji berenang menuju ke sisi bangkai burung
elang raksasa, kemudian sambil memegangi bangkai tersebut, ia berenang balik
ke tepi telaga.
Raja hewan segera membuat sebuah liang besar untuk mengubur bangkai
burung kesayangannya, ketika semuanya telah selesai, ia baru berkata: "Hey

monyet, kau membuat aku jantungan, untung tidak mampus gara-gara
menguatirkan keselamatanmu."
"Aku sendin juga kurang tahu kalau kekuatanku mendadak bisa bertambah
hebat...." sahut Cau-ji dengan wajah bersemu merah.
"Hahaha ... bukankah lohu sudah bilang, kesemuanya ini berkat jasa dari
ranjang batu?"
"Tapi ... kenapa kau sendiri tidak bisa memukul tebing karang itu hingga
hancur seperti pukulanku?"
"Tentu saja berbeda, aku memukul dinding batu karang hanya bertujuan
menghambat laju kecepatan daya luncur tubuhku, seperti orang lagi makan
bubur, tenaganya pasti berbeda ketika makan nasi, dan lagi aku toh tak pandai
berenang, coba kalau aku yang tercebur ... mungkin sudah mati tenggelam
sedari tadi...."
Merah padam selembar wajah Cau-ji, dia melengak dan untuk sesaat tak tahu
bagaimana harus menjawab.
"Hahaha ... padahal kau tak bisa disalahkan," kembali raja hewan berkata,
"bagaimanapun juga kau tak lebih hanya seorang bocah berusia sepuluh tahun.
Makanya lain kali kau mesti belajar bagaimana mengendalikan tenaga pukulan,
mengerti?"
"Mengerti, akan kuingat terus!"
"Hey monyet," tiba-tiba si raja hewan berkata lagi sambil tertawa, "coba lihat,
bukankah naga sakti itu tak berani keluar lagi?"
"Ya, benar, tampaknya binatang itu terluka parah. Ah betul, bukankah kau
akan mengajari aku bagaimana cara menuruni dasar telaga dengan arus yang
deras itu untuk membunuh naga tersebut?"
"Tidak usah terburu napsu, ayo duduk, kita bicara dulu."
"Baik, aku akan bicara duluan, tapi nanti kau mesti cerita juga siapa dirimu
yang sebenarnya."
"Hahaha ... bukankah lohu sudah memperkenalkan diri?"
Tidak bisa, kau hanya menyebut nama serta julukanmu, paling tidak kau
mesti jelaskan kenapa menangkap aku dan membawanya kemari, kau harus
jelaskan alasannya agar aku tak jadi orang yang kebingungan."
"Baik, baik, sekarang kau bicara dulu."
Maka secara ringkas Cau-ji menceritakan asal-usulnya serta bagaimana dia
mengikuti bibinya Go Hoa-ti berkelana dalam dunia persilatan untuk mencari
pengalaman.
Dia memberi penjelasan secara terperinci, tanpa terasa ketika selesai bicara,
fajar telah menyingsing.
"Oooh ... rupanya kau adalah keturunan dari Ong Kim-seng, Ong-locianpwe,"
gumam si raja hewan kemudian.
Begitu tahu kalau kakek tersebut kenal dengan kakeknya, Cau-ji jadi
kegirangan setengah mati, serunya tak tahan: "Silu ... ooh, locianpwe, ternyata
kau kenal dengan Ong-yayaku?"
"Hahahaha ... Ong-locianpwe sangat termashur dalam dunia persilatan, baik
ilmu silatnya maupun watak dan sepak terjangnya, mana berani lohu
melupakan kebaikan budinya? Aah benar, tadi kau menyinggung soal bibimu Go
Hoa-ti, apakah dia memiliki julukan sebagai Kim-leng kim-hiap, Pendekar emas
dari kota Kim-leng?"
"Soal ini... Cau-ji kurang jelas."

"Aaah masa iya? Bukankah bibimu sengaja mengajakmu berkelana untuk
mencari pengalaman, masa ... Aduh, jangan-jangan dia adalah perempuan yang
kutotok jalan darahnya kemarin?"
"Benar Mungkin tidak dia ditangkap orang jahat?"
"Soal ini... aaah, semuanya kesalahan lohu kenapa kelewat berangasan dan
gegabah."
"Locianpwe, bagaimana kalau kita pergi mencarinya sekarang?"
"Cau-ji, kau anggap tempat ini berada di luar kota Chi-lam? Terus terang, kita
berada di gunung Wu-san, gunung Wu-san itu terletak di selat Sam-shia di
sungai Tiangkang, paling tidak selirih jarak ribuan li dari kota Chi-lam."
"Aaah, mana mungkin? Masa dalam semalaman kita bisa berada di tempat
yang begitu jauh?"
"Hahaha ... Hui-ji adalah seekor burung sakti, apa anehnya dalam semalaman
terbang sejauh ribuan li?"
"Waah, sekarang Hui-ji sudah mati, berarti kita tak mungkin bisa balik ke
sana secepatnya?"
"Yaa, kita hanya bisa berharap dia tidak menjumpai peristiwa yang jelek."
"Locianpwe," tiba-tiba Cau-ji berseru sambil melotot, "sekali lagi ingin
kukatakan, bila bibiku sampai terkena musibah, maka kau harus bertanggung
jawab."
"Baik, aku akan bertanggung jawab," sahut raja hewan cepat
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya: "Cau-ji, lohu akan mengajak
kau menuju ke sebuah tempat berlatih silat sementara kau berlatih untuk
menguasai ilmu yang tinggi, lohu akan berkunjung ke rumahmu."
"Bagus sekali, tolong sampaikan kepada orang rumah, katakan jika aku
berhasil membunuh binatang tersebut, aku pasti akan pulang ke rumah."
"Hahahaha ... pasti akan kusampaikan, ayo kita segera berangkat!"
Selesai bicara, dia segera bergerak menuju ke arah hutan.
Melihat itu buru-buru Cau-ji mempercepat langkahnya mengintil di belakang
kakek itu.
Siapa tahu begitu dia kerahkan tenaganya, gerakan tubuhnya jadi cepat
sekali, malahan berhasil melampaui si raja hewan yang telah berangkat duluan,
sekali lagi dia tertegun dibuatnya.
"Jangan kaget berkat ranjang batu!" bisik raja hewan sambil tertawa.
Cau-ji manggut-manggut, dia mengira keberhasilannya benar-benar berkat
khasiat ranjang batu, maka dia pun mengatur napas dan berusaha mengintil di
belakang raja hewan dengan satu jarak tertentu.
Sesudah melewati sebuah celah bukit yang sangat landai, lambat laun
permukaan tanah makin tinggi dan semakin curam.
Sesaat kemudian tibalah mereka di depan sebuah tebing bukit yang sangat
tinggi.
Tebing itu dipenuhi pohon siong serta beberapa air terjun yang sangat tinggi,
selain indah pemandangan alamnya, udara pun terasa amat segar.
Raja hewan berhenti di tepi kolam, diteguknya air jernih itu satu tegukan, lalu
ujarnya sambil tertawa: "Cau-ji, minumlah satu tegukan, airnya segar dan manis"
Setelah melalui perjalanan sekian waktu, sebenarnya Cau-ji mulai merasa
kehausan, maka tanpa banyak buang waktu dia segera meneguk air itu berapa
tegukan, benar juga, air itu terasa segar dan manis.
Dalam pada itu si raja hewan sedang mengamati air terjun di hadapannya
dengan termangu.

Melihat keadaan kakek itu, dengan keheranan Cau-ji segera menegur
"Locianpwe, apa yang sedang kau pikirkan?"
Seperti baru sadar akan sikapnya, buru-buru si raja hewan berkata sambil
tertawa: "Cau-ji, di belakang air terjun itu terdapat sebuah gua, gua itulah
tempat yang cocok bagimu untuk belajar ilmu, kau takut dingin tidak?"
"Takut? Sewaktu masih berada di pesanggrahan Hay-thian-it-si, biar di musim
dingin yang membeku pun saban hari Cau-ji tetap pergi berenang."
"Bagus, jadi kau tidak takut menderita?"
"Cau-ji bertekad ingin belajar ilmu kungfu yang hebat biar mesti lebih
menderita pun aku tidak takut!"
"Bagus sekali, bawalah serta dua botol obat ini, bila kau merasa lapar atau
kedinginan, makanlah satu butir!"
Sambil berkata ia keluarkan dua buah botol obat dan diserahkan ke tangan
Cau-ji.
Cau-ji segera menerima botol obat itu dan dimasukkan ke dalam saku,
kemudian ujarnya: "Locianpwe, setelah berada dalam gua, apa yang mesti Cau-ji
latih? Apakah kau akan menyerahkan kitab pusaka ilmu silat kepadaku?"
"Hahaha ... kau boleh berlatih apa saja yang ingin kau latih."
"Aaah, mana ada cara berlatih ilmu silat macam begini?"
"Hahaha ... sesudah berada dalam gua, kau akan tahu dengan sendirinya, jika
suatu ketika kau merasa sudah tak ada yang bisa dilatih, keluarlah dari gua
tersebut. Mengerti? Nah, sekarang bersiaplah untuk masuk ke dalam gua."
"Locianpwe, jadi kau belum pernah masuk ke dalam gua itu?" tanya Cau-ji
keheranan.
"Belum pernah! Aku hanya pernah sampai di mulut gua, tapi begitu terkena
hembusan angin kuat serta aliran hawa dingin yang muncul dari balik gua, aku
segera lari ketakutan."
"Kau ... kau bukan lagi bergurau dengan Cau-ji bukan? Dengan ilmu silatmu
yang begitu hebatpun tak berani masuk, apalagi aku?"
"Hahaha ... anak muda, tubuhmu ibarat segumpal api, sementara aku si tua
bangka ibarat api yang hampir padam, jangan kuatir, tak nanti lohu
mencelakaimu."
"Locianpwe, biarpun kau belum pernah bercerita tentang dirimu, tapi Cau-ji
percaya kau bukan orang jahat, selamat tinggal!"
Begitu selesai berkata, ia segera melompat ke atas batu cadas yang amat besar
itu.
Sementara si raja hewan mengawasi terus hingga bayangan tubuh bocah itu
lenyap dari pandangan, kemudian ia bersila dan mulai mengatur pernapasan.
Tampaknya dia pingin membuktikan apakah Cau-ji akan mengundurkan diri
dari tantangan itu atau tidak.
Sementara itu Cau-ji sudah tiba di belakang air terjun itu, sekarang dia baru
dapat melihat dengan jelas bahwa tebing tersebut punya lekukan yang cukup
dalam di bagian punggungnya, sementara puncak tebing menjorok keluar maka
bagian bawahnya justru menjorok jauh ke dalam.
Pelan-pelan ia berjalan menuju ke dasar tebing, suasana di situ kelihatan
sangat redup karena minimnya cahaya, rotan dan duri tumbuh melingkari batu
cadas, lumut hijau terhampar bagaikan sebuah karpet raksasa, begitu licinnya
tempat itu, orang bisa tergelincir jika berjalan kurang hati-hati.
Cau-ji berjalan menuju ke sisi tebing, dengan berpegangan pada rotan yang
tumbuh di sekelilingnya ia mulai menelusuri tempat itu.

Tiba-tiba dari sisi sebelah kiri ditemukan sebuah celah retakan tebing, dari
balik celah itu memancar keluar sinar terang, maka Cau-ji pun segera mengikuti
arah datangnya cahaya itu dan masuk ke dalam celah.
Ternyata celah gua itu lebarnya tak sampai empat lima depa dengan
kedalaman dua kaki, terlihat setitik cahaya terang memancar keluar dari balik
celah itu.
Cau-ji pun meneruskan rambatannya menuruni celah tadi. baru tiba di dasar
celah, tiba-tiba kaki kanannya menginjak tempat kosong, nyaris dia tergelincir
ke bawah.
Ketika bocah itu dapat menguasai diri dan melongok ke bawah, terlihatlah
sebuah mulut gua yang gelap gulita muncul dari sisi kanannya.
Gua itu tidak diketahui seberapa dalamnya, tapi dipandang dari kejauhan
secara lamat-lamat ia dapat menangkap segumpal cahaya berbentuk bulat
muncul dari balik kegelapan gua itu.
Terdorong oleh rasa ingin tahunya yang besar, Cau-ji menerobos masuk ke
dalam gua itu melalui celah yang sempit, ketika kakinya menginjak di dasar gua,
segera bergema suara gemersik hingga ke seluruh gua.
Semakin menerobos masuk ke balik celah sempit itu, kedengaran suara
gemericik air yang makin lama semakin bertambah jelas.
Cau-ji mulai merasa kesulitan untuk melanjutkan rambatannya memasuki
celah tersebut, sementara suasana dalam lorong pun makin lama makin
bertambah gelap, permukaan jalan yang tak merata semakin memperberat
medan yang harus dilalui, bila kurang hati-hati berjalan, bisa jadi bocah itu
akan terjungkal balik.
Mendadak bergema suara gemerisik yang sangat keras dari balik gua, disusul
kemudian terdengar suara cicitan yang aneh, bau amis yang amat menyesakkan
napas tiba-tiba menyembur datang dari arah depan.
Cau-ji terkejut sekali, dia tak tahu makhluk aneh apa yang datang menyerang,
untuk menjaga diri, buru-buru dia lontarkan sebuah pukulan dengan tangan
kanannya.
"Ciit ...ciit ...ciit" diiringi suara mendekat yang ramai, rupanya ada satu
rombongan kelelawar yang terbang melintas lantaran merasa terusik.
Setelah tahu jika cuma rombongan kelelawar, Cau-ji menghembuskan napas
lega, tak urung kejadian tadi meningkatkan kewaspadaannya, siapa tahu di
belakang rombongan kelelawar masih akan muncul makhluk lainnya yang lebih
menyeramkan?
Semakin berjalan ke dalam, semakin banyak rombongan kelelawar yang
bersampokan dengan tubuhnya, lama kelamaan jengkel juga hati Cau-ji,
pikirnya: "Tempat apaan ini? Bukan saja permukaan jalan tidak rata, bahkan
hawanya dingin dan kelelawarnya begitu banyak"
Pada saat itulah secara lamat-lamat ia mendengar suara guntur yang bergema
dari balik gua, mula pertama suara itu rendah dan dalam, tapi lama kelamaan
suaranya makin nyaring dan keras, malah disertai juga hembusan angin yang
kencang.
Semakin nyaring suara guruh itu bergema, makin bergetar suasana di tempat
tersebut, bahkan dinding karang pun seakan ikut bergoyang.
Tak terlukiskan rasa kaget Cau-ji menghadapi situasi seperti ini, untuk sesaat
dia tak tahu apa yang mesti diperbuat, ia merasa deruan angin yang berhembus
makin lama semakin bertambah besar, malahan disertai pula dengan hawa
dingin yang merasuk tulang.

Dalam posisi seperti ini, secepat kilat Cau-ji tempelkan badannya di atas
dinding tebing, dia berusaha menempel sangat rapat agar tak tersapu hembusan
angin tajam itu.
Siapa tahu hembusan angin dingin yang semula menerjang langsung dari
muka, tiba-tiba berubah arah, diiringi suara menggelagar yang memekikkan
telinga, angin dingin itu mulai berputar dan makin kencang putarannya sehingga
akhirnya berubah jadi hembusan angin puting.
Pusaran angin berputar itu bukan saja mengangkat permukaan air di dalam
gua, bahkan disertai juga dengan pusaran pasir, debu serta batu kerikil yang
berputar di seluruh rongga gua.
Buru-buru Cau-ji berpegangan di atas dinding gua, sayang dinding karang
sangat licin, lama kelamaan ia tak sanggup menahan diri dari gulungan angin
itu dan akhirnya ia merasa badannya seakan-akan tergulung dalam pusaran
angin berpusing itu.
Tak selang berapa saat kemudian seluruh badannya sudah terangkat dan
tertelan di balik pusaran angin berpusing yang maha dahsyat itu, tubuhnya yang
berulang kali membentur di dinding karang, bukan saja membuat tubuhnya
terluka, pakaian yang dikenakan pun mulai tercabik-cabik.
Keadaannya saat itu tak ubahnya seperti pakaian dalam mesin cuci, semakin
berputar makin bertambah cepat, nyaris ia tak bisa bernapas.
Masih untung Cau-ji bukan anak bodoh, sadar kalau kondisinya gawat, cepat
dia menarik napas panjang dan melindungi jantungnya dengan hawa murni,
coba tidak bertindak begitu, mungkin dia sudah pingsan sejak tadi.
Rupanya pusaran angin berpusing itu merupakan hembusan angin puyuh
yang sangat alami, angin macam begini hampir setiap hari dua kali melanda di
dalam gua.
Biasanya bila angin puyuh mulai berputar maka satu jam kemudian pengaruh
angin itu akan lenyap dengan sendirinya.
Jika orang biasa yang tersapu angin berpusing ini, dapat dipastikan orang itu
akan segera mati tercincang.
Masih untung Cau-ji masih perjaka, selain itu baru saja menelan empedu ular
sanca dan menelan pil Tay-huan-wan yang mujarab dari Siau-lim-si, tak heran
jika tubuhnya sama sekali tidak terluka.
Begitulah, Cau-ji yang tertelan gulungan angin puyuh segera merasakan isi
perutnya seakan dikocok keras, ia merasa tubuhnya bergetar keras, diiringi
jeritan keras pingsannya anak itu.
Entah berapa lama sudah lewat ... ketika sadar kembali dari pingsannya, Cauji
merasakan seluruh kulit tubuhnya sakit, tapi ketika ia coba menggerakkan
badannya, ternyata tulang belulangnya tetap utuh, malah rasanya segar sekali.
Dalam girangnya ia segera melompat bangun.
"Blaaam ...I" tiba-tiba kepalanya membentur langit-langit gua.
Benturan itu sangat keras dan kuat, membuat Cau-ji menjerit kesakitan,
sambil meraba kepala sendiri, serunya: "Waah... untung kepalaku tidak keluar
darah."
Ketika dia mencoba untuk mengawasi langit-langit gua, dijumpainya bekas
benturan itu sudah muncul sebuah liang dalam bekas kepalanya.
"Heran, apa yang telah terjadi?" kembali dia berpikir, "memangnya aku sudah
berubah jadi si hwesio kepala baja?"
Sementara dia masih termenung, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang
merintih, ketika diamati lebih seksama, ia mendengar suara itu seperti sedang
memanggilnya: "Sau... saudara... ci... cilik.."

Cau-ji tersentak kaget dalam keadaan begini, berdiri juga bulu kuduknya, dia
mengira ada setan gentayangan yang sedang memanggil namanya.
"Sau... saudara... ci... cilik...."
"Kau... siapa kau...? Ma... manusia atau setan?"
"Aku... aku manusia...."
Cau-ji menghembuskan napas lega, pelan-pelan dia mulai memeriksa keadaan
sekelilingnya sembari mencari sumber datangnya suara panggilan itu.
"Hey, kau berada dimana?"
"Di... di sini ..."
Sekali lagi Cau-ji mencari dengan teliti, akhirnya ia jumpai adanya sebuah
celah bulat selebar dua depa yang berada di atas dinding sebelah kiri, dengan
rasa gembira ia dekati lubang itu dan melongok ke dalam.
"Haha... setan!" jeritnya kemudian.
Ternyata di balik lubang itu tidak nampak apa-apa, yang terlihat cuma sebuah
raut muka yang ditutupi rambut kusut
Setelah mendengar jeritan kaget dari Cau-ji, orang yang berada dalam gua itu
buru-buru membenahi rambutnya sehingga Cau-ji dapat melihat sebuah raut
muka yang dekil.
Biarpun rambutnya kusut lagi kotor, orang itu mempunyai panca indera yang
sempurna dan jelas, terutama model hidung dan bibirnya, membuat siapapun
yang melihat segera timbul perasaan simpatik.
"Siapa kau?" kembali Cau-ji menegur.
Tampaknya orang itupun baru saja tersiksa oleh pusaran angin berpusing
yang dingin lagi kuat itu, kini dia sedang mengatur napas untuk mengembalikan
kondisinya, setelah agak pulih orang itu baru tertawa seram.
Suara tertawanya sangat mengerikan, di balik seram terselip perasaan sedih,
pedih, marah dan rasa dendam yang luar biasa.
Jangan dilihat usia Cau-ji masih sangat muda, namun dia pun dapat
menangkap perasaan sedih dan pedih yang luar biasa di balik tertawa orang itu,
ia tahu orang tersebut tentu sudah menderita luka dalam yang amat parah.
Diam-diam ia periksa sakunya, lalu pikirnya dengan perasaan girang: "Aaah,
untung kedua botol obat pemberian raja hewan masih utuh!"
Maka diambilnya sebuah botol obat itu lalu tanpa banyak bicara dilontarkan
ke arah orang tersebut.
Baru saja orang itu selesai tertawa ketika tiba-tiba melihat ada sebuah botol
kecil dilontarkan ke arahnya, buru-buru dia sambar botol tersebut, dibuka
penutupnya dan dibau isinya, setelah itu serunya: "Aaah, pil ini adalah pil
seratus hewan Pek-siu-wan milik Oh Lo-koko, kau kenal dengan si raja hewan?"
"Benar," ia mengangguk, "dia memanggilku Cau-ji!"
"Ya, kalau toh kita adalah orang sendiri, biarlah kuterima pemberianmu ini,"
gumam orang tersebut kemudian, "tampaknya Thian maha agung, beliau telah
meluluskan permohonanku."
Sekaligus dia telan tiga butir Pak-siu-wan. kemudian baru menyodorkan
kembali botol obat itu ke tangan Cau-ji.
"Aku masih punya sebotol lagi, simpanlah botol itu untukmu" seru Cau-ji
sambil menunjukkan botol obat kedua.
Setelah menelan pil Pek-siu-wan, orang itu merasa semangatnya menjadi
segar kembali, dia segera tertawa tergelak.
"Terima kasih banyak saudara cilik, dua jam lagi pusaran angin berpusing
kembali akan menyerang, sambil menunggu mari kita berbincang-bincang."

"Apa?" teriak Cau-ji kaget setelah mendengar perkataan itu, "angin berpusing
itu bakal menyerang lagi?"
"Benar, tiap tengah malam dan tengah hari angin berpusing itu akan
menyerang selama satu jam lebih, saudara cilik, gunakan kesempatan ini untuk
mengatur pernapasan!"
Selesai bicara, ia segera pejamkan mata, duduk bersila dan mulai mengatur
pernapasan.
Mimpi pun Cau-ji tidak menyangka kalau angin puyuh berpusing itu bakal
menyerang setiap hari dua kati, membayangkan betapa tersiksanya dia sewaktu
menerima gempuran tadi, diam-diam hatinya bergidik.
Dia mencoba memeriksa keadaan sekililing gua, tapi mana jalan masuk dan
mana jalan keluar sudah tak nampak jelas, dia coba termenung sebentar, lalu
setelah memastikan arah yang dituju, dia pun mulai berjalan kembali.
Bocah itu sama sekali tak tahu kalau perawakan tubuhnya saat ini sudah
membesar berapa kali lipat akibat pengaruh obat empedu ular serta Tay-huanwan
yang diminumnya, ditambah dengan pusingan angin puyuh tadi.
Dengan susah payah akhirnya sampai juga Cau-ji di mulut gua yang sempit
lagi kecil itu, tapi ketika ia mencoba untuk menerobos masuk, hatinya langsung
tertegun, ia temukan badannya sudah menjadi bongsor sehingga tidak muat lagi
untuk masuk ke dalam celah sempit itu.
 
Bab IV. Kisah romantis yang membawa bencana.

Cau-ji menjadi panik bercampur gelisah setelah menjumpai tubuhnya tak
mampu lagi menerobos masuk melalui celah gua, baru saja dia akan
mengayunkan telapak tangannya untuk melancarkan serangan, tiba-tiba dari
kejauhan ia mendengar tibanya suara gemuruh yang sangat memekikkan
telinga.
Dia tahu serangan angin berpusing segera akan tiba, tergopoh-gopoh dia lari
balik ke dalam gua.
Dia harus mencari sebuah posisi sudut tertutup untuk menghindarkan diri
dari terpaan langsung angin puyuh itu.
Sayang dinding karang itu sudah menjadi rata dan bersih karena guratan
angin berpusing yang telah berlangsung ratusan tahun lamanya, boleh dibilang
sama sekati tak ada tempat untuk bersembunyi.
Sewaktu melalui mulut gua, ia sempat melongok sekejap ke dalam, terlihat
orang itu sudah bersila dengan wajah yang jauh lebih segar, terbukti khasiat
dari tiga butir pil Pek-siu-wan sudah mulai bekerja.
Sadar kalau tiada tempat untuk berteduh, Cau-ji pun putuskan untuk
menerima tantangan ini secara nyata, dia sadar, kalau dalam posisi yang tidak
siap seperti tadi pun tak sampai mencabut nyawanya, itu berarti dalam keadaan
siap ia pasti bisa lolos dari ancaman tersebut.
"Maknya, paling banter juga lecet-lecet!" umpatnya tanpa sadar.
Tapi begitu kata "maknya" meluncur dari mulutnya, ia segera melompat kaget.
Sejak kecil ia memperoleh pendidikan yang ketat di rumah, umpatan
"maknya" boleh dibilang baru pertama kali ini meluncur dari mulutnya, untung
tidak di rumah, kalau tidak, hukuman berat pasti akan menimpa dirinya.
Buru-buru ia duduk dengan menempelkan punggungnya di atas dinding
tebing, setelah itu napas mulai diatur dan hawa murni disalurkan ke seluruh
tubuh.

Begitu tarik napas, ia segera menjumpai munculnya segulung hawa murni
yang luar biasa dahsyatnya bagai gelombang samudra muncul dari Tan-tian dan
menyebar ke seluruh badan, belum lagi pikiran bergerak, hawa murni telah
menyelimuti seluruh tubuh.
Kenyataan ini membuat Cau-ji terkejut bercampur girang, buru-buru dia atur
pemapasan dan mulai mengendalikan hawa murninya.
Setengah jam kemudian, ketika sadar kembali dari semedinya, ia merasakan
sekujur badannya enteng dan segar, tak kuasa lagi ia buka mulut ingin berpekik
nyaring.
Sebelum bersuara, tiba-tiba ia dengar suara gemuruh yang sangat mengerikan
telah bergema dari kejauhan, dengan perasaan terkejut buru-buru ia
membaringkan diri bersiap menerima siksaan.
Deruan angin semakin kencang, udara dingin yang merasuk tulang sumsum
makin lama bergerak makin dekat.
Disusul kemudian pusaran angin puting yang berputar kencang menderuderu
di seluruh ruangan, sekali lagi tubuh Cau-ji terombang-ambing kian kemari
membentur dinding karang.
Waktu itu, si manusia misterius yang berada di balik gua tampak mulai
gemetar lagi seluruh badannya, sekalipun dia telah menelan tiga butir pil Peksiu-
wan, namun goncangan yang maha dahsyat tetap menyiksa badannya.
Tak seberapa lama kemudian, seluruh gua kecil itu sudah mulai berputar
keras, tampak orang itu mulai bergulingan ke sana kemari, tapi sambil
menggertak gigi ia tetap mempertahankan diri.
Putaran angin berpusing menderu makin kencang, udara terasa semakin
dingin, ia mulai merasakan peredaran darahnya membeku, ia sadar sebentar lagi
dirinya bakal pingsan.
Untunglah di saat yang amat kritis, deruan angin berpusing bergerak semakin
melemah dan perlahan sebelum akhirnya berhenti, udara dingin yang menusuk
tulang pun semakin mereda sebelum akhirnya lenyap.
Orang misterius itu tahu, ia bisa bertahan tak lain lantaran khasiat tiga butir
pil Pek-siu-wan pemberian saudaranya, terdorong rasa terharu yang amat sangat
tak kuasa lagi air mata jatuh bercucuran.
Dia sama sekali tak mengira Oh-lokonya belum melupakan dirinya walau
sudah berpisah sepuluh tahun, bahkan berusaha mengirim orang untuk
mengantar pil Pek-siu-wan.
Terbayang sampai ke situ, ia segera teringat kembali si bocah yang
dijumpainya tadi, buru-buru dia merangkak bangun seraya berseru: "Saudara ...
saudara cilik.."
"Paman, kau tidak apa-apa bukan?" terdengar dari balik gua bergema suara
nyaring.
"Aaah... syukurlah kau ... kalau tidak apa-apa ...."
Tadi, walaupun Cau-ji harus berhadapan langsung dengan terpaan angin
puting, namun lantaran ia sudah membuat persiapan, maka walaupun pakaian
compang-camping namun tubuhnya tidak lagi tersiksa seperti semula.
Dia merasa hawa murni yang mengalir dalam tubuhnya seakan-akan
membuat kulit badannya lebih tebal, bukan saja tidak terasa sakit, dia pun tidak
merasa kedinginan.
Karena serangan angin puting sudah lewat, bocah itu segera menghampiri
kembali mulut gua.
Tampak orang itu menghembuskan napas lega, kemudian dengan rasa ingin
tahu tanyanya: "Saudara cilik, kenapa kau tidak takut dingin dan tidak sakit?"

Cau-ji sendiri juga tak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi, jawabnya seraya
menggeleng: "Paman, aku sendiripun tak jelas!"
Orang itu mengira Cau-ji adalah murid si raja hewan yang sengaja
mengutusnya untuk menolong dia, maka kembali tanyanya: "Saudara cilik, kau
mengerti ilmu tiam-hiat? Kau bisa membebaskan pengaruh totokan?"
"Bisa!"
"Bagus sekali" teriak orang itu kegirangan, "kalau begitu aku tak usah
menderita lagi."
Setelah berpikir sejenak, kembali ujarnya: "Saudara cilik, jalan darah Ki-hayhiatku
tertotok sehingga aku hanya bisa mengerahkan tiga bagian hawa
murniku untuk melawan hawa dingin, bisakah kau membantuku untuk
membebaskan diri dari pengaruh totokan?"
"Tapi paman ... mampukah aku?" tanya Cau-ji agak sangsi.
"Hahaha ... saudara cilik, kau tidak usah sungkan, bukan sembarangan orang
sanggup menghadapi siksaan angin puyuh berpusing, coba kemari, biar
kuperiksa seberapa dalam tenaga murni yang kau miliki."
Seraya berkata dia membuat satu lukisan lingkaran kecil di sudut kanan
sebelah bawah gua itu.
"Saudara cilik," kembali ujarnya sambil tertawa, "sekarang himpun seluruh
tenaga dalammu, coba kau hantam lingkaran kecil itu."
Kini Cau-ji dapat melihat dengan jelas perawakan tubuh orang itu, meski
pakaiannya compang camping hingga separuh badan bagian atasnya telanjang,
namun kulit badannya sangat putih lagi jangkung, sebuah komposisi perawakan
yang ideal.
Ketika ditunggunya sampai beberapa saat belum juga nampak CaiHi turun
tangan, orang itu segera menegur lagi: "Ada apa saudara cilik? Ada kesulitan?"
"Ohh tidak, tidak, biar kucoba."
Sembari berkata dia segera menghimpun hawa murninya ke dalam telapak
tangan kanan, lalu sebuah pukulan dilontarkan ke arah lingkaran kecil itu.
Tak ada hembusan angin, tak ada pekikan tajam, pukulan tersebut sama
sekali tidak menimbulkan pertanda apapun.
"Blammmm!" tahu-tahu lingkaran kecil itu sudah terhajar telak hingga
muncul sebuah liang yang besar sekali, gua sempit yang semula gelap gulita kini
bertaburkan cahaya tajam yang berkilauan.
"Aaah, ternyata memang barang mestika!" terdengar orang itu bersorak
gembira. Sembari bicara dia maju dua langkah, membungkukkan badan dan
mencabut keluar sebilah pisau belati kecil yang cuma nampak gagangnya.
Pisau belati itu kecil sekali, tapi begitu dicabut keluar dari sarungnya, Cau-ji
segera merasa matanya jadi silau, ternyata bentuk senjata itu hanya sepanjang
jari tengah, pada hakekatnya lebih mirip dengan sebuah senjata piau pendek.
Ketika orang itu menyarungkan kembali belatinya, suasana di dalam gua
kembali tercekam dalam kegelapan yang pekat.
Terdengar orang itu menghela napas panjang, lalu berkata: "Saudara cilik,
benda ini bernama pisau belati Liat-jit-pi, peninggalan zaman Cun-ciu-can-kok."
"Konon, setiap kali benda mestika ini muncul dalam dunia persilatan maka
akan terjadi kekacauan besar di dunia ini, selama berapa tahun terakhir aku
selalu beranggapan bahwa di sini terdapat benda mestika, tak disangka benda
mestika tersebut ternyata adalah benda pembawa bencana."
"Paman, darimana kau bisa tahu kalau di sini terdapat benda mestika?" tanya
Cau-ji keheranan.

"Setiap bulan purnama, di sini pasti kedengaran suara pekikan naga, bahkan
akan muncul hawa dingin yang menusuk tulang, oleh sebab itulah aku menduga
di sini pasti ada barang mestikanya."
"Paman, dengan kekuatan yang kumiliki mampukah membebaskan totokan
jalan darahmu?"
"Oooh, bisa, bisa, lebih dari cukup! Malah aku justru kuatir tenagamu kelewat
besar sehingga aku tak mampu menahan diri. Mari, gunakan separuh saja dari
tenagamu dan coba sekali lagi."
"Baik."
"Blaaammm!" kembali muncul percikan batu cadas dari permukaan gua
sebelah kanan.
Walaupun di dalam kegelapan orang itu tak sanggup melihat sesuatu, tapi ia
bisa menilai kekuatan lawan dari suara pukulannya, terdengar ia bersorak kegirangan:
"Saudara cilik, coba kurangi satu bagian lagi!"
"Blammm!" kembali sisi kiri tanah berbatu itu muncul sebuah liang besar
"Saudara ciiik," kata orang itu kemudian sambil tertawa, "coba gunakan
pukulan dengan kekuatan segitu untuk menepuk jalan darah ki-hay-hiatku."
Sambil berkata ia segera bersiap sedia menerima pukulan.
Cau-ji tidak langsung turun tangan, kembali ujarnya agak sangsi: "Paman,
menurut ayahku, jalan darah ki-hay-hiat adalah jalan darah kematian yang tak
boleh sembarangan dihantam, katanya bila tempat itu dipukul maka akibatnya
yang paling enteng akan kehilangan tenaga dalam dan kalau parah bisa mati."
"Hahaha ... jalan darah ki-hay-hiatku sudah ditotok orang sehingga sebagian
besar tenaga murniku lenyap, sudah sepuluh tahun aku hidup tersiksa di sini,
marilah saudara cilik, dicoba saja!"
"Baik, kalau sampai terjadi apa-apa, kau tak boleh salahkan aku."
"Hahaha ... aku Bwe Si-jin belum pernah menyesali perbuatanku, silahkan
turun tangan."
Sudah sepuluh tahun ia menderita siksaan, selama ini yang ditunggu justru
kesempatan macam begini, asal tenaga dalamnya dapat pulih, bukan saja ia
dapat membalas dendam, yang penting ia bisa mencari jejak kekasihnya Go Hoati.
Cau-ji masih nampak ragu, tapi desakan yang berulang kali dari orang
tersebut memaksa bocah itu harus bertindak.
Setelah konsentrasi sejenak sambil menghimpun tenaga, ia segera lancarkan
sebuah pukulan ke atas jalan darah Ki-hay-hiat di tubuh orang itu.
Diiringi dengusan tertahan, tubuh orang itu segera terpental ke belakang
hingga menumbuk dinding karang.
"Paman, bagaimana keadaanmu?" seru Cau-ji kemudian dengan perasaan
tegang.
Setelah menyeka darah hitam yang meleleh keluar dari mulutnya, orang itu
segera duduk bersila untuk mengatur napas.
Kurang lebih satu jam kemudian, orang itu baru menghembuskan napas
panjang sambil membuka matanya mengawasi Cau-ji.
Bocah itu segera merasakan datangnya dua sinar tajam bagaikan aliran listrik
yang menembusi jantungnya, dengan hati berdebar pikirnya: "Tajam amat
pandangan mata orang ini, rasanya dia tak berada di bawah kemampuan ayah."
Sementara orang itupun merasa girang sekali setelah melihat raut wajah si
bocah yang tampan dan gagah, tak kuasa ia mendongakkan kepalanya dan
tertawa terbahak-bahak.

Cau-ji segera merasakan datangnya tenaga tekanan yang sangat kuat
memancar keluar dari balik suara tertawa itu, begitu kuatnya tenaga tersebut
membuat jantungnya berdetak keras dan badannya sakit
Buru-buru dia kerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi jantung serta
nadi sendiri, lalu secara diam-diam menutup jalan darah di sepasang telinganya.
Setelah tertawa sesaat dengan nyaring, orang itu baru menghentikan gelak
tertawanya, diam-diam ia kaget juga melihat si bocah di hadapannya sama sekali
tak terpengaruh oleh serangan tenaga dalamnya.
Sekarang ia baru yakin bahwa bocah itu memiliki tenaga dalam yang
sempurna, maka pujinya tanpa terasa: "Saudara cilik, tenaga dalammu sungguh
mengagumkan."
"Paman, kau lebih hebat lagi, mungkin ayahku juga masih kalah
dibandingkan kau."
"Aaah betul, saudara cilik, aku belum tahu siapa namamu?"
"Aku dari marga Ong bernama Bu-cau?"
"Hahaha ... namamu sesuai dengan orangnya, hebat, hebat! Boleh tahu siapa
orang tuamu?"
"Ayahku Ong It-huan, ibuku Si Ciu-ing!"
"Ooh, rupanya keturunan dari Ong Sam-kongcu dan Cukat wanita, tak heran
kalau kemampuan saudara cilik sangat hebat Oya, sudah sepuluh tahun aku
tak pernah bersua dengan orang tuamu, mereka baik-baik semua?"
"Terima kasih atas perhatian paman, mereka baik-baik semua. Paman, aku
boleh tahu siapa namamu?"
"Aku dari marga Bwe, bernama Si-jin!"
"Bwe Si-jin? Rasanya seperti pernah mendengar nama ini?" gumam Cau-ji
berulang kali.
Diam-diam Bwe Si-jin merasa bangga juga setelah mendengar perkataan itu,
dia mengira orang masih kagum dengan nama besarnya meski sudah sepuluh
tanun ia terkurung di situ, buktinya seorang anak kecil pun pernah mendengar
nama besarnya.
Tentu saja dia tak mengira kalau Cau-ji justru keluar rumah bersama Go Hoati
yang sedang mengembara mencari jejaknya, justru karena ia sering mendengar
bibinya menyebut nama itu, tanpa terasa dia pun ikut mengetahuinya.
Sambil tertawa Bwe Si-jin berkata lagi: "Cau-ji, bagaimana ceritanya hingga
kau bisa berkenalan dengan si raja hewan Oh It-siau? Semula aku masih
menyangka kau adalah cucu muridnya."
"Paman, aku bertemu dengan Oh-locianpwe hanya secara kebetulan saja,
waktu itu Cau-ji sedang berpesiar di telaga Tay-beng-ou bersama bibi. Aaah
betul, Cau-ji sering mendengar bibi menanyakan kabar beritamu."
Gemetar keras sekujur badan Bwe Si-jin setelah mendengar perkataan itu,
buru-buru dia mendekati mulut gua dan sambil menggenggam tangan bocah itu
tanyanya: "Cau-ji, siapa bibimu?"
Cau-ji merasa tangannya sakit sekali lantaran dicengkeram kuat-kuat.
tergopoh dia kerahkan hawa murninya untuk melepaskan diri dari cekalan
lawan, kemudian baru sahutnya: "Dia bernama Go Hoa-ti"
Begitu mendengar nama tersebut, cucuran air mata segera jatuh berlinang
membasahi pipi Bwe Si-jin, gumamnya: "Adik Ti ... oh ... adik Ti, aku telah
menyiksamu ...."
"Paman, kenapa sih bibi selalu mencarimu?" mendadak Cau-ji bertanya
keheranan.

Sebenarnya Bwe Si-jin ingin berterus terang, tiba-tiba hatinya tergerak,
sahutnya kemudian: "Cau-ji, bibimu adalah piaumoayku (adik misan), tentu dia
tak tahu kalau aku berada di sini."
"Ya benar, saban berjumpa orang, bibi seialu menanyakan jejakmu."
Bwe Si-jin merasa hatinya amat sakit, buru-buru katanya: "Cau-ji, pergilah
beristirahat, tengah hari nanti kita harus bersiap sedia lagi untuk menghadapi
gempuran angin berpusing."
Habis bicara ia segera membalikkan badan dan duduk bersila.
Biarpun masih banyak persoalan yang ingin ditanyakan. Tapi Cau-ji tak ingin
membantah perintah orang, dia pun ikut duduk bersila sembari membayangkan
kembali semua kejadian yang menimpa dirinya selama ini.
Di pihak lain, mana mungkin Bwe Si-jin dapat menenangkan hatinya? Ia
menjerit berulang kali di dalam hati kecilnya: "Adik Ti ... oooh, Adik Ti, aku
bersalah kepadamu, tapi... tahukah kau betapa menderitanya aku tersiksa di
sini?"
Sambil berpikir, air mata jatuh bercucuran membasahi wajahnya.
Tanpa terasa kenangan pahit yang dialaminya selama ini terbayang kembali di
depan mata, dia terbayang kembali bagaimana nasibnya ketika jatuh ke tangan
suci (kakak seperguruan) Kiau-kiau....
0oo0
Rumah penginapan kekasih, kota Kim-leng.
Malam itu, di paviliun belakang yang diborong Bwe Si-jin, ia bersama Go Hoati
sedang menikmati kemesraan yang luar biasa setelah berpacaran sekian lama,
pakaian yang mereka kenakan satu per satu telah ditanggalkan ....
Dengan wajah yang merah karena jengah Go Hoa-ti berbisik: "Engkoh Jin, kau
tak boleh tergesa-gesa... bagaimanapun baru pertama kali ini aku merasakan
baunya lelaki...."
Sambil meremas sepasang payudara kekasihnya yang montok, kencang dan
berdiri tegang, Bwe Si-jin tertawa, sahutnya: "Jangan kuatir... entar kau
mencicipi dulu, kujamin lama kelamaan kau pasti akan ketagihan.."
"Aku tidak percaya ..." sahut Go Hoa-ti sambil tertawa, ia bangkit berdiri
kemudian berjongkok persis di atas tubuh pemuda itu.
Dengan tangannya yang gemetar keras dia pegang "tombak" Bwe Si-jin yang
telah berdiri kaku kemudian dengan tangan sebelah merenggangkan lubang
"surga" sendiri, tangan lain yang memegang "tombak" langsung mengarahkan
senjata itu secara tepat.
Ketika posisinya sudah pas benar, pelan-pelan ia baru mendudukinya....
"Jangan tergesa-gesa adik Ti," bisik Bwe Si-jin sambil memeluk pinggangnya,
"Ya ... benar... benar ... nah pelan-pelan duduk ke bawah ... jangan terburuburu,
entar mestikamu akan lecet!"
Perlahan tapi pasti Go Hoa-ti melahap benda itu ke dalam liang surganya, ia
merasa benda keras tersebut seakan telah menyentuh ujung perutnya, membuat
seluruh badannya jadi lemas tak bertenaga.
Itulah sebabnya ketika ia berbuat intim dengan Ong Sam-kongcu di kediaman
Hay-thian-it-si tempo hari, perempuan itu merasa sedikit kecewa.
Tentu saja dia kecewa karena milik Bwe Si-jin yang besar, kaku dan tegang
bagai batu karang benar-benar mendatangkan perasaan yang mantap,
sementara milik Ong Sam-kongcu jauh lebih kecil dan kurang mantap rasanya.
Sambil memeluk kencang tubuh Go Hoa-ti yang menindih di atas tubuhnya,
pelan-pelan Bwe Si-jin bangun dan duduk, kemudian dengan mulutnya yang
rakus dia mulai menghisap dan menggigit puting susu perempuan itu.

"Aduh geli... engkoh Jin, jangan begitu ... aku kegelian.." rintih Go Hoa-ti
penuh kejalangan.
Bwe Si-jin mengerti apa yang diinginkan seorang wanita, dia tahu bila seorang
perempuan mengatakan "jangan" itu artinya dia "mau!" dan "teruskan!" maka
hisapannya semakin keras, gigitannya makin menggila....
Tak selang berapa saat kemudian Go Hoa-ti merasa sekujur tubuhnya kaku,
geli dan linu, tak tahan lagi dia mulai menggeliat, mulai menggesek, mulai
bergoyang dan mulai menaik turunkan badannya....
Keadaannya saat ini tak ubahnya seperti orang yang merasa gatal di
punggungnya, karena tak bisa digaruk dengan tangan, terpaksa punggungnya
digesekkan di atas dinding untuk mengurangi rasa gatal tersebut.
Melihat gadis itu mulai terangsang dan mulai menggeliat, buru-buru Bwe Sijin
membaringkan kembali tubuhnya, kali ini sepasang tangannya mulai meraba,
meremas dan memelintir puting susu nona itu.
Diserang dari atas dan bawah, Go Hoa-ti semakin terangsang, gesekan,
goyangan dan geliat tubuhnya makin keras dan kencang, ia merasa semakin
keras gesekan badannya, bagian "bawah" tubuhnya terasa makin geli tapi
semakin nikmat....
Tak sampai seperempat jam kemudian, gadis itu sudah tersengal-sengal
sambil bermandi peluh.
"Berisitrahatlah dulu adik Ti!" bisik Bwe Si-jin sambil tertawa.
Go Hoa-ti tersenyum dan bangkit berdiri.
Bwe Si-jin melihat dari lubang surga perempuan itu meleleh keluar segumpal
cairan lendir yang meleleh turun melalui paha putihnya, cepat dia mengambil
handuk dan menyekanya kemudian baru berkata: "Adik Ti, jangan mengotori
tubuhmu dengan cairan tersebut, pergilah mencuci diri lebih dulu."
Go Hoa-ti maki setengah mati, cepat-cepat dia melompat turun dan
mengambil handuk basah untuk menyekanya.
Wajah jengah si nona yang bersemu merah membuat Bwe Si-jin semakin
terangsang, dia ikut melompat bangun, katanya: "Adik Ti, kalau kau tak ingin
mengotori barang milik rumah penginapan, bagaimana kalau kita berganti gaya
saja?"
Go Hoa-ti semakin malu, jantungnya berdebar makin keras.
Sejak dia persembahkan kegadisannya untuk pemuda ini, kecuali waktu
kedatangan "Ang-sianseng", boleh dibilang mereka berdua memanfaatkan setiap
saat untuk berbuat intim.
Setiap Bwe Si-jin mengusulkan untuk mencoba gaya baru, dapat dipastikan
Go Hoa-ti akan merasakan dirinya "mati" satu kali.
Bahkan setiap "kematian'nya tentu "mengenaskan" sekali.
Oleh sebab itu tidaklah heran kalau dia merasa terkejut bercampur girang
begitu mendengar pasangannya mengusulkan gaya baru.
Rupanya Bwe Si-jin dapat memahami perasaan hati kekasihnya waktu itu,
digenggamnya sepasang tangannya lalu bisiknya: "Adik Ti, kalau liang di depan
sudah ditembusi, kali ini aku mesti menyerang dari arah belakangi"
Sambil berkata pelan-pelan dia balik tubuh perempuan itu dan menekannya
agar membungkuk.
Go Hoa-ti segera paham arah mana miliknya yang akan diserang, setelah
berpikir sejenak, serunya terkesiap: "Jangan bagian yang itu, engkoh Jin, tempat
itu kelewat sempit!"
Sambil berkata, buru-buru dia menggapit sepasang pahanya rapat-rapat.

Bwe Si-jin tersenyum, dikecupnya bibir nona itu sekejap kemudian katanya
sambil tertawa: "Jangan kuatir adik Ti, masa aku akan bertindak kasar hingga
mencederaimu?"
"Engkoh Jin, kau tak boleh membohongi aku!"
"Hahaha... kapan sih aku bohong kepadamu?"
Dengan tangan gemetar pelan-pelan Go Hoa-ti melepaskan tangannya, setelah
itu kembali ia bertanya: "Engkoh Jin, gimana sih caranya main belakang?"
"Hahaha ... adik Ti, letakkan sepasang tanganmu di pinggir ranjang untuk
menopang badanmu, lalu sedikit bungkukkan badanmu agar tubuh bagian
belakangmu menungging ke atas, nanti kau imbangi saja gerakan badanku maju
mundur...."
"Wah, hebat juga jurus seranganmu, tapi... senjatamu kelewat panjang dan
besar...."
"Hahaha... jangan kuatir, ayo kita mulai."
Dengan satu tusukan yang cepat bagai kilat Bwe Si-jin menghujamkan
senjatanya ke bagian belakang tubuh Go Hoa-ti, lantaran sebelumnya sudah ada
pemanasan hingga bagian miliknya cukup berlendir, tanpa mengalami kesulitan
ujung tombaknya sudah menghujam dalam-dalam.
"Aaah ... ternyata tidak sakit" bisik Go Hoa-ti sambil tertawa, "tapi... engkoh
Jin, sepasang telurmu kenapa ikut memukul-mukul? Aku ... aku jadi geli dan
sedikit sakit ... oooh... ooh... aaah... ahhh ... enak... enak...."
Rintihan dan lengkingan Go Hoa-ti membuat napsu birahi Bwe Si-jin semakin
memuncak, dia peluk pinggang orang kencang-kencang sementara tusukannya
dilancarkan bertubi-tubi.
Sejak pertama kali terjun ke dalam dunia persilatan, hampir seratus orang
perempuan yang pernah disetubuhi, tapi di antara semua perempuan yang
pernah ditiduri, Go Hoa-ti adalah perempuan yang paling mampu membetot
sukmanya, demi bersenang-senang dengannya, dia tak segan melanggar
kebiasaan sendiri dengan berdiam diri di satu tempat lebih dari sepuluh hari.
Kecantikan wajah Go Hoa-ti ibarat bidadari yang turun dari kahyangan,
bukan saja ia nampak anggun juga amat berwibawa, tapi begitu naik ke ranjang,
bukan saja berubah jadi wanita jalang, yang bikin hati lelaki tak tahan justru
adalah jeritan, rintihan serta teriakannya yang membetot sukma....
Perempuan semacam inilah yang menjadi dambaan setiap pria, karena
rintihan seorang wanita jalang adalah irama yang paling membangkitkan napsu
birahi lelaki.
Dalam waktu singkat dia sudah menggenjotkan tubuhnya berpuluh-puluh
kali, sementara rintihan dan jeritan Go Hoa-ti semakin menjadi-jadi, pinggulnya
bergoyang dan berputar tiada hentinya.
Tak lama kemudian, seputar tempat mereka berdua berdiri sudah dibasahi
oleh lendir yang mengucur keluar dari lubang belakang perempuan itu.
Dengan gerakan yang sangat berhati-hati Bwe Si-jin maju mundurkan
badannya, rupanya dia kuatir senjata milik sendiri menjadi lecet gara-gara
kekerasan waktu menggesek.
Beberapa saat kemudian goyangan Go Hoa-ti semakin melemah dan perlahan,
Bwe Si-jin tahu kekasihnya sudah hampir mencapai puncaknya, maka ia segera
mencomot sepasang payudara perempuan itu dan meremasnya berulang kali.
Sambil meremas payudara perempuan itu, tubuhnya menggenjot makin cepat
dan keras.
"Aduh ... engkoh Jin ... ooo ... aah ... aduh ... engkoh Jin... aku... aku tak
tahan lagi... aduuh... aku mau... mau keluar... aaooh... aduh... aduh nikmatnya!"

Bwe Si-jin menggenjot semakin cepat.
Tiba-tiba tubuh Go Hoa-ti gemetar keras lalu kakinya jadi lemas dan tiba-tiba
berjongkok ke bawah, untung Bwe Si-jin sudah siap, dia segera peluk tubuh
kekasihnya dan dibaringkan ke atas ranjang.
Setelah itu dia tubruk kembali ke atas tubuh perempuan itu, menindihnya
dan menggenjotkan kembali senjatanya berulang kali, hanya kali ini dia tusuk
lubang surga orang.
Lima enam puluh kali genjotan kemudian Bwe Si-jin merasa sekujur
badannya mengejang keras, tak tahan lagi dia muntahkan "ludah'nya berulang
kati, kemudian gerakannya makin melambat sebelum akhirnya berhenti sama
sekali.
"Ooh engkoh Jin, nikmat sekali aku " bisik Go Hoa-ti sambil menghela napas
panjang.
Tak selang berapa saat kemudian ia sudah tertidur pulas.
Dengan penuh rasa sayang Bwe Si-jin mengecup bibirnya sekejap, kemudian
ia bangkit berdiri, duduk di tepi meja sembari termenung.
Apa yang sedang ia pikirkan?
Tak ada yang tahu!
Dalam lamunannya tiba-tiba ia mendengar ada seseorang berseru dengan
suara yang manja: "Aduuh ... indah betul lekukan tubuh perempuan itu, sute,
tak heran kalau kau selalu bersembunyi di sini!"
Mendengar ucapan tersebut, sekujur badan Bwe Si-jin gemetar keras, buruburu
dia melongok keluar jendela.
Tiba-tiba daun jendela yang semula tertutup rapat terbuka dengan sendirinya,
menyusul kemudian muncul wajah seorang gadis yang cantik rupawan.
Gadis itu mempunyai sepasang mata yang indah, bibirnya kecil mungil dan
payudaranya sangat besar, begitu cantik wajahnya membuat setiap lelaki yang
memandang ke arahnya akan merasa napsu birahinya bergolak.
Bwe Si-jin yang sudah terbiasa menikmati wajah cantik seorang wanita, kali
ini nampak terkejut bercampur ngeri, seakan bertemu kalajengking beracun,
dengan wajah berubah hebat dia melompat bangun.
Nona berbaju merah itu melototi sekejap "barang" milik Bwe si-jin yang
tergantung lemas, tapi ukuran yang super gede segera membuat napsu
perempuan itu menggelora, buru-buru bisiknya dengan ilmu Coan-im-jit-pit:
"Sute, cepat kenakan pakaianmu, mari kita cari tempat untuk berbicara."
Melihat jejaknya sudah ketahuan sucinya yang selama ini berusaha untuk
dihindari, Bwe Si-jin sadar bahwa dia butuh banyak waktu dan tenaga untuk
meloloskan diri dari cengkeraman orang, agar urusan itu tidak menyeret adik Tinya,
buru-buru dia kenakan pakaian dan segera mengikuti nona berbaju merah
itu keluar dari kamar losmen.
Tak jauh setelah keluar dari kota, tibalah mereka di sisi sebuah kereta yang
dihela dua ekor kuda, terdengar nona berbaju merah itu berkata. "Sute, mari
kita bicara di dalam saja."
"Suci," seru Bwe Si-jin dengan suara berat, "siaute toh sudah lepaskan posisi
ketua, juga telah mengumumkan kalau lepas dari ikatan perguruan, tolong
lepaskanlah dirimu...."
"Sute, kau kejam benar... sejak pergi tanpa pamit empat tahun berselang,
bukan saja cici dibikin sedih, ketiga sumoay pun menjadi kurus lantaran
memikirkan kau.."
 
Membayangkan kembali masa lampau yang dialaminya, paras muka Bwe Sijin
yang ganteng segera mengejang keras, serunya lagi: "Suci, harap kau sudi
mengingat hubungan baik kita di masa lalu dan melepaskan siaute....."
"Sute," tukas nona berbaju merah itu dengan suara dalam, "kau tak usah
banyak bicara lagi, kau sendiri toh tahu, tanpa kehadiranmu, sulit bagi kami
untuk membangun kembali kejayaan perguruan seperti masa lampau."
"Hmm, sungguh tak disangka seorang playboy yang selama ini memandang
perempuan bagai sampah, bisa jatuh hati dengan seorang dayang ingusan.
Baiklah, demi masa depan perguruan, terpaksa suci harus bunuh dulu
perempuan ini."
Selesai berkata dia segera mengayunkan telapak tangan kanannya siap
melancarkan sebuah pukulan.
Bwe Si-jin tahu, kakak seperguruannya sudah memegang pucuk kekuasaan
perguruan, di sekelilingnya banyak terdapat jagoan yang berilmu tangguh, bila ia
betul-betul turunkan perintah, dapat dipastikan Go Hoa-ti yang tertidur nyenyak
segera akan terbantai.
Buru-buru teriaknya keras: "Suci, tunggu sebentar!"
Sambil tertawa nona berbaju merah itu menurunkan kembali tangannya.
"Bagaimana sute, sudah paham?" serunya manja.
"Suci," seru Bwe Si-jin sambil menahan perasaan sedih, "siaute bersedia pergi
mengikut kau, tapi kau mesti berjanji akan melepaskan dia."
"Baik."
"Suci, aku harap kau pegang janji."
Selesai bicara dia segera melompat naik ke dalam ruang kereta.
Siapa tahu baru saja dia menyingkap kain tirai kereta, mendadak terlihat
selapis pasir merah telah menyambar ke hadapan wajahnya, buru-buru dia
ayunkan tangannya sembari berteriak: "Sumoay, kau...." belum habis bicara,
tubuhnya sudah roboh terkapar.
Nona berbaju merah itu tertawa terkekeh, buru-buru dia bopong tubuh
pemuda itu dan menyelinap masuk ke dalam ruang kereta.
Seorang lelaki bungkuk segera muncul dari balik hutan, melompat naik ke
atas kereta, mengayunkan pecut dan menjalankan kereta kuda itu meninggalkan
tempat tersebut
Di dalam ruang kereta, tampak seorang gadis berdandan tebal bagai siluman
sedang membelai wajah Bwe Si-jin yang ganteng sambil menghela napas.
"Sute," katanya, "makin lama wajahnya makin tampan saja rasanya,"
"Hmm, bukan cuma tampan, kau belum tahu kalau kemampuannya yang satu
itu jauh lebih hebat* sahut nona berbaju merah itu sambil tertawa.
"Suci, bagaimana kalau kita buktikan kemampuannya itu?"
"Ehm, boleh saja, toh yang kita butuhkan adalah badannya bukan hatinya,
mari kita sekap dia dalam gua Siau-cu-thian-yu-tong dan kita nikmati
kejantanannya."
"Kalau begitu silahkan suci mulai dulu."
Sambil berkata dia mengeluarkan sebutir pil berwarna merah dan dijejalkan
ke mulut Bwe Si-jin, kemudian ia mulai tanggalkan seluruh pakaiannya.
Sementara itu si nona berbaju merah juga telah melucuti seluruh pakaiannya
hingga bugil, lalu membaringkan diri di atas lantai sambil tertawa terkekeh.
Nona berbaju kuning itu melirik sekejap tubuh bagian bawah nona berbaju
merah itu, kemudian tegurnya sambil tertawa: "Suci, hutan bakaumu
tampaknya makin hitam dan tebal, wouw, sungguh merangsang."
Kembali nona berbaju merah itu tertawa.

"Sumoay, selama berapa bulan terakhir aku telah bermain cinta dengan
beberapa orang pendeta asing, bukan saja tenaga murni mereka berhasil
kuhisap, banyak sari perjaka yang telah kuperoleh, coba kau lihat bukankah
milikku bertambah montok dan berkilat?"
"Hahaha... yaa. berapa orang pendeta asing itu memang suka main
perempuan, coba kalau bukan bertemu kita berempat, mungkin orang lain tak
akan sanggup melayani mereka selama berapa menitpun."
"Ya. konon suhu dan susiok mereka jauh lebih jantan dan kuat, sayang
mereka tak pernah menginjakkan kaki di daratan Tionggoan, kalau tidak aku
pingin sekali membuktikan kejantanan mereka."
"Kalau mereka tidak kemari, toh kita bisa ke sana untuk mencari mereka."
"Ya, benar, jika kita sudah kirim bocah ini ke dalam gua, akan kusuruh
berapa orang pendeta asing itu mengajak kita ke sana ... waeh ... coba lihat,
barang miliknya mulai ada reaksi... wouw... tambah besar... waah ... ternyata
barang miliknya memang super besarnya."
Ternyata obat perangsang yang dijejalkan ke mulut Bwe Si-jin sudah mulai
bereaksi, bukan saja "barang"-nya sudah berdiri kaku bagai tombak, bahkan dia
sudah mulai memeluk, meremas dan menggerayangi seluruh tubuh nona
berbaju merah itu.
Semakin lama menonton nona berbaju kuning itu semakin terangsang, buruburu
dia ikut melucuti pakaian sendiri, lalu ujarnya sambil tertawa jalang: "Suci,
tadi kau sudah saksikan dia bermain cinta dengan perempuan lain?"
"Betul, dia berhasil membuat budak itu mati tak bisa hidup tak mampu,
bukan cuma menggeliat saja bahkan merintih sambil berteriak, aku benar-benar
terangsang waktu itu. Aaai, seandainya dia tidak terlalu banyak mengetahui
rahasia perguruan kita, sebetulnya aku pingin berbaikan saja dengan dia,
dengan begitu banyak kesempatanku untuk menikmati barangnya yang gede...."
"Benar, dari sekian banyak lelaki yang meniduri aku. memang rasanya barang
milik dia jauh lebih gede dan keras, mungkin sewaktu meniduriku nanti, dia
paling kuat dan perkasa"
Kereta kuda bergerak cepat dari kota Kim-leng menuju ke selat Sam-shia di
sungai Tiangkang.
Untuk menghindari perhatian orang banyak, selama ini nona berbaju kuning
dan nona berbaju merah itu tak pernah turun dari kereta, sepanjang hari
mereka mengajak Bwe Si-jin bermain cinta dan mengumbar birahi.
Ketika kereta tiba di kaki bukit Wu-san, nona berbaju merah itu
memerintahkan lelaki bungkuk itu untuk menjaga kereta, sementara dia sendiri
bergerak menuju ke atas bukit.
Sementara nona berbaju kuning itu dengan mengempit tubuh Bwe Si-jin yang
sudah tertotok jalan darah Hek-tiam-hiatnya mengikuti dari belakang.
Pada saat itulah dari balik hutan muncul sesosok bayangan manusia, orang
itu tak lain adalah si raja hewan Oh It-siau, dalam sekilas pandang ia segera
mengenali orang yang dikempit nona berbaju kuning itu adalah sahabat
karibnya, Bwe Si-jin.
Tapi dia pun segera mengetahui kalau nona berbaju merah itu tak lain adalah
kakak seperguruan Bwe Si-jin yang bernama Su Kiau-kiau, kenyataan ini
membuat hatinya amat terperanjat
Raja hewan tak ingin bentrok muka secara iangsung dengan rombongan
perempuan itu, sebab dia tahu kepandaian mereka cukup tangguh.
Dia tak tahu Bwe Si-jin hendak dibawa pergi kemana, untuk mengetahui
rahasia tersebut secara diam-diam si raja hewan menguntit terus dari kejauhan.

Selang berapa saat kemudian mendadak dari empat penjuru bergema suara
pekikan aneka binatang yang riuh rendah.
Sadar kalau gelagat tidak menguntungkan nona berbaju merah itu segera
berbisik: "Sumoay, hati-hati!"
Baru berjalan lagi beberapa li, mendadak dari balik semak belukar muncul
dua ekor harimau raksasa yang datang menerkam.
"Binatang!" umpat nona berbaju merah itu gusar.
Dengan melepaskan dua pukulan dahsyat, kedua ekor binatang itu segera
terpental dan tewas dengan perut jebol.
Menyusul kemudian datang serangan yang bertubi-tubi dari aneka macam
binatang buas, dalam keadaan begini terpaksa nona berbaju kuning dan merah
itu melancarkan serangan gencar untuk membela diri.
Su Kiau-kiau tahu pastilah si raja hewan sedang bermain gila dengannya,
dalam marahnya ia segera berteriak lantang: "Hey orang she Oh, kalau punya
nyali ayo keluar, Koh-naynay sudah menunggumu di sini."
Raja hewan sadar bahwa kepandaian silat yang dimilikinya masih bukan
tandingan lawan, agar punya peluang untuk menolong Bwe Si-jin, dia berusaha
keras menahan rasa gusarnya yang membara dan membungkam diri.
Secara beruntun Su Kiau-kiau menghardik lagi beberapa kali, melihat pihak
lawan tak berani tampil, setelah mendengus iapun melanjutkan perjalanannya.
Ketika mereka berdua tiba di sisi air terjun, dilihatnya air yang semula
mengalir turun kini sudah membeku jadi selapis salju tebal, mereka tahu angin
puting berpusing pasti baru saja berhembus di situ hingga udara jadi dingin dan
air menjadi beku.
Setelah masing-masing menelan sebutir pil berwarna merah api, Su Kiau-kiau
berjaga di pintu gua mencegah si raja hewan membuat keonaran, sementara
nona berbaju kuning itu segera menyusup masuk ke dalam gua dengan
kecepatan tinggi.
Tiba di dalam gua, ia menotok bebas jalan darah Hek-tiam-hiat di tubuh Bwe
Si-jin dan melemparkan tubuhnya ke dalam gua kecil, kemudian sambil tertawa
seram ia baru berseru: "Suheng, silahkan kau beristirahat di sini!"
"Sumoay, tempat apakah ini?" tanya Bwe si-jin agak bingung.
"Gua Siau-cut-thian-yu-tong dari perguruan kita."
"Apa, kalian begitu kejam ...."
"Hmm, siapa suruh kau berkhianat?"
"Tapi sumoay...."
"Hey orang she Bwe ... kau telah mengkhianati perguruan, kau tak berhak
memanggil sumoay lagi kepadaku."
"Ni Cheng-bi!" Bwe Si-jin balas mengumpat, "kau perempuan berhati
kalajengking, kejam benar hatimu ... jangan salahkan kalau aku bertindak
kejam kepadamu."
Sembari berkata dia lepaskan satu pukulan.
Ni Cheng-bi mengegos ke samping, lalu dia balas melepaskan satu pukulan.
"Blammm!" Bwe Si-jin segera terbanting ke dinding karang dan jatuh tak
sadarkan diri.
Begitulah, semenjak hari itu Bwe Si-jin terkurung di dalam gua kecil itu,
saban hari dia harus mengalami dua kali siksaan karena terjangan angin
berpusing yang membawa hawa dingin, setiap kali merasa lapar, terpaksa dia
harus berusaha menangkap kelelawar untuk mengganjal perutnya.
Raja hewan beberapa kali berusaha masuk ke dalam gua itu untuk menolong
saudara angkatnya, tapi setiap kali menelusuri gua tersebut, belum sampai

berapa kaki, dia selalu mundur teratur karena tak sanggup menahan rasa dingin
yang menusuk tulang.
Dalam keadaan begini, terpaksa dia harus mengurungkan niatnya untuk
menolong Bwe Si-jin, tapi dia tidak berpangku tangan, dia selalu berusaha
mencari anak didik yang bisa dia gunakan untuk melaksanakan pertolongan itu.
Sementara Bwe Si-jin masih melamun sambil membayangkan kisah tragis
yang dialami selama ini, mendadak dari kejauhan terdengar suara gemuruh yang
sangat keras bergema tiba.
Dengan perasaan terkejut Bwe Si-jin membatin: "Aaah, waktu berlalu begitu
cepat, tak nyana sudah tiba saatnya angin puyuh itu menyerang lagi."
Buru-buru dia tempelkan badan di lantai, menghimpun hawa murni
melindungi jantung dan bersiap menghadapi serangan.
Tak selang berapa saat kemudian, angin puyuh disertai suara gelegar yang
memekikkan telinga melanda seluruh ruang gua.
Bwe Si-jin merasa sekujur badannya meski sakit bukan kepalang, namun
jantung dan nadinya berada dalam perlindungan hawa murni sehingga otomatis
penderitaannya tidak terlalu berat, kenyataan ini sangat menggirangkan hatinya.
Dengan susah payah akhirnya terpaan angin puyuh itu berlalu, Bwe Si-jin
seperti orang yang baru menderita sakit parah, merasakan badannya sakit
bercampur linu, dia segera meronta dan berusaha untuk duduk.
Tiba-tiba ia mendengar Cau-ji bertanya dengan penuh rasa kuatir "Paman,
kau baik baik bukan?"
Bwe Si-jin tidak menyangka kalau kondisi Cau-ji tetap prima walaupun baru
saja terserang angin topan, cepat dia menggeleng.
"Tidak, aku tidak apa-apa...."
"Kalau begitu bagus sekali," Cau-ji menghembuskan napas lega, "Paman, ada
baiknya kau beristirahat dulu."
Sembari berkata dia keluarkan sebutir pil Pek-siu-wan dan segera ditelannya.
Terasa ada satu aliran hawa panas muncul dari lambungnya, benar juga, rasa
lapar dan dahaga segera hilang lenyap.
Tak lama kemudian Cau-ji sudah berada dalam posisi tenang.
Ketika mendusin kembali dari semedinya, bocah itu merasakan seluruh
badannya sangat enteng dan bertambah segar, tak tahan pikirnya: 'Aneh benar,
kelihatannya setiap kali habis terbentur badanku dengan dinding karang,
kondisi tubuhku serasa jauh lebih segar dan prima."
Dia mana tahu kalau hawa murni Im-yang-ceng-khi sedang terbentuk di
dalam tubuhnya dan kini semakin berkembang.
la bangkit berdiri, sewaktu menjumpai Bwe Si-jin masih mengatur waktu,
maka dalam menganggurnya dia coba tengok sekeliling ruang gua, tiba-tiba ia
merasa ada bau amis yang dibarengi bayangan hitam bergerak meluncur ke
arahnya, tanpa sadar dia ayunkan tangannya melepaskan sebuah pukulan.
Diiringi suara pekikan aneh di atas dinding karang segera muncul seekor
kelelawar tapi sudah menjadi bangkai dan tubuhnya dalam keadaan hancur
lebur.
Cau-ji tertegun, pikirnya: "Sialan, lagi-lagi hewan bermuka jelek ... tempo hari
aku sempat dibuat kaget, sekarang rasakan pembalasanku."
Tentu saja dia tidak tahu, tadi untuk menghindari serangan angin topan
berpusing, kawanan kelelawar itu telah mengungsi keluar gua, tetapi sekarang
setelah keadaan reda, berbondong-bondong kawanan binatang itu terbang balik
ke dalam gua.
Kembali selapis bau busuk menerpa ke wajah bocah itu.

Sekali lagi Cau-ji mengayunkan tangannya, lagi-lagi seekor kelelawar
dihantam hingga mampus.
Tak selang berapa saat, serombongan besar bau amis kembali mengerubuti
sekeliling bocah itu, Cau-ji berpekik nyaring, dengan mengeluarkan jurus
pukulan Lak-hap-ciang-hoat dia hajar kawanan kelelawar itu.
Bau anyir darah disertai hancuran bangkai seketika mengotori seluruh ruang
gua itu.
Waktu itu Bwe Si-jin sudah selesai bersemedi, dia hanya berdiri di samping
gua sambil menonton bocah itu menunjukkan kebolehannya, diam-diam ia
tertegun bercampur kagum setelah melihat kungfu bocah tersebut, dia tak
mengira dengan usianya yang masih begitu muda ternyata sudah menguasai
pelbagai macam ilmu pukulan.
Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, dengan perasaan girang
pikirnya: "Bocah ini sangat hebat, kelihatannya kungfu yang dia miliki sudah
lebih dari cukup untuk menghadapi suci serta ketiga sumoayku!"
Dia pun mulai memutar otak, dalam hati ia putuskan untuk membantu
memberi petunjuk kepada bocah itu agar ilmu silatnya bisa maju setingkat lebih
hebat
Di dalam anggapannya, apa yang dipelajari Cau-ji kelewat banyak, ilmu silat
gado-gado sangat tak sepadan untuk diunggulkan, sebab setiap perubahan bisa
memunculkan titik kelemahan, dalam pandangan seorang jago sakti, kelemahan
semacam itu bisa menyebabkan kematian.
Entah berapa saat sudah lewat, Cau-ji masih saja memainkan jurus
pukulannya dengan penuh semangat walau gerombolan kelelawar sudah lenyap
semenjak tadi, sedang Bwe Si-jin juga tenggelam di dalam pemikirannya.
Tatkala hawa dingin yang disertai pusaran angin berpusing mulai menyerang
tubuh mereka, kedua orang itu baru tersentak kaget dan sadar kembali.
Bwe Si-jin tak sempat lagi untuk menghindar, buru-buru dia cengkeram
pinggiran gua untuk berpegangan, dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam
yang dimilikinya dan pejamkan mata rapat, dia sambut datangnya serangan
angin dingin itu.
Sementara Cau-ji yang masih asyik memainkan ilmu pukulan Yu-liong-patkwa-
ciang tersentak kaget ketika angin puyuh menerjang badannya, dalam kaget
dan terkesiapnya cepat-cepat dia tancapkan kaki ke atas tanah, lalu sambil
mengayunkan tangannya ia lepaskan pukulan untuk menghadang terpaan angin
topan.
Ilmu pukulan bocah itu memang tangguh, tapi mana mungkin dia bisa
melawan kekuatan alam yang begitu dahsyat? Tampak badannya gontai ke kiri
kanan diombang-ambingkan amukan angin berpusing.
Masih untung dia bisa memantekkan kakinya di tanah, sambil menggertak
gigi dia hadapi terpaan angin itu dengan sekuat tenaga.
"Blaaammm!" tiba-tiba bergema suara benturan keras, rupanya seluruh
tubuhnya terangkat oleh sapuan angin berpusing itu hingga badannya
menumbuk di atas dinding batu, begitu keras benturan yang terjadi membuat
bocah itu muntah darah dan tidak sadarkan diri.
Untung saja tenaga murni Im-yang-ceng-khi yang dimilikinya sudah mulai
tumbuh sehingga dapat melindungi badannya, kalau tidak, mungkin bocah itu
sudah tewas sejak tadi.
Dengan susah payah akhirnya Bwe Si-jin berhasil juga mempertahankan diri
dari sapuan angin puyuh, ketika serangan telah lenyap dia mulai menengok
sekeliling tempat itu, tapi tak nampak Cau-ji.

Dalam keadaan begini dia tak bisa berbuat lain kecuali buru-buru mengatur
pemapasan dan berusaha memulihkan kembali kekuatan tubuhnya.
Setengah jam kemudian tenaga dalam Bwe Si-jin sudah pulih enam bagian,
maka dia pun menggunakan tangannya untuk menggali sebuah lubang seluas
dua tiga depa agar badannya bisa menerobos keluar.
Setelah mencari beberapa saat akhirnya ia jumpai tubuh Cau-ji menempel di
sisi sebuah tebing, sepasang tangannya menancap di atas dinding sementara
kakinya terkulai lemas, noda darah masih menghiasi ujung bibirnya.
Secepat kilat Bwe Si-jin datang menghampiri, ketika diraba, ia menjumpai
tubuh bocah itu sudah dingin kaku, untung jantungnya masih berdetak, tanpa
terasa dia menghembuskan napas lega.
Buru-buru dia menghimpun tenaga dalam dan menempelkan tangan
kanannya di atas jalan darah Pek-hwe-hiat bocah tersebut, kemudian pelanpelan
membantunya mengatur kekuatan.
Beberapa saat kemudian hawa murni yang disalurkan ke dalam tubuh bocah
itu mendapat sambutan dari hawa murni si bocah, bahkan secara otomatis
kekuatan itu bergerak dan menyebar ke seluruh badan.
Sesaat kemudian terdengar Cau-ji berkeluh lirih, darah hitam menyembur
keluar dari mulutnya.
"Cau-ji, hati-hati" bisik Bwe Si-jin sambil memayang tubuhnya.
"Terima kasih paman" jawab Cau-ji tertawa, sambil berkata dia tarik kembali
tangannya dari atas dinding lalu merebahkan diri.
"Hebat benar bocah ini, ternyata ia sama sekali tidak terluka ..." batin Bwe Sijin
tercengang.
Dalam pada itu Cau-ji juga dibuat kebingungan, tanyanya: "Aku masih ingat
dadaku terasa sakit waktu diterjang angin puyuh, lalu aku muntah darah dan
tak sadarkan diri, tapi aneh benar, kenapa aku sama sekali tidak terluka?"
"Kau harus bersyukur karena tidak terbawa hembusan angin puyuh, kalau
tidak, mungkin kau sudah tewas."
"Paman, bagaimana caramu lolos dari kurungan?" kembali Cau-ji bertanya
keheranan.
"Hahaha ... tenaga dalamku sudah pulih enam tujuh bagian, bukan pekerjaan
yang sulit untuk keluar dari gua ini."
"Bagus sekali, kalau begitu kita bisa keluar dari sini untuk mencari bibi."
"Tak usah terburu-buru, pusaran angin berpusing itu tampaknya sangat
bermanfaat untuk memulihkan tenaga dalamku, aku ingin bertahan berapa
waktu lagi, jika tenaga dalamku sudah pulih baru kita berangkat."
"Baiklah," Cau-ji manggut-manggut "toh Oh- locianpwe telah berjanji akan
pergi ke pesanggrahan Hay-thian-it-si untuk mengabarkan beritaku, sampai
waktunya mereka pun pasti akan tahu juga tentang kabar beritamu."
"Benar, tugas terpenting yang harus dilakukan sekarang adalah memberi
petunjuk kepadamu untuk berlatih kungfu, Cau-ji, kau masih perjaka bukan?"
"Paman, apa artinya perjaka?"
"Artinya ... Cau-ji, kau belum pernah tidur dengan wanita bukan?"
"Pernah, pernah, Cau-ji sering tidur dengan ibu."
"Hahaha... kalau itu mah tak jadi soal, coba kemari, dengarkan baik-baik."
Maka secara ringkas Bwe Si-jin menjelaskan ilmu Kui-goan-sinkang kepada
bocah itu kemudian mewariskan seluruh kepandaiannya kepada Cau-ji.
Dengan kecerdasan dan kehebatan tenaga dalam yang dimiliki bocah itu, tak
sampai setengah jam kemudian ia telah berhasil hapal di luar kepala kokuat dari
Kui-goan-sinkang tersebut.

Sambil tersenyum Bwe Si-jin segera memuji: "Cau-ji, kau memang bocah
berbakat, mulai sekarang tancapkan sepasang tanganmu ke atas dinding karang
lalu atur napas sesuai dengan apa yang kuajarkan, tak sampai satu jam
kemudian aku jamin pasti akan terjadi satu peristiwa aneh."
"Sungguh?"
"Hahaha ... semenjak perguruanku didirikan, gua ini merupakan tempat
terlarang, tapi justru di sini pula tempat yang paling cocok untuk melatih diri."
"Paman, apa maksudmu?"
"Hahaha ... di kemudian hari kau bakal tahu dengan sendirinya, sayang
tenaga goan-yang milik paman sudah rusak, dengan meminjam kekuatan angin
topan berpusing paling banter cuma bisa pulihkan sebagian tenagaku yang
dicuri Su Kiau-kiau. Sudahlah, waktu sangat berharga, cepatlah mulai berlatih
tenaga dalam."
Selesai berkata ia segera menerobos masuk kembali ke dalam gua.
Setelah menderita kerugian besar tadi, Cau-ji tak berani bertindak gegabah,
buru-buru ia duduk bersila menghadap ke dinding, menghimpun hawa
murninya pada telapak tangan lalu menancapkannya ke atas dinding karang.
Tak selang berapa saat kemudian ia sudah berada dalam keadaan tenang.
Satu jam kemudian ketika Bwe Si-jin selesai bersemedi, ia saksikan tubuh
Cau-ji yang berada di luar gua diselimuti selapis cahaya merah, melihat itu dia
sangat kegirangan.
"Sucouya sekalian dari pergurunan Jit-seng-kau," gumamnya, "selama seratus
tahun terakhir belum ada seorang manusia pun berhasil menguasai Kui-goansinkang,
tapi kini, kepandaian tersebut sudah terwujud di tubuh Cau-ji."
"Sucouya sekalian, tecu berani menjamin dengan nyawa, tecu akan berusaha
melindungi Cau-ji agar bisa menduduki posisi ketua, bersamaan juga bisa
mengubah Jit-seng-kau jadi sebuah perguruan kaum lurus."
Berbisik sampai di situ tidak kuasa lagi cucuran air mata terharu berlinang
membasahi pipinya.
Sudah sepuluh tahun lamanya Bwe Si-jin terkurung di tempat itu, meskipun
banyak siksaan dan penderitaan telah dialami, selama ini dia tak pernah
mengucurkan air mata, sungguh tak disangka dalam satu dua hari terakhir
beberapa kali dia mesti melelehkan air mata. Entah berapa lama sudah lewat....
Mendadak dari kejauhan bergema lagi suara tiupan angin berpusing yang
memekakkan telinga, tampaknya waktu datangnya badai telah tiba.
Cau-ji yang masih bersemedi segera mengerahkan seluruh hawa murninya
untuk mempertahankan diri, dengan menahan rasa sakit yang menyayat di
sekujur badannya, dia biarkan angin topan itu berpusing di sekeliling badannya.
Beberapa kali badannya terangkat oleh pusaran angin kencang itu, tapi setiap
kali dia kerahkan tenaga dalamnya, tubuhnya menjadi tenang kembali, tapi
akibatnya terjadi pergolakan yang hebat di dalam rongga dadanya.
Tapi ia tetap mempertahankan diri, sambil menggertak gigi dia berusaha
mempertahankan tubuhnya.
Akhirnya setelah bersusah payah sekitar satu jam, pusaran angin puyuh itu
mulai mereda, gejolak hawa darah dalam rongga dadanya ikut pula jadi tenang,
ia hembuskan napas lalu melanjutkan semedinya.
Setengah jam kemudian ketika Bwe Si-jin selesai bersemedi dan merangkak
keluar dari gua, ia segera saksikan pakaian yang dikenakan Cau-ji telah hancur
berantakan, namun lingkaran cahaya merah di sekeliling badannya bertambah
tebal, kenyataan ini membuat hatinya amat gembira.

Begitulah, sejak hari itu dia tidak bosan-bosannva memberi petunjuk kepada
bocah itu untuk semakin menyempurnakan tenaga dalamnya.
0oo0
Suara mercon bergema memecahkan keheningan, aneka bunga bwe
berkembang dan menyiarkan bau harum semerbak.
Tahun baru telah tiba.
Pesanggrahan Hay-thian-it-si telah dihiasi dengan sepasang lian di muka
pintu gerbang, namun tahun baru kali ini terasa tidak semeriah tahun kemarin.
Ini disebabkan Cau-ji tidak berada di rumah, bahkan kabar berita Go Hoa-ti
pun seolah lenyap ditelan bumi.
Ong Sam-kongcu beserta dua belas tusuk konde emas berkumpul di ruang
tengah, mereka hanya duduk-duduk dengan wajah termenung.
Sementara sekawanan bocah bermain di seputar halaman, walaupun suasana
tetap ramai namun seakan kehilangan kegairahan.
Pada saat itulah Ong tua si penjaga pintu berlarian masuk dengan tergopohgopoh
sembari berteriak kegirangan: "Kongcu, kabar baik, kabar baik, Cau-ji
sudah ada beritanya!"
Teriakan tersebut segera disambut sorak sorai penuh kegembiraan dari semua
penghuni rumah.
Tampak Ong tua diiringi raja hewan Oh It-siau berjalan masuk ke dalam
ruangan dengan langkah lebar.
"Sam-pek," teriak Ong Bu-jin dengan rasa kuatir, "benarkah apa yang kau
ucapkan barusan?"
"Tentu saja benar, kalau tidak percaya tanyakan sendiri kepada Oh-yaya."
Sementara itu si raja hewan agak tertegun juga ketika melihat munculnya dua
puluhan bocah berwajah bersih, ia berseru pula: "Benar, aku mempunyai berita
tentang Cau-ji!"
"Oh, rupanya Oh-locianpwe telah datang berkunjung," kata Ong Sam-kongcu
sambil maju menyambut, "silahkan masuk!"
Tak lama setelah si raja hewan mengambil tempat duduk, Pek Lan-hoa
muncul menghidangkan air teh seraya berkata: "Oh-locianpwe, silahkan minum
teh."
"Terima kasih, terima kasih, Ong Sam-kongcu, kau benar-benar orang paling
bahagia di dunia ini, bukan saja punya bini yang rata-rata cantik, anak pun
semuanya hebat, terutama Cau-ji, dia betul-betul bocah luar biasa."
"Terima kasih atas pujian locianpwe."
Raja hewan tahu semua orang terburu ingin mengetahui kabar berita Cau-ji,
maka dia pun berkata lebih lanjut "Kongcu, saat ini Cau-ji berada di bukit Wusan
berlatih silat"
Secara ringkas dia pun menceritakan semua kejadian yang telah berlangsung.
"Locianpwe," ujar Ong Sam-kongcu kemudian setelah selesai mendengar
penuturan itu, "kira-kira butuh berapa lama Cau-ji untuk belajar silat dan
keluar dari gua itu?"
"Kira-kira tiga tahun."
Ong Sam-kongcu segera berpaling ke arah kawanan bocah itu dan ujarnya
sambil tertawa: "Anak-anak, dengarkan baik-baik, mulai hari ini kalian mesti
lebih giat berlatih silat, dua setengah tahun kemudian kita beramai-ramai
mendatangi telaga tersebut dan menonton bagaimana hebatnya si naga sakti,
setuju?"
Para bocah pun bersorak sorai menyambut tawaran itu dengan penuh
kegembiraan.

Sambil tersenyum kembali Ong Sam-kongcu berkata kepada Si Ciu-ing: "Adik
Ing, Oh-locianpwe dengan menempuh badai salju datang menyampaikan kabar
gembira, coba perintahkan dapur untuk menyiapkan hidangan, hari ini aku
ingin mengajak Oh-locianpwe minum sampai mabuk"
"Kongcu tak usah repot-repot."
 
Bab V. Bencana pembawa nikmat

Waktu berlalu dengan cepat tanpa terasa bulan Tiong-ciu kembali menjelang
tiba.
Menggunakan kesempatan tersebut, Bwe Si-jin melatih kembali ilmu silatnya,
bukan saja kepandaiannya bertambah maju, tenaga dalamnya juga mengalami
kesempurnaan.
Di bawah bimbingannya, ilmu tenaga dalam Kui-goan-sinkang yang dipelajari
Cau-ji kembali mengalami kemajuan satu tingkat, kini setiap kali dia bersemedi
maka cahaya merah yang semula menyelimuti badannya, kini berubah menjadi
warna kuning.
Setiap kali angin topan berpusing datang menyerang, kini Cau-ji tak usah
menancapkan tangannya lagi ke dalam dinding karang, ia cukup menekan
permukaan tanah, badannya sudah terpantek tenang hingga dia dapat
melanjutkan semedinya.
Menurut penjelasan Bwe Si-jin, asal dia bisa duduk bersila tanpa mesti
berusaha menahan diri tiap kali angin topan datang menyerang, itu berarti
tenaga dalam Kui-goan-sinkangnya telah mencapai tingkat kesempurnaan atau
dengan perkataan lain, itulah saat bagi mereka untuk meninggalkan gua.
Setiap ada waktu senggang, Bwe Si-jin juga mewariskan ilmu "Li-gong-sit-u"
(mengambil benda di tengah angkasa) kepada bocah itu, dengan mengandalkan
kepandaian inilah setiap kali Cau-ji menangkap kelelawar untuk mengganjal
perutnya yang lapar.
Pada mulanya bocah ini merasa sangat tidak terbiasa tapi lama kelamaan
terdorong rasa lapar yang berlebihan, dia pun mulai bisa menerima kebiasaan
tersebut.
Tengah hari itu, baru saja mereka berdua selesai bersemedi, tiba-tiba
terdengar seseorang berteriak keras dari luar gua: "Cau-ji, aku adalah si raja
hewan ... Cau-ji ..."
Mendengar teriakan itu, Cau-ji segera berseru dengan perasaan kaget
bercampur girang: "Paman, itu suara dari Oh-locianpwe"
Maka dia pun menyahut dengan keras: "Oh-locianpwe, Cau-ji berada di sini."
sambil berkata ia segera berlari keluar gua.
Bwe Si-jin ikut menerobos keluar dari gua sempitnya dan ikut berlarian
menuju keluar gua.
Ketika keluar dari balik air terjun, mereka berdua segera merasakan matanya
silau sekali oleh pantulan sinar matahari, baru saja mereka pejamkan mata,
terdengar si raja hewan berteriak penuh emosi: "Bwe-Lote, Cau-ji, rupanya
kalian benar-benar berada di sini, cepat tangkap benda ini!"
Mereka berdua segera menyambut lemparan itu, ternyata benda itu adalah
pakaian, kini mereka baru sadar jika tubuh mereka dalam keadaan bugil, maka
buru-buru mereka kenakan baju pemberian itu.
Tiba-tiba terdengar Cau-ji berteriak: "Locianpwe, kenapa kau ajak aku
bergurau...?"

Ternyata pakaian yang dikenakan itu sangat pendek lagi ketat, bukan saja
susah dikenakan, setelah dikenakan pun ketatnya sampai susah bernapas.
Raja hewan segera tertawa tergelak.
"Cau-ji, kau jangan gusar, ibumu yang titipkan pakaian itu agar diserahkan
kepadamu, mana aku tahu kalau badanmu bertambah jangkung dan kekar?"
Gelak tertawa pun segera bergema memecahkan keheningan.
Setelah puas berhaha-hihi, kembali si raja hewan berkata: "Lote, Cau-ji, kalian
pasti sudah lama tak makan enak, mumpung hari ini adalah hari Tiong-ciu, mari
kita minum beberapa cawan arak."
Sambil berkata dia keluarkan beberapa macam hidangan ditambah dua poci
arak wangi.
Kemudian kepada Cau-ji katanya lebih lanjut: "Anak Cau, usiamu belum
genap tiga belas tahun, kau dilarang minum arak, makanlah yang banyak dan
gunakan air saja sebagai pengganti arak."
"Tidak apa-apa, locianpwe, bisakah kau menceritakan keadaan keluargaku?"
pinta Cau-ji sambil tersenyum.
"Hahaha ... Cau-ji, semua saudaramu memanggil "yaya" kepadaku,
seharusnya kau juga memanggil kakek padaku."
"Baik yaya, Cau-ji menghormati satu cawan air untukmu," sambil berkata dia
buka mulutnya dan menghisap air langsung dari mata air, sekilas panah air
segera menyembur masuk ke dalam mulutnya.
Melihat kesaktian bocah itu, si raja hewan terkejut bercampur gembira,
teriaknya tak tahan: "Cau-ji, tampaknya ilmu silatmu mengalami kemajuan yang
amat pesat." seraya berkata ia melirik sekejap ke arah rekannya.
Bwe Si-jin segera tersenyum, setelah meneguk arak satu tegukan, katanya
sambil tertawa: "Loko, aku telah mewariskan ilmu Kui-goan-sinkang kepadanya"
Tiba-tiba mencorong sinar tajam dari balik mata raja hewan, dengan wajah
berubah hebat hardiknya: "Jadi kau ... kau adalah anggota perkumpulan Jitseng-
kau (tujuh rasul)?" sambil bicara ia melompat bangun dan siap-siap
menghadapi serangan.
"Benar" sahut Bwe Si-jin sambil tertawa getir "siaute memang anggota Jitseng-
kau."
Dengan wajah hijau membesi si raja hewan segera membuat satu garis
memanjang di atas tanah, kemudian katanya lagi: "Bwe Si-jin, mulai hari ini kita
putus hubungan, masing-masing tidak saling mengenal lagi."
Gemetar keras tubuh Bwe Si-jin mendengar ucapan tersebut, tiba-tiba ia
mendongakkan kepalanya dan tertawa seram, kemudian tanpa mengucapkan
sepatah kata pun, segera berlalu meninggalkan tempat itu.
Perubahan peristiwa ini berlangsung amat cepat dan singkat, untuk sesaat
Cau-ji jadi gelagapan dan tidak tahu apa yang mesti diperbuat
Raja hewan menghela napas panjang, setelah menenteramkan perasaan
hatinya, ia berkata: "Cau-ji, perkumpulan Jit-seng-kau adalah sebuah organisasi
yang banyak melakukan kejahatan dalam dunia persilatan di masa lalu, untung
sekali Ong-yayamu memimpin perlawanan, dengan usahanya yang luar biasa
perkumpulan tersebut berhasil beliau tumpas."
"Mimpi pun aku tak menyangka kalau Bwe Si-jin ternyata juga merupakan
anggota Jit-seng-kau, tak aneh kalau sucinya Su Kiau-kiau memiliki ilmu silat
yang luar biasa hebatnya. Aai ...! Kelihatannya dunia persilatan kembali akan
dilanda kekacauan."
"Tapi yaya ... Cau-ji rasa paman Bwe tidak seperti orang jahat, bukankah dia
pun dikurung dalam gua? Dia pasti bukan orang jahat," bisik Cau-ji.

"Anak kecil, kau belum punya pengalaman dan tidak tahu betapa keji dan
liciknya orang persilatan, siapa tahu dia memang disekap di situ lantaran
rebutan posisi ketua Jit-seng-kau dengan kakak seperguruannya Su Kiau-kiau?"
"Tapi... paman Bwe baik sekali orangnya, masa dia orang jahat?"
Raja hewan tidak ingin berdebat lebih jauh, dia segera mengalihkan
pembicaraan ke soal lain, katanya: "Cau-ji, setelah bersantap, masuklah kembali
ke gua untuk berlatih ilmu, aku mesti laporkan kejadian ini kepada ayah ibumu
agar mereka tidak sampai dicelakai Bwe Si-jin."
Selesai berkata, ia segera pergi meninggalkan tempat itu.
"Yaya " teriak Cau-ji, tapi ketika dilihatnya kakek itu tidak menggubris,
akhirnya dia pun menghela napas panjang.
la tidak menyangka sebuah pertemuan yang baik akhirnya mesti bubar dalam
suasana tidak menggembirakan.
Apa jadinya bila suatu hari pamannya bertemu dengan yayanya sehingga
terjadi pertarungan? Siapapun yang terluka, baginya tetap mendatangkan
kedukaan yang mendalam.
Berpikir sampai di situ, perasaan hatinya jadi tak tenang, gumamnya: "Aku
harus minta ayah untuk menjadi penengah, aah betul! Apa salahnya kalau
kubereskan dulu masalah ini, kemudian baru balik kemari melanjutkan
latihannya?''
Begitu mengambil keputusan, dia pun berlarian menuju ke bawah bukit
Ketika tiba di punggung bukit, mendadak dari sisi sebelah kanan hutan
terdengar suara orang sedang merintih sambil berteriak keras.
Sebagai seorang bocah berjiwa pendekar, Cau-ji segera menghentikan
langkahnya sambil pasang telinga.
la segera mendengar suara gemericit yang nyaring bergema dari balik hutan,
di antaranya kedengaran juga suara dengusan napas seorang lelaki dan suara
rintihan seorang wanita.
"Aduuh ... koko ... aduh ... senjatamu ... senjatamu begitu ganas seperti
seekor naga sakti... aku ... aku sudah tidak tahan"
"Hehehe ... naga sakti berusia ribuan tahun milik koko akan melakukan
pembunuhan besar-besaran hari ini, kecuali kau merengek minta ampun."
"Aduuuh... aaah"
Cau-ji hingga detik itu hanya merupakan seorang bocah kemarin sore yang
masih berbau kencur, tentu saja dia tidak paham arti dari teriakan laki
perempuan itu, dengan perasaan tertegun pikirnya: "Sungguh aneh, rintihan
perempuan itu macam orang hampir sekarat, kenapa dia masih memanggil
musuhnya koko?"
Dengan penuh rasa ingin tahu dia berjalan mendekat dan mengintip dari balik
semak.
Tampak sepasang muda mudi dalam keadaan telanjang bulat sedang
bergumul di atas permukaan rumput, setiap kali lelaki itu menggoyangkan
tubuhnya naik turun, perempuan itu segera menggeliatkan badannya kian
kemari sembari menjerit dan merintih.
Makin dipandang Cau-ji merasa semakin tak tahan, akhirnya dia melompat
keluar dari balik semak belukar sambil bentaknya: "Berhenti!"
Padahal waktu itu sepasang laki perempuan itu sedang mencapai puncak
kenikmatan, bila terlambat sedetik lagi mungkin keduanya sudah mencapai
puncak kepuasan, begitu mendengar hardikan Cau-ji yang nyaring, kontan
kedua orang itu melompat bangun dengan rasa kaget.

Kedua orang itu sebenarnya hanya rakyat dusun di bawah bukit sana, mereka
memang sengaja berjanji untuk bermain cinta di hutan agar perbuatan serong
mereka tidak diketahui pasangannya sendiri.
Bentakan tersebut tentu saja mengejutkan mereka berdua, disangkanya
perbuatan serong mereka telah ketahuan, tanpa membuang waktu lagi lelaki itu
segera kabur terbirit-birit dari situ dalam keadaan bugil.
Sebaliknya perempuan itu baru saja merangkak bangun dari tanah, ketika
melihat orang yang muncul hanya seorang pemuda asing, kontan dia sambar
bajunya seraya mengumpat: "Sialan lu! Lagi enak-enaknya aku menelan
mentimun, kamu datang mengganggu ... huuh, padahal aku sudah hampir
mencapai puncaknya"
Sambil mengomel tiada hentinya perempuan itu segera berlalu dari tempat
tersebut
Kini tinggal Cau-ji masih berdiri melongo, dia tidak habis mengerti kenapa
orang malah mengumpatnya, padahal niat dia hanya menolong jiwa perempuan
itu?
Sambil menggelengkan kepalanya berulang kali ia lanjutkan kembali
perjalanannya, mendadak satu ingatan melintas lewat, tiba-tiba saja ia teringat
kembali dengan ucapan lelaki tadi tentang "naga sakti berusia seribu tahunnya,
sambil berseru tertahan buru-buru dia berbelok dan mengambil jalan menuju ke
arah telaga.
Rupanya secara tiba-tiba ia teringat kembali dengan naga sakti yang berdiam
dalam telaga, ia berniat sekalian membasmi binatang tersebut agar tidak
mencelakai orang.
Berapa li sebelum mencapai tepi telaga, tiba-tiba dari kejauhan ia mendengar
ada suara orang menjerit kaget
Waktu itu jam menunjukkan pukul dua belas malam, langit yang gelap hanya
disinari rembulan yang redup, walau begitu, dengan kesempurnaan tenaga
dalam yang dimiliki Cau-ji, dia dapat menangkap suara jeritan itu dengan sangat
jelas.
Tergopoh-gopoh bocah itu mempercepat langkahnya menghampiri asal suara
jeritan itu.
Tiba di sisi telaga, ia saksikan ada dua belas orang bocah laki dan bocah
perempuan berkumpul di situ menemani seorang gadis remaja, saat itu mereka
sedang memanggang daging.
Rupanya mereka adalah dua belas orang pelayan dari perkumpulan Jit-sengkau
yang sedang berpesiar menemani tuan putrinya.
Jangan dilihat kedua belas orang bocah laki dan perempuan itu masih berusia
tujuh delapan belas tahunan, bukan saja wajah mereka rata-rata tampan dan
cantik, ilmu silatnya hebat dan hatinya sangat telengas.
Dalam perkumpulan Jit-seng-kau berlaku sebuah peraturan yang tak tertulis,
yakni bila ada salah seorang di antara mereka yang berkhianat, maka bila dia
seorang pria maka pada akhirnya lelaki itu akan mati kehabisan cairan mani
lantaran digilir habis-habisan oleh keenam orang gadis cantik itu.
Sebaliknya jika si penghianat adalah seorang perempuan, dia pasti akan mati
digilir keenam orang pria tampan itu.
Karena kekejaman dan kebuasan mereka itulah di dalam perkumpulan Jitseng-
kau dikenal sepatah kata yang sangat populer yakni "Lebih gampang
menjumpai raja neraka ketimbang bertemu setan cilik".

Kedua belas orang laki wanita ini memang hasil didikan ketua serta kedua
wakil ketua Jit-seng-kau, bukan saja sulit dihadapi, bila kurang berhati-hati bisa
jadi nyawa akan jadi taruhan.
Su Kiau-kiau maupun keempat suci-sumoaynya tentu saja juga tahu akan
kebuasan serta ketelengasan kedua belas orang kepercayaannya, tapi mereka
sama sekali tak menggubris, mereka sengaja mengumpak mereka hingga
semakin berani melakukan hal-hal yang sadis.
Begitulah, pada malam itu mereka bertiga belas sedang bersantai di tepi telaga
sambil memanggang daging dan minum arak, tak selang satu jam kemudian
kawanan muda mudi itu sudah mulai mabuk.
Pada saat itulah tiba-tiba tampak gadis berdandan sebagai tuan putri yang
berbaju merah, berwajah cantik dan berusia tiga empat belas tahunan itu
berseru dengan nyaring: "Jangan minum lagi, kalau dilanjutkan, kita tak bisa
pulang ke istana!"
Ketua para gadis cantik So Giok-ji segera menyahut: "Baik, baik, kita tidak
minum lagi, engkoh Liong, mari kita berkumpul dan adakan permainan
bersama."
Sambil berkata dia segera mengerling memberi tanda.
Ketua kaum lelaki Yau Ji-liong segera menanggapi, ia tertawa tergelak:
"Hahaha ... baiklah, tuan putri, mari kita bermain hembusan angin puyuh!"
"Baik."
"Agar permainan tambah asyik, maka setiap orang yang terhembus jatuh, dia
mesti melepaskan satu macam barang yang dikenakan, bagaimana? Setuju?"
Kawanan bocah laki dan perempuan itu segera bersorak sorai menyatakan
setuju.
Hanya si tuan putri Su Gi-gi yang kelihatan masih sangsi.
Melihat itu So Giok-ji segera berbisik: "Tuan putri, di sini tak ada orang luar,
apalagi kau selalu paling tenang, bukankah tiap kali bermain tiupan angin
topan, kau selalu menang?''
Su Gi-gi termenung berpikir sebentar, merasa apa yang dikatakan ada
benarnya juga maka dia pun mengangguk tanda setuju.
Kawanan muda mudi itupun mulai mengumpulkan dua belas batu besar yang
ditata menjadi satu lingkaran bulat masing-masing orang duduk di atas batu itu
dan memandang ke arah sucinya sambil tertawa cekikikan.
Tampak Su Kiau-kiau menyapu sekejap kawanan muda mudi itu, tiba-tiba
serunya dengan suara lantang: "Angin besar berhembus!"
"Meniup apa?" serentak muda mudi itu bertanya.
"Meniup bocah lelakil" sahut Su Kiau-kiau sambil bergerak secepat kilat
merebut posisi yang di tempati Yau Ji-liong.
Menurut aturan main, barang siapa ditunjuk kena tiupan maka dia mesti
bergeser ke posisi yang lain, bila gerakan tubuhnya lamban sehingga tidak
berhasil merebut posisi baru maka orang itu dianggap kalah dan dia mesti
melepaskan semacam barang yang dikenakan.
Tampak seorang bocah lelaki yang tidak berhasil merebut posisi mundur
selangkah ke belakang, kemudian sambil tertawa dia lepaskan ikat kepalanya,
setelah itu kembali teriaknya: "Angin besar berhembus!"
"Meniup apa?"
"Meniup orang yang punya rambut!"
Setelah terjadi kegaduhan akhirnya So Giok-ji yang gagal merebut posisi,
sambil tertawa cekikikan dia pun melepaskan jubah luarnya.

Begitu pakaian dilepas, tempik sorak pun segera bergema gegap gempita.
Ternyata begitu dia lepaskan jubah luarnya, terlihatlah tubuh bagian dalamnya
yang sama sekali tidak mengenakan apa-apa alias dia berada dalam keadaan
bugil.
Dengan tubuh telanjang bulat So Giok-ji berteriak nyaring: "Angin besar
berhembus!"
"Meniup apa?"
"Meniup orang yang tak punya perasaan."
Semua orang tertawa terbahak-bahak, ternyata tak seorang pun di antara
mereka yang bergeser.
Si tuan putri segera berseru sambil tertawa: "Giok-ji, kali ini taktikmu tidak
jitu...."
Sambil tertawa getir So Giok-ji pun melepaskan sepasang sepatunya.
"Angin besar berhembus!"
"Meniup apa?"
"Meniup bocah lelaki!"
Begitulah, permainan pun bergulir tiada hentinya, tatkala rembulan sudah
berada tepat di tengah angkasa, kedua belas orang muda mudi itu boleh dibilang
sudah berada dalam keadaan bugil.
Su Gi-gi sendiri pun ikut tertiup sebagian besar bajunya hingga kini yang
tersisa hanya pakaian dalamnya yang berwarna biru muda.
Melihat lekukan badan si tuan putri yang begitu montok dan indah, keenam
orang pemuda itu bukan saja melototi terus tubuh lawan tanpa berkedip,
bahkan kentara sekali kalau tubuh bagian bawahnya sudah pada bangun berdiri
dengan kakunya.
Melihat itu si tuan putri segera berseru: "Sudah ... sampai di sini saja, kalian
boleh bermain gila!"
Diiringi sorak sorai yang amat nyaring kedua belas orang muda mudi itu
segera mencari pasangan masing-masing dan mulai berbuat intim.
Pada mulanya pihak lelaki yang berada di atas dan si wanita berada di bawah,
tapi sesaat kemudian pihak wanita yang berada di atas dan si lelaki berada di
bawah, bukan saja banyak variasi yang digunakan, tampaknya semua orang
sudah berpengalaman sekali dalam melakukan hubungan kelamin.
Tiba-tiba terdengar So Giok-ji berteriak keras: "Sekarang berganti pasangan!"
Enam pasang muda mudi segera melompat bangun dan berganti pasangan,
kemudian melanjutkan kembali permainannya saling menunggangi lawan
jenisnya.
Siapakah Su Gi-gi itu? Ternyata dia adalah anak haram Su Kiau-kiau,
sepuluh tahun berselang Su Kiau-kiau telah menculik Bwe Si-jin dan
mengirimnya ke gua, sepanjang perjalanan secara beberapa hari mereka telah
melakukan hubungan intim yang tak terhitung banyaknya, bocah perempuan itu
tak lain adalah hasil dari hubungan tersebut.
Tatkala mengetahui dirinya hamil, sebenarnya Su Kiau-kiau punya rencana
untuk menggugurkannya, tapi niat itu dicegah ketiga orang sumoaynya, alasan
mereka, di kemudian hari mereka bisa gunakan si bocah sebagai sandera untuk
memaksa Bwe Si-jin berbakti lagi terhadap perguruan Jit-seng-kau.
Itulah sebabnya Su Gi-gi berhasil lolos dari kematian dan tumbuh jadi bocah
remaja.
Di bawah bimbingan dan didikan secara langsung dari Su Kiau-kiau
berempat, meskipun Su Gi-gi baru berusia tiga empat belas tahunan namun
ilmu silatnya sudah sangat hebat.

Perkumpulan Jit-seng-kau memang tersohor sebagai perkumpulan kaum
wanita bejat, boleh dibilang kesibukan mereka setiap harinya hanya berbuat
intim atau berbuat cabul sesama anggota, bagi Su Gi-gi kejadian tersebut sudah
sangat terbiasa dan tidak asing baginya.
Meskipun hingga hari itu Su Gi-gi masih bisa mempertahankan
keperawanannya, tak urung perasaan hatinya terpengaruh juga oleh adegan
mesum yang terpampang di depan matanya, diam-diam ia sendiri mulai merasa
terangsang dan sudah timbul pikiran untuk ikut "mencicipinya".
Apalagi dalam kondisi sekarang ini, dimana dua belas orang anak buahnya
sedang melangsungkan hubungan kelamin secara massal di hadapannya,
dimana bukan saja banyak variasi yang diperagakan, bahkan berulang kali
berganti pasangan, adegan ini membuat seluruh badannya jadi panas dan susah
untuk ditahan.
Gelora hawa darah yang membara membuat dengus napasnya ikut memburu,
paras mukanya jadi merah padam sementara sepasang matanya mengawasi
terus adegan mesum yang masih berlangsung di hadapannya.
Makin dilihat hatinya makin tersiksa, semakin hatinya tersiksa dia semakin
pingin melihat, apa mau dibilang, ibu dan ketiga bibinya telah berpesan berulang
kali, sebelum nadi Jin-meh dan tok-mehnya tembus, dia tak boleh kehilangan
keperawanannya.
Dalam keadaan terangsang hebat hingga badannya seperti terbakar, hanya
satu cara yang bisa dilakukan Su Gi-gi sekarang yakni menceburkan diri ke
dalam telaga untuk berendam.
Ternyata cara ini sangat mujarab, setelah berendam sejenak dalam air dingin,
kesadarannya pulih kembali, selain napsu hilang, hatipun jadi tenang, maka dia
pun berendam lebih jauh.
Sementara itu tertawa cabul, rintihan jalang masih berlangsung dengan
serunya di tepi telaga, sekalipun kini dia sudah berendam dalam air, bukan
berarti pandangan matanya lolos dari pemandangan merangsang yang
terpampang di depan mata.
Pada saat itulah ... tiba-tiba ia menyaksikan timbulkan arus air berpusing
yang sangat dahsyat muncul dari dasar telaga, kejadian ini segera membuatnya
tertegun.
Sementara dia masih termangu, pusaran air berputar makin kencang dan
makin melebar bahkan sudah mulai mendekati permukaan telaga, saat itulah Su
Gi-gi mulai panik dan terkesiap.
Sementara dia sedang menduga bakal munculnya makhluk aneh dari dasar
telaga, tahu-tahu naga sakti berusia ribuan itu sudah muncul di hadapannya
sambil mengeluarkan suara pekikan yang sangat mengerikan.
Biarpun titik kelemahan di tubuh naga sakti itu sudah terluka, namun dia tak
ingin kehilangan kesempatan "menghisap sari rembulan" yang hanya
berlangsung setahun satu kali, hari ini dia muncul kembali untuk mengulangi
kembali hal yang sama.
Tapi begitu muncul di permukaan dan melihat di tepi telaga ternyata terdapat
banyak "mangsa", dalam girangnya makhluk itupun berpekik nyaring.
Su Gi-gi sangat terperanjat, dalam terkejut bercampur ngerinya buru-buru dia
menyelam ke dalam air.
Kemunculan makhluk raksasa itu membuat suasana di tepi telaga jadi kalut,
dalam terkejut dan paniknya masing-masing melompat bangun dari tubuh
pasangannya dan kabur terbirit-birit dari situ.

Apa mau dibilang ternyata ada seorang gadis yang masih tertinggal di situ,
tampaknya rasa takut dan ngeri yang berlebihan membuat badannya bukan saja
gemetar keras, bahkan terjadi kejang-kejang khusus di sekitar lubang surganya.
Akibat kejang yang menyerang, ototnya jadi kaku dan segera "menggigit" kuatkuat
senjata "tombak" pasangannya yang masih menindih di atas tubuhnya.
Bisa dibayangkan apa jadinya saat itu, melihat "tombaknya "tergigit" hingga
tak bisa lepas, tergopoh-gopoh bocah lelaki itu berteriak: "Adik Hoa, jangan
main-main, ayo cepat lepaskan gigitanmul"
Sembari berkata dia cabut keluar tombaknya sekuat tenaga.
Gadis itu semakin panik, tergopoh-gopoh dia rentangkan sepasang pahanya
lebar-lebar agar sang pemuda bisa mencabut keluar senjatanya, sayang makin
panik gadis itu makin kencang "gigitan" liang surganya atas milik pemuda itu.
Pada saat itulah si naga sakti telah menongolkan kepalanya menghampiri
mereka, dengan sekali hisapan, diiringi jeritan ngeri yang menyayat hati,
sepasang muda mudi yang masih menempel jadi "satu tubuh" itu terhisap
masuk ke dalam perut makhluk tersebut.
Rekan-rekan lainnya jadi amat gusar melihat peristiwa tragis itu, sambil
membentak serentak mereka lepaskan pukulan dahsyat ke tubuh naga.
Sayang kulit tubuh naga itu kuat bagaikan baja, bukan saja serangan itu
gagal melukainya, malah sebaliknya justru memancing sifat liarnya.
Sementara itu Su gi-gi sudah muncul kembali di atas permukaan air, melihat
kegarangan naga sakti itu dia segera membentak nyaring sambil melepaskan
sebuah pukulan ke lambung binatang itu.
Merasa kesakitan naga sakti itu berpekik nyaring, tiba-tiba ia membalikkan
badan sambil menyerang gadis itu.
Buru-buru Su gi-gi melepaskan pukulan sambil menyingkir ke samping.
Tentu saja gerak geriknya sewaktu dalam air tidak segesit di atas daratan,
sekalipun tubuh nona itu tidak tertumbuk telak, namun tenaga sambarannya
membuat badannya mencelat hampir beberapa kaki jauhnya.
Muda mudi yang berada di tepi telaga serentak mengambil batu dan
menyambitkan ke lambung naga itu.
Sambitan yang dilancarkan serentak nampaknya membuat naga itu kesakitan,
lagi-lagi dia berbalik menyerang ke tepi telaga.
Tenaga bocah-bocah itu mana mungkin bisa menangkan kekuatan seekor
naga raksasa? Tidak sampai seperminum teh kemudian, tinggal empat orang
bocah yang selamat dari hisapan makhluk itu.
Sambil menjerit kaget keempat bocah perempuan yang masih hidup serentak
melarikan diri dari situ.
Lagi-lagi naga sakti itu pentangkan mulutnya sambil menghisap, seorang
bocah perempuan kembali terhisap ke perut makhluk itu.
Di pihak lain, Su Gi-gi merasakan gejolak hawa darah yang amat dahsyat
dalam rongga dadanya, nyaris dia jatuh pingsan karena sapuan makhluk itu,
sadar kalau usus perutnya terluka, diam-diam ia berenang menuju ke tepian.
Di saat yang sangat kritis itulah mendadak terdengar Cau-ji membentak
gusar: "Binatang, jangan melukai orang!"
Sambil menghardik, ia sambit sebutir batu besar ke bagian kepala naga sakti
itu.
Bentakan keras membuat si naga menghentikan tubuhnya, tapi sambitan
batu yang menyusul tiba membuat makhluk itu mengerang kesakitan.
Menggunakan kesempatan itu dua orang gadis yang nyaris dimakan naga itu
terbirit-birit melarikan diri ke tempat kejauhan.

Melihat hasil tangkapannya terlepas, naga sakti itu meraung gusar, kini dia
menerjang ke arah Cau-ji.
Bocah itu membentak gusar, sambil melepaskan sebuah pukulan ke perut
naga itu dia menyingkir ke samping.
Serangan tersebut dilepaskan tanpa menimbulkan suara, tapi akibatnya
sangat luar biasa, tampak naga sakti itu bergulingan di atas air sambil meraung
kesakitan, sekuat tenaga dia pentang mulutnya sembari menghisap.
Cau-ji merasakan betapa kuatnya tenaga hisapan itu, meski bisa menghindar,
dia kuatir binatang itu akan semakin kalap, maka sambil bulatkan tekad ia
biarkan badan sendiri dihisap.
Su Gi-gi serta dua orang gadis yang berada di telaga sangat kaget melihat
kejadian itu, tak tahan mereka menjerit tertahan.
Ketika tubuh Cau-ji yang terhisap mencapai atas kepala naga itu, tiba-tiba ia
meronta sambil melejit ke samping kemudian melepaskan sebuah bacokan
langsung ke mata kanannya yang pernah dipatuk burung sakti.
Sebagaimana diketahui, sudah bertahun-tahun lamanya Cau-ji melatih diri di
dalam gua melawan daya hisap angin berpusing yang maha dahsyat itu, dengan
dasar latihan macam itu, bagaimana mungkin ia bisa takut dengan tenaga
hisapan seekor naga?
Diiringi pekikan keras, bola mata makhluk itu segera terhajar telak hingga
hancur berantakan, percikan darah segar memancar ke empat penjuru.
Tampaknya makhluk itu tidak menyangka kalau lawannya memiliki ilmu silat
begitu dahsyat, sadar bukan tandingan, buru-buru ia melarikan diri dengan
menyelam ke dasar telaga.
Cau-ji mendengus dingin, hardiknya: "Binatang, jangan harap bisa kabur!"
Kembali sebuah pukulan dahsyat dilontarkan.
Setelah mengalami kerugian besar karena serangan Cau-ji, kali ini makhluk
aneh itu bertindak lebih cerdik, buru-buru dia menghindar dari datangnya
ancaman.
Su Gi-gi begitu melihat ada peluang untuk menyerang, ditambah lagi ia
dendam karena harus kehilangan nyawa sepuluh orang anak buahnya,
menggunakan kesempatan itu sebuah pukulan kembali dilancarkan menyerang
lambung binatang itu.
Gempuran keras membuat naga sakti itu meraung gusar, lagi-lagi dia
menumbukkan kepalanya ke arah Su Gi-gi.
"Cepat menghindar!" buru-buru Cau-ji berteriak sambil bergerak menghampiri
nona itu.
Begitu tiba di sisinya, bocah itu langsung merangkul pinggangnya dan
menariknya menyelam ke dasar telaga.
Selama hidup Su Gi-gi belum pernah disentuh lelaki, dia jadi malu bercampur
gusar telah melihat pinggangnya dirangkul seorang pemuda berdandan aneh.
Seandainya waktu itu bukan lagi menyelam, mungkin dia sudah menghardik
penuh amarah.
 
Tiba-tiba terjadi getaran dahsyat yang muncul dari permukaan telaga, begitu
dahsyat getaran itu membuat napasnya sesak dan nyaris pingsan, gadis itu tahu
getaran tersebut pasti ditimbulkan oleh naga sakti itu.
Sekarang dia baru merasa berterima kasih, untung pemuda itu menariknya ke
dalam air, coba kalau tidak, entah apa yang bakal terjadi.
Setelah menyelam cukup dalam ke dasar telaga, Cau-ji berbelok ke samping
lalu munculkan diri lagi di atas permukaan.
Buru-buru Su Gi-gi meronta dan melepaskan diri dari rangkulan pemuda itu.

"Cepat tahan napas!" tiba-tiba Cau-ji berbisik lagi, rupanya dia tahu kalau si
naga telah menemukan tempat persembunyiannya, segera dia tarik gadis itu
menyelam lagi ke dalam air.
Benar juga, baru saja mereka tiba di dasar telaga, kembali terjadi getaran
dahsyat di atas kepala mereka.
Kini Su Gi-gi benar-benar ketakutan, saking ngerinya dia merasakan
jantungnya berdebar keras.
Setelah berputar satu lingkaran, Cau-ji muncul kembali di atas permukaan
telaga.
"Berapa lama kau bisa menahan napas?" terdengar pemuda itu berbisik lagi
sambil menatap wajah nona itu lekat-lekat.
Su Gi-gi merasa sangat tegang, terutama setelah mengamati wajah lawan yang
begitu tampan, sahutnya agak gelagapan: "Mungkin bisa bertahan seperminum
teh."
Cau-ji sangat kegirangan, kembali ujarnya: "Kau berani menonton aku bantai
naga itu?"
"Bantai naga? Jadi makhluk aneh itu seekor naga?" berubah hebat paras
muka Su Gi-gi.
Begitu mendengar gadis itu menjerit kaget, Cau-ji tahu bakal celaka, buruburu
bentaknya: "Tahan napas!"
Sambil berkata dia menyelam lagi ke dalam telaga.
Waktu itu Su Gi-gi sedang gugup bercampur panik, dia tak sempat menutup
pernapasannya, begitu menyelam, air segera masuk ke dalam mulutnya
membuat dia meronta-ronta.
Dulu, ketika masih berada di pesanggrahan Haythian-it-si, Cau-ji sudah
sering mempunyai pengalaman menghadapi situasi seperti ini, maka sembari
melanjutkan gerakannya menyelam, dia tempelkan tubuh sendiri ke dada si
nona.
Bukan hanya begitu, dia pun tempelkan mulutnya ke bibir gadis itu sambil
pelan-pelan menyalurkan hawa murninya.
Sebenarnya Su Gi-gi sudah mengayunkan tangannya untuk melepaskan
pukulan, tapi ketika dirasakan dadanya yang semula sesak kini jauh lebih lega
dan enak, sadarlah dia kalau pemuda itu sedang membantunya mengalirkan
hawa murni, tanpa sadar tangan kanannya segera dirangkulkan ke bahu lawan.
Pada saat itulah getaran dahsyat kembali bergema dari permukaan air, saking
takutnya Su Gi-gi segera peluk tubuh Cau-ji erat-erat.
Pikiran Cau-ji saat itu hanya bagaimana selamatkan orang, meskipun dipeluk
seorang gadis cantik, dia sama sekali tak punya pikiran cabul.
Sekali lagi dia munculkan diri di belakang punggung sang naga sembari
berganti napas.
Dengan tersipu-sipu Su Gi-gi melepaskan diri dari pelukan pemuda itu, wajah
Cau-ji yang tampan membuat perasaan hatinya semakin bergolak, namun diamdiam
dia merasa kagum juga dengan kejujuran pemuda itu.
Tentu saja Su Gi-gi tidak menyangka kalau usia Cau-ji waktu itu baru dua
belas tahun lebih, bagaimana mungkin ia bisa berpikir ke soal yang satu itu?
"Kau tak apa-apa bukan?" bisik Cau-ji segera menghembuskan napas
panjang.
"Tidak apa-apa, terima kasih!"
Cau-ji segera merangkul kembali pinggangnya sambil berbisik: "Ayo
berangkat, lihat bagaimana caraku membantai naga itu!"

Dengan wajah bersemu merah karena malu Su Gigi merangkul pinggang
pemuda itu erat-erat, setelah menahan napas dia ikut mengawasi situasi di
sekeliling telaga.
Sambil memeluk gadis itu, pelan-pelan Cau-ji mendekati tubuh makhluk
raksasa tersebut, ketika diamati lebih jelas, betul juga, ia saksikan pada
lambung tengah si naga yang berwarna lingkaran putih tertancap sebilah pisau
belati.
Cau-ji segera menuding ke arah pisau belati itu, melihat hal tersebut Su Gi-gi
segera berpikir "Ooh, rupanya dia sudah melukai makhluk itu, tak nyana dengan
usia semuda itu ternyata memiliki ilmu silat yang luar biasa hebatnya."
Tanpa terasa dia manggut-manggut tanda telah melihatnya.
Dengan tangan kanannya Cau-ji menggenggam gagang pisau itu, kemudian
sambil mengerahkan tenaga dalamnya dia tarik pisau itu ke bagian bawah
lambung sang naga dan merobeknya lebar-lebar.
Terluka parah pada bagian tubuh yang mematikan, naga sakti itu meraung
keras, begitu dahsyat pekikan itu membuat dua belah tebing di sisi telaga itu
sampai ikut bergetar keras.
Gelombang ombak segera menggunung, arus menyembur mencapai ketinggian
berapa kaki.
Situasi saat itu sangat mengerikan, sebab naga itu bukan saja meronta, dia
pun meraung dan menggeliat dengan hebatnya.
Tiba-tiba Su Gi-gi melihat munculnya sebutir bola api sebesar kepala bayi di
dalam lambung naga itu, hatinya tergerak, pikirnya: "Jangan-jangan bola api itu
adalah Lwe-wan (pil inti) seperti apa yang tercantum dalam catatan buku?"
Berpikir sampai di situ dia pun menepuk tangan Cau-ji sambil menuding ke
arah bola api itu.
Cau-ji manggut-manggut tanda mengerti, dia berenang mendekat sambil
mengayunkan pisau belati, bola api itu segera terputus dan jatuh ke tangan Su
Gi-gi.
Begitu kehilangan bola apinya, naga itu meronta semakin dahsyat, tubuhnya
menggeliat semakin menggila dan dihantamkan ke empat penjuru, guguran batu
dan pasir segera berserakan ke dalam telaga.
Cau-ji ikut merasa tegang setelah melihat kejadian itu, buru-buru dia
berenang menuju ke tempat yang lebih dalam.
Baginya selama banyak tahun sudah terbiasa terbentur pada dinding karang,
terhadap runtuhan bebatuan yang terjadi saat ini tidak terlalu merisaukan, tapi
dia justru kuatir jika nona yang berada dalam pelukannya terkena bebatuan itu.
Dalam pada itu Su Gi-gi sudah dibuat ketakutan setengah mati, sambil
memeluk kencang Lwe-wan itu di depan dadanya, dia tempel ketat di sisi tubuh
Cau-ji.
Pemuda itu tahu, bertahan dalam posisi semacam ini sangat tidak
menguntungkan, dia harus secepatnya mencari tempat yang lebih baik untuk
menyelamatkan diri.
Tiba-tiba sorot matanya terbentur dengan sebuah gua yang memancarkan
sinar redup di sisi dinding sebelah kanan, dengan perasaan girang ia segera
berenang ke arah situ dan langsung masuk ke dalam gua.
Bentuk gua itu sangat lebar, berdiri di mulut gua Cau-ji melihat dinding gua
itu dipenuh dengan butiran putih sebesar kepalan tangan yang bergelantungan,
ternyata air telaga tak bisa mengalir ke situ.

Dengan perasaan termangu pemuda itu mengawasi terus gelora air telaga di
luar telaga, dia tak habis mengerti kenapa air yang menggelora ternyata tak
mampu mencapai daratan dimana ia berdiri sekarang.
Sementara itu Su Gi-gi sudah melepaskan diri dari pelukan pemuda itu,
melihat pakaiannya basah kuyup sehingga kain bajunya menempel ketat di
badannya, ia jadi malu sekali, saat itu bukan saja semua lekukan badannya
tertera jelas bahkan secara lamat-lamat dapat terlihat puting susunya yang
mulai tumbuh serta bulu hitam di bawah perutnya.
Malu bercampur panik cepat-cepat gadis itu menutupi dada serta bagian
bawah badannya dengan tangan.
Selesai menutupi bagian tubuhnya yang terlihat, ia baru memperhatikan
lawannya, dia makin keheranan ketika melihat pemuda itu hanya mengawasi
butiran putih di dinding gua dengan termangu.
Su Gi-gi memperhatikan sekejap butiran putih itu, dia segera paham benda itu
tentulah mutiara anti air (Pit-sui-cu) seperti apa yang tertera di gua rahasia
perguruannya, maka ujarnya lembut: "Kongcu, kau tak usah keheranan, benda
itu adalah Mutiara kedap air!"
"Oooh, rupanya itulah benda yang disebut mutiara kedap air, ternyata
memang hebat sekali, hanya sebutir mutiara namun bisa menahan gelombang
air hingga tak masuk kemari... Hah?"
Mereka berdua serentak menoleh ke arah telaga, tampak batuan raksasa
mulai berguguran menyumbat mulut gua itu.
"Aduh celaka!" jerit Su Gi-gi kaget, "tampaknya terjadi tanah longsor, waah,
bagaimana cara kita keluar dari sini?"
Cau-ji berpikir sejenak, mendadak serunya: "Lari!" sambil mengempit tubuh si
nona, dia segera lari masuk ke dalam gua itu.
Bagaikan sedang mengempit adik perempuan sendiri, pemuda itu berlari cepat
menuju ke dalam gua yang gelap gulita.
Su Gi-gi merasa malu bercampur girang, hatinya berdebar keras merasakan
gesekan badan yang berlangsung selama pelarian itu.
Lorong gua itu berliku-liku, permukaan tanah pun tinggi rendah tak menentu,
akhirnya sampailah mereka berdua di depan sebuah mulut gua yang tersumbat
oleh sebuah batu raksasa.
Su Gi-gi mencoba untuk mendorong batu raksasa itu, ternyata batuan itu
sama sekali tak bergeming.
Melihat itu Cau-ji menghimpun tenaga dalamnya kemudian sekuat tenaga
mendorong batu itu.
Tampak batuan raksasa itu mulai bergerak.
Cau-ji kegirangan, sambil membentak nyaring sekali lagi dia dorong batu itu
dengan sekuat tenaga.
Siapa tahu batu itu hanya bergerak sebentar kemudian balik lagi pada posisi
semula.
Cau-ji menarik napas panjang, sekali lagi dia mengerahkan tenaganya untuk
mendorong, sayang walaupun sudah dicoba berulang kali, batu raksasa itu tetap
tak bergeming.
Su Gi-gi segera menarik lengannya sambil berbisik: "Kongcu, tak usah terburu
napsu, mari kita beristirahat sejenak."
Cau-ji mundur selangkah sambil menghembuskan napas, gumamnya: "Aai ...
sungguh tak nyana batu itu berat sekali, Hey, coba lihat, kenapa ada cairan yang
mengalir dari bola api itu?"
Su Gi-gi tahu bola api itu rusak karena cekalannya yang kelewat kuat

"Aduh sayang ...." jeritnya, dengan sangat berhati-hati dia pegang bola itu ke
dalam telapak tangannya.
Cau-ji segera mengendus bau harum yang luar biasa muncul dari bola api itu,
tiba-tiba perutnya mulai menjerit keras.
Tampaknya pertarungan sengitnya melawan naga tadi membuat pemuda itu
mulai merasa kelaparan.
Dalam pada itu Su Gi-gi sedang mengawasi bola api itu dengan perasaan
bimbang, dia tahu benda itu adalah mestika langka yang berusia seribu tahun,
dia tak tahu apakah benda itu harus dibagi setengah untuk pemuda itu ataukah
akan dimakan sendirian.
Menurut catatan dalam buku kuno, khasiat bola api itu akan lenyap setelah
satu jam terkena angin, sekarang mereka jelas terkurung dalam gua dan
mustahil bisa lolos dari situ dalam waktu singkat, itu berarti benda itu harus
dimakan secepatnya.
la tahu, di atas bahunya terletak tanggung jawab berat atas perkembangan
perguruan Jit-seng-kau, sementara pemuda itu tidak jelas asal-usulnya, apakah
dia mesti berbagi hasil dengannya?
Waktu itu meski dia tahu pihak lawan sangat kelaparan, tapi ia sudah
mengambil keputusan bulat untuk tidak menyerahkan bola api itu untuk lawan.
Dengan berlagak terpaksa, dia sodorkan bola api itu ke hadapan Cau-ji sambil
bisiknya: "Kongcu, jika kau lapar sekali, makanlah bola api ini!"
Cau-ji bukan orang bodoh, tentu saja dia pun tahu kalau nona itu keberatan
jika dia yang makan benda tersebut, maka katanya sambil tertawa: "Nona,
barang itu kecil sekali, mending tidak kumakan, aku kuatir kalau dimakan
malah semakin terasa lapar!"
"Kalau begitu siaumoay tidak sungkan-sungkan lagi" kata Su gi-gi sambil
tertawa, habis berkata ia masukkan Lwe-wan dari naga sakti itu ke dalam
mulutnya dan mulai dihisap pelan-pelan.
Cau-ji merasa semakin kelaparan, katanya kemudian sambil tertawa: "Nona,
biar aku berkeliling di sekitar sini, siapa tahu di tempat ini masih ada jalan
keluar lainnya?'
Memang ucapan macam itu yang diharapkan Su Gigi, dia segera mengangguk,
katanya berlagak kuatir "Kau mesti hati-hati...."
Cau-ji mengangguk dan segera berlalu dari situ.
Menanti hingga pemuda itu lenyap dari pandangan mata, Su Gi-gi menghisap
sekali lagi cairan dalam Lwe-wan itu kemudian duduk bersila dan mulai
mengatur pernapasan.
Tak selang berapa saat kemudian ia merasakan sekujur badannya amat segar,
ia tahu pasti berkat khasiat bola api, kembali dia hisap cairan itu satu tegukan.
Tak lama kemudian ia merasakan munculnya aliran panas dari tan-tiamnya
dan secepat kilat menyebar ke seluruh jalan darah pentingnya, ia merasa
badannya makin lama semakin enteng dan makin segar.
Tujuan yang utama bagi orang yang belajar silat adalah tembusnya urat jinmeh
serta tok-meh, Su Gi-gi tahu, kedua nadi penting itu sudah tembus, saking
girangnya air mata bercucuran membasahi pipinya.
Tanpa terasa dua jam sudah lewat, gelombang hawa panas yang semula
menggelora dalam dadanya lambat laun bertambah tenang, kini hawa panas itu
berubah jadi aliran tenaga yang sangat lembut.
Selesai bersemedi, Su Gi-gi mulai berpikir "Kenapa aku tidak sekalian
habiskan bola api ini? Daripada diberikan ke dia, kenapa tidak aku kuasai
sendiri?"

Berpikir begitu dia segera mengambil sisa setengah dari Lwe-wan itu dan
mulai dihisap cairannya, kali ini bukan hanya cairannya saja yang dihisap
bahkan kulit luarnya pun ikut dilahap.
"Perduli amat bagaimana akibatnya," demikian ia berpikir, "toh saat ini jinmeh
dan tok-mehku sudah tembus, bila terjadi apa-apa, paling tidak aku masih
bisa mengendalikan diri."
Siapa tahu setelah bersemedi satu putaran, ia merasa tubuhnya makin lama
semakin panas, bukan saja tan-tiamnya seperti dibakar, sekujur badannya
seakan terjerumus dalam lautan api, panasnya bukan kepalang.
Buru-buru dia pejamkan mata sambil pusatkan pikiran, dia berusaha
mengendalikan menyebarnya hawa panas itu ke seluruh badan.
Sayang usahanya tidak membuahkan hasil, bukan saja hawa panas itu sukar
terkendali, bahkan ibarat api yang membakar ladang ilalang, dalam waktu
singkat setiap bagian tubuhnya terasa panas bagai dibakar.
la kuatir mengalami Cou-hue-jip-mo (jalan api menuju neraka), sambil
menggertak gigi dia berusaha keras mengendalikan diri.
Tak selang berapa saat kemudian tampak bibirnya mulai pecah dan terluka,
cucuran darah segar mulai meleleh keluar.
Bukan hanya begitu, bahkan dia mulai membayangkan adegan bercinta yang
dilakukan anak buahnya belum lama berselang.
Semakin dibayangkan dia merasa semakin terangsang, napsu birahinya
bangkit dan berkobar, akhirnya ia tak kuasa menahan diri lagi, kutangnya mulai
dicampakkan bahkan celana tipis yang dikenakan untuk menutupi auratnya
juga mulai dirobek, mulai dicabik dan dibuang jauh-jauh.
Tak lama kemudian ia sudah tampil dalam keadaan bugil, payudaranya
kelihatan sangat montok, bulu hitam menghiasi pangkal pahanya membuat
gadis itu nampak jalang dan merangsang, bahkan napasnya mulai kedengaran
ngos-ngosan.
Hawa panas yang membakar seluruh tubuhnya membuat ia menggeliat ke
sana kemari mencari penyaluran.
Pada mulanya dengan menghajar bebatuan di sekitar gua membuat badannya
terasa agak segar, tapi sejenak kemudian ia mulai tersiksa.
Gempuran-gempurannya bukan saja tidak mampu menghilangkan hawa
panas yang merangsang napsu birahinya, bahkan semakin lama dia semakin tak
tahan.
Sementara itu Cau-ji dengan menahan rasa lapar balik kembali ke mulut gua,
dia saksikan mutiara anti air masih tetap memancarkan sinar terang di situ.
Tapi mulut gua sudah tersumbat oleh reruntuhan batuan, dia mencoba untuk
mendorong, namun ibarat mendorong bukit karang, bebatuan itu sama sekali
tak bergeming.
Dia mencoba berulang kali namun hasilnya tetap nihil, akhirnya sambil duduk
di lantai pikirnya: "Wah, tampaknya dasar telaga telah ditimbuni reruntuhan
bukit karang, ini berarti untuk bisa keluar dari sini, aku harus menyingkirkan
batu besar itu."
Maka dia pun duduk bersemedi sambil mengatur pemapasan, dia harus
menghimpun seluruh kekuatannya untuk menyingkirkan batu besar itu, sebab
kalau tidak, dia bakal mati kelaparan.
Entah berapa saat sudah lewat, pemuda itu baru mendusin dari semedinya
ketika dari kejauhan dia mendengar suara nona itu sedang berteriak-teriak,
semula dia menduga gadis itu telah bertemu dengan musuh tangguh, maka

buru-buru ia selesaikan semedinya dan berlarian menuju ke arah sumber suara
tadi.
Dia baru berseru tertahan setelah melihat gadis itu sedang mencak-mencak
macam orang kalap dalam keadaan telanjang bulat.
Waktu itu Su Gi-gi sudah tak mampu menahan napsu birahinya, begitu
melihat munculnya Cau-ji, dia bersorak kegirangan dan langsung menerjang ke
arahnya.
Buru-buru Cau-ji mundur selangkah.
Gagal dengan terjangannya yang pertama, Su Gi-gi menerkam sekali lagi
dengan kecepatan tinggi.
Pada waktu itu tenaga dalam yang dimiliki kedua orang itu boleh dibilang
tidak selisih banyak, posisi Cau-ji justru lebih dirugikan karena gerakan
tubuhnya tidak sehebat Su Gi-gi, tidak sampai tiga gebrakan kemudian bahu
kanannya sudah kena dicengkeram.
"Nona, mau apa kau?" teriak Cau-ji setelah merasakan separuh badannya
kesemutan dan kaku.
Su Gi-gi sama sekali tidak menjawab, sambil tertawa cekikian dia mulai
melucuti pakaian yang dikenakan pemuda itu sehingga sekejap mata kemudian
Cau-ji sudah berada dalam keadaan telanjang bulat.
"Hey nona, kau sudah gila?"
Su Gi-gi sama sekali tidak menggubris, kembali ia totok jalan darah kakunya
kemudian menubruk ke dalam pangkuannya.
"Blaaamm!" tubuh Cau-ji roboh tertelentang di atas tanah, sambil mengaduh
kembali pemuda itu berteriak: "Nona, kau ... kau sudah gila?"
Waktu itu dengus napas Su Gi-gi sudah memburu bagai dengus napas
kerbau, begitu menubruk badan Cau-ji dan menindihinya, dia langsung
menggesekkan tubuh bagian bawahnya ke atas "ular berbulu kecil" milik Cau-ji
yang masih mengkeret kecil.
Cau-ji dapat merasakan sekujur badan nona itu panas bagai kobaran api,
dengusan napasnya juga panas sekali, sambil berteriak bocah itu mulai berpikir
apa gerangan yang telah terjadi.
Sepandai-pandainya bocah ini, bagaimanapun dia belum dewasa, pikiran serta
reaksi badannya juga belum tumbuh jadi dewasa dan matang sehingga dia sama
sekali tak tahu apa yang sebetulnya telah terjadi.
Sudah setengah harian Su Gi-gi menggesekkan tubuh bagian bawahnya di
atas "uiar berbulu kecil" milik Cau-ji, tapi lantaran tegang bercampur takut,
tentu saja si "ular berbulu kecil" miliknya sama sekali tak mau "berdiri tegak",
hal ini membuat gadis itu makin tersiksa.
Dalam gelisahnya tiba-tiba dia tangkap ular berbulu kecil itu, lalu sesudah
dipaskan ke lubang surga miliknya, dia tekan kuat-kuat ke bawah.
Sayang si ular berbulu kecil itu kelewat lembek, bagaimanapun dijejalkan, ia
gagal menjejalkannya ke dalam lubang surga miliknya.
Waktu itu Cau-ji sudah dibikin kesakitan setengah mati, dia mendengus
berulang kali, masih untung jejalan itu tidak membuat miliknya lecet.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Su Gi-gi, ia teringat pernah
melihat seorang anggota perkumpulannya sedang bermain "seruling", waktu
melihat adegan itu untuk pertama kalinya, dia merasa jijik dan mual, tapi ketika
dibayangkan kembali sekarang, tiba-tiba gadis ini merasa miliknya semakin geli
dan gatal....

Tanpa berpikir panjang lagi dia merangkak ke atas tubuh Cau-ji, kemudian
dengan bibirnya yang kecil dia masukkan si ular berbulu kecil ke dalam
mulutnya, kemudian mulai menghisap dan menghisap terus kuat-kuat ....
Cau-ji sama sekali tak mengira kalau si nona akan melakukan tingkah laku
seaneh itu, teriaknya tak tahan: "Hey nona, jangan sembarangan ...."
Su Gi-gi sama sekali tidak menggubris, dia meneruskan hisapannya dengan
penuh bersemangat, tak lama kemudian ia jumpai si ular berbulu kecil sudah
mulai bernyawa dan mulai bisa menganggukkan kepalanya.
Terkejut bercampur girang gadis itu semakin memperkuat hisapannya,
bahkan dimasuk keluarkan di dalam mulutnya dengan lebih cepat.
Cau-ji malu bercampur gelisah, selembar wajahnya mulai berubah jadi merah
padam.
Tak lama kemudian si ular berbulu kecil sudah berdiri tegak, bahkan mulai
menggelembung besar.
Su Gi-gi coba mengeluarkan si ular itu dari mulutnya, ia saksikan si ular kecil
kini telah berubah jadi ular besar, bahkan si ular pun sudah pandai
mengeluarkan "kepala'nya dari balik bungkusan kulit, betul bentuknya tidak
sebesar apa yang pernah dilihatnya di masa lalu, paling tidak posisi tegang dan
keras dari si ular berkepala botak itu sudah cukup untuk memenuhi hasratnya.
Kembali dia menunggang di atas tubuh pemuda itu, merentangkan mulut
guanya lebar-lebar dan segera mendudukinya kuat-kuat.
"Aduuh" gadis itu menjerit kesakitan, tapi ia tetap menggertak gigi sambil
menekankan badannya lebih ke bawah, dia ingin si ular besar berkepala botak
itu bisa menghujam lebih dalam di balik gua surganya.
Cau-ji segera merasakan ular berkepala botak miliknya seolah-olah direndam
di dalam "botol air" yang hangat sekali, selain sakit juga panas, tapi rasanya
kencang dan nyaman, barang miliknya seolah-olah terbungkus sangat rapat di
bagian yang hangat itu dan serasa disedot-sedot.
Dalam keadaan begini dia pun tak bisa mengatakan saat itu terasa sakit atau
nikmat?
Su Gi-gi sendiri pun baru pertama kali ini bersetubuh, kehilangan selaput
perawan memang membuatnya kesakitan, tapi setelah beristirahat sejenak,
apalagi terdorong oleh gejolak hawa panas dalam tubuhnya, sambil menggertak
gigi dia mulai menggoyang tubuhnya, menggeliat, berputar dan naik turun tiada
hentinya....
Sekali dia bergerak, maka gerakan seterusnya tak bisa dicegah lagi, ditambah
pula semakin dia menggerakkan badan, lubang surga miliknya terasa makin geli,
gatal dan nikmat, maka dia pun menggoyangkan tubuhnya semakin menggila.
Mula-mula dia menggoyangkan badannya dalam posisi berjongkok, ketika
lama kelamaan kakinya mulai linu, dia pun berganti menggunakan lutut untuk
menggerakkan tubuhnya naik turun.
Ketika lututnya mulai sakit, dia pun menindihi badan Cau-ji dan bergoyang
terus....
"Crooot ... crooot ... plaaak ... plaak" suara bebunyian aneh bergema mengikuti
irama tubuhnya yang naik turun, bergoyang, berputar dan menggeliat.
Cau-ji si bocah kemarin sore yang belum pernah menerima pendidikan seks,
boleh dibilang sama sekali tak mengerti apa gerangan yang dilakukan gadis itu,
melihat si nona masih saja menggerakkan tubuhnya naik turun hingga
bermandikan keringat, beberapa kali dia membujuknya agar beristirahat dulu.
Tapi gadis itu tidak menggubris, bukannya beristirahat, goyangan tubuhnya
semakin menggila.

Mula-mula Cau-ji merasa agak tersiksa dengan tingkah laku gadis itu, tapi
lama kelamaan dia pun mulai merasakan nikmatnya permainan aneh ini,
sekarang dia mulai mengimbangi gerakan nona itu.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba terlihat gadis itu gemetaran keras,
lalu diiringi rintihan lirih dan senyum kepuasan ia menghentikan semua gerakan
anehnya.
Cau-ji merasakan dari bagian bawah tubuhnya mengalir keluar sejenis cairan
yang pekat, tanpa terasa pikirnya: "Gadis ini aneh betul, orangnya sih cantik,
tapi kenapa sukanya mengencingi orang? Mau kencing ya jangan di atas milik
orang lain!"
Sebetulnya dia mau menegur, tapi melihat gadis itu sedang memicingkan
matanya sambil menikmati, dia pun tak tega, kembali pikirnya: "Hai, mungkin
dia lagi kesetanan, ya sudahlah, paling banter aku mandi sekali lagi, mau
dikencingi ya biar saja dia kencing...."
Maka dia pun pejamkan matanya membiarkan gadis itu kencing semaunya
sendiri.
Begitu pejamkan mata bocah itu merasa seluruh badannya segar, lega dan
nikmat sekali, tanpa terasa dia pun tertidur nyenyak.
Sejak berada dalam gua dingin tempo hari, boleh dibilang Cau-ji tak pernah
tidur nyenyak, sebab setiap setengah hari dia mesti bersiaga menghadapi
serangan angin puyuh berpusing.
Hari ini, secara tidak sengaja dia telah bermain cinta dengan Su Gi-gi,
walaupun dia tak tahu kalau cairan pekat yang meleleh keluar itu sesungguhnya
adalah cairan yang keluar dari miliknya karena mencapai puncak kepuasan,
namun dengan terjadinya hubungan badan itu, secara tidak sengaja hawa murni
yang terhisap oleh Su Gi-gi dari bola api naga itu ikut mengalir masuk ke dalam
tubuh Cau-ji, hal mana membuat seluruh hawa murni im-khi milik si nona
terhisap hingga habis.
Tampaknya gadis itu sedang tidur pulas di atas badan Cau-ji sambil tertawa
puas, padahal selembar nyawanya sudah melayang meninggalkan raganya.
Selama hidup Su Kiau-kiau sudah seringkah menghisap hawa yang-khi milik
kaum lelaki, entah berapa banyak nyawa manusia yang hilang di tangannya,
sungguh tak nyana hari ini anak gadisnya justru kehilangan juga nyawanya
karena hawa Im-khi miliknya terhisap oleh lelaki lain.
Mungkinkah ini yang disebut hukum karma?
Begitu tertidur Cau-ji terlelap sampai dua belas jam lamanya, selama satu hari
satu malam ini hawa murni Kui-goan-sinkang di dalam tubuhnya telah DergeraK
dan berputar secara otomatis.
Dengan menghisap sari hawa dingin yang dimiliki Su Gi-gi ditambah kekuatan
yang terbentuk dari Lwe-wan milik naga sakti, tenaga dalam Cau-ji saat ini boleh
dibilang sudah mencapai puncak kesempurnaan.
Ketika membuka matanya kembali, dia merasakan ada sebuah tubuh yang
membujur dingin dan kaku masih menindih di atas badannya, ia terkejut dan
hampir saja menjerit
Tapi ia segera teringat kalau nona itu adalah si gadis yang tadi kencing di
tubuhnya, tapi kenapa dia tertidur begitu nyenyak?
"Hey nona, ayo bangun!" seru Cau-ji kemudian.
Sudah berulang kali dia memanggil tapi gadis itu masih saja tidur nyenyak,
tanpa terasa dia goyangkan bahunya berulang kali sambil memanggil, siapa tahu
si nona tetap tak menggubris.

Cau-ji semakin keheranan, tiba-tiba ia merasa gadis itu bukan saja tubuhnya
sudah dingin kaku bahkan seakan-akan tak bernapas, dalam gugup dan
tegangnya cepat dia periksa pemapasan orang.
Akhirnya sambil menjerit kaget Cau-ii mendorong tubuh gadis itu kuat-kuat,
lalu keluhnya: "Kenapa gadis itu bisa mati di tanganku? Oooh Thian, kenapa aku
... aku jadi seorang pembunuh? Kalau sampai berjumpa keluarganya, bagaimana
caraku bertanggung jawab?"
Kasihan Cau-ji, walaupun dia merdapat banyak pengalaman aneh, tapi
batinnya tersiksa karena dia anggap pembunuh gadis tersebut adalah dirinya.
 
Bab VI. Pendidikan seorang ibu.

Bukit Wu-san, puncak Sin-li-hong, di tengah hutan pohon siong yang amat
lebat pada lima belas tahun berselang berdiri sebuah bangunan rumah yang
besar, gedung itu adalah pesanggrahan milik si raja penyayat kulit dari propinsi
Sichuan.
Suatu hari Su Kiau-kiau muncul di tempat itu, karena merasa gedung itu
sangat cocok untuk dijadikan markas besar perkumpulan Jit-seng-kau, maka
dia gunakan Bi-jin-ki (siasat wanita cantik) untuk menjebak si raja penyayat
kulit, bukan saja ia berhasil menguasai seluruh keluarga besar si raja penyayat
kulit, bahkan bisa menggunakan seluruh harta kekayaannya untuk membangun
perguruannya.
Tiga tahun berselang, si raja penyayat kulit satu keluarga besar yang terdiri
dari puluhan orang, tiba-tiba terjangkit penyakit aneh hingga secara beruntun
meninggal dunia, bukan saja Su Kiau-kiau berhasil mewarisi seluruh harta
kekayaan tersebut bahkan menjadi pemilik tunggal tempat itu.
Siang itu, baru saja Su Kiau-kiau berjalan masuk ke ruang utama, tongcu dari
ruang burung hong, si dewi burung hong Un Bun telah datang menghampiri
sembari berseru: "Lapor ketua!"
"Ada apa Un-tongcu," tegur Su Kiau-kiau sambil tersenyum, "kenapa kau
tergopoh-gopoh? Apa semalam kelewat panas sehingga hari ini datang minta
obat kepadaku?"
Merah jengah selebar wajah Un Bun sehabis mendengar ucapan itu, sahutnya:
"Ketua, berkat ilmu sakti ajaranmu, hamba masih sanggup menghadapi orangorang
itu, yang menjadi masalah adalah hingga kini kabar berita tuan putri
beserta kedua belas kim-tonggiok-li masih merupakan tanda tanya besar dan
penuh diliputi misteri."
"Semalam mereka pergi kemana?" tanya Su Kiau-kiau dengan wajah berubah
hebat.
"Konon mereka membakar daging di tepi telaga kekasih!"
"Ehmm, selama ini Gi-gi tidak pernah menginap di luar, sudah utus orang
untuk mencari?"
"Sudah, menurut laporan, semalam terjadi bencana alam di telaga kekasih,
bukit karang yang semula berdiri tegak di sisi telaga kini telah berubah jadi
sebuah padang tanah luas, di sekeliling tempat itu sama sekali tak ditemukan
jejak mereka."
"Oooh ... tak aneh kalau semalam terdengar suara gempa dan pekikan aneh,
jangan-jangan ada makhluk asing yang muncul di situ?"
"Kaucu, bagaimana kalau kita libatkan orang-orang dari ruang Cing-liong-tong
dan Pek-hau-tong untuk ikut melakukan pencarian?"

Mendengar putri kesayangannya belum pulang, Su Kiau-kiau segera
mengeluarkan sebuah batu kemala dan diserahkan pada Un Bun sambil
perintahnya: "Gerakkan semua kekuatan yang ada, geledah seluruh bukit Wusan!"
"Baik!"
Mereka mana tahu kalau di saat seluruh kekuatan Jit-seng-kau sedang
menggeledah seluruh bukit Wu-san untuk mencari jejak Su Gi-gi, justru pada
saat yang bersamaan Su Gi-gi sedang "memperkosa" Cau-ji.
0oo0
Di kala Cau-ji sedang duduk termangu-mangu, tiba-tiba ia mendengar ada
suara perempuan sedang memanggil: "Tuan putri, tuan putri ... kau ada di mana
....?"
Teriakan itu segera membuatnya sadar dari lamunan.
Kembali terdengar suara seorang berteriak dengan penuh tenaga: "Tuan putri
... tuan putri ... kau ada dimana"
Jelas tenaga dalam yang dimiliki orang itu sangat hebat, sehingga suara yang
bergaung hingga ke telinga Cau-ji pun kedengaran lebih jelas.
Mengikuti sumber datangnya suara panggilan itu Cau-ji menelusuri beberapa
buah lorong, setelah berjalan berapa tikungan akhirnya dari dinding sebelah
kanan ia jumpai ada sebuah celah yang cukup besar, bukan saja aliran udara
muncul dari situ, suara panggilan pun berasal dari sana.
Sementara itu suara panggilan yang bergema tadi sudah kian menjauh,
kembali Cau-ji berpikir "Tuan putri? Jangan-jangan nona tadi adalah tuan putri
dari kerajaan?"
Berpikir sampai di situ, berubah hebat paras mukanya.
Tapi dia segera membantah sendiri jalan pikiran tersebut, kembali pikirnya:
"Tidak mungkin dia adalah tuan putri dari kerajaan, semisalnya benar pun dia
pasti diiringi banyak pengawal. Apalagi tak mungkin seorang tuan putri mau
berbuat semena-mena terhadap orang lain, sampai kencing pun sengaja
dikencingkan ke tubuh orang...."
Dia mencoba menghampiri dinding karang dan menempelkan telinganya di
situ, terdengar seseorang sedang berkata: "Lotoa, hari sudah malam, lebih baik
kita pulang saja!"
"Maknya, siapa tahu tuan putri sedang bersenang-senang dengan cowok lain,
kita yang bawahan jadi susah, nyaris kakiku patah karena kelelahan."
"Sttt. Jangan berisik, ayo kita pulang saja."
Mengetahui kalau hari sudah senja, satu ingatan melintas dalam benak Cauji,
pikirnya: "Tak disangka hari hampir gelap, lebih baik aku tinggalkan gua ini
terlebih dulu kemudian baru mencari kesempatan untuk kabur."
Maka dia pun segera balik ke sisi jenazah Su Gi-gi, setelah menjura tiga kali,
dia pun berbisik: "Nona, maafkan kesalahanku, sejak hari ini aku tak akan
berani menyentuh kaum wanita lagi."
Habis berkata dia menghampiri batu yang besar itu, menghimpun segenap
tenaga dalamnya dan sebuah pukulan dilontarkan ke arah batu tadi.
Apa yang terjadi membuat Cau-ji tertegun.
Dia masih ingat tadi bersama gadis itu mereka sudah mencoba untuk
mendorong batu itu beberapa kali, jangan lagi bergeser, bergeming pun tidak,
kenapa pukulan yang dilontarkan sekarang dapat menghancurkan batu itu
hingga berkeping keping?
Mana dia tahu kalau kesemuanya ini hasil dari kekuatan Im-yang-kang-khi
miliknya?

Mendadak terdengar seseorang berseru: "Saudara Sin, aneh sekali, kenapa di
sini bisa muncul segumpal hancuran batu?"
"Kalau begitu pasti ada sesuatu yang tak beres, mari kita periksa."
Mendengar tanya jawab itu Cau-ji jadi kaget, pikirnya: "Jika mereka sampai
masuk kemari dan menemukan jenazah gadis itu, aku pasti akan dituduh
sebagai pembunuhnya...."
Karena tak ingin dibebani urusan yang rumit buru-buru pemuda itu kabur
meninggalkan tempat itu.
Lorong gua itu semakin ke depan semakin bertambah lebar, ternyata mulut
gua tersembunyi di balik semak belukar yang rimbun, diam-diam Cau-ji
menyelinap keluar dari gua tersebut.
Dari kejauhan ia saksikan ada dua sosok bayangan manusia sedang bergerak
mendekati mulut gua itu.
Walaupun hari sudah gelap namun Cau-ji dapat melihat dengan jelas, kedua
orang itu adalah kakek berusia lima puluh tahunan yang berwajah bengis.
Orang pertama bermata segitiga dengan wajah separuh hitam sepatuh putih,
sedang orang kedua berwajah pucat pias bagai mayat yang sudah mati berapa
hari, jenggot kuning terurai dari janggutnya.
Mereka berdua mengenakan baju terbuat dari kain belaco putih, sepatunya
terbuat dari tali jerami.
Cau-ji segera merasakan hawa dingin yang menyeramkan memancar keluar
dari tubuh kedua orang itu, diam-diam ia bergidik juga dibuatnya.
Ditinjau dari gerakan tubuh mereka berdua, Cau-ji tahu bila kepandaiannya
hebat dan ia masih bukan tandingannya, maka diam-diam ia menggeser
badannya ke samping dan menyembunyikan diri di balik semak.
Kedua orang itu memang merupakan jagoan paling tangguh dari kalangan
hitam, Hek-pek-bu-siang (si setan gantung hitam dan putih) Sin Sik serta Cho
Huan, sudah tiga tahun lama mereka bergabung dengan perkumpulan Jit-sengpang,
saat ini jabatan mereka adalah pengurus ruang Cing-liong-tong.
Terdengar Sin Sik yang berada di depan berbisik lirih: "Lotoa, kelihatannya di
atas sana ada sebuah gua!"
"Loji, kalau dilihat bekas semak yang terpatah-patah, isi gua tersebut kalau
bukan manusia tentu binatang buas, kau mesti berhati-hati...."
"Hehehe ... lotoa, kenapa nyalimu tambah hari tambah kecil?" sambil berkata
ia meluncur ke depan dan menghampiri mulut gua.
Dalam pada itu Cau-ji sudah mengerahkan tenaga murninya bersiap sedia.
Tidak menunggu lawan berdiri, dengan jurus Tui-sim-ci-huk (mendorong hati
membalik lambung) dia lepaskan sebuah dorongan ke depan.
Waktu itu Sin Sik sedang gembira karena berhasil menemukan mulut gua,
merasakan datangnya serangan, ia segera menghardik: "Lotoa, hati-hati, dalam
gua ada orangnya!"
Sambil membentak dia lancarkan juga sebuah pukulan.
Cho Huan kuatir saudaranya ketimba musibah, buru-buru dia lompat
menghampiri sambil bersiap sedia. "Aduuuh...!"
Dua kali jeritan ngeri bergema memecahkan keheningan, tahu-tahu tubuh Sin
Sik dan Cho huan sudah mencelat keluar dari gua dalam keadaan hancur
berkeping-keping, tubuh mereka terhajar telak pukulan Im-yang-kang-khi yang
dikerahkan hingga mencapai sepuluh bagian.
Mimpi pun Cau-ji tidak menyangka kalau tenaga dalamnya begitu sempurna,
sementara dia masih tertegun, dari kejauhan kembali berkumandang tiba suara
suitan panjang yang memekikkan telinga.

Dalam posisi begini Cau-ji tak bisa membuang waktu lagi, cepat-cepat dia
menyingkirkan semak belukar kemudian melompat turun ke bawah.
Sementara itu suara suitan panjang yang amat nyaring itu sudah semakin
mendekat, dari kejauhan tampak dua sosok bayangan manusia bergerak
mendekat.
Baru saja kedua orang itu tertegun karena melihat munculnya seorang
pemuda telanjang secara tiba-tiba, mendadak Cau-ji dengan jurus Heng-kangcay-
to (menyeberang sungai sambil bersalto) sudah melepaskan sebuah pukulan
ke depan.
Orang itu beranggapan kepandaian yang dimilikinya sangat hebat, dia segera
mengayunkan pula telapak tangan kanannya sambil membentak: "Manusia tak
tahu diri...."
Belum habis bicara terdengar suara benturan dahsyat bergema di udara,
dengan tubuh hancur lebur orang itu tewas seketika.
Orang yang baru datang segera menyerbu masuk, sebuah pukulan
dilontarkan.
Cau-ji menggertak gigi, kembali dia ayunkan tangan menyongsong datangnya
ancaman itu.
Jeritan ngeri kembali bergema memecahkan keheningan, orang itu terkapar di
tanah dalam keadaan tewas.
Mendengar dari kejauhan kembali berkumandang suara siulan panjang, buruburu
Cau-ji berputar badan dan kabur dengan mengambil arah yang
berlawanan.
Tak lama kemudian di arena pertarungan telah muncul dua orang lelaki
kekar, tapi begitu melihat mayat bergelimpangan, buru-buru mereka
mengeluarkan sumpritan bambu dan ditiup bertubi-tubi.
Tak sampai setengah jam kemudian Su Kiau-kiau beserta segenap kekuatan
partainya tiba di arena kejadian, perempuan iblis itu nyaris pingsan ketika
akhirnya jenazah Su Gi-gi ditemukan tergeletak di dalam gua.
Keesokan harinya dia pun kerahkan empat ratus orang anggota perguruannya
untuk turun gunung dan melacak jejak si pembunuh putrinya itu.
Sementara itu, Cau-ji dengan tergopoh gopoh melarikan diri turun dari bukit
itu, lebih kurang dua jam kemudian ia sudah tiba di kaki bukit Wu-san.
Sambil berpaling memandang bukit Wu-san yang berdiri menjulang di
belakang tubuhnya, Cau-ji menghembuskan napas lega sembari berpikir "Masih
untung tak ada yang hidup, asal di kemudian hari aku tidak mengakui kejadian
ini, siapa yang tahu kalau akulah pelakunya?"
Begitu perasaan hatinya lega, perutnya yang sudah lama kelaparan pun mulai
berbunyi lagi.
Sudah dua hari ini Cau-ji belum makan apa-apa, bukan saja waktu itu ia
merasa kelaparan, di bawah hembusan angin malam, ia baru sadar bila dirinya
waktu itu berada dalam keadaan bugil.
Sambil berjalan menelusuri jalan setapak Cau-ji menuju ke tepi sebuah
sungai, dia bermaksud membersihkan badan lebih dulu.
Pada saat itulah tiba-tiba dari kejauhan terdengar seseorang membentak
nyaring: "Perempuan cantik, jangan lari cepat... tunggu aku..."
Tertegun Cau-ji mendengar teriakan itu, buru-buru dia menyelam ke dalam
sungai dan bersembunyi di balik sebuah batu besar.
Kini di hadapannya berdiri seorang gadis muda berbaju hijau yang usianya
sekitar dua puluh tahunan, wajahnya cantik, pinggangnya ramping dan dadanya

montok, persis di hadapan gadis itu berdiri seorang kakek berambut panjang
yang berusia sekitar lima puluh tahunan.
Terdengar gadis itu dengan suara berat sedang menegur: "Yu Yong, kenapa sih
kau menguntit nonamu terus menerus, sebetulnya apa maumu?"
"Hehehe ... lohu jatuh cinta padamu!" jawab kakek itu sambil tertawa seram.
"Yu Yong, bedebah tak tahu malu, seandainya tidak mengingat kau pernah
menolong mendiang ayahku di masa lalu, nona takkan sungkan-sungkan
terhadapmu!"
"Hahahaha ... nona cantik, pujaan hatiku, coba lihatlah suasana di sini, bila
kau bersedia menemani lohu bermain cinta, lohu jamin kau akan merasakan
kenikmatan yang luar biasa...."
"Tutup mulut anjingmu! Sungguh tak kusangka ternyata kau adalah seorang
bandot tua yang tak tahu malu, manusia cabul, manusia bejat, manusia tak
tahu malu macam kau sudah sepatutnya dibasmi dari muka bumi, kalau tidak,
entah berapa banyak gadis baik yang ternoda di tanganmu."
Sembari mengumpat dia segera menerjang maju ke depan, sepasang
tangannya menyerang berbareng, ke atas mengancam sepasang matanya, ke
tengah mengancam ulu hatinya, di antara angin pukulan yang menderu-deru,
gerak serangannya boleh dibilang cepat sekali.
Diam-diam Cau-ji bersorak memuji, sejak salah bunuh Su Gi-gi, Cau-ji sudah
berjanji tak ingin mendekati kaum wanita, sebetulnya dia ingin menggunakan
kesempatan itu menyingkir dari arena.
Tapi begitu melihat gadis itu mulai keteter hebat dia segera urungkan niatnya
untuk berlalu.
Terdengar Yu Yong tertawa nyaring, sambil pentangkan tangan kanannya
mengancam urat nadi pada pergelangan tangan si nona, tangan yang lain
membabat ke bawah mengancam lengan kiri gadis itu.
Buru-buru nona berbaju hijau itu memutar badannya sembari berganti jurus
serangan, telapak tangan kirinya dengan jurus Yao-ti-to-tho (di bawah dedaunan
mencuri bua tho) menotok jalan darah Ji-ti-hiat di sikut kanan lawan.
Sementara tangan kanannya merendah ke bawah lalu dengan jurus Pek-hokliang-
ci (bangau putih pentang sayap) berbalik memotong lengan kiri musuh.
Yu Yong tidak menyangka gadis itu bisa berubah jurus begitu cepatnya, nyaris
jalan darahnya tertotok, buru-buru dia lancarkan pukulan berantai, dalam
waktu singkat dia sudah melepaskan delapan jurus serangan.
Nona berbaju hijau itu jadi gelagapan, beruntun dia mundur berapa langkah
dari posisi semula.
Menanti jurus serangan musuh sudah lewat, dia baru mengayunkan kembali
tangan dan kakinya melancarkan serangan balasan dengan sepenuh tenaga.
Menyaksikan kedelapan buah serangannya gagal menundukkan gadis itu,
diam-diam Yu Yong terperanjat juga, ia tak lagi berani gegabah, sambil mainkan
jurus serangan dia hadapi gadis itu dengan tersungguh hati.
Suatu pertempuran sengit pun segera berkobar, untuk sesaat kekuatan
mereka tampak berimbang.
Semenjak meninggalkan pesanggrahan Hay-thian-it-si, Cau-ji belum pernah
menyaksikan pertempuran sehebat itu, kini seluruh perhatiannya sudah
dicurahkan ke tengah arena.
Tampak gadis berbaju hijau itu telah mengeluarkan semua jurus
simpanannya untuk menyerang musuh, baik menusuk, memotong, menotok,
membacok, menyodok, semua serangan dilakukan sangat cepat dan tepat pada
sasaran.

Sepasang telapak tangannya menari-nari bagai sepasang kupu-kupu, semakin
bertarung gerak serangannya semakin cepat.
Dalam sekejap mata kembali lima enam puluh gebrakan telah berlalu, namun
menang kalah masih sukar ditentukan.
Kalau si nona berbaju hijau itu unggul dalam ilmu meringankan tubuh serta
kecepatan perubahan jurus serangan, maka Yu Yong lebih unggul dalam ilmu
tenaga dalam, untuk sesaat kedua belah pihak sama-sama bertahan dalam
posisi yang seimbang.
Sambil bertarung diam-diam Yu Yong mulai berpikir "Sungguh tak kusangka
kemampuan budak ini luar biasa hebatnya, bila aku gagal membekuknya hari
ini, jika berita ini sampai tersiar keluar, akan kutaruh dimana wajahku ini?"
Tiba-tiba gerak jurus serangannya berubah, kalau tadi dia menggunakan
cepat melawan cepat maka jurus serangannya saat ini sangat lamban dan berat
tapi setiap pukulan, setiap tendangan, hampir semuanya mengandung tenaga
serangan yang dahsyat
Jurus serangan yang disertai tenaga dalam yang hebat semacam ini tak bisa
dianggap enteng, setiap angin pukulan yang menderu-deru seketika membuat
nona itu mulai terdesak.
Walaupun dalam kelincahan nona berbaju hijau itu jauh lebih unggul, tapi
begitu pertarungan berubah jadi pertarungan tenaga dalam, posisinya segera
terdesak hingga berada di bawah angin, belum lagi sepuluh jurus, peluh sudah
bercucuran membasahi jidatnya.
Cau-ji yang mengikuti jalannya pertarungan itu mulai merasa ikut panik, dia
tahu bila keadaan semacam ini dibiarkan berlangsung lebih jauh, dapat
dipastikan nona itu bakal kalah.
Tiba-tiba nona berbaju hijau itu membentak nyaring, permainan jurusnya
segera berubah, kini dia gunakan taktik keras melawan keras untuk menghadapi
lawannya, dia sudah ambil keputusan untuk beradu nyawa.
Yu Yong sangat girang melihat perubahan itu, pukulan demi pukulan
dilontarkan bertubi-tubi, sambil menyerang dia mendesak maju terus.
Sementara nona berbaju hijau itu semakin terdesak, bukan saja dia harus
mundur berulang kali, keadaannya sangat mengenaskan.
Diam-diam Cau-ji amat gelisah, coba kalau tidak berada dalam keadaan bugil,
mungkin dia sudah tampil ke depan untuk melakukan pembelaan.
Tiba-tiba matanya terbentur dengan sebuah batu yang berada di sisinya, satu
ingatan melintas hebat, buru-buru dia gunakan ilmu menghisap untuk
menyedot batu itu dari sisi sungai.
Dalam pada itu nona berbaju hijau itu sudah roboh terkapar di tanah,
sementara Yu Yong sambil tertawa seram sedang menubruk ke depan berusaha
menindihi badannya, melihat itu Cau-ji segera menyentilkan batu itu ke
arahnya.
Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri bergema memecahkan keheningan, tahu-tahu
jalan darah tay-yang-hiat di jidat kanan Yu Yong sudah termakan sambitan
hingga hancur berantakan, tentu saja selembar jiwanya ikut melayang.
Padahal waktu itu si nona berbaju hijau itu sudah bersiap-siap bunuh diri,
perubahan yang sama sekali tak terduga itu disambut amat gembira, serunya
lantang: "Cianpwe darimana yang telah menolong diriku?"
Cau-ji gelagapan, dia tak mengira nona itu akan mengajukan pertanyaan
begini, dalam gugupnya dia segera menyahut: "Aku adalah Bwe Si-jin!"
Tampaknya nona berbaju hijau itu tidak mengira kalau orang yang
menyelamatkan jiwanya tak lain adalah Bwe si-jin yang sudah lenyap sejak

sepuluh tahun berselang, rasa terkejut bercampur girang segera menyelimuti
perasaan hatinya.
Perlu diketahui, meskipun Bwe Si-jin sudah banyak bermain perempuan
namun selama ini tak seorang pun di antara mereka yang menuduhnya cabul
dan setan hidung belang, sebaliknya orang selalu memuji dan menyanjungnya
sebagai seorang pendekar sejati.
Tentu saja hal ini disebabkan kemampuannya bermain cinta memang sangat
hebat dan tiada keduanya di kolong langit.
Sejak masih muda dulu, tampaknya nona berbaju hijau itu sudah menaruh
kesan yang sangat baik terhadap Bwe Si-jin, hanya sayang selama ini belum ada
kesempatan untuk saling berjumpa.
Tak disangka justru pada malam yang naas ini dia diselamatkan oleh lelaki
pujaan hatinya, bisa dibayangkan betapa terharu, gembira dan berbunganya
perasaan hatinya.
Dengan suara agak gemetar iapun berseru: "Siaumoay Siang Ci-ing sudah
lama mengagumi nama tay-hiap, terima kasih banyak atas pertolongan anda."
"Sudah menjadi kewajiban setiap pendekar yang berkelana dalam dunia
persilatan untuk saling membantu serta menegakkan kebenaran," seru Cau-ji
dengan suara lantang, "jadi nona tak perlu memasukkan hal ini ke dalam hati,
sekarang hari sudah malam, silahkan nona pulang untuk beristirahat."
Biarpun Siang Ci-ing merasa agak kecewa dengan perkataan itu. namun
sahutnya juga: "Siaumoay tinggal di jalan raya timur kota Lokyang, jika
kebetulan Bwe-tayhiap sedang melewati kota kami, jangan lupa mampir di
pesanggrahan Liong-ingl"
"Hahaha ... pasti, pasti, ada waktu luang aku pasti akan mampir."
Siang Ci-ing tahu kalau Bwe Si-jin adalah orang yang pegang janji, maka
setelah mengucapkan terima kasih, dia pun berlalu dari situ.
Memandang bayangan tubuh yang menjauh, diam-diam Cau-ji mulai berpikir
"Kira-kira tindakanku ini betul atau tidak?"
Rupanya terlintas satu ingatan dalam benak Cau-ji, dia ingin melakukan
banyak perbuatan baik dalam dunia persilatan atas nama Bwe Si-jin, dengan
berbuat begitu, pertama bisa merahasiakan identitas sendiri, ke dua dia pun
berusaha menghilangkan perasaan salah paham si raja hewan atas tingkah laku
paman Bwe.
Cau-ji tahu Siang Ci-ing adalah murid kesayangan ketua Go-bi-pay saat ini
Teng-in Suthay, juga merupakan pemilik toko perhiasan Liong-ing-hong yang
tersohor dalam dunia persilatan, dengan melakukan tindakan terpuji itu, sedikit
banyak nama baik Bwe Si-jin ikut terehabilitasi.
Menanti bayangan tubuh nona itu sudah lenyap dari pandangan mata, Cau-ji
segera melucuti pakaian Yu Yong dan ia kenakan, kemudian menyembunyikan
jenazah itu ke balik batu besar.
Tak lama kemudian tibalah Cau-ji di dalam kota, bau harum daging dan
bakpao segera membuat bocah itu harus menelan air liur, ketika dia mencoba
merogoh ke dalam saku, segera ditemukan beberapa lembar uang kertas serta
beberapa keping uang perak.
Tidak membuang waktu lagi dia menuju ke depan rumah makan dan serunya
kepada lelaki penjual bakpao itu: "Paman, aku mau beli berapa biji bakpao."
Dengan berbekal beberapa biji bakpao dan setelah bertanya arah jalan, maka
berangkatlah Cau-ji menuju ke pesanggrahan Hay-thian-it-si, dia ingin cepatcepat
pulang ke rumah, selain bisa membuat lega orang rumah, dia pun ingin
menjelaskan masalah Bwe Si-jin.

Sementara itu Bwe Si-jin yang meninggalkan si raja hewan dan Cau-ji dalam
keadaan gusar segera menuruni bukit Wu-san dan langsung menuju ke sebuah
rumah penginapan.
Mula-mula dia mencukur habis rambut panjang serta cambangnya, kemudian
setelah mandi dengan air panas hingga seluruh tubuhnya bersih, dia pun duduk
termenung sambil berpikir langkah selanjutnya.
Dia putuskan akan mendukung Cau-ji menjadi ketua Jit-seng-kau dan
menggiring perguruannya itu menuju ke jalan yang benar, dengan sepak terjang
yang bersih dan lurus, dia percaya kesalah pahamannya dengan Oh-loko suatu
hari nanti pasti dapat dijernihkan.
Untuk mencegah gangguan yang datang dari anggota Jit-seng-kau serta si raja
hewan, dia putuskan untuk menyaru dan menyembunyikan identitas
sebenarnya.
Dia pun mengambil keputusan untuk berkunjung dulu ke pesanggrahan Haythian-
it-si, kecuali bisa menyelidiki tindakan apa yang akan diambil Ong Samkongcu
terhadapnya, yang lebih penting lagi dia ingin mengintip bagaimana
keadaan Go Hoa-ti, kekasih hatinya.
Setelah mengambil keputusan, dia pun menggunakan uang yang sudah
disiapkan si raja hewan di dalam baju barunya untuk membeli seekor kuda, dua
stel pakaian baru serta bahan untuk menyaru muka.
Di tengah cuaca dingin yang menusuk tulang serta hembusan angin yang
kencang, akhirnya tibalah Bwe Si-jin di kota karesidenan Thio-gi.
Selesai bersantap, senja itu dia tinggalkan rumah penginapan dan mengikuti
arah jalan yang pernah didengar dari Cau-ji, berangkatlah dia menuju ke
pesanggrahan Hay-thian-it-si.
Balik pada Cau-ji, hari itu, tak lama setelah naik ke bukit, tiba-tiba dari
kejauhan sana dia saksikan ada sesosok bayangan manusia sedang bergerak
dengan kecepatan tinggi.
Setelah diamati secara diam-diam, akhirnya ia ketahui bahwa orang yang
berada di depan sana tak lain adalah Bwe Si-jin, dalam girangnya pemuda
itupun mulai berpikir: "Aneh, kenapa paman Bwe tidak merasa kalau dirinya
sedang aku ikuti? Masa dia tidak merasakan kehadiranku?"
Rupanya tenaga dalam yang dimiliki Cau-ji waktu itu sudah jauh
meninggalkan kemampuan Bwe Si-jin, selain itu deruan angin utara yang
kencang juga membuat suara langkah bocah itu terendam, yang lebih parah lagi
Bwe Si-jin sedang berada dalam kondisi murung dan perang batin, dengan
sendirinya konsentrasinya terpecah.
Waktu itu Bwe Si-jin kuatir Go Hoa-ti belum pulang, dia pun kuatir jejaknya
ketahuan orang banyak, bila sampai terjadi hal begini, apa yang akan
dilakukannya saat itu?
Akhirnya tibalah Bwe Si-jin di depan pesanggrahan
Hay-thian-it-si, ia menghentikan langkahnya di tempat kejauhan lalu mulai
mengawasi gedurg itu penuh keraguan.
Sementara dia masih bimbang, nenoadak terasa ada segulung angin tajam
berhembus lewat dari sisi tubuhnya, baru saja dia akan menghindar, tahu-tahu
jalan darahnya sudah ditotok orang, hal ini membuat hatinya terkesiap.
Belum hilang rasa kaget itu, terdengar Cau-ji sudah berbisik: "Maaf paman,
aku adalah Cau-ji!"
"Cau-ji, sungguh kamu?" tegur Bwe Si-jin terkejut bercampur girang, dia tak
menyangka pemuda yang berperawakan tinggi besar itu tak lain adalah Cau-ji si
bocah cilik.
 
"Betul paman, sstt! Jangan berisik, urusan tentang Cau-ji dibicarakan lain waktu saja, ayo kita masuk!"

"Tapi... bagaimana dengan Oh-loko...."

"Cau-ji percaya Oh-loko hanya salah paham saja terhadapmu, dan lagi dia pun berada di sini sekarang, lebih baik kita menyelinap ke pesanggrahan Ti-wan lebih dahulu."

"Baik Cau-ji, sekarang bebaskan totokan jalan darahku."

"Paman, kau harus berjanji tak boleh kabur."

"Tentu saja tidak, paman ingin buru-buru bertemu dengan adik Ti!"

"Baiklah!"

Setelah membebaskan jalan darah Bwe Si-jin, berangkatlah Cau-ji berdua menuju ke sisi kiri halaman, kemudian menyelinap ke belakang ruang utama.
Mereka saksikan Ong Sam-kongcu dan dua belas tusuk konde emas sedang menemani si raja hewan berbincang-bincang di situ, hampir semuanya hadir termasuk bocah-bocah kecil, anehnya hanya Go Hoa-ti seorang yang tidak nampak batang hidungnya.

Bwe Si-jin segera merasakan hatinya seakan tenggelam.
Cau-ji melirik sekejap ke arah pesanggrahan Ti-wan di kejauhan sana, melihat cahaya lampu memancar keluar dari tempat itu, dengan hati girang segera bisiknya: "Paman, kelihatannya di pesanggrahan Ti-wan ada orang."

Dengan perasaan harap-harap cemas, berangkatlah kedua orang itu menuju ke pesanggrahan Ti-wan.
Tak lama kemudian Bwe Si-jin dapat melihat Go Hoa-ti sedang duduk termenung di ruang tengah, kontan badannya gemetar keras sementara air mata berlinang membasahi pipinya.

Cau-ji melirik ke arahnya sekejap sambil menuding ke arah ruang dalam, maksudnya minta Bwe Si-jin segera masuk ke dalam, sementara dia sendiri berjaga-jaga di luar pintu.

Setelah gagal menemukan Bwe Si-jin dan Cau-ji, dengan perasaan kalut dan bingung Go Hoa-ti pulang kembali ke pesanggrahan Hay-thian-it-si.
Dia baru merasa lega setelah mengetahui Cau-ji gara-gara bencana malah mendapat keberuntungan dan sedang belajar ilmu.
Dia pun ambil keputusan untuk tetap tinggal di pesanggrahan Ti-wan sambil menunggu nasib.

Siapa sangka tiga hari berselang tiba-tiba si raja hewan muncul lagi di situ, waktu itu dengan penuh kegusaran raja hewan mewartakan akan munculnya kembali Bwe Si-jin, bahkan mengungkap pula masalah asusila yang telah diperbuat anggota Jit-seng-kau selama ini.

Go Hoa-ti serasa hatinya terpukul setelah mendengar kabar berita itu hingga badannya gemetar keras.

Si Ciu-ing yang menyaksikan hal itu segera menegur dengan perasaan kuatir: "Cici Ti, ada apa kau?"

"Ooh, tidak apa-apa ... hanya secara tiba-tiba badanku terasa kurang sehat Ong Sam-kongcu tahu perampuan itu pasti terpukul hatinya gara-gara berita miring mengenai Bwe Si-jin, sementara dia pun tak ingin orang lain mengetahui hubungan khususnya dengan lelaki itu sehingga memperlihatkan reaksi semacam itu.

Maka buru-buru dia berseru dengan lembut: "Adik Ti, lebih baik kau baliklah dulu ke kamar untuk beristirahat."

Sekembali ke pesanggrahan Ti-wan, Go Hoa-ti segera melampiaskan rasa sedihnya dengan menangis tersedu.

Dia gembira karena akhirnya mendapat tahu kabar berita tentang Bwe Si-jin, tapi dia pun sedih mengapa engkoh Jinnya terlibat dalam tindak asusila perkumpulan Jit-seng-kau?

Selama tiga hari terakhir hampir boleh dibilang dia tak pernah keluar dari kamarnya barang selangkah pun.

Waktu itu, dia sedang mengenang kembali peristiwa yang telah menimpa dirinya selama ini, dia pun percaya walaupun Bwe Si-jin adalah anggota Jitseng-kau, namun dia bukan manusia busuk, dia percaya kekasihnya dikurung lantaran membangkang perintah sucinya, Su Kiau-kiau.

Dia pun yakin Bwe Si-jin bukan lelaki maniak yang gemar bermain seks dan melakukan tindak asusila seperti apa yang dituduhkan si raja hewan.

Berpikir sampai di situ tak tahan lagi ia bergumam: 'Engkoh Jin, adik Ti percaya kau bukan orang jahat, tahukah kau betapa menderita dan tersiksanya perasaan hatiku karena gagal menemukan jejakmu?"

Mendengar sampai di sini, Bwe Si-jin tak bisa menahan diri lagi, dia segera menerjang masuk ke dalam ruangan sambil teriaknya: "Adik Ti!"

Go Hoa-ti tertegun, tapi sesaat kemudian dengan tubuh gemetar karena terkejut bercampur gembira serunya: "Engkoh Jin, betulkah kau?"

"Benar," sahut Bwe Si-jin sembari menghapus penyaruannya, "aku benar benar adalah Bwe Si-jin yang telah bertindak kejam kepadamu."

Dengan air mata bercucuran Go Hoa-ti segera menubruk ke dalam pelukannya, serunya lirih: "Engkoh Jin, aku tahu kau tidak bersalah, selama ini kau justru telah dicelakai orang...."

Bwe Si-jin seperti mau mengucapkan sesuatu lagi, tapi Go Hoa-ti telah menciumnya, mencium dengan penuh napsu.

Kedua orang itupun saling berpelukan, saling berciuman dengan penuh kehangatan dan napsu.

Cau-ji bersembunyi di belakang pintu, dengan perasaan keheranan dia saksikan kedua orang itu saling berciuman.

Tampaknya kedua orang itu sudah lupa diri, sambil berciuman pelan-pelan mereka bergeser menuju ke kamar.

Dengan perasaan keheranan dan ingin tahu diam-diam Cau-ji ikut masuk ke dalam ruangan dan mengintip dari luar pintu kamar.

la saksikan kedua orang itu saling melucuti pakaian masing-masing hingga bugil, lalu tubuh Go Hoa h yang lemas tak bertenaga berada dalam keadaan telanjang bulat digendong Bwe Si-jin menuju ke atas ranjang.

Tak lama kemudian Bwe Si-jin mulai menindih badan Go Hoa-ti dan mereka berdua pun mulai menggiatkan tubuh masing-masing, sebentar naik turun sebentar lagi berputar ke kiri kanan, gerakan tubuh mereka sangat cepat, penuh tenaga dan penuh bemapsu ....

Ketika masih berada dalam gua tempo hari, beberapa kali Cau-ji pernah mengamati barang milik paman Bwenya yang "panjang, panjang sekali" bergelantungan di antara kedua pahanya, waktu itu dia sudah merasa kagum sekali dengan "barang" milik pamannya itu.

Dan kini, dia merasa semakin kagum lagi setelah melihat "barang" milik pamannya berdiri begitu tegak, kencang dan mengeras bagai sebuah tongkat besi, ia merasa "benda" tersebut begitu gagah, begitu perkasa dan luar biasa hebatnya.

Ternyata bibinya juga tak kalah gagah dan beraninya, bukan saja bibinya berani memberikan perlawanan, suatu ketika bahkan berani memberikan serangan balasan.

Tak selang berapa saat kemudian, Go Hoa-ti dari posisi "tamu berubah jadi tuan rumah", kali ini dia yang menindih tubuh paman Bwenya, bahkan mulai menggerakkan badannya dengan penuh tenaga ....

Cau-ji merasakan hatinya berdebar keras, apalagi setelah menyaksikan sepasang payudara bibinya yang menggeletar mengikuti gerakan tubuhnya yang semakin menggila.

"Oooh rupanya" begitu pekiknya di dalam hati, "jadi gerak gerik yang dilakukan si nona terhadapku dalam gua tempo hari melambangkan perbuatan ini... jadi mereka sedang melakukan hubungan badan ...."

Semakin membayangkan perasaan hatinya semakin bertambah kalut, tak lama kemudian ia merasa tubuhnya kesemutan, sadarlah bocah itu, gara-gara perhatiannya terpecah, jalan darahnya sudah ditotok orang, dia ingin bersuara tapi jalan darah gagunya ikut tertotok.

Terasa badannya jadi ringan, tahu-tahu dia sudah ditarik masuk ke dalam ruangan.

Terdengar seseorang membentak nyaring: "Besar amat nyalimu, berani betul mengintip di sini, rasain hukuman dari nonamu!"

Cau-ji tahu jalan darahnya telah ditotok oleh Ong Bu-jin, melihat gadis itu membawanya masuk ke dalam kamar, ia jadi panik, sayang jalan darah gagunya tertotok sehingga tak sanggup menghalangi kepergian nona itu.

Tiba-tiba terdengar gadis itu menjerit sedih: "Ibu, kau...."

Menyusul kemudian sambil menutupi wajahnya dan menangis dia lari keluar dari dalam kamar.

Sewaktu lewat di hadnpan Cau-ji, dengan perasaan mendongkol dia hajar dada pemuda itu sembari mengumpat: "Mampus kamu!"

Dalam pada itu Bwe Si-jin telah menyusul keluar, melihat pukulan tersebut teriaknya dengan perasaan terkejut: "Tahan!"

Bukannya menarik kembali serangannya, sambil menggertak gigi Ong Bu-jin malah menambahi pukulannya dengan satu bagian tenaga.

"Blaaammmm!" diiringi suara benturan keras tubuh Cau-ji mencelat keluar dan roboh tak sadarkan diri, sementara Ong Bu-jin sendiri menjerit kesakitan sambil muntah darah segar.

Buru-buru Bwe Si-jin menyambar tubuhnya, namun gadis tersebut sudah roboh tak sadarkan diri

Kegaduhan tersebut segera memancing perhatian orang, terdengar Ong Samkongcu sambil membentak gusar berlarian mendekat.

Waktu itu Go Hoa-ti sudah mengenakan kembali pakaiannya, sambil keluar dari kamar serunya cemas; "Engkoh Jin, cepat berpakaian dulu."

Sembari berkata dia ganti membopong tubuh Ong Bu-jin.
Tak lama kemudian Ong Sam-kongcu, raja hewan serta dua belas tusuk konde emas telah berdatangan di tempat itu.

Ong Sam-kongcu melirik sekejap pemuda yang tergeletak di lantai, ketika melihat Ong Bu-jin pingsan dalam pelukan Go Hoa-ti, buru-buru tegurnya dengan perasaan cemas: "Adik Ti, apa yang terjadi dengan anak Jin?"

Belum sempat Go Hoa-ti menjawab, Bwe Si-jin sudah muncul dari balik pintu sambil menyapa: "Ong-heng, apa kabar?" bayangan berkelebat, tahu-tahu Bwe Si-jin sudah muncul di hadapan orang banyak.

Betapa gusarnya si raja hewan setelah melihat kemunculan orang itu, hardiknya: "Hei, orang she Bwe, berani amat kau datang kemari?" sambil menghardik dia siap melancarkan serangan.

"Jangan terburu napsu cianpwe," buru-buru Ong Sam-kongcu mencegah, "ada baiknya kita selidiki dulu masalah ini hingga jelas."

Sambil mendengus dingin raja hewan mundur kembali ke posisi semula.
"Ong-heng," seru Bwe Si-jin kemudian, "mari kita periksa dulu keadaan luka Cau-ji dan Jin-ji!" sambil berkata dia menuding pemuda yang tergeletak di lantai.

"Apa? Dia adalah Cau-ji?" serentak semua orang menjerit kaget.

Si Ciu-Ing segera menghampiri Cau-ji dan mengamati wajahnya sekejap, tapi ia segera menggeleng sambil bangkit berdiri.

"Orang she Bwe, permainan busuk apa lagi yang sedang kau rencanakan?" hardik raja hewan gusar.

Bwe Si-jin melirik Cau-ji sekejap, melihat kelopak mata kirinya sedang bergerak, ia pun segera berteriak keras: "Cau-ji, bila kau tidak segera bangun, pamanmu bakal mati konyol."

Mendengar itu Cau-ji segera melompat bangun, sambil berlutut di hadapan Ong Sam-kongcu serunya gemetar: "Ayah, maafkan Cau-ji, lain kali Cau-ji tidak berani lagi!"

Ditinjau dari perawakan tubuhnya, suaranya serta raut mukanya, jelas pemuda ini bukan Cau-ji, mengapa orang itu mengaku diri sebagai anak Cau?

Tiba-tiba Bwe Si-jin teringat akan sesuatu, katanya kemudian sambil tertawa: "Cau-ji, lepaskan dulu topeng kulit manusia yang kau kenakan!"

"Baik!" sahut Cau-ji sambil melepaskan topengnya

"Angkat wajahmu ..." bentak Ong Sam-kongcu.

Begitu Cau-ji mengangkat wajahnya, Si Ciu-ing segera berteriak keras: "Anak Cau ... kau memang anak Cau!" sambil berkata dia segera ikut berlutut di sampingnya.

"Adik Ing, apa-apaan kau .. ?" tegur Ong Sam-kongcu.

"Kongcu," ujar Si Ciu-ing dengan air mata berlinang, "anak salah berarti ibunya ikut salah mendidik, aku siap menerima hukuman."

"Adik Ing, persoalan ini tak ada sangkut pautnya dengan kau."

Dalam pada itu Go Hoa-ti sambil membopong tubuh Jin-ji ikut berlutut pula sambil berkata: "ln-)in, semua peristiwa yang terjadi hari ini bermula dari persoalanku, kejadian ini tak ada sangkut pautnya dengan Cau-ji"

Buru-buru Ong Sam-kongcu berkelit ke samping, sahutnya: "Enso, cepat bangun, lebih baik persoalan ini tak usah dibicarakan dulu, yang penting kita periksa dulu keadaan luka yang diderita Jin-ji."

"Terima kasih saudara Ong!" Bwe Si-jin menjura dalam-dalam, lalu membangunkan Go Hoa-ti.

Ong Sam-kongcu segera melototi Cau-ji sekejap bentaknya: "Anak kurang ajar, ayo cepat bangun "

Raja hewan sama sekali tidak mengetahui hubungan antara Bwe Si-jin dengan Go Hoa-ti, tampaknya dia dibuat kebingungan oleh kejadian yang baru saja berlangsung.

Melihat Cau-ji sudah bangkit berdiri, dia pun segera bertanya: "Cau-ji, sebenarnya apa yang telah terjadi?"

Waktu itu Ong Sam-kongcu sekalian sudah balik ke ruang tengah hingga di depan pesanggrahan Ti-wan tinggal mereka berdua, Cau-ji segera menjawab lirih: "Yaya, tadi enci Jin menotok jalan darahku kemudian menghajarku, tapi akibatnya dia yang berubah jadi begitu."

"Anak Cau, kenapa Jin-ji berbuat begitu kepadamu?"

"Aku...."

Melihat bocah itu ragu-ragu untuk menjawab, si raja hewan sebetulnya ingin mendesak lebih jauh, saat itulah tiba-tiba terdengar Ong Sam-kongcu berbisik dengan ilmu coan-im-jit-pit "Cianpwe, Bwe Si-jin adalah kekasih Go Hoa-ti, Jin-ji adalah putri mereka!"

"Haha...." raja hewan segera menjerit kaget.
 
akhirnya muncul lagi.. Thanks suhu..
 
wow langsung sampe sini updateny suhu
salut buat etoss kerjanya.
slalu dtunggu updatenya
 
Bimabet
horeee ceritanya ada lagi, makasih.. makasih, cendols sent :beer:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd