Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG 6 SAHABAT

Selamat Malam

Teman menjadikan jarak, jarak menjadikan sahabat, sahabat menjadikan kuat. Terima kasih atas hari-hari indah persahabatan.
 
Om @Cinthunks sabar ya Om tetep semangat meskipun cinta Om sama Era bertepuk sebelah tangan :semangat:
Semangattttt....

mana ada???
Yang ane tau,yg namanya ditolak sakit hati itu pasti, apalagi hati kilurah SSI selembut sutra.....(mesakno rek)
Untung wae kilurah duwe obat'e......
Sabar kilurah yo,renungke karo nyanyi "duh denok gandolane ati tegane nyulayani....hoa...hoe'...





:ngacir::ngacir::ngacir::ngacir: Kaborrrr
 
Sambungannya.....



Part 16. Yank Katanya Tadi Mau Nyariin Gadis, Tapi Kok Malah Ke sini!



Pov rad



Dari rumah Gadis, kami berempat mulai berpencar. Masing-masing bergerak ke arah wilayah yang sudah kami sepakati. Aku kebagian tugas mencari Gadis di wilayah Jakarta Barat.

“Siapa aja ya, yang mau kudatangi?” pikirku sejenak lalu membuka list daftar nama, nomor telpon serta alamat teman-teman Gadis di kampus. “Yang paling dekat dari sini adalah rumah Tuti Agustini, lalu rumah Fatimah, rumah Fina dan terakhir rumah Areke sebelum aku pulang ke rumah.”

Aku pun menyalakan motor Yamaha Vision dan mulai mengendarainya. Tujuan pertamaku adalah ke rumah Tuti Agustini, dia adalah salah satu teman genk Gadis yang berada di kecamatan Kebon Jeruk. Motorku berjalan melambat ketika mulai memasuki sebuah kompleks perumahan xxx. Nampak berjejer bangunan rumah-rumah mewah pada saat aku melintasi areal komplek tersebut sebelum akhirnya motorku berhenti tepat di rumah nomor 101.

“Ting-Tong...” Aku memencet bel yang ada di samping pagar rumah No. 101.

Tidak begitu lama setelah aku memencet bel, keluarlah seorang wanita paruh baya dari dalam rumah tersebut. Wanita itu pun berjalan ke arahku dan membuka pagar.

“Maaf, apa betul ini rumahnya, ‘Tuti Agustini’?” tanyaku pada wanita paruh baya itu setelah kami bertatap muka.

“Iya mas, betul sekali. Ini rumahnya, ‘Non Tuti’!” Sahut wanita paruh baya itu membenarkan. “Mas siapa, ya?” tanyanya selanjutnya.

“Saya rad, temannya Tuti.” kataku memberitahukan namaku sekaligus keperluanku mendatangi rumah ini. “Bisa saya ketemu sama Tuti-nya?”

“Oh, temannya si Non!” serunya. “Mas tunggu di kursi teras itu dulu, saya panggilkan dulu Non Tuti-nya!” Lalu wanita paruh baya itu pun berlalu meninggalkanku masuk ke dalam rumah.

Di teras rumah mewah ini terdapat dua kursi kayu yang diapit oleh sebuah meja kayu. Kemudian aku pun duduk di salah satu kursi kayu tersebut.

Tak lama berselang, dari dalam rumah itu keluarlah sosok cewek berparas ayu, dengan tinggi badan sekitar 165 cm, bertubuh langsing, dan berkulit putih. Dia memakai baju baby doll dan celana pendek selutut. Di sampingnya berdiri wanita paruh baya yang tadi membukakan pagar rumah.

“Oh, ternyata, lo rad yang datang!” serunya ketika melihatku. “Soalnya, tadi Bibik bilang, ‘tamu-nya kenal sama gue’.” Tuti ikut duduk di kursi kayu yang letaknya di sebelah kanan pintu rumahnya.

Tuti, Gadis, Fina, Rina, Wulan, Lusi dan Fatimah adalah tujuh wanita cantik dari jurusan Akuntansi yang menamakan genk mereka “The Syantik”. Nama genk mereka mulai dikenal oleh anak-anak kampus Semprot karena kecantikan mereka. Di antara ketujuh anggota genk The Syantik, Tuti lah yang paling cantik.

“Senyumnya itu begitu menawan, pantas saja banyak cowok yang suka padanya.” Gumamku membatin.

“Oiya rad, lo mau minum apa?” tanya Tuti. Membuatku sedikit kaget karena sempat melamun sejenak.

“Eh, Apa aja deh?” sahutku. “Duh, jadi merepotkan gue di sini!”

“Enggak, kok rad.” jawabnya lalu ia berkata pada wanita paruh baya yang ternyata adalah ART-nya tersebut. “Bik, tolong ya bikinin minum buat tamuku!”

“Iya, Non,.” Sahut ART-nya. “Bibik ke dalam dulu, permisi!”

Wanita paruh baya itu segera berjalan ke dalam rumah meninggalkan kami berdua yang kini duduk di teras depan rumahnya.

“Lo ga ngampus hari ini, Tut?” tanyaku mencoba mencairkan situasi yang sempat hening sejenak.

“Enggak, hari ini gue ga ada jadwal kuliah.” Jawab Tuti lalu balik bertanya. “Emangnya lo ga ngampus juga hari ini, rad.”

“Enggak, padahal hari ini gue ada jadwal kuliah pagi. Hehehe....” kataku sambil cengengesan.

“Loh, kok lo ga ngampus, rad?” Why?” tanyanya penasaran. Sorot matanya tajam menatapku seolah-olah ingin meminta penjelasan lebih lanjut.

“Biar bisa deketin lo, Tut.” Aku tersenyum kecil. “Siapa yang ga tertarik sama cewek secantik lo?”

“Hahaha...” Tawanya meledak. “Dasar cowok! Setiap ketemu cewek pasti bilangnya, ‘cantik lah, seksi lah’. Padahal itu hanya rayuan gombal semata. Gue jadi kasihan sama Rida, kenapa ya, sampe mau sama lo?”

“Salah, Tut. Kalo lo bilang cowok itu suka nge-gombal.” Bantahku menyangkal perkataannya. “Itu adalah ungkapan rasa kagum kaum Adam pada kaum Hawa. Dan kenapa Rida mau sama gue karena gue ‘kan ganteng. Bener ga?” Aku bergaya sok ganteng sambil membenarkan posisi bajuku.

“Dasar lo!!! Jago banget lo ngeles kayak bajaj, hehehe...” Kekehnya.

Dari dalam rumah muncul kembali wanita paruh baya yang merupakan ART-nya Tuti sambil membawa sebuah nampan, berisi dua gelas minuman berwarna kuning dan dua buah toples yang isinya kue kering. Wanita paruh baya itu lalu menghidangkannya di atas meja.

“Silahkan rad, diminum!” ujar Tuti setelah semua minuman dan toples itu sudah tersaji di atas meja.

Aku pun segera mengambil minuman berwarna kuning tersebut. “Sluurrrrppphhh” “Segar sekali rasanya es jeruk ini, dahagaku seketika hilang.”

“Tut, lo pasti suka apel ya, dibandingkan anggur?”

“Loh kok, lo tau rad kalo gue suka apel dibandingkan anggur?!” tanyanya balik. Dia nampak kebingungan.

“Soalnya, lo suka ‘kan saat ini gue apelin dibanding gue anggurin.”

“Buahahaha....” tawanya lepas. “Ada-ada aja lo. Oiya, rad. Ini serius!!! Lo kemari ada perlu apa?”

Aku menghela napas sejenak. Kemudian mulai mengatakan apa maksud dan tujuanku menemuinya. “Tut, Gadis kabur dari rumahnya. Gue, Senja, Black dan Cinthunks sekarang lagi bantuin Mamanya Gadis untuk bantu cari Gadis. Gadis ada ga nelpon lo? Kalo lo tau keberadaan Gadis sekarang, tolonglah beritahu di mana Gadis sekarang! Kasihan mamanya, saat ini sedang shock dan sedih.”

“Hah! Gadis minggat dari rumah!” jawabnya kaget. “Gue jujur sama lo bahkan berani bersumpah rad. Demi Allah, gue ga tau sama sekali di mana Gadis berada sekarang. Ini aja gue baru tau dari lo. Kalo lo ga ngasih tau gue ga bakalan tau nih! Kok, bisa ya. Gadis sampe nekat kayak gitu rad?”

“Yaudah kalo lo emang ga tau, gue percaya kok sama lo.” Sahutku lalu aku menjelaskan pada Tuti alasan Gadis sampai nekat kabur dari rumanya.“Dia nekat karena ga mau dijodohin sama orang pilihan mamanya. Salah mamanya Gadis juga sih, main terima perjodohan aja ga pake nanya ke gadis dulu.”

“Bentar ya rad!” ujar Tuti memberitahu. “Gue telpon The Syantik dulu kali aja ada yang tau Gadis di mana. Gue loudspeaker ya, biar lo bisa denger.”

Aku mengangguk.

Tuti kemudian menelpon teman-teman genk-nya satu persatu, dimulai dari Fina lalu Rina, Fatimah, lusi dan terakhir Wulan namun semuanya mengatakan tidak tau keberadaan Gadis.

“Lo, udah dengar tadi rad. Teman-teman gue, semuanya tidak tau keberadaan Gadis.” kata Tuti. “Jadi gimana nih, rad? Maaf ya rad, gue kayaknya ga bisa ikut bantuin lo cari Gadis! Bonyok gue belum pulang dari luar negeri, jam 5 sore nanti Bonyok baru nyampe rumah.”

“Ga pa-pa Tut, gue ngerti kondisi lo.” jawabku. “Soal pencarian Gadis biar kami aja yang cari. Gue minta lo kasih informasi ke gue jika lo dapat kabar dari Gadis.”

Thanks ya, lo ngerti kondisi gue.” ujarnya. “Pasti akan gue kabarin lo jika ada info tentang Gadis. Oiya, rad. Lo ‘kan punya nomor telpon gue, Kenapa lo repot-repot ke sini padahal bisa telpon aja?”

“Ga afdol aja kalo ga ketemu lo langsung, kalo cuma lewat telpon ‘kan ga bisa lihat kecantikan lo.” kataku kembali menggodanya.

Wajahnya nampak merah merona, Tuti tersipu malu setelah mendengar gombalanku barusan.

“Dasar gombal!!! Udah punya Rida masih aja mau godain cewek lain. Gue laporin ntar sama Rida!” ancamnya bercanda.

“Hahaha....” Tawaku puas karena bisa membuatnya tersipu malu.

“Udah mau sore nih, setengah tiga sore.” Aku melihat jam tanganku sejenak. “Tut, gue pamit ya.”

“Iya, rad. Lo hati-hati di jalan!” sahutnya sambil tersenyum padaku.

Aku pun berlalu dari hadapannya menuju motorku yang tadi masih terparkir di depan pagar rumahnya. Sesampainya aku di depan motorku, sejenak aku menoleh ke belakang. Di sana kulihat Tuti masih berdiri mematumg di tempatnya, dengan senyum di bibirnya terus saja ia melihatku dari tatapannya tersirat bahwa ia seolah enggan melepaskan kepergianku. Sejenak kami kembali saling bertatapan namun segera kusudahi karena tak ingin timbul masalah baru nanti ke depannya. Aku tidak ingin mempermainkan perasaaan wanita dengan memberinya harapan padahal niatanku hanya sekedar bercandaan saja.

Aku mengambil HP dari saku bajuku lalu segera menuliskan pesan padanya.

To : Tuti “The Syantik”

Lo mau sampe kapan berdiri di sana? Nungguin abang tukang bakso lewat, ya.


Tak berselang lama Tuti melihat HP-nya sambil tertawa. Dia melambaikan tangannya padaku lalu masuk ke dalam rumahnya.

“Kemana lagi ya? Langsung aja ke rumah Areke ‘kan udah tau juga kalo Fatimah dan Fina juga ga tau keberadaan Gadis.” Pikirku saat berada di atas motor.

Aku lalu menyalakan motorku menuju ke rumah teman kampusku yang lainnya yang juga dikenal Gadis. Motor kuarahkan menuju salah satu perumahan yang berada di Kecamatan Kembangan Jakarta Barat.

#####



Sampailah aku di sebuah kompleks perumahan elit xxx yang berada di Kecamatan Kembangan Jakarta Barat. Di kompleks perumahan ini masing-masing unit rumahnya bertipe sama, memiliki dua lantai dan halaman depannya tidak dipagari. Rumah yang kudatangi saat ini adalah rumah salah satu teman sekelasnya Era dan Rida. Namanya Areke. Motorku berhenti persis di depan rumah itu.

Aku jadi teringat cerita Rida saat aku berbincang-bincang dengannya di rumahnya saat itu.

“Gimana hubungan kamu, Era dan Gadis, Yank? tanyaku pada kekasihku saat kami duduk santai di sofa sambil nonton TV di ruang keluarga. “Kalian baik-baik saja, ‘kan?”

“Iya, yank. Keduanya baik dan care sama Rida. Kami bertiga udah kayak kakak adik.” jawabnya sambil menyunggingkan senyumnya.

“Syukurlah kalo gitu. Aku senang dengernya Yank.” Aku pun balas tersenyum padanya. “Oiya, Yank. Denger-denger Gadis sering main ke gedung Sastra, ya?”

Rida mengangguk lalu mulai bercerita soal Gadis. ”Sejak Gadis putus sama Black, Gadis lebih sering ikut ngumpul bareng aku dan Era. Di antara cowok-cowok di kelas Sastra Bahasa Indonesia, Areke paling sering ikutan nimbrung sama kami. Dari situlah Gadis kenal dengan Areke dan makin hari makin dekat. Aku sama Era tidak tau persis soal hubungan mereka namun setiap kali kami ngumpul bareng, terlihat sekali raut wajah keduanya yang nampak seperti orang yang lagi kasmaran. Yank, Areke itu pinter loh, nulis puisi-puisi cinta. Dan salah satu puisinya pernah ia tulis untuk Cinthunks. Ingat ga yank! Saat Cinthunks nembak Era waktu itu?”

“Iya, aku inget yank.” sahutku. “Tapi puisinya itu kok kayak puisi cabul, ya?”

“Emang yank. Orangnya suka ngomong mesum tapi ditantangin Era malah ketakutan. Hahaha...” Rida tertawa lucu saat membicarakan soal Areke.

“Hahaha…” Aku ikut tertawa. “Tapi kamu ga digodain sama dia ‘kan. Awas aja kalo dia godain kamu yank, tak plites tangannya sampe patah!”

“Ga berani dia yank. Aku jutekin aja dia biar ga digodain sama manusia ajaib itu!”

“Buahahaha….” Aku tertawa terpingkal-pingkal kala mendengar kekasihku menyebut Areke manusia ajaib.


Aku jadi senyum-senyum sendiri kala mengingat semua itu dan mulai kembali sadar bahwa saat ini aku sedang mencari informasi tentang keberadaan Gadis.

“Benar nih alamatnya, kompleks perumahan xxx No. 9 Kembangan Jakarta Barat!” gumamku lalu turun dari motor setelah memarkirkannya di halaman rumahnya.

“Ting... Tong..” Aku menekan tombol bel rumah itu.

“Iya, bentar.” Terdengar suara dari dalam rumah menyahut.

Tak lama kemudian terdengar deritan bunyi pintu terbuka, muncul seorang wanita dewasa, berkulit kecoklatan, memakai baju babysister berwarna putih, rambutnya hitam dan panjang.

“Cari siapa, Mas?” tanyanya heran karena baru pertama kali melihatku.

“Mbak, apa benar ini rumahnya, ‘Areke Setiawan’?” tanyaku balik.

“Areke Setiawan?” tanyanya bingung sambil mengeryitkan dahinya. “Ga ada namanya Areke Setiawan di rumah ini, Mas. Mungkin Mas salah alamat.”

“Ini fotonya, Mbak!” kataku sambil menyerahkan HP-ku yang ada fotonya Areke.

“Oh, ini Den Erick, Mas!” serunya setelah melihat foto itu melalui HP-ku. “Mas ini temannya Den Erik, ya?” Wanita itu kembali bertanya mungkin ingin memastikan apakah benar aku adalah temannya.

“Iya, saya teman kampusnya Areke, Mbak.” kataku memberitahu. “Areke-nya ada, Mbak?”

“Yuni, tamunya siapa?” Seseorang tiba-tiba datang menghampiri kami berdua. Sosoknya anggun, berparas cantik, berkulit putih, bertubuh seksi dan saat itu hanya memakai daster berwarna pink.

“Eh, Nyonya!” Wanita itu sempat kaget karena dikejutkan oleh suara majikannya. “Mas ini nyari Den Erick, Nya. Dia bilang, ‘temannya kuliah Den Erick’.”

“Yaudah kamu tolong mandiin Febrian!” Perintahnya pada babysister-nya. “Biar Mas ini saya yang terima.”

Babysister itu pun pergi setelah mendapatakan perintah dari majikannya yang kini sedang berdiri di hadapanku.

“Mari masuk, Mas!” Ajaknya sopan.

“Iya, terimakasih.” Sahutku.

Setelah masuk dan dipersilahkan duduk. Wanita cantik itu kemudian memperkenalkan dirinya, ‘Henny Sulistiowati’ istri dari Fajar Palalo yang merupakan kakak kandung dari Erick. Aku pun juga mengenalkan diriku padanya.

“Jadi mas rad ke sini mau ketemu Erick?” tanyanya. “Oiya, mungkin Mas bingung kenapa kami memanggilnya Erick bukan Areke, ya?”

“Iya, Mbak.” Jawabku singkat.

“Menurut cerita suamiku nama asli yang diberikan orangtua mereka pada adiknya itu ‘Erick Setiawan’ namun ada kesalahan penulisan saat pembuatan Akte Kelahiran di sana ditulis ‘Areke Setiawan’.” Terang mbak Henny menjelaskan.

“Ohh...!”seruku spontan setelah mengetahui asal-usul nama Areke itu. “Jadi gini, Mbak! Saya datang ke sini pengen ketemu Areke eh maksud saya Erick untuk bertanya soal teman kami yang saat ini kabur dari rumahnya. Mungkin saja Erick tau dimana teman saya itu?”

Sejenak mbak Henny diam lalu tak lama kemudian dia mulai berbicara. “Erick-nya sejak kemaren belum pulang ke rumah, Mas. Kami sekeluarga juga lagi cemas sama dia karena belum ada kabar beritanya.”

Aku sedikit kaget mendengar perkataan Mbak Henny barusan.

Suasana jadi hening.

Melihatku yang nampak diam, mbak Henny menawariku minum namun kutolak dengan sangat halus dengan alasan hari udah sore dan masih mau ke rumah temanku yang lainnya. Sebelum pamitan, aku sempat meminta mbak Henny untuk menyimpan nomor telponku, dan berpesan kepadanya untuk segera menghubungiku jika Areke pulang atau ada kabar tentang Areke.

Aku mulai meninggalkan rumah Areke. Motor Yamaha Vision yang kukendarai perlahan-lahan meninggalkan area kompleks perumahan tersebut menuju jalan Puri Kembangan.

“Jalan menuju pulang lebih dekat lewat jalan apa ya? Lebih baik aku lihat maps.” gumamku. Segera aku menepikan motorku, mengambil HP-ku. “Berarti aku mesti ambil jalan ini!” kataku bicara sendiri sambil menunjuk layar HP-ku sendiri. Lalu segera kukantogi lagi HP-ku.

Aku jadi teringat dengan HP milik Black yang tadi sempat ia berikan padaku, iseng-iseng aku ambil HP tersebut dari saku celanaku sebelah kanan.

“Hah!” seruku kaget saat melihat di layar HP titik lokasi Senja berada yang ternyata tidak jauh dari tempatku kini. “Kok, Senja malah masuk ke wilayah Jakarta Barat? Mau kemana dia? Lebih baik aku telpon Black saja, biar tau kegunaan alat yang dipasangnya itu.” gumamku membatin.

Segera aku menelpon Black menggunakan HP-ku sambil mataku terus melihat pergerakan Senja di layar HP milik Black.

“Ya hallo, rad.” suara Black dari ujung telpon sana menerima sambungan telponku. “Ada apa?”

“Ga ada masalah serius, Black.” sahutku lalu aku mulai menceritakan apa yang terjadi. “Jadi gini, Black. Aku baru saja dari rumah Areke namun dia ternyata tidak ada di rumahnya. Aku lalu pamit dan rencananya ingin pulang dulu ke rumah. Tapi saat aku baru saja keluar dari kompleks perumahan mau pulang aku sedikit bingung jalan ke rumahku karena jarang lewat jalan ini. Lalu aku buka maps. Nah masalahnya saat aku ingat dengan HP punya kamu, aku kaget karena di layar HP milikmu terlihat titik lokasi keberadaan Senja yang ternyata tidak jauh dari lokasiku berada saat ini.”

“Hahaha...” Tawanya lepas. Tak lama berselang Black melanjutkan perkataannya. “Di HP Senja itu aku pasangin alat pelacak yang terkoneksi dengan internet, selama HP Senja terkoneksi dengan internet maka dia bisa kamu pantau rad.”

“Oh gitu ya, Black!” seruku. “Aku udah ngerti. Yaudah Black aku pamit dulu. Assalamualaikum.

Waalaikum salam.” sahutnya. Klik.

Aku jadi penasaran apa yang dilakukan Senja di wilayah Jakarta Barat, padahal sudah kami sepakati untuk berpencar mencari Gadis. “Harusnya Senja sekarang keliling di wilayah Jakarta Selatan, tapi kok malah masuk wilayah ini. Apa aku buntutin aja ya?”

Aku lalu menyalakan kembali motorku mengikuti kemana arah Senja yang terus termonitor dari HP-nya Black. Hingga sampailah aku di jalan Kembangan Abadi III Blok A/14, Kembangan Jakarta Barat.

“Loh, kok malah ke sini? Ini ‘kan hotel!” gumamku setelah mengetahui bahwa aku memasuki areal sebuah hotel. “Apa Senja dapat info Gadis ada di hotel ini, ya?” Aku pun segera memarkirkan motorku.

“Duh cepat banget mereka jalannya, jadi kehilangan jejak nih. Tapi kalo ngecek satu persatu kamar hotel ini rasanya tidak mungkin juga. Apa aku tanya aja ya ke resepsionis hotel ini? Tapi kalo resepsionis itu bertanya, ‘apa hubunganku dengan keduanya, apa jawabanku’?” pikirku saat aku kehilangan jejak mereka. “Bentar, bentar rasanya aku kenal dengan resepsionis hotel itu, wajahnya ga asing.”

Saat aku masih terpaku bingung ditempat itu, tiba-tiba aku dikejutkan dengan seruan lembut seorang wanita yang memanggil namaku. “rad....!”

Aku celingak-celinguk mencari asal suara yang memanggilku, pandanganku kupertajam tetapi tidak ada orang lain di tempat ini kecuali si resepsionis. Cewek cantik yang nampak tersenyum sambil melambaikan tangannya padaku.

“Benar dugaanku kalo cewek resepsionis itu mengenaliku. Tapi siapa ya, kok aku sampai lupa dengannya?”

Aku pun balas tersenyum padanya sambil melangkah mendekati meja resepsionis itu. Setelah aku berada di hadapannya aku masih saja belum bisa mengingatnya dengan jelas. Namun kucoba menutupi semua itu dengan bertingkah seperti layaknya sudah mengenalinya.

“Wah, kamu ternyata kerja di sini ya!” ujarku bergaya sok kenal. “Gimana kabanya, Put?”

“Hahaha...” Tawa cewek resepsionis itu. “rad, rad kamu emang ga berubah ya, masih kayak dulu. Orangnya pelupaan. Aku yakin, kamu lupa ‘kan namaku.”

Aku hanya garuk-garuk kepala sambil cengengesan di depannya.

“Kak Rina, rad.” Ujarnya memberitahukan namanya. “Kakak kelas kamu dulu di SMA Semprot. Ingat ga kamu pertama kali bawa Alm. Ziza ke UKS. Nah sejak itu, aku dan Ziza dekat! Kamu sih pelupa orangnya padahal aku sering main ke rumah Alm. Ziza dan ketemu denganmu.”

Aku jadi teringat kembali dengan kejadian itu saat MOS hari pertama siswa-siswi SMA SEMPROT.

Seorang perempuan kakak kelas yang bertugas sebagai petugas PMR atau Palang Merah Remaja, segera menghampiri kami dan ikut membantu memapah Ziza.

"Kenapa dengan lututmu, Dek? tanya kakak PMR itu pada Ziza.

"Jatuh Kak." jawabnya cepat. "Tadi buru-buru jalannya, dan tabrakan sama orang itu!"

Aku hanya cengengesan, ketika Ziza menunjukku.

"Kak...! Saya permisi dulu, mau ke lapangan!" ucapku pamit. "Ziza, gue duluan, ya."

"Ok, kamu buruan deh ke lapangan!" ucap kakak PMR itu. "Bilang aja tadi dari PMR, kalo ditanyain kakak panitia, biar nggak dihukum."

"Iya RAD." ucap Ziza. "Makasih ya."

Aku mengacungkan jempol kepada kedua cewek itu lalu pergi menuju lapangan tempat diadakannya MOS.


Sempat mataku berkaca-kaca kala mengingat kembali momen-momen pertemuanku dengan almarhumah Nur Aziza aka Ziza. Tak terasa air mataku menetes.

“Maaf ya rad.” katanya. “Aku ga bermaksud membuat kamu sedih. Tadi niatku hanya ingin membuat kamu ingat.”

Aku segera menyeka air mataku, berusaha untuk melupakan kesedihanku. Bukan ingin menghapus memory tentang almarhumah Ziza tetapi karena aku sadar hidupku dan dia udah berbeda alam. Aku tidak boleh lagi terlalu larut dalam kesedihan masa lalu namun mesti bangkit, kuat dan tegar untuk melanjutkan hidupku, menatap masa depan bersama Rida calon istriku kelak.

Aku pun mulai menyunggingkan senyumku. “Ga apa-apa, Kak. Maaf tadi aku sempat terbawa suasana masa laluku bersama almarhumah Ziza. Kakak tau sendiri ‘kan gimana hubunganku dengan almarhumah dulu dan peristiwa yang terjadi pada kami.”

Kak Rina balas tersenyum ketika melihatku sudah bisa tersenyum. Dia hanya menganggukkan kepala.

“Kak, boleh aku tanya.” Aku menatapnya sejenak dengan tatapan serius. “Apa barusan ada cowok yang datang kemari? Ini Kak orangnya!”

Kak Rina mengangguk lalu menjawab pertanyaanku. “Iya, dia barusan masuk kamar no. 350 bersama ceweknya, Sadako ‘kan namanya. Sadako udah langganan nginep di hotel kami, rad. Emang ada urusan apa kamu dengan mereka?”

Aku lalu cerita bahwa aku dan sahabat-sahabatku sedang mencari sahabat kami bernama Gadis yang saat ini kabur dari rumahnya. Dari pencarianku pertama, kedua dan sampai akhirnya aku berada di hotel ini karena penasaran dengan sahabatku Senja yang malah mencari Gadis di wilayah Jakarta Barat.

“Oh, jadi cowoknya Sadako itu adalah sahabat kamu ya rad.” seru kak Rina menanggapi ceritaku barusan. “

Aku mengangguk. “Kak boleh ga rad minta tolong sama kakak.?”

“Minta tolong apa, rad?” tanyanya heran.

“Boleh ga rad pinjam kartu akses kamar mereka.”

“Emangnya kamu mau ke kamar mereka rad?” tanya kak Rina lagi.

Aku mengangguk lalu kemudian aku memberitahukan rencana jahilku pada kak Rina untuk mengerjai mereka supaya bisa jadi shock theraphy untuk Senja.

“Asalkan kamu janji tidak menimbulkan keributan di hotel ini aku ijinkan kamu menemui mereka. Ini kartu akses kamarnya, tapi janji ya, rad! Kamu jangan bikin keributan, bisa-bisa aku dipecat nanti!” Kak Rina menyerahkan kartu akses kamar No. 350 padaku.

“Siip kakakku yang cantik.” Godaku sambil mengacungkan ibu jari padanya. Sambil mengantongi kartu akses kamar tersebut ke saku bajuku.

Setelah diberi petunjuk oleh kak Rina, aku pun berlalu darinya lalu melangkah menuju ke kamar No. 350.

#####



Kamar No. 350



Aku kini sudah berada persis di depan pintu kamar no. 350, aku yakin kak Rina ga akan bohong, jika aku sampai salah masuk kamar karena ia salah memberikan informasi maka akibatnya fatal buat kami berdua juga beresiko dia bisa kehilangan pekerjaannya.

Kartu akses kamar ini cara kerjanya mirip seperti kartu debit bank. Artinya aku mesti menaruh kartu ini di tempatnya lalu menggeseknya.

Aku pun menempelkan kartu itu ke tempatnya lalu perlahan kugesek ke bawah.

Klek…

Pintu kamar itu terbuka, perlahan aku mulai mendorong pintu itu se-pelan mungkin supaya tidak mengagetkan mereka. Tubuhku sudah bisa melewati pintu itu dan sudah masuk di kamar itu.

Dan…

Sontak aku menutup mulutku dengan kedua telapak tanganku. Shock, kaget, dan seakan tidak percaya. Di hadapanku ada tontonan gratis. Dua orang dewasa berbeda jenis kelamin itu berada di atas ranjang. Sadako hanya mengenakan BH dan CD berwarna hitam. “Sedangkan Senja sudah telanjang bulat, posisinya membelakingiku. Tak lama berselang Senja menarik kepala Sadako dan membenamkannya di antara selangkangannya. Aku tidak begitu jelas melihat yang dilakukan Sadako karena terhalang pandanganku oleh tubuh telanjang Senja. Namun aku bisa melihat kemulusan kulit Sadako yang berkulit sawo matang, BH yang dipakainya seolah-olah tak bisa menampung sepenuhnya sembulan buah dadanya yang besar.

“Yank, ohhhhh…!” Suara lenguhan dari Senja. “Eeeennnaaakk bbbaaannngggeeettt eeemmmuuutttaaannn kkkkaaammmuuu…”

Aku perlahan mendekati mereka yang sedari tadi tidak mengetahui keberadaanku. Kutepuk pundak Senja yang nampak sekali sedang menikmati sekali atas apa yang dilakukan oleh Sadako.

Seketika dia menoleh ke belakang karena merasa ada yang menepuk punggungnya.

Matanya melotot, bibirnya menganga, dengan wajah tiba-tiba berubah menjadi pucat pasi.

“rrrraaaddd…” suaranya tergagap-gagap, tubuhnya bergetar hebat.

Mendengar suara Senja yang menyerukan namaku membuat Sadako seperti tersadarkan. Dia segera melepaskan diri dari Senja. Kemaluan Senja pun keluar dari mulut Sadako, terlihat kemaluan Senja terkulai lemas. Sadako langsung melompat, ekspresi wjahnya nampak panik, gugup dan malu. Dia segera menyambar pakaiannya yang berserakan di lantai dan secepatnya lari ke kamar mandi.

“Hahaha….” tawaku lucu ketika melihat kemaluan Senja yang mulai menyusut, Bagaikan sekuntum bunga yang mekar namun tiba-tiba layu dan mengecil. “Kecil banget punya lo, Ja. Cuma sebesar jari kelingking gue.”

Baru kali ini aku melihat Senja mati kutu, diam tak berbuat apa-apa. Dia terlihat panik dan segera menyambar pakaiannya. Namun saking terburu-burunya saat berpakaian kemaluannya malah terjepit oleh resleting celana jeannya sendiri.

“Awww…!” Teriak Senja mengaduh kesakitan. Wajahnya nampak meringis menahan rasa sakit yang menyerang kemaluannya.

“Buahahaha….” Aku tertawa terbahak-bahak.

Sadako keluar dari kamar mandi, berjalan mendekati kami sambil menundukkan kepalanya. Begitu pun dengan Senja yang menampakkan ekspresi malu yang terpancar dari wajahnya.

Aku mengajak keduanya duduk di sofa untuk berbicara serius.

“rad…! Jujur gue malu sama lo.” Senja mulai berbicara penuh iba dan lirih. “Gue akui salah. Tapi gue mohon lo jangan cerita sama Cinthunks, Black dan yang lain apa yang barusan terjadi.”

Aku sempat menatap Senja dan Sadako bergantian sebelum aku mulai menanggapi omongan Senja. “Black, Cinthunks, Gadis dan juga lo adalah sahabat-sahabat gue. Jika ada sahabat berbuat salah maka wajib bagi sahabat yang lainnya menegur bahkan menamparnya sebagai bentuk rasa sayang dan peduli pada sahabatnya.” kataku mulai menasehati. “Gue akan rahasiakan kejadian ini, Ja. Tapi ada syaratnya.”

Senja nampak menghela nafas, lalu ia bertanya. “Apa syaratnya, rad? Gue akan lakukan apa saja rad, demi menebus kesalahan gue!” Senja menatapku tajam, terlihat keseriusan dan keyakinannya atas apa yang barusan diucapkannya.

Aku tersenyum senang. Sekilas aku mengarahkan pandanganku ke arah Sadako yang sedari tadi hanya diam dan menundukkan kepala.

“Cuma dua syarat dari gue, Ja.” kataku memberitahu. “Pertama, lo segera lamar Sadako, halalkan hubungan kalian biar terhindar dari fitnah dan zinah. Gue ga mau punya sahabat pengecut, apa yang diperbuat mesti tanggung jawab. Dua, ingat dengan kesepakatan kita buat cari Gadis sampe ketemu, jadiin itu sebagai prioritas kita sekarang, Ja. Gue minta lo benar-benar mau melakukan apa yang gue minta demi kebaikan lo dan juga Sadako.”

Setelah aku mengatakan kedua syarat itu nampak Senja menganggukkan kepala pertanda dia setuju dengan kedua syarat yang kuajukan. Sementara itu, kulihat Sadako yang duduknya di samping Senja terlihat matanya mulai berkaca-kaca, mungkin merasa haru pada saat aku meminta Senja untuk segera melamarnya. Aku tersenyum pada keduanya dan berharap yang terbaik demi kebahagian mereka nantinya.

“Senja, Sadako…” seruku pada keduanya. “Gue minta kalian berdua jangan ulangi lagi seperti ini sampai kalian sah sebagai suami istri! Yaudah gue pamit, ya. Assalamualaikum.

Waalaikum salam.” sahut keduanya bersamaan.

#####



Pencarian Gadis terus kami lakukan. Segala daya dan upaya kami kerahkan untuk mencarinya. Dari menanyakan ke teman-teman Gadis yang kami kenal di kampus, sampai menyebarkan foto-foto Gadis di tempat-tempat keramaian misalnya kampus, mal dan tempat-tempat yang kami anggap ramai.

Hari berganti hari namun belum ada informasi yang menggembirakan mengenai keberadaan Gadis. Di sela-sela waktu kami berempat selalu mengunjungi rumah Gadis untuk memberikan support buat mamanya. Kami berharap kehadiran kami berempat bisa sedikit membuatnya tenang karena merasa Beliau tidak sendirian menghadapi persoalan ini.

Mengenai Senja, sejak kejadian di hotel itu dua hari kemudian dia benar-benar menjalankan syarat yang kuajukan. Senja dan keluarga besarnya mendatangi kediaman Sadako, melamar kepada kedua orang tuanya Sadako, untuk menjadikan Sadako istri Senja. Aku, Black dan Cinthunks pun dimintanya untuk datang ke sana untuk menyaksikan acara lamaran tersebut. Acara lamaran Senja berjalan sukses, kedua orang tua Sadako menerima Senja tanpa mengajukan syarat-syarat yang memberatkan, bahkan soal mahar nikahnya papanya Sadako menyerahkan sepenuhnya pada Senja dan Sadako soal mahar yang pantas buat anaknya. Dan dari hasil kesepakatan kedua belah pihak mengenai tanggal dan hari pernikahan mereka telah ditetapkan akan dilangsungkan 3 bulan lagi setelah acara lamaran ini.



Satu minggu setelah kaburnya Gadis dari rumah....

Pagi itu aku bersiap-siap mau pergi ke kampus. Tiba-tiba HP-ku berdering dan setelah melihat sejenak siapa yang menghubungiku di layar segera aku mengangkatnya.

“Ya hallo, Tan. Assalamualaikum.” kataku memberi salam pada orang yang menelponku.

Waaalaikum salam, nak rad.” sahutnya menjawab salamku dari ujung telepon sana. Maaf ya nak, kalo Tante ganggu kamu bentar! Tante cuma mau ngabarin kamu bahwa Gadis pulang ke rumah. Tante minta nak rad, Black, Senja dan Cinthunks ke rumah setelah Maghrib. Jangan tidak datang ya, kasih tau juga sama nak Black, Cinthunks dan Senja ya nak.”

“Iya, Tante. Nanti rad kabari sama mereka.” Sahutku. “Insya Allah kami semua akan datang, Tan.”

“Tante ucapkan terima kasih sama nak rad, Black, Senja dan Cinthunks karena peduli dan sayang sama Gadis. Semoga persahabatan kalian abadi walau nantinya kalian memiliki kehidupan masing-masing. Tante senang dan sekaligus terharu dengan kekompakkan, kepedulian dan rasa kasih sayang kalian dengan satu sama lain. Gitu aja ya, nak rad. Tante lagi ada urusan lainnya. Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam.” Sahutku sebelum menutup sambungan telepon itu.

“Alhamdulillah, Gadis sudah pulang ke rumahnya. Lebih baik aku kabari secepatnya berita ini sama sahabat-sahabatklainnya.” .

Aku pun segera menghubungi Black.

“Ya hallo, rad.” Sahut Black dari ujung telpon sana.

“Hallo, Black.” Aku mengucapkan salam padanya.

“Ada apa ya rad? Tumben banget nelpon pagi-pagi.” Tanya Black dari ujung telpon sana.

“Aku barusan dapat telpon dari mamanya Gadis. Beliau bilang bahwa Gadis sudah pulang ke rumah. Kita disuruh Beliau ke rumahnya nanti malam setelah maghrib. Aku minta tolong sama kamu Black! Tolong ya, kabari ke Cinthunks dan Senja soalnya aku mau siap-siap ke kampus nih ada kuliah pagi jam 8 ini.”

“Syukurlah kalo Gadis udah pulang. Ok rad. Ntar aku telpon Senja dan Cinthunks. Kamu berangkat aja ke kampus ntar telat lagi tau sendiri jalanan di Jakarta.” Ujarnya dari ujung telpon sana.

“Makasih, Black. Sampe ketemu di rumah Gadis ntar malam, aku berangkat dulu ya. Assalamualaikum.

Waalaikum salam.

Setelah menyudahi pembicaraan telpon dengan Black, aku segera ke kampus untuk mengikuti perkuliahan pagi.

Jam 10.30 kuliah pun selesai.

HP-ku kembali berdering, segera kuraih HP-ku dari saku bajuku. Ternyata yang menghubungiku adalah ‘Henny Sulistiowati’ nama itu yang ku-save di HP-ku.

“Ya hallo.” Kataku segera menjawab panggilan telpon masuk.

“Hallo. Ini benar dengan Mas rad.?” Tanya orang itu dari ujung telpon sana.

“Iya saya sendiri. Ini mbak Henny, ya?” tanyaku balik karena sempat melihat namanya terlebih dahulu pada saat dia menghubungiku.

“Iya, Mas. Saya Henny kakak iparnya Erick.” katanya membenarkan.

“Oiya ada apa ya, Mbak?” tanyaku sedikit lupa kalo saat itu aku pernah memintanya untuk menghubungiku jika ada kabar mengenai Areke.

“Mas rad lupa ya Waktu datang ke rumah tempo hari, ‘kan Mas sendiri bilang minta ditelpon kalo ada kabar tentang Erick.” Katanya memberitahu dari ujung telpon sana.

“Oiya, iya. Saya baru ingat Mbak. Maaf tadi sempat lupa, hehehe...” kekehku setelah menyadari kealpaanku.

“Hahaha...” Tawanya dari ujung telpon sana. Tak berselang lama dia lalu melanjutkan perkataannya. “Tadi malam Erick pulang ke rumah setelah dijemput oleh Mama bersama seorang perempuan yang katanya adalah pacarnya. Erick nekat bawa kabur pacarnya ke rumahnya Mbah Muji di Purwokerto karena pacarnya itu bilang mau dijodohin oleh Mamanya dengan laki-laki pilihan orangtuanya.”

Aku jadi teringat sama cerita Rida. Dia mencurigai adanya hubungan lebih dari sekedar teman antara Areke dengan Gadis. “Apa aku tanya aja ya sama mbak Henny siapa nama pacarnya Areke?” pikirku sejenak.

“Hallo, hallo. Mas masih ada di situ?” tanyanya dari ujung telpon sana.

Sontak membuatku kaget dan segera menjawab. “Eh, iya Mbak. Saya masih di sini! Boleh saya nanya hal penting sama Mbak?”

“Tanya apaan Mas?” sahutnya cepat dari ujung telpon sana.

“Tadi Mbak bilang kalo Erick pulang bersama pacarnya. Apa pacarnya itu bernama Gadissoyu, panggilannya Gadis Mbak?” tanyaku.

“Loh, kok Mas tau nama pacarnya Erick?” tanyanya heran dari ujung telpon sana.

“Kebetulan aja, Mbak. Kan saya ke sana pengen ketemu Erick, mau nanya keberadaan Gadis yang sedang kabur dari rumah. Ga taunya Erick-nya tidak ada di rumah. Ternyata mereka berdua sama-sama kabur dari rumah. Dan saya pernah dengar kalo keduanya dekat tetapi ga tau kalo mereka sudah jadian.” Jawabku menjelaskan padanya.

“Iya, Mas. Erick orangnya tertutup, ga pernah mau cerita kalo dia lagi dekat sama siapa? Atau pacarnya siapa?” sahut mbak Henny membenarkan perkataanku.

“Yaudah, Mas. Kayaknya udah cukup jelas ya. Saya pamit dulu! Assalamualaikum.”

Waalaikum salam.”

Alhamdulillah, berarti permasalahan Gadis udah clear nih. Lebih baik aku pulang dulu buat istirahat. Nanti malam ‘kan mau ke rumah Gadis.”

Aku pun segera ke parkiran motor untuk kemudian pulang ke rumah karena hari ini hanya satu jadwal kuliah yang kuikuti.

#####


Lokasi : Rumah Gadis


Suasana rumah Gadis nampak ramai, beberapa orang bapak-bapak terlihat duduk di teras rumah sambil asyik mengobrol. Di antara deretan kursi yang diduduki oleh bapak-bapak itu nampak sahabat-sahabatku, Cinthunks, Senja dan Black sudah ada di sanan. Mereka bertiga sedang berbincang-bincang, Senja terlihat paling besar tawanya. Entah apa yang sedang bicarakan mungkin sesuatu yang lucu hingga membuat Senja tertawa terbahak-bahak.

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.” Kataku mengucapkan salam buat mereka semua yang berada di teras depan rumah Gadis.

Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh.” Jawab mereka serentak.

Aku lalu menyalami orang-orang yang ada di sana satu persatu sampai akhirnya berkumpul dengan sahabat-sahabatku, Black, Senja dan Cinthunks.

“Maaf teman-teman gue telat, hehehe...” kekehku pada mereka yang disambut mereka dengan senyuman.

“Ga pa-pa rad, bisa dimaklumin karena udah budaya kita jam karet. Hehehe...” sahut Black.

“Tapi mending lo, rad. Yang parah tuh Cinthunks, ngaretnya bisa lebih dari dua jam! Hahaha...” Ujar Senja diakhiri dengan gelak tawanya.

“Ah lo bisa aja, Ja.” Sahut Cinthunks ga mau kalah. “Lo malah lebih parah, lo bukan lagi ngaret tapi malah ga datang sama sekali alasannya lupa padahal lo molor karena capek sering naik gunung Sadako. Ups...! Cintunks segera menutup mulutnya karena keceplosan bicara. Nampak dia malu setelah dilihatin oleh seorang bapak-bapak tetangga rumahnya Gadis.

“Udah ah, daripada bercanda mulu mending kita masuk aja!” ajakku pada ketiga sahabatku. “Kita temuin Gadis, gue kangen sama dia pengen rasanya ngucek-ngucek rambutnya karena bikin kita panik kemaren-kemaren.”

Kami pun masuk ke dalam rumah untuk menemui Gadis dan juga Mamanya.

Di ruang tamu ternyata udah ramai orang berkumpul. Terlihat Gadis didampingi mamanya sedang berbicara dengan dua orang ibu-ibu. Nampak wajah Gadis tersipu malu kala digoda oleh mamanya dan ibu-ibu itu.

Dan saat kami mendekat dan menyalami mereka, sedikit kaget aku dibuatnya karena disamping seorang wanita paruh baya itu ada mbak Henny dan Areke. Dia tersenyum pada kami. Senja yang sedari tadi berada di sisiku sempat berbisik pelan. “rad, cewek itu cantik banget. Dia kenal sama lo. Gila lo, gue angkat topi sama lo. Gue aja mau kalo dianya malu.”

Mendengar Senja berbisik-bisik membicarakan mbak Henny membuatku sedikit jengah lalu balas kubisiki Senja. “Kalo lo udah bosan hidup. Silahkan aja godain! Dia Binor bukan gadis atau janda, Ja.”

“Kampret lo.” Bisik Senja sewot.

Kami berempat diperkenalkan mamanya Gadis pada seorang ibu-ibu, mbak Henny dan Areke. “Jeng Ratna, ini semua sahabat-sahabat Gadis. Mereka berempat udah kayak anak-anak saya. Yang pake baju biru itu namanya ‘rad’, di sebelahnya ‘Senja’, yang pake kemeja oranye itu, ‘Black’, dan satu lagi yang berjaket kulit itu namanya ‘Cinthunks’.

Mama Gadis pun balas mengenalkan kepada kami seorang ibu-ibu itu dan seorang wanita cantik yang sudah kukenal bernama mbak Henny dan juga Areke. “Black, Senja, Cinthunks dan rad ibu ini namanya Ratna Handayani, dan di sebelahnya itu nak Henny menantunya. Bu Ratna ini sahabat Tante sejak SMP. Kalo sama nak Areke mungkin kalian udah kenal ya.”

“Iya, Tan. Kami udah kenal sama Areke. Dia sekampus dengan kita-kita.”

Lalu mama Gadis mulai cerita pada kami soal perjodohan itu. “Sebenarnya masalah ini hanya kesalahan komunikasi saja antara saya, Gadis, jeng Ratna dengan anaknya Erick. Kami salah langsung menjodohkan mereka tanpa terlebih dulu bertanya pada keduanya. Dan Gadis menentang keras perjodohan ini karena dia ternyata sudah menjalin kasih dengan laki-laki yang disukainya. Mungkin ini udah jodoh dan takdir yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa, ngak taunya yang kami jodohkan ternyata saling mencintai.”

“Habisnya Mom sih, maen paksa jodoh-jodohin!” celetuk Gadis sewot. “Bilangnya dijodohin sama Erick ‘kan Gadis udah punya pacar.”

“Hehehe...” kekeh Ibunya Areke. “Lucu lihat kejadian ini ya Jeng.” Mamanya Areke bicara sama mamanya Gadis. “Nama anakku itu sebenarnya ‘Erick Setiawan’, tetapi ada kesalahan pengetikan saat pembuatan Akte Kelahiran namanya berubah jadi ‘Areke Setiawan’. Hal menurut saya sepele tetapi karena miss komukikasi jadi masalah yang cukup besar beberapa hari yang lalu. Saya dan keluarga besar memohon maaf atas kesalah fahaman ini.”

“Ga ada yang perlu disalahkan semua udah takdirnya seperti itu Jeng.” Sahut mamanya Gadis. “Nah sebaiknya mereka disegerakan saja dinikahkan supaya tidak menimbulkan firnah atau gunjingan dari masyarakat. Gadis, Erick. Kalian sudah siap nak?”

Keduanya terlihat saling bertatapan, dengan wajah tersipu malu. Keduanya kompak menganggukkan kepala.

“Syukurlah kalo begitu.” Sahut mamanya Areke. “Minggu depan kita langsungkan pernikahan kalian tadi mama udah bicarakan dengan Jeng Silvi mamanya Gadis dan Beliau setuju.”

Setelah membahas rencana pernikahan Gadis dan Areka nampak obrolan lebih cair. Kami berempat tak henti-hentinya menggoda Gadis dan Areke. Hingga tak terasa hari semakin larut dan satu persatu kami pulang ke rumah masing-masing.



SELAMAT MENEMPUH HIDUP BARU

Buat sahabatku @gadissoyu dan @areke.

"Semoga Kalian menjadi keluarga Sakinah, Mawaddah dan Warohmah."

Tanda kasih dari sahabatmu,

rad





Bersambung....
==============================================================================
Untuk part terakhir akan diusahakan secepatnya. Mohon maaf dengan keterlambatan penulisan cerita ini karena ada permasalahan teknis yang terjadi beberapa hari lalu.

Terima kasih ane ucapkan teruntuk om @areke yang bersedia namanya ane catut untuk menjadi pemeran di pov rad. Walaupun tanpa seijin yang punya akun. Siap-siap aja rad bakalan ditimpuk bata sama @areke.

Selamat membaca semoga terhibur!!!!

Salam semprot,
@rad76
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd