Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA AFFAIR IN INVESTIGATION [LKTCP 2020]

D 805 KI

Calon Suhu Semprot
Daftar
12 Jul 2016
Post
2.680
Like diterima
5.168
Lokasi
Gelombang 805 FS
Bimabet
Masih di Gelombang 805 FS, Gelombangnya Para Baper

Izinkan ane kali ini untuk ikut mencoba meramaikan ajang paling akbar di forum kesayangan kita.

Euuu......

Gak usah panjang lebar akh..!!!, Mangga dinikmati cerita acak adul ane ini, Semoga bisa menghibur para pembaca semua.


Akhir kata


Stay Cool n Lovely

Jangan Lupa

KEEP SMILE

Dan Terus Pantengin Di

Gelombang 805 FS

Gelombang Para Bapers

 
Terakhir diubah:



AFFAIR IN INVESTIGATION



Seorang pria duduk di belakang meja kebesarannya, raut wajah ambisius tergambar jelas di wajah tampannya, menampakkan segala kekuasaan yang dimiliki pria tersebut. Dialah Ricard Herlambang, seorang direktur keuangan dengan seluruh image-nya sebagai pria tampan dan sukses di perusahaan Q&U Group. Setelah hampir tiga tahun bekerja di salah satu anak perusahan yang berada di Singapura, saat ini Ricard kembali ke negaranya sendiri dan bekerja di perusahaan utama. Segala keputusan mengenai keuangan perusahaan, kini berada di bawah kendali pria berusia 40 tahun tersebut. Ricard adalah pimpinan yang dikenal keras, bahkan tidak segan memecat anak buahnya.

Di seberang meja besar sang direktur keuangan, seorang kepala sub divisi keuangan tengah duduk tertunduk. Wajahnya begitu tegang, hatinya benar-benar menciut dan merasakan ketakutan yang luar biasa. Kedua orang itu masih terdiam, sang kepala sub divisi keuangan yang menundukkan kepala tidak berani memandang wajah atasannya. Berbanding terbalik dengan Ricard yang tengah menatap orang di depannya sangat tajam.

“Bapak Dimas tau ...? Apa kesalahan besar bapak ...?” Ricard berkata sarkastis. Kepala sub divisi keuangan yang bernama Dimas Adi Nugroho tidak menjawab dan hanya tertunduk.

“Gak bisa menjawab?” Sang direktur keuangan bangkit dari tempat duduknya, berjalan mendekati Dimas.

“Bapak fikir aku bicara dengan patung? Jangan diam saja! Bapak sudah membuat perusahaan merugi besar! Bapak ini pimpinan, ada anggota yang harus bapak pertanggungjawabkan kinerjanya ...!” Tatapan Ricard menusuk, seakan ingin menelanjangi Dimas.

“Maafkan atas keteledoran saya.” Perasaan tidak enak menyergap Dimas, merasa gelisah dan takut untuk mendengar pernyataan berikutnya yang akan keluar.

“Maaf??? Apa dengan kata maaf bisa memperbaiki ini semua??? Tidak bapak! Bapak harus bertanggung jawab ... Sekarang saya perintahkan untuk mengembalikan kerugian perusahaan ... Saya kasih waktu seminggu ... Jika gagal, bapak tau sendiri akibatnya ...!” Kata-kata itu langsung membuat kepala Dimas terangkat. Dimas hanya bisa memandang wajah atasannya sekarang, lidahnya terasa kelu, tenggorokkan tercekat, tidak bersuara bukannya berarti dia setuju dengan perintah itu. Dia hanya tidak tahu harus menanggapinya seperti apa.

“Keluarlah!” Perintah Ricard kemudian.

Dimas keluar dengan kepala yang tertunduk, matanya memerah, air mata yang ingin jatuh ditahannya. Mengembalikan kerugian perusahaan dalam satu minggu adalah sesuatu yang mustahil diwujudkan. Kondisi keuangan perusahaan sudah sangat terbatas akibat kegiatan usaha yang tidak lagi berjalan normal. Kondisi ini diperparah oleh terjadinya kebocoran keuangan perusahaan yang jumlahnya bernilai puluhan milyar rupiah.

Dengan muka kusut masai, Dimas membantingkan pantatnya ke kursi kerja lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi sembari melipat kedua tangannya di belakang kepala. Kehancuran karirnya sudah di depan mata. Apa yang selama ini ia takutkan akhirnya terjadi juga. Beberapa petinggi perusahaan telah menggunakan uang perusahaan dengan skema pembiayaan start-up. Namun sebenarnya dana itu dipakai untuk kepentingan pribadi mereka.

Jam antik berdentang dengan bunyi yang rendah, mengisi keheningan ruangan. Jarum pendek menunjuk angka lima dan jarum panjangnya menunjuk angka dua belas. Karena sudah waktunya pulang, Dimas pun lantas merapikan meja kerjanya sebelum beranjak pulang. Setelahnya, ia berjalan menuju lobby perusahaan sambil menelepon seseorang dengan menggunakan smartphone-nya.

Hallo ... Pah ...” Suara istri Dimas di seberang sana.

“Mamah udah di lobby?” Tanya Dimas sambil mempercepat langkahnya.

Barusan nyampe ... Mamah tunggu di tempat biasa ya?” Jawab sang istri yang sering kali menjemput suaminya jika dia sedang suntuk di rumah seperti saat ini.

“Iya ...” Kata Dimas singkat seraya memutuskan sambungan teleponnya.

Dimas bergerak menuju pintu lift yang terbuka. Setelah berada di dalam lift, telunjuknya memijit nomor satu dan tak lama berselang pria itu sampai di lantai satu. Setiba di lantai satu, segera saja Dimas menghampiri istrinya yang tengah berbincang-bincang dengan seseorang di bagian barat lobby perusahaan. Tiba-tiba sepasang mata Dimas menyipit dan langkahnya pun melambat tatkala mendapati Ricard, direktur keuangan yang tadi memarahinya, adalah orang yang menjadi lawan bicara istrinya.

Dimas akhirnya memutuskan untuk tidak mengganggu mereka. Laki-laki itu bergerak ke sebuah pilar besar untuk menyembunyikan dirinya. Bukan apa-apa, Dimas tidak ingin dimarahi lagi oleh Ricard, apalagi di depan istrinya. Sebagai laki-laki dia tentu tidak ingin harga dirinya terinjak-injak. Hampir tiga menit, Dimas berdiri di balik pilar dan baru kemudian menengok ke arah di mana istrinya berada. Ternyata, Ricard sudah meninggalkan tempatnya. Buru-buru Dimas berjalan menuju istrinya yang terlihat gelisah.

“Maaf ... Papah barusan sembunyi dulu ... gak pengen ketemu pimpinan baru ...” Dimas berucap pada istrinya sesaat setelah berada dekatnya.

“Pimpinan baru?” Istri Dimas bergumam dengan kening mengkerut tipis.

“Ya ... Dia adalah direktur keuangan yang baru ... Ngomong-ngomong, apa mamah kenal sama dia?” Dimas mengakhiri ucapannya dengan sebuah pertanyaan.

“Baru saja kenal ... gak tau tuh ... Dia ujug-ujug ngajak kenalan ...” Jawab istri Dimas sambil mengulum senyumnya yang tak bisa ia tahan.

“Hhhhmm ... Habis, mamah cantik sih ...” Dimas menggombali istrinya. Memang tidak berlebihan, istrinya yang telah dinikahinya setahun yang lalu bernama Karina, memiliki paras yang cantik dan rupawan. Selain itu, di usianya yang menginjak 28 tahun, Karina masih memiliki tubuh yang seksi disertai wajah dan postur tubuh layaknya mirip anak SMA. Belum lagi ditunjang cara berpakaian yang up to date mengikuti anak muda zaman sekarang. Hingga tidak heran jika banyak orang yang tak percaya jika Karina sudah menikah dan berumur 28 tahun.

“Ihh ... Papah ...! Ayo pulang ...!” Ucap sang istri manja seraya meraih tangan Dimas.

Keduanya berjalan kaki menuju mobil yang terparkir tak jauh dari lobby perusahaan. Dimas membiarkan istrinya berada di belakang kemudi sementara laki-laki itu duduk kurang tenang di sebelahnya. Hiruk-pikuk suasana jalanan yang macet seolah tidak berpengaruh sedikit pun ketika pikiran Dimas melayang pada kejadian di kantornya tadi, bahkan ucapan Karina tidak sepenuhnya ia dengar.

“Papah kenapa sih? Ngelamun terus?” Akhirnya Karina mengetahui kalau Dimas tidak fokus dengan pembicaraannya.

“Papah punya masalah ...” Lirih Dimas seraya menghela nafas berat.

“Masalah apa?” Tanya Karina terkejut sambil menoleh sekilas wajah suaminya yang memang tampak lesu dan tidak bergairah.

“Fuuutthhh ... Papah kayaknya sebentar lagi dipecat ...!” Satu kalimat terlontar dari mulut Dimas dengan suara yang berat. Karina pun terperanjat, untung saja ia masih bisa fokus pada kemudinya.

“Dipecat?! Kok bisa?!” Karina benar-benar terkejut. Wanita itu sampai menghentikan mobilnya di pinggir jalan.

“Papah harus bertanggung jawab atas kerugian perusahaan ... Ini salah papah ... Papah membiarkan kecurangan terjadi, padahal papah tau ... Para petinggi perusahaan menggunakan uang perusahaan secara illegal dan itu gak bisa papah cegah ...” Dimas memutuskan untuk berkata jujur kepada Karina.

Karina menatap tajam ke arah Dimas mencoba menembus pikiran suaminya. Karina tidak menyangka kalau orang yang sangat diandalkannya kini tersandung masalah yang begitu berat. Terlihat oleh Karina wajah Dimas semakin pucat seperti tak ada darah yang mengalir di sana.

“Maafkan papah ...” Lirih Dimas, begitu kalut bercampur takut yang teramat.

“Kenapa papah membiarkan itu terjadi?” Tanya Karina dengan nada yang terdengar lembut namun serius.

“Papah takut dipecat makanya papah biarkan ...” Jawab Dimas dengan suara yang sarat kejujuran.

Alasan Dimas membuat Karina terhenyak, karena ia yakin kalau suaminya berkata apa adanya. Dimas adalah korban konspirasi dan korupsi di perusahaannya. Kini perasaan wanita itu berkecamuk hebat, semua perasaan bercampur, namun yang pasti perasaan sedihlah yang paling dominan. Karina menggenggam tangan Dimas untuk memberi ketenangan dan kekuatan karena Karina sadar kalau dukunganlah yang diperlukan Dimas saat ini.

“Sudahlah ... Jangan terlalu dipikirkan ...” Ucap Karina lembut sembari menggoyang kecil jemari Dimas.

“Maafkan papah ...” Kembali Dimas mengungkapkan penyesalannya.

Karina tersenyum, kemudian melajukan lagi mobil menuju rumah kediaman mereka dengan perasaan yang tak menentu. Walau demikian, Karina tetap berusaha memperlihatkan ketegaran dan semangat hidupnya. Berbeda dengan sang istri yang terus memperlihatkan ketegaran, Dimas terlihat lebih lemah.

Sekitar dua puluh menit berselang, suami istri tersebut sampai di rumah kediaman mereka. Dimas langsung menuju kamarnya kemudian mandi untuk menyegarkan badan dan pikirannya. Sementara Karina mempersiapkan minuman segar untuk suami tercintanya di dapur. Karina duduk di kursi meja makan. Pikiran wanita itu mengawang, memikirkan cerita suaminya sambil mengaduk-aduk minuman es jeruk. Sesekali desah nafas kasarnya berhembus.

Tak lama kemudian, Dimas datang menghampirinya. Es jeruk yang baru saja dibuat Karina langsung disambar laki-laki itu. Bunyi tegukan terdengar tidak cukup hanya sekali. Rupanya Dimas benar-benar kehausan. Karina pun memperhatikan suaminya dengan tatapan sendu dan senyuman sedihnya.

“Pah ... Apakah papah akan berdiam diri saja, tidak mau mencoba membuka kebenaran?” Tanya Karina sesaat setelah Dimas meletakkan gelas di atas meja.

“Percuma ... Terlalu banyak dan terlalu kuat orang-orang yang akan berhadapan dengan papah ... Orang-orang di divisi pengawasan pun akan melawan papah karena mereka juga menikmati uang perusahaan ...” Dimas terlihat sangat rapuh, ia seperti pasrah dengan segalanya.

“Pah ... Jangan gampang menyerah ... Coba cari solusi dengan berpikir jernih ...” Ucap Karina lemah lembut. Dimas pun menatap Karina, begitu terasa kebenaran dari ucapan istrinya. “Kesalahan takkan menjadi kebenaran walaupun berulang kali digaungkan. Sebaliknya, kebenaran tetaplah kebenaran walau tak seorang pun melihatnya. Kebenaran akan tetap ada meski tak seorangpun berada di belakangnya.” Lanjut Karin berfilosofi.

Dimas semakin tergugah hatinya. Timbul tekad untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Sedetik kemudian, Dimas menceritakan permasalahan keuangan yang sedang melanda perusahaannya. Karina tidak merasa sulit sedikit pun mengikuti alur cerita Dimas karena sebenarnya Karina pernah bekerja sebagai seorang konsultan keuangan. Sembari menikmati minuman dingin, suasana diskusi pun semakin menghangat. Dimas kembali menerangkan celah-celah yang digunakan para petinggi untuk ‘mengeruk’ uang perusahaan secara illegal.

“Kalau begitu, semua data ada di tangan direktur keuangan.” Karina menyimpulkan.

“Benar ... Papah pun yakin kalau dia terlibat dengan konspirasi ini.” Respon Dimas mengiyakan kesimpulan istrinya.

“Kalau begitu sebaiknya papah selidiki ... Kalau bisa, dapetin pembukuannya ... Mamah yakin dia bikin dua ... Satu yang palsu dan satu yang asli ... Temukan yang aslinya ...” Karina memberikan saran yang sangat masuk akal.

“Hhhhmm ... Benar juga ... Pembukuan yang asli bisa dijadikan alat bukti ...” Gumam Dimas sembari memainkan dagunya yang berbulu tipis.

“Benar pah ... Semangat ...!” Ucap Karina lalu memberikan pelukan hangat yang erat kepada suaminya agar menerima dan memahami keadaan.

Tak terasa waktu pun berlalu beberapa menit. Dimas dan Karina telah mengganti topik pembicaraan mereka. Dimas pasrah, dia lebih memilih melupakan sejenak masalahnya dengan ngobrol bersama istri tercinta, berharap beban di otaknya bisa berkurang. Hingga akhirnya obrolan mereka berlanjut di kamar tidur dan mereka terlelap setelah kantuk menyerang begitu dalam.


Keesokan Harinya ...

Hari masih terlalu pagi untuk memulai aktifitas, langit masih berwarna kelabu dan udara masih berkabut. Dimas merapatkan mantelnya sebelum memasuki mobil. Wajah Dimas tampak kuyu. Lelah tak hanya dirasakan tubuhnya, namun juga otak laki-laki itu yang tak henti berpikir tentang masalah yang sedang ia hadapi. Tak berselang lama, suara deruman mobil meninggalkan rumah. Mobil merah itu melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi, seperti terburu-buru mengejar sesuatu. Hanya setengah jam Dimas berhasil mencapai kantornya di mana suasana masih sanagt lengang.

Dengan langkah cepat ia menuju ruang direktur keuangan yang selalu menjadi neraka baginya. Dimas mulai mengotak-atik kunci pintu menggunakan kawat. Pintu pun berhasil dibuka. Dengan cepat Dimas menutupnya kembali setelah berada di dalam ruangan. Dimas berhasil mencapai kursi kerja atasannya, lalu tangan kanan laki-laki itu terulur, menyalakan komputer di meja kerja tersebut.

Dimas langsung mengoperasikan komputer milik direktur keuangan, dan tidak sampai satu menit, layar komputer telah menampilkan data-data keuangan. Dimas mengeluarkan berkas laporan keuangannya dari dalam tas. Tidak memakan waktu yang lama, Dimas menemukan kejanggalan data. Banyak angka yang telah berubah. Tidak perlu melanjutkan sampai selesai, dengan penemuan ini cukup baginya untuk membongkar kebusukan yang terjadi di perusahaan ini. Flashdisk langsung dipasang kemudian Dimas meng-copy seluruh data yang ada. Keringat dingin mulai menyelimuti keningnya. Telapak tangan dan kakinya terasa seperti es. Proses meng-copy data pun selesai dan tanpa berlama-lama Dimas segera mencabut flashdisk lalu mematikan komputer dengan mencabut kabel power komputer secara langsung.

Baru saja dua langkah meninggalkan meja, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka yang disusul dengan teriakan, “JANGAN BERGERAK!” Saking terkejutnya, Dimas merasa jantungnya seakan terhenti berdenyut. Saat itu juga Dimas merasa dunia berhenti berputar dan kehilangan pijakan. Dimas membeku, ia merasakan dinginnya moncong pistol mengarah ke kepalanya. Dimas tidak berdaya, benar-benar tidak berdaya, dia merasa dirinya seperti terbelah menjadi dua.

“Geledah dan borgol dia!” Perintah kepala security kepada dua anak buahnya.

Dimas tidak bisa berkutik saat digeledah lalu dibawa oleh petugas security ke sebuah ruangan. Tak ada yang diperbuatnya selain diam dan mengikuti perintah. Di pojok ruangan, Dimas merenungi nasibnya dengan khusyuk. Laki-laki itu menghipnotis dirinya sendiri bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

“Dia ...??!!!” Tiba-tiba suara bernada tak percaya terdengar jelas di telinga Dimas. Dimas pun menoleh ke sumber suara. Si pemilik suara menatap marah dengan penuh emosi. “Apa yang kau lakukan, keparat!!!” Lanjut si pemilik suara yang ternyata sang direktur keuangan, Ricard, sambil mendekatkan sebuah flashdisk ke wajah Dimas.

“Bu..Bukti ... A-aku me..me..mencari bukti ...” Dimas berusaha melawan walau untuk mengucapkan satu kata saja tampak kepayahan.

“Bukti??!! Bukti apa?? Sungguh perbuatan yang melewati batas!!! Kau akan merasakan akibatnya!!!” Desis Ricard geram penuh ancaman.

Suratan takdir tidak bisa dihindari, akhirnya Dimas dinyatakan bersalah dalam sidang internal perusahaan. Dewan Direksi dan Komisaris menyatakan kalau laki-laki yang menjabat sebagai kepala sub divisi keuangan telah melakukan pelanggaran kode etik serta kejahatan pencurian data perusahaan. Dimas hanya bisa tertunduk saat digelandang polisi. Ia harus merasakan dinginnya sel penjara atas tuduhan pencurian data perusahaan.



----- o0o -----​



Karina mulai tidak terkendali, ia panik sepanik-paniknya. Seseorang telah memberitahukan bahwa suaminya berada di kantor polisi sebagai tertuduh atas kejahatan pencurian data perusahaan. Dengan sangat tergesa-gesa, wanita itu pergi ke kantor polisi tempat Dimas ditahan dengan menggunakan taksi online. Kejadian ini menegaskan jika dirinya merasa bersalah yang telah memberikan saran dan semangat kepada Dimas agar mencari bukti data keuangan yang asli.

Sesampainya di kantor polisi, Karina diantar oleh seorang aparat kepolisian ke sel tahanan tempat Dimas ditahan. Karina agak mempercepat langkahnya dan menghampiri sebuah sel. Dua orang laki-laki dengan wajah tertunduk frustasi hinggap di dalam jeruji besi yang mengerikan itu. Salah seorang laki-laki menengadahkan kepalanya dan ketika melihat seorang wanita berdiri di depan selnya. Ia langsung bangkit dan menyandarkan kepalanya di balik jeruji besi. Karina hampir meneteskan air matanya melihat laki-laki yang ada di hadapannya ini.

“Papah ...” Panggilnya dengan nada bergetar hampir menangis. Ia memegang tangan laki-laki itu yang memegang jeruji besi yang membatasi jarak mereka.

“Mamah ...” Dimas merespon sedih terasa ada beban berat di pundaknya.

“Maafin mamah ... Maafin mamah ...” Karina tak mampu menahan air matanya lebih lama lagi.

“Gak apa-apa mah ... Ini sudah resiko ... Jangan menangis ...” Dimas memegang tangan istrinya yang sedang terisak.

“Pokoknya papah harus keluar ... Mamah akan berusaha mengeluarkan papah dari sini!” Tekad Karina yang masih merasa bersalah. Karina menyesal telah memberikan saran yang salah. Kini hanya penyesalan di dalam hatinya. Tak seharusnya kemarin ia menyuruh Dimas mencari laporan keuangan yang asli.

“Mah ... Sini telinga mamah ...” Ucap Dimas yang direspon langsung oleh Karina dengan mendekatkan telinganya ke bibir Dimas walau agak heran dan kaget.

Dimas membisikkan sesuatu pada telinga Karina. Baru saja beberapa detik, mata Karina membelalak dengan mulut menganga lebar, sesekali menggelengkan kepala. Tampaknya wanita itu terkejut dengan apa yang dibisikkan oleh Dimas. Beberapa saat kemudian, Dimas menyudahi bisikannya.

“Tidak pah ... Bukan begitu ...” Lirih Karina masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Mah ... Percayalah ...!” Pinta Dimas memelas. Karina memandang wajah Dimas lekat-lekat ingin mengetahui kesungguhan dan kejujuran suaminya seraya memikir dan menimbang-nimbang.

“Huuuffftt ... Baiklah ... Mamah berjanji, papah akan segera keluar dari penjara ini.” Karina melepaskan tangannya sendiri. Dimas mengangguk sambil tersenyum.

“Waktunya sudah habis nyonya ...!” Polisi yang mendampingi Karina memberikan instruksi agar Karina segera menyudahi pertemuan dengan Dimas.

Dengan sangat berat melangkah, Karina pun berlalu dari hadapan suaminya. Karina berjalan keluar kantor polisi, dan langsung membuka pintu taksi online yang disewanya dan masuk ke dalamnya. Taksi bergerak perlahan keluar dari pelataran kantor polisi. Karina menatap lurus ke depan memandangi hiruk pikuk jalanan lewat kaca depan taksi. Tetapi, yang Karina pikirkan bukan kendaraan-kendaraan yang berada di jalanan dan bukan pula apa yang akan dilakukan untuk mengeluarkan suaminya. Pikirannya tertuju pada kalimat terakhir yang diucapkan Dimas tadi di kantor polisi.

Satu jam sudah Karina berada di dalam taksi online. Saatnya untuk turun dan memasuki rumahnya. Karina duduk di sofa ruang tengah. Karina memang bersedih, hati dan pikiran wanita itu begitu kacau memikirkan nasib suaminya. Seharian Karina merasa tidak tenang karena otaknya terus berputar-putar memikirkan perkataan Dimas. Namun akhirnya, Karina mempunyai kesimpulan sendiri. Apa pun akan dia lakukan untuk mengeluarkan Dimas dari penjara sekaligus membersihkan nama baiknya.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Karina telah siap dengan dandanan terbaiknya dan berdiri gelisah di pinggir jalan, persis di depan gerbang rumah. Dan tak lama kemudian, sebuah taksi online berhenti di depannya sang supir taksi keluar dari mobil lalu bertanya pada Karina.

“Mbak Karina ya?” Tanya supir taksi, Karina menjawab dengan anggukan. “Silahkan!” Lanjut si supir seraya membukakan pintu belakang taksi. Karina pun masuk dan duduk manis di sana.

Taksi meluncur pelan menyusuri jalanan yang sangat macet. Pasalnya, pada jam pulang kerja kawasan yang dilalui Karina dikenal sangat padat. Untung saja supir taksi cukup cekatan dan mengenal daerah ini sangat baik. Taksi menerobos ‘jalan tikus’ membuat perjalanan Karina tidak banyak memakan waktu.

Saat taksi berhenti di depan rumah yang Karina tuju, seketika keberanian untuk turun terasa menciut. Karina bertanya dalam hati, “Apa ini keputusan yang benar?” Karina bahkan sempat berpikir masih bisa putar balik sekarang. Wanita itu terus berfikir keras untuk memutuskan tetap turun atau pergi dari rumah ini tanpa masuk. Karina tidak tahu dan termenung cukup lama.

“Sudah sampai, Mbak.” Perkataan supir taksi menghentikan perang batinnya. Antara harus turun atau kembali saja.

“I..Iya, Pak ...” Karina sodorkan uang sesuai tarif lalu keluar dari taksi.

Masih dengan perasaan gugup luar biasa, Karina melangkah masuk melewati pagar hijau rumah itu. Terus berjalan menuju pintu utama rumah. Karina berdoa dalam hati bersamaan dengan tangan terangkat lalu mengetuk pintu. Beberapa saat tak ada tanda-tanda orang yang akan membuka pintu. Hingga ketukan ketiga, barulah terdengar suara seseorang dari dalam rumah. Pintu terbuka, seorang laki-laki tampan keluar dari balik pintu sembari menggendong bayi lucu. Sebuah tatapan heran sambil mengernyitkan dahi menghiasi wajah laki-laki tampan di depan Karina.

“Malam pak ... Apakah ini dengan Pak Gilang?” Tanya Karina pelan, masih terus berusaha mengontrol rasa gugupnya yang makin menjadi.

“Benar ... Maaf, siapa anda?” Tanya laki-laki si pemilik rumah yang bernama Gilang kepada Karina.

“Perkenalkan ... Saya istri Dimas ...” Karina memperkenalkan diri tanpa menyebutkan nama.

“Oh ... I-Iya ... A-ayo masuk ...!” Ajak Gilang terbata-bata karena merasa terkejut dengan kedatangan istri rekan kerjanya yang tersandung kasus di perusahaan. Gilang mengetahui kalau Dimas sedang ditahan polisi.

“Terima kasih ...” Lirih Karina yang mulai sedikit tenang.

Gilang memberikan jalan kepada Karina untuk masuk ke dalam. Si empunya rumah mempersilahkan duduk tamunya sebelum bergerak ke ruang tengah. Tak lama, Gilang datang kembali ke ruang depan dengan mendorong sebuah kursi roda yang ditempati seorang wanita sembari membawa baki berisikan minuman hangat dan cemilan. Karina bisa menebak kalau wanita di kursi roda itu adalah istri Gilang.

“Aduh ... Jangan merepotkan mbak ...” Karina langsung merespon atas keramah-tamahan tuan rumah.

“Nggak kok mbak ... Ini cuma air hangat saja ...” Jawab si wanita itu sambil meletakan baki di atas meja. “Maaf loh mbak ... Seadanya saja ...” Lanjutnya. Kemudian wanita itu dibawa suaminya mendekat pada Karina. “Oh ya mbak ... Yanti ...!” Wanita berkursi roda tersebut mengulurkan tangannya pada Karina.

“Karina ...” Sambutnya dengan senyum ramah.

“Oh ya mbak ... Saya turut bela sungkawa ... Kata Mas Gilang, suami mbak ditahan polisi ...” Ucap Yanti membuat Karina tersenyum malu.

“Makasih mbak ... Makanya saya datang ke sini untuk membicarakan masalah ini dengan suami mbak ... Saya berharap ada titik terang atas kasus yang menimpa suami saya ...” Papar Karina setengah tidak enak hati.

“Dimas terlalu nekad, mbak ... Buat apa dia masuk ke ruangan pimpinan dan mencuri data dari komputernya ...” Tiba-tiba Gilang bersuara dengan nada yang terdengar menyalahkan Dimas.

“Karena suami saya sedang ditekan, mas ... Suami saya disangka merugikan perusahaan, padahal ada ketidakberesan dalam laporan keuangan ... Suami saya ingin membuktikannya ...” Cerocos Karina merasa tidak terima dengan penghakiman Gilang.

“Begitukah?” Gilang memekik kecil, terkejut dengan penjelasan Karina. Gilang pun duduk dekat Karina saking penasarannya. “Kabar yang beredar di kantor cuma berkisar tentang pencurian data oleh Dimas.” Lanjut Gilang dengan mimik penasaran tingkat dewa.

“Jadi ceritanya begini mas ...” Karina mengawali cerita tentang masalah yang berkaitan dengan suaminya.

Diawali dengan dipanggilnya Dimas oleh Ricard yang kemudian Ricard menuduh Dimas sebagai biang keladi kerugian yang dialami perusahaan. Karina menceritakan secara detail bagaimana kejadian yang sebenar-benarnya. Karina juga menerangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat saja terjadi, salah satunya kecurigaan terhadap direktur keuangan yang bermain di belakang. Karina menyusun kata demi kata secara runtut sehingga Gilang dan istrinya menjadi mengerti duduk persoalannya.

“Mas Dimas menyuruh saya untuk mendatangi Mas Gilang ... Karena katanya hanya Mas Gilang yang bisa membantunya ...” Pungkas Karina sedikit terisak-isak.

“Membantu? Membantu apa? Saya bukan orang keuangan! Saya benar-benar buta dengan masalah keuangan perusahaan ...” Gilang bingung setengah mati, kenapa rekannya mempunyai pemikiran seperti itu.

“Saya bisa mas ... Kebetulan saya pernah bekerja di perusahaan konsultan keuangan ... Hanya saja, saya perlu akses ke dalam ...” Ungkap Karina.

“Hhhhmmm ....” Gilang bergumam pelan. Alis Gilang saling bertautan pertanda sedang berfikir keras untuk memikirkan sesuatu. Setelah beberapa detik Gilang pun berkata, “Begini saja ... Bagaimana kalau mbak nya saja yang membuat akses ... Maksud saya, mbak kerja di perusahaan saya di bagian keuangan ... Nanti mbak rancang sendiri cara bisa mendapatkan data yang mbak mau ... Hanya itu yang bisa saya lakukan ...” Gilang menjelaskan idenya.

“Boleh juga itu mas ... Ide yang cemerlang ...” Karina tersenyum senang. Ide Gilang tentu disambut gembira oleh Karina walau masih terselip rasa was-was dan juga khawatir.

Akhirnya, Gilang bersepakat untuk memasukkan Karina ke dalam perusahaan. Gilang pun memberitahukan persyaratan-persyaratan yang harus dilengkapi Karina. Bagi Gilang tidak sulit untuk menempatkan Karina di bagian keuangan perusahaan sebab Gilang adalah Direktur HRD di perusahaan itu.

Obrolan pun semakin menghangat dan melebar. Seakan mereka semua adalah teman lama yang sudah saling mengenal baik satu sama lain. Gilang dan Yanti tak henti-hentinya memberikan semangat agar Karina tidak ragu dengan keputusannya untuk membantu suaminya mengungkap keburukan-keburukan di perusahaan tempat kerjanya nanti. Tak pelak, tekad Karina membulat sempurna dan hatinya berkata, “Aku harus bertindak, dan aku sudah siap menghadapinya dengan resiko apapun.”

Malam semakin larut, Karina ingin segera pulang ke rumah dan mengistirahatkan tubuhnya yang lelah. Karina berpamitan kepada tuan rumah serta menolak diantar oleh Gilang. Tak lama menunggu, taksi online datang dan langsung membawa Karina pergi dari situ. Selama perjalanan Karina berusaha memantapkan hati dan membuang perasaan negatifnya jauh-jauh. Karina yakin, kalau masalah yang ia hadapi akan dapat diselesaikannya.



----- o0o -----​



Kondisi yang aksesible, tidak perlu antri dengan yang lain, pengurusan cepat serta bebas hambatan karena layanan prioritas ini hanya diperuntukkan orang yang dibawa Direktur HRD. Proses perekrutan seperti ini sesungguhnya melanggar aturan perusahaan, tetapi tak satu pun yang berani memprotes. Karina langsung bekerja di divisi keuangan sebagai staf. Beruntung, wanita itu langsung diterima baik oleh rekan-rekan sekerjanya.

“Bu Karina ... Dipanggil pimpinan menghadap ...” Seorang wanita cantik menyapa ramah ketika Karina sedang mengerjakan laporan.

“Baik, mbak ...” Sahut Karina sembari berusaha menahan gejolak hatinya yang sedang melompat-lompat. Hari ini juga ia langsung berhadapan dengan targetnya.

Karina pun berdiri lalu mengikuti langkah wanita cantik itu dari belakang menuju ruangan atasannya. Walau hatinya masih tidak enak, masih ada rasa ragu, Karina terus mendekat ke arah pintu di mana atasannya berada. Pintu pun terbuka dan langsung saja Karina melihat wajah pria itu. Wajah yang pernah ia temui ketika pria itu memperkenalkan diri di lobby perusahaan ini beberapa waktu yang lalu.

“Siang pak ...” Sapa Karina sembari membungkuk hormat pada pria itu.

“He he he ... Selamat datang di perusahaan kami ... Silahkan duduk ...” Ucap Ricard tampak sumringah dan mempersilahkan wanita itu duduk. Dari sorot matanya, tampak kekaguman yang sangat pada penampilan Karina kali ini.

“Terima kasih ...” Balas Karina yang kemudian mendekat ke meja kerja atasannya lalu duduk manis di kursi yang tersedia. Wanita itu menatap lurus ke wajah atasannya dan ia bisa menangkap sorot mata atasannya yang mengagumi dirinya.

“Hhhhmm ... Kamu dibawa Gilang ke sini ... Tapi, tak apalah ... Memang perusahaan ini sedang membutuhkan tenaga keuangan yang berpengalaman ...” Ricard berujar sembari memperhatikan curriculum vitae dari wanita di hadapannya.

“Kebetulan Bapak Gilang menghubungi saya dan menawarkan pekerjaan pada saya ...” Ucap Karina yang mulai bisa menguasai diri. Tidak lupa ia memberikan senyuman termanisnya pada Ricard sehingga laki-laki itu tampak sedikit gelisah.

“Begitukah? Padahal saya belum menginstruksikan apa-apa sama Pak Gilang ... Tapi sudahlah, kamu sekarang sah menjadi pegawai di sini ... Mudah-mudahan betah dan bisa bekerja dengan baik ...” Kata Ricard sembari matanya menatap intens Karina. Dan Saat pertama kali melihat wanita itu beberapa hari yang lalu, memang Ricard sudah mengagumi atas kecantikannya. Sekarang Karina sudah ada di depan matanya, tentu saja kesempatan ini tak akan ia sia-siakan.

“Terima kasih, pak ...” Karina memberikan senyuman termanisnya lagi kepada Ricard. Wanita itu terus melancarkan serangan jitu asmara membara.

Seperti sihir, senyuman wanita itu membuat Ricard ingin terus menatapnya. Bahkan sampai tak menyadari debaran-debaran aneh yang muncul seketika itu juga. Ricard amat mengagumi kecantikan Karina. Bagi Ricard ini adalah hari ini keberuntungannya. Bisa bertemu lagi dengan wanita cantik ini. Dalam hati ia berterima kasih pada rekan kerjanya yang sudah mengajak wanita ini bekerja di divisinya.

“Maukah kamu makan siang denganku?” Ajak Ricard tiba-tiba tanpa rasa malu.

“Hi hi hi ... Malu dong pak ... Masa pegawai baru udah mau diajak atasan ...” Ucap Karina yang sengaja bergaya kemayu untuk memancing adrenalin Ricard.

“Gak usah malu ... Anggap aja angin lalu komentar-komentar mereka ...” Ujar Ricard sedikit memaksa. Karina pun menangkap isi hati dan pikiran atasannya. Ini adalah progres yang cukup signifikan. Namun, Karina berfikir ini belum saatnya. Lalu wanita itu coba mencari alasan.

“Saya tidak enak sama Pak Gilang ... Beliau mengajak saya juga ...” Kilah Karina.

“Oh begitu ... Baiklah saya tidak bisa memaksa ... Sekarang, kembalilah ke tempat kerja.” Perintah Ricard sedikit kecewa.

“Baik pak ...” Ucap Karina.

Karina bangkit dari duduk kemudian berlalu dari hadapan Ricard. Hatinya tersenyum puas karena telah menemukan celah untuk memuluskan misinya. Karina dengan santai keluar ruangan, pengalaman barusan membuat dirinya semakin percaya diri. Meski terlihat sepertinya akan mudah, tetapi perasaan khawatir dan was-was Karina tetap ada. Ia harus tetap waspada jika sesuatu yang di luar dugaan terjadi.

Baru saja akan duduk di kursi kerjanya, tiba-tiba suara sirine tanda istirahat menggema. Karina pun menerima ajakan rekan-rekan sekantornya untuk istirahat dan makan siang di kantin. Saat berjalan menuju kantin, Karina bertemu dengan Gilang yang hendak makan siang. Kali ini Karina tidak bisa menolak ajakan Gilang untuk makan siang bersama. Keduanya pun akhirnya menuju restoran dengan berjalan kaki, karena restoran yang dituju berada persis di samping gedung perusahaan tempat mereka bekerja.

“Bagaimana? Sudah ketemu Ricard?” Tanya Gilang sesaat setelah mereka mendapatkan meja di dalam restoran.

“Sudah ...” Jawab Karina singkat sambil tersenyum.

“Hhhhmm ... Mbak harus hati-hati sama dia ...” Ucap lirih Gilang.

“Mas ... Jangan panggil mbak lagi ya ... Panggil nama saja ...” Ucap Karina memohon sesuatu pada Gilang.

“Oh ya ... Habisnya takut gak sopan ...” Gilang mengungkapkan alasannya.

“Aku kok merasa tua kalau dipanggil mbak ... Hi hi hi ...” Ungkap Karina sambil terkekeh geli.

“Iya ... Iya ... Tapi ingat ... Jangan terlalu dekat dengan Ricard ... Bahaya ...” Gilang melanjutkan nasehatnya yang terpotong tadi.

“Loh kenapa?” Tanya Karina heran.

“Karena si Ricard itu ... Ya, bisa dikatakan playboy ...” Ungkap Gilang.

“Hi hi hi ... Bukankah itu salah satu cara aku untuk memasuki wilayah kerjanya? Biar aku bisa mudah mendapatkan apa yang aku perlukan ...” Jelas Karina.

“Ya juga ... Tapi saya keberatan kalau ... Kamuuu ... Eeuu ... Gini, saya gak enak meski si Ricard tau kamu masih single, tapikan kenyataannya kamu istri Dimas ... Sahabat saya ...” Gilang membelokan ucapanya dengan nada lirih.

Karina menatap wajah Gilang. Walau terkesan biasa-biasa saja, namun ada perhatian yang ia rasakan dari laki-laki di hadapannya. Perhatian yang diberikan Gilang membuat Karina merasa berarti. Teristimewa, laki-laki ini baru dikenalnya belum melebihi satu hari.

“Iya mas ... Saya akan menjaga diri ...” Ucap Karina seolah tahu kelanjutan ucapan Gilang.

Detik demi detik, menit demi menit mereka lalui dengan obrolan hangat. Keduanya terlihat menikmati makan siang mereka, kini mereka menikmati hidangan penutup yang telah tersaji di atas meja. Setelah makan siang selesai, Karina dan Gilang kembali ke kantor sekitar pukul 13.00 siang. Keduanya melanjutkan aktivitasnya masing-masing hingga jam kerja usai.

“Karina ...” Suara bass menggema di lobby perusahaan. Seseorang memanggil dirinya. Karina pun menoleh ke arah sumber suara dan ternya pemilik suara adalah Gilang.

“Eh mas ... Belum pulang?” Tanya Karina heran melihat Gilang masih berada di sini, padahal sudah lewat setengah jam waktu berhenti kerja.

“Belum ... Ada meeting mendadak tadi ... Ayo! Saya antar pulang ...” Ucap Gilang. Karina langsung merasa tak enak hati.

“Nggak usah repot-repot, Mas ... Aku bisa pulang sendiri ...” Karina berusaha menolak namun dibalas oleh senyuman tipis Gilang.

“Tidak merepotkan, kok ... Lagi pula kita kan searah ...” Karina masih ragu. Rasanya sangat sungkan. “Ayo!” Ajak Gilang lagi.

Gilang dan Karina berjalan beriringan ke arah mobil Gilang yang sudah terparkir di depan gedung. Laki-laki itu membukakan pintu mobil dan mempersilakan Karina untuk masuk. Setelahnya, Gilang masuk dari arah yang satunya. Sepanjang perjalanan keduanya ngobrol santai dan sesekali tertawa. Karina menceritakan bagaimana Ricard memperlakukannya sebagai pegawai baru. Gilang hanya tersenyum-senyum saat mendengarkan cerita wanita di sampingnya. Perjalanan pun tak terasa karena keasikan mereka. Karina turun dari mobil sementara Gilang langsung menancap gas berlalu dari rumah Karina.

Karina bergerak masuk ke dalam rumahnya. Wanita itu langsung duduk di sofa ruang tamu. Ia mengulum senyum sambil menyandarkan punggung di sofa. Tampangnya seperti detektif yang sudah berhasil memecahkan suatu kasus. Hari pertama kerja telah dilaluinya. Namun, hal tersebut baru merupakan langkah awal dalam merealisasikan misinya. Masih ada langkah-langkah berikutnya yang harus ia lewati. Karina berharap rencananya berjalan sesuai seperti yang diharapkan.


----- o0o -----​



Seminggu Kemudian ...

Malam datang begitu cepat. Karina masuk ke dalam kamar usai makan malam kemudian berendam di bathtub untuk menyegarkan tubuhnya yang terasa letih. Setelah berpakaian, ia langsung berbaring di atas kasur. Sebenarnya ada yang sangat ia inginkan sebelum terlelap. Tapi ia tak bisa berharap banyak. Ia hanya bisa menahannya lalu menarik selimut menutupi tubuhnya seraya menghela nafas berat.

Malam itu Karina berharap suaminya ada di sampingnya. Karina menggigil tak nyaman, membutuhkan belaian secara desperatif. Berkali-kali Karina menahan nafas karena sisi rasionalitasnya hampir goyah yang diakibatkan ledakan hormon. Jiwanya meronta-ronta minta dipuasi hasratnya. Karina juga merasakan detak jantungnya bertambah cepat dan tubuhnya mulai menghangat seperti ada api yang menyala di dalamnya. Karina merasakan organ intimnya berdenyut-denyut, desakan seksualnya menyeruak.

Saat itu juga Karina mulai mendesah-desah dan berkeringat, gerakannya mendadak menjadi gelisah. Karina perlahan mulai meremasi payudaranya sendiri dengan gerakan lembut. “Oohh ... Oohh ... Aahh ....” Karina mengerang-erang lirih sambil terus meremasi payudaranya. Tak lama kemudian, wanita itu mengelus-elus vaginanya, jari-jari tangan Karina dimasukan ke liang vaginanya sendiri dan mengaduk-aduk liang vagina itu sambil sesekali mendesah dan mengerang. Ia benar-benar membutuhkan pelampiasan saat ini.

Tiba-tiba nada dering smartphone milik Karina berdering keras, dering smartphone itu membuyarkan fokusnya. Tubuh Karina menegap begitu mengetahui nama sang pemanggil yang tertera di layar smartphone hitamnya. Setelah menghela nafas panjang jari Karina menggeser tombol hijau di layar smartphone-nya itu.

“Hallo ...” Sapa Karina pada penelepon di seberang sana.

Karina ... Bisakah kamu datang ke EXO Nightclub sekarang?” Tanya Richard yang terdengar agak berteriak di seberang sana berlatarkan suara hingar bingar di telinga Karina.

“Sekarang?” Tanya Karina yang tidak lagi sungkan kepada atasannya itu.

“Iya ... Sekarang ...” Suara keras Ricard terdengar lagi.

"Em ...” Karina bingung. Belum sempat menjawab, Ricard langsung menyambar pembicaraan.

“Oke ... Saya tunggu ya ...” Ucap Ricard lagi lalu terputus sambungan telepon.

Karina duduk merenung sambil memeluk lutut. Punggungnya bersandar pada kepala tempat tidur. Batinnya mulai gelisah dengan keheningan ini. Ia memainkan jemarinya, ia bahkan berjuang untuk menelan ludahnya sendiri. Misi ini membuat tawa Karina menghilang, lalu digantikan segaris senyum masam. Sejak seminggu yang lalu, bahkan sampai detik ini, dia masih ragu bahwa misinya bisa memperbaiki keadaan. Tapi sekarang, sudah terlambat untuk memutuskan mundur. Karina pun menepis keraguan, lalu melangkah ke depan lemari untuk merias diri.

Tak lama berselang Karina sudah siap dengan penampilannya. Perempuan cantik itu memilih dress selutut yang ketat sehingga menampakkan lekuk tubuhnya yang proposional dan indah. Dalam sepuluh menit taksi online telah tiba di depan rumahnya. Karina langsung saja memasuki taksi online tersebut untuk mengantarkan dirinya ke EXO Nightclub.

Tidak lebih dari lima belas menit, Karina sudah berada di tempat tujuan. Karina masuk ke dalam nightclub yang disambut oleh suara musik yang memekakan telinga. Banyak wanita dan pria yang sedang berjoged di bawah lampu kerlap kerlip. Dengan mata menyipit Karina berusaha mencari keberadaan Ricard di antara kerumunan banyak orang. Wanita itu terus mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru club, lalu perhatiannya teralih oleh sebuah lambaian tangan dari Ricard. Karina berjalan menerobos kerumunan dan sampailah ia di sofa pojok di mana Ricard berada.

“Hai ...” Sapa Ricard sambil berdiri menyambut kedatangan Karina.

“Sudah lama?” Tanya Karina sebari duduk di sebelah atasannya.

“Lumayan ... Tiba-tiba saja aku ingin ke sini dan mengajakmu bersantai di sini.” Jelas Ricard sambil meletakkan lengannya di bahu Karina tanpa ragu.

“Bersantai katamu?” Karina berani mencandai Ricard karena memang sudah terjalin kedekatan di antara mereka.

“Ha ha ha ... Di sini tempatnya kalau aku mau bersantai ...” Ricard tertawa keras.

“Baiklah ... Apa acara kita selanjutnya ...?” Karina berkata menantang.

“Kamu mau menghabiskan malam denganku?” Tanya Ricard tanpa basa-basi. Karina memandang wajah Ricard lalu tersenyum dan menganggukan kepala. “Good girl ... Mari kita nikmati malam ini ...” Lanjut Ricard lalu menuangkan wine ke dalam gelas kemudian memberikannya kepada Karina.

Malam itu mereka habiskan dengan bercerita, bercanda dan tertawa bersama hingga malam pun semakin larut. Sudah tiga botol lebih wine mereka habiskan. Keduanya sudah dalam efek alkohol tetapi Ricard masih terjaga karena pria itu tidak mudah mabuk, sedangkan Karina sudah meracau tidak jelas bahkan untuk berjalan saja sangat sulit.

“Sepertinya di atas kepalaku banyak sekali burung-burung kecil ...” Racau Karina yang menatap ke arah atas dengan tatapan mabuk.

“Sudah cukup minumnya ... Kamu mabuk sekarang ...” Kata Ricard sambil tersenyum.

“Tidak ... Tidak .... Aku tidak mabuk ...” Racau Karina sembari menggerakan kedua tangannya di depan.

“Aku masih sanggup berjalan ...” Ucap Karina yang mulai berjalan bolak-balik di sekitar sofa dengan langkah gontai.

Ricard hanya memperhatikan sembari duduk, wanita itu benar-benar menggemaskan jika sedang mabuk seperti ini. Sejak tadi Karina hampir saja terjatuh karena tak sanggup menopang tubuhnya. Hingga Ricard harus turun tangan langsung, laki-laki itu menghampiri Karina lalu menarik lengan Karina kebahunya sementara tangan kanannya bertengger manis di pinggang wanita itu.

“Sebaiknya kita pindah ke tempat yang lebih privasi.” Bisik Ricard dengan libidonya yang mulai meninggi.

“Kemana?” Tanya Karina setengah sadar.

“Ayo! Ikut saja.” Ucap Ricard dengan seringai mesum di wajahnya.

Pria itu memapah Karina ke arah pintu keluar nightclub sementara Karina terus meracau tidak jelas. Karina sudah benar-benar mabuk mencapai level mabuk berat. Ia sama sekali tidak sadar dengan apa yang akan dilakukan Ricard selanjutnya, tidak sadar dengan dirinya sendiri dan bahkan tidak mengenal dirinya sendiri.

Ricard terus memapah Karina hingga sampai ke mobilnya. Wanita yang sedang mabuk berat itu didudukan pada jok samping kemudi, lalu Ricard bergerak ke arah pintu sebelahnya. Laki-laki itu segera saja duduk di belakang kemudi mobil. Dan tak lama, mobil tersebut meluncur meninggalkan area parkir nightclub. Ricard memacu sangat kencang mobilnya, berharap segera sampai di tempat yang ia tuju.

Sudah hampir pukul sebelas malam, Ricard terus memacu mobilnya sangat kencang. Sementara Karina yang masih dalam pengaruh alkohol terus meracau dan tertawa seperti orang gila sepanjang perjalanan. Ricard pun tersenyum penuh kemenangan dan merasa beruntung karena sebentar lagi ia akan menikmati tubuh montok itu yang selama satu minggu ini ia idam-idamkan.

Setelah setengah jam memacu mobilnya, Ricard sampai juga di basement sebuah apartemen. Ricard lalu membawa Karina ke kamar apartemen yang sengaja ia beli untuk digunakan sebagai tempat ‘indehoy’ dengan para wanitanya. Sesampainya di kamar apartemen miliknya, Ricard membawa Karina yang masih setengah sadar ke kamar tidur. Dibaringkannya tubuh wanita itu di atas kasur. Kemudian pelan-pelan, tangan Ricard menyingkap rok Karina dan menari-nari di sekitar pinggul dan pahanya. Sejurus kemudian, Ricard sudah habis melucuti pakaian wanita yang sedang mabuk itu.

Diperlakukan demikian, Karina hanya bisa membiarkan Ricard dengan sesuka hati mempermainkan tubuhnya. Kesadaran Karina yang tinggal sedikit tak mampu menghentikan aksi atasannya itu. Apalagi saat Ricard mulai menindih dan menciumnya dengan membabi buta sambil meremas-remas apa saja yang bisa laki-laki itu remas. Karina tampak menggigit kuat bibirnya ketika kewanitaannya berhasil dimasuki kejantanan Ricard. Tanpa daya, Karina membiarkan dirinya menjadi alat pemuas nafsu birahi atasannya.

Perlahan kesadaran Karina memudar. Bahkan desahan dan erangan nikmat Ricard yang tadinya terdengar agak nyaring, seakan semakin lenyap dari pendengarannya. Namun tak Karina pungkiri bahwa ada sedikit rasa nikmat yang ia rasakan di bawah sana, tetapi Karina tidak bisa menikmatinya lebih lama. Wanita itu mulai memejamkan mata dan godaan untuk tidur terasa sangat nikmat, membuat semuanya gelap dan tak lama Karina tidak ingat apa-apa lagi.

Waktu terus merayap. Sinar matahari sudah menembus tirai jendela. Karina membuka mata dengan perlahan dan sebuah dengkuran pelan langsung menyapa indra pendengarannya. Karina memandang wajah laki-laki yang persis berada di depan wajahnya itu. Hati Karina menjerit seolah ingin memberontak, melawan keadaan yang sedang ia hadapi. Namun ia sadar, ada misi yang harus segera ia selesaikan. Demi suami tercinta, Karina kembali membulatkan niat untuk tetap yakin meneruskan misinya.

“Bangun, sayang ...!” Ucap lembut Karina tapi penuh kepura-puraan sambil mengusap wajah Ricard yang masih tertidur. Ricard pun membuka mata lalu tersenyum.

“Masih terlalu pagi ... Aku masih mengantuk ...” Kata Ricard sembari merapatkan badannya pada Karina, tetapi Karina segera saja bangkit lalu turun dari tempat tidur.

“Aku hari ini ada keperluan penting yang gak bisa ditinggal ...” Ucap Karina sambil memunguti pakaiannya yang bergeletakan di lantai.

“Bisakah kamu tunda sebentar saja ...?” Pinta Ricard.

“Maaf ... Aku harus segera pergi!” Karina tetap pada pendiriannya.

Karina kemudian berjalan ke arah kamar mandi yang temaram. Dia melihat bathtub. Andai saja lelaki itu bukan si keparat yang telah menjamah tubuhnya, dia pasti berendam terlebih dahulu. Namun, dengan cepat Karina mengambil shower. Membilas tubuhnya dengan busa sabun. Menghilangkan jejak kotor lelaki itu di tubuhnya. Tak terasa air matanya berlinang dan menetes lembut di pipi. Karina merasa sakit karena telah menggadaikan tubuhnya dan menjual mukanya demi menyelamatkan suami tercinta.

Selepas mandi dan berpakaian rapih, tak lupa ia oleskan benda berwana merah muda di bibir dan menyisir rambut, ya cukup seperti itu saja, wajahnya terlihat sangat cantik maka tak heran banyak pria yang memujanya. Karina bergegas meninggalkan apartemen itu tanpa bisa ditahan lagi oleh Ricard. Setelah di luar apartemen, Karina menaiki salah satu taksi yang berjejer di depan area apartemen. Setelah menyebutkan suatu alamat, taksi pun meluncur mengantarkan Karina ke tempat tujuan.

Di setengah perjalanan, tiba-tiba Karina melihat sebuah taman kota yang asri dan indah. Dan seketika itu juga, Karina menyuruh berhenti supir taksi. Ia membayar ongkos taksi, lalu melangkah turun. Dengan langkah gontai, Karina memasuki taman kota yang terlihat sangat sepi. Akhirnya Karina duduk di sebuah bangku sembari memperhatikan hamparan air danau kecil di hadapannya. Karina meneteskan kembali air matanya. Dan Karina pun memejamkan mata. Ia telah mengambil keputusan terberat dalam hidupnya. Demi suami, ia rela bahkan merelakan tubuhnya di jamah Richard. Batinnya meronta tersiksa saat mengingat Ricard menindih tubuhnya.

“Karina ...” Terdengar suara bass mengagetkan dari arah samping. Karina tersentak dari lamunannya dan mengalihkan pandangan, menatap pria yang baru saja menegurnya. “Kamu kenapa menangis?” Tanya Gilang yang langsung saja duduk di samping wanita itu. Karina menunduk seraya mengusap pipinya yang basah oleh air mata.

“Ti..Tidak apa-apa ...” Getaran dari nada suara Karina tidak bisa membohongi perasaannya. Dan itu sangat terbaca oleh Gilang.

“Maaf kalau aku mengganggumu ... Tadinya aku mau belanja di supermarket di sebelah sana ... Tapi waktu aku melihatmu berjalan ke sini ... Eem, lantas aku mengikutimu ...” Ucap Gilang. Tetapi sepertinya Karina tidak terlalu memperhatikan ucapan Gilang. Wanita itu masih asik membersihkan pipi dan matanya. “Karina ... Ada apa?” Tanya Gilang dengan suara lembutnya membuat Karina kembali menangis.

Secercah rasa iba pun menyeruak di batin Gilang. Tangisan Karina membuat lapisan hati Gilang terkuak seakan ikut merasakan kesedihannya. Gilang akhirnya memberanikan diri untuk memeluk tubuh Karina. Perlahan Gilang mengambil tubuh Karina lalu diletakkan bersandar di tubuhnya. Karina pun membenamkan wajah di ceruk leher Gilang. Tumpah sudah semua air mata kesedihan wanita itu di leher Gilang. Semua yang mengganjal di hatinya, ia tumpahkan semuanya. Segala kesedihan yang Karina rasakan, ia ungkapkan melalui air mata. Air mata yang mengatakan semua. Benar-benar menyesakkan.

“Kamu akan sedikit lega ... Kalau mau berbagi kesedihan denganku ...” Ucap Gilang mencoba menghibur wanita dipelukannya itu.

“A-aku ... Hanya ingin menangis ... Huuu... Huuu...” Tangis Karina semakin keras.

“Tidak ada masalah yang selesai dengan menangis ...” Bisik Gilang sembari mengusap-usap punggung Karina.

“Temani saja aku menangis ... Huuu... Huuu...” Pinta Karina yang tidak juga menghentikan tangisnya.

Gilang mengeratkan pelukan, Gilang sangat tahu apa yang Karina rasakan. Laki-laki itu mengusap rambut Karina dengan sayang, menguatkan Karina melalui pelukan hangatnya dan menyalurkan ketenangan melalui usapan pada rambut lembut milik Karina. Sementara itu, Karina merasakan ketenangan dalam pelukan dan usapan tangan Gilang. Hal yang jarang Karina dapatkan, sentuhan lembut membelai kepalanya.

Beberapa menit berselang, Karina menguraikan pelukannya. Ia merasa sedikit tenang dan lega. Karina kemudian menyeka air matanya sambil sesekali menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dalam alam pikirnya, Karina bertekad kalau dia harus kuat mental dalam menghadapi tantangan ini. Gilang yang berada di samping Karina terus memperhatikan tingkah wanita tersebut.

“Maafkan, mas ... Baju mas jadi basah ...” Karina mengawali pembicaraan.

“Gak apa-apa ... Apakah sekarang sudah bisa bercerita ... Kenapa kamu bersedih ...?” Tanya Gilang.

“Tidak mas ... Aku tidak akan menceritakannya ...” Sanggah Karina sambil tersenyum.

“Ooo ... Ya sudah ... Kalau begitu, sekarang kamu mau ke mana?” Tanya Gilang yang merasa lega karena Karina sudah bisa tersenyum lagi.

“Saya mau pulang mas ... Kalau mas mau ke mana?” Karina balik bertanya.

“Aku mau belanja ke supermarket itu ...” Kata Gilang sembari telunjuknya mengarah ke sebuah supermarket yang letaknya tidak jauh dari situ.

“Oh iya ... Kebetulan juga ... Aku mau beli sesuatu ... Yuk, kita ke sana!” Ajak Karina yang disambut Gilang dengan anggukan kepala.

Segera saja keduanya menuju dan memasuki supermarket yang cukup luas dengan barang-barangnya yang lengkap tentu saja. Mereka mencari satu tempat berisikan bahan masakan, lalu kembali menyusuri beberapa minuman dingin serta sayur di sana. Mereka berjalan dengan pelan, sambil bersenda gurau satu sama lainnya. Keduanya terlihat begitu kompak dan serasi, namun siapa yang menyangka bahwa mereka adalah orang yang belum lama saling kenal.

“Mas ... Kita ke sana dulu ...!” Ajak Karina yang teringat dengan bumbu masakan yang harus ia beli.

Karina berjalan terlebih dahulu dan Gilang pun mengikutinya dari belakang sambil menjinjing keranjang belanjaan. Tiba-tiba kaki Karina terpeleset hingga ia kehilangan keseimbangan dan tubuhnya condong ke belakang. Melihat kejadian itu, dengan sigap Gilang yang berada di belakang meletakan jinjingan sembarang dan langsung menangkap tubuh Karina yang akan jatuh. Hap! Gilang berhasil menangkap tubuh ramping Karina, namun tanpa diduga mata mereka saling bertemu. Tidak hanya sekedar bertemu tetapi mata mereka saling bertamu seakan ada magnet yang tak bisa mereka lepas, jarak wajah mereka sangat dekat bahkan hidung mereka hampir bersentuhan.

Mata keduanya saling bertatapan dan menghantarkan sinyal-sinyal aneh yang merasuki diri keduanya. Celakanya, sinyal aneh itu tidak bisa ditolak, gelenyar rasa bahagia menelusup ke rongga dada. Di saat mata mereka bersitemu, saling memandang, di saat itu pula jantung mereka berdetak dengan begitu aktif, berdebar dengan ritme yang begitu cepat. Seolah berteriak, berseru kencang, mengumandangkan semua rasa atas nama cinta. Begitu lama kejadian itu terjadi dan akhirnya mereka sadar. Gilang membenarkan posisi Karina dan terlihat dari tingkah keduanya seperti gugup.

“Ma..Maaf ...” Lirih Gilang tak enak hati setelahnya.

“Aku yang maaf ...” Ucap Karina tak kalah lirih.

Karina secepatnya berjalan menjauhi Gilang. Entah kenapa hatinya begitu hangat dan bahagia saat berada di pelukannya. Sementara Gilang pun mempunyai perasaan yang sama. Laki-laki itu tidak mampu menahan gejolak di hatinya. Gilang coba bertahan, tetapi semakin ditahan rasa itu semakin bergejolak minta dikeluarkan.

“Mana yang mau dibeli?” Tanya Gilang saat berada dekat dengan Karina.

“Eh ... Em ... Mana ya?” Karina terlihat sekali gugup.

“Coba cari di sana?” Kata Gilang yang belum normal detakan jantungnya.

“Oh ... Ini ... Yuk ...!” Karina menemukan apa yang dicari.

Tanpa melirik barang lain, mereka pun langsung berjalan ke kasir yang ternyata sepi. Gilang membayar semua belanjaan dan setelahnya mereka keluar supermarket lalu menghampiri mobil Gilang yang terparkir agak jauh dari supermarket. Tanpa berkata-kata, Gilang membuka pintu mobilnya sebelah kiri, mempersilahkan Karina masuk ke dalamnya. Karina pun tanpa ragu memasuki mobil itu dan duduk manis di jok depan samping kemudi. Tak lama berselang, Gilang membuka pintu sebelahnya, setelah meletakkan belanjaan di jok belakang, laki-laki itu pun duduk tegak di belakang kemudi.

“Kita meluncur ...” Ucap Gilang sekedar basa-basi berusaha menghilangkan kecanggungan. Hanya beberapa detik berselang mobil pun bergerak.

“Mas ... Sudah seminggu aku bekerja ... Tapi belum juga menemukan titik terang ...” Ungkap Karina mulai berbicara serius.

“Masalahnya apa?” Tanya Gilang sambil melirik sekilas ke arah Karina.

“Data-data keuangan terlihat normal-normal saja ... Aku kayaknya harus mendapatkan arsip-arsip berbentuk kertas hasil print out ...” Papar Karina.

“Hhhmm ... Aku tau tempatnya ...” Kata Gilang setengah bergumam.

“Maksud mas?” Tanya Karina heran.

“Berkas-berkas penting perusahaan yang sudah tidak terpakai biasanya dibakar ... Ada orang yang khusus membakar berkas-berkas penting itu ...” Ungkap Gilang sembari mengeluarkan handphone-nya dari saku celana. Sambil menyetir, Gilang mencari nomor kontak orang yang akan dihubungi. Dan tak lama Gilang berhasil menemukan nomor kontak tersebut dan langsung menghubunginya.

Hallo Pak Gilang ...!” Seru seseorang di sana.

“Pak Gino ... Apakabar ... Lama tak bersua nih ...” Kata Gilang menyapa.

Baik Pak Gilang ... Ada apa ya ...? Kayaknya mau ngasih rezeki ... Ha ha ha ...” Canda Gino diakhiri dengan tertawa.

“Ha ha ha ... Pak Gino tau aja ... Em, ada sedikit rezeki dari saya ... Tapi, saya minta bantuan bapak dulu ... Bagaimana?” Kata Gilang.

Bantuan apa ya pak ... Tapi untuk Pak Gilang ... Saya selalu siap membantu ...” Ucap Gino bersemangat.

“Apakah berkas-berkas perusahaan di tempat Pak Gino sudah dibakar?” Tanya Gilang.

Berkas-berkas untuk tiga bulan terakhir, masih ada di gudang Pak ... Apakah bapak mau mencari berkas?” Gino pun bertanya.

“Iya ... Ada berkas yang ingin saya cari ...” Tandas Gilang sambil tersenyum saat menoleh Karina yang sedang menatapnya.

Boleh pak ... Nanti saya antar ...” Gino merespon baik.

“Apakah nanti agak siang, Pak Gino ada di gudang?” Tanya Gilang.

Kebetulan saya sekarang ada di gudang ...” Jawab Gino.

“Baiklah ... Saya segera ke sana ...” Ucap Gilang bersemangat.

Baik Pak ... Saya tunggu ...” Kata Gino. Sambungan telepon pun terputus, Gilang menyimpan lagi smartphone-nya di dashboard mobil.

“Mudah-mudahan kita bisa menemukan berkas yang kita cari ...” Gilang berkomentar tentang rencananya.

“Biar aku saja yang cari ... Mas cukup nganter aku saja ...” Karina merasa keberatan kalau Gilang ikut mencari berkas yang ia perlukan.

“Tidak ... Aku akan menemanimu ...” Ucap Gilang tandas.

“Terima kasih ya mas ...” Lirih Karina yang sebenarnya merasa senang dengan adanya Gilang yang akan menemaninya mencari berkas bukti penyelewengan keuangan perusahaan.

Gilang menjawabnya dengan tersenyum dan laki-laki itu masih tidak mengerti dengan perasaannya saat ini. Tidak ada logika yang mampu memecahkan ini semua. Gilang tak menyangkal bahwa dirinya bisa begitu cepat menyayangi wanita di sampingnya ini. Antara maju terus atau surut ke belakang. Tidak Gilang pilih keduanya. Gilang membiarkan rasa itu mengikuti arus waktu kehidupan. Biarkan waktu yang menjawabnya. Ternyata, detik demi detik, rasa itu makin kuat mengakar dalam diri Gilang.

Gilang pun sampai di rumahnya. Setelah menyerahkan belanjaan pada istrinya, Gilang langsung menuju perusahaan tempat di mana ia dan Karina bekerja. Hanya seperempat jam keduanya telah sampai di lokasi. Secepatnya Gilang dan Karina bergerak ke gudang penyimpanan berkas yang akan dihancurkan. Gilang dan Karina disambut Gino dengan wajah sumringah.

“Pak Gino ... Saya minta ... Tolong rahasiakan kalau saya dengan dia mencari berkas di sini ...” Ucap Gilang sembari menempelkan amplop ke tangan Gino.

“Siap Pak ... Tenang saja ... Rahasia terjamin ...” Ungkap Gino sangat senang seraya memasukan amplop pemberian Gilang ke dalam saku celananya.

“Ayo!” Ajak Gilang pada Karina.

Pencarian pun dimulai. Gilang dan Karina membongkar tumpukan berkas yang menggunung dan kebanyakan sudah berdebu. Satu per satu diperiksa oleh Karina dengan cara membaca cepat karena sebagian data keuangan telah berada di otak wanita itu. Pencarian itu bukanlah hal yang mudah, tetapi semangatlah yang membantu Karina untuk terus mencari dan mencari.

Tak terasa sudah hampir enam jam Karina memilih dan memilah berkas-berkas yang akan ia bawa ke rumah untuk diperiksa. Keringat mulai membasahi dahinya. Berkali-kali Karina menyeka keringatnya. Karina memandang lelah setumpuk berkas yang akan ia bawa.

“Sebenarnya masih banyak ... Tapi sementara cukup segini dulu ...” Ungkap Karina dengan nafas sedikit terengah-engah.

“Ya sudah ... Ayo kita periksa!” Kata Gilang.

“Kita??” Karina menahan senyum.

“Loh ... Kenapa? Kamu meragukan kemampuanku?” Tanya Gilang bernada canda sambil menalikan setumpuk berkas dengan tali plastik.

“Hi hi hi ... Katanya tidak mengerti masalah keuangan.” Ucap Karina mengulangi ucapan Gilang saat mereka baru saling bertemu.

“Kalau secara ekspert aku memang kalah denganmu ... Tapi aku setidaknya ditempa oleh pengalaman ... Sedikitnya aku mengetahui perhitungan-perhitungan keuangan perusahaan ... Tinggal poles sedikit, aku bisa mengalahkanmu ...” Ucap Gilang setengah membual.

“Hi hi hi ... Oke ... Oke ...” Karina tertawa lirih melihat Gilang yang begitu percaya diri.

Saat matahari mulai tergelincir ke arah Barat, Gilang dan Karina keluar gedung arsip tersebut. Hari ini Karina menjalani harinya tidak seperti hari-hari biasa. Karina merasa sangat bahagia, sampai-sampai rasa penat pun tak terasa di badan. Di tempat ini, ada perasaan aneh yang menggelayutinya. Entah perasan aneh apa yang sedang merayapi hatinya. Karina seperti pernah merasakannya namun ia masih belum bisa menangkap jelas apa itu. Terdorong oleh rasa aneh itu, Karina kemudian melingkarkan tangannya ke lengan Gilang, sambil melangkah bersama menuju mobil Gilang terparkir.

Gilang pun tak jauh berbeda. Tatapan dan sentuhan Karina mampu menyelami sebuah hati yang berpenghuni namun ada celah kecil yang telah ditemukan. Karina telah berhasil menemukan celah kecil menuju pintu hati laki-laki itu. Gilang merasa bahwa wanita di sampingnya ini telah berhasil membuat ia tak berdaya dengan kenyamanan yang telah disematkan pada balik celah kecil pintu hati yang kapan saja bisa menjadi celah besar bila wanita itu tepat mengenai dan mengeksekusinya.

Sesampainya di mobil, kedua orang tersebut langsung memasukinya dan tak lama meninggalkan gedung perusahaan tempat mereka bekerja. Sepanjang jalan Karina sibuk memeriksa berkas yang berhasil dikumpulkan. Sesekali membolak-balik beberapa berkas, lalu disusun kembali menurut tanggalnya, hingga dirinya terpaku pada sebuah berkas. Gilang melihat perubahan Karina pun agak terperangah.

“Ada sesuatu yang menarik?” Tanya Gilang penasaran.

“Ya ... Mungkin laporan yang dipermasalahkan oleh suamiku ...” Karina pun memeriksa beberapa lembar berkas yang lainnya. Dia memisahkan lembar-lembar yang hanya ditandatangani oleh suaminya. “Aku curiga ini dimanipulasi ... Ini bukan tanda tangan dan tulisan suamiku ...!!" Ujar Karina pelan.

“Hhmmm ...” Gilang bergumam dan tetap fokus pada jalan.

“Mas ... Kita harus ke rumahku ... Ada yang akan aku periksa data di komputer suamiku ...” Tiba-tiba Kania teringat akan suatu file pekerjaan suaminya yang selalu di-backup-nya.

Tanpa banyak bertanya, Gilang membelokan mobilnya di persimpangan berikutnya menuju ke rumah Karina. Karina pun masih berkutat memeriksa berkas selama perjalanan. Gilang sesekali melirik ke arah spion memandang wajah Karina yang nampak serius memeriksa arsip, lembar demi lembar. Hati Gilang semakin gelisah saat menatap wajah cantik Karina. Timbul rasa kagum pada sosok Karina yang begitu serius menangani kasus yang dihadapi suaminya.

“Mas ... Coba liat ini ...!” Karina menoleh dan tanpa sengaja Karina memergoki Gilang yang memandanginya. Sejenak kedua insan itu saling bertatapan wajah. Getaran-getaran cinta mulai lagi menggelitik di hati mereka, terlihat dari tatapan keduanya yang saling mengagumi.

“TIIIIIIINNNNNN....!!!” Klakson mobil dari arah berlawanan menyadarkan mereka.

“Maaasss ... Aaawwaaassss ...!” Teriak Karina terkejut melihat mobil yang dikendarai Gilang keluar jalur. Dengan sigap Gilang mengendalikan kembali mobilnya kembali ke jalur sebenarnya.

“Haaadduuhh ...! Hampir saja ... Kenapa ngeliatin aku?!” Kata Karina setengah sewot pada Gilang yang ceroboh.

“Eeeuuu ... Maaf ...” Gilang berkata pelan sambil merasakan jantungnya yang hampir copot.

Kepala Gilang bersandar di kemudi sambil merasakan kekagetan yang luar biasa. Gilang tiba-tiba merasakan sebuah sentuhan di lengannya. Sentuhan lembut yang membuat laki-laki itu melupakan rasa kaget yang dirasakannya. Gilang dan Karina saling memberikan senyum sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Hanya setengah jam mereka pun sampai di kediaman Karina. Kini, Gilang dan Karina sudah berada di ruang tengah menghadapi sebuah laptop yang sudah siap dioperasikan. Keduanya duduk berdampingan sambil serius menghadapi dan menatap data-data yang tersaji di layar laptop dan setumpuk berkas yang harus diperiksa.

Karina terus menganalisis data-data yang memaksa hampir setiap sel dalam otaknya bekerja keras demi memecahkan dan menemukan ketidaksesuaian dalam laporan keuangan. Sementara itu, Gilang hanya diam. Menatap kosong deretan angka-angka yang menurutnya sangat memusingkan. Karina menghela nafas belum menetralkan pikirannya yang terus bekerja.

“Istirahat dulu ...” Ujar Gilang dan Karina menoleh sesaat setelahnya.

“Katanya mau bantu?” Kerling Karina genit. Bahkan, bibirnya membentuk senyuman yang menggoda.

“Iya ... Tapi ...” Gilang masih menatap bingung pada berkas yang ada di tangannya.

“Hi hi hi ... Lebih baik bantu yang lain ... Gimana?” Ucap Karina yang merasa lucu melihat mimik wajah Gilang.

“Apa itu?” Gilang meletakkan berkas yang sedari tadi hanya dipelototinnya saja.

“Em ... Bagaimana kalau memikitku?” Karina tersenyum nakal.

“Bagian mana?” Tanya Gilang bersemangat sembari matanya sengaja diarahkan pada gundukan daging di dada Karina.

“Iih ... Mesum ...” Pekik Karina seraya menghalangi dadanya dengan kedua tangan.

“He he he ... Maaf bercanda ... Mana yang pegal?” Gilang terkekeh.

“Semuanya ... Kecuali yang ini ...” Karina menegaskan ucapannya dengan menekan lengan pada dadanya.

“Oh iya ... Berarti yang itu dipijit juga ...” Canda gilang menjadi-jadi dengan menggerakan kepalanya ke arah selangkangan Karina.

“Iiihh ... Dasar mesum ...!” Seru Karina lalu tangannya mencubit perut Gilang.

“Aaawww ... Iya ... Ampun ...” Pekik Gilang sambil tersenyum.

Candaan mereka berlanjut beberapa saat. Mereka bercanda seperti anak kecil berebut sesuatu yang tidak layak mereka rebutkan, kejar-kejaran hingga lelah lalu kembali duduk di sofa. Sesungguhnya meski tak saling mengakui, tetapi sebenarnya mereka saling menginginkan.

“Kok duduknya jadi berjauhan? Sini duduk di sini!” Kata Gilang sembari menepuk tempat di sisinya.

“Gak!” Karina berakting cemberut.

Gilang menggeser duduknya hendak mendekati Karina, namun wanita cantik itu segera bangkit. Secepat kilat tangan Gilang meraih tangan Karina lalu ditariknya sehingga tubuh Karina jatuh di pangkuan laki-laki itu. Tanpa menunggu lama tangan Gilang menarik Karina ke dadanya, dipeluk dan didekapnya wanita cantik itu, kemudian diciuminya wajah Karina. Akhirnya kedua bibir mereka saling bertemu. Lama kedua bibir itu bertautan, membuat jantung keduanya berdegup lebih cepat dari biasanya. Gilang dan Karina merasakan sebuah sensasi indah yang sangat menggairahkan. Api Asmara pun mulai berkobar-kobar menggerayangi seluruh pori-pori di sekujur tubuh mereka. Semua itu membuat keduanya ingin selalu menemukan sensasi aneh yang menggairahkan. Kedua insan terus berusaha mencari-cari dan menggalinya lebih dalam di sudut-sudut tersembunyi dari tubuh masing-masing.

Gilang mulai menarik resleting di punggung Karina dan dress tersebut langsung turun dengan bebas. Karina pun tak mau ketinggalan, dengan sangat cepat kemeja dan celana panjang Gilang pun lolos dari tubuhnya. Tak sampai di situ, dengan sangat tergesa-gesa mereka melucuti sendiri kain yang tersisa di tubuh masing-masing. Kini tak selembar benang pun yang menempel di tubuh mereka.

Gilang kembali menarik tubuh Karina ke dalam pelukannya. Dalam satu hentakan kuat, Tubuh Karina sudah berada dalam gendongan Gilang. Laki-laki itu membawa Karina masuk ke sembarang kamar dan langsung menidurkan tubuh wanita itu di atas ranjang. Gilang pun naik dan berbaring di sebelah Karina. Saat itu, birahi telah menguasai seluruh pikiran mereka.

Kemudian keduanya menyatukan bibir mereka, saling memberikan oksigen. Mendekatkan tubuh mereka dan saling merengkuh untuk memberikan kehangatan. Tangan Gilang bahkan sudah meremas gundukan kenyal yang sejak tadi ingin dinikmatinya. Karina memejamkan mata ketika sentuhan dingin merayap-rayap di bibirnya. Ditambah dengan sentuhan lembut yang mempermainkan gunung kembarnya. Sampai kecupan tersebut mulai terlepas dan dilanjutkan dengan Gilang yang terus turun menuju ke arah gundukan kesayangannya.

“Maasss ...” Desah Karina dengan suara serak.

Karina merasa pria yang tengah bersamanya hanya mempermainkannya saja. Tangan Karina dengan cepat langsung menarik kepala Gilang dan menyentuhkannya ke arah puncak gunung dan langsung merasa begitu nikmat. Ditambah dengan salah satu jari Gilang yang tengah bermain di lubang miliknya. Tidak lama kemudian, Karina merasa ada yang hendak keluar dari mulut organ intimnya. Gilang yang menyadarinya langsung mempercepat gerakannya. Dia memaju-mundurkan jari tengahnya dan membuat Karina beteriak kencang.

“Maaassss ... Aaaacchhh ...!” Teriak Karina ketika cairan cintanya meluncur deras.

Gilang tersenyum dan melepaskan jarinya. Karina yang masih memejamkan mata merasa kembali semangat saat benda kenyal lain menyentuh tempat nikmatnya. Gilang menjulurkan lidah dan mulai menyapu cairan kental yang baru saja keluar.

“Maasss ... Sudah, massss ... Aku gak..ku..kuat ...” Ucap Karina dengan napas tersengal.

Gilang hanya tersenyum kecil mendengar ucapan Karina. Tangannya memegang kaki wanita tersebut dengan kencang dan mengarahkannya ke atas untuk mempermudah usapannya.

“Mmmaaassss ...!” Teriak Karina ketika Gilang dengan gencar mempermainkan lubang kenikmatannya.

“Apa, sayang ...?” Ucap Gilang yang menahan keinginannya untuk segera memakan Karina.

“Masukan, Mas ...! Aku gak tahan ...!” Rengek Karina dengan mata merem-melek.

Gilang yang mendengar segera mendongakan kepala, menatap Karina dengan pandangan lekat. Gilang pun segera mengatur posisinya. Karina hanya diam dan merasakan benda asing mulai menembus harta berharganya. Keningnya mengernyit menahan rasa yang terasa berbeda dengan sebelumnya, sampai sebuah lolongan keras terdengar. Gilang berhasil menyatukan tubuhnya dengan Karina.

Dua insan berlawan jenis bercinta dengan ganas. Pertempuran itu berlangsung seru dan hangat. Dua tubuh telanjang mereka bergulat berbalut keringat. Bibir mereka saling berpagut, sesekali mendesah. Bunyi tepukan basah menandai ketika selangkangan mereka bertemu. Karina memeluk Gilang erat, kuku panjang di jemari lentiknya menggores punggung. Ia melenguh dan memaki, menyemangati Gilang untuk menyerang lebih ganas lagi.

Pada akhirnya Karina menghela napas perlahan ketika Gilang mulai menarik benda tegang dari sarangnya dan kembali memasukannya. Gilang terus mengulanginya lagi dan lagi dengan kecepatan konstan sampai Karina hampir mencapai puncaknya. Gilang segera mempercepat gerakan.

“Karina ...!” Gilang mengeluarkan seluruh cairan yang dimilikinya.

“Maaasss ...” Teriak Karina yang langsung memeluk tubuh Gilang erat.

Pertempuran itu berakhir dengan satu serangan terakhir dari Gilang, diiringi lenguhan panjang Karina. Keduanya langsung diam dan menikmati puncak keduanya yang bersamaan. Setelahnya mereka terbaring telentang bersebelah, dada naik turun dalan nafas yang terengah. Karina biarkan cairan cinta Gilang meleleh di antara kedua paha mulusnya membasahi kasur. Napasnya tersengal. Mata Karina bahkan terasa begitu berat dan akhirnya memejam sempurna. Dia merasa tubuhnya lelah. Gilang mengecup pelan kening Karina dan menatap mata yang masih terpejam.

“Tidurlah, sayang ... I love you ...” Bisik Gilang tidak mendapat respon dari Karina.

Karina sudah terlelap dalam tidurnya. Dia merasa tubuhnya seperti baru saja lolos karena puncak kenikmatan yang terasa begitu hebat yang baru saja diterimanya. Bahkan, dalam sepanjang hidupnya dia tidak merasakan senikmat seperti saat ini. Gilang pun memilih berbaring di dekat Karina. Tangannya menarik selimut tebal dan menutupi tubuhnya dan Karina.



----- ooo -----​



Beberapa Hari Kemudian ...

Siang itu, bola mata hitam Karina sejak tadi setia memandangi layar komputer. Wanita itu tengah memeriksa data keuangan, ada begitu banyak hal yang harus diperiksa. Belum lagi, ia harus menemukan data keuangan asli selama satu tahun terakhir. Selagi matanya terus memandang, otaknya bekerja. Otaknya terus bekerja hingga ia menjentikkan jarinya. Karina lantas membuka catatan hasil pemeriksaannya pada berkas keuangan yang telah diperiksanya beberapa hari yang lalu dan mulai mencocokkan data tersebut dengan laporan keuangan yang terdapat di layar komputer.

“Bu Karina ... Dipanggil pimpinan ke ruangannya ...” Tiba-tiba Karina terhenyak oleh suara dari sekretaris Ricard.

“Oh ... Iya ...” Dengan panik Karina melipat catatannya lalu memasukan catatan itu dalam laci meja kerja.

Tanpa banyak bicara, Karina mengikuti langkah sang sekretaris menuju ruangan kerja Ricard. Karina langsung saja masuk ke ruangan Ricard sambil melayangkan senyum termanisnya kepada sang pimpinan. Ricard pun membalas senyuman Karina sembari bangkit berdiri.

“Silahkan duduk ...!” Ricard menyambut Karina sangat ramah.

“Terima kasih.” Lagi-lagi Karina memberikan senyum yang membuat Ricard sedikit menahan nafas.

“Begini ...!” Ucap Ricard memulai pembicaraan seriusnya setelah Karina duduk manis di hadapannya. “Aku akan mengajakmu tugas luar kota beberapa hari. Cepat buat surat dinasnya ke bagian tata usaha, nanti kalau setelah selesai bawa lagi ke sini akan aku tandatangani ...” Lanjut Ricard yang sukses membuat Karina terkejut hebat.

“A-apakah harus saya, pak? Apakah tidak ada pegawai yang lain, yang lebih pantas daripada saya?” Karina berusaha menolak secara halus.

“Oh ... Tidak ... Aku akan membawa beberapa pegawai ... Termasuk kamu ...” Ungkap Ricard tandas dan lugas.

Karina sadar, begitu dia menerima ajakan Ricard, dia harus menyiapkan diri untuk sakit hati. Sesungguhnya Karina sangat keberatan dengan ajakan dinas luar kota bersama Ricard. Karina harus memutar otak mencari alasan untuk menolak ajakan Ricard. Tak lama berselang, tiba-tiba pintu ruang kerja Ricard diketuk dari luar lalu sekretarisnya masuk.

"Maaf, pak ... Bapak dipanggil Bapak Sigit untuk menghadap ...” Ucap sang sekretaris sambil membungkukan sedikit badannya.

“Pak Sigit ...?!” Ricard terperanjat mendengar owner perusahaan memanggil dirinya. “Karina ... Tunggu sebentar di ruanganku ... Nanti kita lanjut lagi perbincangan kita ... Aku harus menemui pemilik perusahaan ...” Ujar Ricard sembari tergesa-gesa meninggalkan tempatnya.
 
Terakhir diubah:
Setelah terdengar pintu tertutup, Karina pun bangkit dari duduknya. Wanita itu mengedarkan pandangannya ke segala arah. Akhirnya Karina berjalan ke sebuah rak buku yang terletak di sebelah kanan sudut ruangan. Karina menatap semua buku yang berjejer di sana dan mengambil salah satu buku yang menarik perhatiannya. Sontak saja dalam hitungan beberapa detik berikutnya, Karina mendapatkan satu buku laporan keuangan yang di dalam covernya tertulis ‘Sangat Rahasia’ dan hal itu membuat kedua bola mata wanita itu membulat sempurna.

Dengan tangan bergetar, Karina membuka buku laporan tersebut dengan halaman sembarang. Pada halaman yang dibuka terdapat tulisan dan angka yang berstabilo hijau. Halaman berikutnya terdapat foto nota pembayaran. Karina kembali ke halaman sebelumnya dan memperhatikan deretan angka berstabilo hijau. Ternyata ada ketidakcocokan data antara neraca keuangan dengan nota pembayaran. Cukup bagi Karina untuk membuktikan dan menyelesaikan misinya, yaitu menguak dan menyingkap tuntas penyelewengan dana perusahaan.

Karina menutup buku laporan keuangan itu lalu mengambil smartphone dari saku jas kerjanya. Karina lantas mencari nomor kontak Gilang untuk menghubunginya. Smartphone digenggamnya erat, ibu jarinya lincah menggesek-gesek layar smartphone ke arah bawah. Setelah mendapatkan nomor yang dimaksud, segera saja Karina menghubungi Gilang.

Hallo ...” Sapa Gilang di sana.

“Mas ... Saya menemukan laporan keuangan yang asli di ruangan Ricard ... Ini gimana?” Karina mengutarakan kebingungannya untuk membawa keluar buku laporan keuangan di tangannya.

"Loh ... Ricard kemana?” Gilang seolah mengetahui kalau Ricard tidak berada di ruangannya.

“Dia lagi keluar ... Gimana mas?” Karina memelas sebab ingin sekali membawa buku laporan keuangan ini keluar ruangan Ricard.

Tunggu kamu di depan pintu ruangannya ... Aku segera ke sana ...!” Perintah Gilang lalu memutuskan sambungan teleponnya.

Karina pun segera merapihkan susunan buku dalam rak sehingga tak terlihat ada buku tebal yang keluar dari rak tersebut. Setelah terlihat rapi, Karina langsung bergerak ke arah pintu ruangan Ricard. Karina membuka pintu tersebut dan disambut dengan tatapan curiga dari sekretaris Ricard. Karina tidak menghiraukannya, ia tegak berdiri di ambang pintu dengan perasaan was-was. Karina benar-benar gelisah bahkan sangat gelisah, rasanya seperti takut kehilangan sesuatu, sesuatu yang sangat berharga. Hampir lima menit Karina menunggu sambil merasakan hatinya yang tidak karuan. Akhirnya orang yang ia tunggu datang juga. Gilang setengah berlari menghampiri Karina.

“Mana?” Tanya Gilang sesaat setelah berada di depan Karina.

“Ini ... Gimana?” Karina memberi isyarat kepala kepada Gilang. Segera saja Gilang melirik kepada sekretaris Ricard yang sedang memandang heran ke arahnya.

“Em ... Maaf ... Nama nona siapa?” Tanya Gilang pada sang sekretaris setelah Gilang berdiri di depan meja si sekretaris.

“Monica, pak ...” Sahut si sekretaris agak bergetar.

“Kamu tahu siapa saya?” Tanya Gilang lagi agak mengintimidasi.

“Iya pak ... Saya tau ...” Muka Monica tiba-tiba pucat.

“Dengarkan baik-baik ...! Apa yang kamu lihat sekarang ini, jangan sampai boss kamu mengetahuinya ... Jika kamu melanggar perintah saya ... Akan sangat dipastikan kamu akan menjadi pengangguran ... Mengerti??” Kini Gilang benar-benar mengintimidasi Monica. Sekretaris itu pun serasa ingin pingsan saking takutnya.

“Ba-baik pak ...!” Ucap Monica hampir menangis.

Gilang menoleh ke arah Karina lalu menganggukan kepala yang direspon langsung dengan anggukan kepala oleh Karina. Gilang secepatnya berlalu dari tempat itu sambil membawa buku laporan keuangan yang diberikan Karina. Sementara itu, Karina menatap sang sekretaris yang masih terlihat ketakutan.

“Semua ini demi perusahaan ... Kami sedang menyelidiki penyelewengan dana perusahaan ... Aku harap kamu bisa bekerja sama dengan kami ...” Ucap Karina lemah lembut.

“Oooo ... Begitu kah?” Rupanya Monica mulai mengerti.

“Iya ... Saya harap ... Apa yang tadi kamu lihat ... Jangan beritahu Ricard ...” Pinta Karina sambil tersenyum.

“Baiklah ... Saya berjanji tidak akan bicara ...” Monica mulai bisa tersenyum.

Karina pun segera kembali ke ruangan Ricard. Wanita itu masih merasa bahwa suasana hatinya belum sepenuhnya tenang walaupun apa yang ia butuhkan sudah berada di tangan Gilang. Beberapa kali Karina melihat rak buku, diperhatikannya secara seksama dan memang tampak tidak mencurigakan. Karina pun berserah diri, ia akhirnya menutup mata sambil berdoa semoga tidak terjadi apa apa pada dirinya.

Tak lama berselang, Ricard pun kembali ke ruangannya. Wajahnya pucat seperti orang yang kelelahan. Pria itu agak membanting tubuhnya ke atas kursi, melirik sendu pada Karina yang menatapnya heran. Bahunya terkulai dan berkali-kali ia menghela nafas dalam, seperti mempunyai beban yang sangat berat dipikulnya. Sikap Ricard seperti itu membuat Karina menatap pria itu semakin heran.

“Ada apa, pak ?” Tanya Karina pelan ingin mengurai rasa penasarannya.

“Fuuuufftt ... Kita mempunyai masalah keuangan ... Perusahaan ini sama sekali tidak sehat keuangannya ... Banyak kebocoran di sana sini ...” Ujar Ricard dengan nada kekecewaan. Tentu saja hati Karina tersenyum sinis. Bisa-bisanya Ricard berbicara seperti itu, padahal semua terjadi karena perbuatannya sendiri.

“Apakah bapak tidak berusaha mencegahnya?” Tanya Karina berpura-pura tidak tahu.

“Sudah ... Baru kecoanya dulu yang saya penjarakan ... Sebentar lagi aku akan menangkap tikus-tikus besarnya ...” Sahutnya dengan kepercayaan diri yang tinggi. Lagi-lagi Karina mengumpat dalam hatinya. Benar-benar Ricard akan ‘lempar batu sembunyi tangan’.

Sebentar lagi kau lah yang akan menggantikan suamiku di penjara.” Geram hati Karina.

“Sekarang kamu kembali ke meja kerjamu ... Soal tugas ke luar kota, kayaknya kita tunda dulu ...” Ucap Ricard lemas. Wajahnya sangat lesu dan penuh keputusasaan.

“Baiklah, pak!” Ujar Karina sangat senang.

Karina meninggalkan ruangan atasannya dengan hati yang sangat senang karena terlepas dari keadaan yang sangat tidak ia inginkan, ditambah dengan menemukan sesuatu yang sangat ia inginkan. Karina merasa misinya akan segera selesai dan suaminya akan keluar dari sel tahanan dalam waktu dekat ini. Beberapa saat kemudian, Karina sudah berada di mejanya dan kembali mengerjakan tugasnya.

Waktu terus berlalu, kertas penuh coretan dan berkas kertas yang berserakan menghiasi meja kerja Karina. Sudah empat jam ia berkutat dengan pekerjaannya, bahkan melewatkan waktu pulang kerja. Ruang kerja wanita itu sudah kosong, hanya Karina sendiri masih berkutat dengan komputernya. Tepukan tangan di bahunya, membuat Karina agak terlonjak kaget. Ia menoleh ke belakang dan menatap pria si pemilik tangan dengan tatapan kesal.

“Mas ... Aahh ...! Bikin kaget aja ...!” Dumel Karina.

“Jangan terlalu serius ... Semuanya akan segera berakhir ...” Ucap Gilang lemah lembut lalu mencium kening Karina.

“Maksud mas?” Tanya Karina kini tatapannya menjadi berbinar-binar.

Baru saja Gilang akan menjawab pertanyaan wanitanya, tiba-tiba seseorang berjas abu-abu masuk ke dalam ruangan kerja Karina. Wajah pria itu tampak bersinar meski sedikit memerah. Rambutnya tipis beruban, tersisir rapi ke samping. Wajahnya yang dikategorikan tampan itu terhias oleh kacamata baca dengan bingkai hitam dan besar. Gilang membisikan pada Karina kalau orang yang baru datang itu adalah owner dari perusahaan ini. Karuan saja Karina terkejut hebat. Tanpa berpikir panjang, Karina pun berdiri dan menyambut kedatangan owner perusahaan yang bernama Sigit Soeseno.

“Segera saja buktikan ...! Jangan bertele-tele ...!” Sang pemilik perusahaan berbicara lugas dan tegas setelah berada di hadapan Gilang dan Karina. Sesaat Karina bingung merasa tidak siap dengan permintaan sang owner.

“Silahkan ... Bu Karina ...!” Ujar Gilang yang menambah kepanikan Karina.

"Oh ... I..iya ... Pak ... Saya menemukan banyak sekali ketidakcocokan laporan keuangan dengan pengeluaran perusahaan yang sebenarnya ...” Kata Karina sembari mengambil berkas laporan keuangan dari tangan Gilang.

“Hhmmm ...” Sigit bergumam sambil berjalan mendekati meja Karina lalu berdiri di sebelahnya.

“Seperti ini, pak ... Lihat, dalam neraca tertera pengeluaran sebesar dua koma empat milyar ... Tetap dalam nota bukti pembelian hanya berjumlah satu koma tujuh milyar ... Pembukuan seperti ini hampir ada di setiap proyek ...” Jelas Karina yang entah kenapa begitu percaya diri.

Sigit kemudian membuka halaman-halaman berikutnya. Dengan matanya sendiri, sang pemilik perusahaan melihat banyak sekali kekeliruan dalam laporan keuangan tersebut. Penemuannya itu diperkuat dengan penjelasan Karina dan semakin terbuka kebobrokan perusahaannya. Sigit pun menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya sambil bertolak pinggang.

“Semuanya ditandatangani Pak Ricard ...” Pungkas Karina mengakhiri penjelasannya.

“Baiklah ... Ternyata Ricard yang seharusnya bertanggung jawab ... Saya harus segera mengeluarkan Pak Dimas sebelum ia menuntutku atas kesalahan ini ... Tapi, aku mohon kalian tidak membesar-besarkan kasus ini ... Biar semuanya aku yang selesaikan ...” Perintah Sigit pada Gilang dan Karina.

Sang pemilik perusahaan mengambil laporan keuangan dari atas meja kerja Karina. Sigit pun segera berlalu dari tempat itu. Setelah sang pemilik perusahaan menghilang di balik pintu. Karina pun meloncat gembira lalu memeluk Gilang erat. Usahanya membuah hasil, segala pengorbanannya terasa tidak sia-sia.

“Syukurlah ... Semuanya sudah selesai ... Sebaiknya kita pulang sekarang ...” Ajak Gilang sembari mengusap-usap rambut Karina.

“Terima kasih, mas ...” Ucap lirih Karina sembari mengurai pelukannya.

Keduanya pun akhirnya keluar gedung perusahaan dengan hati yang lega dan gembira. Tawa riang menghiasi perjalanan pulang mereka. Jalanan yang masih macet membuat mereka terus berbicara tentang hal-hal acak di dalam mobil. Tentang makanan yang disukai, tentang lalu lintas, tentang hujan, hingga tentang kemacetan, semuanya mereka bicarakan tanpa terkecuali. Sesekali mereka menertawakan kebodohan isi percakapan, namun mereka terus kembali mencari topik lain untuk dibicarakan, tentang apapun. Tawa lepas mereka menandakan bahwa mereka sangat bahagia dengan keadaan mereka saat ini.

Satu jam lebih kedua insan yang sedang berbahagai itu akhirnya sampai di rumah kediaman Karina. Beberapa saat kemudian, mereka melanjutkannya dengan makan malam yang hangat. Karina kelihatan sangat bahagia dan tak banyak yang Gilang lakukan selain diam, memandangi wajahnya, tersenyum, menatap matanya, dan tersenyum lagi. Makan malam pun usai. Gilang mengikuti Karina ke kamar wanita itu. Gilang menutup pintu kamar, serta menguncinya dari dalam.

“Aku mau mandi ... Mau ikut?” Ucap Karina sangat menantang kelelakian Gilang. Di mata Gilang, Karina sangat memikat. Apalagi dengan gayanya yang genit dan menggoda, membuat Gilang semakin terpesona dibuatnya.

Gilang sontak menegakkan punggung, lalu matanya mengikuti langkah Karina yang mulai berjalan menuju kamar mandi. Naluri kelelakian Gilang pun tergoda. Laki-laki itu melangkahkan kakinya searah dengan langkah kaki Karina. Baru saja sampai di ambang pintu kamar mandi, Gilang terperangah, manik matanya membulat saat melihat tubuh Karina yang sudah tak terhalang apapun. Perlahan Gilang meluciti pakaiannya sendiri, sementara Karina masih setia prianya untuk segera masuk menyusulnya ke dalam kamar mandi. Dengan kejantanannya yang sudah sangat tegang, Gilang segera masuk lalu memeluk tubuh Karina dari belakang.

“Iiihh Mas ... Jangan nakal ...!” Pekik genit Karina saat tangan Gilang merabai pantatnya tanpa ingin mengenyahkan rabaannya itu.

“Kamu seksi sekali sayang ...” Bisik Gilang sembari merapatkan tubuhnya di punggung Karina. Secara perlahan Gilang meremas bongkahan pantat wanita itu yang bulat dan padat.

“Maaasss ... Aaaahhh ...” Karina mendesah ketika buah pantatnya menjadi mainan tangan Gilang. Perlakuan Gilang sangat membangkitkan hasrat Karina.

“Aku akan memasukimu, sayang ...” Bisik Gilang sangat bernafsu. Wanita itu pun menunggu kelanjutan aksi laki-laki di belakangnya.

Dan sekarang Gilang mengarahkan kepala penisnya itu tepat di lubang vagina Karina yang sudah basah menghangat dari belakang. Karina pun membatu usaha Gilang dengan menunggingkan bokongnya dengan tangan bersandar di dinding. Karina agak sedikit tersentak saat kepala penis itu menerobos lubang vaginanya. Untuk sesaat, Gilang membiarkan kepala penisnya diam sebentar dalam hangatnya lubang vagina Karina. Kemudian secara perlahan Gilang mulai mendorong masuk semakin dalam dan amblas sepenuhnya dalam kehangatan lubang vagina yang jauh lebih sempit dari milik istrinya.

“Punya kamu sempit, sayaaannggghh ...” Gilang berbisik lagi sembari menikmati jepitan vagina Karina.

Karina tidak merespon, birahinya sudah mencapai ubun-ubun. Secara spontan Karina menggoyangkan pinggulnya seperti tak sabar menunggu sensasi bercinta malam itu. Pelan-pelan Gilang mulai menggoyangkan penisnya yang disambut lenguhan Karina yang malah memacu Gilang untuk mempercepat kocokannya. Kedua tangan Gilang meremas kuat payudara Karina. Gilang bisa merasakan puting susu Karina mencuat tegak diantara remasan tangan besarnya itu.

“Uuuuhhh ... Oooohhh .... Oohh ... Oohh ...” Karina mendesah-desah menikmati setiap sodokan kejantanan Gilang.

“Sayanghhh ... hh ...” Gilang menggeram sambil terus menghujam Karina dari belakang. Laki-laki itu memegang kuat pinggul wanitanya dan menggerakkan pinggangnya kuat, menusuk vagina Karina.

“Aaaahh ... Saaayyaaannggg ... hh ...” Karina terus mendesah keenakan.

Gilang menyeringai saat kembali mendengar desahan nikmat Karina. Kedua tangan wanita itu sedikit bergetar karena menumpu tubuhnya sendiri, sementara Gilang semakin mempercepat gerakannya, membuat Karina tidak dapat menahan leguhannya.

“Ouh ... Saayyaanhgg ... More .... Harder ...!” Karina melenguh nikmat.

Gilang menyeringai, tidak butuh waktu lama laki-laki itu mempercepat hujamannya, membenamkan penisnya lebih dalam lagi. Membuat lubang sempit Karina terasa penuh. Kedua tangan Gilang bertumpu di kedua bahu Karina, kemudian semakin menghentakkan pinggulnya kuat.

“Aaahh yess ... Ssssshhh ...” Desis Karina seperti orang yang kepedasan.

“Kamu suka sayangghh ...?” Ucap Gilang dengan suara parau yang semakin terdengar seksi di telinga Karina.

Yess ... Please ... More ... Please ... Aaahh ...” Karina hilang kesadaran karena terombang-ambing gelombang kenikmatannya.

Gilang membuka kaki Karina untuk mempermudah dirinya masuk lebih dalam lagi. Laki-laki itu mendongakkan kepalanya sambil menggeram rendah, saat merasakan penisnya yang dijepit kuat di dalam sana seraya penis besarnya mengoyak-ngoyak lubang vagina wanita yang bukan istrinya itu.

“Ngghhh ... Aaahh Karin ... Aaaahh ... Kau ... Nikmath sayanghh ...” Gilang merasa dinding Karina semakin menegang dan memijat penisnya dengan sangat kuat. “Aaahh ... Yess sayanghhh .... Oouuhhh ...” Gilang mengerang lagi, lalu memukul bokong Karina karena sulit sekali untuk menahan kenikmatan yang dirasakannya saat ini.

Lima belas menit pertama mereka mengadu rasa, menggesek-gesekkannya dengan gerakan rutin. Nafas kedua insan berlainan jenis kelamin itu semakin lama semakin memburu, tubuh mereka semakin panas. Titik-titik keringat mulai keluar dan lama-lama peluh mereka semakin membanjir. Gilang pun semakin aktif mengocok dan menekan vagina Karina. Tulang kemaluan mereka beradu, bibir kemaluan Karina yang tebal menahan tekanan itu dengan nafsu.

“Aaahhh…!!!” Karina mendesah nikmat. Kemudian membalas lagi dengan tekanan ke atas, sambil menggoyang pantatnya ke kiri dan kekanan. Lipatan kemaluan Karina yang hangat terasa oleh Gilang semakin kenyal dan licin.

Gilang bergerak semakin cepat, sampai pada titik di mana Gilang tidak bisa membendung dirinya lagi. Bagitu pun Karina, desahan keduanya terdengar begitu keras dan saling bersahutan, saat gelombang kenikmatan itu datang.

“Aaaahhhh ... Ssshhh ... Aaaahhhh ...!” Karina melolong merasakan vaginanya berdenyut nikmat.

“Ouuhhh ... Aaahhh .... Sayanghhhh ... Aaaahh ...!” Gilang melepas nikmat, seiring dengan mengalirnya air mani wanita itu dengan lebih deras. Merembes dari lipatan-lipatan kemaluannya. Kemaluan Gilang terasa berkedut seiring dengan menyemburnya air maninya di liang senggama wanita itu. Sementara liang senggama Karina pun menggepit-gepit tak terkendali karena tak kuasa menahan nikmat yang luar biasa.

Gilang masih memeluk Karina dari belakang ketika rasa nikmat itu tercapai sudah. Wanita itu diam dalam pelukan Gilang, tubuh mereka sangat basah oleh peluh. Gurat-gurat kepuasan terpancar di wajah mereka. Tampaknya gairah mereka belum mau reda. Pria itu dengan tenaga yang masih tersisa menjilat pelan cuping wanitanya, membuat leguhan Karina kembali terdengar.

“Masih kuat ...?” Gilang bertanya masih dengan suara rendahnya. Kemudian Gilang tanpa menunggu jawaban dari Karina, melingkarkan satu lengannya ke perut Karina, menggangkat tubuh lemas wanita itu.

Gilang bergerak dan mendudukan dirinya di pinggiran bathtub, bersamaan dengan menaruh Karina di atasnya tanpa mengeluarkan tautan keduanya. Karina mengerti, kali ini ia di atas. Tanpa pikir panjang, Karina menggerakan tubuhnya naik-turun, sekarang tugasnya bergerak untuk Gilang. Karina masih terlihat lelah setelah orgasme terakhirnya, gerakannya masih lambat dan tidak beraturan.

Gilang mengernyit melihat gerakan Karina yang sedikit aneh, meskipun masih terasa nikmat. Pria itu berpikir bahwa wanitanya ini sudah merasa lelah. Maka dengan sigap, Gilang merangkul pinggang sempit Karina, kemudian ia mengecup pelan punggung polos wanitanya dan tanpa peringatan ia menghujam Karina dalam-dalam.

“Aaahhh .... Sayaangghh ...” Karina berteriak reflek. Wanita itu merasakan geli dan nikmat secara bersamaan pada area sensitifnya. Ia menyenderkan punggungnya pada dada bidang Gilang kemudian terus meracau tidak karuan karena hujaman Gilang yang semakin cepat.

“Nghh ...” Gilang menggeram lagi saat merasakan jepitan pada juniornya. Gilang mengarahkan satu tangannya yang bebas untuk menyentuh vagina Karina dan memainkan klistoris Karina yang sudah sangat membengkak. Gilang juga menciumi dan menghisap leher jenjang Karina yang terekspose kemudian meninggalkan jejak merah di sana. Sementara itu, Gilang memejamkan matanya dan menggerang, menikmati jepitan vagina Karina yang semakin menjepitnya kuat. Pria itu tampaknya akan kembali meledak sebentar lagi.

“Aaaahhh .... Saayyaaangghh ... Aaahhh ...” Karina mendesah karena organ intimnya dimanjakan oleh Gilang sedemikian rupa.

Karina benar-benar berteriak dalam desahannya, ia mencengkeram tangan Gilang yang sedang memepermainkan kristolisnya. Wanita itu menggeleng kuat saat merasakan kenikmatan yang terlalu banyak diberikan oleh Gilang. Gesekan demi gesekan Karina rasakan semakin nikmat menyentuh kulit halus liang vaginanya. Ditambah lagi Gilang terus menggesek kristorisnya, dengan hujaman pria itu yang semakin mengguat, membuat Karina pening merasakan nikmat.

Gilang mengigit leher Karina saat merasakan kedutan di dalam sana. Membuat juniornya seperti terpijat dan terurut, rasa nikmatnya luar biasa. Gilang terus mendesak nafsu yang membebani nuraninya, terpompa dalam setiap tancapan kejantanannya di dalam liang birahi kekasihnya. Nafas Gilang yang memburu seakan satu irama dengan racauan Karina. Gilang bergerak semakin cepat dan dalam, saat merasakan ledakannya akan tiba.

“Saayyyaanngghh ... Aaaahhh ...” Desah pelepasan Karina membahana.

“Kariinn ... Yaaahhh ... Aaahhh ... Aaahh ...” Gilang pun mengerang hebat.

Tubuh keduanya lemas, terlebih Karina akibat ledakan yang mereka rasakan. Nafas keduanya tersengal dan bersautan. Gilang memeluk tubuh Karina dari belakang, mengecup punggung polos Karina tanpa mengeluarkan juniornya dari dalam sana.

“Terima kasih sayangku ... I Love you ...” Bisik Gilang.

Me too ...” Balas bisik Karina yang kini meletakkan kepalanya di bahu Gilang.

Tak lama, mereka pun berendam dalam bathtub saling berpelukan. Karina masih tetap di atas tubuh Gilang. Punggung Karina bersandar di dada Gilang. Gilang mengusap-usap bahu wanita itu dengan busa sabun yang berlimpah. Busa dan buih-buih berbentuk bola-bola kecil meleleh ke bagian atas dada dan punggung Karina.

“Mas ... Sudah yuk ...!” Ajak Karina.

“Ayo ...” Sahut Gilang.

Setelah agak lama berendam, akhirnya Gilang dan Karina menyudahi mandi mereka namun tidak menyudahi permainan cinta mereka. Kedua insan tersebut melanjutkannya di atas tempat tidur. Malam itu mereka habiskan dengan bercinta. Kenikmatan demi kenikmatan mereka gali bersama. Mencapai klimaks yang benar-benar memuaskan. Desahan dan erangan nikmat memenuhi kamar mereka. Sampai mereka lelah dan terbuai mimpi.



---oo0oo---​



Seminggu Kemudian ...

Semenjak suaminya dibebaskan dari segala tuntutan dan bahkan diangkat sebagai direktur keuangan di perusahaannya, hati Karina menjadi tak menentu. Senyap mencuri segala kesempatan untuk berfikir jernih. Bisu menjadi jawaban atas kemelut yang ada. Karina mencintai Dimas, suaminya. Namun tak ingin melepas Gilang karena Gilang telah memberi kenyamanan tiada dua, seperti pertama kali Karina merasakan cinta dari Dimas. Gilang memberi perhatian yang sangat, sebagai pria yang baru saja mengenalnya.

Pada saat itu hari menjelang malam dan sebuah taksi melaju di jalan yang cukup lengang. Selama perjalanan Karina hanya menatap kosong jalanan dari kaca jendela taksi yang tertutup rapat, beberapa kali wanita cantik itu menghela nafas untuk menetralkan rasa sesak di dada. Akhirnya taksi yang ditumpangi Karina berhenti di depan sebuah rumah. Setelah membayar ongkos, Karina turun dari taksi. Menatap sejenak bangunan di depannya, sebelum memantapkan diri untuk melangkah memasuki rumah itu.

Semilir angin menyambut Karina ketika kakinya melangkah memasuki halaman rumah. Suasana sepi menyapanya. Retina mata wanita itu menangkap pintu rumah yang terbuka lebar. Karina mendekati pintu yang terbuka tersebut lalu mengetuk dan mengucapkan salam, namun tak ada respon dari dalam. Karina mengulanginya beberapa kali, namun tetap tak ada respon dari si pemilik rumah.

Karina memberanikan diri untuk masuk tanpa seizin pemilik rumah. Baru saja tiga langkah, telinganya mendengar obrolan yang samar-samar menyebut-nyebut namanya. Dengan rasa penasaran tinggi, Karina melangkah pelan menghampiri sumber suara. Setelah ditelusuri suara itu berasal dari sebuah kamar yang terletak di ruang tengah. Karina pun berdiri di belakang pintu kamar yang sedikit terbuka lalu mendengarkan percakapan antara Gilang dan istrinya.

“Ayah ... Bunda sadar, kalau bunda tidak bisa menjadi istri yang baik ... Kalau memang ayah mencintainya, menikahlah dengan dia ... Tidak baik berbuat dosa terus-terusan seperti itu ... Tapi, sebelum ayah menikah dengannya, ceraikan bunda dulu, karena bunda tidak ingin menjadi pengganggu keluarga baru ayah ...” Terdengar suara lemah istri Gilang yang bernama Yanti.

“Tidak bunda ... Ayah tidak akan bicara itu lagi ... Ayah akan selalu bersama bunda sampai hayat dikandung badan ...” Jawab Gilang. Entah mengapa Karina langsung terenyuh mendengar percakapan suami istri tersebut. Ia merasa bersalah pada Yanti dan berniat akan menjauhi suaminya.

“Ayah ... Terkadang, keinginan hati tak harus selalu dituruti ... Ada saat dimana ayah harus menggunakan logika agar hati tidak terluka ... Penyakit bunda rasanya sudah tidak bisa lagi disembuhkan ... Bunda sudah tidak bisa lagi melayani ayah dengan baik ... Kejarlah perempuan itu, menikahlah dengannya ...!” Ucap Yanti yang sukses mengacak-acak hati Karina.

“Hentikan bunda ... Jangan bicara itu lagi ...” Suara Gilang bergetar tak kuasa menahan pilu hatinya tatkala melihat istri tercinta terbaring tak berdaya.

“Bawa bunda pulang ke rumah orangtua bunda ... Ceraikan bunda dihadapan orangtua bunda ... Dan menikahlah dengan dia ...!” Suara Yanti semakin tidak bertenaga, nafasnya setengah terengah karena kehabisan tenaga. Yanti pun terpejam, tertidur dengan sendirinya.

Hati Karina menjerit pilu. Hatinya menangis, ada penyesalan berat di dadanya, karena telah menyakiti hati wanita sebaik Yanti. Karina berpikir kalau Yanti sangat membutuhkan suaminya untuk menghadapi penyakit yang dideritanya. Dengan air mata penyesalan mengalir di pipi, Karina berjalan perlahan untuk kembali ke luar rumah. Namun langkah wanita itu terhenti sejenak, tatkala suara pelan memanggilnya.

“Karina ...”

Karina menengok ke belakang hanya sebentar, kemudian meneruskan langkahnya. Hatinya telah bulat untuk meninggalkan Gilang. Meski berat meninggalkan orang yang dicintai namun ini menjadi pilihan terbaik yang harus ia lakukan.

“Karina ...” Panggil Gilang lagi tapi kini Karina tidak menghiraukannya. Tiba-tiba tangan Karina dipegang dan ditarik oleh Gilang.

“Kita sudahi aja hubungan gelap kita, mas ... Aku mencintai suamiku, sementara mas harus menjaga mbak Yanti ...” Ucap Karina tegas tanpa ragu.

“Tapi ... Kita masih bi ...” Ucapan Gilang disambar langsung oleh Karina.

“Tidak mas ... Cukup sampai di sini ... Aku tidak ingin melanjutkannya lagi ...” Ujar Karina sambil mengibaskan tangannya sehingga genggaman Gilang terlepas.

Karina meneruskan langkah menuju keluar rumah tanpa dicegah lagi oleh Gilang. Mantap hati untuk hengkang dari kehidupan laki-laki itu. Karina sadar ternyata dirinya telah salah mencintai orang yang telah dimiliki orang lain. Karina tak mau bersikap egois, semua orang berhak untuk bahagia, termasuk Yanti. Ini semua harus diakhiri dengan kembali ke jalan yang lurus, kembali ke jati diri dan kebenaran.

Karina berjalan cepat sambil memesan taksi online. Karina berjalan agak menjauh dari rumah Gilang. Setelah menunggu beberapa menit, taksi yang dipesan Karina muncul juga. Taksi pun meluncur di kegelapan malam mengantarkan wanita yang sedang termenung itu ke rumah kediamannya. Hanya lima belas menit, Karina sampai di tempat tujuan. Setelah membayar onkos taksi, ia langsung masuk ke rumahnya dan mendapati suaminya sudah terbaring di tempat tidur dan tertidur lelap.

Karina berganti baju dan membersihkan dirinya di kamar mandi. Setelah selesai, Karina mendekati suaminya yang sudah tertidur pulas memunggungi dirinya. Selama mereka menikah, baru kali ini Dimas tidur memunggungi istrinya, biasanya Dimas selalu memeluk Karina saat akan tidur malam. Karina naik ke atas tempat tidur sepelan mungkin, takut suaminya terbangun. Karina mendekati Dimas dan memeluk tubuhnya dari belakang. Dimas terbangun ketika istrinya memeluk tubuhnya. Dimas membalikkan tubuhnya, menghadap Karina.

“Mamah buat papah terbangun ya?” Tanya Karina.

“Enggak ... Papah memang nunggu mamah kok ...” Ucap Dimas, dia memeluk erat Karina.

Karina lagi-lagi merasa sangat bersalah hari ini karena memikirkan laki-laki lain saat bersama suaminya sendiri. Karina menatap Dimas dengan wajah penuh rasa bersalah. Karina tidak sanggup memikirkan bagaimana Dimas menganggap dirinya nanti, bila Dimas tahu segalanya, Karina terlalu malu untuk mengakuinya. Suaminya sendiri saat ini sudah tertidur dengan lelap. Karina pun mulai memejamkan mata lalu masuk ke alam mimpinya.



---oo0oo---​


Beberapa Hari Kemudian ...

Suasana begitu meriah layaknya pesta ulang tahun di kediaman Dimas dan Karina. Tidak ada kesedihan, yang ada hanyalah ekspresi bahagia dari setiap orang yang datang. Semua orang memberikan selamat kepada Dimas. Semua turut bahagia atas pengangkatan Dimas sebagai direktur keuangan perusahaan menggantikan Ricard yang diberhentikan oleh pemilik perusahaan. Atas kekuasaannya sebagai pemilik perusahaan, Sigit mendeklarasikan bahwa Dimas lah sebagai pengganti Ricard sebagai direktur keuangan perusahaan.

Di pojokan halaman belakang rumah, Karina berduaan dengan Gilang. Tidak seperti orang-orang yang ada di dalam rumah, mata di wajah keduanya tak lagi menyirat bahagia, kilatan sendu terlihat nyata. Lama mereka saling diam. Bergelut dengan pikiran masing-masing. Mereka saling merindu. Namun, tak kuasa untuk memadu.

“Apakah ini keputusan final darimu?” Tanya Gilang pasrah, tak ada lagi kata yang bisa ia untai sehingga membentuk kalimat untuk mempertahankan.

“Ya, mas ... Aku sudah bulat untuk mengakhiri hubungan kita ... Aku tidak ingin kita melakukan dosa ... Lebih baik hubungan kita sebatas persahabatan saja dan lupakan semua yang telah kita lakukan ...” Kalimat tersebut sudah beberapa kali terucap dari bibir Karina.

“Hhhhmm ... Sungguh berat hati ini untuk melepaskanmu ... Aku merasa cintaku sudah sedalam ini ... Cintaku memang gila ... Tapi demi kebaikanmu, aku rela mengikuti keinginanmu ... Tapi percayalah, cintaku tak akan pernah beranjak darimu ...” Tentu, keputusan itu terasa pahit bagi Gilang.

“Mas ... Bukannya aku gak cinta ... Tapi, kita gak bisa seperti ini terus ... Memang ini sulit juga bagiku ... Tapi, aku mengambil sikap ini karena ada orang-orang di samping kita yang terus menerus kita sakiti ... Hubungan ini harus kita sudahi demi orang-orang yang kita kasihi ...” Papar Karina mengungkapkan alasannya.

“Baiklah ... Aku terima ...” Ungkap Gilang walau berat hati. “Aku masuk ke dalam!” Ucap Gilang kemudian seraya melangkahkan kakinya meninggalkan Karina begitu saja.

Karina menghela nafas kuat-kuat untuk menahan butiran air matanya yang memaksa keluar. Wanita itu mencintai Gilang sampai rasanya mau mati, ia mencintai Gilang sampai terasa nafasnya habis. Tapi jika satu hati ada dua cinta, Karina tidak bisa, ia tidak akan sanggup berbagi perhatian apalagi cinta. Hubungannya dengan Dimas bukan lagi main-main, mereka sudah berada diikatan tertinggi dalam mencintai, status mereka juga sudah tidak diragukan lagi.

Karina akhirnya melangkah meninggalkan tempat sunyi itu. Langkah kakinya terasa berat seolah terlilit gravitasi bumi. Dadanya sesak, seolah terjebak di dalam ruangan tanpa oksigen. Berkali-kali ia harus ekstra menarik nafas karena paru-parunya terasa menyusut seperti ada batu yang sangat besar mengimpitnya. Dengan susah payah Karina sampai juga di dalam rumahnya. Namun Karina tidak melihat Gilang walau sudah ia cari ke setiap sudut rumah. Entah kenapa, tiba-tiba kakinya menjadi sangat ringan untuk terus mencari Gilang.

Saat Karina sampai di balkon yang letaknya di lantai dua rumah, matanya melihat dua sosok sedang asik berbincang-bincang di sana. Karina melihat Dimas dan teman ngobrolnya berdiri menghadap ke arah jalan raya di pinggiran pagar balkon sambil merokok. Karina langsung berfikir, sepertinya ada pembicaraan rahasia di antara mereka, sampai harus bersembunyi dari rekan-rekannya di bawah. Terdorong oleh rasa penasaran, wanita itu mengendap-endap mendekati kedua pria tersebut lalu bersembunyi di balik pintu yang setengah terbuka. Tampaknya Dimas dan orang itu berbicara sedikit berbisik yang membuat Karina harus memasang kuping lebih ‘panjang’ lagi.

“Untung istrimu berhasil menemukan pembukuan yang kita buat.” Ucap lawan bicara Dimas. Karina yang merasa dirinya disebut-sebut orang itu langsung mengerutkan keningnya.

“Untung juga tanda tangan yang kita palsukan tidak dicek Pak Sigit.” Kata Dimas yang tentu saja Karina terperanjat hebat.

Tenang saja ... Orang yang membuat tanda tangan itu memang sudah ahli ... Bayarannya mahal ... He he he ...” Ujar rekan Dimas yang diakhiri dengan terkekeh pelan. Karina kini terkejut luar biasa, jantungnya semakin bekerja ekstra saking tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Hhhhmm ... Skenario bapak memang jitu ... Membiarkan saya tertangkap setelah menyimpan laporan keuangan palsu kita di ruangan si Ricard ... Kayaknya Pak Sigit tidak enak hati pada saya karena langsung dia memilih saya menjadi direktur keuangan.” Kata-kata Dimas tersebut semakin membuat Karina nelangsa.

“He he he ... Itu aku sudah atur ... Sebelum Pak Dimas dibebaskan, saya berbisik pada Pak Sigit untuk mengangkat Pak Dimas menggantikan Ricard ... Saya takut-takuti dia ... Pak Dimas bisa menuntutnya ke meja hijau dengan tuntutan pencemaran nama baik dan merusak kemerdekaan bapak ...” Terang orang tersebut.

“Hhhhmm ... Pantaslah ... Akhirnya si Ricard tersingkir juga ... Aku yang seharusnya menduduki jabatan itu ... Aku sudah mati-matian mengincar jabatan itu tidak rela diambil begitu saja oleh si Ricard ...” Ungkap Dimas dan seketika itu juga Karina memejamkan mata tak kuasa menerima kenyataan yang sebenarnya.

“Si Ricard sudah mengganggu ketenangan kita, Pak Dimas ... Dia berusaha memenjarakan kita ... Itulah akibatnya kalau berseberangan dengan kita-kita ...” Kata orang itu penuh kemenangan. Batin Karina semakin menjerit. Hatinya menentang keras dengan apa yang telah dilakukan suaminya berserta rekan-rekan seperjuangannya.

Cukup bagi Karina, ternyata semuanya adalah sandiwara belaka. Benak dan hati nurani wanita itu menolak keras. Ia mengecam dirinya sendiri karena telah membantu suatu kejahatan. Kecaman terhadap dirinya sendiri menggema dalam kepalanya, semakin lama semakin lantang hingga tak lagi tertahankan. Karina menekankan keningnya ke daun pintu dan memejamkan mata, nafasnya tersengal. Luapan rasa yang tak kesampaian, bukan hanya secara fisik tetapi juga emosi, terasa bagaikan penyiksaan yang mengerikan. Tiba-tiba Karina melancarkan sebuah pukulan kuat ke daun pintu dengan tinjunya.

“BIADAB ...!!! KALIAN MEMANG BIADAB ...!!!” Pekik histeris Karina membuat dua orang di balkon terkejut dan membalikan badan ke arah sumber suara.

“Mamah ...” Pekik tertahan Dimas tak menyangka pembicaraannya didengar istrinya.

“Em ... Pak Dimas ... Saya ke bawah dulu ...” Tiba-tiba lawan bicara Dimas yang tidak dikenali Karina bergerak cepat meninggalkan tempat itu. Gerakan orang tersebut ditatap Karina dengan tatapan bengis, tak lupa aura amarah yang pekat.

“Mah ... Tahan emosi mamah ...” Ucap Dimas sambil mendekat hendak memeluk istrinya. Namun dengan segera Karina melayangkan tangannya.

“Plaaakkkk ...!!!” Dimas meringis hampir berteriak kala laki-laki itu merasakan sebuah tamparan mendarat mulus di pipi kirinya, membuat wajahnya berubah merah.

“Bajingan kau ...!!! Apa yang telah kau lakukan ...!!!” Ucapan Karina mendesis persis seperti ular yang terancam bahaya. Karina benar-benar marah seakan-akan ingin menelan mentah-mentah orang di depannya.

“Mah ... Ini papah lakukan demi keluarga kita ... Demi kebahagian kita ...” Elak Dimas, berusaha memberi alasan agar amarah istrinya reda.

“Apa katamu??? Demi kita??? Kau telah menggunakanku untuk ambisi busukmu!!! Apa kau sadar, betapa sakitnya saat aku harus melayani Ricard di tempat tidur??? Itukan maumu!!!” Amarah Karina berkobar-kobar, air mukanya berubah sangat hebat. Sepasang telapaknya didorong ke depan secara berbareng.

“Buuukkk!!!” Dorongan kuat Karina membuat Dimas terjejar mundur dua langkah.

“Mah ... Itu hanya taktik supaya mamah bisa masuk ke ruangan Ricard ...!” Dimas berkilah namun apa yang diucapkannya membuat Karina semakin kalap.

“SETAN ... DASAR IBLIS ...!!! LEBIH BAIK, KAU BUNUH SAJA AKU ...!!!” Teriaknya sambil menyerang secara nekat dan membabi buta.

Karina menerjang Dimas tanpa arah dan serampangan. Dimas membiarkan dirinya dijadikan samsak hidup oleh wanita itu. Karina meluapkan amarahnya dengan pukulan-pukulan keras ke seluruh tubuh suaminya, sementara yang dipukul tetap diam tak melawan. Tiba-tiba aksi Karina terhenti ketika badannya melayang oleh sebuah pelukan erat yang membawa dirinya menjauh dari Dimas. Tubuh Karina terus berontak, meronta-ronta dengan teriakan histeris dan tangisan pilu diakhirnya.

“Mamah ...!!!” Teriak Dimas hendak mengejar istrinya yang dibawa turun ke lantai satu oleh seseorang. Namun, langkah Dimas terhenti tatkala beberapa rekan kerjanya menahan laju Dimas.

“Biarkan dulu ... Biarkan dulu istrimu ...!” Sergah salah satu rekan Dimas sambil memeluk tubuh laki-laki yang sedang bersedih dan shock tersebut.

Suasana berubah menjadi sedikit kacau. Para tamu pun satu persatu berpamitan pulang. Akhirnya hanya Dimas dan dua orang rekan kerjanya yang tinggal di rumah itu. Sementara Karina masih terus menangis. Kepala wanita itu terbenam di paha laki-laki yang membawanya pergi. Karina dibawa pergi oleh Gilang dengan menggunakan mobil laki-laki itu ke suatu tempat yang mungkin bisa menentramkan hati Karina.

“Bawa aku pergi jauh .... Hiks ... Hiks ...” Pinta Karina di sela-sela tangisannya.

“Iya ...“ Jawab Gilang lirih sambil menegarkan diri.

Kini jiwa Karina terasa sepi, luka hatinya begitu dalam. Karina tidak menyangka kalau suaminya tega melalukan hal keterlaluan seperti itu. Karina langsung saja bergidik ketika mengingat bahwa sebenarnya ia menjadi korban keambisiusan suaminya. Bayangan kembali pada saat Dimas ditahan di kantor polisi beberapa minggu yang lalu.


Flashback Beberapa Minggu yang Lalu ...

Dimas berbisik di telinga Karina: “Mah ... Dekatin si Ricard ... Mamah kan sudah kenal dia ... Papah yakin kalau si Ricard suka sama mamah ... Kalau sudah dekat, usahakan mamah bisa bebas masuk ke ruangannya ... Cari laporan keuangan yang asli di ruangannya ... Pasti ada di sana ... Kalau perlu ... Ajak si Ricard ke tempat tidur ... Papah gak apa-apa, asalkan mamah bisa mengeluarkan papah dari tempat ini ...”


Air mata Karina semakin deras mambasahi seluruh pipinya. Segala perjuangan dan pengorbanannya ternyata berakhir dengan kehancuran harga dirinya. Hati wanita itu semakin teriris karena bagaimanapun juga sesungguhnya ia telah berbuat jahat kepada orang yang tidak bersalah. Ya, Ricard telah menjadi korban atas tindakannya. Mengingat itu semua, tangis Karina semakin deras ditemani gemuruh cegukannya.

Gilang memacu mobilnya dengan kecepatan sedang, sesekali tangannya mengelus rambut Karina yang sedang menangis di pahanya. Setengah jam kemudian, Gilang memakirkan mobilnya dan terdiam memandangi wanita yang sedang membenamkan wajah di pahanya. Tangan Gilang mengelus lembut rambut Karina dan menyematkan rambut-rambut yang menutupi wajah wanita itu di telinganya dengan hati-hati.

“Hhmmmmh …” Gumam Karina terbangun dari tidurnya. “Dimana ini?” Tanya Karina seraya bangkit dari posisinya hingga wanita itu terduduk.

“Suatu tempat yang damai ... Tempat ini akan membuatmu tenang ...” Jawab Gilang lalu keluar dari mobilnya, kemudian bergerak ke arah pintu sebelah kiri. Gilang membuka pintu tersebut dan mengajak Karina turun. Wanita itu pun turun dari mobil dengan tangan Gilang sebagai pegangannya.

Terlihat hamparan kebun teh yang menghijau dan menghasilkan udara yang begitu segar. Dihisapnya udara malam yang sejuk itu dalam-dalam, seakan-akan Karina mencoba mendinginkan hatinya yang sedang menggelepar. Selama beberapa detik mereka diam tanpa berkata-kata.

“Sekarang apa yang mau kamu lakukan?” Tanya Gilang memecah kesunyian.

“Aku tidak mau kembali ke rumah ...!” Karina tidak menjawab pertanyaan Gilang.

“Sebenarnya ada apa?” Tanya Gilang lagi yang tidak mengetahui kondisi Karina yang sebenarnya.

“Pokoknya ... Aku gak mau kembali ke rumah ...” Ungkap Karina dengan intonasi menurun.

“Kalau begitu ... Tinggal di apartemenku saja, sampai kamu tenang ...” Gilang memberikan solusi.

“Tidak...!” Ucap Karina sambil menggelengkan kepala. Ingatannya kepada Yanti yang sedang sakit parah membuat Karina menolak tawaran Gilang. Tiba-tiba Gilang merapatkan tubuhnya dan merangkul bahu Karina. Karina pun meletakkan kepalanya di bahu Gilang.

“Dengarkan aku Karina ... Mungkin ini bukan waktu yang tepat dan mungkin juga kamu akan mengira aku mengambil kesempatan atas apa yang terjadi padamu saat ini ... Melihatmu seperti ini membuatku sakit … Maaf, tapi aku benar-benar mencintaimu ....” Gilang mengecup pucuk kepala wanita yang sangat ia cintai itu.

“.......” Karina memejamkan mata, betapa semua terasa berat dan membebani.

“Mungkin ini salah ... Sampai saat ini pun aku mencintai istriku ... Ketidakmampuannya yang tidak bisa melakukan kewajiban sebagai istri selama satu tahun ini karena sakit yang dideritanya, tidak bisa jadi alasanku untuk mencintai wanita lain ...” Ungkap Gilang lagi dengan nada bergetar. “Yanti wanita luar biasa ... dia cinta pertamaku dan ibu dari anakku ... Kegigihannya bertahan dengan kanker otaknya tanpa melupakan kewajibannya sebagai istri dan ibu membuatku bertahan ... Dia menemaniku di setiap perjuanganku dan aku tidak pernah menyembunyikan hal apapun kepadanya. Hari itu ketika kamu datang ke rumah kami, aku sedang menceritakan kalau aku mencintai wanita lain ... Kalau aku mencintaimu Karina ...” Lanjut Gilang.

“......” Karina masih tak bersuara tetapi tangannya mulai melingkari pinggang laki-laki yang memeluknya.

“Kamu tau Karina...? Kamu membuat hidupku bergairah kembali ... Karina yang selalu ceria dan semua ide-ide cerdas dan gilanya selalu membuatku tersenyum ... Aku selalu mengingatkan diriku beberapa kali, kalau kau adalah istri dari sahabatku, tapi semangat dan kegigihanmu terhadap Dimas, semakin menarik diriku kepadamu ... Aku semakin kagum padamu ...” Gilang terus mengutarakan isi hatinya.

“Maafkan aku Karina ... Maafkan kalau aku mencintai kalian berdua dengan cinta yang berbeda ...” Gilang lalu membalikan tubuh Karina sehingga wajah Karina menghadap kepadanya.

“Maaf Gilang ... Tapi aku tidak bisa ...” Karina menangis sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Gilang menarik tubuh Karina masuk dalam pelukannya lagi.

“Tinggalah sementara di apartemenku sampai semua tenang ... Aku tidak akan menganggumu atau mengunjungimu kecuali kau minta ... Ijinkan aku membantumu sekali ini saja ... Aku mohon Karina ...” Ungkap Gilang untuk kesekian kalinya. Akhirnya Karina mengangukkan kepala tanda setuju disertai dengan tangisan yang semakin kencang. Gilang mengecup ubun-ubun Karina sambil mengusap punggungnya.

“Kita pergi sekarang ... Nanti aku belikan beberapa kebutuhanmu ... Ada beberapa baju Yanti di sana yang bisa kamu pakai untuk sementara ...” Ujar Gilang sambil melepaskan pelukannya pada Karina.

Setelah keduanya berada di mobil kembali, Gilang segera menyalakan mesin mobil lalu meninggalkan tempat itu menuju apartemennya. Gilang sangat bahagia sekaligus tenang karena laki-laki itu berfikir kalau wanita yang dicintainya akan aman bersamanya.



---oo0oo---​



Dua Hari Kemudian ...

Gilang menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, menumpangkan kakinya di atas meja, melipat kedua tangannya sebagai penopang belakang kepala dan memejamkan mata. Orang yang melihatnya akan berpikir bahwa lelaki itu sedang tertidur, padahal ia sedang memeras otak, mencari cara menyembuhan penyakit istrinya yang mengidap kanker otak. Gilang terpaksa menyewa satu dokter pribadi dan dua perawat untuk mengurus istrinya yang tidak mau dirawat di rumah sakit. Suara dering smartphone membuat Gilang membuka matanya, smartphone yang ditaruh di atas meja bergetar pelan beberapa kali sebelum laki-laki itu mengangkatnya.

“Hallo ...” Sapa Gilang pada penelepon di seberang sana.

"Bisa kesini? Sekarang?” Suara Karina di ujung telepon begitu indah terdengar. Sontak Gilang bangkit dan memperbaiki duduknya. Suara Karina seakan memberi laki-laki itu semangat ekstra.

“Iya, tunggu ...!” Gilang melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 19.15 malam. “Aku bilang dulu istri ...” Lanjut Gilang sangat bersemangat.

Iya ... Ditunggu, ya ...” Jawab Karina lalu terputus sambungan telepon seketika itu juga.

Gilang langsung saja berjalan ke kamar ‘perawatan’ istrinya. Saat Gilang masuk, seorang perawat sedang membersihkan bekas perawatan sang istri. Gilang menghampiri sang istri lalu duduk di pinggir ranjang sambil menatap penuh kasih sayang. Tak lama, perawat pun keluar kamar, barulah Gilang memulai pembicaraan.

“Bunda ... Aku ke tempat Karina dulu ya ... Kayaknya dia perlu sesuatu ...” Ucap Gilang sambil membelai kening Yanti yang terlentang di atas tempat tidur.

“Hhhhmmm ... Yang perlu Karina atau ayah?” Yanti masih bisa menggoda suaminya. Gilang tersenyum malu karena tertebak isi hatinya. “Jangan lupa ... Bujuk dia ...” Lanjut Yanti sambil tersenyum.

Gilang mencium kening sang istri cukup lama. Baru setelahnya, ia keluar kamar dan melangkah ke mobilnya yang terparkir di depan rumah. Tak lama, mobil melaju kencang, rasanya Gilang ingin sekali cepat sampai. Jarak yang tidak terlalu jauh membuat perjalanan Gilang tidak memakan waktu yang lama. Laki-laki itu pun akhirnya sampai di tempat tujuan dan segera menuju kamar apartemen yang ditempati Karina.

Gilang mengetuk pintu dan tak lama pintu terbuka. Nampak Karina dengan wajah manisnya membukakan pintu untuk Gilang. Matanya menyipit, kemudian senyuman tipis tertoreh di wajahnya. Betapa tidak, karena dihadapannya kini berdiri seorang wanita cantik yang hanya mengenakan kemeja putih sebatas paha tanpa ada kain lagi di tubuhnya. Pemandangan indah dari seorang wanita cantik yang dirindukannya membuat Gilang harus meneguk ludahnya berkali-kali.

“Ayo masuk!” Ajak Karina sembari menarik tangan Gilang.

“Oh ... I-iya ... Gi-gimana kabarnya?” Tanya Gilang terbata-bata karena baru tersadar dari kekagumannya.

“Lebih baik dari dua hari yang lalu ...” Jawab Karina seraya menutup pintu apartemen.

“Ada kabar dari Dimas?” Tanya Gilang basa-basi. Keduanya berjalan menuju sofa di tengah ruangan.

“Tidak ... Aku tidak mau membicarakan hal itu ... Aku hanya butuh teman saat ini ...” Jawab Karina malas. Karina menarik tangan Gilang untuk duduk di sampingnya. Aliran darah kelelakian Gilang semakin memanas saat ia menatap bongkahan paha mulus Karina yang dibiarkan terbuka.

“Hhhmm ... Ada salam dari Yanti ...” Ucap Gilang sambil mengalihkan pandangannya ke wajah Karina yang tampak terkejut.

“Mbak Yanti ... Bagaimana keadaannya ...” Karina tiba-tiba sendu.

“Entahlah ... Tapi dia berkata supaya aku membujukmu ...” Ucap Gilang lirih. Karina menatap mata laki-laki di hadapannya lekat-lekat.

“Mbak Yanti ... Tidak perlu membujukku lagi ...” Suara Karina terdengar bergetar.

“Maksudmu?” Gilang terperangah.

“Asal mas bisa memastikan dan mengusahakan perceraianku dengan Dimas ... Aku akan menerima mas sebagai suamiku ...” Jelas Karina percaya diri, tak ada keraguan dari ucapannya.

“Oh ... Terima kasih ...” Gilang langsung memeluk Karina saking bahagianya. Keinginannya disambut oleh Karina bahkan sebelum ia meminta dan membujuknya lagi.

Karina membalas pelukan Gilang. Wanita itu tak sanggup melawan perasaannya sendiri. Jantungnya tak lagi berirama, rasa rindunya pada laki-laki itu menggelegak seperti menemukan muaranya, walau ia tahu bukan pada waktu dan tempat yang tepat. Namun yang jelas, cinta telah melahirkan keyakinan wanita itu untuk hidup bersama dengan pujaan hatinya.

Tanpa aba-aba Gilang mendaratkan ciumannya pada bibir Karina. Menciumnya pelan, lalu melumatnya dan sesekali menyesapnya seolah bibir Karina adalah wine berharga jutaan dollar. Ciuman itu basah, menggelora dan panas. Rasa sensual yang tercipta karena dari awal bibir mereka terbuka menghanyutkan Gilang hingga pria itu kalap. Mulutnya liar melumat, mengecap dan merasakan manis bibir milik Karina.

Kecupan Gilang semakin basah dan menggoda. Gilang manjakan tubuh Karina dengan penuh perasaan, menunjukan kasih sayang serta cinta yang dimiliki olehnya melalui cara dan sikap. Terang saja Karina merasa dimanjakan. Dirinya hanyut dalam cumbuan mereka, hingga melepas semua desahan tanpa beban. Wajahnya terasa panas seperti terbakar.

Baju yang mereka kenakan sudah lepas, mereka sendiri tidak tahu kapan palaian itu lolos dari tubuh mereka. Pandangan Karina mulai kabur ketika bibir Gilang bergerak turun menemukan sasaran yang lebih intens. Mengalirkan gelombang kenikmatan yang menyiksa dan teramat menggairahkan. Bukan cuma ahli dalam melumat bibir, Gilang juga bisa membuat tubuh karina menggelijang ketika memagut kewanitaannya. Sering kali membuat perempuan itu mengerang hebat dan tak terkendali.

“Aaaahhhh ....!”

Karina mulai terengah. Dada polosnya naik turun karena menarik dan menghembuskan nafas yang tidak beraturan. Bibirnya yang mungil terbuka, mengeluarkan deru nafas dari sana. Gilang menggeram. Erangan Karina makin membangkitkan hasratnya, membuat ia geram bukan kepalang lantas menggantikan peran lidah menjadi jari.

Gilang meninggalkan selangkangan Karina, berpindah dari tubuh bawah menuju ke atas. Tubuh padatnya bertahan menggunakan tangan kiri, sementara sebelah tangannya yang lain sedang ‘bermian’ dengan tubuh Karina yang telah basah sempurna. Perlakuan manis Gilang menghanyutkan Karina. Rasa nikmat membuat tubuhnya serasa melayang tinggi sampai ke langit ke jutuh.

Karina merintih, tubuhnya melengkung di bawah tubuh kekar Gilang yang menindihnya. Kedua tangannya terulur dan mencengkram rambut Gilang, menarik lelaki itu, mencari sesuatu yang dapat menjawab kebutuhan yang meledak-ledak dalam dirinya. Hingga kini saatnya Gilang mulai untuk benar-benar melakukan sebuah penyatuan tubuh. Tubuh Karina terguncang. Gilang terus mendesak pinggulnya, membenam benda keras itu ke dalam tubuh Karina.

“Aaaaahhhh ...” Karina mendesah ketika sesuatu milik Gilang berusaha menerobos daerah intimnya. Gilang menciumi wajah Karina. Gilang berhenti dalam aksinya. Beberapa saat kemudian, Karina pandang wajah tampan kekasihnya penuh kasih sayang. Akhirnya, Karina menganggukan kepala pertanda agar Gilang melanjutkannya saja.

Melihat kode dari Karina, Gilang pun melanjutkan aksinya yang sempat tertunda. Biar bagaimana pun Gilang tetaplah manusia. Ketika sebuah kenikmatan tengah ia rasakan, orang mana yang akan menolak apalagi berhenti. Nafsu Gilang sudah diubun-ubun, ia sudah tidak sabar untuk mempercepat aksinya, agar sebuah kenikmatan itu bertambah lagi dari sebelumnya.

Karina pun sudah gila akibat semua sentuhan yang Gilang berikan padanya. Membiarkan Gilang malam ini menguasainya, membawanya ke dalam kenikmatan yang selalu ia dambakan. Gilang membuat Karina mendesah penuh nikmat dan seakan-akan meminta lebih.

Mereka terus bermain pada kenikmatan yang mereka buat sendiri. Gilang tetap melakukan aktivitasnya menggauli Karina dengan bibir mereka yang seolah tak mau lepas. Kenikmatan yang mereka ciptakan membuat mereka larut dalam permainan tersebut. Hingga tubuh keduanya terkulai lemah yang pada akhirnya mereka menyudahi semuanya. Rasa lelah membuat mereka memilih untuk mengistirahatkan diri.

Mereka sama-sama tertidur tanpa menggunakan sehelai benang pun hanya selimut yang menutupi tubuh polos mereka. Karina tertidur di dalam pelukan Gilang. Dan akhirnya terjadilah sudah, malam yang memang Gilang sangat nantikan, kini sudah ia lewati bersama Karina. Gilang merasa bahagia karena kini Karina sudah menjadi miliknya seutuhnya.


---oo0oo---​



Keesokan Harinya ...

Seorang wanita berwajah pucat pasi dan terbatuk-batuk memasuki lobby perusahaan tempat suaminya bekerja. Wanita itu memakai kursi roda karena ia sudah tidak kuat berjalan. Seorang perawat laki-laki mendorong kursi roda yang digunakan wanita itu menuju lift di ujung utara lobby gedung. Yanti bersama perawatnya kemudian memasuki lift dan membawa Yanti ke ruang kerja Dimas. Ternyata ruangan kerja yang dituju Yanti masih tak berpenghuni. Akhirnya Yanti menunggu persis di depan pintu ruangan direktur keuangan yang baru tersebut.

Sementara itu, Dimas dengan tersenyum jumawa melangkah memasuki kantornya menuju ruangan yang sedari dulu ia idam-idamkan. Para karyawan menyambut dengan hormat padanya. Kini Dimas telah resmi diangkat menjadi direktur keuangan menggantikan Ricard yang sudah ditahan atas tuduhan penggelapan.

“Selamat Pak Dimas ...” Setiap karyawan menyalaminya sepanjang Dimas melangkah, hingga mata direktur keuangan yang baru itu tertumbuk pada seorang wanita yang duduk di kursi roda ditemani seorang perawat yang menunggu di depan pintu ruangan kerjanya. Dimas agak mengerungkan dahinya atas sambutan wanita berkursi roda itu padanya.

“Selamat Pak Dimas ... Akhirnya cita-cita Pak Dimas untuk menduduki posisi direktur sudah tercapai ...” Ucap Yanti dengan nada lemas menyodorkan tangannya mengajak berjabat pada Dimas.

“Terima kasih bu ... Kalau boleh tau ... Ibu siapa ya ...? Tanya Dimas menyambut jabatan tangan wanita tersebut dengan senyum.

“Saya Yanti ... Istri Gilang ...” Jawab Yanti sambil tersenyum.

“Ooooo ... Iiiyaaa yaa ... Baru saya ingat ibu ... Maaf ... Maaf kalau saya melupakan ibu ... Maklum setelah melewati masa sulit, saya sedikit pelupa ...” Jawab Dimas merasa tidak enak hati.

“Tidak apa-apa kok pak ... Saya mengerti ... Apa Pak Dimas ada waktu? Boleh saya ngobrol berdua dengan bapak ...” Tanya Yanti.

“Ooohh ... Mari bu ...! Pastinya ada waktu buat istri sahabat yang telah menolong saya ... Mari bu, kita masuk ...!” Dimas pun membukakan pintu dan mempersilahkan masuk wanita berkursi roda itu. Dengan bantuan perawat, Yanti pun masuk ke dalam ruangan kerja Dimas.

“Ruangan yang sangat indah dan mewah pak ... Pastinya bakalan membuat bapak betah di sini ...!!" Ujar Yanti menelisik seluruh ruangan.

“Ya ... Mudah-mudahan saya betah dengan posisi baru ini ...” Jawab Dimas lalu duduk di meja kerjanya. Yanti pun didorong perawat untuk duduk berhadapan dengan Dimas.

“Gimana bu ... Apa yang bisa saya bantu?” Tanya Dimas mendahului obrolan serius. Yanti tak menjawab langsung hanya menoleh ke arah perawat. Perawat mengerti lalu memberikan tas pada Yanti kemudian meninggalkan mereka berdua dalam ruangan. Dimas memperhatikan penuh tanda tanya.

“Maaf ... Tidak enak jika saya berbicara di depan orang lain ... Jika saya sehat mungkin saya ke sini tak akan ditemani oleh perawat.” Ucap Yanti.

“Tidak apa-apa ... Jadi maksud ibu datang kemari, ada apa sebenernya?” Kembali Dimas mengulangi pertanyaannya.

“Hhmmm ... Sebenernya ini tak terlalu penting buat Pak Dimas ... Tetapi untuk saya dan suami saya sangatlah penting ...” Jawab Yanti agak melingkar. Dimas mengerungkan dahinya mencoba menebak maksud tujuan Yanti.

“Maksud ibu ... Ibu dan Gilang membutuhkan uang? Selama itu ada dijangkauan saya ... Saya akan bantu Gilang ... Dia sahabat saya yang telah banyak membantu hingga saya terbebas dari tahanan ...!!” Dimas langsung menebak.

“Maaf ... Maksud Pak Dimas, saya datang untuk meminta bantuan uang? Apa saya terlihat sehina dan semiskin itu untuk meminta uang pada Pak Dimas? Maaf, saya masih jauh dikata mampu membiayai biaya pengobatan sendiri meskipun tanpa bantuan Gilang, suami saya ... Apalagi meminta uluran dari Pak Dimas ... Maaf, jauh ...” Jawab Yanti tanpa ekspresi membuat Dimas sedikit tersinggung dengan kalimat yang dilontarkan Yanti.

“Maaf ... Kalau tebakan saya telah membuat Bu Yanti tersinggung ...” Ucap Dimas.

“Tak apa pak ... Saya memaklumi bapak mempunyai penilaian tadi ... Apalagi melihat kondisi saya seperti ini ...” Yanti tersenyum dingin.

“Jadi ... Permintaan apa yang akan ibu minta pada saya?” Dimas mulai penasaran. Yanti merogoh tas lalu mengeluarkan sehelai kertas segel kosong lalu diberikan pada Dimas. “Apa maksud ibu?” Tanya Dimas makin tak mengerti.

“Permintaan saya pada Pak Dimas hanya satu ... Tolong Pak Dimas buat surat pernyataan ... Pernyataan kalau Pak Dimas menceraikan Karina ...!!" Ujar Yanti membuat Dimas terkejut dengan permintaannya.

“Maksud ibu apa ...? Seenaknya ibu datang untuk meminta saya menceraikan istri saya?!” Dimas berdiri dari duduknya dan bersuara dengan nada tinggi. Kini Dimas benar-benar tersinggung dan marah.

“Menurut aku ... Permintaan itu sangat sebanding dengan kebebasan serta posisi Pak Dimas sekarang ini!! Dan kalau boleh saya bilang ... Pernyataan cerai dari Pak Dimas sendiri itu bisa dianggap biaya ongkos Karina membantu bapak ...” Yanti sangat tenang meng-counter Dimas.

“Maaf ... Saya sangat keberatan dan tidak akan memenuhi permintaan ibu ...! Saya tidak berniat menceraikan Karina ... Maaf kalau permintaan Bu Yanti saya tolak ...!” Dimas sangat kesal dengan permintaan konyol wanita di hadapannya.

“Keberatan ....?” Yanti tersenyum.

“Ya ... Saya keberatan dengan permintaan Bu Yanti untuk menceraikan Karina ... Bagaimana pun dia istri saya yang selalu saya cintai dan sayangi ...!” Ungkap Dimas keras.

“Cinta ...? Sayang ...? Apa seorang lelaki yang menyanyangi istrinya dapat berbuat tega untuk menyuruh istrinya melayani orang lain demi kebahagiaan suaminya?” Tanya Yanti yang sukses membuat mulut Dimas terperanjat hebat dan mulutnya seakan kelu.

“Mmmaksud ... Bu Yanti ... A-appa..??” Dimas mulai merasa panas dingin saat mendengar penuturan Yanti yang mengetahui kejadian yang sangat ia rahasiakan itu.

“Saya sudah tau semua permainan Pak Dimas ... Apa musti saya jabarkan di sini?! Sudah sewajarnya saya mewakili Karina, istri bapak, untuk meminta pernyataan Pak Dimas sebagai bayaran usaha dia membantu Pak Dimas ...!!” Lanjut Yanti sambil menyodorkan pulpen.

“Ibuuu mengancam saya ...?!” Dimas memekik geram.

“Apa Pak Dimas merasa terancam oleh seorang wanita lemah yang hanya bisa duduk di atas korsi roda?” Tak sedikit pun rasa gentar Yanti perlihatkan.

"Tttapi ... Saya gak bisa menceraikan Karina ... Dia akan terus berada di samping saya!!” Tegas Dimas.

“Apa selama ini Karina ada di sisi anda? Ingat yang Pak Dimas ucapkan barusan ... Apa dia pantas disebut seorang istri?” Papar Yanti yang membuat Dimas semakin tak berkutik. “Baiklah jika emang bapak keberatan ... saya aa ...” Belum beres Yanti berkata, pintu ruangan kerja Dimas terbuka. Terlihat Sigit datang dengan wajah cemas ditemani perawat.

“Yanti ... Kamu buat om mu ini cemas ... Ngapain kamu ke sini? Kalau ke sini bilang-bilang dong ... Biar om gak cemas nyariin kamu ...! Kamu pergi dari perawatan tanpa bilang-bilang ...!” Cerocos Sigit lalu memeluk tubuh Yanti kemudian menciumi kening dan ubun-ubun Yanti berulang kali. Sigit sangat mencemaskan keponakan kesayangannya.

"Enggak oom ... Yanti cuma main ke Dimas untuk mengucapkan selamat dengan kenaikan jabatannya ...!!” Jawab Yanti dengan seulas senyum sinis ke arah Dimas.

“Oooo ... Dimas kamu kenal sama yanti ... Keponakan kesayanganku ini ...” Ujar Sigit pada Dimas yang langsung saja wajah direktur keuangan baru itu menjadi pucat pasi.

“Eee ... Iiyaa paakk ... Dia istri sahabatku ... Gilang ...!!" Dimas sangat panik dengan kedatangan owner perusahaan dan mengetahui Yanti adalah keponakannya.

“Ooo ... Iya aku lupa ...." Sigit teringat sesuatu. “Dah dulu Yan ... Om antar lagi ke rumah sakit ... Om gak mau dimarahi ayah kamu kalo ketahuan kamu main ke sini ...” Lanjut Sigit seraya menyuruh perawat membawa Yanti untuk keluar.

“Sebentar om ... Saya mau bicara dulu dengan Dimas sebentar saja ...” Yanti meminta waktu pada Sigit.

“Ya udah kalau gitu ... Sambil menunggu kamu, om mau ke ruangan dulu, membereskan pekerjaan ...!!” Ujar sigit lalu meninggalkan ruangan Dimas.

“Bu Yanti ...??” Tanya Dimas sangat cemas.

“Untuk barusan tadi ... Saya minta Pak Dimas tak usah pikirkan dan gak usah cemas ... Dengan otak bapak yang cerdas, mungkin Pak Dimas tau kan apa yang musti bapak kerjakan sekarang?” Ujar Yanti sedikit mengancam sambil matanya menunjuk ke arah kertas segel di atas meja.

Untuk sesaat terjadi perang batin dalam diri Dimas, antara membuat dan menandatangani pernyataan cerai atau karir dan jabatan yang akan dipertahankan. Akhirnya Dimas pun memilih. Dengan lemas serta tangan gemetaran, Dimas pun menuliskan surat pernyataan menceraikan Karina lengkap dengan tanda tangan di atas materai.

“Semoga anda cukup puas dengan ini, Bu Yanti!” Ucap Dimas dengan nada kesal dan marah sambil menyodorkan lembar segelnya.

“Ha ha ha ha ... Itulah kamu Dimas ... Pengakuanmu tadi terhadap Karina hanyalah omong kosong belaka ... Diotakmu, Karina hanya alat untuk memuaskan ambisimu ... Sungguh manusia tidak punya hati nurani ...” Yanti tertawa keras dengan tubuh lemas, bukan menertawakan kemenangan mendapatkan surat pernyataan tetapi menertawakan sosok Dimas.

Yanti pun segera meninggalkan ruangan kerja Dimas dengan senyum kemenangan. Sementara itu, Dimas merenung. Memikirkan apakah tindakannya itu benar atau salah. Dimas benar-benar tidak bisa berpikir jernih sekarang. Ada gangguan kecemasan yang sifatnya khas melekat pada dirinya saat itu. Dimas duduk termenung dengan tatapan kosong. Tiba-tiba saja perasaan menyesal menggerayangi tubuhnya.



---oo0oo---​



Empat Bulan Kemudian ...

Awan yang mendung disusul oleh gerimis kecil-kecil menyelimuti segala kesedihan bagi dia yang telah kehilangan. Mengantar kepergian seorang yang disayanginya ke tempat peristirahatan terakhirnya. “Kenapa harus bunda? Kenapa bukan aku saja?” Tangisan dan segukan serta dua kalimat yang berteriak saling menyalahkan dirinya berputar di kepala, nafasnya yang seakan sesak dan dadanya yang bergemuruh kencang akibat luapan perasaan kecewa, menjadi awal dari kesedihan yang dialami oleh Gilang. Batinnya terus menyalahkan dirinya sendiri karena tidak mampu menyelematkan nyawa istri tercintanya. Penyakit kanker otak yang menyerang sang istri, tak mampu ia atasi.

“Mas ... Sudah jangan ditangisi terus ... Biar mbak Yanti tenang di sana ...” Ujar suara lembut Karina tidak membuat Gilang segera beranjak dari depan kuburan istrinya yang masih basah.

“Ketahuilah ... Aku sangat menyayanginya ... Aku merasa bersalah tidak bisa menyembuhkan penyakitnya ...” Gilang terus menyalahkan dirinya sendiri.

“Ini semua sudah menjadi takdir ... Mas harus tabah dan menerimanya ... Sudahlah, mas ... Hari mulai gelap dan mau hujan ... Kita harus pulang ...!” Karina akhirnya harus memaksa Gilang dengan menarik tangan laki-laki itu kuat-kuat.

Kini Gilang dipapah oleh Karina menuju mobil yang berada di luar kompleks pemakaman. Setelah mereka di dalam mobil, Gilang mulai melajukan kendaraannya pelan-pelan. Walau hatinya belum sepenuhnya tenang, tetapi Gilang fokus pada kemudinya. Hanya sepuluh menit berselang, Karina dan Gilang pun sampai di kediaman mereka. Ternyata kedatangan Gilang dan Karina telah ditunggu seseorang. Pak Lebe telah menunggu pasangan suami istri itu cukup lama.

“Oh maaf, pak ... Sudah lama ya ...” Sapa Karina merasa tidak enak hati pada Pak Lebe.

“Lumayan lah ... Langsung saja ya, bu ... Tolong tanda tangani surat nikah ini ... Bapak juga ...” Pinta Pak Lebe sambil menyerahkan dua buah surat nikah dan beberapa berkas yang harus Gilang dan Karina tanda tangani.

Sepasang suami istri yang baru seminggu melangsungkan pernikahan itu pun segera menandatangani semua berkas penting yang berkaitan dengan pernikahan mereka. Setelah selesai, Pak Lebe undur diri dan langsung meninggalkan kediaman Gilang dan Karina. Tak lama kemudian, Karina duduk di sofa ruang tengah menemani Gilang yang telah duluan duduk di sana.

“Jangan terlalu bersedih mas ...” Ucap Karina berusaha menghibur suaminya sembari memeluk lengan Gilang dan menyandarkan kepala di bahu Gilang.

“Ya ... Sayang ... Memang aku harus mengikhlaskannya ... Memang ini jalan yang terbaik untuknya ... Dia bisa terlepas dari rasa sakit dan bahagia di sana ...” Ucap Gilang menghibur dirinya sendiri sembari merangkul pinggang istri barunya.

“Iya mas ... Karina yakin kalau mbak Yanti sudah hidup bahagia di sana ... Mbak Yanti memang layak hidup bahagia di sana ...” Karina teringat akan kebaikan Yanti.

“Oh ya ... Aku jadi lupa ... Em, Dimas dan rekan-rekannya sudah diamankan polisi ... Aku bongkar semua kebusukan mereka dan pengusutan baru selesai tadi pagi ...” Ungkap Gilang lalu mencium pucuk kepala Karina.

“Baguslah ...! Biar tau rasa mereka ...” Respon Karina yang merasa geram.

“Dan Ricard menjadi direktur keuangan lagi ... Ternyata aku baru sadar ... Kalau Ricard ternyata yang berusaha membersihkan perusahaan dari praktek-praktek korupsi ...” Papar Gilang yang membuat Karina teringat kembali pada sosok Ricard.

Rasa bersalah pada Ricard kembali menghantui Karina. Tapi sudahlah, memang itu harus menjadi bagian dari kejadian ini yang tak diduga sebelumnya. Karina pun mulai bisa melepaskan rasa bersalahnya tatkala Gilang sedikit demi sedikit sudah bisa tersenyum dan melupakan kesedihannya. Pasangan suami istri itu kemudian berbincang diselingi canda dan tawa. Hingga mereka berpindah tempat ke kamar tidur dan terlelap mengistirahatkan tubuh mereka.

Beberapa menit, malam sudah melewati tengah malam. Karina terbangun dari tidur ketika merasakan smartphone-nya bergetar di balik bantal. Karina memeriksa notifikasi yang masuk, lalu berusaha menahan senyum saat membaca sebuah pesan Whatsapp dari sebuah kontak bertuliskan nama orang yang selalu ada di hati wanita itu.

Aku menunggumu di depan rumah.” Begitu pesan darinya.

Karina pun bergerak sangat perlahan, turun dari tempat tidur, melirik sebentar pada Gilang yang tertidur sangat pulas dengan putri tiri disampingnya. Lalu berjalan keluar kamar dan yang ditujunya adalah pintu depan rumah. Karina melihat sebuah sedan mewah berwarna hitam berhenti di depan rumahnya. Setelah menutup pintu, Karina agak tergesa-gesa menghampiri mobil mewah tersebut. Pintu mobil sebelah belakang bagian kiri pun terbuka, seolah kode untuk Karina agar segera naik ke dalam mobil itu. Dengan senyuman ceria, Karina masuk ke dalam dan menutup pintu mobil. Belum selesai Karina mencari posisi duduk yang nyaman, ia disambut oleh sebuah tarikan tangan sehingga tubuhnya kini dalam pelukan seseorang. Sebuah ciuman mendarat di bibirnya, hanya sebuah ciuman ringan dan sekedar menempelkan bibir.

“Aku merindukanmu sayang ...” Bisik pria itu sambil membelai wajah Karina.

“Aku juga ...” Balas Karina dengan tatapan berbinar-binar.

“Aku tidak yakin kamu merindukanku ... Karena sekarang kamu telah bersama dengan Gilang ...” Canda pria itu.

“Hhhhmm ...!” Gumam Karina sebagai ungkapan keraguan.

“Ya sudahlah ... Karena kamu sudah berhasil membantuku mengungkap kebokbrokan orang-orang di perusahaanku ... Sudah saatnya aku akan memberimu imbalan ... Sekarang, katakanlah! Apa keinginan terbesarmu?” Ucap pria tersebut.

“Eem ... Permintaanku ...” Karina segan melanjutkan ucapannya.

“Katakan!” Pria itu memaksa.

“Aku mau ... Kamu jangan mengganggu Gilang ...” Ungkap Karina pelan.

“He he he ... Kamu mencintainya bukan? Baiklah! Aku akan membiarkanmu bahagia dengan dia ... Lagi pula, kamu juga harus menyayangi cucuku ... Anak dari keponakan kesayanganku ...” Ujar pria itu sembari membelai wajah Karina.

“Terima kasih ...” Karina mendesah seakan ingin sekali mengeluarkan sesak di dadanya.

“Ini terimalah! Di dalamnya ada cek ... Uang itu bisa dipakai modal usaha ...” Kata pria itu sambil menyodorkan sebuah amplop.



Karina tidak lantas mengambil amplop tersebut, tiba-tiba ia memeluk pria yang ada duduk di depannya. Karina menangis di ceruk leher pria yang kini mengelus rambutnya sayang. Karena Karina telah jatuh sangat dalam ke dalam cinta itu. Ia mencintai pria ini, lebih dari hari kemarin dan selalu bertambah. Rasa cintanya tak pernah surut, dan berada di level tertinggi.

“Bila saja bisa ... Aku ingin mengatakan bahwa aku bersyukur bisa mencintaimu ... Mencintaimu adalah kebahagiaan untukku ... Rasa sakit yang pernah terjadi sekali pun tak akan bisa menandingi betapa aku menyayangimu ...” Ujar si pria lembut. Usai mengatakan hal itu, dorongan kesedihan membuat air mata Karina semakin meleleh deras. Sampai Karina mencengkeram pakaian si pria sangat erat. “Berbahagialah bersama Gilang ... Aku yakin, Gilang mampu membahagiakanmu ...” Lanjut si pria.

Keadaan tiba-tiba hening, hanya hati mereka yang berkata-kata. Perasaan cinta yang telah mereka rajut lama harus diakhiri sampai di sini. Pria itu mengusap pipi Karina untuk mengurangi rasa sakitnya lalu dirinya menatap wanita di sampingnya. Tanpa sadar, nalurinya bergerak memegang dagu Karina dengan lembut. Mau tak mau mereka saling bertatapan kembali. Keduanya menipiskan jarak mereka hingga nafas mereka saling menerpa wajah masing-masing. Dengan dorongan sedikit, bibir mereka bertemu dan menyalurkan rasa cinta sekaligus kerapuhan diantara keduanya. Saling mengecap satu sama lain. Keduanya saling melumat bibirnya dan tidak mau kalah, sampai pasokan udara memaksa mereka menyudahinya.

“Itulah ciuman terakhir kita ... Kembalilah pada suamimu ... Cintailah dia sebagaimana kamu mencintaiku ...” Ucap si pria getir.

Karina menyenderkan kepalanya di bahu kekasihnya. Mereka berdua menahan rasa sakitnya lagi ketika mengucapkan perkataan itu tadi. Keduanya merasa telah berbohong pada diri mereka sendiri. Bukan hanya mereka, tetapi langit dan bumi menjadi saksi keduanya. Apapun yang akan terjadi nanti, mereka harus bersikap bukan sebagai sepasang kekasih lagi. Walau mereka tidak menginginkan itu, namun keadaan yang memaksa keduanya melakukan ini demi orang-orang di sekitar mereka.

Mereka pun harus berpisah. Angin berhembus sepoy-sepoy menerbangkan helaian rambut hitamnya yang tergerai indah. Dipandanginya mobil mewah penuh kenangan itu sampai hilang di tikungan jalan. Karina mengalihkan pandangannya pada bulan purnama yang berlahan menampakkan sinar putihnya. Sebuah luka tanpa bukti hanya goresan tidak kasat mata yang begitu menyakitkan. Itulah gambaran akhir cinta yang tidak bahagia darinya.

Karina menghela nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Sudah saatnya ia melupakan perjuangan cintanya pada pria tadi. Kini di hadapannya ada pria lain yang akan memberinya cinta. Gilang mampu menerobos ke celah hatinya. Walau masih sedikit, wanita itu bertekad akan merajut cintanya yang baru untuk membangun rumah tangga yang bahagia bersama Gilang.





Tamat
 
Terakhir diubah:
Euw euw euw.... Dari kemarin di tungguin akhirnya update juga, lanjut lagi ah ngebacana, sukses ya mang @D 805 KI
kamari aya gangguan kang @qthi jd gagal posting

Wadaw, TS benar-benar mengacak-ngacak suasana hati ane dengan satu cerita saja. Otak ane gabisa pindah frekuensi dari gelombang 805 FS, baper deh jadinya
:sendiri:
duh.. duhh... hatur nuhun kang tos setia di gelombang baper...
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd