Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Aku Memang Psikopat - COPAS

thrilleverse

Suka Semprot
Daftar
23 Mar 2016
Post
10
Like diterima
4
Bimabet
Gan, ini cerita copas, cz gw blm bisa nulis sendiri,
jadi harap maklum kalo sementara ini gw sharing cerita-cerita copasan dulu ye..

Salken, para suhu..



AKU MEMANG PSIKOPAT
oleh : Argus Panoptes

"Enyah kau, iblis!" gadis itu berteriak.
"Pergi kau ke neraka jahanam! Jangan ganggu aku! Aaaaarrgghhh!!"
Ia berontak, tangannya dihempaskan ke udara. Kasurnya morat-marit. Berulang-ulang ia berteriak. Meneriakkan hal yang sama.

"Absurd", begitu kata pengunjung ketika melihat sekilas ke kamar isolasinya. "Cantik-cantik kok sakit jiwa".
Memang, absurd sekali. Gadis secantik dia, harus menghabiskan sisa hidupnya di rumah sakit jiwa ini. Dokter memvonis, meski sudah melakukan terapi jiwa untuk dia, hasilnya tetap saja. Nihil. Aku tidak tahu pasti apa nama gangguan kejiwaan gadis tersebut. Yang aku tahu, dia gila.


***


Aku berjalan menelusuri bangsal. Bertemu sapa dengan petugas kebersihan rumah sakit. Aku berhenti sejenak, lalu Dokter menghampiriku. Katanya aku boleh menemui gadis itu, tapi hanya sebentar saja karena dia sedang "kumat", seraya berbicara kata kumat Dokter menbentuk tangannya dengan simbol kutip. Aku mengerti, apa maksud Dokter ini.
Aku masuk ke dalam kamarnya. Ruangan lembab ini bercat putih, tanpa ada dekorasi lapuk. Ada satu tempat tidur sederhana khas rumah sakit umum lainnya. Gadis itu duduk di salah satu sudut tempat tidur, memegangi selimut sambil menatap lurus ke depan. Tatapan kosong ala orang tidak waras. Aku tersenyum, dia tidak kumat seperti biasanya.
"Halo, Dina. Gimana kabarmu?", aku mencoba untuk menjadi gila, berbicara dengan orang tidak waras.
"Inget aku gak? Maaf ya 3 bulan ini aku gak kesini. Kamu kangen aku gak?", aku mencoba untuk menjadi benar-benar gila, tetapi aku masih kalah gila dengan orang yang ada di depanku.
"Kamuu. Maa. Tii.", dia bergumam. Samar-samar, tapi aku dapat mendengar dengan baik.
"Jangan gitu dong, kamu tau kan aku sapa Din?", aku kembali bertanya dengan pertanyaan yang cukup bodoh.
"Uucan. Pembunuh. Uucan. Iblis.", dia mengangguk-nganggukkan kepala dengan tatapan yang masih kosong. Seolah mengiyakan jawabannya sendiri.
Sungguh, aku ingin tertawa sekencang-kencangnya melihat hal ini. Tapi kutahan, akan kunikmati setiap nafas penderitaannya.


***


Namaku Fauzan. Aku seorang mahasiswa yang mengambil Jurusan Teknologi Informasi di salah satu universitas ternama di Surabaya. Kata teman-teman, aku pintar. Aku pintar menggombal, berpuisi, membuat sajak, atau sekedar menulis cerpen di selembar kertas. Memang, aku suka sastra. Sastra adalah teknologi paling mutakhir yang dimiliki manusia. Menjadi mesin pencetak uang, alat tukar pengganti uang, sekedar omong kosong seni, atau bahkan alat pembunuh. Ah, sepertinya lebih suka menulis sesuatu dengan nuansa gelap, tentang bunuh-membunuh.
"Can, ucaan. Jangan bengong dong. Baksonya dingin nanti."
Lamunanku buyar, sepertinya aku tadi sedang berdialog dengan halusinasi.
"Iya iyaa ceng. Percuma kalo kamu makan, gak bakal naik berat badanmu.", kataku bercanda.
"Ooo mentang-mentang aku kurus gitu. Eh tapi kurusan kamu ding haha.", dia membalas. Setan.
"Eh ceng, nanti malem ada acara gak?"
"Enggak ada, kenapa? Mau apel? Ciyee mau ngapel pacarnya.", dia menggodaku.
"Hahaha. Ciyee yang mau diapel pacarnya", kataku balas menggoda.
"Udah ah, mau ke gedung H1 ada kelas Pak Sukonto. Daah."
"Awas telat, Pak Sukonto suka nyubit mahasiswi yang telat lho."
"Yee yang suka nyubit kan kamu."
"Hahaha.", aku tertawa terpaksa.

Dari kantin kampus, aku melihat dia. Dia bercanda dengan teman-temannya yang juga akan ke kelas Pak Sukonto. Aku tersenyum, ini persis dengan skenario yang ku tulis. Skenario yang penuh dengan coretan darah hitam dan lendir membusuk. Entah kenapa, aku merasa aku memang berperan sebagai Tuhan dalan alur ceritaku. Hanya aku yang merasa. Dan tentu saja, orang lain tidak tahu. Yang mereka tahu, aku hanya mahasiswa aneh dengan rambut tak pernah acak-acakan yang sangat suka membawa sebuah catatan usang dan laptop.
Aku membuka catatanku yang sudah kusam, menuju halaman tengah. Melanjutkan skenario penuh kutukan.
Lagi, aku berhalusinasi. Tanpa sadar, tanganku bergerak cepat. Bolpen dengan tinta yang mau habis itu terasa ringan. Aku menulis secarik di secarik kertas, dengan makna yang bukan aku maksudkan. Tiba-tiba aku tersadar, aku memang menulis tanpa sadar. Aku tidak mengenal tulisan ini. Apa ini? Tulisan ini begitu angkuh, menyombongkan, membuat marah barang siapa yang membaca.
Tapi, ternyata ini tulisan tentang cinta.


***


Jarum pendek jam tangan seperti dipaksa untuk menunjuk angka 6. Mencoba melawan bergantinya tirai langit. Karena jam 7 masih lama, sekitar 60 menit, maka kuputuskan mampir dulu ke mall yang dekat dengan rumahnya untuk membelikan barang kesukaannya, boneka. Setelah parkir sepeda motor di basement, langkahku menuju lantai 2.
Saat mondar-mandir di lantai 2, aku kaget. Organ tubuhku rasanya ingin melepaskan diri dari tubuh penuh maksiat ini. Aku melihat Dina dengan orang lain. Mereka terlihat sangat mesra. Oh, orang itu adalah orang yang pernah mengisi hatinya, sang mantan sialan.
"Ini tidak seperti apa yang aku tulis di skenario terkutuk itu!", aku mengumpat dalam hati.
Rasanya ingin kuhampiri saja mereka. Kubunuh dengan bolpen berkarat ini. Kukorek organ dalam mereka dengan setiap aksara yang aku ciptakan. Tunggu, aku punya rencana, yang lebih sadis lagi.
Kukeluarkan buku catatanku, merubah skenario disetiap aspek sudut pandang. Dari alur cacat berkembang, menjadi alur terorganisir yang rapi tanpa cela. Aku menulis sambil menutupi wajah dengan jaket, agar pengintaian tolol ini tidak ketahuan oleh mereka.
Setelah mereka pergi, aku langsung menuju toko boneka langgananku, melihat-lihat boneka yang mungkin saja ada stok baru. Pandanganku berhenti ke sebuah boneka kecil dengan pisau berlumuran darah di tangan kanan. Rambutnya berwarna pirang, seperti ada bercak merah seperti noda darah. Bajunya compang-camping, tambalan ada dimana-mana. Celananya bukan celana bermerk, dengan bercak merah sama seperti di rambutnya. Sepatunya hitam polos dengan sedikit corak lumpur. Boneka itu menyeringai, khas seorang psikopat. Matanya mendelik. Raut mukanya menandakan kepuasan setelah membunuh. Benar-benar detil yang sempurna. Aku langsung mengambil boneka itu, dan membayar 2 lembar uang berwarna hijau. Boneka itu dibungkus bersama dengan secarik sajak yang secara tidak sadar aku tulis tadi.
Aku langsung menuju basement, menyalakan sepeda motor, menunjukkan karcis parkir, dan pergi dari mall.

Malam itu, jam tujuh kurang 5 menit, aku datang kerumahnya. Kebetulan penghuni rumah sedang pergi semua. Aku meletakkan boneka yang terbungkus rapi dalam kado hitam berpita putih. Dina pasti tau ini kado dariku, karena warna favoritku memang hitam dominan berdamping putih.
Malam itu, aku pulang dengan tawa kemenangan. Bak pahlawan lapangan sepak bola yang telah mencetak gol ke dalam gawangnya sendiri.
Kemudian aku menyalakan laptop, menulis draft yang tak pernah terselesaikan.
Aku meyakinkan diri, cinta itu hanya omong kosong. Kenapa penyair jaman dulu menciptakan kata cinta? Apa itu definisi cinta?
Jatuh cinta itu hanya awal dari sebuah pembodohan diri. Semua orang tahu, seseorang jatuh cinta hanya untuk merasakan patah hati dan cemburu, menjadi pembunuh. Doktrin yang dipaksakan sejak jaman dulu adalah jatuh cinta itu indah. Penyair jaman dulu memang idiot. Benar-benar idiot. Aku muak untuk jatuh cinta.
Jatuh cinta itu tidak indah. Jatuh cinta itu, menyesatkan.
Pikiranku berkecamuk, antara mengiyakan omong kosong itu atau mendukung persepsi sebaliknya.
Dan tak terasa, aku tertidur di depan laptop.


***


Aku terbangun, dengan sambutan 15 misscall. Dari nomernya, aku menebak bahwa yang menelepon adalah mamanya Dina. Aku tersenyum, seperti skenario. Aku segera mandi dan bersiap-siap menuju rumah Dina.
Aku bersandiwara untuk tidak mengerti apa yang terjadi.
"Nak..", mamanya Dina, menyapaku menahan tangis.
"Ada apa Te? Kenapa tadi pagi Tante misscall?", aku berpura-pura.
"Nak Fauzan, kamu liat Dina dikamarnya.", kata beliau menunjuk lantai atas letak kamar Dina.
Aku langsung berlari menahan tawa.
Dan memang benar, dia tewas. Dia tak sadar, tatapannya kosong. Berhalusinasi. Duduk di sudut tempat tidur yang berantakan.
"Din. Dina..", aku memanggilnya dengan senyum palsu. Dia tak menyahut. Dia hanya bergumam tidak jelas.
"Nak, Tante menemukan ini waktu Dina jadi begini..", beliau menyodorkan boneka psikopat itu dengan secarik kertas,
Hooo, ternyata psikopat kecil dan tulisan ini telah berhasil "membunuh" Dina. Sekali lagi, aku menahan tawa. Persis dengan apa yang ada di skenario.
"Ini dari siapa Te? Kenapa Dina jadi begini Te? Kenapa?", akting payahku mengelabui mamanya Dina.
"Enggak tau nak, Dina jadi begini karena apa Tante juga gak tau. Dina..", lagi-lagi beliau menahan tetes air matanya keluar. Rasanya agak bersalah. Tapi peduli apa, aku hanya mementingkan kepuasan dan kemenanganku sendiri. Masa bodoh!
Kubuka tulisan yang tanpa sadar kutulis sendiri itu, kubaca pelan,





Halo sayang, kamu tau?
Aku mencintaimu.
Aku mencintaimu lebih dari kebencianku yang melekat pada kaos kakiku.
Aku tidak membencimu, kok.
Aku hanya muak dengan omong kosong yang diciptakan Tuhan.
Aku tidak muak denganmu, kok.
Sungguh, aku sangat mencintaimu.
Sayang, kamu tau tidak?
Kebencian derajatnya lebih tinggi dari jatuh cinta.
Bukannya aku tidak membencimu, lho.
Aku cuma ingin memastikan, apakah kamu membalas benciku atau tidak.
Kamu cantik kok.
Kamu memang cantik, penuh kepalsuan.
Sayang, kamu tau kebohongan?
Itu salah satu komponen pembentuk omong kosong tadi.
Dan kamu tau gak kenapa Tuhan menciptakan omong kosong ini, yang disebutnya cinta?
Itu karena aku ingin kamu masuk ke dalam ceritaku, lembaran bukuku.
Tapi, ada salah satu tokoh yang nakal.
Dan aku gak suka sama tokoh yang nakal.
Jadi, maaf ya.
Aku membunuhmu, dalam ceritaku.
Maaf.






Aku kembali menahan tawa. Mamanya Dina bodoh, dia mengira yang menulis ini adalah pengagum rahasia Dina, yang patah hati karena cintanya ditolak.
"Aku menang, Dina. Diriku memang busuk!", aku berteriak dalam hati penuh kegirangan.


***


"Maaf mas, jam berkunjung sudah habis.", petugas rumah sakit menegurku.
"Oh, maaf pak. Saya akan segera pulang.", nostalgiaku buyar.
Aku masih merasa, tulisan 2 tahun lalu yang kutulis tanpa sadar memang sinkron dengan skenario yang tiba-tiba ku ubah. Sepertinya aku dikuasai alam bawah sadar, tanpa mimpi.
Tapi, aku memang Tuhan yang menulis skenario itu, bukan Tuhan lain yang memaksa dogma religi dalam satu persepsi.
Aku Tuhan untuk diriku, dalam ceritaku.


Dina memang benar. Aku pembunuh. Aku iblis.
Karakternya kubunuh dalam halaman ceritaku, jiwanya kukosongi demi kesenanganku.
Aku memang psikopat, bersenjata sastra palsu.

TAMAT
 
Semangat suhu :suhu:

Asalkan tidak mengklaim cerita ini sebagai karya sendiri :D

Sesekali bikinlah karya orisinil, ini juga udah bagus koq, sudah mau share cerita yang bagus...

:cendol: meluncur buat agan suhu
 
Gan, ini cerita copas, cz gw blm bisa nulis sendiri,
jadi harap maklum kalo sementara ini gw sharing cerita-cerita copasan dulu ye..

Salken, para suhu..



AKU MEMANG PSIKOPAT
oleh : Argus Panoptes

"Enyah kau, iblis!" gadis itu berteriak.
"Pergi kau ke neraka jahanam! Jangan ganggu aku! Aaaaarrgghhh!!"
Ia berontak, tangannya dihempaskan ke udara. Kasurnya morat-marit. Berulang-ulang ia berteriak. Meneriakkan hal yang sama.

"Absurd", begitu kata pengunjung ketika melihat sekilas ke kamar isolasinya. "Cantik-cantik kok sakit jiwa".
Memang, absurd sekali. Gadis secantik dia, harus menghabiskan sisa hidupnya di rumah sakit jiwa ini. Dokter memvonis, meski sudah melakukan terapi jiwa untuk dia, hasilnya tetap saja. Nihil. Aku tidak tahu pasti apa nama gangguan kejiwaan gadis tersebut. Yang aku tahu, dia gila.


***


Aku berjalan menelusuri bangsal. Bertemu sapa dengan petugas kebersihan rumah sakit. Aku berhenti sejenak, lalu Dokter menghampiriku. Katanya aku boleh menemui gadis itu, tapi hanya sebentar saja karena dia sedang "kumat", seraya berbicara kata kumat Dokter menbentuk tangannya dengan simbol kutip. Aku mengerti, apa maksud Dokter ini.
Aku masuk ke dalam kamarnya. Ruangan lembab ini bercat putih, tanpa ada dekorasi lapuk. Ada satu tempat tidur sederhana khas rumah sakit umum lainnya. Gadis itu duduk di salah satu sudut tempat tidur, memegangi selimut sambil menatap lurus ke depan. Tatapan kosong ala orang tidak waras. Aku tersenyum, dia tidak kumat seperti biasanya.
"Halo, Dina. Gimana kabarmu?", aku mencoba untuk menjadi gila, berbicara dengan orang tidak waras.
"Inget aku gak? Maaf ya 3 bulan ini aku gak kesini. Kamu kangen aku gak?", aku mencoba untuk menjadi benar-benar gila, tetapi aku masih kalah gila dengan orang yang ada di depanku.
"Kamuu. Maa. Tii.", dia bergumam. Samar-samar, tapi aku dapat mendengar dengan baik.
"Jangan gitu dong, kamu tau kan aku sapa Din?", aku kembali bertanya dengan pertanyaan yang cukup bodoh.
"Uucan. Pembunuh. Uucan. Iblis.", dia mengangguk-nganggukkan kepala dengan tatapan yang masih kosong. Seolah mengiyakan jawabannya sendiri.
Sungguh, aku ingin tertawa sekencang-kencangnya melihat hal ini. Tapi kutahan, akan kunikmati setiap nafas penderitaannya.


***


Namaku Fauzan. Aku seorang mahasiswa yang mengambil Jurusan Teknologi Informasi di salah satu universitas ternama di Surabaya. Kata teman-teman, aku pintar. Aku pintar menggombal, berpuisi, membuat sajak, atau sekedar menulis cerpen di selembar kertas. Memang, aku suka sastra. Sastra adalah teknologi paling mutakhir yang dimiliki manusia. Menjadi mesin pencetak uang, alat tukar pengganti uang, sekedar omong kosong seni, atau bahkan alat pembunuh. Ah, sepertinya lebih suka menulis sesuatu dengan nuansa gelap, tentang bunuh-membunuh.
"Can, ucaan. Jangan bengong dong. Baksonya dingin nanti."
Lamunanku buyar, sepertinya aku tadi sedang berdialog dengan halusinasi.
"Iya iyaa ceng. Percuma kalo kamu makan, gak bakal naik berat badanmu.", kataku bercanda.
"Ooo mentang-mentang aku kurus gitu. Eh tapi kurusan kamu ding haha.", dia membalas. Setan.
"Eh ceng, nanti malem ada acara gak?"
"Enggak ada, kenapa? Mau apel? Ciyee mau ngapel pacarnya.", dia menggodaku.
"Hahaha. Ciyee yang mau diapel pacarnya", kataku balas menggoda.
"Udah ah, mau ke gedung H1 ada kelas Pak Sukonto. Daah."
"Awas telat, Pak Sukonto suka nyubit mahasiswi yang telat lho."
"Yee yang suka nyubit kan kamu."
"Hahaha.", aku tertawa terpaksa.

Dari kantin kampus, aku melihat dia. Dia bercanda dengan teman-temannya yang juga akan ke kelas Pak Sukonto. Aku tersenyum, ini persis dengan skenario yang ku tulis. Skenario yang penuh dengan coretan darah hitam dan lendir membusuk. Entah kenapa, aku merasa aku memang berperan sebagai Tuhan dalan alur ceritaku. Hanya aku yang merasa. Dan tentu saja, orang lain tidak tahu. Yang mereka tahu, aku hanya mahasiswa aneh dengan rambut tak pernah acak-acakan yang sangat suka membawa sebuah catatan usang dan laptop.
Aku membuka catatanku yang sudah kusam, menuju halaman tengah. Melanjutkan skenario penuh kutukan.
Lagi, aku berhalusinasi. Tanpa sadar, tanganku bergerak cepat. Bolpen dengan tinta yang mau habis itu terasa ringan. Aku menulis secarik di secarik kertas, dengan makna yang bukan aku maksudkan. Tiba-tiba aku tersadar, aku memang menulis tanpa sadar. Aku tidak mengenal tulisan ini. Apa ini? Tulisan ini begitu angkuh, menyombongkan, membuat marah barang siapa yang membaca.
Tapi, ternyata ini tulisan tentang cinta.


***


Jarum pendek jam tangan seperti dipaksa untuk menunjuk angka 6. Mencoba melawan bergantinya tirai langit. Karena jam 7 masih lama, sekitar 60 menit, maka kuputuskan mampir dulu ke mall yang dekat dengan rumahnya untuk membelikan barang kesukaannya, boneka. Setelah parkir sepeda motor di basement, langkahku menuju lantai 2.
Saat mondar-mandir di lantai 2, aku kaget. Organ tubuhku rasanya ingin melepaskan diri dari tubuh penuh maksiat ini. Aku melihat Dina dengan orang lain. Mereka terlihat sangat mesra. Oh, orang itu adalah orang yang pernah mengisi hatinya, sang mantan sialan.
"Ini tidak seperti apa yang aku tulis di skenario terkutuk itu!", aku mengumpat dalam hati.
Rasanya ingin kuhampiri saja mereka. Kubunuh dengan bolpen berkarat ini. Kukorek organ dalam mereka dengan setiap aksara yang aku ciptakan. Tunggu, aku punya rencana, yang lebih sadis lagi.
Kukeluarkan buku catatanku, merubah skenario disetiap aspek sudut pandang. Dari alur cacat berkembang, menjadi alur terorganisir yang rapi tanpa cela. Aku menulis sambil menutupi wajah dengan jaket, agar pengintaian tolol ini tidak ketahuan oleh mereka.
Setelah mereka pergi, aku langsung menuju toko boneka langgananku, melihat-lihat boneka yang mungkin saja ada stok baru. Pandanganku berhenti ke sebuah boneka kecil dengan pisau berlumuran darah di tangan kanan. Rambutnya berwarna pirang, seperti ada bercak merah seperti noda darah. Bajunya compang-camping, tambalan ada dimana-mana. Celananya bukan celana bermerk, dengan bercak merah sama seperti di rambutnya. Sepatunya hitam polos dengan sedikit corak lumpur. Boneka itu menyeringai, khas seorang psikopat. Matanya mendelik. Raut mukanya menandakan kepuasan setelah membunuh. Benar-benar detil yang sempurna. Aku langsung mengambil boneka itu, dan membayar 2 lembar uang berwarna hijau. Boneka itu dibungkus bersama dengan secarik sajak yang secara tidak sadar aku tulis tadi.
Aku langsung menuju basement, menyalakan sepeda motor, menunjukkan karcis parkir, dan pergi dari mall.

Malam itu, jam tujuh kurang 5 menit, aku datang kerumahnya. Kebetulan penghuni rumah sedang pergi semua. Aku meletakkan boneka yang terbungkus rapi dalam kado hitam berpita putih. Dina pasti tau ini kado dariku, karena warna favoritku memang hitam dominan berdamping putih.
Malam itu, aku pulang dengan tawa kemenangan. Bak pahlawan lapangan sepak bola yang telah mencetak gol ke dalam gawangnya sendiri.
Kemudian aku menyalakan laptop, menulis draft yang tak pernah terselesaikan.
Aku meyakinkan diri, cinta itu hanya omong kosong. Kenapa penyair jaman dulu menciptakan kata cinta? Apa itu definisi cinta?
Jatuh cinta itu hanya awal dari sebuah pembodohan diri. Semua orang tahu, seseorang jatuh cinta hanya untuk merasakan patah hati dan cemburu, menjadi pembunuh. Doktrin yang dipaksakan sejak jaman dulu adalah jatuh cinta itu indah. Penyair jaman dulu memang idiot. Benar-benar idiot. Aku muak untuk jatuh cinta.
Jatuh cinta itu tidak indah. Jatuh cinta itu, menyesatkan.
Pikiranku berkecamuk, antara mengiyakan omong kosong itu atau mendukung persepsi sebaliknya.
Dan tak terasa, aku tertidur di depan laptop.


***


Aku terbangun, dengan sambutan 15 misscall. Dari nomernya, aku menebak bahwa yang menelepon adalah mamanya Dina. Aku tersenyum, seperti skenario. Aku segera mandi dan bersiap-siap menuju rumah Dina.
Aku bersandiwara untuk tidak mengerti apa yang terjadi.
"Nak..", mamanya Dina, menyapaku menahan tangis.
"Ada apa Te? Kenapa tadi pagi Tante misscall?", aku berpura-pura.
"Nak Fauzan, kamu liat Dina dikamarnya.", kata beliau menunjuk lantai atas letak kamar Dina.
Aku langsung berlari menahan tawa.
Dan memang benar, dia tewas. Dia tak sadar, tatapannya kosong. Berhalusinasi. Duduk di sudut tempat tidur yang berantakan.
"Din. Dina..", aku memanggilnya dengan senyum palsu. Dia tak menyahut. Dia hanya bergumam tidak jelas.
"Nak, Tante menemukan ini waktu Dina jadi begini..", beliau menyodorkan boneka psikopat itu dengan secarik kertas,
Hooo, ternyata psikopat kecil dan tulisan ini telah berhasil "membunuh" Dina. Sekali lagi, aku menahan tawa. Persis dengan apa yang ada di skenario.
"Ini dari siapa Te? Kenapa Dina jadi begini Te? Kenapa?", akting payahku mengelabui mamanya Dina.
"Enggak tau nak, Dina jadi begini karena apa Tante juga gak tau. Dina..", lagi-lagi beliau menahan tetes air matanya keluar. Rasanya agak bersalah. Tapi peduli apa, aku hanya mementingkan kepuasan dan kemenanganku sendiri. Masa bodoh!
Kubuka tulisan yang tanpa sadar kutulis sendiri itu, kubaca pelan,





Halo sayang, kamu tau?
Aku mencintaimu.
Aku mencintaimu lebih dari kebencianku yang melekat pada kaos kakiku.
Aku tidak membencimu, kok.
Aku hanya muak dengan omong kosong yang diciptakan Tuhan.
Aku tidak muak denganmu, kok.
Sungguh, aku sangat mencintaimu.
Sayang, kamu tau tidak?
Kebencian derajatnya lebih tinggi dari jatuh cinta.
Bukannya aku tidak membencimu, lho.
Aku cuma ingin memastikan, apakah kamu membalas benciku atau tidak.
Kamu cantik kok.
Kamu memang cantik, penuh kepalsuan.
Sayang, kamu tau kebohongan?
Itu salah satu komponen pembentuk omong kosong tadi.
Dan kamu tau gak kenapa Tuhan menciptakan omong kosong ini, yang disebutnya cinta?
Itu karena aku ingin kamu masuk ke dalam ceritaku, lembaran bukuku.
Tapi, ada salah satu tokoh yang nakal.
Dan aku gak suka sama tokoh yang nakal.
Jadi, maaf ya.
Aku membunuhmu, dalam ceritaku.
Maaf.






Aku kembali menahan tawa. Mamanya Dina bodoh, dia mengira yang menulis ini adalah pengagum rahasia Dina, yang patah hati karena cintanya ditolak.
"Aku menang, Dina. Diriku memang busuk!", aku berteriak dalam hati penuh kegirangan.


***


"Maaf mas, jam berkunjung sudah habis.", petugas rumah sakit menegurku.
"Oh, maaf pak. Saya akan segera pulang.", nostalgiaku buyar.
Aku masih merasa, tulisan 2 tahun lalu yang kutulis tanpa sadar memang sinkron dengan skenario yang tiba-tiba ku ubah. Sepertinya aku dikuasai alam bawah sadar, tanpa mimpi.
Tapi, aku memang Tuhan yang menulis skenario itu, bukan Tuhan lain yang memaksa dogma religi dalam satu persepsi.
Aku Tuhan untuk diriku, dalam ceritaku.


Dina memang benar. Aku pembunuh. Aku iblis.
Karakternya kubunuh dalam halaman ceritaku, jiwanya kukosongi demi kesenanganku.
Aku memang psikopat, bersenjata sastra palsu.

TAMAT
lieur euy bacana kagak ngarti
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Cerita nya bagus,cma agak sedikit susah dimengerti,mantap Hu...
Thanks udh copas n share cerita nya
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd