Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bimabet
As expected dari juara 2 lomba LKCTP 2018, sang penulis Ritual yang punya penyampaian cerita yang seru dan keren,
semoga ceritanya bisa mendunia ya suhu...

oya, friendly opinion nih,
dikerenin lagi sex scene nya dong biar tambah greget, jadi penikmat cerita bener2 menikmati, walau dengan perasaan bersalah...
 
wah gila ini cerita nya niat juga ya haha

Sebenernya ini hitungannya masih iseng sih, Hu. Hahaha. Gak pake mikir nulisnya
Gambarnya juga sekedar jadi. Terutama pas ngewarnain, pake cara coloring softshading yg paling gampang


As expected dari juara 2 lomba LKCTP 2018, sang penulis Ritual yang punya penyampaian cerita yang seru dan keren,
semoga ceritanya bisa mendunia ya suhu...

oya, friendly opinion nih,
dikerenin lagi sex scene nya dong biar tambah greget, jadi penikmat cerita bener2 menikmati, walau dengan perasaan bersalah...

Wah tq om... next bakal dibikinnlbh greget
 
keren banget ini hu!
jarang" ada cerbung temanya begini
tokoh laila sama esa cute bgt ditunggu updatenya
 
Vn0VVnn2_o.png


Pintu besi setinggi dua meter menghalangi jalan kami. Bentuknya seperti pintu lift, tak ada grendel atau apapun yang bisa digunakan sebagai pegangan. Di depannya ada semacam podium dengan warna silver yang sama dengan pintu itu.

“Ini apa?” Esa keheranan.

Aku dorong leherku demi melihat sebuah cekungan bulat di tengah podium.

“Eh? Jangan-jangan...,” walau hanya dugaan saja, tapi tak ada salahnya dicoba, “Esa! Coba pasang Buah Terlarangnya di sana!”

Anak itu mengeluarkan bola kristal merah dari kantung kafan yang dibuatnya menggunakan sisa kain kembenku. Mengerti maksudku, dia meletakan benda tersebut di dalam cekungan podium. Ukurannya sangat pas, membuatku semakin yakin memang seharusnya ini dilakukan.

Permukaan kristal tiba-tiba berkedip sebanyak lima kali, lalu tertelan ke dalam podium. Tiba-tiba beberapa bagian podium terbuka, lalu berputar dan diikuti bagian lainnya seperti sebuah rubik.

Sambil terus bertransformasi, benda itu bergerak mendekati pintu besi dan akhirnya membentuk sebuah ukiran pria berjanggut sedang menunjuk sesuatu dan orang-orang yang berusaha memeluknya. Formasi ukiran itu menempel pada sisi kanan pintu, namun sisi kanannya kosong.

Kuseimbangkan badanku yang lunglai saking terkejutnya, tanganku menutup mulut yang menganga. Esa juga terbelalak melihat ukiran itu. Terang saja, kurasa tak ada yang tak pernah melihat itu sebelumnya. Walau mungkin ada orang yang tak tahu namanya, tapi mereka pasti pernah melihat bentuknya satu atau dua kali.

8GyZhBqE_o.jpg

“M-mbak… I-itu…”

Aku menelan ludah, “Ndak salah lagi, ini… The Creation of Adam…”

Esa mendekati pintu dengan ragu, dia melirik meminta konfirmasi dariku. Aku hanya mengangguk meyakinkan. Satu-satunya yang kurang dari ukiran itu adalah sang Adam, kurasa kami diminta untuk melengkapinya. Esa duduk menghadap ke ukiran itu dan menyentuh ujung jari patung dengan telunjuknya. Membuatnya jadi bagian yang hilang dari lukisan karya Michelangelo itu.

“ADAM NOMOR 13 DIKONFIRMASI, SILAHKAN MENGAMBIL HARTA KALIAN!”

Harta? Permainan ini ada hadiahnya? Tapi yang kami inginkan hanyalah pulang ke rumah!

Pintu besi nan kokoh itu bergetar, perlahan bergeser dan menunjukan ruangan dengan tembok metalik mengkilap bak cermin. Di tengahnya ada podium yang identik dengan sebelumnya, Buah Terlarang kami juga ada di sana.

Huh?

Setengah berlari aku mendekati podium itu ketika melihat sesuatu memendarkan sinar dari Buah Terlarang. Ini kacamata yang diberikan kedua adikku tak lama setelah kedua orang tua kami meninggal. Kupikir aku sudah lama menghilangkannya. Kenapa mereka bisa memilikinya? Kukucek mataku yang begitu lelah karena melihat tanpa kacamata selama ini. Sedikit lega sebenarnya.

Esa juga sepertinya mendapatkan hadiah yang sangat berarti baginya. Kulihat dia membekap sebuah sapu tangan berwarna pink.

“Itu dari siapa?” tanyaku, berusaha memastikan apakah benda itu juga merupakan memento dari orang terkasihnya.

“Dari mbak ku…,” ujarnya lirih.

Mengkonfirmasi teoriku bahwa “harta” yang dimaksud adalah memento dari orang yang disayanginya. Kurasa tiap peserta yang lolos stage pertama mendapatkannya.

“Uh? Eh? Mbak Laila pakai kaca?”

Esa seperti terkejut ketika melihat penampilanku yang mengenakan kacamata.

“Eh? Iya, mbak aslinya mata silinder sama rabun jauh, jadi kalo ndak pakai kaca lama-lama bakal pusing, kenapa?”

“Enggak apa-apa, cuma Mbak Laila rasanya jadi mirip mbakku…”

Keningku mengkerut, apa anak ini punya tendensi Sister Complex?

BIP… BIP…

Buah Terlarang tiba-tiba berkedip, diikuti microchip di leher kami. Pintu besi yang tertutup cepat mengagetkanku. Kami terkurung!

Lampu yang menerangi ruangan mendadak mati, kini hanya cahaya merah dari Buah Terlarang yang menjadi alat bantu kami untuk melihat dalam gelap.

“MENGKALIBRASIKAN ADAM.”

BIP… BIP…

“Auhhh!”

Lenguhan Esa diikuti suara gedebuk keras terdengar. Dari lampu kecil di microchipnya sepertinya dia jatuh dan meronta-ronta di samping kakiku.

“ESA! KAMU KENAPA?!” jeritku panik.

“MENGKALIBRASIKAN EVE.”

Eh? Punggungku seperti digelitiki, tapi semakin lama, perasaan geli itu berubah jadi sengatan-sengatan kecil bak ditusuk jarum. Semakin intens, menjalar dari tengkuk melalui tulang belakangku.

“Ahhh!!!! Aaaahh!!!”

Aku menjerit sejadi-jadinya, tak kuasa mengontrol otot-ototku lagi hingga jatuh tertelungkup ke lantai. Gundukan muluk di buah dada dan labia majorku berkedut. Putingku yang setengahnya tersembunyi dalam lipatan areola terasa dibor oleh jarum kecil. Klitoris dan bibir vaginaku bak dicubit-cubit keras, perih! Bisa kurasakan liang senggama, urethra dan anusku membuka dan menutup tak terkendali.

Kutarik kancutku dan menjepit liang peranakanku, berusaha menghentikan perih dan panas di kemaluanku. Sementara Esa terus mengocok penisnya yang tegang. Wajahnya ketakutan dan panik, menatap batang kejantanannya yang secara tak natural membengkak.

“Ouhhh!”

Aku merasakan keram di rahimku, sangat sakit rasanya. Tamu bulanan?! Harusnya ini bukan jadwalnya!

“Ugh!!!”

Lagi?! Aku meringkuk seperti bayi di sisi Esa. Kepalaku bersandar di bahunya yang berguncang hebat karena terus mengocok kontolnya.

Uh?! Getaran-getaran di bawah pusarku tak berhenti juga. Rasanya seperti anyang-anyangan, tapi makin lama terasa makin penuh. Aku mulai panik ketika menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Jadi ini yang Esa alami? Penis bengkak tak natural itu, rahimku yang juga ikut membengkak.

Kalibrasi dari kristal itu entah bagaimana memaksa hormon kami memproduksi sperma juga sel telur dalam jumlah besar, dan kini saluran untuk mengeluarkannya tersumbat. Esa mengocok penisnya dengan brutal agar sperma yang sudah tertampung keluar.

Tanganku menyibak kancut di selangkangan dan langsung mencelupkan jari tengahku, berusaha meraih pintu rahimku namun tak berhasil. Jari telunjukku menyusul ke dalam liang senggamaku, membuka kemaluanku lebar-lebar dengan harapan lubang rahimku juga terbuka.

Aku sudah putus asa, jika tak keluar juga bisa-bisa perut kami meletus! Satu-satunya cara yang tersisa hanya melakukan apa yang dilakukan Esa. Onani sekuat-kuatnya!

Badanku dan Esa berdempetan, bermasturbasi secara liar dan brutal. Ketika tanganku mulai pegal mengaduk memekku ke segala arah, tetesan lengket jatuh tepat di punggung tangan kiriku.

Aku melirik penis Esa, buih terlihat di ujungnya. Dia keluar! Cara ini berhasil! Itu membuatku termotivasi dan mengocok daging tembem itu lebih cepat. Aku menyentuh sesuatu, itu dinding rahimku, tampaknya terdorong dan mulai basah karena cairannya keluar. Aku berhasil!!!

“Guhhh!!! Mbak Laila!!! Aku mau keluar!!” jerit Esa, buih di kepala kontolnya semakin banyak dan cairan-cairan yang tertembak sudah bagai gerimis kecil.

“Mbak juga!!! Esaaa!!! Esaa!!!”

CPROOOTT!!”

“Gyaaaahhhh!!!”

“Guuuuhhhh!!!”

Cairan yang terbendung di kemaluan kami berdua akhirnya menembak keluar. Tubuh terasa ditindih gaya gravitasi yang semakin besar.

Kuremas tangan Esa yang licin karena tangan kami masih belepotan cairan reproduksi. Tak ada yang normal dari ini semua. Cairan kewanitaanku yang biasanya bening dan sedikit cair, kini menjadi sangat kental dan putih pekat seperti susu. Esa pun sama.

Cairan lengket membasahi pahaku. Walau sudah sekitar satu menit berlalu, tapi benih kami yang kental masih terus keluar. Aku sudah pasrah, tak bisa lagi mengontrol orgasme ini. Mataku berkunang-kunang tapi masih berusaha untuk sadar. Air mata masih menggenang di pelipis kami. Aku menatap Esa dengan napas terengah, keringat membasahi tubuh kami. Terang saja, ini mungkin masturbasi paling intens yang pernah dilakukan manusia.

“KALIBRASI BERHASIL!!”

Tiga menit kemudian semuanya berhenti. Mulai dari pinggul kebawah seperti mati rasa.

“Kayaknya udah keluar semua, Sa…,” bisikku lemas.

Kami sudah tak ada tenaga untuk sekedar bergeser apalagi berdiri. Kepalaku menandar di lengan Esa, menatap langit-langit kamar gelap gulita itu.

“Mbak… Seandainya kita bisa kabur dari sini, apa aku bisa ketemu sama Mbak Laila lagi?”

Aku tersenyum dan menangguk, “Pasti…”

“Tapi gimana kalau kita kalah dan mati di sini?”

Kubenarkan posisi kacamata yang bertengger di pangkal hidungku, “kita ndak akan mati! Soalnya mbak mau kasi pelajaran ke orang yang nyulik kita!”

Aku menatap sudut kamar. Walau tak ada siapa-siapa, walau gelap, tapi aku yakin siapapun dalang dari ini semua pasti sedang mengawasi.

“KAU DENGAR ITU?! AKU PASTI AKAN MENGHAJARMU!” teriakku lantang.

“YA!! KAMI AKAN MENGHAJARMU!!!” tambah Esa.

Kami berdua tertawa. Hal-hal kecil seperti ini yang mengalihkan perhatian kami dari segala ketakutan terhadap apa yang akan terjadi. Tentu saja aku takut, sangat takut malah! Tapi ancamanku barusan bukanlah gertak sambal. Aku benar-benar ingin tahu siapa pelakunya, apa motifnya. Mungkin aku seorang yang mesum dan nista, tapi aku masih menjunjung tinggi nyawa manusia. Aku mengutuk siapapun yang bermain-main dengannya! Kamar itu menjadi saksi akan tekad kami berdua untuk keluar dari permainan terkutuk ini.

Lelah, ngantuk, pegal. Kami hanya bisa berbaring di lantai yang basah dengan cairan tubuh kami. Kelopak mata terasa makin berat. Kantuk ini sudah tak tertahankan. Dan pada akhirnya, aku tertidur di tangan Esa.

****​

“Eh?”

Mataku terbelalak ketika melihat langit-langit kamar kami berubah kusam. Kami sudah tidak ada di kamar cermin lagi! Meja, genangan lendir, semuanya hilang, menyisakan Buah Terlarang yang tergeletak di samping kakiku.

“Esa… Bangun!” pipi tembem bocah itu kutepuk-tepuk sampai tersadar.

Esa hanya melongo ketika terbangun melihat ke arah tembok yang sudah jebol di depan kami. Menyajikan pemandangan indah ala dunia game zombie post-apokaliptik. Mengagumkan namun di saat yang bersamaan, menakutkan.

SNW7mEhQ_o.jpg

Saat ini kami berada di struktur bangunan yang sepertinya gedung perkantoran, namun beberapa tembok sudah jebol. Alam juga tampak telah mengambil alih sebagian bangunan ini, akar-akar pohon merambat di tembok, dan langit-langit. Lantai yang pecah-pecah ditumbuhi rerumputan tak terawat.

Angin bertiup ke arah kami, membuat rambut biru beningku yang dikepang satu menari-nari.

“Itu tadi… Angin?” gumamku tak percaya.

“Kita… Kita udah ada di luar?”

Esa berjalan lemas mendekati tembok jebol di depan kami, membiarkan cahaya menyinari tangannya.

“Hangat… Ini sinar matahari!”

“Sa, ini Buah Terlarangnya simpan dulu!”

Kuberikan bola merah itu kepada Esa, tapi ketika tangan kami berdua menyentuhnya, Buah Terlarang bersinar.

“STAGE DUA DIMULAI! DAPATKAN BUAH TERLARANG PEMAIN LAIN!”

Jantungku seperti diperas mendadak, mata kami terbelalak mendengar objektif yang harus kami lakukan di stage ini.

“TARGET : NOMOR TUJUH!”

Apa yang kutakutkan kini terjadi. Aku sudah terlalu banyak baca novel atau nonton film dengan skenario serupa. SAW, Hunger Games, Cabin In The Woods, aku tahu mereka hanya fiksi, tapi tetap saja mempengaruhi pikiranku.

“Nomor tujuh itu maksudnya..?” Esa menatapku heran.

“Simpan Buah Terlarangnya, Sa! Kayaknya stage ini nyuruh semua peserta untuk saling rebutan itu!”

Tanpa ragu anak itu menuruti kata-kataku, memasukan bola sekepalan tangan itu ke salah satu kantung tas kain kecil yang menggantung di sabuk rumputnya.

Reruntuhan gedung itu tampak makin jauh di belakang kami. Langkah kakiku dan Esa menapaki jalan raya yang sebagiannya hacur dan disusupi akar pohon. Kami berjalan dengan kewaspadaan penuh, menggenggam erat ranting tebal di depan dada sebagai senjata.

“Mbak Laila… Itu bukannya Indomaret?!”

Mataku tertuju pada apa yang ditunjuk Esa, “E-eh? Jadi ini masih di Indonesia? Apa yang terjadi sebenarnya?”

Kami memasuki reruntuhan Indomaret, melewati akar-akar dan pohon yang tumbuh di parkiran dengan harapan bisa memperoleh pasokan makanan. Tak ada apa-apa di bagian kasir ataupun rak-rak didepan, namun bagian belakangnya rak didempet-dempetkan membentuk sebuah barikade tak natural.

“Mbak! Awas!!”.

Esa berteriak, namun aku tak sempat merespon, sesuatu menabrak punggungku lalu menahanku ke tanah. Kurasakan ada yang menggesek belahan pantatku, seperti penis.

“Uhhh!! Malaikat cabul itu lagi?”

Aku mengerang saat apapapun yang menduduki pantatku, namun dia memelintir tanganku dan menguncinya di punggungku. Napasku terasa sesak karena sepasang pepaya milikku tergencet dengan kuat.

“Menyingkir darinya!”

Kuputar kepalaku, bisa kulihat Esa berusaha melawan namun usahanya sia-sia.

“Wulan, sekarang!”

Aku bisa melihat bayangan orang lain melemparkan sesuatu pada Esa, tak berapa lama anak itupun jatuh di sampingku. Tangannya menempel di perut dalam posisi yang tak nyaman, terlilit kain kafan yang ujungnya diikatkan sebuah batu. Menjadikannya tali pengait yang cukup efektif.

“A-apa mau kalian?!”

Suaraku bergetar karena takut.

“Sinyalnya gak nyala!” teriak yang perempuan.

“Coba kau periksa nomornya!”

Suara yang pernah kudengar sebelumnya, tampaknya yang menindihku adalah seorang pria. Dia menginstruksikan orang yang dipanggilnya Wulan untuk memeriksa Esa.

Wulan… Wulan… Aku tahu ada salah seorang EVE yang bernama Wulan, tapi dalam tekanan seperti ini aku tak bisa berpikir jernih untuk mengingatnya.

Mataku melirik tajam, sampai akhirnya bisa kulihat wanita bernama Wulan yang kini menggerayangi leher Esa. Itu si perawat yang kulihat di aula putih! Berarti laki-laki di atasku ini adalah Hendra si pengacara? Tak heran aku mengenali suaranya, dia cukup proaktif untuk menenangkan peserta lain, atau mengkonfrontasi Raka saat memperkosa mayat.

“ADAM NOMOR TIGA BELAS, ESA PRAYOGA, MAHASISWA, FETISH : TIDAK ADA!”

Huh? Apa-apaan itu tadi? Microchip ini memberikan data kami?

“Wah… Salah ya?”

Bekapan Hendra mulai melemah, dengan sekuat tenaga kudorong lantai sehingga punggungku terangkat. Membuat lelaki itu terjungkal dari bokongku. Seperti kesetanan kutendang perut Wulan agar menjauh dari Esa. Tanganku yang gemetaran membentang lebar berusaha menghalau apapun yang akan menyentuh tubuh anak itu.

Mungkin karena Esa mengingatkan diriku pada adik-adikku di rumah. Mungkin karena telah cukup lama kami hidup sebagai yatim piatu, menjadikanku wali mereka juga satu-satunya yang bisa melindungi mereka dari bahaya. Itu membuatku seolah-olah memiliki maternal instinct terhadap adik-adikku, dan kini juga terhadap Esa.

“Tunggu, ada kesalah pahaman disini, maafkan kami!” ujar Hendra menenangkan.

“Kami kira kalian target kami, ternyata bukan, maaf banget ya!”

Hendra dan Wulan mencakupkan tangannya dan memohon maaf.

Laki-laki berambut hitam itu mendekat pelan sambil mengangkat kedua telapak tangannya di depan dada, memberi isyarat agar aku mau tenang.

“Aku Hendra dan ini Wulan, kami ADAM dan EVE nomor empat!”

“Biar aku lepasin dulu iketannya dia!” tambah Wulan sigap.

Wulan beranjak dan mendekati Esa. Aku mengawasinya melepas lilitan kain kafan itu dengan waspada. Esa duduk sambil memegangi belakang kepalanya.

“Esa ndak apa-apa?”

“Nggak apa-apa, Mbak…”

Gemuruh dari lambung Esa terdengar. Tentu saja, makanan terakhir kami hanya beberapa butir tomat di stage pertama.

Hendra dan Wulan tersenyum lalu berdiri lalu mengambil sesuatu dari barikade rak di sudut ruangan. Itu makanan!

****​

Daging kemerahan dalam kaleng kornet itu kusekop dengan sendok plastik. Rasanya tentu saja agak menjijikan, karena biasanya daging kornet begini selalu kumasak dulu, tapi sekarang kami tak punya pilihan. Masing-masing dari kami makan satu kaleng, duduk di akar dua pohon besar yang tumbuh di dalam toko.

Aku melirik pasangan di depan kami. Hendra dan Wulan sepertinya orang baik, mereka bahkan membagi stok makanan yang mereka miliki. Hendra punya figur yang proporsional, wajahnya cukup tampan dengan mata sipit dan tajam namun murah senyum sehingga terlihat berwibawa. Sementara Wulan membawa vibe kembang desa yang anggun, namun ramah dan ceria. Mereka tak ragu tertawa lepas bersama, bersenda gurau. Tapi aku yakin, ada harga yang harus kami bayar untuk makanan ini.

Kulihat kain yang melilit lengan kiri Hendra, ada noda darah membasahinya.

“Oh ini? Tadi kami diserang pasangan lain, sepertinya Buah Terlarangku adalah targetnya.” Terang Hendra ketika sadar kuperhatikan.

“Si-siapa?” tanyaku pelan.

“ADAM nomor tujuh!”

“Aahhh!!”

“Kenapa?” tanya Hendra curiga ketika aku dan Esa tersentak berbarengan.

“Engg…. Itu… Sebenarnya target kami yang nomor tujuh.”

EVE dan ADAM nomor empat itu menghentikan makan siangnya. Wajah mereka mendadak serius menatap kami berdua.

“Kalian apes banget ya…” gumam Wulan miris.

“Eh, kenapa?”

“Kau udah pernah ketemu sama nomor tujuh?”

“ADAM-nya Markus Lusi Wangge, 33 tahun, pekerjaannya pedagang hewan ternak, kalau EVE-nya Intan Sasmita, 20 tahun, pekerjaannya guru TK.”

Bagaimana aku melontarkan informasi seperti robot itu terang membuat tiga orang lainnya melihatku dengan tatapan aneh.

“Ahhh! Anu… Itu… Se-sebenarnya aku bisa cepat menangkap dan mengingat informasi berbentuk tulisan, ini semacam edietic memory…”

Hendra menatap mataku tajam, “Kalau begitu kamu tahu kecenderungannya?”

“Huh? Kecenderungan maksudnya?”

Aku tak begitu mengerti apa maksud pria berambut hitam itu, sampai akhirnya Wulan menginstruksikanku untuk menekan kristal yang berada di tengkukku.

“EVE NOMOR TIGA BELAS, LAILA PRAMESWARI, PENULIS, FETISH : EXHIBITIONISM, FROTTEURISM, PEDOPHILIA-“

“WAAAAH!!!!! LALALALA! WALALALA WALALALA!”

Kata-kata sulit terus terdengar dari kristal itu, cukup untuk membuat tiga orang dihadapanku melongo takjub. Wajahku memerah seperti udang rebus, berteriak tak jelas berusaha menutupi suara mesin yang menyebutkan kata-kata yang bahkan tak kuketahui artinya.

Lagian, kenapa pedofilia?! Tentu aku memang suka anak-anak, tapi aku tak pernah mencabuli mereka! Kristal ini ngawur! Rasanya ingin melompat dari jembatan dan mati supaya tak hidup menanggung malu.

“Hahaha! No problem kok, Laila!” Wulan tersenyum padaku lalu menekan kristal miliknya. Hendra juga melakukan hal yang sama.

“EVE NOMOR EMPAT, WULAN KEMALA, PERAWAT, FETISH : KLISMAPHILIA.”

“ADAM NOMOR EMPAT, HENDRA SUHERMAN, PENGACARA, FETISH : SOMNOPHILIA.”


Aku tak tahu apa arti dari dua fetish itu, tapi sepertinya Hendra dan Wulan sudah berhasil menerima diri mereka apa adanya.

“Gampangnya, Hendra suka lihat lawan jenis lagi tidur, kalo aku… Ehm,” penjelasan Wulan sempat terhenti, sepertinya dia juga masih menyimpan sedikit rasa malu, “kalo aku gampangnya itu suka nyuntik!”

Aku meringis mendengar penjelasan wanita langsing itu. Fetishnya cukup wajar, bukan sesuatu yang ekstrim. Apalagi Wulan memang seorang perawat, tentu saja dia harus menyuntik orang! Dibandingkan aku, jika semua orang menganggapku pedofil sudah jelas aku akan dimasukan ke penjara!

“Ehem! Kalau Kak Hendra dan Kak Wulan, targetnya siapa?”

Cukup peka sepertinya ADAM-ku yang satu ini untuk meluruskan topik ketika melihatku mulai tak nyaman.

“Jujur saja kami juga tidak tahu siapa mereka, yang jelas target kami adalah nomor sepuluh!” terang Hendra.

“Hmmm… Tadi kamu bilang punya eidetic memory kan, La? Kamu ingat nomor sepuluh itu siapa?”

“Mungkin… Kalau nda salah namanya Wahyu sama Maria, keduanya masih kuliah.”

“Kalau kecenderungannya?”

Aku heran dengan Hendra, kecenderungan yang dimaksud adalah penyimpangan seksualnya, kan? Apa hubungannya penyimpangan seksual mereka dengan ini semua?

“Uhh… Anu, Hendra… Boleh aku tahu kenapa kamu khawatir banget sama kecenderungan orang lain?”

Napas panjang berhembus dari hidung lelaki itu, sementara Wulan menunduk sambil memeluk badannya sendiri seperti orang ketakutan.

“Kau lihat laki-laki yang itu, kan Laila? Yang memperkosa mayat, kalian harusnya ingat karena itu tepat terjadi di depan mata kalian!”

Aku dan Esa menangguk pelan ketika tahu orang yang dimaksud adalah Raka.

“Di sini tidak ada hukum, tidak ada konsekuensi apapun selama menjalankan perintah dalam permainan Eden,” lanjut Hendra, “tanpa Hukum, manusia itu ibarat binatang, bergerak menggunakan nafsu.”

“Jadi maksud kak Hendra…”

Pria sipit itu mengalihkan pandangan pada Esa, “itu baru orang yang suka menyetubuhi mayat, bagaimana jika ada orang yang kecenderungannya mengarah ke kekerasan?”

Wulan memalingkan wajahnya dari kami, aku benar-benar curiga.

“Kalian… Jangan-jangan, Markus dan Intan… A-apa yang kalian lihat sebenarnya?” tanyaku mulai panik.

“Sesuatu yang mengerikan… Aku belum pernah lihat yang seperti itu!”

“Sadis!” geram Wulan dengan nada benci yang teramat sangat.

Aku dan Esa benar-benar bingung harus bagaimana, target kami ternyata orang berbahaya. ADAM dan EVE lain malah bisa jadi monster di permainan Eden ini. Mungkin jauh lebih mengerikan dari boneka-boneka malaikat di stage satu.

“Jadi, apa kau ingat kecenderungannya si nomor sepuluh?” tanya Hendra mengembalikan topik.

Aku mengangguk pelan, “Asphyxiation dan Hematolagnia…”

“Asphyxia?! Hema??”

Wulan terlihat tegang mendengar kata-kata itu. Mungkin dia tahu apa artinya, setahuku kebanyakan nama fetish memang diambil dari istilah medis, dan Wulan memiliki latar belakan medis.

“Artinya apa, Lan?”

Asphyxia itu istilah untuk pasien dengan kondisi seperti tercekik, kalo Hema…. Artinya darah…”

Tangan Hendra menepuk jidatnya, jelas saja perasaannya kacau. Target mereka punya fetish yang kedengarannya identik dengan kekerasan!

“Terus sekarang kita gimana?” tanya Esa.

“Aliansi…”

Aku, Esa dan Wulan langsung menoleh ke arah Hendra yang sedang mengelus-elus dagunya.

“Kita bentuk aliansi!”

****​

“Gimana?” bisikku.

“Aku juga nggak tau, Mbak!”

“Yahhh… Mbak juga ndak tahu harus bagaimana, kalau ditengah-tengah mereka malah nusuk dari belakang gimana?”

Aku dan Esa mendiskusikan tawaran Hendra selagi pasangan itu mempersiapkan sesuatu di balik meja kasir. Kami bahkan tak bisa melihat keduanya lagi, tapi kami tahu mereka masih ada di sana karena suara krasak-krusuk seperti mengais sesuatu.

Tiba-tiba terlintas ide di kepalaku, mengingat Hendra adalah pengacara. Membela dan memberikan hak juga kewajiban agar adil. Kurasa ide ini win-win solution!

“Esa, kalau dengan jaminan bagaimana?”

“Jaminan?”

Esa mengernyit heran. Aku tersenyum lalu mengacungkan jari telunjukku ke arah kantong yang menggantung di pinggangnya.

“Maksud Mbak Laila, kita kasi mereka Buah Terlarangnya?!”

“Bukan kita kasikan, tapi barter!”

“Barter… Untuk apa?”

“Buah Terlarang ini gak ada gunanya kalau bukan punya kita sendiri atau punyanya target kita, kan?”

Esa memberi respon dengan anggukan pelan.

“Nah, aku mau bikin kondisi dimana posisi kita jadi terpaksa untuk saling melindungi!”

“A-aku kurang paham, Mbak…”

“Gini, seandainya bola kita dicuri, siapa yang paling panik dan harus ngerebutnya kembali?” tanyaku.

“Uhm, pasti kita, kan?”

“Nah, sekarang gimana kalau seandainya, mereka yang pegang bola kita dan kita pegang bola mereka, trus bola kita dicuri?”

“Sama, kan? Kita pasti berusaha ngerebut lagi…. Eh?”

Anak itu sepertinya mulai menyadarinya, matanya berbinar menyadari rencanaku. Kubenahi kacamataku yang merosot di hidung.

“Kalau bola mereka kita yang pegang, mau nggak mau mereka harus ikut kita kemanapun untuk mastiin Buah Terlarang mereka aman!” terangku.

“Mbak Laila jenius!” Puji Esa, membuatku sedikit besar kepala sebenarnya.

“Hahahaha, mbak ini penulis, di kepalaku banyak trik untuk bikin twist!”

Akhirnya kami sepakat untuk menggunakan rencana itu. Aku dan Esa berjalan ke menuju ke belakang kasir namun mereka tak ada di sana, telingaku menangkap suara-suara aneh yang cukup untuk membuatku berhenti dan menahan Esa. Desahan, lenguhan, diselingi tawa kecil dipadu suara tepukan daging yang bertumbuk.

Masa sih mereka melakukan itu?

Pelan-pelan aku dan Esa mengintip dari balik pohon. Kecurigaanku benar ketika melihat Wulan duduk di pangkuan Hendra sambil menggoyangkan bokongnya. Mereka melakukan hubungan intim, tak ada rasa malu, sungkan atau apapun. Imej Wulan yang seperti wanita yang elegan, juga Hendra yang kharismatik runtuh sudah. Keduanya kini dikuasai birahi, seperti hewan liar di musim kawin.

2irPWAOJ_o.jpg

Ini pertamakalinya aku melihat persenggamaan orang lain secara langsung, biasanya hanya lewat video porno. Terlebih bagaimana Hendra dan Wulan melakukannya terlihat sangat bersemangat! Aku memang sudah beberapakali melakukan hubungan badan dengan pacarku, tapi tak pernah sedahsyat itu. Terlebih beberapa jam yang lalu, mereka hanyalah orang asing, dan kini seolah-olah dunia hanya punya mereka sendiri.

“Hnnnghh… Nanti kalo mereka datang gimana, donk?” tanya Hendra menggoda.

“Ahhh… Kita ajak join ajah… Ahhh…”

Seperti disengat listrik rasanya mendengar itu. Mereka justru berharap kami memergoki? Jadi itu alasannya kenapa mereka ngentot siang bolong dan dekat-dekat dengan kami? Apa Wulan dan Hendra punya kecenderungan eksibisionis sepertiku? Tidak, ini berbeda…

Wajahku semakin panas, tak bisa mengalihkan pandangan dari pasangan yang sedang kasmaran itu. Jarak kami memang tak terlalu jauh, hanya lima meter kurang lebih, dan dengan kacamata ini aku bisa melihat dengan jernih dan detail apa yang mereka lakukan.

“Ahhhh… Terus Hendra!! Ahhh!”

Buah dada Wulan melompat-lompat. Ukurannya jauh lebih kecil dari milikku, tapi terlihat proporsional untuk tubuhnya yang langsing. Hendra melahap puting merah jambu Wulan yang mencuat, memainkan dengan lidah seperti menjilati lolipop stroberi.

Aku menyentuh ujung dadaku. Pacarku tak pernah melakukan itu, katanya putingku aneh karena walau permukaan areolanya luas, tapi setengah pentilnya masuk ke dalam daging payudaraku. Aku memiliki inverted nipples dan kekasihku menganggap tubuhku menjijikan. Melihat Hendra dan Wulan membuatku menyadari betapa buruknya hubunganku dengan kekasihku.

Napasku makin memburu, kulihat Esa juga terpukau dan mulai memanas karena penisnya makin tegang. Kemaluanku gatal minta dimasuki sesuatu. Rasanya ingin kutarik Esa dan kuapit pinggulnya dengan pahaku.

Setubuhi aku… Setubuhi aku, Esa!

Benakku berteriak tapi badanku tak berani bertindak. Bagaimanapun juga kami hanyalah orang asing, seperti bagaimana aku melihat teman-teman adikku. Aku tahu Esa telah melihat bagian terintim dariku, aku juga sudah melihat miliknya. Kami bermasturbasi bersama, tapi sejauh ini kontak fisik yang berani kulakukan padanya hanyalah kecupan tak sengaja.

Aku ingin Esa yang mengambil langkah lebih dulu, karena aku terlalu malu mengakui bahwa aku adalah wanita yang mesum! Selalu berlindung di balik kedok kakak perempuan yang perhatian dan baik hati. Aku tidak sebaik itu, Esa! Kuharap kau menyadarinya!

Wulan menungging dan menyajikan pantatnya pada Hendra. Laki-laki itu berlutut dan mengarahkan kontol besarnya ke vagina perawat tersebut. Senti demi senti daging kejantanannya melakukan penetrasi ke dalam liang sang betina.

“Hnnnggg…” Erang Wulan sambil mengigit kain yang harusnya menopang payudara imutnya.

“Sakit?”

Wulan hanya menggeleng, lalu hentakan-hentakan kuat menghujamnya. Mereka bermain keras!

Cairan vagina mengalir di pahaku, aku mematung, terpukau dengan permainan dua orang di depan kami yang liar dan penuh perasaan. Sampai pada akhirnya mata kami saling bertemu. Mereka menyadari kehadiranku.

“Mbak… Mbak!” bisik Esa sambil menarik ujung kain di pinggulku.

Eh? Karena terbawa suasana, aku jadi lupa bersembunyi. Hendra dan Wulan juga tampak terkejut melihatku, namun mereka masih melakukan aktivitas itu selama beberapa saat sampai akhirnya Hendra mengejan dan menembakan spermanya ke dalam Wulan. Mata perempuan itu berputar ke belakang, tubuhnya lunglai dan akhirnya ambruk. Penis Hendra juga mulai lemas karena isinya telah diperas. Laki-laki itu tersenyum canggung.

Kami berkumpul di tempat semula, Hendra dan Wulan bercengkrama seolah tak terjadi apa-apa tapi aku dan Esa menunduk malu. Wajah kami panas dan merah seperti lobster, tak tahu harus melihat kemana.

“Oke, jadi intinya kalian mau kita tukeran Buah Terlarang ini, dan baru dikembaliin ketika stage dua selesai?”

Kami mengangguk menimpali pertanyaan Hendra.

“Yah, kalian memang punya hak buat gak percaya sama kami, apalagi kami udah kasar sama kalian!” gumam Hendra, “Oke, berarti ini syarat aliansi! Kita saling menjaga Buah Terlarang masing-masing!”

Hendra menyetujui persyaratanku lalu mengambil bola merah yang disembunyikannya dalam lilitan kain. Kamipun menukar benda itu dengan milik kami.

“Omong-omong sampai kapan kalian berdua mau malu-malu gitu? Kok kaya ga pernah lihat orang ngentot aja?” tanya Wulan sambil tertawa kecil, “Okelah kalo yang cowok, umurmu berapa?”

“Err… Delapan belas tahun, Kak….” Timpal Esa ketika ditanya.

“Lho? Tuh, kan udah cukup umur! Trus kamu juga, La! Bodimu itu semok kaya bodi tante-tante, masa kelakuannya kayak gadis baru puber?”

“Ma-maaf….”

“Jangan-jangan kalian berdua belum ngelakuin ya selama ada di sini?!” tanya Wulan heran.

Wajah kami semakin memerah. Tentu saja aku terangsang secara abnormal dengan segala yang kami alami. Aku yakin Esa juga, tapi hingga kini kami berhasil menahan diri.

“Hahahaha, sudah-sudah, tidak ada yang maksa juga, kan?” Hendra menenangkan.

“A-aku punya pacar…” jawabku pelan, tentu saja itu hanya alasan karena aku tahu kekasihku bahkan tak mencintaiku.

“Soalnya, Mbak Laila mirip kakakku…”

Hendra terbahak-bahak mendengar alasan kami, “Tapi kurasa kalian harus bisa mentolerir hal-hal seperti ini kedepannya, maksudku Adam dan Hawa itu suami istri, kan? Kurasa permainan Eden ini memang dirancang tiap pasangan untuk bersikap layaknya suami istri?”

“Iya, kaya gini lho…”

Wulan tersenyum lalu merangkul leher Hendra dan duduk di pangkuannya, mencium bibir lelaki itu dengan penuh nafsu sambil melirik kami. Seolah-olah sedang mengompor-ngompori agar kami terangsang dan mendobrak batasan yang telah kami buat.

BIP! BIP! BIP!

Microchip di leherku berbunyi, begitu juga dengan Esa. Hendra dan Wulan juga langsung menghentikan kegiatan mereka. Eskpresi kami berubah awas.

“Ma-Markus dan Intan?” tanyaku.

Esa langsung mengintip dari sela-sela rak minimarket, akupun menyusulnya. Seorang pria berkulit hitam khas Indonesia bagian timur berjalan sendirian di jalan raya yang sepi. Badannya kekar, bahkan jauh lebih besar dari Hendra. Laki-laki itu bak atlet angkat beban. Aku dan Esa jelas tak punya harapan jika harus adu kekuatan.

“Aneh! Mana EVE-nya? Mana Intan?”

“Lihat di belakangnya!” bisik Wulan tertahan.

Aku menuruti perintah wanita itu berusaha menemukan perempuan yang harusnya jadi partner lelaki itu.

“I-i-itu… Uhg!!!”

“Kenapa, Sa!?” Bisikku terkejut ketika Esa memalingkan wajahnya dari jalanan.

“Di punggungnya, Mbak… EVE-nya, ada di punggungnya!”

Fokusku tertuju pada apa yang terikat di punggung pria itu. Bulu kudukku berdiri, seluruh tubuhku terasa dingin melihat pemandangan mengerikan itu. Seorang perempuan bertubuh petit terikat bagai tas punggung. Tangan dan kakinya sudah tidak ada, menyisakan balutan kain penuh darah. Matanya ditutup kain dan mulutnya dibekap sesuatu. Wulan dan Esa tidak kuat melihatnya sementara aku tak bisa memalingkan wajah saking ngerinya.

Aku ingat, fetish dari Markus adalah Acrotomophilia. Awalnya aku tak tahu itu apa, tapi sepertinya sekarang aku mengerti. ..

Target yang harus aku dan Esa lawan adalah seorang penyembelih dan maniak amputasi!


iY3XjbI5_o.png
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd