Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT As Elegant As Aurora [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
As Elegant As Aurora
Season 2

AgJLLsMY_o.jpg
Halo suhu-suhu sekalian, jadi ini season 2 dari As Elegant As Aurora, semoga di season 2 ini tambah greget ceritanya, hehe. btw, selamat menikmati.


BlueTitan
 
Terakhir diubah:
Part 1

“Aww... issh... sakit...”

“Habis... pipi kamu ini gemesin banget, mbul. Hehe.”

“Iiihh... udahh...” Dia kembali memasang wajah cemberut yang malah membuatnya tambah menggemaskan.

“Ulululuh... cembeyut, cembeyut... ulululuh.” Aku naik-turunkan cubitanku, pipinya mengikuti gerakanku, terkadang aku tekan-tekan pipinya sehingga bibirnya manyun. Dia yang tadinya hanya pasrah kini mulai menunjukkan tanda-tanda tidak nyaman.

“Iiihh... udah kak!” Kedua tangannya menepis tanganku yang seadari tadi menguyel-uyel pipi gembulnya itu. Yah, Itulah alasanku memanggil perempuan bernama Cindy Hapsari ini dengan sebutan ‘Gembul’. Hehe.

Dia mengelus-elus pipinya setelah cubitanku itu terlepas. Cindy cemberut, memandangku geram. Tapi aku cuek, malah makin gemas.

Oh iya, ngomong-ngomong, semoga kalian masih ingat dengaku. Namaku Dimas Putra, mahasiswa semester 3 di sebuah universitas swasta di Jakarta.

Beberapa hari yang lalu, aku dan gumpalan daging menggemaskan yang duduk di hadapanku ini resmi pacaran. Sepertinya kau sudah tahu cerita singkat mengenai pertemuan kami dan beberapa kejadian yang pernah kami alami sebelumnya. Sekarang kami sedang berada di sebuah tempat makan selepas kuliah kami yang melelahkan.

“Bete ah.”

Ya elah.

“Ahahaha, halah gitu doang ngambek.”

“Sakit...” Dia kembali mengelus-elus pipinya.

“Iya iya aku minta maaf, hehe. Habis gemesin banget sih.” Aku turut mengelus-elus pipinya.

“Huft...” Cindy mendengus, lalu meminum jus jeruknya dengan sedotan. Aku hanya menahan tawa dengan tersenyum tipis.

“Permisi kak, pesanannya.” Seorang pelayan menghampiri kami dengan dua piring berisi makanan pesanan kami yang ia bawa dengan sebuah nampan. Dia meletakkannya di meja kami.

“Saya ulangi ya kak, satu jus jeruk, satu es teh, satu nasi goreng ayam spesial, sama satu ayam penyet ya. Semua sudah ya kak.” Perempuan yang sepertinya seumuran denganku ini mengulang dan memastikan semua pesanan kami sudah sampai.

“Udah mbak.” Jawabku

“Baik, kak. Selamat menikmati.” Tutupnya ramah sebelum kembali ke dapur dan mengantar pesanan baru.

“Huft... Udah kak, makan dulu yuk.” Katanya sambil menatap layar smartphonenya. Entah apa yang dia lakukan, sepertinya bercermin.

“Eh, bentar bentar.”

“Kenap-“

MJ5W3MTy_o.png


Cekrek


“Iiihh...!!”

ArT5e1rd_o.png


Cekrek

Aku menepis tangannya yang siap menusukku dengan garpu.

“Ahahaha!”

“Ngapain sih kak!”

“Enggak, lucu aja wajah kamu.”

“Ah, udah ah. Makan dulu...”

“Yo’i. Makan makan.” Aku meraih sendok dan garpu lalu mulai menyantap nasi goreng ayam spesial yang masih mengepul itu.

“Kak.”

“Iya?”

“Kak Jinan itu emang jutek ya?”

“Hah? Jutek?”

“Iya gimana ya, dari wajahnya keliatan dia itu jutek gitu. Aku kan keterima di departemennya kak Jinan di organisasi jurusan. Jadi... takut aja sih sama dia.”

Pfftt...

Yah, dengan wajah yang seperti itu, wajar jika orang yang pertama kali melihat Jinan berpikiran bahwa dia jutek atau galak dan semacamnya. Aku pun sama seperti Cindy saat pertama kali melihat Jinan. Namun seiring berjalannya waktu saat aku satu departemen dengan dia dulu, aku mulai tahu sifat asli Jinan. Dia baik, ramah, berbanding terbalik dengan kesan pertama orang-orang yang melihatnya.

“Hahaha... enggak kok, santai. Dia emang kelihatannya jutek, galak. Tapi aslinya dia baik kok. Wajahnya emang gitu, tapi sifatnya enggak.” Jelasku sambil melahap satu suapan nasi goreng.

“Kok tahu?”

“Ya kan dulu aku pernah satu departemen sama dia juga. Ih, masak lupa sih. Aku kan pernah cerita.”

“Eh, iya? Hehehe... lupa.”

“Yee... selepet juga nih jidat kamu!”

Tanganku bersiap menyelepet jidatnya. Percayalah, kau juga akan gemas dengan jidat lapangnya itu.

“Ih jangan nanti sakit.” Dia menepis tanganku.

“Hahaha, enggak, enggak.”

Kami melanjutkan makan selepas tertawa kecil.

“Eh, oiya kak.”

“Apa?”

“Nanti kayaknya aku enggak bisa nonton kakak dulu deh. Mau ada kerja kelompok buat presentasi besok.”

“Oh, iya enggak apa-apa. Santai lah. Lagian kamu juga nanti ada latihan futsal buat turnamen jurusan kan? Jangan capek-capek lho.”

Yup, kerjaan sampinganku sebagai penampil di café itu masih berlanjut. Lumayan sih untuk tambah uang saku. Sedikit demi sedikit kan enggak perlu lagi bergantung sama orang tua dan jadi lebih meringankan beban mereka, iya kan?

“Iya kak, hehe, habis latihan futsal terus kerja kelompok. Kakak semangat ya buat perform! Hehe.”

You too. Semangat buat latihan sama kerja kelompoknya.” Aku membalas senyum manis selalu membuatku bahagia itu. Entahlah, dari beribu-ribu senyuman di dunia ini, miliknya masih menjadi favoritku. Mungkin akan selamanya.

“Eh, nanti mau aku jemput habis kerja kelompok?”

“Enggak usah kak, enggak perlu. Kerja kelompoknya di kosan aku kok. Hehe.”

“Oohh... yaudah deh.”

“Ciee... perhatian banget.”

“Dih, apasih. Salah ya?”

“Enggak juga kok, haha.”

Cindy melangkah menuju wastafel yang terletak tak jauh di belakangnya untuk mencuci tangan. Sementara nasi gorengku masih tersisa sedikit, dan tak butuh waktu lama sampai piring itu bersih. Sensasi menyegarkan dari es teh yang kuminum mendinginkan tenggorokanku.

Cindy pun kembali. Setelah beberapa menit duduk, memastikan makanan kami sudah turun, kami membayar pesanan kami lalu pergi dari warung makan itu. Aku akan mengantar Cindy latihan futsal untuk turnamen jurusan terlebih dahulu sebelum aku bersiap-siap untuk tampil di café malam ini.

***​

Tok Tok Tok

Suara ketukan pintu itu membangunkanku. Dengan pandanganku yang masih agak kabur ini, aku memastikan ini pukul setengah dua belas malam dari jam dinding kamarku. Aku terdiam sesaat, memastikan ketukan itu bukan imajinasiku saja.

Tok Tok Tok

Bukan, ketukan itu kembali terdengar. Ini bukan imajinasiku. Tapi siapa yang datang jam segini?! Tunggu, ini malam Jumat kan... jangan-jangan...

“Diiimm... ini gue Jinan!”

Tok Tok Tok

Ketukan pintunya semakin keras.

Suara itu, tidak salah lagi. Itu Jinan. Segera aku menyibak selimut yang membungkus tubuhku lalu bergegas menuju pintu depan. Walau dalam diriku ada sedikit keraguan kalau yang ada dibalik pintu itu adalah manusia. Bisa saja kan, ‘dia’ menjelma jadi Jinan dan saat aku membuka pintu, ‘dia’ menunjukkan wujud aslinya?

Aku menggeleng cepat.

Masa bodoh! Aku membaca doa doa sebisaku. Setelah aku menyalakan semua lampu, akhirnya aku sampai didepan pintu.

Kreek Kreek

Jantungku berdebar cepat...

Dan ini dia...

Mataku disambut dengan sosok perempuan berambut panjang yang mengenakan kaus putih sleeveless dan celana jeans. Dari mukanya, dia memang Jinan. Tapi tunggu, mataku menyusur pandang cepat keseluruh tubuhnya. Aku lega setelah memastikan kakinya tidak melayang.

“Apaan sih Dim?! Lu ngira gue setan ya?!” Bentaknya.

Baiklah, aku percaya dia memang Jinan asli.

“Eh, engg-enggak kok, hehe... maaf. Ngapain lo malem-malem kesini?” Aku heran kenapa rambutnya sangat lepek, dan, baunya...

“Diem ah, biarin gue masuk dulu.” Aroma menyengat dari telur busuk atau apalah itu langsung menusuk hidungku.

“Nngh! Lu habis ngapain sih?! Bau banget anjir!” Aku menutup hidung.

“Diem!”

“Dih, santai kali.”

“Huft. Lu ya! gue telpon kaga diangkat! Chat LINE kaga dibales!” Kata-kata kesal itu keluar dari mulutnya begitu ia duduk di sofaku.

“Ya maaf, gue capek habis ngisi di café tadi.”

“Halah. Huft... gini... gue mau ambil barang-barang yang gue titipin ke elu minggu kemarin.”

“Oh, yang tiga kardus itu ya?”

“Ye bangsat! Make nanya lagi lu. Iye!”

Astaga. Kasar.

“Woe, santai. Gue nanya baik-baik.” Aku duduk disampingnya, berusaha menahan emosi. Udah dateng malem-malem, bawa polusi udara, bentak-bentak lagi. Untung cantik.

Dia menghela nafas panjang, membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya.

“Huft... maaf... maaf... gue kesel banget hari ini... gue lagi emosi... maaf...” Dia mendongak sebelum menoleh kearahku. “G-gue numpang mandi ya... lu bisa siapin kardus-kardusnya enggak?” Sepertinya kata-katanya benar adanya, wajah yang pucat itu sudah cukup memperkuatnya. Aku tidak tahu kejadian buruk apa yang sudah ia lewati hari ini, yang jelas, yang kutahu, dia sedang badmood saat ini.

“O-oke, gue ambilin dulu.” Aku bangkit berdiri dari sofa.

“Eh, Dim...”

“Iya?”

“Pinjem handuk juga ya...”

Aku membalasnya dengan anggukan. Jinan masih duduk disana sampai aku datang kembali dengan sebuah handuk.

“Makasih...” Dia beranjak menuju kamar mandi setelah menerima handuk itu. Sementara aku menuju gudang, mengambil ketiga kardus yang ia maksud dan membawanya ke depan pintu.

“Nan, mau minum apa?” Tanyaku dari luar kamar mandi.

“Enggak usah Dim. Gue langsung balik aja.” Suaranya menggema dari dalam sana. Suara guyuran air terdengar tak lama setelahnya.

Aku kembali ke ruang depan, duduk di sofa. Jariku mengecek smartphone yang baru saja kuambil dari dalam kamar.

13 missed voice call

48 unread messages... 15 diantaranya dari Jinan...

Aku menghela nafas panjang selepas membaca isi pesan-pesannya. Yah, rata-rata berisi umpatan karena kesal pesannya tidak dibalas dan voice call darinya tidak ku angkat. Semenjak di café tadi, smartphoneku ini aku atur dalam mode silent, dan aku terlalu malas untuk mengeceknya setelah sampai di kontrakan.

Eh, ada pesan dari gembul juga ternyata.

22.24 Gimana kak tadi performnya? Lancar kan?

23.15 Udah tidur ya? Hehe, yaudah.Pasti capek ya. Selamat tidur kak.

23.15
uW6VWbAr_t.jpg


23.15
Rr8LZFwx_t.jpg


23.16 Love you ♥


Duh, dia sukses membuatku gesrek. Aku tersenyum. Yah, aku sedikit menyesal kenapa aku tidak sempat mengecek smartphoneku tadi. Aku putuskan untuk membalasnya.

23.38 Hehe... maaf mbul, ketiduran tadi enggak sempet buka hp. Ini aku tiba-tiba kebangun.

23.39 Perform lancar kok, besok aku cerita deh.

23.39 Udah tidur ya? hehe... maaf ya tadi enggak sempet bales.

23.39 Sleep tight, love you too ♥♥♥

Aku menunggu selama hampir 5 menit, tak ada balasan setelahnya. Sepertinya dia sudah terlelap disana. Mengingat pasti dia kelelahan setelah latihan futsal dan kerja kelompok tadi. Apalagi besok ada presentasi.

Ah, sepertinya aku juga harus segera tidur lagi setelah Jinan pulang. Aku baru ingat besok juga ada presentasi jam tujuh pagi.

Kreek

Suara pintu kamar mandi yang dibuka terdengar, bunyi kran air pun sudah berhenti. Jinan yang hanya berbalut handuk itu terlihat berjalan keluar dari kamar mandi. Aku geser sedikit posisi dudukku lalu kedua mataku melirik kearahnya, tubuh putih mulus Jinan itu membuatku merinding. Tiba-tiba aku merasaan aliran darah mengalir kearah penisku. Tiba-tiba aku merasa tidak nyaman karena tonjolan ini semakin besar.

Dia berhenti didepan meja makan. Dia meletakkan pakaian kotornya di kursi.

“Diimm... gue pinjem baju ganti ada enggak?”

Aku beranjak dari sofa dan menghampirinya

“Gimana?”

“Baju ganti.” Dia mengibas-ibaskan rambutnya yang basah. Lalu melangkah kedepan.

Damn

“Oh ya gue amb-“

Tepat sebelum aku berbelok masuk ke kamar, handuk yang membalut tubuh Jinan itu terlepas dan jatuh ke lantai, sepertinya lilitan Jinan kurang kuat. Dan karena kedua tangan Jinan sibuk dengan rambutnya, ia tidak sempat meraih handuk itu. Alhasil, mataku melihat Jinan yang telanjang. Dua payudaranya yang kecil namun menggemaskan, pusarnya yang menggoda untuk aku jilati, dan vaginanya yang tertutup rambut-rambut halus yang tidak terlalu lebat, dan kulit putih mulusnya.

Aaarrghhh. Walau tidak lama, itu sudah cukup membuat penis ini berdiri tegang.

Kedua mataku membulat, aku menelan ludah. Bodohnya aku, hanya mematung disini.

“Eh,” Jinan langsung meraih handuk itu lalu kembali membalut tubuhnya dengan benda itu. Namun itu terlambat, aku menghampirinya cepat. Jinan terlihat agak panik.

“D-dim, lu mau ngapain...?!”

“M-maaf... t-tapi...”

Aku merengkuhnya, lalu lehernya itu langsung menjadi sasaran ciuman bibirku. Sementara kedua tanganku sibuk meraba-raba paha belakang dan pantatnya.

“Mnngh... Ahhh... Dimm... Mmmmhhh...”

Jinan masih menyilangkan tangannya didepan dada. Tubuhnya bergerak-gerak seiring rangsangan yang kuberikan. Lenguhan demi lenguhan terdengar dari bibirnya. Bau tubuhnya yang wangi selepas mandi ini semakin membuatku bergairah untuk menciuminya. Tak bisa ku pungkiri, aku sudah sange berat...

“Sshh... Mmphgh.... D-Dim... gue mau bal-mmpphh...”

Aku lumat bibir tipisnya itu begitu aku puas menciumi lehernya. Dia turut membalas lumatanku. Lidahku masuk kedalam mulutnya, berpagut dengan lidahnya. Air liur kami saling bertukar disana. Nafas kami saling memburu.

Jinan melempar handuk yang tadi ia pakai untuk menutup bagian depan tubuhnya. Baguslah, kini kedua tanganku mulai meraba-raba liar perutnya, memutar-mutarkan jari di area pusarnya. Jinan menggelinjang.

Bunyi decak semakin jelas terdengar dari bibir kami yang saling bercumbu. Air liur mulai membasahi dagu kami berdua. Perlahan, aku membimbingnya masuk kedalam kamar sambil masih mencumbu bibirnya. Kedua tanganku kini merangkul di lehernya, begitupun tangannya. Sepertinya aku berhasil membuatnya sange juga.

Aku menghempaskan tubuhnya ke kasur setelah aku memisahkan bibirku dengan bibirnya. Aku melepas kaus lalu mencampakkannya sembarang. Kedua pahanya aku buka lebar hingga vagina yang tertutup bulu-bulu halus yang tidak terlalu lebat itu terlihat.

Kedua jariku mulai memainkan klitorisnya selepas menyibak bulu-bulu halus itu. Jinan kembali mendesah saat bagian sensitif itu aku usap-usap pelan. Tangan kiriku tak mau tinggal diam, aku meraba-raba paha mulusnya, sementara Jinan memainkan sendiri puting payudara menggemaskannya itu dengan kedua tangannya sendiri.

Aku beralih menusuk-nusuk lubang vagina yang sudah becek itu dengan dua jariku tadi.

“AakKHH... MmmHHH...” Jinan menggigit bibir bawahnya sambil menutup mata. Wajahnya terlihat memerah.

Aku menusuk-nusuk lubang hangat itu perlahan. Jinan bergerak-gerak. Kedua tangannya mencengkeram erat spreiku. Kupercepat sedikit tempoku. Tak butuh waktu lama sampai tubuh Jinan menegang, pinggulnya terangkat sedikit dan bergetar. Jinan mendapat orgasmenya. Kedua jariku yang aku keluarkan dari lubang itu terlumuri oleh cairan orgasmenya.

“Hhh... Hhh... Diimm... kontol lu...” Dia menatapku sayu. “M-masukin... buru...”

Oke, dia yang minta ya.

Aku memelorotkan celana pendekku. Tonjolan yang ada dibalik celana dalam warna putihku itu sudah tidak tertahankan lagi. Penisku langsung mengacung tegang begitu celana dalam itu aku perlorotkan.

Jinan membuka selangkangannya lebar-lebar, mempersilahkan penisku itu menghujam lubang vagina itu. Tanpa aba-aba, penisku itu ambles kedalam lubang hangat itu. Kami mendesah hampir berbarengan saat kedua alat vital kami itu bertemu.

Aku diamkan penisku itu didalam vaginanya. Merasakan sensasi pijatan yang ia berikan pada penisku. Ekspresi keenakan Jinan menjadi pemandangan bagi mataku. Dia mulai bergerak-gerak lagi setelah beberapa saat penis itu menancap di vaginanya. Aku merespon dengan langsung menggerak-gerakkan pinggul maju-mundur. Tubuh Jinan turut bergerak seiring gerakan maju-mundurku.

Plok

Plok

Plok

Hujamanku yang penuh nafsu itu menghasilkan bunyi yang terdengar cukup jelas. Jinan hanya berbaring pasrah menikmati permainanku. Tubuhnya yang wangi itu kini mulai berbau keringat. Aku memegangi kedua pahanya, hujamanku aku ubah dengan tempo secepat yang kubisa.

“AaaaKKHHH...! MMMMHH...!!”

Jinan mendapat orgasme keduanya. Aku pun menyusul tak lama setelahnya. Setelah merasa sperma itu sudah sampai diujung penis, aku mencabut penisku, mengocoknya dihadapan muka Jinan. Tiba-tiba Jinan memposisikan diri agak duduk, menumpu tubuh bagian atasnya dengan kedua tangannya, lalu mengulum penisku tepat sebelum aku menembakkan spermaku.

Crot

Crot

Crot

Crot

Mulutnya penuh dengan penis dan spermaku. Jinan tampak mengeryitkan dahi sejenak sebelum menelan semua spermaku, lalu menjilat-jilat dan memijit penisku didalam mulutnya dengan lidahnya.

Damn

Aku merem-melek. Aku tidak bisa membantah kalau itu tadi sangat nikmat.

“Hhh... Hhh... Gila...” Jinan menjatuhkan kepalanya ke kasur setelah melepas kulumannya dari penisku. Wajah merahnya nampak kacau. Berkeringat, rambut yang berantakan, nafas yang terengah, dan mata sayu. Jinan terbaring lemas di kasurku. Hmm... sepertinya dia tidak mungkin pulang malam ini.

“M-maaf...” Aku berbaring di sampingnya. Mataku jadi berat.

“Hhh... santai... malah gue makasih... hehe... makasih udah buat gue seneng...” Dia tersenyum simpul saat menoleh kearahku. Aku membalasnya dengan senyum tipis. Perlahan matanya mulai tertutup, begitupun denganku yang mulai terlelap.


To be Continued...
 
Hmm,.... kalo gini ceritanya, saya juga mau 'digalakin' sama Jinan :pandaketawa:
Alias nice update suhu
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd