Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Bb M — Baby Maker (Ribak Sude Story)

RyuzakiKen

Tukang Semprot
Daftar
13 Mar 2015
Post
1.422
Like diterima
24.582
Lokasi
Pillow Man
Bimabet
Bb M (Ribak Sude Story)

Kenalkan namaku Nasrul, orang-orang memanggilku Aseng karena aku mirip Cina. Aku sih biasa aja dipanggil begitu, karena memang dari kecil panggilanku itu. Padahal aku ini Ajo tulen alias orang Minang asli. Bapak dan Ibuku asli dari kampung di Pariaman-Sumatera Barat sana. Itu karena kulitku putih yang kuwarisi dari ibuku yang juga berkulit putih bersih. Dari kecil aku tumbuh dan besar di kota Medan. Menikah dan punya anak tiga–yang ganteng dan cantik.

Pada saat cerita ini terjadi, aku bertempat tinggal di pinggiran kota Medan yang berbatasan dengan kabupaten tetangga, Mabar tepatnya nama daerah ini. (Yang orang Medan pasti tau Mabar dimana). Kupilih berdomisili disini karena dekat dengan tempatku bekerja saat itu, di pabrik yang ada di sekitar sini. Kawasan Industri Medan hanya berjarak sepuluh menit berkendara motor dari tempatku tinggal. Sebagai seorang staff administrasi senior di pabrik ini, aku sudah membangun rumah sederhana untukku tinggal dengan istri dan anak-anakku.

Rumah kami berada di dalam gang di tepi jalan yang ramai. Sudah 15 tahun kami bermukim disini dari semenjak belum terlalu banyak orang membangun rumah sampai sekarang penuh sesak. Sesak oleh rumah tinggal baik milik sendiri maupun untuk disewakan. Rumah kami walau tidak terlalu mewah, tetapi satu-satunya yang memiliki halaman luas. Bayangkan saja, halaman itu cukup untuk dibangun satu rumah lagi, kok. Banyak yang menyarankan untuk membangun rumah petak saja untuk disewakan atau kos-kosan. Tapi jangan dululah, halaman rumahku yang luas untuk anak-anakku bermain saja, pikirku. Apalagi anakku masih kecil-kecil, dimana nanti mereka bermain dengan teman-temannya? Di jalanan gang? Berbahaya karena motor ramai berlalu-lalang di sini, terkadang mobil juga seliweran keluar masuk.

Cerita ini akan dimulai dari lahirnya anak keduaku beberapa tahun lalu. Anak perempuan yang cantik dan berkulit putih bersih dengan rambut hitam legam tebal seberat 3.5 kg bernama Salwa. Anak pertamaku sudah berumur 4 tahun saat itu dan ia senang sekali menjadi abang Rio. Ada kebiasaan yang kulakukan pada semua anak-anakku, kugendong mereka keliling seputaran rumah saat pagi sebelum pergi bekerja dan sore saat pulang kerja. Mulai berumur 4-5 bulan anak-anakku kubawa berkeliling menyapa tetangga dan mengenal lingkungannya. Anakku yang tampan dan cantik terkenal di gang yang lumayan panjang ini karena sedari bayi sudah wara-wiri depan-belakang mengukur panjang jalanan gang yang sudah dibeton pemerintah.

"Cantik sekali Salwa... Udah mandi... Jalan-jalan sama papa pagi-pagi..." sapa tetanggaku, seorang ibu yang sedang menyapu halaman rumahnya.

"Salwa cantik... Mau kemana pagi-pagi?" sapa tetangga lain yang sedang menyiapkan anaknya yang akan berangkat sekolah.

Salwa anak bayiku tertawa-tawa senang sepanjang perjalanan kala dijawil atau dielus pipinya oleh para penyapanya. Jadi sepanjang gang yang panjangnya kurang lebih 300 meter itu banyak sekali fans Salwa yang menyapanya tiap pagi atau sore. Kadang abangnya, Rio ikut bareng karena pengen dibelikan jajanan di warung.

"Salwa... gendong-lah? Biar nular..." pinta seorang ibu hamil muda anaknya yang keempat. Anaknya laki semua, susun paku istilah orang Medan sini yang menandakan kalau semua umur anaknya hanya beda satu tahun aja atau berdekatan. Ia berharap kalau sering-sering menggendong Salwa anaknya akan lahir perempuan juga. Kalau cantik itu belum pasti. Itu tergantung dari bibitnya... Bener gak, bos?

Prilaku ini juga ditiru wanita-wanita lain yang belum dikarunia anak. Kadang istriku memanfaatkan keadaan ini dan menyerahkan Salwa untuk dimomong mereka saat ia sedang sibuk-sibuknya dengan pekerjaan rumah tangga. Kalau dihitung kasar aja ada sekitar 5-6 pasangan menikah yang belum dikaruniai anak. Padahal rata-rata mereka sudah menikah 3 tahun lebih.

Contohnya wanita satu ini. Bernama Aida. Suaminya bernama Agus. Sama-sama berumur 26 tahun yang sudah menikah selama 4 tahun. Baru dua tahun ini mereka berdua mengontrak sebuah rumah di gang ini. Suaminya, Agus bekerja di Kawasan Industri yang sama denganku, hanya beda pabrik saja. Ia sekarang sedang menggendong bayiku Salwa dengan riangnya. Mungkin membayangkan senangnya punya bayi cantik dan sehat sendiri. Yang lahir dari rahimnya sendiri.

Aida



"Bang Aseng... Kalo bosan dengan Salwa... kasikan Aida aja, ya?" cetusnya yang kutangkap sebagai candaan biasa.

"Ah... Ada-ada aja kau, Da... Masak anak sendiri mau dikasikan orang... Buatlah sendiri..." kataku mencoba bermain dengan candaanya.

"Gak jadi-jadi, bang Aseng... Udah empat tahun kami kawen... Gak hamil-hamil awak..." (awak adalah kata pengganti untuk aku) jawabnya sambil terus mengayun-ayun pelan Salwa di gendongannya. Dikecupnya ubun-ubun Salwa berulang-ulang.

"Ah... Mana si Agus? Masuk shift malam dia? Gas terus-lah ini kalau dia udah pulang nanti..." kataku sambil ketawa-ketiwi bercanda terus.

"Entar-entar lagi pulang dia, bang... Mana sempat lagi dia, bang... Tros tidor dia itu nanti..." keluhnya tapi menciumi gemes pipi Salwa. "Capek kali katanya dia... Padahal tak beratnya kerjanya... Cuma nengok-nengok sebentar operator mesin... tidornya dia abis itu sampe Subuh..." lanjutnya. Agus sebagai Supervisor mesin produksi. Ia pernah cerita kalau tak ada masalah, mesin-mesin di pabriknya cukup di-handle para operator saja sudah cukup. Jadi dia punya banyak waktu santai. Cukup santai sampe badannya juga melar.

"Eh... Ngomong-ngomong soal kerja... Awak permisi juga-lah, Da... Mau masuk kerja juga..." kataku setelah melirik jam tangan, memberikan gesture tubuh untuk meminta Salwa kembali. Karena Salwa yang masih kecil, 5 bulan waktu itu, lehernya belum terlalu kuat untuk menopang kepalanya, Aida menyandarkan kepala Salwa di dadanya. Ia belum terlalu paham teknik menggendong bayi karena belum pernah punya kali, ya? Aku agak kesulitan untuk mengambil Salwa dari gendongan Aida tanpa menyentuh...

Tau dong kalau gendong bayi gimana? Salah satu tangan harus masuk di ketiak bayi dan satu tangan lainnya menahan bokongnya.

...Tanpa menyentuh dada Aida tentunya. Dadanya tidak terlalu besar. Paling hanya cup B. Tapi aku jamin kalau dia hamil dan melahirkan, ukurannya pasti melonjak drastis.

Salwa berhasil berpindah tangan kembali padaku dengan sedikit insiden kecil ujung jariku menowel sedikit dadanya, lebih tepatnya bra-nya. Mudah-mudahan gak kerasa. "Da-dah, bu Aida..." kataku pamitan pada wanita itu dengan melambaikan tangan mungil Salwa.

"Da-dah Salwa... Nanti sore gendong lagi, ya?" jawabnya riang dengan muka berseri-seri sambil mengayun-ayunkan tangannya melambai pada anakku. Untung dia gak ngerasa towelan kecil tadi jadi gak ada masalah, pikirku.

Saat aku melintasi depan rumah Aida, kulihat motor Agus sudah ada di teras kecil rumahnya. Berarti dia sudah pulang. Aida ada di depan sambil menyapu dengan sapu ijuk. Ia mengangguk dan tersenyum lebar padaku. Kubalas senyumannya.

Skip-skip
Pulang kerja dengan motor Supra X 125-ku kulihat istriku sedang berjalan-jalan dengan kedua anakku di gang ini. Rio sedang asik makan es lilin sedang Salwa digendong oleh Aida lagi. Istriku sedang ngobrol-ngobrol dengannya.

"... langsung jadi... padahal waktu di pelaminan kakak lagi halangan, loh..." bisa kutebak apa yang mereka bicarakan. Pastinya sedang membicarakan masa-masa kehamilan Rio, anak sulungku. "Ini orangnya..." kata istriku tertuju padaku yang sudah berada di dekatnya.

"Jadi kakak subur kali-lah ya? Langsung jadi gitu..." komentar Aida memandang istriku dan aku bergantian. Rio langsung naik ke motor bagian depan minta jalan-jalan sore.

"Mungkin juga... Senggol langsung jadi... Mungkin bapaknya juga yang subur kali, nih... Ini Salwa juga cepat... Buka spiral... bulan depannya langsung jadi juga..." kata istriku dengan nada yang sedikit bangga kalau ia tidak ada masalah dengan mendapatkan keturunan. Mudah-mudahan memberi motivasi agar Aida terus berusaha dengan suaminya.

Salwa sudah berpindah tangan kembali pada istriku dan ia sudah nangkring di jok belakang motor. "Jalan-jalan!" teriak Rio yang minta keliling-keliling sore ini. Kami berpamitan pada Aida.

"Kalo dipikir-pikir... banyak juga ya yang belom punya anak di gang ini ya, pa..." kata istriku ketika kami melintas di gang sebelum keluar dan mencapai jalan aspal di depan sana.

"Iya... Itu Aida udah empat tahun katanya..." jawabku berhenti di mulut gang dengan lampu tangan motor berkedip ke kanan. Menunggu kesempatan untuk masuk arus kendaraan lainnya.

"Fitri juga tuh... Ini kan dia dengan laki keduanya... Dengan yang pertama dulu sempat keguguran sekali waktu di Jawa dulu... Abis itu sampe sekarang... sampe ganti laki juga belum hamil-hamil... Lima tahun..." cerita istriku tentang tetangga kami yang menyewa rumah tak jauh dari rumah kami. Gosip diantara ibu-ibu kadang lebih akurat.

"Kalo Iva?" tanyaku tentang wanita tinggal tepat dipertengahan gang. Ia membuka warung. Anaknya masih berumur tiga tahun, tapi anak pungut dari saudaranya. Ia dan suaminya sudah menikah lebih lama dari kami berdua.

"Udah sembilan tahun ato sepuluh gitu..." jawab istriku tak ingat pasti info itu. "Trus si Lita juga... Enam tahun... Laki-nya kebanyakan meranto (merantau, bekerja di kota lain)... Gimana mo buat anak?" cerocosnya di jok belakang. Salwa sudah tidur terkena angin sepoi-sepoi sore ini dan Rio masih duduk dengan anteng di depanku.

"Kalo Asri sama Wiwit ampir sama, ya? Mungut anak dulu baru dapat anak sendiri..." begitulah obrolan kami sepanjang jalan-jalan sore ini. Pulang-pulang bawa gorengan dan seplastik penuh jajanan untuk Rio.

Beberapa hari kemudian.

Masih dengan rutinitas yang sama seperti hari-hari berikutnya, pagi dan sore aku tetap membawa Salwa jalan-jalan keliling gang ini saja. Bahkan sampai ke ujung belakang gang yang masih ada sawah-sawah di pinggiran jalan tol. Ia melonjak-lonjak girang melihat kawanan kambing dan bebek. Disini masih sedikit rumah karena lebih banyak sawah sehingga lumayan sepi.

"Eh, Salwa... Maennya sampe kemari ya?" sapa seseorang yang melintas dari belakang mengendarai motor matic merah.

"Iyaa bu Aida... Salwa maennya jauh sampe kemari..." jawabku menyapanya yang niat banget pake berhenti demi menyapa Salwa. "Liat bebek... Liat embek..."

Awalnya ia ragu-ragu akan terus berkendara atau terus bercengkrama dengan Salwa, malah turun dari motornya setelah mematikan mesinnya. Aku kurang begitu memperhatikan apakah ia lirik kanan-kiri melihat situasi dahulu sebelumnya dan ia sudah minta menggendong Salwa aja. Dibawanya bayiku mendekati kawanan bebek yang sedang berada di genangan air sawah yang sudah panen.

"Aku pengen kali-lah, bang..." katanya meningkahi suara kwek-kwek bebek yang bising abis itu. Aku kurang paham apa katanya sehingga aku mendekat. Atau aku salah dengar mungkin. Ia sedang menciumi ubun-ubun Salwa, membaui aroma minyak rambut bayi yang wangi.

Aku masih tersenyum wajar saat aku sudah di dekatnya dan ia mengulangi kalimat tadi dengan tambahan, "Aku pengen kali-lah, bang... punya anak kayak Salwa..." Jelas aku kaget. Bukan sekali ini kudengar ia mengatakan itu, tetapi pandangannya kali ini berbeda. Ada tatapan mengharap disana.

"Banyak-banyak berdoa aja-lah, Da... Namanya juga rezeki, kan dari Tuhan semua..." jawabku berusaha bijak. Kebetulan aja Tuhan ngasih kemudahan pada kami berdua tetapi tidak pada mereka.

"Yang persis kayak Salwa ini aja, bang... Harus kayak Salwa..." katanya dengan nada memelas.

"Mana mungkin bisa sama, Da... Kalo gak mirip kau... yaa... nanti mirip lakikmu-lah..." kataku agak lucu. Anakku memang sangat mirip-mirip antara Rio dan Salwa. Mungkin juga nanti adik-adiknya yang lain. Warna kulitnya, perawakannya walaupun masih bisa dilihat berbeda karena laki-laki dan perempuan. Dari kedua anakku jelas keduanya menurun dariku karena aku berkulit putih sedangkan istriku lebih sawo matang cenderung gelap. Kalau mau mirip banget dengan Salwa yaa jelas tidak mungkin. Mungkin putih-putihnya bisa kali, ya secara Aida itu putih juga tetapi suaminya berkulit gelap, lebih gelap dari istriku malah.

Aida menggendong Salwa mendekat. Kukira ia akan mengoperkan Salwa padaku, malah mengatakan ini, "Dari bang Aseng aja... Pasti anaknya nanti mirip Salwa, kan?" ujarnya mengejutkan.

Kaget tentunya yang kurasakan. Kalau kuingat seperti ada denging di telingaku saat kudengar kalimat itu. "Dari bang Aseng aja..." Aida mengangguk beberapa kali untuk memastikan kalau ia benar-benar bermaksud mengatakan itu. Matanya berbinar-binar penuh pengharapan.

"Hamili, Aida bang..."
 
Terakhir diubah:
Akhirnya setelah sekian lama. Ribak Sude yang dijanjikan bertahun lalu naik tayang juga...
Silahkan dinikmati bagi penikmat Quint & Quest yang lalu.

(Edit)

Disclaimer:

Cerita ini hanya fiksi dan murni fantasy penulis saja. Kesamaan nama, tempat, kejadian yang pernah terjadi adalah murni kebetulan saja dan tidak disengaja. Beberapa fakta yang mungkin ada kebenarannya juga sudah melalui beberapa riset kecil-kecilan lewat mbah gugel dan pemikiran sendiri. Semua kisah di cerita ini hanyalah olahan kata-kata yang saya tuangkan dalam bentuk tulisan, beberapa ngawur, fan-service, kadang membuat kentang... Begitulah.

Hal. 1
Hal. 1 juga
Hal. 4
Hal. 6
Hal. 7
Hal. 9
Hal. 11
Hal. 12
Hal. 13
Hal. 14
Hal. 16
Hal. 18
Hal. 20
Hal. 22
Hal. 25
Hal. 27
Hal. 28
Hal. 30
Hal. 32
Hal. 34
Hal. 36
Hal. 38
Hal. 42
Hal. 44
Hal. 46
Hal. 48
Hal. 51
Hal. 53
Hal. 55
Hal. 59
Hal. 62
Hal. 65
Hal. 70
Hal. 74
Hal. 80
Hal. 85
Hal. 88
Hal. 91
Hal. 95
Hal. 98
Hal. 101
Hal. 105
Hal. 109
Hal. 114
Hal. 117
Hal. 120
Hal. 125
Hal. 129
Hal. 133
Hal. 136
Hal. 140
Hal. 142
Hal. 147
Hal. 151
Hal. 153
Hal. 158
Hal. 162
Hal. 167
Hal. 170
Hal. 174
Hal. 179
Hal. 184
Hal. 188
Hal. 193
Hal. 198
Hal. 203
Hal. 207
Hal. 212
Hal. 216
Hal. 221
Hal. 224
Hal. 227
Hal. 231
Hal. 236
Hal. 240
Hal. 245
Hal. 250
Hal. 256
Hal. 262
Hal. 268
Hal. 275
Hal. 279
Hal. 283
Hal. 289
Hal. 295
Hal. 303
Hal. 309
Hal. 316
Hal. 323
Hal. 329
Hal. 336
Hal. 341
Hal. 346
Hal. 352
Hal. 357
Hal. 364
Hal. 370
Hal. 375
Hal. 379
Hal. 383
Hal. 387
Hal. 392
Hal. 395
Hal. 399
Hal. 403
Hal. 409

Epilog Hal. 409
 
Terakhir diubah:
Pusing kepalaku memikirkan tawaran menggiurkan dari Aida kala itu. Sangat menggiurkan sekali malah. Aida itu bodinya memang aduhai betul. Tingginya sekitar sebahuku dengan rambut pendek seleher memamerkan keindahan kulitnya yang putih mulus. Tubuhnya tidak terlalu montok dan dadanya terlihat sangat sekal dengan bokong yang juga pas dipandangan apalagi digenggaman.

Tawaran untuk menghamilinya jelas membuat semua imej yang selama ini mengisi pikiranku berubah menjadi bayangan dirinya yang sedang telanjang bulat sedang mendesah-desah menerima genjotanku. Wah... Indah sekali bayangannya. Air liurku beberapa kali kuseka dengan punggung tanganku.

Aku bukannya orang yang suci-suci amat. Sudah lama kutinggalkan dunia semacam ini. Kalau bisa dibilang setelah berkeluarga dan punya anak, ini adalah masa-masa tobatku. Tobat dari segala macam kubangan seperti ini. Masa aku harus nyebur lagi karena satu tawaran dari perempuan bernama Aida. Aida yang bahenol. Putih dan menggairahkan...

Kan? Bayangan perempuan itu lagi yang nangkring di otakku. Bayangan ia yang sedang berbaring dengan pasrah, kaki terbuka lebar mempersilahkanku masuk dan menghamilinya.

Apa semudah itu menghamilinya? Dengan istriku memang sangat mudah. Terlalu mudah malah. Bayangin aja, saat di pelaminan dulu ia dalam keadaan menstruasi sehingga aku uring-uringan di malam pertama gak bisa nyoblos. Sekalinya sudah bisa eh, dianya langsung tekdung anak pertamaku. Apa mungkin bisa semudah itu dengan Aida nantinya, kalau aku setuju dan mengambil tawarannya?

Kenapa lakinya tidak pernah berhasil menghamilinya? Mereka berdua sudah pernah konsultasi ke dokter dan dua-duanya tidak ada masalah sebenarnya. Lalu mulai ada masalah ketika Agus mendapat promosi di pekerjaannya dan mulai mengalami kenaikan berat badan juga karena kenaikan taraf ekonomi. Agus jadi doyan makan. Hubungan intim mereka mungkin jadi sedikit terganggu.

Okelah Aida tidak hamil-hamil juga olehku, tapi kan itungannya kami berdua sudah selingkuh ya? Gimana kalau dia baper? Gimana kalau dia macam-macam dan ember? Bodo amat dengan keluarganya. Lah gimana keluargaku? Aku sudah cukup nyaman dengan keadaanku sekarang ini. Keluarga yang bahagia dan aman serta tentram. Masa aku harus mempertaruhkannya karena satu perempuan itu saja? Lagipula aku tidak merasa kurang dengan istriku, ia bisa melayaniku dengan baik dalam segala bidang. Dari mengurus rumah, anak sampai ranjang semuanya baik, tak ada yang kurang. Lalu kenapa aku merusaknya dengan perempuan lain?


"Bang Aseng... Jadi, bang?" tanya Aida lagi ketika aku berjumpa dengannya sore itu. Padahal aku sudah menghindar dari melewati rumahnya. Tapi perempuan ini gigih amat sampe bela-belain nyari aku dan Salwa yang sedang berjalan-jalan di gang sebelah sore ini. Di depan sebuah tanah kosong luas yang hanya ditanami pohon-pohon pisang kami bertemu. Aku tak mungkin menghindar.

"Eh... Aida... Gimana ya?" jawabku bingung. Padahal aku sudah memutuskan untuk menolaknya. Tapi begitu ketemu orangnya, casing-nya yang bagus begini malah menggoyahkan iminku. Apalagi imanku memang cukup lemah. Wajah cantik menawannya malah membuat si Aseng junior-ku cenut-cenut pengen test drive. Tanpa bisa kutolak Salwa sudah berpindah tangan kepadanya.

"Mau-lah, bang Aseng..." pintanya kembali dengan muka memelas. Duh aku jadi membayangkan wajahnya gimana kalau sedang digenjot keenakan?

"Aku gak sampe ati, Da..." jawabku coba-coba. "Aku kenal sama lakikmu... Itu kan namanya udah selingkuh... Gak bisa-lah aku, Da..." tolakku sehalus mungkin.

"Tolonglah, bang... Aku udah pengen kali punya anak loh, bang..." rengeknya. Tubuhnya sampai menunduk-nunduk dan kemudian menciumi rambut Salwa.

"Tapi gak kek gini caranya, Aida... Apa nanti kata orang kalau ketauan? Rusak kita semua..." tolakku terus.

"Si Agus udah gak akan mungkin bisa, bang Aseng... Kami udah nanya ke orang tua (orang pintar, dukun)... Katanya dia udah diobatin orang yang gak senang dia jadi superpaisor... Dibuat orang itu gak bisa punya anak dia, bang..." jelas Aida tentang permasalahannya.

"Hah? Didukunin orang lakikmu?" kagetku.

"Iya, bang..." jawabnya. Ada sedikit titik air mata di sudut matanya.

"Kesitu dulu kita..." ajakku ke tengah lahan kosong kebun pisang itu. Di tengahnya ada gubuk kecil yang kerap dipakai bermain judi di malam hari. Aida duduk memangku Salwa dan aku duduk tak jauh darinya. Kalau di sini aku bisa ngobrol dengan aman dengannya tak terganggu orang yang lalu lalang dan memperhatikan interaksi kami.

"Cemana ceritanya? Kok bisa kelen ke dukun nanya gitu? Bukannya ke dokter?" tanyaku tentu kepo.

"Udah capek kami ke dokter, bang... Yang sekali konsultasi dua ratus ribu sampek lima ratus ribu pun pernah..." jawabnya. "Kami coba-coba-lah ke orang tua... Taunya betul, bang... Si Agus dibuat orang biar gak bisa punya anak... Didoainlah kami sama orang tua itu... Tapi gak sembuh juga... Kami cari orang tua lain... kek gitu juga, bang..." jelasnya panjang lebar.

Agus didukunin orang? Memang aura pria itu tidak sehat. Seperti ada sesuatu yang terus mengikutinya. Aku sudah lama menyadarinya sekitar 6-7 bulan ini kala kami bertemu di saat gotong-royong lingkungan. Tapi aku tidak menyangka kalau itu adalah guna-guna atau sejenisnya. Biasanya kalau sudah begini, bisa menjalar kemana-mana.

"Waktu ke orang tua itu... apa katanya?" tanyaku untuk memastikan.

"Biasalah, bang... Udah sembuh katanya... Udah dibuang katanya... Buktinya gak berhasil juga..." jelasnya lebih rileks sekarang. Ia mengelus-elus lengan Salwa.

"Jadi sebetulnya kalian aslinya gak ada masalah kan ya?" tanyaku lagi berharap dia tau apa maksud pertanyaanku yang satu ini.

"Sekarang iya... Sekarang jadi loyo Agus, bang... Sebentar aja dah keluar... Mana dikit... Encer lagi..." katanya tanpa malu. Ini aib suaminya. Masa diumbar ke lelaki lain. Setelah itu ia baru sadar dan menunduk dengan menutup mulutnya dengan tangan. Ini malah menjelek-jelekkan lakinya sendiri.

"Yaah... Begitulah..." kataku dan melirik pada dadanya yang disandari kepala Salwa. Kalau kulihat-lihat, sebenarnya mudah saja menyingkirkan guna-guna yang melekat pada mereka berdua ini. Kenapa kukatakan pada mereka berdua? Karena dukun itu menyerang dengan guna-guna ini sepaket dan berdasarkan keadaan saja. Sepaket artinya pada suami dan juga istrinya. Itu berarti ada pada Agus dan Aida. Sesuatu yang mengikuti Agus juga ada di diri Aida walau lemah. Mengenai keadaan, ya guna-guna ini hanya bekerja saat mereka sedang bersenggama saja. Jadi sesering apapun mereka melakukan seks dalam pernikahan mereka, guna-guna yang menggunakan kekuatan jahat ini menghalangi mereka untuk menghasilkan keturunan. Mungkin ini yang kurang dipahami oleh dukun yang berusaha menyembuhkan mereka. Pikiran picik mereka kurang menyadari kalau lawan mereka berpikiran lebih panjang dan penuh perhitungan. Alhasil guna-guna ini sulit disembuhkan dengan tuntas. Dipikirnya guna-guna itu sudah dibuang dan tak tau kalau bisa balik lagi begitu mereka berdua melakukan hubungan suami-istri. Kasarnya; jin, media guna-guna ini memakan semua sperma milik Agus!

"Jadi... Gimana, bang? Aku udah gak tau lagi harus bagaimana? Aku gak mau anak dari laki-laki laen-loh... Cuma dari abang Aseng aja..." katanya lagi mengulang tawaran menggiurkannya itu.

"Apa lakik-mu tau?" tanyaku paok-paok bodoh. Bego malah.

"Ya enggak-lah, bang! Cari mati namanya itu..." jawabnya manyun sampai bibirnya maju. Pengen rasanya menggigit bibirnya itu. "Ish..." pekiknya kecil menghindar karena aku hampir mencubit bibirnya itu karena gemes. Mencubit dengan lima jari. Mencomot mungkin kali tepatnya ya?

"Abang getek (genit)... Maen cubit-cubit..." rajuknya dan memeluk erat Salwa.

"Yah... dicubit dikit aja gak boleh... Gimana mau masuk?" kataku. Ups! Mampus muncungku. Udah betulan getek pulak.

"Betul, bang? Kalok betul kukasih-pun semua, bang..." berseri-seri mukanya mendengar kalimatku sebelumnya. Ia memegangi dada kirinya. Sedikit meremas.

"Gak, Da... Maen-maennya aku..." tolakku kaget. Kenapa ia menanggapinya begitu. Udah kepengen betul-lah betina satu ini.

"Betol loh aku, bang... Gak maen-maen aku, bang... Tengok-lah ini..." tanpa ragu dinaikkannya sebelah kaos yang dipakainya dan menunjukkan sebelah dadanya yang masih terbungkus bra warna biru langit.

Glek!

Bulat nian itu sebelah dada! Putih, padat dan kelihatannya empuk sekali. Tidak-tidak! Cepat-cepat aku membuang pandanganku beralih dari sebelah dada Aida ke rumpun pisang kepok yang pohonnya tinggi-tinggi dan berdaun lebar.

Indah sekali tetapi. "Tengoklah ini, bang..." lirih bisik Aida lagi. Aarrhh... Puting itu! Puting indah berwarna coklat muda dan mencuat keras. Walau hanya sekilas pandang, tetapi ternyata Aida berani mengeluarkan sebelah payudaranya dari cup branya. Waaah... Bahaya nih!

"Salwa pun mau, bang..." tambahnya lagi. Dengan sangat kurang ajarnya, Aida menjejalkan payudaranya pada mulut Salwa. Itu anak bayi yang mangap-mangap aja gak tau papanya lagi panas dingin dikasih tontonan begini. Maen sedot aja Salwa padahal pasti gak akan ada susu yang keluar dari sana. "Geli, bang... Lidah Salwa kasar... Lidah papanya pasti lebih enak, nih..." goda Aida terus. Mati aku! Aseng junior udah menggeliat dari tadi dan selangkanganku terasa hangat.

"Da... Aida! Jangan gitulah... Gak tahan aku, Da..." kataku dengan suara serak dan menggeleng-geleng tak tahan beneran ini.

"Bang Aseng... Liat ini, bang... Enak, bang..." desahnya sambil meremas payudaranya yang sedang diunyel-unyel Salwa yang berharap mendapat ASI dari sana. Kurang, Aida juga mengeluarkan sebelah payudaranya, kaosnya sudah bergulung dibawah lehernya. Sepasang payudaranya sudah menjadi tontonan segar sore yang terasa sangat gerah bagiku dan Aseng junior. Tanganku sudah gatal ingin menjamah dan meremas-remas dua buah gunung indah itu.

Nyamuk-nyamuk di kebun pisang bak menjadi malaikat penolong bagiku. Karena gigitannya sukses membuat Salwa menangis karena tangan dan kakinya bentol merah digigit nyamuk. "Duh Salwa... Cayank... Gigit nyamuk, ya?" sadar Aida melihat tangisan Salwa karena gigitan nyamuk membuat tangan dan kaki mungilnya gatal.

Masih dengan nafas memburu, kusambar Salwa dari dekapan Aida dan beranjak menjauh. Pulang.

"Bang Aseng... tadi kenak, loh..." kata Aida mengingatkanku kalau saat aku mengambil Salwa darinya, kedua tanganku sempat, tanpa sengaja menyenggol kedua benda indah kenyal yang tumbuh menggantung indah di dadanya itu. Sebelum aku sempat balik kanan, ia meremas kedua dadanya dan aku kabur dari kebun pisang laknat itu. Setan-setan kurang ajar di sana jejingkrakan girang melihat kejadian barusan.

Sampe rumah aku kena semprot omelan istriku karena tangan dan kaki Salwa bentol-bentol digigit nyamuk kebanyakan maen di kebun. Aish! Kalaulah istriku tau sama siapa aku di kebun tadi?
 
Mohon dipersori-lah bro, lae, apara, impal, sedulur, ninik mamak, suhu, master pembaca sekalian. Stok ceritanya belum banyak kali kek cerita dulu. Tapi dah tesesak kali awak mo nulis lagi.
Udah lama kali gak nulis sejak Quest tahun 2016 dulu.
Ini ceritanya seperti biasa memang suka-suka hati aja-nya mbuatnya. Jangan diambil ati kali. Apalagi kalo dipikirin. Kata Mael Lee retak ginjal kita dibuatnya.
Nikmatin aja-lah ya.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd