Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Bb M — Baby Maker (Ribak Sude Story)

Agenda padat beberapa hari ini dimana aku harus setoran pada dua orang perempuan sampai pagi, berangkat kerja pagi sampai sore. Kapan aku tidurnya?

Kamu... Ya, kamu, kan yang nanya gitu tadi? Benar sih. Secara normal aku gak tidur-tidur. Pergi kerja masuk jam 9 pagi... Pulang jam 5. Cengkrama bareng anak dan istri sore hari sampe malam, aku ngelembur di hotel bareng Pipit sampe tengah malam. Lanjut lagi dengan Yuli sampe pagi menjelang Subuh. Abis Subuh bantu-bantu istri beres-beres rumah kalo anak belum pada bangun. Bagi tugas mandiin kedua anakku sementara istri buat sarapan. Jalan-jalan ritual pagi keliling gang. Betul gak ada tidurnya ya...

Kok masih idup?

Ha ha ha ha... Kadang anda terlalu kejam kisanak. Haram jadah kau, mak Lampir! Bedebah! Terima seranganku! Hyaaat! Gubrak.

Bisa, kok. Aku bisa tidur dengan nyenyak. Cukup lama juga. Sekali tidur bisa dua-tiga jam. Kapan? Kapan aku mau. Makan gaji buta, ya? Nyuri waktu kerja? Ngakunya lagi ke lapangan, taunya cari pojokan sepi dan aman? Bukan. Bukan itu. Tuh kan kamu kejam menuduh serendah itu. Gajiku halal loh ini. Gak ada bagian makan gaji butanya. Jauhi ghibah dekatin janda. Apaaa-lah kao, Seng?

Gini penjelasannya. Pada tau, kan penjelasan Menggala sebelumnya dan juga kejadian pertarungan-pertarungan seru melawan individu-individu supranatural waktu itu. Semua dilakukan di dimensi lain yang tak terikat waktu. Sayangnya belum pernah ada yang meneliti fenomena ini apa sama dengan Alternate Realm ato apapun itu namanya. Dimensi-dimensi itu adalah milik mereka, para lawanku. Jadi lingkungan gelap dengan dinding lapuk itu milik si wak dukun kimak itu, hutan bambu itu milik si wak mesum gendheng itu, dan padang savana itu adalah milik Pipit sebagai seorang Menggala. Aku yang juga seorang Menggala tentunya juga punya dimensi semacam itu. Aku tidur di sana.

Sesimpel itu, kok. Aku mah gitu orangnya... Simpel. Setidaknya jiwaku sudah beristirahat cukup dan tubuh mengikuti. Men sano incorpore sano. Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Betul ya tulisannya kek gitu? Mbuh. Jadi kalo jiwaku sudah beristirahat cukup, tubuhku juga sudah beristirahat. Gitu deh.

Jadi kalo aku lagi bengong sebentar, mungkin itu aku lagi tidur. Kalo air dari dispenser meluap dari cangkir kopiku, mungkin itu aku lagi tidur. Kalo aku ngupil gak dapet-dapet sasarannya, mungkin itu aku lagi tidur.

OK? Clear, kan semua? Gak ada masalah lagi? Puas dengan jawaban saya. Kalau kurang coba cari binor di sekitar anda, mana tau bisa memuaskan dahaga anda-anda sekalian. Okeh... Kita lanjut.

-------------------------------------------------------
Saat ini kerjaan lagi seru-serunya nih. Masih jam 10 pagi. Masih semangat pol. Ketik laporan itu. Klik-klik ini. Periksa laporan si fulan dan si anu. Coret-coret revisi proposal. Evaluasi bagian itu dan ini. Prospek jangka pendek dan realisasinya. Seru, kan? Kalo bosan aku tidur sekelak.

"Bang Aseng... Jadwal PPIC-nya bisa bentrok kalo begini caranya-lah..." kata seorang staf yang datang ke mejaku. Ia memegang beberapa lembar kertas yang biasanya jadwal-jadwal produksi yang didelegasikan kepada bagian produksi di lapangan. Nambah lagi kerjaanku untuk menjelaskan beberapa revisi yang sudah kulakukan sebagai bagian perintah dari kak Sandra beberapa waktu lalu. Lalu beberapa orang lagi kupanggil juga untuk sekalian ku-briefing agar gak perlu dijelasin satu-satu.

Jadi ada briefing mendadak di sekitar mejaku yang dihadiri beberapa staff PPIC dan beberapa lainnya yang kiranya terkait seperti Maintenance dan Logistic. Ada sekitar setengah jam aku harus menjelaskan beberapa point yang telah dirombak abis-abisan sesuai arahan dari Factory Manager yang juga merupakan kebijakan dari atasannya lagi, Direktur Utama.

Kenapa gak kak Sandra yang melakukan ini semua? Entah juga ya? Aku pun kok baru nyadar sudah disuruh-suruh ngelakuin tugas yang bukan tanggung jawabku. "Alo, kak?" teleponku langsung ke ruangannya minta penjelasan.

"Ha?... Hamik, Seng?" (Apa, Seng?) jawabnya cepat terdengar suara ketukan tuts kibot laptopnya di sana.

"Kok awak yang ngasih penjelasan ke PPIC, ya kak? Bingung awak... Mengenai yang tadi pagi itu loh..." tanyaku.

"Anggap aja lu training jadi wakil wa..." jawabnya tetap bekerja multi tasking.

"Kan ada Tiwi, kak... Masak awak jadi wakil kakak, sih?" protesku. Kan ada asistennya, si mendadak hijaber Tiwi. Anak Marelan Pasar 5 dekat lapangan bola itu.

"Tiwi itu asisten wa... Kek sekretaris wa... Beda-la sama wakil..." jawabnya santai. Eh langsung ditutup.

"Wakil?" gumamku di antara tumpukan berkas-berkas laporan dari beberapa bagian yang harus aku ku-cross check dengan beberapa data di layar komputerku. "Tambah botak-lah rambutku ini..." sambil mengelus-elus kepalaku. Udah sering dijambakin perempuan kalo ngeseks, tambah lagi stress.

Ternyata ada seseorang yang lagi berdiri di sudut mejaku sedang maenan HP. Mungkin menunggu aku selesai teleponan tadi. "Kenapa, Dan?" sapaku untuk beralih meladeninya. Dani ini adalah kepala bagian PPIC. Berarti dia balik lagi setelah semua yang tadi briefing kembali ke tempatnya masing-masing. Mungkin ada yang mau ditanyakannya lagi lebih jelas.

"Tunggu, ya bang..." selanya ingin menyelesaikan urusannya di HP itu. Sebagai staff senior di kantor ini, sabar kali awak ini nunggu perempuan satu ini selesai chatting sama temannya. Padahal urusanku pun banyak kali juga. Senyum-senyum pulak dia ngetik-ngetik di HP-nya. Nama lengkapnya Rahmadani sehingga lebih sering dipanggil Dani. Ada cerita lucu tentang namanya karena waktu SMA ia pernah merengek minta ganti nama sama orang tuanya. Waktu kecil karena sok keren dikasih nama Rahmadhani. Pas SMA itu, waktu diabsen guru, dia panggil Rahmad Hani. Kek gitu kali motongnya. Udah berubah jadi laki-laki pulak. Jadilah sampai sekarang huruf 'h' itu dihilangkan jadi kalau dipotong jadi Rahma Dani. Kek mana kalo ada yang manggil Rahmad Ani? Sama aja, kan? Ntah lah! Gak urusanku-la itu. Urus kali-pun.

Bertopang dagu awak jadinya menunggu ia selesai. Hng? Ngapain perempuan satu ini? Chatting kok pake gesek-gesek di ujung mejaku? Pas pulak yang digesek bagian itunya. Iya bagian itu. Kelen cobak-la berdiri menghadap meja kantoran yang berbentuk segi empat, pas di sudut 90°-nya. Apa yang kenak? Segitiga pengaman itu, kan? Kalo kao laki-laki, gelik pulak aku ngebayanginnya. Ini si Dani, perempuan berjilbab modis yang tinggi langsing itu sedang menggesek-gesekkan bagian depan selangkangannya. Kadang ditekan-tekannya hingga bagian depan kulot (model celana yang ketat pada bagian paha dan gombrang pada bagian betis) hitam yang dikenakannya itu berbentuk jelas cetak ketat tembem meki-nya terbelah.

Apa yang sedang di-chatting-kannya di sana? Sex-text? Ato sedang berkombur (ngobrol ngalur-ngidul) dengan temannya? Gatel mungkin ya meki si Dani ini hingga harus multi-tasking antara nge-chat dan garuk. Ntah-la pulak. Ada sekitar 2 menit ia melakukan itu lalu menyudahi maenan HP-nya. Ia rupanya ingin menanyakan sesuatu yang lebih detil tentang program-program tadi. Gak kusinggung kok tentang gesek-gesek enaknya tadi. Mungkin dia-pun tak sadar melakukan itu. Tak lama ia pergi kembali ke tempatnya. Segera kucek sudut mejaku. Lecet gak?

Menang banyak-la kao sudut meja. Bisa kao rasain meki tembem si Dani tadi. Ada bau-bau segar... Aku membaui bekas yang kuambil dari sudut itu di jariku. Bukan bau gak enak kalo keputihan yang sering jadi penyebab kemaluan perempuan gatal. Kupandangi lama sudut meja itu. Pandanganku terhalangi karena setumpuk file lain diletakkan Tiwi di dekat sudut itu. "Awas melamun bang Aseng... Traktiran odong-odongnya belom..." kata Tiwi ingat aja. Ia tertawa-tawa pergi. Asem itu anak.

Baru aja mau nyentuh itu tetikus, muncul lagi itu perempuan. "Ya, Dan... Ada yang lain?" tanyaku. Itu perempuan modis berhijab tadi nongol lagi tiba-tiba dan berdiri begitu aja di samping mejaku. Dia berdiri tidak di sudut meja tadi melainkan di sudut meja yang ada di sampingku.

"Aa... Mmm... Itu..." ujarnya gugup. Ragu apa yang mau diungkapkannya. Kuputar kursi kerjaku agar bisa ngeliat dia langsung yang seperti salah tingkah. Jarinya seperti menunjuk-nunjuk ke satu tempat. Apa dia lagi ngeliat penampakan mahluk ghaib? Hanya orang-orang tertentu yang bisa ngeliat mereka. Kuikuti arah jarinya menunjuk. Kesitu?

"Kenapa, Dani? Ada apa disitu?" tanyaku melongok ke arah yang diliatinnya. "Ini ya?" kataku mengelus-elus sudut meja yang tadi sempat dinikmatinya. Gerakan mengelusku kubuat selentur dan seerotis mungkin. Ia berdiri kikuk dengan kedua tangan dalam posisi defensif di depan menutupi kemaluannya yang tentu saja masih tertutup celana kulotnya.

"Bang... Aseng ngeliat ya?" suaranya lirih.

"Yaaa... Dikit... Kok diulang lagi?" jawabku dan langsung nanya lagi. Karena ia entah kenapa malah menggesekkan mekinya lagi di sudut meja yang tepat berada di samping kananku. Kaget aku melihat tingkahnya. Kenapa anak ini? Kembali ia menggesek-gesekkan bagian depan kemaluannya pada sudut mejaku hingga terlihat belahannya jelas terbentuk.

"Mm... Gak tau, bang... Dani gak bisa menahannya... Maunya diginiin aja..." katanya bingung. Terlihat dari ekspresi wajahnya yang memerah dengan sedikit titik keringat.

"Udah-udah... Hentikan itu, Dan... Nanti ada yang lain ngeliat..." kataku menepuk bahunya lalu mengusap-usap lengannya untuk menenangkannya. Telah terjadi sesuatu padanya. Tapi entah apa. Kuambil sebuah kursi dan kusuruh ia duduk di sana. Lebih baik kutanya pelan-pelan. Dani bernafas pelan-pelan dan duduk menenangkan diri dengan pandangan menunduk. Kenapa perempuan ini? Kenapa ia bisa melakukan hal memalukan ini di depan laki-laki yang bukan siapa-siapanya. Kalo sama lakiknya, kurasa sah-sah aja sebagai pancingan atau lelucuan. Lah ini di depanku, berulang lagi. "Apa yang terjadi Dani? Ada apa ini?"

Ia tetap menunduk. Tangan kirinya bergerak perlahan yang awalnya dipegangi tangan kanan, terlepas, menyusuri pahanya dan mendarat di permukaan mekinya lagi. "Jangan lagi, Dan!" cegahku dengan suara tertahan. Seperti ada yang sedang mengendalikan tubuhnya. Ada aura jahat yang menyelimuti tubuh perempuan ini. Kutahan tangan kiri Dani yang menggesek-gesek kemaluannya dari luar celana kulot yang dikenakannya. Keras! Kenapa tangan mungil yang terlihat lemah dan lembut itu begitu keras. Tanpa bisa kucegah lebih jauh, tangannya menelusup masuk ke dalam celananya dan kembali melakukan gerakan menggesek itu lagi.

"Baang Aseeng... Toolong, Daaniii..." isaknya pelan lebih mirip bisikan. Tangan kanannya mencengkram pegangan kursi yang didudukinya. Di posisinya duduk saat ini, memang situasinya cukup kondusif. Kami seperti sedang mendiskusikan sesuatu yang biasa kami lakukan sehari-hari. Para penghuni kantor lainnya sedang asik dengan pekerjaannya masing-masing. Terkadang ada yang lalu lalang tapi cubicle milikku memang sedikit lebih luas daripada staff lainnya karena aku menyimpan banyak data-data dari berbagai bagian yang disortir dalam beberapa kardus berbeda. Ditumpuk dan diberi label.

Dani & Monstera

Aku harus mencari daun! Segera! Ah... Aku harusnya memelihara tanaman di meja kerjaku lain waktu. Ah... Tak jauh dari sini, di dekat tangga ada tanaman hias bernama Monstera. Tanaman berukuran besar ini mirip keladi dengan warna daun hijau tua tetapi berlubang-lubang searah kontur tulang daunnya mirip kipas. Daunnya mengkilap karena selalu dilap OB kantor. Waduh... Daunnya cuma ada tiga helai lagi. Kalau kuambil satu, bisa-bisa OB kena masalah nih. Oop! Itu dia... Peace Lily. Berdaun banyak dengan bunga kuncup berwarna hijau muda. Daunnya mirip daun jahe dan sejenisnya yang tumbuh dari rimpang. Kuambil dua helai daunnya dan buru-buru balik lagi ke cubicle-ku.

Peace Lily

Lah! Mana Dani-nya? Kemana perempuan itu pergi. Apa dia tadi menyusulku. Kepalaku mendongak celingukan mencari di antara cubicle lainnya. Hanya ada kesibukan biasa di antara pekerja lainnya yang seliweran di sekitar area kerjanya. Sekelebatan aku melihatnya menutup pintu kaca di ujung sana. Aku tanda dengan hijab hitam yang dikenakannya ada sedikit aksen merah senada dengan seragam kerja. Tak mau buru-buru, aku berjalan belagak mau kesana juga. Pintu itu menuju pada gudang arsip di sebelah ruang Meeting nomor 3.

Bikin repot aja nih. Celingak-celinguk aku membuka ruang Meeting dan kosong. Hanya gudang arsip yang tersisa. Kuperiksa di sana. Pintunya terbuka. Pasti Dani ada di dalam sini. Itu dia. Duduk membelakangiku di sebuah kardus penuh file 2 tahun lalu. Ada banyak kardus sejenis di gudang ini karena filling cabinetnya sudah penuh dengan file yang lebih penting. Bersusun bertumpuk sampai hampir mencapai langit-langit. Untung saja tempat ini diinsulasi dengan baik juga ventilasi mencukupi sehingga kelembabannya terjaga.

"Dani?..." sapaku mendekat. Ia menunduk seperti tadi dengan celana kulot sudah turun sampai ke betis bersama celana dalam berwarna putihnya. Tangan kirinya bebas menggerepe dirinya sendiri. Isakannya terdengar jelas karena aku berdiri di sampingnya. Lebih mirip desahan kurasa. Paha mulus dan putihnya kulirik sekilas dan pandanganku tertumbuk pada permukaan celana dalamnya yang menggantung bersama celana kulotnya. Ada cairan bening membekas di sana.

"Dani... Apa kau masih sadar?" tanyaku. Kelakuannya ini sudah mirip kesurupan. Ia kutenggarai sedang dikendalikan oleh sesuatu yang ingin menguasainya. Sebuah ilmu hitam yang jahat karena mengkondisikan korbannya jadi seperti ini. Hanya ada suara decak becek berkecipak kobelan jarinya pada vaginanya sendiri. Dua jari; jari tengah dan jari manis tenggelam di dalam liang kawinnya.

"Clak-clak-clak-clak!" suara kasar kecipak vagina basah terdengar jelas di telingaku. Ia seperti tidak perduli apapun lagi. Muka Dani memerah dengan mata terpejam dan ia menggigit bibir bawahnya. Gerakan mencoblos itu makin cepat dan liar, kemudian cepat lebih cepat lagi.

"AAaahh!!" berkejat tubuh Dani melepas kedua jari yang bercokol di dalam vaginanya sendiri. Sejumlah cairan meluncur deras berupa squirt beberapa kali, mendarat di lantai keramik. Wow! Baru kali ini aku melihat perempuan squirt kek gitu. Bisa nembak gitu, ya? Geleng kepala aku takjub. Kurang dari satu meter jauhnya semburan squirt barusan.

Dani terduduk lemas dengan kepala menunduk. Kakinya berselonjor lebar sekenanya. Seragam kerja berupa kemeja lengan panjang berwarna hitam dengan aksen merah di kerah dan ujung lengan, tergulung sembarangan dibagian bawahnya. Memaparkan bagian bawah tubuhnya yang terbuka. Aku bahkan bisa melihat meki gundul becek basah yang masih berkedut-kedut miliknya, sedikit terbuka sisa permainan tadi.

"Dan... Dani?" ulangku memanggilnya. Kedua helai daun Peace Lily kupegang erat di dua tangan. Aku menjaga jarak. "Dani... Apa kau bisa mendengarku? Kau gak pa-pa?" aku gak mau mendekat lebih dari 5 langkah darinya. Ini jarak amanku sesuai senjata yang kusiapkan.

"ROAARRKKHHH!!" tiba-tiba sesosok asing dan mengerikan melompat keluar dari tubuhnya. Ada kepulan asap hitam yang mengikutinya. Bentuknya berupa tengkorak gosong dengan beberapa sisa daging yang hangus masih menempel. Terjangan cepatnya sudah kuantisipasi. Jari berupa tulangnya menggapai akan mencakar mukaku. Melompat mundur, menjatuhkan badan, dua daun pedang Peace Lily menahan lalu menyabet tangan kanannya hingga putus pada pertengahan tangannya. Kuat juga daun tanaman hias ini.

Tubuhnya geblak jatuh di lantai keramik dan terdengar suara kletukan tulang-tulang yang beradu di lantai keras. Gak mau menunggu lama-lama langsung kuhajar bagian kepalanya dengan sabetan pedang lagi silih berganti. Alhasil kepala dan sebagian tulang lehernya hancur tercerai berai. Mahluk ghaib yang lazim disebut jerangkong ini menggeliat-geliat mengalami kehancuran fatal pada bagian kepalanya. Terdiam lalu hilang menjadi debu. Puff! Sisa tulang tangannya juga hilang.

Kuacungkan sebilah pedang kiri Peace Lily pada ubun-ubun Dani untuk jaga-jaga. Kanan bersiap menyabet kalau ada jerangkong lagi yang muncul menyusul temannya yang udah kubantai. Aura jahat itu sudah tidak ada. Aku tidak merasakannya lagi. Apa sudah selesai? Kutunggu sebentar lagi dan tak ada kejadian lanjutan apapun. Dua pedang Peace Lily balik menjadi daun dan hancur. "Dani? Daan... Dani... bangun..." kataku segan-segan menyentuh lututnya dan menggoyang-goyangkannya. Tentu aja untuk membangunkannya. Ini perempuan pingsan ato masih keenakan orgasme squirt barusan?

Aku yang berjongkok tepat di depannya tentu aja bisa melihat lipatan meki buka-nutup waktu kugoyangkan lututnya beberapa kali. Aku bahkan yakin kalau ada tetesan cairan bening sisa orgasme dari bukaan mekinya. Kulirik sisa squirt-nya di belakangku. "Daaan?" panggilku berusaha mencapai dagunya.

"Mpp... Aaah!" tetiba ia bangun dan meregangkan kedua tangannya lebar-lebar kek baru bangun dari tidur yang sangat lelap. Tentu aja aku melongo meliat adegan ini. Dadanya membusung walau tak besar, tetapi jadi lebih mencuat karena dibusungkan ke depan. Digeretakkan tulang pinggulnya ke kanan dan kiri, terdengar gemeletuk suara tulangnya berderak dua kali. Ktuk! Kletuk! "Aah... Loh? Bang Aseng?"

Kaget Dani melihatku ada di depannya sedang berlutut. "Eh?" kaget dan panik ia menyadari kalau celananya terbuka dan melorot sampai betis dan kemaluan terpampang jelas dipamerkan kepadaku. Dibalikkan tubuhnya dengan paksa dan menarik semua gulungan celananya dengan buru-buru. "Kok Dani ada disini...? Ini gu-gudang arsip, kan?" ia meneliti tempatnya berada dan segera mengenali ruangan ini. "Apa yang abang buat padaku? Apa?... Apa, bang?" ia mendekap dadanya erat dan belahan antara kakinya.

"Dani gak ingat?" tanyaku. Fix dia tadi kesurupan. "Tadi Dani duduk disitu sendiri sambil ngobel-ngobel anumu... Keknya sampe dapat enak... Waktu awak masuk kemari pas waktu enak itu... Awak pastinya penasaran-lah... Awak gak ngapa-ngapain Dani, kok... Suwer!" kataku. Orang dalam kondisi begini mudah sekali diperdaya dan dialihkan. Berlipat-lipat alisnya kek kain lecek berpikir keras. Sepertinya ini bukan pertama kalinya terjadi.

"B-bang Aseng liat... liat semua?" tanya Dani ragu-ragu.

"Dikit, sih... Apa ada yang ngasih obat perangsang gitu sama Dani, ya? Sampe Dani sange'an gitu?" tanyaku dengan sudut pandang orang awam. Kuperagakan dua jari yang bergerak-gerak mengorek. Mudah-mudahan ia mau cerita.

"Obat perangsang?" ia berpikir sejenak. "Mungkin juga... Mm..." kembali ia berpikir karena bimbang akan cerita atau tetap menyimpannya sendiri. "Bang Aseng jangan cerita sama siapa-siapa ya?" katanya memintaku masih dengan menunduk. Hanya sesekali melirikku.

"Yaaa... Gak-lah abang mau cerita-cerita kek gini sama orang lain... Ya udah... Keluar sana... Awak mo nyarik laporan dulu..." kataku sok cool padahal dari tadi Aseng junior-ku udah ngaceng menyaksikan meki Dani yang segar dan gundul. Kalo aku berdiri sekarang, pasti bakal keliatan, makanya aku tetap berjongkok menyamarkannya.

Dani berdiri dan merapikan kembali pakaiannya. Ragu-ragu ia beranjak. Sepertinya ia akan menceritakan sesuatu padaku tapi ragu. Tau-lah kek mana gesture orang kalau maju mundur karena ragu. Tapi akhirnya ia pergi dan keluar dari gudang arsip ini. Kutunggu beberapa saat dan aku kembali lagi ke tempat kerjaku dan melanjutkan kesibukan harian.

----------------------------------------------------------
Karena kerjaan yang bejibun, aku memutuskan makan di meja kerja aja. Bisa lanjut tidur juga berkat pelindung beberapa tumpuk file yang menggunung. Aku bahkan sama sekali gak kepikiran lagi soal kejadian tadi dengan Dani. Dan ia muncul lagi di cubicle-ku.

"Gak makan siang, bang?" tanya perempuan itu. Ia membawa plastik kresek berisi makanannya. Kantor ini sepi karena semuanya pada makan di pantry khusus staff office. Ia langsung duduk saja di kursi kosong bekas dia tadi pagi.

"Udah abis, nih..." tunjukku pada bungkus sisa makananku di tempat sampah. "Masih banyak kerjaan..." padahal aku mau tidur dulu sekelak, eh dianya nongol tiba-tiba. "Ada yang bisa awak bantu?" tanyaku lalu melipat tangan di atas meja sok jadi konsultan profesional. Tumpukan file di atas mejaku ada beberapa bagian.

"Mm... Itu bang... Mengenai yang tadi itu..." gumamnya.

"Yang tadi? Yang tadi itu..." ulangku dengan dua jari tengah dan manis rapat bergerak-gerak kek salam metal jadinya. "... di gudang arsip?"

"He-eh..." jawabnya pendek dan mengangguk dalam. "Dani sering kesurupan kek gitu, bang..." begitu selesai kalimat itu ia menunduk lagi. Kakinya terkatup rapat dan kedua tangannya memegangi lututnya. "Makin lama makin sering..."

"Kesurupan? Tapi tadi Dani gak ada kejang-kejang... gak ada tereak-tereak kek gitu... Awak liat kayak orang sange aja..." kataku antusias pengen tau apa yang terjadi.

"Kesurupannya memang kek gitu, bang... Dani jadi suka megang-megang ini... anu Dani, bang... Kalau uda selesai... baru kesurupannya ilang..." jelasnya agak lebih terbuka. Mukanya memerah dibingkai hijab hitam yang dikenakannya. Jadi ceritanya ini setannya mesum-lah.

"Baru tau awak ada kesurupan kek gitu..." kataku garuk-garuk dagu. "Baru dengar pulak..."

"Awalnya badan Dani anget... Maunya gesek-gesek anu Dani ke... yang bisa digesek aja... Terus tambah panas... Lalu pake tangan... Buka celana... Kek yang abang liat di gudang arsip tadi itu-lah..." jelasnya semakin dalam menunduk. "Dani udah pernah di-ruqyah... Beberapa ustadz Dani datangi untuk mengusir setan itu... Tapi dia selalu balik lagi-balik lagi..."

Aku termangu.

"Hari ini aja udah dua kali, bang... Yang pertama... tadi pagi di rumah... Yang kedua yang sama abang tadi... " lanjutnya. Ia meremas lututnya resah.

"Apa yang sudah Dani lakukan sampai mengundang setan itu ke tubuhmu? Bentuknya jerangkong... Tengkorak hitam gosong terbakar..." kataku tiba-tiba tembak langsung. Pasti sudah terjadi sesuatu. Setidaknya perempuan ini sudah melakukan sesuatu yang menyimpang.

"Mm... Tengkorak hitam ya, bang?" herannya dan memandangiku untuk beberapa saat. Pasti dia heran kok aku bisa tau. "Abang kok bisa tau?" tanyanya penuh penasaran.

"Gak usah bahas itu... Jawab aja... Apa yang sudah Dani lakukan? Apa yang kau minta sama Jerangkong itu?" tanyaku tegas. Kupandangi wajah cantiknya yang terlihat takut. Keringat menetes padahal ruangan ini sejuk.

"Da-Dani sama suami minta anak, bang... Hiks..." jawabnya pelan.

"Sama dukun?" bentakku. Ia mengangguk lalu mengelap air mata di sisi kirinya. Ia mulai terisak. Lalu ia mulai cerita kalau dukun itu mengarahkan mereka berdua untuk mandi di tujuh buah sumur kramat di beberapa daerah. Keduanya mandi kembang dengan air dari ketujuh sumur itu berturut-turut. Awalnya mereka tidak terlalu khawatir karena beberapa sumur ada di lingkungan mesjid. Sumur terakhir berada di tengah hutan di daerah Sibolangit. Tempat itu seharusnya punya banyak mata air jernih karena satu merek air minuman mineral terkenal (Aq**) juga bersumber di sana, tetapi sumur ini tidak. Hanya ada lumpur hitam di dasarnya. Lumpur itu mereka campur sedikit air agar lebih encer dan dipaksakan juga untuk mandi kembang. Lengkap 7 sumur dan mereka diwajibkan berpuasa sehari semalam mulai saat itu sampai keesokan di jam yang sama. Buka puasa mereka diharuskan bersenggama di dekat sumur terakhir itu. Karena mereka suami istri dan lokasinya di tengah hutan juga, mereka tidak masalah. (Saat senggama dukun gak hadir, ding). Tapi sampai sekarang mereka belum juga mendapatkan khasiat semua ritual tadi. Dan itu sudah 9 bulan yang lalu.

"... Setelah itu... malah Dani mulai kesurupan seperti ini... Hiks-hiks... Kami sangat menyesal, bang... ikut ritual itu..." sudah jadi tangisan sekarang. Ia berkali-kali narik ingus yang meler. "Malah jadi sesat kami, bang..."

"Daan... Daan... Kok mesti ke dukun-lah kelen?" sesalku mengusap muka.

"Terakhir kami dengar... rupanya sumur terakhir itu dulu pernah dipakai untuk membuang mayat pembunuhan, bang... Sekali ketemu udah tinggal tengkoraknya aja... Itu mungkin hantu yang dibunuh itu ya, bang... Hiks-hiks..." katanya nambah informasi baru. Nah itu baru kerjaan setan. Setan yang berbentuk manusia. Dani dan suaminya menikah tak lama setelah aku juga menikah. Itu lebih dari 4 tahun yang lalu. Memang ia tak kunjung dikaruniai anak. Tapi karena pembawaannya yang happy-go-lucky, ia seperti tak terlalu mempermasalahkannya. Sering jalan-jalan dan berlibur. Pokoknya senang-senang-lah. Ternyata dibalik itu mereka bahkan melakukan hal sampai yang ekstrim sekalipun. Ritual sesat. Bawa-bawa sumur mesjid lagi.

"Jadi... Dani cerita kek gini sama awak maksudnya apa?" tanyaku dengan nada rendah agar ia tidak merasa terintimidasi. "Cam awak apa aja?... Mana-lah ngerti awak kek gitu-gitu..." kataku.

"Tengkorak hitam itu yang bilang sendiri, bang... 'Bawa kemari kawan kau yang bernama Aseng itu. Kuhancurkan kepalanya'... gitu katanya, bang waktu beberapa malam kemaren Dani kesurupan di rumah... Suami Dani yang dengar semuanya..." ujarnya memperagakan dirinya sendiri yang sedang kesurupan sambil mengatakan tantangan tadi. Heleh! Kepala kao yang sudah kuhancurkan! Tau kao! Bacrit kao! Banyak crita kao!

"Takut-lah awak kalo kek gitu, Dan... Masak disuruh duel sama setan... Kalo pulut ketan bisa kumakan... Lah ini setan tengkorak?" kataku bergidik-gidik takut. "Gak-lah... Nehi-nehi acha..." aku bergoyang gemulai kek nari dekat pohon.

"Tolong-lah, bang... Kami gak tau lagi harus gimana?" katanya mendesak sampai memegangi tanganku memohon bantuan. "Tengkorak itu nantang bang Aseng karena dia tau bang Aseng bisa... Gitu kata suamiku..." diguncang-guncangnya tanganku dengan tangan lembutnya. Lain pulak yang kutengok berguncang. Tetek mungilnya, bro. Bisa berguncang rupanya. Lucu keknya di balik sana.

"Udah... Iya-iya... Udah gak ada jerangkong itu... Udah kupecahkan tadi kepalanya..." kataku sambil menahan tangannya agar berhenti mengguncang tanganku lagi. Kedengaran kek mengada-ada. Tentunya dia gak percaya. Percaya sama Tuhan kao, dek. Jangan sama Aseng. Musyrik kao nanti.

Kontan ia berhenti dan menatapku tak percaya. "Yang betol-lah, bang... Abang-pun maen-maen... Serius Dani, bang..." katanya berubah kesal dan melepas tanganku dengan sedikit dibanting.

"Gak percaya, kan? Ya udah..." kataku dengan senyum lebar. Setidaknya aku sudah menolongnya menyingkirkan setan yang selama ini merasukinya walau secara gak sengaja. Siapa yang doyan dicakar tengkorak angus kek tadi? Kenak bante-lah dia. Dah untung gak kukasih ke anjing piaraan tetanggaku. Kutolehkan pandanganku ke sekitar karena beberapa teman-teman sesama staff office mulai masuk ruangan karena waktu istirahat hampir berakhir. "Udah mulai rame, Dan... Balik sana... nanti dikirain kita ada apa-apa lagi..."

Dengan enggan ia beranjak dari kursinya dan kembali ke cubicle tempat dimana team PPIC berada.


------------------------------------------------------------
"Beli apa, bang Aseng?" tanya si empunya kede.

"Beli gula setengah, Pa..." kataku mengangsurkan uangnya.

"Gak sekalian beli pulsa lagi?" tawarnya genit sambil mengerling manja.

"Gak-la, Pa... Masih banyak dari yang kemaren itu... Iva sih... jahat..." tukasku.

"Yakiiin? Kalau dikasih yang ini... gimana? Apa yakin... masih mau nolak?" remasnya.

GYAAAHHH!

Untung cepat-cepat aku bangun dari tidurku yang dilakukan secara curi-curi ini di alam spiritual kekuasaanku. Buru-buru aku bangun karena dalam mimpiku Iva meremas kedua payudaranya yang sangat menggoda, walau masih berbungkus–penuh nafsu. Aseng junior menggeliat bangun karenanya. Jangan sampe tegang kao!

Orang mau tidur aja mesti pake bunga-bunga mimpi indah kek gitu, sih? Pake mimpi biasa aja napa? Jalan-jalan ke pantai, ke taman, ke gunung—gitu. Itu, kan gunung juga. Gunung kembar. Plak!

Usap-usap muka karena kalo mau nyambung tidur lagi, kentang. Aku dah gak selera. Keluar dulu, ah dari sini. Nyambung kerja lagi.

Ini sebenarnya namanya penyalah-gunaan kekuasaan. Tapi karena ini memang alam kekuasaanku, ya suka-sukaku-lah mau kuapakan alam ini. Mau kupake tidur, pake latihan, pake untuk tidur eh yang ini tadi udah. Sesuai dengan jenis kekuatan yang kerap kupakai, yang bersenjatakan daun-daunan, daerah kekuasaanku ini berupa taman yang penuh dengan bermacam tanaman. Tanaman bunga, tanaman hias, pohon, rerumputan. Aku bahkan merakit sebuah hammock; tempat tidur gantung dari jalinan akar-akaran yang ditambatkan pada dua pohon cemara jarum yang berukuran besar. Di hammock itu-lah aku selalu tidur. Karena tidak bisa membawa bahan tidak organik selain yang dikenakan, hammock itu hanya beralas alang-alang, daun, dan rumput kering agar empuk. Tetap nyaman sekali.

Tapi kok bisa mimpiin Iva pulak, ya? Iva-nya tambah ganas. Pakek remas-remas tetek. Kalo kutahan agak lebih lama, mungkin udah telanjang dia. Nyam-nyam-nyam. Kerja. Kerjaa. Kerjaaa.

Ppt: Ping!

Aseng: Ya, pit?

Ppt: nnt malam jam yg biasa?

Aseng: tentu dong. ada problem?

Ppt: gk cm mastiin aja. ppt lagi nyalon

Aseng: selamat ya. dapil mana?

Ppt: ih bg aseng. di salon lg ngecat rambut nih

Aseng: sama aja kan nnt bakalan dicoblos jg wkwkwk

Ppt: :)

Dikit-dikit chatting sama binik orang lagi. Sebelum tidur chatting dengan Yuli juga kalo dia pengen nyoba nginap di hotel untuk program hamilnya. Untung hotelnya gak sama dengan Pipit. Hotel yang dipilihnya adalah hotel besar yang ada di jalan Sutomo ujung yang dekat Universitas Nommensen itu. Jadwalnya tetap sama, yaitu tengah malam setelah kelar dengan Pipit. Aku sempat nanya tentang anaknya, Mimi, gimana? Anaknya ada ikut dengannya tidur di hotel juga. Tapi biasanya kalau tidur, anak itu kek kebo. Gonjang-ganjing kek gimana-pun gak bakal bangun.

"Kring kringg kringg!"

"Halo... Assamekum... Ya, ma? Ada apa Mama sayang?" jawabku.

"Lekum salam... Papa nanti malam ada lembur lagi?" tanya istriku di sana.

"Kek-nya iya, Ma... Masih kacau ini... Tapi nanti Papa pulang dulu bentar... Malam baru balik ke pabrik lagi..." jawabku.

"Ini... Nanti sore kak Dedek katanya mau ke rumah... Gak enak kalo lewat telpon ngomongnya... Soal Selvi nih kayaknya..." jelas istriku secara singkat dan padat. Aku segera paham maksudnya.

"Hmm... Ya udah... Nanti Papa balik ke pabrik lagi kalo kak Dedek dah pulang aja..." putusku.

"OK... Gitu aja, Pa... Assamekum..." lalu ia menutup telpon. Istriku tidak pernah mau nelpon lama-lama. Cukup intinya saja tanpa basa-basi. O-iya. Kak Dedek dan Selvi ini adalah kakak dan adik kandungku. Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Satu-satunya anak lelaki yang diapit kakak dan adik perempuan. Kakakku punya 3 anak sedang adikku belum menikah. Yang unik adalah; Salwa dan anak ketiga kakakku udah kayak kembar beda ibu-bapak karena lahirnya di hari yang sama. Hanya beda jam saja. Salwa lahir sehabis Subuh, sedangkan anak kakakku lahir abis Ashar. Soal Selvi yang dikatakan istriku tadi tentunya soal statusnya. Adikku ini terlambat menikah, umurnya sudah hampir 30 tahun. Apa kak Dedek menemukan jodoh untuk adik kami itu, ya?

Tunggu aja-lah nanti kalo udah ketemu dengan kak Dedek.

Wah, ada plot twist-nya
 
Sebagai Wali sah dari kakak dan adikku, aku berkewajiban untuk menikahkannya dengan seorang pria baik-baik. Ayahku sudah lama berpulang ke hadirat-Nya tak lama setelah anak pertamaku lahir. Ibuku yang sudah tidak bekerja bisa menikmati masa tuanya dengan jalan-jalan bolak balik kampung-Medan. Atau kemanapun ia mau. Ia bahkan sudah naik Haji, patungan kami semua anaknya.

Di kampung, kami masih punya rumah. Rumah warisan dari ibunya ibuku. Di Toboh Gadang, Pariaman—di daerah Minang sana tradisinya adalah Matrilineal yang mengikut garis keturunan ibu. Daerah ini masih kental dengan tradisi Minangkabau-nya. Kalo kelen dengar kalau orang Padang mau kawin, yang ngelamar pihak perempuan, nah di sini ini tempatnya. Mayoritas daerah Pariaman begitu. Tapi-ada tapinya. Kalau sama-sama orang Pariaman juga dan sudah sepakat mengikuti tradisi itu. Jadi misal, pihak pria dari Padang dan pihak perempuan dari Pariaman, masih bisa sepakat kalau tidak mengikuti tradisi ini. Jadi tetap dengan cara kebanyakan, pihak pria melamar pihak perempuan. Apalagi kalo pria-nya berasal bukan dari Minangkabau, aman.

Nah inti dari kedatangan kak Dedek tadi adalah memberitau kepadaku tentang rencana perjodohan adikku, Selvi dengan seorang pria yang berasal dari kampung ibuku, di Toboh Gadang, Pariaman. Karena sekampung, kena-lah tradisi-tradisi tadi. Paham, ya? Jadi nantinya kami sebagai pihak perempuan yang akan melamar/meminang ke pihak pria.

Kak Dedek memberikan nomor kontak sang pria itu sebagai usaha perkenalan keluarga. Sampe ke akun fesbuk-nya pun ada. Dari sana aku baru paham sedikit-sedikit tentang calon adik iparku ini. Ia seorang pelaut yang seumuran dengan adikku. Kapten kapal yang mengoperasikan kapal kargo yang malang melintang di Indonesia Timur, berkantor di Surabaya.Telat menikah juga walau laki-laki keknya lebih santuy ya kalo telat. Layaknya pria Minangkabau yang gemar merantau, ia jarang-jarang ada di kampung karena profesinya ini. Ia seringnya mengunjungi ibunya yang juga sekampung dengan kami. Keknya pria yang baik dan bertanggung jawab, agamis juga untuk membimbing adikku.

Kami berdua, aku dan kak Dedek tidak ada masalah dengan perjodohan ini, karena sudah terlalu lama adik kami itu tidak kunjung menemukan pasangan dan lama menjomblo juga karena selalu kandas di percintaan. Di tradisi Minangkabau, segala urusan adat dan kekeluargaan menjadi tanggung jawab para Ninik Mamak. Mereka adalah saudara-saudara ibuku. Perjodohan ini juga tak lepas dari campur tangan mereka. Beberapa bulan belakangan ini ibuku memang ada di kampung bersama adikku. Bagus, deh. Tanggal cantiknya akan kembali dirembugkan dan akan diinformasikan kembali kepada kami berdua.

Mereka, kak Dedek, suaminya dan ketiga anaknya pulang sehabis Isya karena rumah mereka cukup jauh dari sini–di daerah Setia Budi. Dan aku juga berangkat lagi ke pabrik sesuai jadwalku. Ngibul, ding! Jangan bilang-bilang ya? Jangan bilang-bilang kalo aku menuju hotel.

Sampe di hotel, aku langsung ke kamar dimana Pipit berada. Seperti malam-malam sebelumnya, ia mengintip sebelum membuka lebar pintu untukku masuk. Benar saja, Pipit tambah bersinar berkat warna baru rambutnya yang baru. Kemaren-kemaren kemerahan, sekarang ini coklat. Kulit putihnya sangat cocok dengan warna rambut seperti ini. Apalagi ia memang dari sananya sudah cantik. Jadi diapain aja udah cantik. Apalagi kalo lagi bugil.

"Gimana, bang? Cantik gak?" tanyanya menanyakan pendapatku. Ia berputar perlahan memamerkan warna baru rambut barunya. Ia memakai jenis pakaian kesukaannya saat di rumah, kaos tanpa lengan dan celana pendek setengah paha, tak beralas kaki.

"Cantik... Pipit ngapain aja cantik, kok..." kataku standar. Itu jawaban jujur sebenarnya karena ia memang asli cantik.

Pipit


"Kaaan... Jawabnya yang bener, dooong? Cantik gaaak?" rajuknya memanyunkan bibir tipisnya.

"Pipit tanya-la satu hotel ini di front desk bawah sana itu... Pasti semua pada bilang cantik... Gak percaya kali... Betol loh, Pit... Suwer... Awak rela Pipit perkosa kalo boong..." kataku memberikan acungan dua jari. Manyunnya berubah jadi senyum lebar karena candaanku ini.

"Bang Aseng pengen diperkosa, yaaa?" matanya menyipit penuh selidik sambil menunjukku. Jarinya berputar-putar jenaka kala ia merangsek maju.

"Auhh... Jangan nyonyaaa! Jangan perkosa saya, nyonyaaa... Saya masih perjakaaa... Saya belum pernaaah..." jawabku dengan tangan bersilang di depan dada. Pipit mendorong-dorongku dengan ujung jarinya yang ditusukkan ke dadaku. "Jangaan..." aku duduk bersimpuh di depannya kek perawan di sarang penyamun. Yang tak punya harapan bisa lolos dari sergapan buas. Sandiwara semacam ini layak untuk dimainkan.

Dengan muka mesum yang dibuat-buat walau tak mampu menghapus kecantikannya, ia menarik daguku agar aku mendongak. "Diam! Rasain ini..." hardiknya hampir tertawa sendiri. Tubuhnya dipepetkannya padaku, tepatnya selangkangannya pada mukaku. Jelas saja celana pendek katun itu ngepres ke bagian hidungku, tepat di bagian selangkangannya. Kalo aku gak salah rasa, Pipit keknya gak pake celana dalam karena terasa bentuk témpek mungilnya tertekan hidungku.

"Apa yang kamu rasain?" tanyanya kembali dengan sedikit hardikan.

"Anu nyonya..." jawabku dilucu-lucuin dengan kepala mendongak.

"Anu-anu... Anu apa?" hardiknya mendorong hingga hidungku terjejal témpek mungilnya.

"Anu nyonya... Anu nyonya yang enak ini..." kataku agak menggigit di akhir kalimat. Ia tergelak tanpa suara.

"Bukain punya saya!" lanjutnya lagi. Aku yang terduduk menyamping bak perawan ting-ting membuat wajah bloon, melongo. Pipit gemas dan menjejalkan pinggangnya ke mulutku. "Bukain... Buruan!" perintahnya.

Tanganku kubuat gemetar saat menarik perlahan karet pinggiran celana pendek katun itu dan benar saja tak ada celana dalam dibaliknya. Sampai pertengahan pahanya aku berhenti. "Tarik semua! Sampe bawah!" lanjutnya memerintah. Sementara témpek mungilnya sudah terhidang di depan mataku. Rambut-rambut jarang yang kuingat ada di sana kemaren sudah menghilang. Ternyata ia sekalian melakukan perawatan waxing rambut kemaluan juga di salon itu. Pipit tersenyum melihatku menyadari itu tapi terus bermain. Aku melepaskan celana pendeknya dari kakinya.

"Keluarin lidahmu! Julurin!" perintahnya lebih tegas sekarang. Ia mau aku menjilati témpek mungilnya. Dengan patuh, kujulurkan lidahku sepanjang mungkin. Lidah basahku sedikit lagi menyentuh bagian terluar témpek Pipit. Dia masih memegangi daguku dan ia mulai menggerakkan kepalaku. Mengendalikan alat pemuasnya.

"Naanhaaa..." (nyonya...) desahku karena lidahku masih menjulur keluar. Lidahku mengelus permukaan luar bibir tipis témpeknya yang terasa mulus tanpa rambut. Lidahku tanpa disuruh langsung menari-nari. Membelah lipatan bibir tipis témpek Pipit, menemukan jengger berlebihnya lalu mengaisnya. Ujung lidahku menembus masuk, mencolek isi belahan kemaluan Pipit yang jadi lembab.

"Mm... Aaahh... Pinter kamuuu... Uuhh..." desah Pipit menerima permainan lidahku. Ditekan-tekankannya pinggangnya tak sabar selagi mengelus-elus rambutku. Mulutku penuh dengan témpek mungilnya kala kucucup kuat kacang itilnya, membuatnya menjerit manja. Masih di posisi berdiri, dijejalkannya, dijojoh-jojohkannya terus ke mulutku. Kujepit dengan bibir berulang-ulang jengger sensitifnya lalu kuhisap membuat pinggulnya bergetar berkali-kali merasakan nikmat. Rambutku udah acak-acakan dikremes-kremesnya gemes.

"Nyonya... Anu nyonya enaaak..." kataku saat ia dengan nafas tersengal-sengal melepas sebentar mulutku dari témpek mungilnya. Aku bahkan mengacungkan dua jempolku.

"Ii-ih... Bang Aseng... Anu-anu... Iku jenenge témpek, loh..." gemes Pipit gak mau bermain lagi, memakai bahasa ibunya dan menerjang mukaku lagi. Mukaku sepenuhnya terbenam di selangkangannya. Didorongnya tanpa ampun kepalaku hingga aku terdorong dan rebah di lantai berkarpet ini. Didudukinya mukaku dan menggesek-gesekkan témpek mungilnya pada hidung dan mulutku. Lidahku menjulur kaku, mencoba menangkap apapun yang melaluinya. Jengger Pipit yang paling sering bergesekan dengan lidah dan hidungku, kemudian kacang itilnya. Goyang-goyang lalu menekan dalam. Lidahku menyeruak masuk sebisanya ke liang kawinnya yang becek.

"Mmm... Bang Aseng..." keluhnya, samar-samar aku bisa melihat Pipit meloloskan kaos tanpa lengannya di sela gerakannya. Bergoyang indah kedua payudaranya yang berpentil gelap kala pakaian itu lenyap dari pandanganku. Bergoyang sesuai gerakannya menggeruskan témpek mungilnya di mukaku. Pipit memerah sendiri payudaranya dan terus bergerak menggoyangkan pinggulnya. Wajahnya merah dan ia menjilati bibirnya selagi mendesah-desah. Aku hanya bisa bersilat lidah melawan témpek mungil dan mengelus kedua pahanya.

Gerakannya makin liar dan tekanan tubuhnya menekan kuat pertanda ia akan mencapai sesuatu yang nikmat. Menunggu di balik tirai nafsunya. Perutnya terlihat tegang dan remasan perah pada dadanya sendiri menguat. Pacuan gerak pinggulnya menggila sehingga aku harus menyelamatkan kepalaku dari beban berat tubuhnya dengan menahan pahanya, mengurangi beban.

"AAKkkhh.... Akhh..." ejannya berhenti bergerak. Tetapi gerak tubuhnya yang tak bisa dikendalikannya adalah geletar-geletar yang menyetrum sekujur tubuhnya kala gelombang orgasme menguasai syaraf. Ia duduki mukaku sambil bergetar-getar. Telunjuk kanan digigitnya dengan mata terpejam. Beberapa kali geletar susulan melanda membuatku lega karena kenikmatan yang dicarinya sudah mulai mereda. Ia mengerang-erang dengan nafas berat.

Perlahan ia berdiri walau masih lemas. Kubantu dengan menopangkan kedua tanganku pada kedua tangannya. Kami berpegangan. Ia berdiri tegak dengan sempoyongan tetapi berparas puas ditandai senyum manis. Tubuh telanjangnya dengan warna rambut baru dan témpek mungil becek nan gundul pasca waxing, menagih kenikmatan lagi.

Senyum manis di wajah dan tubuhnya telanjang berdiri di tengah kamar membuatku bangkit bersemangat. Kukupas semua pakaian yang masih lengkap kupakai. Tidak tergesa-gesa karena sambil menikmati pemandangan tubuh Pipit yang polos. Ia juga melakukan hal yang sama padaku, menikmati prosesku. Dijelangnya diriku dengan langkah ringan dan senyum mengembang, lalu dipeluknya erat. Dada kami berhimpitan. Sayang aku tidak boleh mencumbu mulutnya demi prinsip. Kami harus menukarnya dengan hal lain walau tanpa ciuman dari Prancis.

Sentuhan langsung kulit ke kulit membuat rasa nyaman yang memabukkan. Pipit mendusel-duselkan wajahnya ke leherku selagi aku menghidu aroma rambutnya yang wangi. Tangan kami saling mengelus-elus punggung dan berubah menjadi remasan akhirnya. Aku meremas buah pantatnya yang kenyal sementara ia meremas otot pinggulku. Aseng junior tergencet di perutnya. Berkedut-kedut memberi sinyal pada Pipit.

Pipit mengecup-ngecup leher, turun ke dadaku, perut dan berjongkok di depan Aseng junior yang mengacung tegang. Tanpa minta izin dulu, dicaploknya kepala Aseng junior dan mengulum dengan sentilan lidah. Geli sekali karena ia mempermainkan ludahnya di kepala Aseng junior sehingga terasa basah dan lengket. Baluran ludah basah di lubang kencingku ditingkahi permainan lidahnya yang bergerak dinamis. Tangannya lugas mengocok bagian batang dan memijat peler.

"Uuhh... Piiitt... Enaak kali, Piit..." erangku sampai berjinjit-jinjit menerima serangan dahsyat mulutnya. Gemetaran kakiku mendapat serangan full-cream kek gitu. Lidah basahnya bermain ludah di Aseng junior-ku yang kuyup. Lalu ditelannya semampu dalam rongga mulutnya dengan lidah menjulur. Sejumlah ludah menetes-netes dari lidahnya. Dan disedotnya sebagai deep throat. "Aduhh... maakkk!" erangku meremas rambut Pipit gak kuat. Kutarik kepalanya agar melepas Aseng junior yang brutal disedotnya. Aku gak kuat dan hampir ngecrot...

"Puah... Napa, bang?" heran Pipit yang merasa belum puas bermain dengan Aseng junior-ku. Bibirnya basah oleh ludahnya. Ia menatapku dengan kepala menengadah masih berlutut.

"Gak kuat awak, deeek... Ampir nembak awak tadi... Sayang..." kataku. Ya sayang, kan harus ngecrot di mulut karena ini adalah program menghamilinya. Kalo lain waktu bolehlah dicoba ngecrot di mulut.

"Bang Aseng... sayang sama... Pipit?" ulangnya malah dengan nada yang berbeda. Heh? Sayang? Matanya berkaca-kaca atau berbinar-binar aku tak tau yang mana satu. Apa dia salah tangkap makna kataku tadi?

"Sayang? Sayang kalo... Eh!"

Pipit menubruk tubuhku dengan dekapan erat. Tubuhku terhuyung-huyung tak siap dengan sergapan tiba-tibanya dan mendarat di atas ranjang hotel–terduduk. Didorongnya tubuhku hingga berbaring dan ia menghimpit tubuhku.

"Pipit juga sayang sama bang Aseng..." katanya menyembunyikan mukanya di ketiakku. Tak berani menatapku.

"Bukan, Piit... Awak tadi bilang sayang... sayang kalo keluar di mulut Pipit... Itu..." jelas bingung-lah aku ya, kan? Kok bisa pulak jadi kek gini kejadiannya? Tak ada pulak maksudku untuk sayang-sayang sama binik orang. Kalo dientot, kan belom berarti sayang, kan? Tapi kok jadi kek gini tanggapan Pipit? Haduuuh...

"Pipit tau... Tapi apa bang Aseng gak sayang sama Pipit?" tanyanya lalu duduk di atas kakiku dengan tubuh tegak. Ia menatapku kini dengan mata sembab. Mata berisi air yang belum jatuh. Belum tau akan menjadi apa. Masih gantung. Aseng junior-ku masih kurang ajar berdiri tegak tepat di depan permukaan plontos témpek mungil Pipit.

Aku bangkit dan menghadapinya. Tubuh kami menjadi rapat. Pipit menatapku berani walau dengan mulut terkatup rapat. Rahangnya ketat. Matanya masih menahan air itu. Kupegangi kedua lengannya dan kutatap balik matanya. "Aku sayang sama Pipit sebagai seorang tetangga yang mau membantunya mendapatkan anak..." jawabku perlahan agar ia mendengarnya dengan jelas dan tak salah tafsir. "Itu saja..."

Bergerak-gerak matanya meneliti mataku. Air mata mengalir dari mata kanannya pertama kali, menyusul yang kiri. Mengalir di kedua belah pipinya dan jatuh. "Cium Pipit, bang... Biar Pipit tau..."

Kucium bibirnya dan kukulum sebentar kedua bibirnya sekaligus. Ia tidak merespon apa-apa, hanya diam dan memejamkan mata. Air mata kembali mengalir dari sudut kedua matanya saat terpejam itu. Lepas dan melekatkan kening kami berdua. "Makanya Pipit awak larang untuk mengikutkan perasaan di sini... Seperti inilah jadinya... Kita tidak bisa berciuman karena ini, Pit... Tolong pahamilah..." nafasku agak tersengal mengatakan itu. Kukecup keningnya dan ia menangis.

-----------------------------------------------------
"Aahh... Ahh... Terus, bhaanng.... Ehmm..." erang Pipit yang berbaring miring. Aku menggerakkan pantatku dengan susah payah dari belakangnya. Aseng junior menusuk rajin walau tak bisa bekerja optimal menembus dalam. Kubenamkan mukaku di punggungnya kala melakukan penetrasi sulit ini. Rasanya Aseng junior kurang panjang di posisi ini. Tapi Pipit suka begini karena gesekannya begitu terasa karena jalan kawinnya tertindih sehingga sempit.

Aku berhasil menenangkannya setelah insiden kecil tadi. Memberinya pengertian-pengertian agar ia tidak baper akan hubungan rahasia ini. Kuulangi semua inti perjanjian yang sudah kami sepakati kala itu masih di kamar ini juga. Kuingatkan ia pentingnya menepati semua janji itu karena ada sumpah di dalamnya. Dan itu semua tidak boleh dianggap remeh. Lalu ditingkahi candaan, banyolan kontol, eh konyol dan ia lumer kembali dan berhenti menangis. Ngobrol lagi sebentar dan kami kemudian bisa bertempur kembali seperti saat ini.

Ini sudah ronde kedua sebenarnya dan bentar-bentar lagi aku bakalan ngecrot-lah. Udah terasa geli-geli enak di sekujur tubuhku apalagi di kepala Aseng junior yang sudah megap kelelep di dalam sana. Pipit terus mengerang-erang seksi menerima sodokan Aseng junior dan membekap tanganku yang meremas-remas sebelah payudaranya.

"Cepat, bang... Cepat, bhaanng... Ahhss... Asshhh... Uh..." erangnya dengan gerakan kepala liar. Rambutnya yang berwarna berantakan indah memberi warna di ranjang bersprei putih ini. Peluh kami berbekas di beberapa bagiannya–bekas pergumulan sebelumnya.

"Iniih, Piiit... Ini dia, Piiitt...Uhh..." geramku dan menekan perutku dalam-dalam ke pantatnya. Aseng junior menusuk dalam semampunya dan menyemprotkan spermaku beserta bibit calon anakku ke rahimnya. Kami berdua mengerang bersama. Kedutan-kedutan melanda tubuh Pipit dan tubuhku. Aku menguras semua spermaku agar tersalur ke dalam Pipit di saluran uterusnya. Bercokol dan bertahan di dalam rahimnya. Prosentase keberhasilan harus selalu dimaksimalkan. Menjadi anak yang diinginkannya.

Aku terus memeluk Pipit dari belakang masih dengan keadaan Aseng junior bercokol di témpeknya, sekaligus berfungsi sebagai penyumbat agar spermaku gak buru-buru keluar lagi. Kuremas-remas satu payudaranya yang bisa kujangkau, kuciumi punggung dan rambutnya. Nafas kami masih tersengal-sengal. Aku tak dapat melihat wajahnya.

"Gak usah diciumi terus, bang Aseng... Nanti cinta..." kelakarnya. Ia tergelak sendiri. Aku mendiamkan kelakarnya dan menjawab dengan meremas payudaranya sedikit lebih keras. "Auhh... Iih, bang Aseng... Atiit..." keluhnya masih dengan nada canda manja.

"Abisnya binik orang ini gemesin kali..." kataku ngomong di punggungnya.

"Bininya siapa dulu?"

"Imran..." jawabku. "Pipit gak kangen lakikmu di sana?" tanyaku.

"Yaa... kangen... Kan tiap hari teleponan bisa..." jawabnya masih memunggungiku. "Katanya juga dia kangen sama Pipit... Kangen 'gini-ginian' tiap malamnya..."

"Tapi biniknya malah 'gini-ginian' sama lakik orang..." jawabku mengecup punggungnya. "Imran ada kecendrungan selingkuh gak kalo jauh dari Pipit? Cewek sana kan cantik-cantik..." aku kini memainkan putingnya. Aseng junior berangsur mengecil setelah bongkar muatan tadi.

"Keknya semua cowok cenderung begitu deh, ya? Buktinya bang Aseng juga... Bini dekat juga bisa selingkuh... Gak perlu saling jauh... Tapi gak pa-pa deh... Yang penting saling percaya aja..." kata Pipit mengungkapkan pendapatnya.

"Selingkuh itu kalo pakek hati, neng... Kalo pake nafsu aja keknya gak selingkuh-ah..." sergahku mencari pembenaran. Makanya aku gak mau mengikut sertakan perasaan dan teman-temannya kalo dalam keadaan ini. Aku cuma bawa Aseng junior saja. Piis. Cocok klen rasa? Toss kita kalo setuju.

"Alasan aja... Bilang aja gak berani..." ejeknya sedikit menggerakkan kepalanya memprovokasi tentang insiden sebelumnya.

"Iyaa... Awak gak berani-lah kalo gitu-gitu... Awak ini anak baik... Gak boleh gitu-gitu... Nanti marah mamak..." kataku mendekap tubuhnya erat. Hampir aja aku membuat cupang di punggungnya karena gemes kalo gak ingat-ingat.

"Percaya, dee..."


-------------------------------------------------------
Gak perlu kukasih tau lagi berapa kali aku ngecrot ke Pipit ini malam? Yak benar! 4 aer. 4 kali.

Ia melepasku dengan godaan yang sangat menggemaskan di balik pintu. Ia berdiri mengantarku keluar kamar masih tanpa busana sehelaipun dan menggigit ujung jarinya dengan imut. Memandangiku penuh kepuasan. Aku melambaikan tangan dengan janji akan kembali lagi besok malam kalau tidak ada halangan yang tak dapat dielakkan.

Apa halangan yang tak dapat dielakkan? Misal ada yang mati, ada yang terluka, ada bencana alam, ada zombie apocalypse, perang bersenjata. Pokoknya yang-yang force majeur gitu-lah. Kalo masih ada yang bisa ngaceng di kondisi seperti itu, paten kali-lah kelen pokoknya.

Jarak dari hotel ini ke hotel berikutnya dimana Yuli berada cukup jauh sebenarnya. Tapi karena kondisi malam, lalu lintas lancar selancarnya, tidak perlu makan waktu lama untuk tiba di sana. Ini sudah jam 00:54 dan aku bermaksud memberitau Yuli kalo aku sudah di parkiran sepeda motor. Udara malam terasa dingin kala kubuka jaketku menyusul helm. Parkir hotel ini untuk sepeda motor terbuka, jadi kalo hujan-ya basahlah semua.

"Alo?" jawabku karena ada telepon masuk sebelum aku sempat membuka aplikasi BB di HP-ku.

"Ha-halo?" jawabnya disana. Suaranya bukan Yuli. Kuliat kembali layar HP-ku untuk melihat siapa penelponku ini. Ini bukan Yuli tapi Dani.

"Ya... Apa, Dan?" kubuat suaraku se-kasual mungkin agar ia tidak segugup itu. Mungkin ada hubungannya dengan kejadian tadi pagi di kantor.

"A-abang belom tidur, kan?" tanyanya disana. Lah bisa ngangkat telepon berarti gak tidur-lah. Gimana, sih?

"Belom, Dan... Masih di luar nih... Ada apa, nih? Langsung aja..." kataku agak buru-buru. Lama-lama dingin juga di parkiran hotel ini. Si penjaga parkir udah clingak-clinguk karena aku gak nongol-nongol ke tempatnya. Dikirain nanti aku mau nyuri helm. Ke sana aja dulu sambil jalan nelponnya.

"Ada-ada yang mau Dani omongin sa-sama bang Aseng... Bisa minta waktunya sebentar?" katanya malah formil kek mau jualan asuransi.

"Lama gak, Dan? Kalo lama biar awak nyari tempat duduk dulu..." kataku. Ah itu pelataran hotel ada bak tanamannya, bisa keknya dibuat duduk. Aku duduk di sana. Lalu lintas di depan hotel sepi tengah malam begini. Beberapa mobil parkir di halaman hotel. "Nah... Ngomong-lah... Awak dah duduk, nih..."

"Tadi barusan aja... Dani mimpi, bang Aseng..." mulainya. Ada mimpi-mimpinya. Mimpi digigit ular? "Ada kakek-kakek ngasih tau ke Dani kalo bang Aseng bisa bantuin Dani kalo mau hamil..."

BAH! Apa lagi ini? Dani dimimpiin kakek-kakek yang ngasih wangsit kalo dia bisa hamil kalau kubantu. Kek pernah dengar ya? Ya... Ini aku mau nyambangin perempuan yang udah bayar DP 50 juta untuk dihamilin. Sebelumnya juga di hotel satu lagi beberapa saat lalu. Nambah satu lagi?

"Kakek-kakek? Dani percaya omongan kakek-kakek di mimpi itu?" tanyaku masih dalam posisi duduk walau sedikit terhenyak kaget.

"Yaa... Enggak juga sih, bang... Tapi kenapa kakek itu spesifik bilang abang bisa..." lanjutnya.

"Spesifik gimana? Apa kakek itu bilang cara awak membantu Dani supaya hamil-nya? Apa awak harus baca-baca doa gitu?" tanyaku sedikit geram. Kesel sih tepatnya.

"Katanya... katanya yaa... pake hubungan suami istri gitu..." suara memudar di akhir kalimat. Tapi aku bisa dengar semua dengan jelas walau kepalaku mendadak panas. Teringat meki gundulnya yang kembang-kempis di gudang arsip tadi.

"Hubungan?" ulangku. Fix! Aku diminta untuk menghamili rekan kerjaku itu. Lalu ia mengulangi ceritanya tentang isi mimpi yang baru saja dialaminya tadi. Barusan aja dia mengalami mimpi itu. Terbangun disamping suaminya. Keknya mereka berdua abis indehoy. Bangun dan mencoba mencerna isi mimpi–bukan mengajak suaminya berdiskusi tentang arti mimpi barusan tapi malah menelponku minta tolong agar bisa hamil. "Trus Dani percaya bisa hamil kalo melakukan itu dengan awak?"

"..." ia terdiam di sana untuk beberapa lama. "Tapi bisa dicoba, kan?"


-------------------------------------------------------
Sambil menggenjot Yuli yang sedang termehek-mehek menerima genjotan Aseng junior di apem mlenuknya, aku jadi memikirkan pembicaraanku saat di bawah hotel tadi. Hasilnya malah aku jadi lama gak ngecrot-ngecrot walau sudah hampir mencapai 30 menit aku bergoyang. Sedangkan Yuli udah dua kali melolong mendapat kenikmatannya.

Yuli


Aku jadi gak konsentrasi menikmati tubuhnya yang semok bergelora dengan guncangan gunung seukuran 38DD. Padahal ini malam terakhir kami bisa bersama minggu ini karena pagi atau siang nanti suaminya sudah akan sampai Medan dari tour ngantar sembako via truknya. Anaknya tidur di tempat tidur terpisah dari kami berdua yang bergumul bolak-balik. Benar aja, itu anak seperti gak terganggu walau sebising apapun Yuli menjerit-jerit keenakan. Aku berkali-kali mengingatkannya agar jangan terlalu berisik, tapi memang anaknya tidur kek kebo. Mereka menginap di hotel ini karena tadi siang anaknya bermain-main di kolam renang hotel dan lanjut check in.

Ini semua karena telepon Dani tadi. Ia mendesakku dengan pembenaran kalo kata kakek-kakek itu 'bang Aseng udah biasa' membantu perempuan lain untuk hamil. Mimpi kok dipercaya. Kakek-kakeknya pun tak jelas gitu. Nyuruh ngentot sama lakik orang pulak lagi.

"Emang Dani mau 'maen' sama awak?" tanyaku vulgar karena terpaksa. Itupun pilihan katanya diperhalus. Harusnya ngentot!

Ia diam beberapa detik. Tak berani menjawab. "Kalau perlu..." tak disangka dan dinyana jawabnya perlahan akhirnya. WHADDEPAK!

Walo gak konsen, tapi pantatku terus memompa konstan keluar masuk ke apem mlenuk Yuli yang sudah basah—banjir cairan cintanya. Kakinya yang gempal padat terkangkang lebar. Mempersilahkan aku menggaulinya dan menghamilinya. Sudah beberapa malam aku mengunjungi dan menebarkan bibit-bibit suburku ke rahimnya. Kalo berhasil hamil, total aku akan mendapatkan 100 juta rupiah dengan DP 50%. Walau terasa enak, pembicaraan dengan Dani tadi memecah konsentrasiku.

Kuremas-remas walau seadanya gunung kembar 38DD itu dan ia mendesah-desah keenakan meremas-remas sprei hotel hingga carut marut. Keringat sudah membasahi tubuh kami berdua. Tanganku tetap meremas lumer kenyal besar 38DD itu. Kutengadahkan mukaku ke langit-langit seolah sedang menikmati tubuh Yuli padahal pikiranku bercabang. Pada apem mlenuk Yuli yang sedang kegenjot dan meki gundul Dani.


"Apa Dani gak cerita kalo jerangkong itu sudah gak ada sama suamimu?" tanyaku. Sebelumnya ia cerita kalo dari terakhir ia kesurupan sampai saat itu di gudang arsip, ia tidak lagi mendapat serangan. Setidaknya ia akan mengalaminya dua sampai tiga kali lagi. Makanya malam itu mereka merayakannya dengan bercinta yang sudah lama tak mereka lakukan—dengan gembira.

"Abis itu... baru Dani cerita ke suami kalo bang Aseng yang ngancurin jerangkong itu..." jelasnya. "Dia bilang minta tolong bang Aseng bantuin lagi biar kami berdua gak diganggu..." sambungnya dengan antusias. Dani ngakunya nelpon di luar kamar karena suaminya masih tidur kecapekan di kamar.

"Awak bukan dukun, Dan..." elakku.

Kimak si Aseng junior ini... Gara-gara gak konsen malah merajalela dia gak mau ngecrot. Udah kek minum obat kuat pulak aku jadinya. Durasiku meningkat jadi dua kali lipat dari kebiasaan 15-20 menit. Ini sudah 30 menit lebih dan Yuli udah kubolak-balik kek ikan goreng. Udah lemes itu binik orang kubuat karena sudah tiga kali orgasme sampe menjerit-jerit bising. Kini ia kubuat menunggingkan pantat besar lagi semoknya yang berkeringat mengkilap. Apem mlenuk beceknya merah merekah mekar bebas dicoblos. Aseng junior meluncur masuk dengan lancar dan kembali mengaduk-aduk.

Kuremas-remas pantatnya bergantian dengan pinggulnya. Sekali-kali kutampar pantatnya untuk mendapatkan kejutan remasan mendadak kala ia merasakan panas akibatnya. Pantatnya menjadi kemerahan yang membuatnya semakin binal. Erangannya tak lagi dijaga seperti kala melakukan ini di rumahnya. Herannya, anaknya tak merasa terganggu.

"Nanti abang kutemukan dengan suamiku... Kita ketemu dimana gitu... Ntah warung bakso ato apalah... Abang kasih ke dia air putih... Pake botol air mineral yang kecil aja... Bilang aja udah abang baca-bacain biar bisa punya anak dan gak diganggu mahluk ghaib lagi... Minum selama seminggu kek minum obat sampe abis... Gitu..." katanya malah menyodorkan sebuah skenario itu padaku. Pantesan aja dia jago mengatur jadwal PPIC, dia bisa memikirkan hal sampai sedetil ini, mengatur banyak orang, flow bahan jadi dan inventory yang jumlah bejibun—apalagi cuma suaminya.

"Kalo kek gitu... udah kek dukun aku, Daaan..."

Kubenamkan Aseng junior dalam-dalam dan kusemburkan spermaku yang meledak-ledak. Kepalaku jadi ringan berkat letupan-letupan nikmat dari nikmat yang akhirnya datang ini. Berasal dari kesal, gemes dan juga penasaran. Yuli juga melolong lagi menyambut tembakan spermaku dengan bareng merasakan kenikmatannya juga. Kutindih tubuhnya yang menelungkup sambil merasakan Aseng junior berkedut-kedut menguras sisa muatannya. Apem mlenuk Yuli juga memeras tiada henti. Napas kami menderu-deru seperti habis marathon. Kuremas 38DD-nya gemas, juga mengecupi punggung berkeringatnya.
 
Lanjut bang aseng
lanjutannya di atas...
Mau nambah lg nih Aseng keknya ;).
Si Dani ma Iva, jangan kasih kendor Seng :adek:.
Thanx upnya suhu@RyuzakiKen :beer:
ini nambah tros loh hu
makin sodap aja ni ah
sodaaap
Wuih mantep banget.
sangar banget aseng, bisa duel ama pengganggu dani, padahal posisi masih di kantor, siang hari pula..
Kayaknya dani juga bakal ditebar benih nih..hahaha

Makasih updatenya suhu..
:ampun:
Dani dalam incaran...
pertamax diamankan
pertamax hu?
Aduuuuuh .... asenk jr dpt lg .
Kpn nieh om ama cici tu .
Terlalu ..... hmmmm .milf warbiasa
Ya salaaam
masih dijadwalkan sama cici itu...
Aseng ... Pejantan Tangguh
banyak incaran bagus disana-sini
jangan jangan anak ke 3 ka Dede memang anakmu bang !!! .... habis ketuhuan ngintip saat kau ngentot istrimu, kau entot pula ka Dede .... :ngacir::ngacir:
Namana juga Bb M , ta da istilah puki nganggurkan ... :ngacir::ngacir::ngacir:
gak-lah bang. ga ada cerita incest-incest-an gitu nih. pas pulak ketepatan waktunya sama
woles aja bang !!! tuh masih ada dua lubang lagi si Iva dan Dani , mereka butuh kunjungan Aseng Jr juga .... asseeek !!!! jadi tambah panjang petualangan Aseng Jr :nenen: :nenen:
Aseng masih harus banyak membagi waktu...
Sodara sendiri mo diembat juga nih
blum ke sana ni arahnya. ada deh...
bah koq stop lanjutannya mane seng
hahaha
lanjutannya di atas ya...
sedaaaapppp
sedapppppp
Tambah seru aja perburuannya kang
makasih banyak
Mantap bang suhu.....
Makasi apdetnya...
makasih juga
aseng lagi banyak side job
ena-enaa
Thanks om suhu @RyuzakiKen updatenya,, :ampun: :beer:
tenkyu juga
Makasih updatenya bang @RyuzakiKen ...
makasih kembali
mantab gan
oke gan
mantap cuyyy
mantap juga
Lanjutkan huuu...
sudah dilanjut di atas
Eh, kok ada sama Yuli Bang? Kapan mainnya? Gak diceritain di sini?
sama Yuli kali ini cuma sekilas... itupun gak konsen Aseng-nya
Belum pertamax bang aseng
silahkan coba lagi.
 
Mantaaappp:semangat:
mantap silahkan dinikmati
Sehat terus suhu dan keluarga yeay
makasih doanya
Lanjutkan suhu karya mu
makasih atensinya
Gelar tiker dl suhu... Ceritanya bagus...
makasih hu
Mantap seng lanjutkan terus. Patenlah
tenkyu juga
Pasang patok dulu

:papi:
silahkan. update hari ini
Ijin parkir di sini om
silahkan hu
Wah, ada plot twist-nya
cerita sudah terkonsep dan sudah terbayang endingnya... walau ntah kapan
Makasih atas updatenya bang Aseng meskipun telat bacanya...
:beer::semangat:
makasih hu waktunya
Lancarkan tahun baru kang aseng
lancar kita semua ya
Lanjooot hu.. koh Aseng.. lancar jaya..👍👍🤪👏
makasih.

Ini update post yang terlambat karena seharusnya naik tayang Selasa, 31 Desember 2019 kemaren. Tapi karena file ceritanya ada di kompie kerjaan dan sudah libur di hari itu... dengan terpaksa harus di-upload hari ini, Kamis 02 Januari 2020. Harap maklum. Buru-buru di post biar pembaca tak kuciwa.

Silahkan dinikmati.
 
Bimabet
Ini update post yang terlambat karena seharusnya naik tayang Selasa, 31 Desember 2019 kemaren. Tapi karena file ceritanya ada di kompie kerjaan dan sudah libur di hari itu... dengan terpaksa harus di-upload hari ini, Kamis 02 Januari 2020. Harap maklum. Buru-buru di post biar pembaca tak kuciwa.
Terima kasih suhu TS.. 🙏👍👏🤪
Wakaka.. wow.. sempet2nya update di komputer kartor.. awas kegep boss suhu.. hehe
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd