Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Bb M — Baby Maker (Ribak Sude Story)

Uda Aseng.. keren!!
Ah baca marathon, ini asli menarik dan enak dibaca serta layak ditunggu..

Kepikiran konflik apa yang akan menjadi klimaks dari cerita ya..hehehe

Ditunggu cerita lanjutanya suhu..m
 
Mantap Seng, ayo semangat tambah 3 anak lagi...:semangat:

Makasih updatenya suhu, tetap semangat dan sehat selalu:beer:
 
"Siapa yang mengajarimu silat harimau Mandalo Rajo ini... Tidak sembarangan Inyiek Mandalo Sati mengajarkannya pada orang yang akhirnya jatuh ke lembah hitam sepertimu... Siapa?" tanyaku serius.

'Tentu saja guruku... Dunsanak juga bisa Mandalo Rajo... Mari kita adu..." katanya sepertinya senang bertemu lawan sepadan.

"Siapa gurumu? Seharusnya tidak ada yang lagi yang bisa mengajarkan ini kecuali langsung belajar ke Inyiek Mandalo Sati..." tanyaku terus mencecarnya dengan pertanyaan penting. Aku harus tanya ini karena sepengetahuanku, Inyiek Mandalo Sati hanya mengajarkan silat harimau Mandalo Rajo padaku seorang. Aku satu-satunya murid yang pernah diangkatnya. Hanya aku yang berhak mengajarkan silat harimau Mandalo Rajo ini pada suksesor-ku.

"Aku akan mengatakannya kalau dunsanak bisa mengalahkanku... Kalau bisa..." katanya sesumbar tetap di kuda-kuda rendahnya.

"Baik... Aku hanya akan menggunakan Mandalo Rajo padamu... Kita liat keaslian Mandalo Rajo milikmu..." kataku benar-benar serius kali ini. Aku tidak pernah memakai ini setelah bertahun-tahun lamanya. Aku hanya memakai jurusnya tetapi tidak senjatanya. Memakai ini berarti harus ada nyawa yang melayang. Setidaknya tercabik-cabik. Kubuang dua pedang daun di kedua tanganku. Pedang itu berubah menjadi daun pandan kembali, luruh dan hilang. Aku sudah berbaik hati padamu, anak muda. Aku tadi sudah menunjukkan kebaikan hati padamu hanya dengan pedang daun Utara dan pedang daun Selatan. Bahkan bakiak Bulan Pencak kukembalikan ke tongkrongan-nya, di pohon Glugur sana. "Mandalo Rajo..." desisku mengerahkan ajian andalanku yang terlarang. Yang sudah lama tak kupakai.

Dari sela-sela pertemuan jariku yang terkepal, dari antara buku-buku jari, mencuat menyakitkan menembus daging dan kulit tiga buah cakar melengkung seperti cakar kuku harimau sepanjang 10 cm. Kuku ini tidak hanya muncul di kedua tanganku, juga ada di kedua kakiku. Hanya pemilik silat harimau Mandalo Rajo asli yang bisa melakukan ini. Silat harimau lain kebanyakan meniru cakar harimau dengan memakai kerambit atau bahasa Minang-nya kurambiak. Secara harafiah aku telah menumbuhkan kerambit dari dalam tubuhku.

Aku tak perduli orang itu bergetar dadanya melihat perubahan yang terjadi padaku yang hanya memakai pakaian dalam saja. Aku tak perduli kalau anak muda itu terguncang jiwanya melihatku bergerak cepat seperti seekor harimau jadi-jadian. Melompat menerjang dan mencabik-cabik tubuhnya. Kau sudah dapat peringatannya. Di kalangan Menggala di ranah Minang ini, Mandalo Rajo adalah kata yang terlarang. Kau berani-beraninya memakai keangkeran nama ini untuk keuntunganmu sendiri.

Kupingku berdenging bising seperti suara distorsi cabikan gitar listrik yang berepetisi konstan berulang-ulang. Distorsi ini menyebabkanku tak perduli dengan jeritan dan teriakan pilu anak muda itu. Masa depanmu seharusnya masih panjang. Kenapa kau sia-siakan di depan seorang pemilik asli Mandalo Rajo, anak muda? Cipratan darah tak kuacuhkan. Sobekan daging yang tercabik tak terdengar mengganggu. Lepasnya anggota tubuh tak lagi kuanggap. Apalagi melayangnya nyawa... Enteng saja. Seringan kapas.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku merenung. Tubuhku bersimbah darah. Tangan dan kakiku perih. Masih terluka.

Aku tidak berada di daerah ke-Menggala-an anak muda itu lagi. Entah dimanapun dia berada saat ini, tubuhnya pasti sudah dikerumuni orang-orang. Semoga saja ia diantara saudara-saudaranya yang akan mengurus jenazahnya. Sudah pernah kubilang kan... kalo dunia Menggala ini berbahaya?

Aku merenung di daerah kekuasanku sendiri. Aku tidak langsung balik ke dunia nyata melainkan menyembuhkan diri sendiri terlebih dahulu. Membersihkan tubuhku yang bersimbah darah. Sebagian besar ini bukan darahku. Darahku sendiri hanya berasal dari luka yang disebabkan munculnya cakar harimau di tangan dan kakiku. Kubersihkan luka-luka itu di air sungai kecil yang mengalir mengitari tamanku. Rasanya sangat perih dan menyakitkan karena cakar itu menembus daging dan kulit secara langsung. Satu-satunya cara yang kutau untuk meringankan rasa sakit ini adalah dengan membasuhnya di sini. Hanya meringankan, tidak menyembuhkan. Karena ini bersifat relaksasi karena ada di alam yang berbeda. Aku lalu melakukan meditasi untuk menenangkan nafas. Terutama jiwaku...

Kenapa aku bisa begitu ceroboh dan menggunakan Mandalo Rajo setelah sekian lama kusimpan rapat-rapat di perbendaharaan ilmu silat yang kupunya. Selama ini aku hanya menggunakan jurus-jurus gerakannya saja tanpa lambaran ilmu sama sekali. Ditambah tempelan silat aliran-aliran lain yang pernah kupelajari. Aku bahkan sempat belajar berbagai macam jenis bela diri lain untuk mengaburkan silat utama yang kukuasai ini. Karena pancingan bodoh seorang pemuda yang tak sayang dengan nyawanya, silat harimau paling terlarang ini keluar dan memakan mangsa lagi. Paok! PAOK KAO, SENG!

Alhasil meditasiku jadi berantakan karena... aku menyalahkan diri sendiri. Ngeplak kepala sendiri hingga jatuh bergulingan di dalam ceruk sungai kecil yang berkeliling mengitari tamanku yang indah ini. Apa yang sudah mempengaruhiku? Kenapa aku mudah sekali terpancing? Rerumputan halus dimana kala itu siluman monyet yang mengaku-ngaku dewa itu telah dicerna vegetasi kupandangi. Apa setan itu mempengaruhi pikiran dan mentalku? Memasukkan mahluk itu ke dalam sini dan menyerapnya bisa mengakibatkan ini. Aku jarang sekali melakukan teknik seperti yang kerap dilakukan Kojek, yaitu menyerap lawan-lawannya dengan cara memakan atau menelannya. Beberapa kekuatan utamanya malah merupakan hasil memakan tubuh mahluk-mahluk itu. Walaopun berbadan kurus cenderung ceking begitu, Kojek punya nafsu makan yang luar biasa besar hingga ia bisa menghabiskan seekor babi hutan besar sendirian selama makan 2 hari. Dari sana ia bisa memiliki jurus Hortuk atau Taring Babi Hutan. Taring melengkung panjang binatang hutan itu bahkan ia gerus menjadi bubuk dan dioleskannya keseluruh tubuhnya seperti pasta gigi, katanya itu dapat memperkuat tubuhnya. Tapi itu untuk Kojek, tidak bisa berlaku untuk yang lain yang mempelajari teknik itu.

Dengan tangan kosong kukorek tanah berumput bekas dimana siluman monyet itu terakhir berada. Makan waktu hampir setengah jam aku menahan sakit karena tanganku masih terluka untuk menggali tanah keras tak berbatu itu. Peluh bercucuran karena sepertinya tanah ini sendiri melindungi dirinya. Padahal ini daerah kekuasaanku. Di kedalaman satu meter, aku menemukan tengkorak kepala monyet itu. Hanya tinggal ini yang belum dicerna habis oleh tanah ini. Tulang belakang, tulang tangan dan kaki beserta seluruh kulit sama bulunya sudah sirna.

Kupandangi tengkorak monyet yang masih lengkap dengan rahang bawahnya beserta gigi geliginya itu. "...ja-ngan ka... ksaa... agi... ku..." mahluk itu masih mampu berkata-kata ternyata. Ia memohon untuk tidak disiksa lagi. Sepertinya ia sudah mengalami penyiksaan yang luar biasa sakit di dalam tanah daerah kekuasaanku selama ini. Tak terbayangkan rasa sakit yang dirasakannya selama ini. Dicerna perlahan hingga seluruh tubuhnya terurai. Aku tidak menjawabnya. Hanya berpikir.

Mahluk jahat berhati culas seperti ini sudah tercerna menjadi nutrisi tersendiri bagi diriku. Kalo daerah kekuasaan ke-Menggala-an ini letaknya berada di titik khayal pikiran, berarti tubuhnya menjadi nutrisi bagi pikiranku. Entah apa saja yang sudah dilakukannya di masa hidupnya. Pastinya lebih banyak perbuatan jahat walo ia juga melakukan perbuatan yang dianggap baik oleh beberapa pihak. Ia terlebih dahulu memberikan berbagai kenikmatan dunia bagi para pemujanya, lalu mengambil sesuatu yang berharga sebagai bayarannya. Berupa tumbal nyawa yang tak disadari para pemujanya. Entitas jahat seperti iblis ini menjadi nutrisi pikiranku?

Jelas itu salah!

Aku melakukan meditasi lagi di tepian sungai bersuara gemericik menenangkan. Telah mengetahui sumber kesalahanku. Kesalahan yang kuciptakan sendiri. Aku telah berhari-hari di sini. Di sampingku ada pecahan-pecahan kecil tulang tengkorak monyet itu yang kualasi dengan sebuah daun jati lebar. Tanah dan rerumputan tidak mampu menembus khasiat daun jati yang bahkan sudah mengering ini. Tanah dan rerumputan masih terus berusaha merebut kembali serpihan tulang belulang siluman monyet yang sudah kuhancurkan itu, tapi terhalang daun jati.

Kalo hitungan waktu normal, aku sudah lima hari di dalam sini. Menyembuhkan tangan dan kakiku yang terluka. Luka fisik bisa sembuh walau akan meninggalkan bekas, tetapi luka mentalku perlu waktu lebih lama karena aku perlu berkontemplasi sendiri. Berkomunikasi sendiri dengan jiwaku. Apa yang telah salah kulakukan? Bagaimana mengatasinya? Bagaimana caranya? Cara memaafkan diri sendiri.

Di hari aku ke tujuh aku sudah merasa cukup beristirahat. Secara teknis aku sudah memperlama waktu cutiku untuk memperbaiki keadaan mentalku yang sempat carut marut. Luka di buku tangan dan kakiku sudah mengering walau belum sembuh benar. Aku harus kembali ke dunia nyata untuk meneruskan tugasku atas Ratih sesuai janjiku pada ajo Mansur. Aku sudah berjanji padanya lewat perjanjian 3 pasal kami. Dan aku harus menepatinya.

Kucoba mengingat kembali tubuh Ratih yang aduhai untuk mengembalikan birahiku yang sedang tidak menggebu-gebu kali ini. Pikiran dan tubuhku apalagi Aseng junior harus sinkron pada waktunya...

"Tahan ya, deek... Agak sakit dikit... Dikiiit ajaa..." rayu ajo Mansur di belakangku yang masih setia menemani istri pertamanya yang akan menjalani prosesi belah durennya. Belah perawan yang dikira Ratih dilakukan oleh pria yang sudah menikahinya sebulan lalu. Padahal dilakukan oleh pemeran pengganti; Aseng.

Ratih un-Niqob


Aseng junior terjepit erat kudorong-dorong pelan. Rasa basah terjepit ini berkat foreplay yang sudah dilakukan dengan baik oleh ajo Mansur. Berbagai teknik foreplay atau fingering pastinya telah diperagakannya pada istrinya ini sampai orgasme minimal sekali sebelum aku masuk ke kamar bungalow ini. Aku menyentuh satu pangkal pahanya untuk pegangan dan satunya mengarahkan Aseng junior agar tetap lurus menusuk target perawannya.

"Saaakit, bii... A-aah..." ternyata cukup manja suara merdu Ratih di situasi begini. Aku beruntung mendengar versi vokal ini secara langsung. "Sakit, biii... Pelan-pelaaan, aahh..." aku jadi gemes ingin terus melukai agar terus bisa mendengar erangan manja suara merdunya. "Abiihh... Uuhh... Auuhh... Perih, biih..." Aseng junior terus merangsek masuk walau pelan-pelan. Ajo Mansur bahkan mencengkram bahuku agar jangan terlalu menyakiti istrinya.

"Ushh.. Ush-ush... Sabar ya, deek... Diiiikit lagi masuk... Naahh... Tahan, yaaa?" ajo Mansur bersuara menenangkan istrinya pertamanya ini dengan terus-menerus berusaha menegakkan penisnya sendiri. Sudah ada perkembangan terbaru Mansur junior. Penis itu lebih berisi sekarang walau tetap terkulai tak bisa tegak. Lingkar penisnya belum mencapai maksimalnya yang kurang lebih sama denganku. Padahal nafsunya sudah pasti menggelegak di ubun-ubun, penasaran tak kunjung bisa melakukan penetrasi. "Tahan yaaa, deek? Dikit lagi..." cetusnya terus memperhatikan pertemuan Aseng junior-ku dengan kemaluan istrinya yang semakin disesaki, tersumpal.

Kepala Aseng junior sudah terbenam dengan sukses. Ratih menghembuskan nafasnya satu-satu merasakan tubuhnya ditembus benda tumpul, seperti wanita hamil yang sedang didera kontraksi bakal melahirkan. Ratih tak sanggup bersuara, sibuk bernafas. Jari tangannya terkepal. "Jangan dilawan, dek... Rileks aja, dinda Ratih... Jangan dilawan... Nikmati aja, yaahh?" ajo Mansur terus memberi arahan sesuai dengan ekspresi yang diberikan istrinya bereaksi atas sodokan penis yang sedang menyumpal, hendak merobek keperawanannya yang selama ini telah terjaga baik. "Yaah... Begituuu... Rileeeks..." ajo Mansur meremas bahuku lagi untuk maju begitu Ratih berusaha keras untuk merilekskan tubuhnya.

"Breetz..."

"Aa-aahh..." erangnya dengan merdu. Ingin rasanya aku menjamah seluruh tubuhnya. Meremas payudaranya yang bergoyang bergetar oleh erangannya. Menciumi bibirnya yang tipis menggoda, terbuka lebar. Mengekspresikan kesakitan perih sekaligus bahagia pastinya, ia sudah berhasil mempersembahkan dirinya seutuhnya pada suami yang telah sah meng-khitbah dirinya. Sebuah bentuk pengabdian tertinggi seorang istri yang kelak akan bertambah dengan mengandung dan melahirkan anak-anak dari rahimnya.

"Sakit, dek?" tanya ajo Mansur ditengah remasannya pada bahuku lagi agar berhenti sejenak. Membiarkan Ratih membiasakan diri merasakan benda tumpul itu bercokol di dalam tubuhnya. Membiarkan dirinya memijat-mijat batang kemaluan yang telah merobek, menembus tirai kesuciannya. Biarkan ia suci dalam pemikirannya sendiri.

Enak sekali rasanya pijatan liang kawin Ratih yang menjepit sempit Aseng junior-ku yang ingin memberontak liar. Mengobrak-abrik meronta. "Perih, bii... Perihh sekali, bii..." erangnya dengan suara merdu itu. Ajo Mansur mengarahkan tanganku untuk mengelus-elus pahanya untuk stimulasi tambahan, agar ia bisa mengalihkan rasa sakit itu pada rasa geli sentuhan.

Perempuan itu mahluk yang kuat. Bahkan perempuan yang paling lemah sebenarnya lebih kuat dari lelaki yang paling perkasa sekalipun. Tuhan menciptakan perempuan untuk tahan dengan berbagai rasa sakit di hidup mereka. Anak perempuan di Indonesia misalnya, sedari kecil sudah merasakan sakit dengan ditindik dan disunat sejak masih bayi. Bayangkan rasa sakitnya. Belum lagi harus merasakan disuntik kala imunisasi. Anak lelaki tidak akan repot-repot harus merasakan sakit ditindik. Paling kalo sudah agar besar sedikit (pada kalangan tertentu) dikhitan. Dah... Abis itu laki-laki merasakan apa lagi? Tak ada satupun. Perempuan harus merasakan rasa sakit kala menstruasi (senggugut), memakai pembalut, memakai bra yang berkawat seumur hidupnya agar terlihat cantik. Belum lagi prosesi pecah perawan ini. Hamil yang repotnya ampun-ampunan astaga dragon. Melahirkan yang mempertaruhkan nyawa apalagi sampai operasi. Perawatan pasca melahirkan. Menyusui, membesarkan anak. Udah besar anak masih melawan sama mamaknya. Tobatlah klen, woy. Cium tangan mamak klen kalo masih hidup beliau. Doakan kalo sudah berpulang. Bersedekah atas namanya. Biar tenang beliau di sana.

Aku terus mengelus-elus pahanya sampai pangkal paha. Sampai mencapai bibir lembut kemaluannya yang membuka karena didesak Aseng junior yang masih bercokol betah di dalam sana. Daging vaginanya lembut bercampur darah yang sedikit membekas di bagian bawah. Selamat Ratih. Kau sudah tidak perawan lagi. Kusapu sedikit darah itu dengan jempolku dan kutunjukkan pada ajo Mansur. Agar ia tau, memaklumi kalo perawan istri pertamanya ini sudah pecah di tanganku atas permintaannya. Pria malang itu mengangguk getir dan meremas bahuku lagi untuk mulai kembali.

Dorongan-dorongan kecil disambut erangan merdu Ratih yang masih kesakitan tentunya. Ajo Mansur terus memberikan dorongan semangat verbal pada istrinya kalo rasa sakit itu akan menjadi rasa nikmat sebentar lagi. Pelumas licin dari dalam kemaluan Ratih mulai mengalir menerima benda asing di dalam tubuhnya, melubrikasi agar proses persetubuhan tidak melukai saluran sensitif ini sebagai bagian dari perlindungan diri otomatis tubuh. Gesekan-gesekan menjadi semakin lancar dan bagian yang lebih dalam semakin terbuka, menerima sodokan bertahapku. Aseng junior semakin lama semakin dalam tenggelam dalam hangat liang kawin menuju rahimnya.

"Enak, biii..." ini pengakuan pertama Ratih. Ia sudah merasakan kenikmatan itu dibalik rasa sakit yang mungkin masih mendera kemaluannya yang telah kurobek himen berharganya. Satu segel yang dijaga kesuciannya. "Uuhh... Tapi pelan-pelan, biihh... Masih sakit..." erangnya tetap merdu bernada manja. Bermanja-manja pada suaminya. Genjotanku tak memperdulikan permintaannya barusan. Genjotanku makin keras dan kencang. Rasa koyakan 'bretz-bretz' kala Aseng junior semakin dalam merangsek masuk akhirnya tak ada lagi. Aseng junior sudah berhasil menjajal semua kedalaman liang kawin Ratih yang bisa dijangkau dengan panjang tegang maksimalnya.

Kudiamkan sejenak, merasakan hangat pelukan liang kawin istri ajo Mansur ini terhadap batang kemaluanku yang sangat berbahagia malam ini, telah berhasil menjebol perawan. Perawan bini orang. Orangnya ada di belakangku, mengarahkanku seolah sutradara. Perutku lekat dengan bentangan pangkal pahanya yang mengangkang lebar. Kupegang dan kuremas-remas pelan paha mulus langsing itu.

Ajo Mansur mendorong punggung bawahku, menyuruhku untuk mulai memompa. "A-ahh... Ah... ah... ah..." erang suara merdu Ratih sudah masuk ke kepalaku sebagai suara yang sangat seksi. Aku kecanduan suara merdunya. Tiap dorongan Aseng junior ia mengerang. Tiap tarikan ia mengerang. Bini-mu ini sangat aduhai, jo. Apalagi sempit menjepit vaginanya nge-grip erat Aseng junior-ku yang meradang dengan licin yang terus bertambah-tambah di liang kawin, sarang barunya.

Kulancangkan diri untuk meremas payudara Ratih yang lebih besar dari pada milik Suli kemarin. Teksturnya kenyal dan lembut. Pas digenggaman. Ajo Mansur meremas bahuku awalnya protes tapi tidak diteruskan. Erangan istrinya pertanda Ratih suka diremas pada payudaranya. Sepasang payudara itu kuremas simultan ditingkahi pilinan di puting imutnya. Ingin rasanya mengulumnya tapi apa daya tak memungkinkan tanpa mendekatkan kepalaku ke dadanya. Takutnya nanti ketahuan kalo ia menyentuh rambutku yang berbeda dengan suaminya. Ajo Mansur kala ini berpotongan rambut cepak dan aku sedikit panjang.

"Bii... Lebih cepat, biii..." pinta Ratih makin nakal. Ia sepertinya sedang mengejar sesuatu di ujung sana. Mungkin ia merasakan rasa nikmat yang akan lebih jika sodokan di vaginanya dipercepat. "Lebih kencang, bii..." ia mencengkram pergelangan tanganku yang sedang memainkan putingnya. Ajo Mansur memperbolehkanku mempercepat untuk memuaskan istrinya sementara ia terus merancap penisnya, berharap ada keajaiban yang terjadi.

Sarung yang diperuntukkan sebagai penutup tubuhnya agar tidak terlalu telanjang bulat saat bersenggama begini sudah sangat berantakan. Aku sudah bisa menikmati tubuh langsing telanjangnya berdada cukup besar ini tanpa penghalang apapun. Ajo Mansur tak mempermasalahkannya karena itu merupakan bagian dari permainan ini. Tidak ada yang perlu disembunyikan lagi. Ia membiarkannya saja. Aseng junior merangsek, memompa dengan cepat. "Cplak-cplak-cplak!" suara kecipak benturan kedua tubuh kami dan basah kemaluan kami terdengar sangat binal malam ini. Menambah rangsangan audio yang semakin menaikkan tensi yang sudah tinggi dari awal.

Cepat kusodok, cepat juga ajo Mansur merancap penis lunlai serupa sosis yang berisi penuh. Penis setengah hidup itu masih berwarna pucat sedikit memerah di bagian peler dan kepalanya saja. Selebihnya seperti tak memiliki darah untuk hidup. Ia tanpa henti terus berusaha dan puncaknya malah diraih oleh Ratih. "Auuhhh... Biiih... A-biihh... u-uh..." tubuhnya bergetaran pelan seperti kejadian dengan Suli kemaren. Hanya saja kepalanya mendongak hingga dadanya mencuat bagus ke atas. Aseng junior yang paling puas merasakan jepitan meremas eratnya. Berdenyut-denyut sepanjang liang kawinnya memeras batang kemaluanku.

"Stop dulu, biii... Masih ngiluu..." begitu getar tubuhnya berhenti, kugenjot lagi tubuhnya. Tangannya berusaha menggapai perutku untuk menghentikanku memompanya lagi. Dengan mata tertutup ia mengharapkan akan menyentuh perut suaminya, tapi yang tersentuh malah Aseng junior-ku yang sedang menusuk kemaluannya keluar masuk berlendir kental. "Ihh... Aahh..." lendir lengket itu dilapkannya ke sprei ranjang yang sudah bernoda darah perawannya. Ia tak sanggup mencegahku yang terus menggoyangnya karena rasa nikmat kembali menyelimuti tubuhnya.

Seirama dengan rasa nikmat yang juga sudah menyelimuti tubuhku. Ini pertanda kalo aku juga sudah gak bisa bertahan lebih lama lagi. Ini sudah mencapai 15 menit kemampuanku. Kalo mau terus lanjut, nanti di ronde kedua aja. Pokoknya aku harus menuntaskan ini sekarang juga. Kaki Ratih yang membuka luas kupegangi erat dan tumbukan persatuan tubuh kami bersuara nyaring. "Plak-plak-plak!" seolahku sedang menampari kemaluannya. Mataku terpejam erat dan kejejalkan Aseng junior dalam-dalam dengan gerutuan tertahan. "Ahk!"

"Croot Croot Crooottt..." bergulung-gulung rasa ringan dan nikmat di kepalaku begitu semprotan kencang itu keluar menyembur dari mulut kecil Aseng junior ke dalam liang kawin Ratih yang baru saja kuperawani ini. Ratih sendiri menggeliat-geliat seperti ular yang kesetrum juga menerima semburan sperma kentalku menembus masuk hingga ke rahimnya. Mau jadi anak mau enggak jadi, terserah! Yang penting aku sudah menyerahkan bibitku di lahan suburmu, Ratih. Tinggal menunggu saja.

"Biii... Enaaak, bii... Hangaaat mani, abiiihh..." lenguh Ratih menggeliat-geliat lagi sangat seksi dengan vagina berlumuran spermaku yang meluber hingga di luar mulut vaginanya. Ajo Mansur cepat-cepat menggantikanku yang telah mencabut Aseng junior dari sarang barunya. Dengan jari, ia melebarkan liang sempit istrinya itu agar penis lunglainya bisa menelusup masuk terbantu kental spermaku yang melicinkan jalan. Kepala penisnya bisa menelusup masuk seperti kejadian dengan Suli kemaren tapi tak kuasa dan berdaya menelusup masuk lebih jauh. Penis yang menggenaskan itu hanya tertekuk dan bengkok di pertengahan panjangnya seperti ban dalam kekurangan angin.

Buru-buru aku ngumpet di bawah ranjang kayu ini begitu kulihat Ratih berusaha meraih tepian penutup matanya untuk menyambut suaminya. Nafas ngos-ngosan dan Aseng junior yang menggantung lelah abis ngecrot barusan. Aku hanya tinggal menunggunya pulih dan tentu saja kode panggilan dari ajo Mansur kalo benar akan ada ronde kedua seperti dengan Suli kemaren. Semoga aja... karena sekali belum cukup rasanya menikmati lezatnya istri pertama sepupuku itu.

"Abi pandai... membuat dinda terbang ke bulan..." puji Ratih pada suaminya di atas sana. Ranjang ini sedikit berderit-derit karena pergerakan mereka berdua. Aku terpaksa harus mendengar pembicaraan after party keduanya. Pembicaraan yang harusnya sangat privat antara suami dan istri.

"Enak ya, dinda? Dek Ratih masih perih gak?"

"Enak, bi... Gak pa-pa sakit sedikit tapi enaknya banyaaak... Hi hi hi..."

"Sukurlah... Abi pandai tadi kata adek?"

"Jagoaaan... Hi hi hi... Kalo gitu abi sudah sembuh, yaa?... Konsultasi sama bang Aseng itu?"

"Iya... Dia kan udah lebih duluan menikahnya... jadi lebih pengalaman dia dari pada abi... Pokoknya berhasil, kan?"

"Jadi ada untungnya yaa... abi bawa keluarga mereka liburan seperti ini... Abis ini giliran Mila, yaaa? Dia juga udah gak sabar..."

"Adek Ratih mau... abi tinggal abis ini?"

"Mm... Apa bisa sekali lagi?"

"Kenapa? Udah pengen lagi, yaa? Keenakan, yaa?"

"Biar langsung jadi bebi, bii... Suli kemaren juga dua kali... Dinda mau juga, doong..."

"Kalau begitu... Pakai penutup matanya, yaaa... Biar dinda Ratih gak kaget..."

"Iya, abi..."

Wah... Hanya dari mendengar pencakapan keduanya aja Aseng junior sudah ngaceng waktu kugoyang-goyang sedikit. Artinya ketiga istri ajo Mansur saling berkomunikasi dan saling dukung. Ratih dan Mila juga sudah diberitau apa saja yang kemaren mereka lakukan. Andai saja ketiga perempuan yang berpredikat sebagai istri sah ajo Mansur ini tau siapa yang telah dan akan meniduri mereka? Aku gak bisa membayangkan reaksinya.

Aku mendengar lenguhan dan suara kecipak bibir yang beradu di atas sana. Agaknya ajo Mansur melakukan foreplay kembali pada Ratih. Beringsut-ingsut tanpa membuat suara aku keluar dari lantai sedingin es yang kutiduri ini. Sudah memakai penutup mata, Ratih dan ajo Mansur sedang berciuman. Ratih masih sangat kaku karena tak punya pengalaman sama sekali. Lain halnya dengan ajo Mansur yang sudah berkarat di dunia perlendiran ini. Tangannya juga sibuk memilin puting Ratih. Ajo Mansur berusaha mendidik istrinya agar mulai berani menyentuh penisnya yang lunglai. Kikuk gerakannya kaku memegang kalapiah suaminya yang sebenarnya belum bisa berfungsi dengan benar itu.

Kemudian jari tangan ajo Mansur mengobel kacang itil Ratih yang masih berlumuran spermaku sebentar dan memposisikan dirinya di antara kaki yang terbuka itu seolah akan melakukan penetrasi. Memang dioles-oleskannya kepala penis lunglainya itu ke bukaan vagina Ratih hingga cairan kental putih itu meluber ke seluruh permukaan vaginanya hingga berkilat-kilat. Merasa gagal, ia memberi kode padaku untuk menggantikannya. Kembali tag-team.

Aku tak perduli tatapan nanar ajo Mansur pada Aseng junior yang sudah mengacung keras hendak mendarat lagi ke dalam liang kawin hak miliknya itu. Setenang mungkin kuposisikan tubuhku di antara bukaan kaki Ratih yang secara binal menakalkan dirinya dihadapan sang suami. Kau akan berkompetisi sehabis ini dengan dua madumu, Ratih. Membinalkan diri adalah salah satu caranya.

Kuulangi cara ajo Mansur tadi, mengoles-oleskan kepala Aseng junior ke bukaan vagina Ratih lalu kususupkan pelan, masuk perlahan. Ratih mengerang dengan tangan kembali mengepal. "Aaahhh... biiii.... Enaaak, biii..." erangnya menggunakan suara merdunya. Setidaknya aku pernah mendengar suara merdu langkanya ini untuk beberapa menit ke depan. Entah kapan ada kesempatan emas seperti ini akan berulang lagi.

"Enak, deek...?" tanya ajo Mansur masih dengan usahanya yang tak kenal lelah; merancap penis lunglainya.

"Enaaak, biii..." jawabnya mengerang. Aseng junior sudah menyodok-nyodok istri pertama ajo Mansur dengan teratur. Merasakan sempit liang kawinnya yang masih berlumuran spermaku dari ronde sebelumnya. Sejumlah cairan kental itu tertarik keluar membentuk gumpalan berwarna pink pupus, sperma bercampur darah perawan. Batang Aseng junior juga berlumuran spermaku sendiri, tapi itu semua hanya untuk memperlancar semua persetubuhan terselubung ini. Hanya aku dan ajo Mansur yang tau kebenarannya. "Ciuum, bii..."

Mampos! Kaget aku mendengar permintaan Ratih kali ini. Kalo ia ciuman denganku, akan besar kemungkinan ia curiga dengan aroma mulutku karena ia baru saja berciuman dengan suaminya sebelum ronde ini dimulai. Pastinya ia akan curiga. Aku berpaling pada ajo Mansur menanyakan pendapatnya. Ia menggeleng tanda tak membolehkan. Benar. Aku juga setuju. Sebagai gantinya, ajo Mansur menunjuk kaki Ratih dan menunjuk bahunya. OK. Aku mengerti sinyalmu, jo.

"Nanti aja, deek... Ini lagi enak-enaknya, nih..." akal-akalan ajo Mansur yang segera kutanggapi. Kedua kaki Ratih kuangkat dan kusampirkan ke bahuku hingga tubuh kami kian rapat merekat. Aseng junior dengan mudah menusuknya dalam-dalam. Erangan Ratih semakin menjadi-jadi kala liang kawinnya yang baru saja dijebol ini diperlakukan sedemikian rupa oleh penis yang telah merobeknya.

"Ahhh, biii... Dalam sangaaat... Uuhh... Tapi enaak, biii... Teruus, bii..." erangnya bertambah liar. "Dindaaa enaaak... Uhh..." ia meracau keenakan dengan tubuh terhentak-hentak sodokan Aseng junior yang merojok cepat liang kawinnya. Pahanya kuremas-remas dengan gemas. Lututnya bahkan kuciumi dan kujilat dengan gemas juga. Kukecup-kecup kulit putih mulusnya yang selalu tertutup sempurna di mata non-muhrimnya. Secara wajar, hanya ajo Mansur yang berhak melihat dan menikmati ini. Tapi aku mendapat kehormatan khusus darinya. Bahkan sampai memasukkan Aseng junior ke dalam kemaluannya segala.

"Abiii... Enaak benaaar ini, biii... Dindaa gak sangguup, biii... Uuhh... Ahh..." kembali tubuhnya bergetar pelan pertanda ia kembali mencapai puncak orgasmenya. Semoga di kesempatan berikutnya dengan suamimu, kau akan selalu merasakan kenikmatan ini, Ratih. Liang kawinnya meremas dan menekan Aseng junior dengan kedutan yang melenakan. Aku tak bisa bergerak untuk beberapa saat karena Aseng junior terperangkap di dalam sana untuk sementara, menunggu kedutan orgasme selesai. "Lagi, biii..."

Ia memberi tanda aku bisa bergerak lagi. Kupeluk erat kakinya dan kugenjot lagi dengan cepat. Rasanya semua sperma dari ronde pertama tadi sudah terkuras dan cairan pelicinnya menggantikan tugas melubrikasi persetubuhan ini. Ratih menggeleng-gelengkan kepalanya, mengerang dengan suara merdunya, mengekspresikan semua rasa yang merajai tubuhnya. Sesuatu yang dianggapnya wajar bersama suami tercintanya. Pastinya ia mahfum kalo suaminya bebas menggarap dirinya dengan cara apapun sebatas yang normal dan masih wajar. Ia pun bebas berekspresi untuk menyenangkan hati suami. Lah... Siapa yang sedang menggarapmu saat ini, Ratih?

"Ahh..." kulepaskan kaki Ratih yang tadi kupeluk erat tersampir di bahuku. Kualihkan dengan mengait di pinggangku. Tumitnya terasa menekan pantatku dan aku mengangkat pantatnya. Ahh... Lembut dan juga kenyal sekali kedua bongkah pantat ukhti ini. Kuremas-remas sebelum kembali menggoyangkan Aseng junior keluar masuk. Dengan kaki terbuka lebar begini, vaginanya merekah lebar hingga aku bisa melihat tonjolan kacang itilnya yang menegang menggoda. Jembutku berkali-kali menggelitik kacang itil itu tetapi impact-nya kurasa masih kurang. Nakal kuteteskan ludah menuju kacang itil menonjol itu. Hangat ludahku menerpa dan mengalir turun. Ratih bergidik.

Apakah ini tombol darurat untuk perempuan alim semacam Ratih juga?

Ajo Mansur seperti paham apa yang akan aku lakukan pada istri tersayangnya begitu kulepas tangan kananku yang menopang sebelah pantat Ratih. Kuacungkan jempolku pada ajo Mansur. Ini hasil dari didikan ajo Mansur sebenarnya. Ia yang mengajariku kalo pada perempuan-perempuan tertentu ada titik-titik rangsang mujarab yang spontan bisa membuatnya orgasme cepat. Salah satu titik itu adalah kacang itil ini. Mari kita cobaaa...

Dengan memakai jempol, kutekan kacang itil Ratih yang mencuat menonjol karena desakan Aseng junior di liang kawinnya. "Aahh..." desah perempuan alim bercadar itu. Kugerak-gerakkan menggesek kacang itil perempuan cantik bercadar ini. Ia semakin gelisah dan mengerang mendesah liar. Pinggulnya juga ikut bergerak meningkahi semua rangsangan yang kuberikan. Sodokan Aseng junior terus memompa ditambahan kilikan jempol di kacang itilnya.

"Gelii, biii... Uuuhh... Enaak, biii... Auuhh... Ahh..." payudaranya yang montok bergetar-getar kala ia menggerakkan pinggulnya berputar-putar. Sekilas seperti berusaha menghindari jempolku sekaligus mengejarnya kala diperlambat. Jempolnya semakin gencar mengulik kacang itilnya dengan cepat, membuat Ratih semakin blingsatan. Apakah ini bisa menjadi tombol daruratmu? Ajo Mansur yang ada dibelakangku juga berharap itu benar, ia bisa meneruskannya kapan-kapan kalo ia sudah sembuh nanti. Akan sangat seksi kalo perempuan semacam Ratih ini bisa squirt. Akan jadi perempuan yang bagaimana ia nantinya? Apakah tetap begini? Ato lebih binal?

Remasan kuat berulang-ulang menyerang Aseng junior dan perut Ratih berkontraksi mengetat. Cepat kucabut Aseng junior. "Crresshh..." selarik semburan melesat lemah dan mendarat menodai basah sprei ranjang penginapan ini. "Aahh... Aihh... Dinda pipis, biii... Ahh... ahh... Jorok yaa, bii..." erangnya menyesal telah melakukan hal yang dikiranya hina itu.

"Enggak, dinda sayang abii... Abi sengaja buat Ratih begitu... Abi yang buat, koook... Enak, kaan?" kata ajo Mansur berusaha menenangkan istrinya yang khawatir telah melakukan sesuatu yang teramat salah. Melakukan sesuatu yang tidak pantas berupa pipis sembarangan. "Abi hanya mau membuat adek puas, kok... Abi udah lama nganggurin kalian selama ini..." lanjutnya. Aku masih mengusap-usap kacang itil Ratih perlahan dengan menyodok vaginanya lagi pelan-pelan. Mendengarkan percakapan privat suami istri ini.

"Enaaak, bii... Pipisnya beda yaa, bii?"

"Bedaa... Lagian itu bukan pipis benaran, kok... Bilang aja pipis enak... Gitu..." kata ajo Mansur berusaha menyederhanakannya. Akan sangat aneh kalo ajo Mansur menjelaskannya sebagai squirt. Yang artinya ajo Mansur sudah sangat berpengalaman di bidang ini. Akan sangat dipertanyakan apa saja yang sudah dilakukannya di masa lalu. "Mau lagi?" tawar ajo Mansur. Malu-malu Ratih mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya.

Pernah membuat Dani dan kak Sandra ketagihan dengan pipis enak ini, tentu saja aku tidak keberatan melakukan hal yang sama pada Ratih. Akan sangat menyenangkan dan terasa amat jantan kalo aku bisa memuaskan perempuan yang kusetubuhi berkali-kali. Pelan-pelan tetap kusodokkan Aseng junior dan mengulik tombol darurat berupa kacang itil Ratih yang menegang kaku. Ia langsung mengerang dan bergerak blingsatan. Tubuhnya menekuk kesana kemari. Kakinya yang melingkari pinggangku, tumitnya menekan pantatku dengan kuat.

"Bii... Enaak benaaar, biii... Uuhh... Ah... Ahh... Aihh.... Mm... Biii... Enak, biii... Mau pipis lagi, biii... Aihh... Uhh... Uhh..." tidak perlu menunggu lama, begitu Aseng junior kucabut, semburan pipis enaknya menyemprot lagi. Kali ini ia tidak ragu-ragu lagi ato menahannya. Ada tiga kali semprotan kencing yang terpancar dari saluran urinnya. Berdenyut-denyut terlihat vaginanya yang kian terlatih itu. Liang kawinnya juga menganga basah bekas kujejali. Seksi sekali perempuan alim bercadar istri pertama ajo Mansur ini. Dengan mudah Aseng junior menelusup masuk lagi ke liang sempit becek itu dan kembali kukocok pelan-pelan dan kulikan pada tombol daruratnya.

Keadaan Ratih sudah sangat berantakan dan ia ketagihan mendapat orgasme pipis enak itu. Rambutnya basah oleh keringat dan berurai awut-awutan di sekitar kepalanya yang tak bertutup hijab lagi. Beberapa helai juga menjuntai di depan wajahnya. Nafasnya senin-kamis ngos-ngosan barusan diserang nikmatnya pipis enak. Sprei di hadapan kakinya yang membuka lebar sudah basah kuyup. Entah bagaimana ia tidur di ranjang ini setelah selesai nanti. Entah apa pula nanti tanggapan pihak pengelola penginapan ini mendapati kasur dan sprei ranjang ini basah sementara tidak ada anak kecil tidur di dalamnya. Bodo amat!

Setelah rangkaian pipis enak yang kuberikan pada Ratih, tidak salah dong kalo aku juga mau pipis enak. Kuabaikan sang tombol darurat ajaib itu. Aku hanya berpegangan erat pada dua bongkah pantat empuk lembut Ratih, meremasnya sesekali. Aseng junior memompa dengan cepat, memaksanya agar cepat ejakulasi lagi dan menyudahi ronde kedua yang sudah sangat becek ini. Apa aku sanggup untuk ke istri ajo Mansur berikutnya?

Mengingat Mila yang bersuara lirih dan lembut, membuat Aseng junior lebih cepat cenat-cenut. Gak perlu kupikirkan masalah yang akan kuhadapi sebelum bisa mengeksekusi istri kedua ajo Mansur itu nanti. Mengakhiri rangkaian perjanjian memerawani tiga istri saudara sepupuku itu. Tak terlalu kupikirkan juga akankah mereka hamil oleh dua kali ejakulasiku ini. Yang penting aku segera ngecrot aja! Ngecrot sengecrot-nyaaa! "Akh!"

Berkedut-kedut Aseng junior memuntahkan muatannya. Dorongan demi dorongan memancar dan mengalir masuk ke dalam liang kawin Ratih dan memenuhi rahim istri tertua ajo Mansur ini. Rasanya sudah sangat tak terperi lagi nikmatnya. Lututku sampe lemas karenanya. Bongkah pantatnya yang kenyal kuremas gemas berulang-ulang sangking gak sadarnya. Begitu Aseng junior kucabut, ajo Mansur segera menggantikanku. Ia tetap berusaha menempelkan, kalo bisa memasukkan penisnya ke milik sahnya ini. Istri yang seharusnya menjadi haknya seorang.

Dengan cara yang sama, dengan jari ia melebarkan mulut vagina Ratih dan mencucukkan penisnya yang masih lunglai tak sanggup menusuk masuk. Bengkok dan hanya patah menekuk saja, hanya terselip menggenaskan berlepotan sisa kental cairan sperma putihku. Ia menggeleng-geleng sedih. Aku juga jadi mendadak sedih melihat ekspresinya itu. Aku sudah dua kali menikmati istrinya ini. Total aku sudah memerawani 2 dari 3 istri miliknya. Ajo Mansur memberiku kode anggukan yang berarti aku sudah boleh keluar dari kamar. Kukumpulkan semua pakaianku dan kupakai dalam senyap lalu keluar kamar dengan terlebih dahulu mengintip kondisi di luar. Sepi.

Aman... Aku keluar dan berdiri sejenak di beranda bungalow ini. Pintu kamar nomor 2 bungalow ini, dimana Mila berada tertutup rapat. Ajo Mansur memintaku kalo bisa, aku juga melakukannya pada Mila juga. Sebenarnya aku sudah sangat lelah. Apa sebaiknya aku menolak saja, ya? Lebih baik aku ngaso dulu di cafe penginapan. Seharusnya masih buka karena bule-bule muda itu sering tidur larut malam di tengah malam ini. Benar saja, perayaan berisik mereka ternyata masih berlanjut. Masih ketawa-ketiwi chit-chat sana sini dibarengi minum bir botolan. Aku pesan kopi dan duduk sendirian menghadap danau yang gelap dengan ombak kecil-kecil dihembus angin.

Secara normalnya, aku bisa 2 ato 3 ronde lagi-lah. Kalo dipakai biasanya, ajo Mansur hanya membolehkanku menyetubuhi istrinya 2 ronde saja seperti tadi barusan. Juga kemaren dengan Suli juga hanya 2 ronde saja. Seharusnya masih bisalah kalo untuk menggasak Mila. Itu normalnya... Tapi saat ini keadaanya tidak normal bagiku. Setelah kejadian menghabisi anak muda dengan ilmu Mandalo Rajo palsu itu, aku cukup terguncang. Kusesap kopi pesananku yang sudah datang. Hangat dari pahit dan manisnya memenuhi dadaku. Terguncang hingga aku harus beristirahat seminggu di alam daerah kekuasaanku yang tak terikat waktu. Setara seminggu di dunia nyata harus kuistirahatkan jiwaku untuk menyembuhkan luka itu dengan meditasi.

Besok kami akan bertolak lagi ke tujuan berikutnya yaitu pulau Cubadak. Pulau ekstotis yang ada di tengah Samudra Hindia yang dikenal dengan julukan surga tersembunyi oleh turis mancanegara. Itu bisa jadi lokasi eksekusi yang tepat bagi Mila, istri kedua ajo Mansur tentunya. Pria itu seharusnya memang memberikan kesan tersendiri bagi istri-istrinya dengan kesan mendalam agar bisa dikenang dimana mereka kehilangan kehormatan berharga itu, di tempat yang romantis atau indah. Apalagi staminaku akan full lagi besok tentunya. Juga aku juga akan lebih bersiap menghadapi lawan berikutnya yang sudah kupastikan akan kembali kukonfrontir. Kalo kembali ada unsur-unsur harimau di teluh ato santet ini, aku sudah tau cara menghadapinya. Aku sudah tau harus bersikap apa.

Seorang pemuda bule asal Swiss mengajakku ngobrol sebentar karena pacarnya sedang ke kamar kecil. Ia berkisah kalo ia sudah di Indonesia selama seminggu. Habis dari sini ia akan berangkat ke pulau Mentawai untuk mengejar ombak yang lagi bagus musim ini. Teman-temannya yang lain juga akan kesana, gerombolan berisik di sebelah sana itu. Kutanya kenapa ia tidak ikut bergabung dengan mereka, katanya pacarnya gak kuat minum jadi agak melipir sedikit menjauh. Sang pacar cantik kembali dari kamar kecil dan bergabung dengan kami. Sedingin ini, ia sanggup memakai pakaian tipis saja. Pantesan aja, suhu segini mungkin di negaranya sana setara musim panas kali, ya?

Aku mempromosikan tujuan wisata lainnya yang kira-kira akan menarik perhatiannya dan ternyata mereka sudah banyak tau spot-spot bagus yang tidak terlalu Mainstream seperti Bali ato Lombok. Mereka lebih mementingkan keindahan alam daripada fasilitas karena mereka bepergian ala backpacker yang minim biaya. Pulau Cubadak tentu tidak akan masuk hitungan mereka karena cost-nya cukup mahal. Keknya cuma oom-oom bule tajir aja yang memilih tempat itu sebagai lokasi berlibur. Di tengah keseruan pembicaraan kami, ajo Mansur bergabung dengan kami. Tak lama mereka permisi karena mau tidur.

"Siap untuk Mila, Seng?" tanya ajo Mansur.

"Keknya jangan dulu-la, jo..." tolakku sebenarnya sungkan. "Apa gak sebaiknya besok aja di pulau Cubadak?" memberi alasan sekaligus solusinya. "Lagian aku dah lumayan capek juga, nih..." tambahku memegangi sendi lenganku, gestur pegal.

"Mm... Gitu, yah? Yakin? Kayaknya Aseng baik-baik aja-ah... Ada masalah apa?" selidik ajo Mansur. "Ajo gak masalah kok, Seng... Santai aja... Ajo kan sudah janji gak akan apa-apa walo segini berat... Suwer-lah, Seng..." menatapku tajam. Mungkin ia mengira aku sungkan dengan beberapa ekspresi yang ditampilkannya seperti menyesal, sedih, kesal atopun marah.

"Bukan itu, jo... Ada masalah lain... Bukan ajo Mansur masalahnya..." potongku cepat sebelum ia salah tanggap. "Masalahnya cukup bikin pusing..." lanjutku malah ngegantung. Ini tentunya masalah silat harimau itu. Mandalo Rajo dengan Inyiek Mandalo Sati. "Eh... Tadi udah ada perkembangan lagi, kan?" aku mengalihkannya ke topik lain.

"Iya-iya... Agak lebih berisi dikit... Sebenarnya... apa yang kau lakukan sih, Seng?" kepo ajo Mansur. "Apa kau lagi belajar jadi dukun?" tebaknya. "Kau menyantet balik dukun itu?" Jiaah! Aku disamain sama dukun. Kimbek-kimbek. "Cepat-lah obati ajo-mu ini..."

"Iya... Beres, jooo... Ada satu tahap lagi sebenarnya... Tapi Aseng bukan dukun-la, jo... Gak mau aku dibilang dukun... Jijik kali aku sama nama itu... Jelek kali kurasa... Awak ni pegawai pabrik aja-nya..." elakku gak sudi diberi cap dukun. Terhina kali rasanya anak mudanya dituduh jadi dukun. Kek gak ada aja nama lain. Paranormal, kek? Sama aja! Paok!
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd