Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Cappa'e : a little_crot's story

Bimabet
Update 01

***

“Apakah Unda Karaeng adalah pesilat yang tangguh, Daeng?

Daeng Unjung tidak langsung menjawab. Masih membelakangiku, tangannya terus bergerak perlahan, mengaduk cairan dalam periuk besar tanah liat di depannya. Aroma khas yang harum bergerak bersama asap, memenuhi dapur dan mencari celah keluar.

“Beberapa orang tidak ditakdirkan menjadi pendekar, sekalipun belajar silat bertahun-tahun,” gumamnya.

“Masa menimba ilmu Unda-mu itu tergolong sangat lama, seingatku.Tetapi dia jarang sekali terlibat pertarungan. Aku bahkan tidak pernah melihatnya bertarung dalam latihan. Sejak kecil, dia tergambar lebih seperti pemikir ketimbang petarung.”

Daeng Unjung mengangkat sendok kayunya yang besar, menyentuhkan ujungnya yang basah berasap ke telapak tangannya, yang lalu dijilatnya untuk mencicipi. Lidahnya berdecak,

“Ketumbar…”

Diambilnya sejumput bubuk dari botol di rak atas, yang ditaburkannya ke dalam periuk.

Aku mendekat, mengintip ke dalam periuk dari balik bahunya,

“Ini coto atau pallubasa, Daeng?”

“Keduanya,” jawab Daeng Unjung.

Melihatku mengernyit, Daeng Unjung terkekeh melanjutkan,

“Semua hidangan berkuah adalah pallubasa. Pallu artinya dimasak, basa berarti basah atau berkuah. Dengan begitu, coto tentu termasuk pallubasa, begitu juga sop konro.”

Daeng Unjung terlihat sangat menikmati dirinya sendiri ketika berbicara. Seolah-olah dia sudah sangat lama menantikan seseorang menanyakan hal ini padanya.

Sitti Hasanah masih tampak bugar untuk wanita seusianya; 78 tahun. Atau lebih. Umumnya masyarakat biasa pada masa lalu tidak menyadari pentingnya pencatatan tanggal kelahiran. Angka 78 hanya bilangan aproksimasi. Meskipun ingatannya melemah, daya tangkap dan tanggapnya terhadap percakapan masih sangat baik. Obrolan dengannya selalu menyenangkan, walapun terkadang terjadi lompatan-lompatan dalam objek yang dibicarakan.

Beberapa pelayan bekerja di bawah arahannya. Sitti Hasanah sudah bekerja di lingkungan kerajaan sejak remaja, sebelum Kaharuddin Daeng Mappatoba’ - yang kini menjadi Karaeng Bontokalumanyang - terlahir. Gelar Daeng Unjung kemudian diberikan padanya, ketika diangkat sebagai kepala urusan dapur Balla Lompoa.

“Lalu mengapa sekarang pallubasa malah mengacu ke suatu masakan tertentu yang berbeda? Sekarang ada warung coto, ada warung konro, tapi juga ada warung pallubasa.”

“Dan semuanya cenderung laris, bukan? Penamaan yang berbeda membuatnya sama-sama terjual.” Daeng Unjung mengangsurkan semangkuk kuah coto untuk kucicipi.

“Iya. Uwww… panashh… Tapi enak!!!”
Daeng Unjung terkekeh.

“Tentu saja. Coto yang enak punya dua kunci…”

“Apa itu, Daeng?”

“Terasi, dan celana dalam yang belum dicuci…,” jawabnya tersenyum kecil.
Sontak, kumuntahkan kembali isi mulutku. Beberapa tetes menyelinap melalui saluran hidungku, membuatku tersedak.

“Uhukk…!!! Uhuk…!!!”

Daeng Unjung terpingkal-pingkal melihatku terbatuk. Kutepis perlahan mangkuk yang isinya sudah sebagian kutumpahkan. Daeng Unjung mulai memasukkan potongan-potongan besar daging rebus ke dalam kuah coto yang berbuih mendidih.

“Celana dalam??? Celana dalam yang belum dicuci??? Daeng Unjung bercanda, kan???”

“Tentu saja tidak,” ujarnya tenang, sambil terus memasukkan potongan-potongan lain ke dalam periuk. Jantung, hati, limpa dan usus. Semua daging dan jeroan yang sudah direbus terpisah setengah matang.
Kak Lipa muncul di ambang dapur,

“Kau di sini rupanya,” ujarnya padaku.

“Karaeng,” sahutku dan Daeng Unjung bersamaan. Menundukkan kepala satu detik sebagai penghormatan.

“Kau dicari Unda-mu sejak lepas isya tadi,”

“Baik, Karaeng,” jawabku patuh.

“Daeng Unjung berhutang penjelasan padaku, tentang celana dalam itu!” seruku sambil berlalu meninggalkan kedua wanita beda usia itu.

Beberapa saat kemudian, kudengar tawa mereka berderai dari ujung lorong menuju bangunan utama Balla Lompoa.

***

Tiap beberapa malam sekali yang tidak tentu waktunya, Karaeng akan memanggilku untuk mengobrol. Obrolan selalu dilakukan di salah satu sisi balairung Balla Lompoa. Sebuah pojok yang dibuat menjadi ruang duduk melantai yang nyaman, dengan permadani tebal dan bantal-bantal.

Karaeng dan coto adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Pada masa mudanya, hidangan ini disajikan hampir setiap malam. Tetapi setelah prosedur kateterisasi yang dijalaninya dua tahun yang lalu, malam-coto di Balla Lompoa kini diadakan seminggu sekali.

Kami duduk berhadapan. Daeng Upa’ berada di sampingku, agak ke belakang. Posisi duduk ini menegaskan bahwa Daeng Upa’ adalah orang kepercayaan Karaeng, tetapi dalam status kebangsawanan dan kekeluargaan, aku tetap lebih dekat dengan lingkaran kerajaan.

Obrolan selalu dimulai dengan menanyakan perkembangan latihanku. Kelemahan-kelemahan yang harus kuperbaiki, dan ketertinggalan yang harus kukejar.

“Penguasaan karena sangat pesat. Kecepatan dan senjata sudah bisa dipuji. Dan yang menonjol adalah kemampuan meniru. Sekali melihat rangkaian gerakan, dia akan langsung bisa melakukannya juga. Tetapi belakangan ini pikirannya seperti tidak terarah, Karaeng,” kata Daeng Upa’.

“Dia memikirkan hal lain?” Karaeng bertanya, seolah aku tidak di sana.

“Bukan, Karaeng. Pikiran Andi Makka tetap di sana, tetapi seolah membelakangi hal yang ada di depannya. Selalu berpikir terlalu jauh dan mengambil jalan memutar,” ujar Daeng Upa’.

“Persis seperti Etta-nya. Etta-nya di masa muda. Walaupun wajahnya nyaris tidak ada kemiripan, haha….”

“Upa’, Makka, besok aku akan pergi lagi. Tetapi malam berikutnya aku sudah akan kembali.”

Unda-ku ini adalah seorang pengusaha dengan jadwal bepergian yang cukup padat. Dalam seminggu terkadang dia akan pergi beberapa hari.

“Kulihat jam latihan Makka sudah perlu sedikit ditambah. Gunakan waktu tambahan selepas Isya.” Karaeng melanjutkan.

“Iye’, Karaeng.” Kami menjawab bersamaan.

Karaeng mengubah posisi duduk menjadi sedikit memutar ke arahku. Sebuah isyarat bahwa laporan yang diharapkan dari Daeng Upa’ sudah diterima, dan kehadirannya sudah tidak diperlukan.

Daeng Upa’ melangkah mundur dalam posisi jongkok, lalu berbalik perlahan ketika sudah tidak tampak dari pandangan.

Daeng Unjung dan seorang pelayan kemudian memasuki ruangan, menyajikan mangkuk besar dengan asap mengepul di tengah kami. Diletakkan pula sebuah piring lebar dengan potongan-potongan kecil jantung, daging, hati dan usus sapi yang terpisah-pisah oleh sekat daun pandan. Aroma wangi menguar ke udara; kuah coto, aroma daging rebus, ketupat daun pandan dan gammi’ tarasi.

Karaeng meraih sebuah mangkuk kecil, mengisinya dengan potongan-potongan daging dan jeroan, menyiramnya dengan kuah yang kental kecokelatan, lalu menyodorkannya kepadaku. Dalam obrolan akrab seperti ini, Unda-ku selalu mengambil peran melayani.

Di sela-sela lahapnya, Karaeng - yang melihatku belum juga ikut menyantap hidangannya - mengangkat wajah dan bertanya,

“Bukannya kau suka coto?”

“Iya, Karaeng, suka sekali….”

Dia menatapku sejurus lagi.

“Makan saja. Daeng Unjung memang selalu begitu sejak dulu,”

Dia langsung tahu alasanku.

“Jadi, itu tidak benar kan, Karaeng?”

“Yang mana?”

“Ce-celana dalam,” jawabku canggung.

“Celana dalam yang belum dicuci? Itu benar kok….”

Kuletakkan mangkukku. Karaeng tertawa sekilas.

“Memang benar. Rahasia kenikmatan kuah coto makassar adalah bumbu terasi dan celana dalam yang kotor,” katanya.

Aku masih terdiam menatapnya. Sadar bahwa aku menunggu penjelasan, Karaeng malah sengaja berlama-lama dengan makanannya. Ketika mangkuk kedua sudah tandas, dia baru mulai melanjutkan,

“Terasi adalah bumbu dalam makna yang sebenarnya. Dalam jumlah yang tepat, terasi memberi penguatan kepada bumbu lainnya, tanpa mengubah rasa. Keluarga kerajaan sudah lama menggunakan terasi dalam berbagai masakan, sebagai bentuk kesyukuran atas hasil laut yang melimpah,”

“Celana dalam yang tidak dicuci adalah sebuah kiasan. Menghasilkan masakan yang enak dengan rasa yang tidak berubah dari tahun ke tahun membutuhkan pengabdian dan pemusatan pikiran. Memerlukan usaha yang keras dan pembiasaan yang panjang. Celana pun sampai tidak sempat lagi dicuci....”

Obrolan sederhana yang terjadi pada malam itu, mengubah pandanganku terhadap coto, lebih dari sekadar masakan.

***

Wutt!! Wushhh!!!

Kutingkatkan kecepatan serangan. Gerak hindar Daeng Upa’ benar-benar menjengkelkan. Bahkan aku sendiri menyadari kemajuan pesat pada daya tarungku, tetapi Daeng Upa’ selalu berada jauh sekali di depanku.

“Hih!!!” Daeng Upa’ berseru ketika - akhirnya - memutuskan untuk melakukan serangan balasan.

Kupasang tameng lengan di sisi wajahku, menyambut sabit tendangan yang - kukira - akan menghantam pelipisku, tetapi...

“Ugh!!!”

Dalam posisi setengah melayang di udara, dengan sebelah kaki terayun ke arahku, kepalan tangan Daeng Upa’ sekali lagi menyodok ulu hatiku. Sebuah gerak tipu yang nyaris mustahil.

Aku terhuyung ke belakang, tetapi tidak terjatuh. Kekuatan serangan Daeng Upa’ benar-benar di luar akal sehat, tetapi udara yang kuhirup dan kutahan melindungiku dari dampak terburuknya; henti napas.

Daeng Upa’ tersenyum puas. Badannya melemas, melepaskan posisi siaga dan kuda-kuda. Seperti biasa, dua jam bergerak tanpa henti adalah latihan yang cukup untuk menutup sore hari. Tetapi Daeng Upa’ tentu juga punya batas lelah, jika dilihat dari dampaknya pada tubuhku. Pukulan terakhirnya tadi tentu menguras banyak tenaga. Maka aku bergerak secepat yang kubisa,

Wush!!!

Rambut pelipis Daeng Upa’ tersibak, ketika ayunan kakiku luput mengenai wajahnya. Gerak egos yang sempurna. Lalu,

Duagh!!! Sruk!!! Bruk!!!

Tubuhku terpelanting ke samping beberapa kali, ketika kepalan tangan Daeng Upa’ menyentuh bahuku.
Rasa kebas di sekujur tubuhku terkalahkan oleh keterkejutan. Bagaimana mungkin dia masih menyimpan tenaga pukulan sebesar itu? Dan bagaimana mungkin dia bisa melakukan pukulan sekuat itu dalam jarak yang begitu dekat? Jarak yang hampir tidak ada?

Pelatihku tersenyum singkat, memamerkan deretan sempurna geliginya yang putih, merapikan rambut, lalu dengan santai berjalan ke arah surau,

“Kita lanjutkan malam nanti.”

Aku masih terduduk di tempatku, berusaha mengulang kembali rangkaian gerakan Daeng Upa’ dalam kepalaku ketika kusadari sesuatu; Daeng Upa’ tidak kehabisan tenaga setelah pukulan itu, karena dia tidak pernah benar-benar memukulku. Sejak dulu tidak pernah.
Tubuhku terpelanting hanya karena sentuhan kepalan tangannya. Tapi bagaimana bisa???

***

Tentu saja sore itu aku lagi-lagi mengintip Kak Lipa ketika sedang mandi. Tetapi kali ini aku kecewa, sebab Kak Lipa melewatkan rutinitas masturbasi, tidak seperti biasanya.

Jadi yang kulakukan hanya memandangi tubuhnya yang bergerak-gerak ketika menyabuni seluruh tubuhnya. Membayangkan diri menjadi pemilik kedua telapak tangan yang begitu beruntung bisa menjamahi semua keindahan miliknya.

Kuselesaikan mandiku beberapa saat setelah Kak Lipa meninggalkan bilik mandinya lebih dulu. Terus-menerus kuputar kembali ingatanku, berusaha menangkap rahasia kekuatan pukulan Daeng Upa’. Tetap saja sulit. Sebab pada saat terjadinya, pikiranku tidak tertuju pada hal itu. Satu-satunya cara adalah memberi kesempatan padanya melakukannya lagi. Memaksanya untuk menghantamku kembali.

Aku melihat Daeng Unjung di beranda samping ketika berjalan ke arah rumah. Daeng Unjung senang sekali menghabiskan petang di sayap ini, sambil menghisap rokok tembakau yang digulungnya sendiri. Secangkir kopi hitam juga tidak ketinggalan, dihirupnya sesekali. Dalam rumpun masyarakat Bugis-Makassar merokok bagi wanita tua memang adalah hal yang lumrah. Terkesan lebih berkelas dibandingkan orangtua nyirih yang selalu meludah.
Kami mengobrol ringan hingga hari mulai gelap. Tiba-tiba sayup kudengar suara,

Ppo’... Ppo’...

Terdengar menggema dari jauh, tetapi sekaligus memberi kesan dekat.

Lalu terdengar lagi,

Ppo’...

Kali ini lebih jelas. Seperti dari atas atap Balla Lompoa.

“Daeng Unjung juga dengar itu?” tanyaku.

“Biarkan saja. Dia dan urusannya sendiri.”

Jadi Daeng Unjung juga mendengarnya. Dan - lebih dari itu - dia juga tahu gerangan apa yang bersuara itu. Bebunyian yang mirip dengan gambaran suara dari sebentuk makhluk yang sejak kecil kudengar ceritanya, sebagai sekadar dongeng untuk menakuti anak-anak.

Poppo’ adalah nama sejenis lelembut dalam dongeng rakyat Bugis dan Makassar. Tidak ada yang pernah melihat rupanya. Kehadirannya ditandai dengan suara seperti yang terdengar barusan.

Mereka konon terbang dari pohon ke pohon, atap ke atap, lalu berhenti di rumah yang menjadi incarannya. Sebagian besar incarannya adalah anak bayi. Tetapi - konon - orang dewasa juga sering ditemukan mati.

Poppo’ akan hinggap di atap rumahnya, bertengger dan menyerap kehidupan dari orang yang diincarnya. Keesokan harinya korban akan ditemukan mati dengan penyebab yang tampak alami.

Kurasakan bulu kudukku meremang. Berbagai cerita tentang makhluk gaib sudah kudengarkan sejak kecil. Tetapi mendengarnya langsung di lingkungan Balla Lompoa, adalah berbeda. Seperti menikmati hidangan tradisional langsung di daerah asalnya. Bagaimanapun, aku memang masih remaja yang baru setahun lulus dari SMA.

Daeng Unjung terkekeh melihatku.

“Apakah di rumah ini ada anak bayi? Atau orang yang banyak dimusuhi?”

“Tidak, Daeng, hahahaha...” jawabku.

“Jadi tidak usah khawatir. Lagipula, sejak kapan kau percaya pada cerita hantu semacam itu? Itu bisa saja cuma suara burung. Hehehe....”

***

Malam ini - sesuai perintah Karaeng - aku harus latihan lagi. Selepas ibadah Isya, kukenakan pakaian latihanku. Sweatshirt-set yang sengaja kupilih satu ukuran di atas ukuran tubuhku.

Daeng Upa’ sedang berdiri di petak berpasir dekat surau ketika kuhampiri. Berbeda dari biasanya, dia berdiri membelakangiku dan tampak waspada.

“Daeng, malam ini tolong ajari saya cara menghasilkan pukulan seperti tadi. Pukulan tanpa tenaga itu,” kataku sambil melakukan gerak pelemasan.

“Tidak,” jawabnya.

“Malam ini latihan yang ringan-ringan saja,” lanjutnya sambil meluncur ke arahku.

Serangan demi serangan dilontarkannya dalam kecepatan yang nyaris membutakan mata. Tetapi latihan sore yang diberikannya selama ini masih terasa lebih berat dari ini. Daeng Upa’ terasa seperti menahan diri. Bahkan sesekali kutangkap matanya tidak mengarah padaku, melainkan beberapa jeda di atas kepalaku.

Kutingkatkan kecepatan serangan balasan. Daeng Upa’ terpaksa mengimbangi. Tetapi ritme gerakan yang meningkat ini tidak membuat perhatiannya kembali sepenuhnya padaku dan serangan-seranganku. Ada apa ini?

Bugh…!!!


Sekepal tinju berhasil kusarangkan di bawah ketiaknya. Daeng Upa’ tampak meringis singkat, lalu kembali memasang kuda-kuda ringannya. Pukulan yang baru saja kusarangkan ternyata berhasil mengembalikan pikirannya yang tadinya mengembara. Kembali tubuhnya meluncur ringan ke arahku, dengan wajah terlebih dulu. Ceroboh!

Wutt…!!!


Kibasan tangan Daeng Upa’ menyapu ruang kosong, di tempat yang tadinya wajahku berada. Kurendahkan kuda-kuda sambil menghantamkan sikuku kembali di rusuknya.

Bugh…!!!

Daeng Upa’ mengunci siku dan lenganku - yang baru saja menghantamnya - di bawah ketiak, memutar badan ke belakangku dengan cepat dan menelikung leherku, lalu berbisik dengan cepat,

“Akan kusampaikan sesuatu, tapi jangan mengubah raut wajahmu, dan tetaplah menyerangku, berjanjilah!”

“Ya,” jawabku kebingungan, sambil menggeliat, menggunakan teknik tarung jarak dekat untuk melepaskan cekikan.

“Serang lagi…,” bisiknya sebelum tubuhnya terlontar ke belakang, melepaskan diriku dari kekangan. Jelas sekali, itu gerak berlebihan yang disengaja.

“Ada apa ini? Kita berpura-pura untuk siapa?” Aku membatin.

Kembali kulayangkan serangan ke arah Daeng Upa’. Pukulan tipuan yang diikuti serangkaian tendangan dekat, semua ditangkisnya, menipiskan jarak di antara kami. Kembali Daeng Upa’ berbisik,

“Pohon nangka, speaker surau dan aliri utama. Amati tanpa kentara…”

“Baik,” jawabku lirih, sambil mengayunkan tendangan memutar ke arahnya.

Daeng Upa’ melompat mundur beberapa kali, berhenti beberapa langkah dari tiang utama Balla Lompoa yang ditunjuknya tadi. Matanya menatapku lekat-lekat, memberi isyarat tanpa kentara, untuk mulai mengamati sekitar.

“Katamu kau ingin kuajari pukulan yang tadi?” Katanya dengan suara lantang.
Aku mengangguk, berusaha memusatkan pandangan pada tiang aliri di belakang Daeng Upa’. Sesuatu mengganggu pikiranku saat memandang tiang itu, tapi apa?

“Baik, akan kuperlihatkan sekali lagi. Amati dia lekat-lekat!” Daeng Upa’ memberi penekanan yang jelas sebuah isyarat yang sama.

Daeng Upa’ mulai memasang bunga. Sebuah pengalihan untuk memberiku waktu mengamati, sesuai isyaratnya tadi.

Kuatur napasku yang tadinya memburu. Kuusap aliran keringat di wajahku, terutama di sekitar mata. Kembali kupusatkan pandangan melewati bahu Daeng Upa’ ke arah tiang rumah di belakangnya. Dan di sanalah sosok itu berdiri menghadap ke arah kami…

Penyamaran yang sempurna adalah membuat orang lain tidak tertarik untuk menatapmu. Jika dipandang sekilas, tidak akan tampak apa-apa di sana. Namun setelah tahu bahwa ada yang tidak biasa, benakku tadi mulai berusaha menemukan gambarannya.

Dan kata “dia” yang diucapkan Daeng Upa’ tadi, membuatku tahu apa yang harus kucari di sana.

Rasa ngeri seketika memenuhi benakku ketika yang kucari itu menampak nyata.

Sesosok tubuh berdiri di samping tiang itu. Berdiri dalam posisi menyamping dan tegak. Terlalu tegak. Dia tidak bersembunyi di balik tiang, hanya berdiri diam. Lalu mengapa tadi dia tidak langsung terlihat?

Daeng Upa’ melangkah dalam rangkaian koreografis jurus-jurusnya. Dia berjalan mengitariku, tetap menatapku, dalam kuda-kuda, lalu berhenti di depan surau. Aku tahu, dia memberiku kesempatan mengamati pengeras suara surau, tempat sosok kedua berada. Beruntung, pohon nangka - tempat sosok ketiga - berada tidak jauh dari sana, sehingga bisa kulihat dengan sudut mata.

Dengan wajah tertuju pada Daeng Upa’ - yang terus menarikan bunga palsunya - mataku lekat mengamati ketiga sosok itu. Beruntung aku berada dalam naungan bayangan menara surau, sehingga gerak bola mataku tidak kentara.

Semakin kuamati, aku semakin memahami mengapa ketiga makhluk itu bisa menyamar dengan sempurna. Mereka bisa menyesuaikan gerak tubuh dengan benda di dekatnya. Sosok di tiang rumah dan di atap surau mengesankan diri seperti benda mati, sedangkan sosok di pohon nangka seperti bergerak di setiap sendi, menyatu alami dengan gerak dedaunan yang ditiup angin. Makhluk apa mereka ini?

“Ndi’ Makka!!!”

Seketika tubuh Daeng Upa’ melompat tinggi ke pohon nangka, tepat menuju sosok gelap di atas sana. Itu dia, pukulan itu!

Dugh!!!

“Uhukk!!!”

Bruk!!!

Sebentuk tubuh terlontar jatuh ke hadapanku, setelah terkena sentuhan kepalan tangan Daeng Upa’. Sosok itu langsung berdiri, hendak meluncur ke arah Daeng Upa’ namun,

Bugh!!! Bugh!!! Bugh!!!

Tendangan beruntun yang kulontarkan menahan gerakannya dan membuatnya jatuh kembali.

Daeng Upa’ tidak berhenti, tubuhnya kembali melayang menuju dua sosok lain yang kini mengepungnya. Mereka bertiga bergerak berbenturan dalam kecepatan yang tidak lagi dapat kutangkap.

Sosok ketiga kini berdiri di hadapanku. Cahaya malam yang temaram menyinari wajahnya, memberiku sebuah pemandangan mengerikan. Hanya ada sepasang mata di wajahnya, selain itu tidak ada apa-apa.

Kami bersitatap beberapa jeda,

“Ppo’…”

Sosok di hadapanku mengeluarkan suara. Dua sosok lainnya berhenti menyerang Daeng Upa’ dan melangkah mundur. Jadi itu semacam aba-aba.

“Ppo’…” Satu di antara mereka kembali mengeluarkan bunyi yang sama. Dua sosok gelap yang tadinya mengepung Daeng Upa’ menghilang ke arah berlawanan dalam kegelapan.

Makhluk gelap di hadapanku mengangkat tangan kanannya menyilang di dada, menyentuh bahu kirinya.

“Ndi’ Makka!! Mundur!! Menjauh!!”

Daeng Upa’ yang berdiri beberapa langkah di belakangku berseru panik, dan berlari ke arahku.

Sosok di depanku mengayunkan lengannya ke arahku. Peringatan Daeng Upa’ sepersekian detik lalu membuatku naluriah menunduk.

Wutt…

Desiran angin lembut menyapu ujung rambutku, ketika sesuatu terlontar dari tangan sosok itu, melewatiku yang mengelak cepat, meluncur dan menghantam Daeng Upa’.

“Uhukh!!!” Daeng Upa’ terjatuh memegangi lehernya.

Perhatianku yang teralih membuatku lengah.

Bugh!!! Krak!!!

Rahangku berderak, sebuah serangan menghantam leher dan pelipisku. Tubuhku terlontar begitu jauh, terhuyung-huyung berusaha berdiri kembali.

Dan si sosok terakhir sudah menghilang, tentu saja….

***

Para penghuni Balla Lompoa tidak langsung keluar ketika semuanya terjadi. Mereka - mungkin - mengira suara-suara yang terdengar hanyalah keributan latihan kami yang biasa.

Daeng Unjung, Karaeng Ngagi dan beberapa pelayan baru keluar ketika aku berseru memanggil mereka.

“Ada apa? Apa yang terjadi??” Seseorang bertanya.

“Mereka diserang! Tolong Daeng Upa’!” Kudengar suara Karaeng Ngagi, mengalir keluar dalam rasa panik.

Mereka memapah Daeng Upa’ masuk. Aku tetap terduduk di petak berpasir, terlalu pening untuk bangkit. Tidak lama kemudian Daeng Unjung keluar kembali, berlari-lari kecil menyongsongku. Kudahului dengan bertanya,

“Bagaimana Daeng Upa’?”

“Pingsan. Ada racun tidur di pisau itu. Tapi kurasa dia tidak akan apa-apa,” jawab Daeng Unjung.

“Pisau? Racun tidur?"

“Ya, menancap cukup dalam di lehernya. Tapi tidak mengenai pembuluh darah besar….”

“Ada apa ini, Andi Makka?? Siapa yang menyerang kalian??” Daeng Unjung bertanya melanjutkan.

Aku terdiam. Pisau. Racun tidur.

“Kami diserang Poppo’, Daeng…,” jawabku.

“Apa??? Poppo’??? Ta-tapi Poppo’ itu cuma hantu dalam dongeng!!! Bagaimana mungkin-”

“Aku tahu apa yang kulihat dan kudengar, Daeng. Kami bertarung melawannya,” sergahku.

“Poppo’ itu ada, Daeng. Aku kini yakin mereka nyata, dan entah kenapa mereka mengincarku….

“….tapi aku juga tahu kini, Poppo’ bukan hantu. Mereka manusia….”

***

Walau belum jelas, harapan nubi selalu sama, suhu sekalian...

Semoga terhibur...
 
Terakhir diubah:
NB :

Coto, Pallubasa dan Sop Konro adalah nama-nama hidangan dari olahan daging dan jeroan sapi.

Coto dan Pallubasa adalah hidangan daging, usus dan jeroan, sedangkan Sop Konro menggunakan tulang rusuk dan tulang paha sebagai inti masakan.

Cerita tentang dua bumbu rahasia dalam Coto Makassar, yaitu terasi dan celana dalam yang belum dicuci, adalah petuah yang benar-benar ada di Makassar. Tidak percaya? Silakan berkunjung ke warung-warung coto legendaris di Kota Makassar, hihi…

Karena secara harafiah berarti permainan. Dalam silat Makassar, karena berarti teknik bertarung.

Gammi’ tarasi adalah sambal sederhana yang dibuat dari potongan-potongan cabe rawit, bawang merah dan terasi yang dibakar dengan arang.

Aliri berarti tiang penyangga rumah yang terbuat dari kayu dengan penampang persegi.

Cerita tentang Poppo’ ada di hampir semua wilayah Bugis dan Makassar. Cerita tentangnya sudah dijelaskan dalam narasi.

Di beberapa negara Asia Tenggara, cerita tentang makhluk ini juga ada dalam nama yang berbeda namun mirip fonemnya. Di Thailand, makhluk mistis ini dikenal dengan nama Pop.
 
Wah ketinggalan...
Mantab bener...
Unsur kedaerahannya sangat kental..

Ikutan nyimak...
 
Apa or siapa lagi ini yaa??
lawannya sejenis hantu apa manusia yg menyamar, tapi punya kanuragan tinggi..
 
Numpang nangkring dulu trit si croot

As always diksi lo crot.. Kapan yaak gw bisa kaya lo dalam pemilihan diksi kaya gini?
 
Wuihh suhu little_croot emang master. Awalnya santai pas di ujung pembaca jadi tersedot gak bisa beralih pandangannya waktu momen pertempuran lawan oppo...ehh poppo:jempol:

Saya suka...saya sukaaa....

Ditunggu lanjutannya ya suhu:semangat:
 
Nah mulai bercerita kembali......
 
Ijin mengikuti cerita Suhu TS dan para suhu2 master yg bercengkrama di cerita ini
 
Salah satu cerita keren yg layak ditunggu kelanjutannya. Semakin mantap dlm pengaturan kalimat2 yg mampu menghipnotis pembacanya.
Salut masta :ampun:
 
Wah ini harus di up nih, jangan sampe nggak berlanjut…
 
Baru dua mnggu lalu kappurung kumakan, jd pengen balik , update lg suhu
 
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd