Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[CERSIL] Asmara Dibalik Dendam Membara - Kho Ping Hoo

Bimabet
Udh updet lagi,mantap suhu
Trimaksih updetnya suhu,ane pantengin terus nunggu updet slanjutnya kira" pusaka tilam upih di pegang sama siapakah kisanak :papi:
 
makin bikin penasaran, sundul akh biar cepat diupdate.. :)
 
Bagian - 29



Mari kita ikuti pengalaman Gajahpuro yang dilempar ke dalam sumur tua oleh ayahnya sendiri! Benarkah dia sudah mati seperti dugaan para murid dan anggota Gagak Seto?

Kehendak tuhan terjadilah, kapanpun dan di manapun, dalam keadaan bagaimanapun. Kalau tuhan menghendaki seseorang mati, maka tidak ada kekuasaan di dunia ini yang mampu menentangnya,tidak ada kesaktian apapun yang mampu membantahnya dan orang itu pasti mati pada saat yang telah dikehendaki Tuhan. Akan tetapi sebaliknya, kalau Tuhan menghendaki seseorang hidup, biar orang itu diancam seribu satu bahaya maut, tetap saja dia akan dapat selamat dan hidup, sesuai dengan kehendak Tuhan! Ini merupakan kebenaran mutlak yang tidak dapat diperbantahkan atau diperdebatkan lagi. Banyak sudah contoh-contohnya dalam pengalaman di antara manusia. Dalam sebuah peristiwa kecelakaan besar, orang dewasa yang mampu berusaha mempertahankan dan melindungi dirinya, tetap saja tewas. Sebaliknya seorang bayi yang tidak berdaya, tidak mampu melindungi dirinya sendiri, malah hidup! Mengapa begini? Karena Tuhan menghendaki demikian!

Demikian pula dengan Gajahpuro. Dia pingsan ketika dilempar ke dalam sumur karena secara "kebetulan" saja yang menimpa dasar sumur lebih dulu bukan kepalanya, melainkan pinggulnya dan itupun menimpa dasar yang berlumpur, luput dari batu-batu yang berserakan di situ. Kita sebut saja "kebetulan", akan tetapi sesungguhnya memang sudah "diatur" begitu. Sudah diatur sesuai dengan kehendak Tuhan bahwa belum tiba saatnya Gajahpuro tewas di dalam sumur.

Begitu terjatuh, Gajahpuro siuman dari pingsannya. Dia agak nanar sedikit, akan tetapi segera menyadari keadaannya. Dia telah dilempar ke dalam sumur tua! Ketika dia menengadah, dia melihat lubang sumur itu tinggi sekali. Akan tetapi ketika dia menoleh ke kiri, dia melihat bahwa sumur itu merupakan sebuah terowongan yang cukup lebar. Dia segera memasuki terowongan itu dan tiba di sebuah ruangan bawah tanah yang lebar. Dan di situ duduk seorang kakek berambut panjang dengan kuku-kuku tangan yang panjang pula. Dia terkejut sekali, mengira bahwa kakek itu bukan manusia, melainkan setan penjaga sumur.

Akan tetapi agaknya kakek itu juga mendengar kedatangannya. Kakek itu membuka matanya dan kembali Gajahpuro terkejut. Mata itu seprti mata kucing dalam gelap. Keadaannya yang remang-remang itu membuat mata itu seperti bernyala.

Tiba-tiba tubuh kakek yang seperti duduk itu meloncat ke atas dan tiba-tiba saja Gajahpuro sudah diserang secara aneh. Gajahpuro menangkis, akan tetapi tetap saja dia terpental dan terpelanting keras. Dia bangkit lagi dan melihat kakek itu kini "berdiri" dengan kedua kaki yang pendek sekali. Ketika dia perhatikan, ternyata kaki kakek itu telah buntung keduanya, buntung di atas lutut sehingga dia berdiri di atas kedua pahanya!

"Haaaaah, engkau sudah bosan hidup. Mampuslah!" kakek itu berseru dengan suara aneh, lalu kembali tubuhnya mencelat ke depan dengan sigapnya, menyerang bagaikan sebutir peluru meriam!

Gajahpuro lalu memasang kuda-kuda dan memainkan ilmu silat Gagak Seto seperti yang dipelajarinya dari ayahnya. Akan tetapi kembali dia terdorong dan terjengkang keras.

"Hah, kau mainkan ilmu Gagak Seto? Apakah engkau murid Gagak Seto?" kakek itu yang kini tubuhnya menjadi cebol pendek sekali bertanya.

Biarpun ketakutan, Gajahpuro menjawab, "Benar sekali, kakek yang sakti. Saya adalah seorang murid Gagak Seto."

"Hemmm, bagus. Sudah lama aku tidak mendengar tentang Gagak Seto. Kesinilah, jangan takut. Duduk di sini dan ceritakan tentang Gagak Seto."

Biarpun takut, Gajahpuro memberanikan diri. Dia tahu bahwa dia tidak akan mampu lari dari kakek yang sakti ini, maka yang terbaik adalah menaati perintahnya. Dia lalu berjalan menghampiri dan ternyata tempat itu dasarnya kering, tidak lembab seperti dasar sumur di mana dia jatuh tadi.

"Apa yang harus saya ceritakan, Eyang?" Gajahpuro yang cerdik itu segera menyebut eyang[kakek] untuk menghormati orang tua yang rambutnya panjang dan hampir semua sudah putih itu.

"Siapa yang sekarang menjadi ketua Gagak Seto?"

"Yang menjadi ketua adalah Ki Sudibyo."

"Ah,dia? Hemm, bagus. Sudibyo memang pantas menjadi ketua. Dia baik. Dan siapa engkau, orang muda?"

"Nama saya Gajahpuro, eyang. Saya putera dari ayah Klabangkoro."

"Hemm, Klabangkoro? Dia masih hidup? Dan kenapa engkau terjatuh ke dalam sumur ini?"

Gajahpuro tidak berani berbohong. "Saya tidak jatuh eyang. Saya memang dilempar ke dalam sumur........"

"Ehh? Kau juga dilempar ke dalam sumur? Siapa yang melemparmu ke dalam sumur?"

"Bukan lain adalah ayah saya sendiri, eyang. Saya dipukul pingsan dan tahu-tahu saya berada di dalam sumur."

"Dipukul pingsan dan dilempar ke dalam sumur oleh bapamu sendiri? Akan tetapi kenapa?"

Gajahpuro mengambil keputusan untuk berterus terang saja. Tidak ada yang perlu disembunyikan dari kakek sakti ini, karena kalau diketahui dia berbohong, tentu dia akan dibunuh.

"Ayah dan Paman Mayangmurko berkhianat, eyang. Mereka menagkap Ki Sudibyo bersama seorang pemuda dan seorang gadis di dalam goa, lalu mengalirkan air ke dalam goa untuk membunuh mereka. Saya.......saya mencintai gadis itu yang bernama Niken dan saya berusaha untuk membebaskan mereka dengan jalan membobol gunung untuk mengalirkan air itu keluar. Ayah mengetahui, saya lalu dipukul pungsan dan tahu-tahu dibuang ke dalam sumur ini."

"Ah, heh-heh-heh, sampai sekarang Klabangkoro dan Mayangmurko masih saja menjadi orang yang curang dan jahat. Mereka tentu akan menebus kejahatannya dengan kesengsaraan, seperti yang telah kualami. Ah,aku sekarang tidak lagi mau berbuat kejahatan karena akibatnya sungguh tidak enak sekali!" Dan tiba-tiba saja kakek itu menangis sesenggukan dengan sedih sekali, penuh penyesalan.

Gajahpuro merasa bulu tengkuknya meremang. Kakek itu seperti bukan manusia lagi, atau kalau manusia tentu sudah miring otaknya. Dengan hati-hati sekali, untuk menghentikan tangis yang mengrikan hatinya itu, dia bertanya,

"Eyang, mengapa eyang berada di sini?"

Benar saja, pertanyaan itu menghentikan tangisnya dan dengan kedua mata merah kakek itu memandang kepadanya.

"Engkau mau tahu? Aku telah melakukan dosa yang besar sekali. Aku menodai kakak iparku bahkan nyaris membunuh kakakku sendiri untuk merampas kedudukannya sebagi ketua. Kakakku itu adalah ayah dari Ki Sudibyo. Sudibyo itu keponakanku. Aku dikalahkan oleh kakakku, kedua kakiku dibuntungi dan aku lalu dilempar kedalam sumur ini. Sudah lebih dari dua puluh tahun aku berada di sini."

Gajahpuro bergidik. Duapuluh tahun? Dia membayangkan diri sendiri harus tinggal di situ sampai puluhan tahun!

"Kenapa eyang tidak berusaha untuk naik dan meloloskan diri? Eyang memiliki kesaktian hebat."

"Hemm, butakah matamu?" Tiba-tiba kakek itu berkata marah. "Apa engkau tidak melihat bahwa kedua kakiku buntung? Kalau tidak buntung, tentu aku sudah keluar. Dengan kedua kaki buntung, betapapun pandainya aku, tidak mungkin aku keluar dari sumur yang dalam ini."

"Lalu bagaimana eyang dapat bertahan hidup selama itu di sini? Apa yang eyang makan selama ini?"

"Ada seorang keponakanku yang amat baik hati. Namanya Joyosentiko......"

"Ahh........!" Gajahpuro berseru.

"Kenapa?"

"Paman Joyosentiko juga sudah dibunuh oleh ayah dan dilempar masuk pula ke dalam goa!"

"Keparat! Celaka sekali! Pantas dia tidak datang mengirim makanan. Biasanya, Joyosentiko yang menurunkan makanan ke dalam sumur ini. Selama duapuluh tahun, Joyosentiko mengirim makanan sehingga aku dapat makan dengan wajar. Kalau tidak, aku harus makan jamur dan kerokot setiap hari. Banyak jamur dan kerokot tumbuh di sini. Biarpun dengan itu aku dapat hidup,akan tetapi tentu membosankan sekali. Ah, bagus, engkau sekarang telah berada di sini. Engkau dapat menggantikan Joyosentiko mengirim makanan kepadaku. Ah,tidak! Engkau bahkan dapat menggendongku keluar dari sumur ini!"

"Akan tetapi, eyang. Mana mungkin saya mendaki tebing yang begini curam dan licin? Tidak mungkin sama sekali!"

"Tolol! Bodoh! Kaki tanganmu masih lengkap, mengapa tidak bisa? Kau akan kuajari ilmu-ilmuku sehingga engkau akan dapat naik, menggendong aku dan kalau engkau sudah mempelajari ilmu-ilmuku, dengan mudah engkau akan mebunuh Klabangkoro dan Mayangmurko."

Gajahpuro terkejut. Biarpun dia diperlakukan kejam oleh Klabangkoro sama sekali tidak pernah terpikirkan di benaknya untuk membunuh ayahnya sendiri itu.

"Eyang! Dia adalah ayah kandung saya!"

"Ayah kandung hidungmu itu! Siapa bilang dia ayah kandungmu? Klabangkoro bukan ayah kandungmu, bukan apa-apamu!"

"Eyang.........!" Suara Gajahpuro gemetar. "Apa .........apa maksud eyang.....?"

"Tolol! Dengarlah. Ketika Klabangkoro masih muda, dia tergila-gila kepada ibumu. Ketika itu engkau masih bayi, Klabangkoro membunuh ayah kandungmu dan merampas ibumu. Tentu saja engkau diakui sebagai puteranya. Akan tetapi kalau engkau benar anak kandungnya sendiri, mana mungkin dia memukulmu dan melemparmu ke dalam sumur ini? Dia bukan ayahmu, bahkan membunuh ayah kandungm, juga pembunuh ibumu karena aku mendengar dari Joyosentiko bahwa ibumu juga sudah tewas secara tidak wajar ketika engkau masih kecil."

Gajahpuro meloncat bangun dan mengepal tinjunya, diacungkan ke atas sumur.

"Klabangkoro keparat! Sekarang aku tahu! Awas kau. Akan kuhancurkan kepalamu!"

"Heh-heh-heh,bagus. Niatmu itu tentu akan tercapai. Nah, mendekatlah ke sini, duduk bersila di depanku membelakangi aku."

Gajahpuro sudah pasrah. Kalau kakek itu hendak membunuhnya, dipun tidak akan mampu melarikan diri. Dia lalu duduk bersila di depan kakek itu, membelakanginya.

"Brettt..........!" Kakek itu merobek baju dipunggungnya sehingga punggungnya telanjang. Kakek itu lalu menempelkan kedua telapak tangannya di punggung yang telanjang itu.

"Kendurkan semua uratmu, jangan menegang dan jangan melawan. Aku akan menyalurkan tenaga sakti kedalam tubuhmu!"

Kakek itu lalu membaca mantera dan kedua tangannya tergetar, lalu Gajahpuro merasa betapa dari kedua telapak tangan itu keluar hawa yang panas sekali memasuki tubuhnya. Dia merasa tersiksa, seperti dibakar dari dalam akan tetapi dia mempertahankan sambil menggigit giginya erat-erat. Makin lama hawa panas itu menjadi hangat dan hahkan terasa nyaman sekali. Kurang lebih sejam kemudian kakek itu melepaskan kedua tangannya dan terengah-engah.

"Sekarang coba kerahkan tenagamu dari pusar kepada kedua lenganmu dan pergunakan tanganmu untuk memukul batu di sana itu."

Sambil tetap duduk bersila, Gajahpuro menaati perintah itu. Dari pusarnya timbul hawa panas dan disalurkannya kepada kedua lengannya, sampai keujung jari-jari tangannya, kemudian dia mendorongkan kedua tangannya yang terbuka ke arah sebongkah batu di depannya.

"Wuuuuttt.........darrrrrr........!" Batu itu pecah berantakan! Tentu saja Gajahpuro menjadi terkejut dan girang sekali. Dia lalu membalik, berlutut dan menyembah kepada kakek itu.

"Terima kasih, Eyang. Saya mohon petunjuk selanjutnya!"

"Engkau baru menerima limpahan tenaga sakti saja dariku. Harus diimbangi dengan aji yang tangguh. Untuk mengimbangi tenagamu itu aku akan mengajarkan Aji Lahar Sewu sehingga tenaga sakti Ranu Geni di tubuhmu dapat tersalur dalam ilmu bela diri yang sukar dicari bandingannya!"

Bukan main girangnya hati Gajahpuro. Mulai hari itu dia berlatih dengan tekun sekali. Karena memang dia sudah memiliki dasar ilmu silat dan berbakat baik, dalam beberapa hari saja dia sudah dapat menguasai Aji Lahar Sewu itu. Setiap hari dia hanya makan jamur dan kerokot, dimakan mentah begitu saja dan minum air sumber kecil di dasar sumur. Tentu saja dia tersiksa sekali, akan tetapi harus diakui bahwa makanan itu bahkan dapat memberi tambahan tenaga kepadanya.

Setelah tamat mempelajari Aji Lahar Sewu yang membuat tubuhnya merasa ringan dan dia dapat menguasai tenaga sakti Ranu Geni itu sepenuhnya, kakek itu memanggilnya menghadap. Gajahpuro maju berlutut di depan kakek itu.

"Gajahpuro, ketahuilah bahwa dahulu, ketika aku masih malang melintang di dunia ramai, namaku Anjar Banu terkenal di seluruh Nusantara. Sekarang aku ingin mengajakmu keluar dan kita berdua akan menggegerkan dunia ramai, ha-ha-ha-ha! Sekali lagi nama Anjar Banu akan menjadi buah bibir orang banyak. Gajahpuro, cobalah kau gendong aku."

Di dalam hatinya Gajahpuro tidak setuju untuk hidup di dunia ramai bersama kakek ini. Akan tetapi dia tahu bahwa kakek itu kejam sekali dan kalau dia tidak menuruti perintahnya, sekali pukul saja dia akan tewas. Kakek ini sakti sekali dan agaknya dahulu merupakan seorang datuk sesat yang ditakuti orang. Akan tetapi biarpun hatinya tidak setuju, bagaimana dia berani membantah.

"Baiklah,Eyang." katanya dan diapun berlutut membelakangi kakek itu. Kakek Anjar Banu lalu meloncat ke atas punggungnya dan merangkulkan kedua lengannya ke pundak dan leher Gajahpuro.

"Sekarang, naiklah dan keluar dari dalam sumur ini."

Gajahpuro menengadah dan memandang ke arah mulut sumur yang tinggi dan bundar itu dengan ngeri.

"Ah,bagaimana saya dapat, Eyang?"

"Hushh, kaukira engkau masih tolol seperti tempo hari ketika terjatuh ke sini? Salurkan tenaga Ranu Geni ke dalam kedua telapak tanganmu dan kedua kakimu, lalu memanjatlah naik. Engkau akan mampu melakukanya! Awas, jangan macam-macam kau. Bawa aku keluar dari sini. Kalau engkau mebantah, akan kucekik mampus engkau sekarang juga. Aku Anjar Banu, harus keluar dan menggegerkan dunia ramai lagi. Namaku akan menjulang tinggi lagi, dan engkau menjadi pembantuku yang setia, haha-ha!"

Suara tawa itu berbunyi di dekat telinga Gajahpuro, terdengar seperti suara setan dan mengancam dirinya, Gajahpuro semakin khawatir. Celaka, sekarang aku terjatuh ke tangan iblis, pikirnya! Aku harus dapat terbebas dari orang gila ini.

Akan tetapi dipun tertarik mendengar bahwa dengan ilmunya yang baru dia akan mampu memanjat naik. Dia lalu mengerahkan Aji Ranu Geni ke arah kedua telapak tangan dan kakinya sampai kedua tangan kaki terasa panas. Lalu dicobanya untuk meraba dinding sumur. Dan........telapak tangannya mampu menempel dinding. Kakinya juga dapat menempel seperti kaki cecak. Dia lalu mulai merayap naik!

Diam-diam hatinya merasa girang bukan main, akan tetapi berbareng juga khawatir. Kalau dia dapat membawa orang ini naik ke atas sana, lalu apa yang terjadi dengan dirinya? Dia akan dikuasainya dan harus mentaati semua perintahnya. Bagaimana kalau orang ini melakukan hal-hal yang amat jahat dan dia disuruh menurut saja? Tidak, dia harus mampu melepaskan dirinya dari tekanan dan pengaruh orang ini!

Setelah merayap sampai kurang lebih tujuh meter, tiba-tiba kakinya terpeleset dan tubuh Gajahpuro meluncur kembali ke bawah! Dan karena dia menggendong Anjar Banu, dengan sendirinya, Anjar banu yang menimpa dasar sumur lebih dulu, ditimpa lagi oleh tubuh Gajahpuro!

"Ngek.........!" Rangkulan Anjar Banu terlepas dari leher Gajahpuro. Kakek yang buntung kedua kakinya itu menyumpah-nyumpah.

"Tolol! Bodoh! Kenapa engkau bisa jatuh?"

Akan tetapi Gajahpuro tidak segera bangkit melainkan mengerang kesakitan. Melihat ini, kemarahan kakek itu mereda dan dia menghampiri, lalu menyentuh dan mengguncang pundak Gajahpuro.

"Ada apakah dengan engkau? Engkau terluka.........?"

Pada saat itulah Gajahpuro melancarkan pukulan Lahar Sewu ke arah dada kakek itu. Karena sama sekali tidak menyangka, kakek itu tentu saja tidak sempat mengelak atau menangkis lagi.

"Desssss........!"

Tubuh kakek itu terlempar seperti bola dan menabrak dinding ruangan bawah tanah. Gajahpuro tidak melihat lagi bagaimana keadaannya. Dia segera melompat dan sekali lagi dia memanjat dinding sumur dengan cepat sekali. Dia mendengar suara bergaung dari bawah, akan tetapi dia tidak menengok lagi dan terus memanjat mengerahkan seluruh tenaganya. Dengan cepat dia berhasil keluar dari dalam sumur itu. Dia menengok ke bawah dan tidak melihat apa-apa saking dalamnya sumur itu.

Begitu keluar dari dalam sumur, dia mendengar suara ribut-ribut di sebelah barat perkampungan Gagak Seto. Dia lalu berlari dan begitu kakinya meloncat, dia sendiri terkejut karena kini tubuhnya menjadi sedemikian ringan sehingga dia dapat meloncat jauh dan ketika laripun larinya cepat bukan main. Ketika tiba di tempat itu, dia melihat belasan orang nak buah Gagak Seto sedang mengeroyok seorang pria berpakaian seperti petani. Akan tetapi dia segera mengenal pria itu yang bukan lain adalah Pangeran Panjiluwih! Kiranya pangeran itu yang tadinya melarikan diri, dapat bersembunyi di pedusunan dan kini menyamar sebagai seorang petani hendak melanjutkan larinya. Akan tetapi agaknya para anak buah Gagak Seto mengenalnya dan mengeroyoknya.

Karena pada saat itu, Budhidharma sedang pergi bersama Niken Sasi dan Dewi Muntari, maka yang mengeroyok hanya anak buah Gagak Seto yang kini tunduk kepada Budhi dan menganggap pangeran itu sebagai musuh. Gajahpuro merasa heran melihat betapa anak buah Gagak Seto memusuhi pangeran itu yang dia tahu telah bersekutu dengan Klabangkoro. Akan tetapi karena sekarang dia membenci labangkoro, membenci Gagak Seto maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerbu dan mengamuk, menyerang anak buah Gagak Seto membantu Pangeran Panjiluwih!

Sepak terjang Gajahpuro luar biasa hebatnya. Tamparan dan tendangannya membuat para anak buah Gagak Seto terlempar seperti diamuk badai. Sebentar saja semua pengeroyok sudah jatuh bangun dan mereka melarikan diri.

Pangeran Panjiluwih memandang kepada Gajahpuro, girang dan juga heran.

"Gajahpuro, engkau membantuku? Bagus sekali, engkau ternyata seorang yang setia, tidak seperti orang-orang Gagak Seto tadi yang kini telah berubah!"

"Tentu saja hamba membantu paduka, Pangeran. Hamba hukan lagi anggota Gagak Seto, bukan lagi putera Klabangkoro. Bahkan hamba akan membunuh Klabangkoro dan Mayangmurko!"

Tentu saja Pangeran Panjiluwih semakin heran mendengar ini.

"Akan tetapi, bukankah Klabangkoro itu bapakmu sendiri?"

"Bukan! Dia malah hendak membunuh hamba. Permisi dulu, Pangeran. Hamba akan mencari dan membunuh mereka!"

"Sabar dulu, Gajahpuro. Engkau tidak bisa membunuh mereka lagi."

"Eh, apa maksud paduka, Gusti Pangeran?"

"Ke mana saja engkau selama ini? Apakah engkau tidak tahu bahwa Klabangkoro dan Mayangmurko sudah tewas? Mereka telah terbunuh oleh Budhidharma, bahkan kini Gagak Seto dikuasai oleh Budhidarma. Aku baru saja keluar dari tempat sembunyiku dan menyamar sebagai petani untuk menyelamatkan diri. Akan tetapi anak buah Gagak Seto itu masih menganalku. Untung engkau datang membantu, Gajahpuro."

"Ah, jahanam itu telah mati?" Gajahpuro berseru dengan kecewa karena tadinya dia ingin membalas dendam sendiri kepada Klabangkoro yang telah membunuh ayah kandungnya, ibu kandungnya, dan nyaris dia sendiri.

"Yang lain-lain juga sudah tewas. Anak buah Jambuka Sakti juga sudah kocar-kacir dan lari pulang. Sebaiknya engkau ikut denganku, mengawal aku sampai kembali ke kota raja. Engkau akan kuhadapkan kepada Kanjeng Gusti dan engkau akan memperoleh kedudukan tinggi di kota raja, Gajahpuro."

Pemuda itu tertarik. Musuh besarnya telah tewas dan dia sudah kehilangan segala-galanya.Tidak dapat mengharapkan Gagak Seto yang kini telah dikuasai Budhidarma. Lebih baik dia ikut pangeran ini untuk mencari kedudukan dan kemulian di kota raja.

"Baiklah, Gusti Pangeran. Hamba akan mengawal paduka." jawabnya dan mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu.





Bersambung...
 
Bagian - 30





Lereng Bromo yang menjadi sarang perkumpulan Jambuka Sakti menjadi geger! Budhidharma, Niken Sasi, dan Dewi Muntari datang dan mereka disambut oleh puluhan orang anak buah Jambuko Sakti. Para anak buah Jambuko Sakti sudah mengenal tiga orang ini yang mengamuk di Gagak Seto tempo hari. Di antara mereka yang lari pulang ke Gunung Bromo sudah memberi laporan kepada Ki Brotokeling, ketua Jambuko Sakti.

Ketika tiga orang ini muncul, para anak buah Jambuko Sakti itu seperti sekumpulan laron menyerang api. Begitu tiga orang itu menggerakkan kaki tangan, mereka berpelantingan jatuh bangun. Keadaan menjadi gempar dan Ki Brotokeling sendiri lalu maju. Melihat ketua mereka maju, para anak buahnya kini hanya mengepung dengan senjata terhunus.

Ki Brotokeling adalah seorang kakek berusia limapuluh delapan tahun yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya kemerahan, penuh brewok. Jenggotnya sekepal sebelah dan wajahnya menyeramkan. Sebatang golok besar bergagang kepala srigala tergantung di pinggangnya.

"Babo-babo..........!" Serunya sambil memandang kepada tiga orang yang sudah berhadapan dengannya itu. "Andika bertiga ini siapakah, berani datang membikin ribut di perkampungan kami?"

Budhidarma melangkah maju dan menjawab. "Andika tentu Ki Brotokeling ketua Jambuko Sakti, bukan?"

"Benar, akulah Ki Brotokeling. Siapa andika, orang muda?"

"Namaku Budhidharma dan tentu sebagian dari anak buahmu sudah melapor siapa adanya aku. Mereka tadi begitu kami datang sudah mengeroyok kami. Aku adalah ketua Gagak Seto yang baru."

"Hemm, bagus. Jadi andika pengacau itu? Lalu sekarang andika bertiga datang ke sini mau apa?"

Tiba-tiba Dewi Muntari melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke muka brewokan itu.

"Dengar, Brotokeling! Kurang lebih delapan tahun yang lalu anak buahmu menyerang dan membunuh Raden Mas Rangsang di pegunungan Anjasmoro! Siapakah yang menyuruhmu mengirim anak buahmu membunuh Raden Mas Rangsang?"

Brotokeling terkejut. Memang pada waktu itu dia menyuruh anak buahnya menghadang dan membunuh Raden Mas Rangsang dan isterinya yang sedang bertamasya ke pegunungan Anjasmoro. Yang memberi perintah untuk itu adalah, Pangeran Panjiluwih yang bertindak atas nama Kanjeng Gusti!

"Kalau aku tidak mau menjawab pertanyaan itu, andika mau apa?" tantangnya.

"Jahanam keparat! Apa engkau minta mati?" bentak Dewi Muntari.

"Babo-babo, kalahkan aku dulu, baru aku akan menjawab!" kata Brotokeling, merasa penasaran diancam oleh seorang wanita cantik.

"Bagus, majulah kalau engkau ingin dihajar, Brotokeling!" bentak Dewi Muntari.

"Ibu, biar aku yang menghajar lutung buruk ini!" kata Niken Sasi, hendak mewakili ibunya.

"Jangan, Niken. Aku sendiri ingin menghajarnya untuk membalas kematian ramamu." Dewi Muntari sudah maju mendekati Ki Brotokeling.

Dari keadaan anak buahnya yang kocar-kacir ketika menyerang tadi saja Brotokeling sudah dapat menduga bahwa lawan-lawannya tentu merupakan orang yang tangguh. Maka, begitu berhadapan dengan Dewi Muntari, tanpa malu-malu lagi dia sudah mencabut golok besarnya yang berkilauan saking tajamnya.

"Wanita nekat, keluarkan senjatamu!" bentaknya sambil mengelebatkan goloknya.

Dewi Muntari tersenyum mengejek. "Untuk melawan golok tumpulmu itu tidak perlu aku menggunakan senjata, cukup dengan kaki tanganku saja, Brotokeling!"

Ki Brotokeling menjadi semakin marah, merasa dipandang rendah sekali.

"Beritahukan namamu, jangan mati tanpa nama!" kembali dia membentak untuk menyembunyikan rasa gentarnya. Melihat sikap wanita itu hendak menghadapi goloknya dengan tangan kosong saja, di dalam hatinya telah menjadi gentar.

"Mau tahu namaku? Akulah Dewi Muntari, isteri Raden Mas Rangsang yang dibunuh anak buahmu!" bentak Dewi Muntari.

Brotokeling terkejut dan terbelalak, teringat akan cerita anak buahnya betapa Ki Blendu, wakilnya, telah berhasil membunuh Raden Mas Rangsang. Akan tetapi wanita itu ditolong seorang kakek yang buruk sekali, akan tetapi yang memiliki kesaktian hebat sehingga Ki Blendu dan hampir seluruh anak buahnya tewas oleh kakek itu. Kiranya wanita ini isteri Raden Mas Rngsang yang ditolong oleh kakek itu!

"Kalau begitu, sekarang engkau mampus!" Bentaknya dan dia sudah mengayunkan goloknya membacok dengan tenaga yang besar. Akan tetapi dengan lincahnya Dewi Muntari mengelak dan meloncat ke samping ia mengirim tendangan yang cepat. Kaki kanannya mencuat dan meluncur ke arah perut Brotokeling. Akan tetapi, biarpun terkejut karena hampir saja kakinya tertendang, Brotokeling dapat menghindar sambil menarik kakinya ke belakang. Kemudian dia menyerang lagi dengan lebih ganas.

Dewi Muntari menggunakan kegesitannya. Sebetulnya, dengan Aji Kekebalan Trenggiling Wesi ysng dimilikinya, ia tidak takut terbabat golok, akan tetapi ia khawatir kalau-kalau pakaiannya akan terobek, maka ia mengelak kesana-sini sambil mengirim temparan atau tendangan yang tidak kalah hebatnya dibandingkan sambaran golok.

Niken yang menonton pertandingan itu terbelalak kagum. Ibunya memang hebat sekali, bahkan Budhidharma juga kagum dan sama sekali tidak merasa khawatir akan keselamatan puteri itu. Dia yakin bahwa Dewi Muntari pasti akan dapat mengalahkan Ki Brotokeling.

"Yaaaaaaahhhh ...... !" Ki Brotokeling yang merasa penasaran karena perutnya kena serempet kaki Dewi Muntari sehingga merasa mulas, kini mengayunkan goloknya sambil menggerakkan seluruh tenaganya. Dia kaget dan girang sekali melihat wanita itu kini tidak mengelak bahkan menangkis sabetan golok itu dengan tangan kanannya! Buntung lenganmu, pikirnya dengan girang.

"Takkk..........!" Golok itu tertahan, seolah tertangkis tongkat baja yang amat kuat dan selagi Brotokeling terbelalak kaget, tangan kiri Dewi Muntari menyambar dengan tamparan Aji Jaladi Geni.

"Plakkk.........!"

"Aduhhhh, tobaaat .........!" Ki Brotokeling terpelanting dan goloknya terlepas dari tangannya.

Dia roboh dan memegangi pipinya yang terkena tamparan tadi. Rasa panas yang menusuk sampai membuat kepalanya seperti dibakar.

"Bagaimana, Brotokeling? Kita lanjutkan?" tantang Dewi Muntari.

"Ampun ........saya mengaku kalah.........!" kata Brotokeling tanpa malu-malu lagi.

Tamparan itu sedemikian hebatnya sehingga membuat dia merasa kepalanya dibakar dan setengah mati.

"Kalau begitu cepat katakan, siapa yang menyuruh engkau membunuh suamiku?"

"Kami......kami diperintah oleh Gusti Pangeran Panjiluwih........" akhirnya dia mengaku.

Pengakuan ini tidak mengejutkan hati Dewi Muntari. Memang ia sudah mengetahui akan hal itu. Ketika ia ditangkap oleh Ki Blendu dahulu, Ki Blendu juga mengaku bahwa Pangeran Panjiluwih yang menyuruhnya. Ia menghendaki keterangan yang lain.

"Jambuka sakti bersekutu dengan Gagak Seto yang dipimpin Klabangkoro dan dengan Pangeran Panjiluwih. Apa maksudnya dan siapakah pemimpinnya? Apakah Pangeran Panjiluwih pemimpinnya?"

"Kami hanya disuruh bersiap-siap, dan menanti perintah. Pemimpinnya adalah Kanjeng Gusti, kami tidak mengenalnya, bahkan tidak pernah bertemu. Akan tetapi kalau perintah beliau dilanggar hukumannya amat berat. Yang menjadi perantara adalah Pangeran Panjiluwih......"

"Dimana Kanjeng Gusti itu tinggal?"

"Kabarnya di kota raja, entah di mana. Kami belum boleh mengetahuinya. Yang tahu hanya Pangeran Panjiluwih seorang."

"Hemm, kami percaya keteranganmu. Akan tetapi, mulai sekarang engkau harus memimpin Jambuko Sakti ke arah jalan yang baik. Awas kalau lain kali aku mendengar kelompokmu melakukan kejahatan, kami akan datang lagi untuk membasmi kalian!" kata Dewi Muntari sambil menendang dan tubuh Ki Brotokeling terlempar dan terguling-guling sampai jauh. Kepala perkumpulan yang terkenal ganas ini sekarang menjadi ketakutan dan berlutut minta ampun.

Dewi Muntari mengajak Niken dan Budhi meninggalkan sarang Jambuka Sakti dan menuruni Lereng Gunung Bromo.

Di tengah perjalanan menuju ke kota raja itu, Budhi minta agar kedua orang wanita berhenti berjalan karena dia hendak bicara.

"Ada apakah, Budhi?" tanya Dewi Muntari yang sekarang sudah merasa akrab dengan pemuda ini.

"Kanjeng Bibi, saya merasa tidak berhak untuk ikut pergi menghadap Gusti Prabu di istana. Oleh karena itu, sebaiknya saya tidak ikut saja pergi ke sana."

"Eh, kenapa begitu, Budhi?" tanya Dewi Muntari dengan heran.

"Pertama, saya tidak mendapatkan Tilam Upih seperti yang dipesankan Bapa Guru, yang saya dapatkan Tilam Upih palsu. Tidak mungkin saya menghaturkan keris palsu ini kepada Gusti Prabu. Dan kedua, Kanjeng Bibi berdua Diajeng Niken akan mengadakan pertemuan keluarga besar di istana, bagaimana saya dapat menghadirinya? Saya adalah orang biasa dan tidak mempunyai kepentingan apapun di istana........" Berkata demikian, Budhi mengerling kepada Niken dan merasa rendah diri.

"Kakangmas Budhi, apa yang kaukatakan ini? Mengapa tiba-tiba saja sikapmu berubah seperti ini? Kita sudah mengalami banyak hal bersama, bahkan sudah menghadapi maut bersama, kenapa sekarang andika bersikap seolah-olah seorang asing di antara kami?"

"Diajeng Niken........aku.......aku......" Budhi tidak melanjutkan ucapannya, melainkan memandang kepada Dewi Muntari merasa rikuh dan canggung sekali.

Dewi Muntari tersenyum. Ia tahu bahwa ada urusan pribadi di antara mereka sebaiknya kalau ia menyingkir.

"Ah, sudahlah. Urusan itu kalian bicarakan berdua saja. Aku sudah lapar. Aku akan mendahului kalian pergi ke dusun di depan itu, mencari makanan. Nanti kalian menyusul." Tanpa menanti jawaban, puteri ini segera pergi meninggalkan mereka.

Mereka berdiri saling berhadapan saling pandang. "Nah, kakangmas Budhidharma. Sekarang kita hanya berdua. Sebetulnya apakah yang menyebabkan engkau bersikap seperti ini?"

Budhi menghela napas panjang. Selama berdua dengan Niken, dia merasakan kehidupan ini demikian gemilang dan lengkap. Bahkan ketika mereka berdua menghadapi ancaman maut di goa dia tidak merasa nelangsa dan putus asa karena di sana ada Niken. Sekarang, dia seolah merasa ada ancaman yang akan merenggut gadis itu pergi darinya! Niken adalah cucu Sang Prabu Jayabaya, tentu setelah masuk istana keadaannya lain lagi, menjadi puteri istana dan bukan orang biasa. Bagaimana dia dapat menemuinya lagi, apa lagi bergaul seperti biasa dengannya? Tentu tidak mungkin. Membayangkan perpisahan yang dihalangi tembok istana ini, hatinya menjadi sedih dan inilah yang menyebabkan dia bermaksud tidak ikut agar jangan menghadapi perpisahan yang akan menghancurkan hatinya itu. Lebih baik berpisah sekarang, selagi mereka masih bergaul sebagai sahabat!

"Diajeng Niken Sasi, apa yang dapat kukatakan? Makin kubayangkan, makin meresahkan hatiku. Andika adalah cucu Sang Prabu Jayabaya, seorang puteri istana. Sedangkan aku.....aku seorang pemuda biasa, miskin papa, yatim piatu pula. Aku seharusnya menyembah-nyembah kepadamu, bahkan bicara seperti sekarangpun sudah tidak pada tempatnya. Karena itu aku......aku sebaiknya mengundurkan diri dan tidak mengganggumu lagi........"

"Kakangmas Budhi! Apa yang kau ucapkan ini? Apakah selama ini aku pernah bersikap tinggi dan tidak wajar kepadamu? Bukankah kita telah bergaul sebagai sahabat yang baik, yang sama-sama menghadapi ancaman maut berulang kali? Kakangmas Budhi. Bagiku, andika adalah seorang yang pantas kuhormati seorang budiman yang agung, dan aku merasa terhormat sekali menjadi sahabatmu. Kakangmas Budhi, apakah engkau tidak senang bersahabat denganku maka sekarang hendak meninggalkan aku?"

"Demi para dewata yang agung! Sama sekali tidak begitu, diajeng. Aku bahkan senang sekali, bangga dapat berdekatan denganmu. Akan tetapi justeru itulah yang membuat aku merasa ngeri. Kalau sudah sampai ke istana, engkau menjadi puteri istana dan sepantasnya engkau berdiam di istana. Sedangkan aku........bagaimana aku dapat bertemu denganmu lagi, dapat bergaul denganmu lagi? Aku.......aku takut kehilangan engkau diajeng......."

Suara Budhidharma menggetar penuh perasaan dan ini terasa sekali oleh Niken Sasi. Gadis ini menghampiri lebih dekat dan berkata dengan wajah kemerahan dan suara lirih gemetar,

"Kakangmas Budhi! Katakan sekali lagi........"

Budhi tidak dapat lagi menahan gelora hatinya dan dia memegang kedua tangan gadis itu, digenggamnya erat-erat seolah dia tidak ingin melepaskannya lagi.

"Aku takut kehilangan engkau diajeng!"

Niken mengangkat mukanya dan menatap pemuda itu. Dua pasang mata bertemu, bertaut mewakili hati mereka dan dengan suara lirih Niken berkata.

"Aku juga tidak ingin kehilangan engkau, kakangmas."

Kata-kata itu terdengar begitu merdu bagi telinga Budhi sehingga dia memejamkan matanya dan merasa seperti mimpi. Dia merangkul gadis itu dan seolah hendak membenamkan kepala itu ke dalam dadanya.

"Diajeng Niken, katakanlah apakah aku tidak sedang bermimpi?"

"Tidak, kakangmas. Kita dalam keadaan sadar."

"Akan tetapi betapa mungkin? Engkau, cucu Sang Prabu, dan aku, Joko Lola{ yatim piatu} yang papa, mungkinkah kita saling mencinta?"

"Kenapa tidak mungkin, kakangmas. Aku tidak pernah merasa menjadi seorang puteri istana. Sejak aku masih kecil orang-orang dalam istana mencemoohku sebagai keturunan biasa, keturunan orang dusun. Tidak, aku tidak ingin menjadi puteri istana, aku ingin menjadi orang dusun saja asalkan selalu berada di sampingmu."

"Diajeng.......!"

"Kakangmas.........!"

Keduanya berangkulan dan merasa hati mereka bersatu padu. Sampai lama mereka dalam keadaan mesra seperti itu. Akan tetapi Budhi segera menyadari keadaan dan dengan lembut dia melepaskan pelukannya dan menggandeng tangan Niken, diajak duduk di atas batu.

"Diajeng Niken Sasi," kata Budhi setelah mereka duduk di atas batu. "Marilah kita kesampingkan dulu gelora perasaan hati dan mari kita sadar sepenuhnya melihat dan membicarakan kenyataan yang ada. Kita saling mencinta, dan aku berterima kasih sekali, merasa berbahagia sekali bahwa engkau juga mencintaiku seperti aku mencintaimu. Akan tetapi, diajeng. Bagaimana kasih sayang kita ini dapat diwujudkan menjadi perjodohan? Perjodohan bukan hanya urusan dua orang manusia seperti engkau dan aku, melainkan menyangkut pula keluarga dan menjadi urusan yang harus disetujui pula oleh keluarga. Bagiku sendiri tidak ada masalah, diajeng, karena aku adalah yatim piatu, tidak ada orang lain yang akan memutuskan kecuali aku sendiri. Akan tetapi engkau......."

"Ibuku pasti menyetujui, kakangmas. Ingat, biarpun kami ini tadinya tinggal di istana, akan tetapi sudah bertahun-tahun kami menjadi orang biasa. Aku menjadi anggota Gagak Seto, dan ibu menjadi murid seorang sakti."

"Aku percaya bahwa ibumu bijaksana dan akan menyetujui. Akan tetapi keluargamu bukan hanya ibumu saja. Seluruh penghuni istana adalah keluargamu. Bagaimana mereka dapat menerima seorang dusun biasa seperti aku menjadi anggota keluarga?" Budhi berkata dengan nada sedih.

"Sudahlah, kakangmas, jangan pikirkan yang tidak-tidak. Bagaimana nanti sajalah. Pendeknya, aku akan tetap setia kepadamu walaupun apa yang akan terjadi. Kalau perlu, aku akan meninggalkan istana dan ikut denganmu."

Sepasang mata Budhi bersinar-sinar. Saking bahagianya dia kembali mendekap gadis itu dan menciumnya. Niken pasrah dan mandah saja sambil memejamkan mata dan dengan hati yang berbunga-bunga.

Akan tetapi tidak lama mereka terbuai suasana yang asyik itu karena mereka teringat akan Dewi Muntari.

"Wah, kita harus cepat menyusul kanjeng bibi ke dusun itu. Jangan sampai terlalu lama ia menunggu!" kata Budhi dan sambil bergandengan tangan mereka lalu pergi ke dusun di depan.

Ternyata Dewi Muntari telah dapat membeli ayam, telur, dan sayur-sayuran dan mereka lalu menumpang memasak semua itu di rumah seorang keluarga petani sederhana yang menerima mereka dengan senang hati.

Dewi Muntari tersenyum gembira melihat perubahan sikap Budhidharma.

"Anakmas Budhi, engkau tidak jadi pergi, Bukan?"

Wajah Budhi kemerahan dan dia melirik kepada Niken. "Tidak,kanjeng bibi. Saya ingin ikut, mengantarkan kanjeng bibi berdua sampai ke kota raja."

"Bukan hanya mengantarkan, Budhi. Engkau harus membantu kami membongkar rahasia ini. Suamiku dibunuh penjahat yang katanya disuruh oleh Pangeran Panjiluwih, akan tetapi ternyata di belakang pangeran itu masih ada yang menjadi pemimpinnya, yang disebut Kanjeng Gusti. Kita harus dapat mengetahui siapa sebenarnya Kanjeng Gusti itu dan apa niat busuknya dengan persekutuan itu."

"Saya juga penasaran tentang hilangnya Tilam Upih, kanjeng bibi. Pencuri yang dengan mudah mampu mengalahkan Ki Surodiro adipati Nusa Kambangan tentu seorang yang sakti. Saya ingin mencari Tilam Upih sampai dapat untuk dihaturkan kembali kepada Gusti Prabu."

"Bagus, tekadmu itu baik sekali. Mudah-mudahan kita semua akan berhasil."

Mereka lalu makan minum dengan gembira, Budhidharma makan dengan lahapnya. Hatinya penuh kebahagian karena hubungannya dengan Niken Sasi. Gadis itu mencintainya bahkan menyatakan akan setia kepadanya, apapun yang akan terjadi dan akan meninggalkan istana ikut dengannya!

Cinta memang amat berkuasa atas batin seseorang dan setiap orang manusia tidak akan pernah bebas dari godaan cinta. Cinta dapat membuat seseorang menjadi bahagia,akan tetapi sebaliknya dapat pula membuat seseorang menjadi sengsara. Demikianlah sifat cinta manusia. Cinta manusia berpamrih. Cinta manusia ingin selau mendapatkan, ingin menguasai, ingin memiliki, ingin disenangkan. Itulah pamrihnya. Seperti juga cinta Budhidharma terhadap Niken Sasi atau sebaliknya. Mereka saling mencinta karena saling membutuhkan,saling tertarik. Mereka ingin menikmati kesenangan dari masing-masing. Tentu saja cinta seperti ini dapat mendatangkan kesenangan dan juga kesengsaraan. Senang apabila keinginan hati terpenuhi, sebaliknya kecewa sengsara kalau keinginan hati tidak terpenuhi. Budhidharma merasa berbahagia karena cintanya terbalas. Dia tentu akan merasa sengsara andaikata cintanya tidak terbalas! Dan cinta seperti yang kita kenal selama dalam kehidupan ini adalah cinta seperti itulah. Cinta berpamrih. Seperti jual beli. Baik cinta terhadap kekasih, terhadap sahabat, terhadap anak,atau terhadap siapapun. Masih adakah cinta kita terhadap kekasih kalau sang kekasih itu tidak membalas cinta kita, kalau kekasih itu berpaling kepada orang lain? Masih adakah cinta kita kepada sahabat kalau sahabat itu melakukan hal yang merugikan kita? Masih adakah cinta kita kepada anak kalau si anak itu tidak menurut dan bahkan durhaka terhadap kita ? Dan masih banyak contohnya lagi. Kita mencintai seseorang karena kebaikannya, karena kepandaiannya,karena kecantikan atau ketampanannya,karena kedudukan atau hartanya. Kita bukan mencinta karena ORANGNYA. Kalau kita mencinta orangnya, mencinta dengan sepenuhnya, maka segala kekurangan dan cacat-celanya juga akan kita terima dengan hati terbuka.

Cinta Tuhan adalah cinta suci yang tidak berpamrih. Melalui alam ciptaNya, Tuhan melimpahkan kasih sayangnya kepada kita semua. Tuhan itu memberi, memberi dan memberi. Tidak pernah minta, namun segala sesuatu, tanpa kecuali, akhirnya akan kembali juga kepadaNya. Seperti cinta Tuhan melalui bumi. Bumi itu hanya memberi dan memberi tidak pernah minta,akan tetapi akhirnya semua akan kembali kepada Bumi. Demikianlah Kasih Tuhan. Tidak memilih, tidak bersyarat. Setangkai bunga mawar sama harumnya dalm penciuman seorang pendeta atau seorang penjahat, dalam penciuman seorang raja atau seorang pengemis. Kicau burung sama merdunya dalam pendengaran seorang pandai maupun seorang bodoh, seorang bangsawan maupun seorang dusun.

Kalau sudah merenungkan semua itu dan membuka mata melihat "cinta" kita terhadap siapa saja, akan nampak betapa dangkalnya cinta yang tadinya kita agungagungkan. Dan berbahagialah orang yang setelah menyadari akan hal ini dapat berubah. Selama cinta kita tidak berubah, masih berpamrih, selama itupula cinta kita terumbang-ambingkan kebahagian akan tetapi dapat pula mendatangkan penderitaan.



Bersambung...
 
Yes updet,mantep gan di.lanjut.pokoke loh ojo.kesuen yoo,ane msh pnasaran sama pusaka tilam upih,gerangn siapakh yg mengabil pusaka iti :papi:
 
ilmu cinta kasih tingkat tinggi.. thx Suhu buat update'nya.. :)
 
Bagian - 31



Sepasang mata Dewi Muntari kemerahan dan ia menahan tangisnya ketika mereka bertiga memasuki kota raja. Karena dandanannya, tidak ada orang yang mengenal puteri raja ini. Dewi Muntari merasa amat terharu melihat kota raja. Telah bertahun-tahun kota raja ditinggalkannya. Semenjak meninggalkan kota raja untuk bertamasya ke pegunungan Anjasmoro bersama suaminya, ia tidak pernah lagi kembali, sampai delapan tahun lebih. Dan kini ia kembali tanpa suaminya yang tewas dibunuh orang.

"Kita langsung saja ke istana. Aku harus lebih dulu menghadap Kanjeng Rama Prabu untuk menceritakan tentang kepergianku selama ini." kata Dewi Muntari kepada Niken Sasi dan Budhidarma. Mereka lalu menuju ke alun-alun di depan istana.

Sementara itu, kedatangan mereka sejak di pintu gapuro sudah diketahui orang. Panjiluwih sudah memasang banyak mata-mata dan begitu dia mengetahui akan kedatangan tiga orang ini, dia terkejut dan cepat memberitahu kepada Senopati Lembudigdo.

"Pemuda yang merampas Tilam Upih berada di kota raja. Cepat tangkap. Dia datang bersama kakang-mbok Dewi Muntari dan Niken Sasi yang sudah bertahun-tahun minggat dari istana!"

Mendengar ini, Senopati Lembudigdo terkejut juga. Jangan-jangan mereka mempunyai niat jahat terhadap Sang Prabu. Maka, senopati yang setia ini lalu mengerahkan perajurit dan menghadang di alun-alun. Begitu mereka bertiga muncul, Lembudigdo sudah memapakinya bersama pasukannya.

"Kakang Senopati Lembudigdo!" kata Dewi Muntari. "Tidak kenalkah andika dengan aku? Aku Dewi Muntari, ingin menghadap Kanjeng Rama Prabu. Harap memberi jalan."

Lembudigdo memberi hormat. "Harap paduka memaafkan saya. Akan tetapi karena sudah bertahun-tahun paduka meninggalkan istana dan kini kembali bersama pemuda ini, terpaksa saya menahan paduka. Bukankah pemuda ini yang bernama Budhidharma dan yang telah merampas Tilam Upih dari Adipati Nusa Kambangan?"

Budhidharma menjawab, "Benar, sayalah Budhidharma."

"Kalau begitu serahkan dulu Tilam Upih kepada kami kemudian andika sekalian akan saya hadapkan kepada Gusti Prabu."

"Tidak dapat saya menghaturkan Tilam Upih, karena yang saya terima dari Adipati Nusa Kambangan hanyalah Tilam Upih palsu." kata Budhidharma.

Tentu saja Senopati Lembudigdo tidak mau menerima begitu saja keterangan Budhi.

"Kalau begitu, terpaksa andika bertiga kami tawan dan kami hadapkan kepada Gusti Prabu!"

Niken Sasi sudah bertolak pinggang dengan marah.

"Coba tawan kami kalau dapat!" serunya sambil memasang kuda-kuda untuk mengamuk. Akan tetapi Dewi Muntari membentak puterinya.

"Niken,diam kau!" Lalu ia menghadapi Lembudigdo dan berkata dengan lembut,

"Kakang Senopati Lembudigdo, kalau kami hendak dihadapkan kepada Kanjeng Rama Prabu, silakan!"

Dengan sikap hormat namun waspada, Senopati Lembudigdo lalu mengirim laporan ke dalam untuk minta menghadap Sang Prabu Jayabaya karena keperluan yang amat penting mengenai keris pusaka Kyai Tilam Upih. Dia sudah melapor kepada Sang Prabu Jayabaya bahwa menurut keterangan Adipati Nusa Kambangan, Kyai Tilam Upih telah diserahkan kepada Budhidharma.

Sang Prabu menerima permohonannya dan sudah siap menerima mereka di balai persidangan. Kebetulan pada saat itu dia sedang menerima Pangeran Sepuh Wijayanto menasihatkan Sang Prabu Jayabaya agar mengutus para senopati mencari dan menangkap pemuda bernama Budhidharma itu yang telah memiliki keris pusaka Tilam Upih.

Ketika menerima laporan dari pengawal bahwa Senopati Lembudigdo mohon menghadap sambil membawa tawanan tiga orang, yaitu seorang pemuda bernama Budhidarma bersama puterinya, Dewi Muntari dan cucunya, Niken Sasi, Sang Prabu Jayabaya mengerutkan alisnya dan cepat memerintahkan agar Senopati itu membawa para tawanan masuk.

Begitu tawanan itu digiring masuk Dewi Muntari sudah maju berlutut di depan ayahnya, demikian pula Niken Sasi sedangkan Budhidarma juga berlutut dan menyembah dari jarak agak jauh karena dia dilarang mendekat oleh senopati Lembudigdo yang mencurigainya.

Sang Prabu Jayabaya mengerutkan alisnya memandang kepada puterinya.

"Hemm, nini Dewi Muntari. Engkaukah ini? Ke mana saja engkau selama bertahun-tahun ini, bersama puterimu? Dan di mana pula suamimu? Kenapa tidak ada berita sama sekali yang kausampaikan kepada kami?" teguran ini mengandung kemarahan. "Dan kini engkau datang bersama pemuda yang kabarnya telah menguasai Tilam Upih!"

Tanpa menanti jawaban Sang Prabu sudah menegur Budhidharma.

"Heh, pemuda, benarkah engkau yang bernama Budhidarma dan engkau sudah mendapatkan Tilam Upih? Kenapa tidak engkau haturkan kepada kami?"

"Hamba hanya mendapatkan yang palsu, Kanjeng Gusti. Maka tidak dapat hamba haturkan kepada paduka." jawab Budhidharma.

Pada saat itu, Pangeran Sepuh Wijayanto cepat berkata. "Adimas Prabu, demi nama baik keluarga, saya mohon agar Dewi Muntari jangan dulu diperiksa dan diadili di depan banyak ponggawa. Kalau paduka berkenan, biarlah saya yang akan menanyai mereka, demikian pula dengan pemuda bernama Budhidharma ini. Perkenankan saya yang memeriksanya di rumah saya. Kalau memang mereka tidak bersalah, seyogianya diampuni. Akan tetapi kalau memang bersalah, tentu saja keputusan hukumannya berada di tangan paduka. Dengan demikian, maka tidak ada orang lain menyaksikan pemeriksaan saya demi menjaga nama baik keluarga sendiri."

Sang Prabu Jayabaya mengerutkan alisnya, sinar matanya yang tajam itu sejenak memandang kepada Dewi Muntari dan Niken Sasi, lalu kepada Budhidharma. Sesudah itu dia memandang kepada Pangeran Sepuh Wijayanto, mengangguk-angguk sambil tersenyum dan berkata.

"Baik sekali, kakangmas pangeran. Biarlah kuserahkan mereka kepada kakangmas untuk memeriksa mereka sampai tuntas."

Wajah Pangeran Sepuh menjadi gembira dan cepat dia memerintahkan Senopati Lembudigdo untuk membawa tiga tawanan itu ke rumahnya. Gedung tempat tinggal pangeran ini tidak jauh dari istana karena masih ternasuk daerah istana, dan tiga orang tawanan itu dibawa pergi dari depan Sang Prabu Jayabaya.

Ketika hendak dibawa pergi, Dewi Muntari menyembah kaki ramandanya dan memandang dengan penuh harapan seolah membayangkan kegelisahan dan Sang Prabu Jayabaya berkata lirih,

"Pergilah, nini Dewi dan beri keterangan yang sebenarnya kepada paman tuamu."

Akan tetapi tetap saja jantung Dewi Muntari berdebar penuh ketegangan ketika ia dan puterinya, juga Budhidharma di bawa pergi ke gedung tempat tinggal Pangeran Sepuh Wijayanto.

Di gedung itu, mereka dibawa masuk ke ruangan yang paling dalam, kemudian Pangeran Sepuh menyuruh Lembudigdo mengundurkan diri bersama anak buahnya.

"Ini pemeriksaan antara keluarga, tidak boleh ada orang luar ikut mendengarkan." kilahnya dan tentu saja Lembudigdo tidak berani membantah dan dia pun segera keluar dari gedung itu.

Ternyata ruangan pemeriksaan itu dijaga ketat, dikepung oleh perajurit-perajurit pengawal Sang Pangeran Sepuh sendiri, dan setelah tiga orang tawanan itu memasuki ruangan, mereka melihat bahwa Pangeran Panjiluwih dan juga Gajahpuro telah berada di ruangan itu. Pangeran Panjiluwih tersenyum menyambut mereka dan berkata kepada Dewi Muntari dengan suara mengejek,

"Ah, Kakang Mbok Dewi, akhirnya andika menjadi tawanan juga. Sudah sepatutnya karena andika membantu para pemberontak Gagak Seto!"

"Gagak Seto bukan pemberontak!" Niken Sasi membentak marah mendengar tuduhan itu.

"Adimas Pangeran Panjiluwih, Paman Pangeran Sepuh akan mendengar penjelasan kami dan akan mengetahui siapa yang melakukan kejahatan dalam semua peristiwa ini!" kata Dewi Muntari.

"Diam semua!" tiba-tiba Pangeran Sepuh membentak. "Ini merupakan persidangan dan pemeriksaan, yang tidak ditanya tidak boleh bicara!"

Pangeran Sepuh Wijayanto duduk di atas kursi dan dia membiarkan Dewi Muntari, Niken Sasi, dan juga Budhidharma bersimpuh di bawah seperti tiga orang pesakitan. Padahal, Dewi Muntari adalah keponakannya, puteri Sang Prabu, yang derajatnya sebetulnya tidak di bawah tingkatnya!

"Pertama kami akan memeriksa Dewi Muntari. Andika adalah puteri raja, akan tetapi andika telah melakukan dosa besar, minggat dari istana bersama suami dan anak sampai bertahun-tahun tidak pulang, juga tidak ada beritanya. Kenapa? Jawab!"

"Paman Pangeran, ketika itu kami sekeluarga sedang bertamasya ke pegunungan Anjasmoro, akan tetapi kami di serang perampok dan suami saya dibunuh. Saya sendiri akan dibunuh kalau tidak ditolong oleh seorang sakti dan menurut pimpinan perampok, yang mengutus mereka melakukan pembunuhan adalah ..........."

"Cukup! Tidak ada artinya semua itu! Kalau memang kalian dirampok, dan andika masih hidup, kenapa selama delapan tahun tidak kembali ke istana dan melapor? Bahkan kini tahu-tahu pulang bersama pemuda yang telah menguasai Tilam Upih dan tidak mau menyerahkan pusaka itu! Tidak perlu banyak membantah karena ada saksinya di sini."

"Saya menjadi saksinya betapa Kakang Mbok Dewi Muntari telah bersekongkol dengan kami dan pasukan pengawal." kata Pangeran Pnjiluwih.

'Nah, sudah jelas sekali itu."

"Bukan itu saja, Kanjeng Paman. Kakang Mbok Dewi malah menuduh saya menyuruh orang-orang melakukan pembunuhan terhadap suaminya."

"Hah, fitnah keji sekali. Apa yang dapat kaukatakan sekarang untuk menyangkal semua itu, Dewi Muntari?"

Dengan muka merah Dewi Muntari berkata,"Hemm, agaknya semua telah diatur! Saya tidak dapat berkata apa-apa lagi, hanya percaya akan kebijaksanaan Kanjeng Rama yang tentu akan memberi keputusan seadil-adilnya!"

"Sekarang Niken Sasi. Benarkah apa yang diceritakan ibumu tadi?"

"Semuanya benar, Kanjeng Eyang. Kami diserang orang-orang jahat dan kanjeng rama terbunuh. Saya sendiri terpisah dari kanjeng ibu dan baru-baru ini saja kami saling bertemu kembali."

"Hemm, aneh! Kalau andika selamat mengapa selama bertahun-tahun bersembunyi dan tidak pulang ke istana? Kemana saja selama ini andika bersembunyi?"

Saya tidak bersembunyi, Kanjeng Eyang, melainkan ditolong oleh Ki Sudibyo ketua Gagak Seto dan dijadikan muridnya."

"Gajahpuro menjadi saksi tentang keberadaanmu di perkumpulan pemberontak Gagak Seto. Gajahpuro ceritakan kesaksianmu!"

Gajahpuro menyembah. "Sesungguhnyalah, diajeng Niken menjadi murid Ki Sudibyo, murid terkasih bahkan dicalonkan menjadi ketua Gagak Seto!"

"Nah, semua sudah jelas. Andika dan ibu andika telah membantu Gagak Seto yang hendak memberontak, bukan?"

"Gagak Seto adalah sebuah perkumpulan orang gagah, sama sekali bukan pemberontak biarpun pernah diselewengkan oleh mendiang Klabangkoro dan Mayangmurko!" kata Niken dengan suara lantang.

"Dosamu juga telah jelas, Niken Sasi. Andika bersama ibumu minggat dari istana, bertahun-tahun tidak pulang dan hendak menyusun kekuatan di perkampungan Gagak Seto untuk memberontak. Sekarang giliran Budhidharma. Orang muda, andika yang bernama Budhidharma?"

"Benar, Kanjeng Pangeran." jawab Budhi dengan tenang.

"Engkau sudah mendapatkan Tilam Upih, agaknya akan kaupergunakan sendiri, tidak ingin engkau menyerahkannya kepada Sang Prabu. Engkau bahkan menyeret Dewi Muntari dan Niken Sasi untuk bersekutu dengan pemberontak Gagak Seto. Hayo, mengakulah dan kembalikan Tilam Upih kepada kami!"

"Pangeran, apa gunanya semua pemeriksaan ini? Kami semua sudah mengetahui dengan jelas siapa sebenarnya paduka! Padukalah pemimpin persekutuan antara Jambuko Sakti dan Gagak Seto yang dipimpin Klabangkoro, andika yang mengutus orang-orang Jambuko Sakti untuk membunuh suami Dewi Muntari. Andika juga yang mencuri Tilam Upih yang asli dan menukarnya dengan yang palsu. Andikalah yang disebut-sebut Kanjeng Gusti. Kami bertiga telah dapat menduganya!" kata Budidharma dengan lantang.

"Benar semua itu!" teriak Niken Sasi. "Kami mengerti mengapa paduka melakukan semua ini,. Tentu untuk menyusun pemberontakan terhadap Kanjeng Eyang Prabu. Paduka menyingkirkan orang-orang yang dapat menjadi penghalang bagi paduka!"

Mendengar tuduhan ini, Pangeran Sepuh Wijayanto bahkan tertawa bergelak.

"Haha-ha, tentu saja aku ini Kanjeng Gusti bagi semua bawahanku. Kalian mengada-ada saja. Dosa kalian sudah jelas dan kalian bertiga layak menerima hukuman mati!"

Mendengar ini, tiga orang itu meloncat berdiri dan memasang kuda-kuda, bahkan Niken Sasi menghunus keris Megantoro pemberian gurunya.

"Kanjeng Paman tidak berhak mengadili kami, yang berhak mengadili hanyalah Kanjeng Rama Prabu. Kanjeng Paman hanyalah bertugas memeriksa dan menanyai kami saja!" kata Dewi Muntari marah. "Kalau hendak menjatuhi hukuman kami patuh menerima hukuman dari Kanjeng Rama Prabu, akan tetapi kalau Kanjeng Paman yang menghukum kami, kami akan melawan!"

"Ha-ha-ha-ha!" Pangeran Sepuh yang usianya sudah enampuluh tahun itu tertawa bergelak. "Tempat ini sudah terkepung ketat! Kalian bertiga tidak akan mungkin dapat melarikan diri. Akan tetapi aku memberi kesempatan kepada kalian untuk melakukan perlawanan. Hayo, siapa yang berani maju?"

"Paduka hendak mengandalkan pasukan untuk mengeroyok, sungguh licik dan curang!" kata Dewi Muntari marah.

"Ha-ha-ha,kalian ini kanak-kanak yang besar mulut. Untuk menghadapi kalian saja, perlu apa menggunakan pasukan? Hayo, siapa berani majulah!"

"Aku yang akan maju!" bentak Niken Sasi sambil melompat ke depan. "Baik satu lawan satu ataupun dikeroyok aku tidak akan mundur!"

"Kanjeng Gusti Pangeran, perkenankan saya untuk menghadapi diajeng Niken." Kata Gajagpuro kepada Pangeran Sepuh. Sang Pangeran yang sudah tahu akan kesaktian pemuda itu tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Niken Sasi, bocah sombong. Gajahpuro itulah itulah lawanmu, engkau belum pantas untuk melawan aku, ha-ha-ha!"

Gajahpuro sudah maju dan bersiap melawan Niken Sasi. Mereka berdiri saling berhadapan dan Gajahpuro berkata dengan sikap lembut,

"Diajeng Niken, harap andika menyerah saja dan aku yang akan mintakan ampun untukmu kepada Kanjeng Gusti Pangeran Sepuh."

Niken Sasi memandang pemuda itu dengan alis berkerut. Ia tidak mebenci pemuda ini, bahkan ia berterima kasih karena sudah berulang kali Gajahpuro menolongnya, tidak menaati kejahatan ayahnya, Klabangkoro. Akan tetapi ia merasa heran sekali. Tiba-tiba Gajahpuro menyebut diajeng kepadanya dan akan melawannya, bahkan menganjurkan agar ia menyerah saja untuk dimintakan ampun.

"Kakang Gajahpuro, aku heran sekali mengapa tiba-tiba engkau dapat berada di sini dan agaknya menghambakan diri kepada Kanjeng Eyang Pangeran Sepuh. Kakang Gajahpuro, mengingat akan pertalian persaudaraan kita yang lalu kuharap engkau tidak menentangku, bahkan sudah selayaknya kalau engkau membantu aku."

"Tidak,diajeng. Aku telah menjadi pembantu Kanjeng Gusti Pangeran Sepuh, dan kalau engkau hendak melawan, terpaksa aku akan menghadapimu. Dan ingatlah diajeng, pernah dahulu kaukatakan bahwa engkau hanya akan berjodoh dengan seorang laki-laki yang mampu mengalahkanmu. Nah, sekarang aku akan berusaha untuk menandingi dan mengalahkanmu."

"Kakang Gajahpuro, engkau tahu aku menguasai Hasta Bajra dan aku tidak ingin membunuhmu. Mundurlah!" kata Niken Sasi sambil menyimpan keris Megantoro yang tadi telah dihunusnya.

"Niken, jangan lemah!" bentak ibunya. "Siapa saja yang menjadi kaki tangan pengkhianat dan hendak melawanmu, lawanlah sekuat tenaga!"

"Nah, kau dengar itu, kakang Gajahpuro? Sekali lagi kuharap engkau suka mundur." kata Niken Sasi yang bagaimanapun juga masih ingat akan kebaikan pemuda itu.

Kalau Gajahpuro tidak baik kepadanya, dahulu ketika ditangkap oleh Klabangkoro, tentu ia telah diperkosa oleh pemuda ini seperti yang dikehendaki Klabangkoro. Akan tetapi Gajahpuro tidak melakukannya bahkan membebaskannya!

"Marilah, diajeng Niken, kita bertanding dan kita melihat siapa di antara kita yang lebih unggul." Gajahpuro menantang dan terpaksa Niken Sasi melayaninya. Bahkan gadis itu yang membuka serangan lebih dulu. Akan tetapi Niken Sasi masih tidak tega untuk mengeluarkan Aji Hasta Bajra. Ia mengira bahwa Gajahpuro hanya memiliki ilmu silat Gagak Seto yang biasa saja, dan itupun tingkatnya masih jauh lebih rendah daripada tingkatnya. Maka iapun menyerang dengan ilmu silat yang biasa dipelajari oleh semua anak buah Gagak Seto. Ia memukul dengan kepalan kanannya mengarah dada pemuda itu. Ia merasa yakin bahwa dengan ilmu silat yang sama Gajahpuro dapat menandinginya, akan tetapi akhirnya ia akan dapat memenangkan pertandingan itu. Ia masih menang dalam hal kecepatan dan juga tenaga dalam.

Gajahpuro juga memainkan ilmu silat Gagak Seto, dan dia memutar lengan kirinya menangkis pukulan itu. Niken mengira bahwa tangkisan yang berarti adu tenaga itu tentu akan membuat Gajahpuro terdorong mundur.

"Dukkk.......!" Dua lengan bertemu dan terkejutlah Niken. Dia dapat merasakan hawa panas keluar dari tangkisan itu dan merasa betapa kuatnya tangkisan itu sehingga kalau dia tidak cepat menggeser kakinya, tentu ia telah terhuyung!

Mulailah Niken Sasi merasa penasaran dan ia menyerang lagi dengan lebih hebat. Menyerang dengan ilmu silat Gagak Seto, akan tetapi dengan cepat sekali dan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat. Dan kembali ia terkejut. Bukan saja pemuda itu mampu mengimbangi kecepatannya, bahkan dalam hal mengadu tenaga sakti, Gajahpuro tidak pernah terdesak olehnya dan setiap kali lengannya bergetar hebat. Sungguh tidak pernah disangkanya sama sekali bahwa pemuda itu dapat bergerak secepat dan sekuat itu.

"Haiiiiiiittt......!" Ia memukul lagi kini dengan tangan kirinya mengarah leher lawan dan kaki kanannya menyusul meluncurkan tendangan kilat ke arah perut. Niken percaya bahwa sekali ini ia pasti akan berhasil karena jurus itu merupakan jurus terampuh dari ilmu silat Gagak Seto dan ia melakukannya dengan cepat dan kuat sekali.

Gajahpuro agaknya maklum akan bahaya serangan ini. Akan tetapi dengan sigapnya dia sudah berhasil mengelak, bahkan membalas dengan tamparan yang tidak kalah beratnya ke arah pundak gadis itu. Niken Sasi terkejut dan cepat menangkis dan kembali ia merasa getaran hawa panas keluar dari tangan pemuda itu, yang membuat ia agak terhuyung.

Niken mulai merasa penasaran dan ia sudah menggeser kakinya maju lagi sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Itulah pertanda bahwa ia telah mengerahkan Aji Hasta Bajra! Akan tetapi gadis itu masih ragu-ragu apakah perlu ia mengeluarkan aji yang hebat itu, yang mungkin akan membahayakan nyawa Gajahpuro. Melihat keraguan gadis itu, Gajahpuro berkata,

"Kalau hendak menggunakan Aji Hasta Bajra, silakan, diajeng Niken. Aku siap menyambutnya!"

Ucapan itu memang lembut, akan tetapi tetap saja merupakan tantangan. Niken tidak ragu lagi dan ia lalu membentak,

"Awas, lihat seranganku!"

Gajahpuro maklum sepenuhnya akan kedahsyatan aji Hasta Bajra itu, maka diam-diam dipun sudah mengerahkan tenaga sakti Ranu Geni yang panas dan menyambut dengan Aji Lahar Sewu. Dua pasang tangan yang mengandung hawa sakti meluncur ke depan dan bertemulah dua kekuatan dahsyat di udara.

"Wuuuuuttt...........dessss.........!"

Hebat sekali pertemuan antara kedua tenaga itu. Akan tetapi Gajahpuro membatasi tenaganya sehingga dia terdorong ke belakang. Juga Niken terdorong kebelakang dan terhuyung. Melihat ini, Dewi Muntari cepat melompat dan menahan tubuh puterinya agar tidak sampai roboh. Wajah Niken pucat sekali dan tentu saja ia terheran-heran. Bagaimana mungkinGajahpuro mampu menahan pukulan Hasta Bajra, bahkan menandinginya dengan pukulan panas yang tidak kalah hebatnya?

"Bagus Gajahpuro!" Pangeran sepuh memuji jagonya dan tertawa memandang kepada Dewi Muntari. "Dewi Muntari, puterimu telah kalah!"

"Puteriku mungkin kalah, akan tetapi aku belum, Kanjeng Paman!" Dewi Muntari meloncat ke depan.

Akan tetapi Pangeran Sepuh masih menoleh kepada Gajahpuro sambil berkata.

"Engkau majulah sekali lagi, Gajahpuro, mewakili aku. Aku agak segan kalau harus melawan seorang wanita, dan ia masih keponakanku sendiri lagi! Akan tetapi berhati-hatilah dan jangan pandang ringan."

"Baik, Kanjeng Gusti Pangeran!" kata Gajahpuro sambil maju menghadapi Dewi Muntari.

"Kanjeng Ibu, dia itu putera Klabangkoro!" kata Niken kepada ibunya.

"Ah, begitu? Kalau begitu aku akan membunuhnya. Puteranya tentu sama jahat seperti bapaknya!" kata Dewi Muntari.

"Tidak, ibu. Dia tidak sejahat bapaknya. Dia telah berulang kali membela dan menolongku." kata Niken Sasi yang tidak dapat melupakan budi pertolongan Gajahpuro.

"Aku bukan putera Klabangkoro!" Gajahpuro berseru dengan penasaran sehingga mengherankan hati Niken Sasi karena tahu benar Niken bahwa pemuda itu memang putera Klabangkoro.

Dewi Muntari sudah maju dan berkata, "Orang muda, bersiaplah untuk menyambut seranganku!"

"Aku sudah siap sejak tadi." jawab Gajahpuro dengan tenang dan diapun sudah memasang kuda-kuda dan mengarahkan kekuatannya karena dia maklum bahwa wanita ini tentu lebih tangguh daripada Niken.

Dewi Muntari lalu bergerak dengan cepat sekali. Gerakanya seperti burung sikatan saja, cepat dan kuat menyerang dengan tamparan tangannya. Akan tetapi Gajahpuro mampu mengelak dan pemuda inipun membalas dengan tamparan tangannya. Terjadilah perkelahian yang seru. Gajahpuro harus mengerahkan seluruh tenaganya dan diapun menggerakkan kaki tangannya memainkan Aji Lahar Sewu yang ampuh. Akan tetapi sekali ini yang dihadapinya adalah Dewi Muntari yang memiliki aji kekebalan Trenggiling Wesi dan aji pukulan Jaladi Geni yang ampuh sekali. Setelah saling pukul dan saling tangkis selama belasan jurus, mulailah Gajahpuro terdesak oleh serangan Dewi Muntari. Sebetulnya, Gajahpuro telah mendapat gemblengan orang sakti dan telah mempelajari ilmu yang amat hebat. Akan tetapi dia kurang penagalaman dan ilmu-ilmunya itu belum dikuasai dengan baik. Seolah dia baru mendapatkan kulitnya saja belum benar-benar meresapi isinya. Mana mungkin dia menandingi Dewi Muntari yang telah digembleng orang sakti selama delapan tahun?

Dewi Muntari terus mendesak dengan tamparan-tamparan yang amat kuat, didahului bentakan-bentakannya yang amat berwibawa karena wanita ini menggunakan aji Sardulo Kroda yang membuat bentakannya mengandung getaran kuat sekali yang dapat melumpuhkan lawan yang tidak memiliki tenaga sakti yang kuat. Akhirnya, sebuah tamparan mengenai pundak Gajahpuro dan pemuda ini terpelanting dan bergulingan. Masih untung bagi Gajahpuro bahwa Dewi Muntari teringat akan ucapan Niken Sasi bahwa Gajahpuro tidak jahat bahkan pernah menolong puterinya itu, maka pukulannya tadi ia selewengkan dan hanya melukai pundak saja yang tidak membahayakan nyawanya.

"Bagus! Andika memang digdaya, Dewi Muntari. Akan tetapi yang kauhadapi hanyalah seorang bocah. Kalau andika mampu menandingiku, barulah andika benar-benar digdaya."

Melihat pangeran itu maju sendiri Budhidharma segera melangkah maju.

"Kanjeng Bibi, biarlah saya yang maju menghadapi Pangeran Sepuh!"

Dewi Muntari yang sudah maklum betapa saktinya Pangeran Sepuh yang seperguruan dengan kanjeng ramanya itu memang sudah merasa gentar menghadapinya. Dan iapun maklum akan ketangguhan Budhidarma seperti yang diceritakan puterinya kepadanya, maka iapun mengangguk dan mundur.

"Pangeran,apakah masih akan paduka lanjutkan menghukum mati kami bertiga? Masih belum terlambat bagi paduka untuk mengubah keputusan itu dan membebaskan kami, dan biar Kanjeng Gusti Prabu sendiri yang akan mengadili kami."

"Bocah sombong bermulut lancang. Sudah tentu keputusan kami tidak dapat diubah lagi. Kami memutuskan untuk menghukum mati andika bertiga, akan tetapi kami memberi kesempatan kepada kalian untuk membela diri. Sekarang, karena andika dengan lancang dan sombong berani melawan aku, maka engkaulah yang akan mati lebih dulu!"

"Pangeran, kami tidak melawan. Akan tetapi kami tidak dapat menerima hukuman yang tidak dijatuhkan sendiri oleh Gusti Prabu. Pula, kami sama sekali tidak merasa bersalah dan sama sekali tidak bermaksud memberontak seperti yang paduka tuduhkan. Karena itulah kami tidak menerima begitu saja dihukum mati!" kembali Budhi membantah.

"Babo-babo........! Engkau bocah kemarin sore berani menentang Pangeran Sepuh Wijayanto?"

"Saya hanya berani menentang siapa yang bersalah, Pangeran!"

"Keparat, terimalah aji-ajiku ini!" Pangeran Sepuh membentak dan tiba-tiba tubuhnya bergerak dan tangan kanannya menyambar ke arah kepala Budhidharma seperti sambaran kilat. Cepat dan kuat sekali pukulan itu menyambar, akan tetapi Budhi masih dapat mengelak dengan cepatnya.

"Wuuuuuuttt........blarrr.......!"

Sebuah pot bunga yang berada di sudut ruangan itu hancur berantakan terkena sambaran pukulan yang luput dari kepala Budhi itu. Pangeran Sepuh Wijayanto menjadi semakin marah karena penasaran. Dia adalah seorang yang sakti mandraguna, akan tetapi serangannya dapat dielakkan oleh pemuda ini. Dia menyerang lagi bertubi-tubi, akan tetapi dengan amat gesitnya Budhi mengelak beberapa kali, kemudian ketika tangan kiri pangeran itu menyambar dengan dahsyatnya ke arah kepalanya, terpaksa dia menangkis dengan tangan kanan. Kerena maklum betapa dahsyatnya pukulan lawan, Budhi mengerahkan Aji Tapak Sapujagat, menangkis sambil mengerahkan tenaga.

"Dessss.......!"

Hebat sekali pertemuan antara kedua lengan itu, sampai terasa oleh semua orang yang berada di situ karena mereka semua tergetar. Dan akibat dari benturan dua tenaga sakti itu, tubuh Budhidharma terdorong mundur tiga langkah, akan tetapi sebaliknya, tubuh Pangeran Sepuh juga terdorong mundur sampai terhuyung ke balakang! Bukan main kagetnya Pangeran Sepuh melihat kenyataan ini.


Lanjut...
 
Bagian - 32


Pemuda itu memiliki tenaga sakti yang lebih kuat dari padanya! Dia merasa penasaran sekali dan belum mau percaya. Dengan geram dia lalu menekuk kedua lututnya, mengerahkan seluruh tenaganya dan kemampuannya, lalu memukulkan kedua tangannya yang terbuka, mendorong ke arah Budhi. Dia mengeluarkan teriakan melengking untuk menambah daya tolakan kedua tangannya.

"Haiiiiiiiiiiiiitttt............!"

Maklum bahwa lawannya hendak mengadu kesaktian lewat tenaga, Budhi menyambut dengan kedua tangannya didorongkan ke depan sambil mengerahkan tenaga dan mulutnya mengeluarkan teriakan dahsayat.

"Yaaaaaaattt......!"

"Desssss........!"

Kembali tenaga mereka bertemu di udara dan kini akibanya lebih hebat lagi. Kalau Budhi terhuyung ke belakang, Pangeran Sepuh itu terjengkang dan roboh terbanting! Akan tetapi pangeran ini memang sakti dan kebal. Dia sudah meloncat bangun lagi dan ditangannya sudah tergenggam sebatang keris yang mengeluarkan wibawa menyeramkan.

"Tilam Upih...............!"

Dewi Muntari dan Niken Sasi berseru dengan berbareng melihat keris itu di tangan sang pangeran tua. Budhi juga merasakan getaran hebat dari wibawa keris itu dan tahulah dia bahwa keris itu memang sangat ampuh.

"Kepung mereka! Bunuh!" bentak Pangeran Sepuh Wijayanto dengan kemarahan meluap. Dia telah dikalahkan pemuda itu di depan banyak orang dan hal ini dianggap amat menghina dan merendahkan martabatnya.

"Kanjeng Gusti Pangeran, saya mohon jangan bunuh diajeng Niken dan ibunya seperti yang paduka janjikan kepada saya!" kata Gajahpuro.

"Janga banyak cakap!" bentak Pangeran Sepuh Wijayanto lalu dia mengulang perintahnya kepada pasukan pengawalnya yang sudah memenuhi ruangan itu mengepung Budhi, Niken Sasi, dan Dewi Muntari, "Serang dan bunuh mereka bertiga!"

"Kalau begitu saya tidak sudi membantu paduka lagi!" teriak Gajahpuro.

"Bagus, agaknya engkau juga sudah bosan hidup!" bentak Pangeran Sepuh sambil mengamangkan keris pusaka Tilam Upih. "Bunuh juga bocah ini!"

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara gaduh di luar dan para perajurit pengawal Pangeran Sepuh yang berada di dekat pintu ruangan bergelimpangan roboh. Terdengar bentakan yang lembut namun penuh wibawa.

"Semua perajurit mundur!"

Para anak buah Pangeran Sepuh terkejut dan menengok. Ketika mereka melihat Sang Prabu Jayabaya yang diiringkan para pengawal yang dipimpin senopati Lembudigdo dan para senopati lainnya, mereka menjadi pucat ketakutan dan segera mundur meninggalkan ruangan itu. Di luar telah menanti pasukan pengawal kerajaan yang segera melucuti senjata mereka. Semua terjadi tanpa keributan, karena para anak buah Pangeran Sepuh maklum bahwa melawanpun tidak akan ada gunanya.

Sementara itu, ketika melihat munculnya Sang Prabu Jayabaya, wajah Pangeran Sepuh berubah pucat pula dan dengan senyum dibuat-buat dia menegur.

"Yayi Prabu......, paduka datang.....?" Dia sampai lupa bahwa dia masih memegang keris pusaka Tilam Upih di tangannya.

"Kakangmas Pangeran, andika membawa keris pusaka Tilam Upih terhunus, apakah untuk membunuh puteriku Dewi Muntari dan cucuku Niken Sasi?"

"Ahh, tidak.......tidak.......! Pusaka ini.......saya baru rampas dari tangan Budhidharma!"

"Hemm, kakangmas Pangeran, tidak ada gunanya berbohong lagi. Kami telah mengetahui semuanya. Sudah lama kami mendengar laporan para penyelidik bahwa diam-diam kakangmas Pangeran menghimpun kekuatan di luar istana. Kakangmas hendak mencalonkan Pangeran Panjiluwih dan menyingkirkan pangeran mahkota. Juga menyingkirkan semua pangeran dan anggota keluarga yang kiranya akan menentang rencana andika! Akan tetapi karena kami belum memperoleh bukti, kami masih belum bertindak. Dan tadi, Kakangmas Pangeran, kami telah mendengar semuanya! Ternyata kakangmas yang menjadi pemimpin persekutuan dengan sebutan Kanjeng Gusti, dan kakangmas pula yang telah merampas Tilam Upih secara diam-diam saja dari adipati Nusa Kambangan. Jelas kakangmas hendak memberontak! Dan kakangmas memilih Pangeran Panjiluwih karena ibunya adalah puteri Blambangan yang kakangmas jagokan untuk mendukung gerakan kakangmas. Kami telah mengetahui semua!"

Ketika Sang Prabu Jayabaya bicara Pangeran Sepuh mendengarkan dengan mata liar dan muka semakin pucat. Lalu dia memandang kepada Tilam Upih di tangannya, lalu berkata lantang,

"Yayi Prabu! Dahulu aku yang mendambakan kedudukan raja, akan tetapi mendiang kanjeng rama bersikap tidak adil, memilih andika yang lebih muda menjadi pangeran mahkota. Sekarang, andika juga pilih kasih, memilih Pangeran Arya Iswara menjadi putera mahkota, padahal masih banyak pangeran lain yang lebih tua. Benar! Memang aku tidak mau menerima ketidak-adilan ini, aku ingin mengangkat Pangeran Panjiluwih menjadi putera mahkota. Akan tetapi kami telah gagal, dan karena andika sendiri yang telah mengetahui semua rahasiaku, maka andika yang lebih dulu harus mati di tanganku!" Setelah berkata demikian, Pangeran Sepuh siap untuk menyerang dengan keris pusaka Tilam Upih.

"Kanjeng Rama Prabu, perkenankan hamba yang maju menghadapinya!" seru Dewi Muntari yang merasa khawatir.

"Perkenankan hamba yang maju, gusti." kata Budhidharma pula.

Juga Senopati Lembudigdo sudah siap bersama pasukannya untuk mengepung Pangeran Sepuh
Wijayanto yang agaknya hendak mengamuk dengan keris pusaka Tilam Upih di tangan.

Akan tetapi sambil tersenyum Sang Prabu Jayabaya mengangkat kedua tangannya ke atas dan memberi isarat kepada semua orang untuk mundur. Kemudian dengan sikapnya yang tenang sekali, raja yang bijaksana dan sakti mandraguna itu melangkah maju menghadapi kakaknya.

"Kakangmas Pangeran Wijayanto, andika hendak menggunakan Kyai Tilam Upih untuk memberontak, mengamuk dan membunuhku? Andika tidak akan berhasil. Sebaiknya andika menyadari kesalahan, cepat menyerah dan mungkin kami masih akan memperingan hukumanmu."

"Tidak perlu banyak cakap lagi. Engkau atau aku yang harus mati!" bentak Pangeran Sepuh dan bagaikan seekor harimau marah, dia sudah menerjang ke depan, menubruk dan menyerang dengan keris pusaka Tilam Upih yang sakti itu.

Sang Prabu Jayabaya tetap tenang saja. Ketika keris itu sudah meluncur dekat, dia melompat ke kiri menghindarkan diri, kemudian kakinya mencuat dan menendang dengan kecepatan kilat.

"Wuuuuuuuttt..........desss.........!"

Tubuh Pangeran Sepuh terlempar dan dia jatuh bergulingan oleh tendangan yang dahsyat itu. Akan tetapi dia dengan cepat sudah meloncat bangkit kembali dan menyerang untuk kedua kalinya, lebih cepat dan lebih dahsyat.

Sang Prabu Jayabaya kembali mengelak dan untuk ke dua kalinya, kakinya menendang dan kembali tubuh Pangeran Sepuh terlempar dan terbanting keras. Sebetulnya, dengan dua kali terbanting itu saja, Pangeran Sepuh sudah menyadari bahwa dia tidak akan mampu menandingi kesaktian Sang Prabu Jayabaya. Akan tetapi dia sudah putus asa dan menjadi nekat. Biarpun tubuhnya sudah merasa sakit-sakit karena dua kali terlempar dan terbanting, dia bangkit lagi dan memasang kuda-kuda, mengerahkan seluruh tenaganya.

"Engkau atau aku yang harus mati!" bentaknya.

Sang Prabu Jayabaya memandang dengan sinar mata mencorong seperti mengeluarkan api dan suaranya terdengar tegas.

"Jagat Dewa Batara, engkau menggapai taringnya Sang Batara Kala, kakangmas!"

Pangeran Sepuh sudah berlari menerjang maju dengan keris siap menusuk. Akan tetapi sekali ini, Sang Prabu Jayabaya sudah mengerahkan aji kesaktian dan kekebalannya, berdiri tegak seperti sebuah arca yang kokoh. Keris pusaka Tilam Upih di tangan Pangeran Sepuh datang menyambar ke arah dada, diterima oleh dada itu tanpa mengelak sedikitpun.

"Wuuuttt......Takk.......!"

Tangan Pangeran Sepuh yang memegang keris tergetar hebat. Kerisnya seperti mengenai benteng baja yang kokoh kuat, sama sekali tidak mampu menembus kulit yang sudah dilindungi aji kekebalan yang disebut Aji Ontokusumo. Pangeran Sepuh Wijayanto seperti tidak percaya. Kerisnya adalah Tilam Upih! Tidak mungkin dapat ditolak aji kekebalan. Dia menusuk lagi.

"Takkk.......!"

Dengan penuh kegeraman dan keputusasaan kembali dia menusukkan keris ke arah perut Sang Prabu Jayabaya.

"Takk............!"

Kini Sang Prabu Jayabaya menggerakkan tangan kirinya, menampar ke arah kepala Pangeran Sepuh.

"Wuuuuttt............desss.........!"

Tubuh pangeran itu seperti daun kering tertiup angin, melayang dan jatuh berdebuk, terbanting keras! Akan tetapi memang pangeran itupun seorang yang kebal, tamparan itu hanya membuat dia pusing sejenak. Lalu dia bangkit berdiri mengamati keris di tangannya seolah tidak percaya akan keaslian pusaka itu, kemudian dia mengayun keris itu ke ulu hatinya sendiri.

"Cappp..........!"

Keris menembus kulit dada dengan mudah dan robohlah sang pangeran, tewas seketika saking ampuhnya Tilam Upih.

Semua orang lalu berlutut menyembah kepada Sang Prabu Jayabaya. Raja yang sakti mandraguna ini menghela napas panjang, menghampiri jenazah kakaknya, mencabut keris Tilam Upih dari dadanya lalu menyerahkannya kepada Senopati Lembudgdo.

"Lembudigdo, suruh cuci dan gosok pusaka ini sampai bersih betul dari noda, baru haturkan kepadaku."

"Sendiko, Gusti." jawab Senopati Lembudigdo sambil menerima keris pusaka itu dan menyimpannya.

Dalam peristiwa ini, Sang Prabu Jayabaya memperlihatkan kebijaksaannya. Dia mengampuni seluruh keluarga Pangeran Sepuh. Bahkan hanya menegur keras kepada Pangeran Panjiluwih yang dianggap terkena hasutan Pangeran Sepuh. Bekas pasukan Pangeran Sepuh dibubarkan dan tentu saja Gajahpuro juga dibebaskan karena Niken Sasi mintakan ampun untuk pemuda yang pada terakhirya kembali memperlihatkan sikap membelanya itu.

Budhidharma, Dewi Muntari dan Niken Sasi dipanggil menghadap ke istana.

"Budhidharma, kami sudah banyak mendengar akan sepak terjangmu dari para penyelidik, dan kami berterima kasih atas pembelaanmu sehingga puteri dan cucu kami dapat diselamatkan." kata Sang Prabu memujinya.

Gusti Prabu Jayabaya tersenyum. "Mendiang kakangmas Pangeran Wijayanto memang cerdik. Dia telah mendahuluimu mencuri keris pusaka itu. Akan tetapi, sudahlah, keris pusaka itu sudah kembali kepada kami. Sekarang kami ingin mendengar ceritamu, nini Dewi Muntari, dan andika, cucuku Niken Sasi. Apa yang telah kalian alami setelah kalian dirampok dan Rangsang dibunuh?"

Dewi Muntari menceritakan pengalamannya. Ketika mendengar bahwa puterinya itu ditolong kemudian diambil murid oleh Ni Durgogini, Sang Prabu Jayabaya berseru,

"Ah, jadi ia yang menolongmu dan kemudian menjadi gurumu?"

"Kanjeng Rama, Ni Durgogini sudah minta kepada hamba agar paduka sudi mengampuni kelancangannya, berani mengambil murid kepada hamba." kata Dewi Muntari.

Sang Prabu tersenyum, "Tentu saja. Ia tidak bersalah, bahkan berjasa besar. Pantas engkau berani menentang paman-tuamu, kiranya engkau sudah digembleng oleh Ni Durgogini! Dan bagaimana dengan pengalamanmu selama ini, cucunda Niken Sasi? Agaknya engkau telah menjadi seorang gadis yang trengginas dan digdaya. Apakah engkau juga memperoleh seorang guru yang sakti?"

"Sesungguhnyalah, Kanjeng Eyang Prabu. Ketika kanjeng ibu menyuruh hamba melarikan diri, hamba terjatuh ke dalam telaga kecil. Hamba diselamatkan oleh Ki Sudibyo, ketua Gagak Seto dan hamba menjadi muridnya." Niken lalu menceritakan tentang gurunya, betapa gurunya itu dikhianati oleh Klabangkoro dan Mayangmurko yang kemudian telah terbunuh oleh ibunya, Dewi Muntari. Juga diceritakan tentang Budhidharma yang menolongnya berulang kali sampai pengalaman mereka yang hebat di Gagak Seto ketika mereka dijebak oleh Klabangkoro. Gadis itu menonjolkan budi pertologan yang dilakukan Budhidharma dan agaknya hal ini diketahui pula oleh kakeknya sehingga Sang Prabu Jayabaya hanya tersenyum mendengarkan.

Setelah gadis itu selesai bercerita, Sang Prabu Jayabaya berkata kepada Budhidharma,

"Budhidharma, jasamu amat besar. Oleh karena itu, kami mengangkatmu menjadi seorang senopati muda di kerajaan Kediri!"

Budhidharma terkejut dan demikian girangnya mendengar ini sehingga dia hanya memandang bengong. Melihat ini, Niken Sasi cepat menyentuh lengannya.

"Cepat haturkan terima kasih kepada Kanjeng Eyang."

Budhidharma menyembah dan menghaturkan terima kasihnya. Dewi Muntari kembali ke tempat tinggalnya yang dahulu, yang delapan tahun yang lalu ditinggali bersama suaminya dan yang sampai sekarang masih dipelihara baik-baik atas perintah Sang Prabu Jayabaya. Budhidharma juga mengikuti ibu dan anak itu. Di rumah mereka, Dewi Muntari lalu membicarakan urusan perjodohan antara puterinya dan Budhidharma. Sebagai seorang ibu yang waspada, tanpa bertanya sekalipun ia sudah lama tahu bahwa terdapat hubungan kasih sayang di antara kedua orang muda itu.

Sepasang orang muda itu tersipu malu ketika Dewi Muntari terang-terangan mengajak mereka bicara tentang perjodohan mereka.

"Bagaimanakah kalian ini? Urusan ini tentu selalu mendesak dihati kalian, akan tetapi setelah diajak bicara tentang hal ini, kalian malah diam saja. Apakah kalian tidak setuju?"

"Ah, ibu.......!" Niken Sasi tersipu dan menundukkan mukanya.

"Sebetulnya, Kanjeng Bibi, kami berdua selalu khawatir dan ragu kalau-kalau Kanjeng Gusti Prabu tidak menyetujui, karena saya hanyalah seorang pemuda dusun yang yatim piatu dan papa..........."

"Hemm, kaukira Kanjeng Rama itu bagaimana? Beliau seorang raja yang adil dan arif bijaksana. Bukankah aku sendiri juga dijodohkan dengan seorang senopati yang berkedudukan rendah dan dari rakyat biasa? Aku tanggung bahwa Kanjeng Rama Prabu pasti akan menyetujui perjodohan kalian."

"Terima kasih, Kanjeng Bibi......"

"Hemm, sudah tiba waktunya engkau mengubah sebutan bibi itu dengan sebutan ibu. Bukankah engkau calon mantuku?"

Wajah Budhi menjadi kemerahan.

"Terima kasih, Kanjeng Ibu......" dia mengulang.

"Akan tetapi saya dan diajeng Niken Sasi mohon ijin untuk pergi ke Anjasmoro dulu, karena kami harus menyelesaikan urusan Gagak Seto"

"Engkau tidak boleh lagi menjadi ketua Gagak Seto setelah menjadi senopati!"

"Memang saya tidak pernah ingin melanjutkan kedudukan mendiang ayah saya. Oleh karena itu, tadi ketika berpisah dari Gajahpuro, saya memesan agar dia suka pergi ke Gagak Seto menemui saya. Gajahpuro adalah seorang pemuda yang baik dan gagah, sudah sepatutnya kalau dia yang menjadi ketua Gagak Seto."

"Ah, pemuda itu? Kalian mengatakan bahwa dia putera Klabangkoro, akan tetapi di depan Pangeran Sepuh dia menyangkal bahwa dia bukan putera Klabangkoro. Siapa sebetulnya anak itu?"

"Kami juga heran, kanjeng ibu. Kalau bertemu dengannya tentu akan kupertanyakan hal itu." kata Niken Sasi.

Demikianlah, setelah tinggal di rumah Dewi Muntari, di komplek istana, selama beberapa hari, pada suatu hari Budhidharma bersama Niken Sasi meninggalkan isana menuju ke pegunungan Anjasmoro.




Lanjut...
 
Bagian Terakhir - TAMAT


Kedatangan Budhi dan Niken disambut dengan hormat oleh Waskita yang oleh Budhi diserahi tugas mewakilinya memimpin Gagak Seto selagi dia pergi. Juga semua anak buah Gagak Seto yang masih setia, berjumlah kurang lebih empatpuluh orang, ikut menyambut dengan gembira.

"Paman Waskita, apakah Gajahpuro tidak datang ke sini?" tanya Budhi kepada Waskita.

"Ah, ada, anak mas. Dia datang ke sini kemarin dulu, katanya hendak menemuimu, akan tetapi kami semua minta agar dia pergi dari sini." jawab Waskita.

"Eh,kenapa, paman?"

"Kenapa? Bukankah dia putera Klabangkoro yang telah menyesatkan kami semua?"

"Akan tetapi paman sendiri tentu tahu betapa Gajahpuro selalu menentang kejahatan Klabangkoro, bahkan sampai dilempar ke dalam sumur tua. Gajahpuro bukan seorang pemuda jahat, Sebaliknya dia seorang pemuda gagah perkasa dan baik sekali."

Waskita nampak ragu. "Hal itu kami mengerti, akan tetapi karena dia putera Klabangkoro, kami merasa tidak enak kalau menerimanya, maka dia kami usir......"

"Keliru sekali, paman. Baik dia putera Klabangkoro maupun bukan, pada kenyatannya dia seorang anggota Gagak Seto yang baik dan aku yakin bahwa tidak ada anggota lain yang memiliki ilmu kepandaian setinggi dia."

"Tidak, anak mas. Kurasa kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan kepandaian Gusti Puteri Nikan......." karena sudah mendengar bahwa Niken Sasi adalah cucu Sang Prabu, maka kini Waskita menyebutnya gusti puteri!

"Ah, andika tidak tahu, Paman Waskita. Sekarang Kakang Gajahpuro memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampuiku. Dia telah menjadi pemuda sakti." kata Niken dan bukan hanya Waskita yang merasa heran mendengar ini, bahkan para anggota lain juga memandang heran. Mereka semua sudah mendengar betapa Niken telah mewarisi Aji Hasta Bajra dari mendiang Ki Sudibyo. Akan tetapi gadis itu mengakui bahwa ia masih kalah dibandingkan kesaktian Gajahpuro.

"Demikianlah sesungguhnya," kata pula Budhi. "Dan karena itu, kami hendak menemuinya, karena kami bermaksud mengangkatnya menjadi ketua Gagak Seto yang baru."

Semua anggota terkejut mendengar ini, juga merasa heran. "Harap kalian semua dapat mengerti. Aku tidak cocok untuk menjadi ketua Gagak Seto. Pertama, biarpun aku putera Ki Sudibyo, akan tetapi aku bukan murid Gagak Seto. Kedua, aku telah diangkat menjadi seorang senopati muda oleh Kanjeng Gusti Prabu sehingga tidak mungkin lagi aku tinggal di sini menjadi ketua. Itulah sebabnya kami melihat bahwa yang paling tepat menjadi ketua adalah Gajahpuro dan kami yang bertanggung-jawab atas pengangkatan ini."

Pada saat itu terdengar seruan orang,

"Kakangmas Budhi.......!" dan nampaklah Gajahpuro memasuki rumah induk itu.

"Adimas Gajahpuro, kebetulan andika datang. Maafkan Paman Waskita dan para anggota yang tidak berani menerimamu berkunjung ke sini." kata Budhi.

"Ah, tidak mengapa, kakangmas. Akupun tahu diri dan menanti saja sampai andika datang."

Gajahpuro dipersilakan duduk. Pemuda ini memandang kepada Niken dan kini pandang matanya berbeda dari biasanya. Biasanya, kalau dia memandang gadis itu, pasti terpancar sinar kasih sayang dari pandang matanya itu kepada gadis ini. Akan tetapi sekarang tidak lagi. Dia sudah mengetahui bahwa di antara Budhi dan Niken terjalin hubungan yang akrab dan mesra. Dia dapat menduga bahwa kedua orang muda itu saling mencinta dan dia sudah melepaskan harapannya atas diri Niken Sasi. Apalagi setelah dia mengetahui bahwa Niken Sasi adalah cucu Sang Prabu!

"Maafkan kami, Gajahpuro. Karena kemarin dulu anakmas Budhi belum datang, terpaksa kami menolak kunjungan andika."

"Tidak mengapa, Paman Waskita. Perbuatanmu itu bahkan menunjukkan bahwa andika seorang wakil yang baik sekali dan memenuhi kewajiban." jawab Gajahpuro.

Diam-diam Budhi merasa suka kepada pemuda ini. Niken Sasi yang sejak tadi mendengarkan saja, lalu berkata, "Kakang Gajahpuro,andika tentu heran mengapa kakangmas Budhidharma mengundangmu ke sini? Ada banyak hal perlu kita bicarakan, akan tetapi yang pertama membuat kami merasa heran sekali adalah penyangkalanmu bahwa andika bukan putera Klabangkoro. Benarkah itu kakang Gajahpuro?"

"Benar sekali, Gusti Puteri."

"Ah, kakang Gajahpuro, bagimu aku tetap Niken yang dulu."

"Paduka adalah cucu Kanjeng Gusti Prabu. Memang saya bukan putera Klabangkoro, bahkan dialah yang membunuh ayah kandung saya dan kemudian ibu saya. Ketika saya masih kecil, Klabangkoro membunuh ayah saya dan memaksa ibu saya menjadi istrinya."

Hemm, betapa jahatnya Klabangkoro!" kata Budhi. "Akan tetapi, sudahlah. Adimas Gajahpuro. Bagaimanapun juga, dia pernah menjadi ayahmu yang menyayang dan kini dia sudah mati. Sekarang yang lebih penting lagi. Aku mengundangmu ke sini untuk mengangkatmu menjadi ketua Gagak Seto. Tentu engkau mau, bukan?"

Gajahpuro nampak terkejut dan heran. "Aku? Menjadi ketua Gagak Seto? Akan tetapi Gusti Puteri Niken........."

"Hemm, tidak mungkin aku menjadi ketua Gagak Seto, kakang Gajahpuro!" kata gadis itu.

"Dan ada andika di sini, kakangmas Budhidarma." bantah pula Gajahpuro.

"Aku tidak mungkin menjadi ketua Gagak Seto, adimas. Pertama, aku diangkat menjadi senopati muda oleh Kanjeng Gusti Prabu sehingga aku harus bertugas di kota raja. Dan kedua, aku sama sekali bukan murid Gagak Seto, tidak mengenal ilmu silat Gagak Seto. Engkaulah orangnya yang paling tepat menjadi ketua Gagak Seto, adimas Gajahpuro dan kuharap engkau tidak menolak lagi."

Karena dibujuk oleh Budhi dan Niken, dan melihat semua anggota Gagak Seto juga sudah setuju, akhirnya Gajahpuro menerima kedudukan sebagai ketua Gagak Seto.

Dengan gembira peristiwa itu lalu dirayakan oleh Budhidharma, dan setelah tinggal di Gagak Seto selama dua hari, Budhidharma lalu berangkat bersama Niken Sasi meninggalkan pegunungan Anjasmoro. Niken Sasi sengaja mengajak kekasihnya melewati Grojokan Kluwung dan ketika mereka lewat di situ, kebetulan sekali nampak pelangi melengkung indah di atas gerojokan.

"Di sanalah aku ditolong mendiang Bapa Guru Sudibyo, kakangmas Budhi." Kata Niken Sasi sambil menuding ke arah gerojokan { air mancur }.

"Bukan main indahnya tempat itu, diajeng. Dan kalau kuingat betapa aku datang ke pegunungan Anjasmoro ini dengan demdam yang membara........"

"Kasihan Bapa Guru. Dia seorang yang baik, kakangmas. Seorang yang gagah perkasa, namun gagal dalam asmara."

"Semoga asmara yang kutemukan di balik dendam membara ini tidak akan gagal, diajeng." kata Budhidharma.

Niken mengangkat muka, saling pandang kemudian mereka berangkulan dengan mesra, di bawah lengkungan Kluwung indah itu.

Sampai disini selesailah sudah kisah "Asmara di Balik Dendam Membara" ini dan harapan pengarang semoga kisah ini ada manfaatnya bagi kita semua. Sampai jumpa di kisah yang lain.



TAMAT
 
yesss..tamat juga akhirnya..
trnyata pangeran sepuh toh biang keroknya..

terimakasih banyak atas sharing ceritanya bang Rangga, banyak tatanan hidup yang bisa dikutip dari cerita suhu kho ping hoo ini...:jempol:

#sekali lagi hatur tengkiu dan tetap sharing d semprot brada..lwat cerita2 lain baik karya sendiri, maupun yang brada rekomend...:ampun:
 
wow, happy ending ya.. :)
 
Nantikan cerita selanjutnya, Cerita Lepas, lebih mengexplor tentang perasaan hati dan cinta, karya Suhu Kho Ping Hoo...
 
Baru baca cukup melelahkan tapi keseruannya pool :lol:
ada kata ganggu bang mungkin typo, seharusnya ketika malah ketiak.. Ad dibeberapa updatetan diawal.
Sekalian ngucapin congrats dah tamat plus sundul :lol:
 
Nantikan cerita selanjutnya, Cerita Lepas, lebih mengexplor tentang perasaan hati dan cinta, karya Suhu Kho Ping Hoo...



Karya Suhu besar Kho Ping Hoo memang luar biasa.. Ditunggu karya besar lainnya suhu..
 
Bimabet
Dengan titel tamat ini, sbg reader mengapresiasikanya dgn komen. Yaitu dengan 1 kata.
Sungguh sangat bagus tread diatas.
Trm ksh
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd