Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[CHALLENGE 2] Sang Mantan

sevenstrings

Kakak Semprot
UG-FR
Daftar
29 Jul 2011
Post
162
Like diterima
33
Lokasi
Hell's Gate : Now Open for Pleasure
Bimabet
ROCK tm. Production
Present :





Valentine? Hari kasih sayang? Cinta? Bunga? Cokelat? itu mainstream semua!!
Bagaimana jika kuganti dengan Benci? Luka? Pedang? Darah? apa kalian masih suka Valentine?

Bukan... bukan, ini bukan Valentine berdarah...

Ini hanya... um... apa ya istilahnya?
Tragedi...
tidak, lebih dari itu...
Ironi? juga bukan...
Dest... Destiny?

ahh, iya.. itu dia... takdir!! sebuah takdir yang mempermainkan kami

atau lebih tepatnya takdir yang memperlihatkan penyelesaiannya padaku dulu...


Ya... DULU...
 
Dulu aku suka padamu, dulu aku memang suka
ya ya ya
Dulu aku cinta padamu dulu aku memang cinta
ya ya ya


"Ihh, kamu tuh ya, sukanya lagu dangdut, kampung tau."

"Yeee biarin... yang penting kan goyangannya," jawabku sambil menggerakkan jempol tanganku berputar-putar.

"Dasar kamu ini." Aku melihat senyum Dina dari pantulan cermin rias di hadapannya. Dengan selembar handuk dia mengeringkan rambutnya. Pantulan bayangan cermin memperlihatkan dengan jelas kulit putih mulus yang menutupi daging menggumpal di bawah lehernya. Berhiaskan puting susu merah muda, payudara bulat memikat itu diinginkan setiap lelaki mesum yang melihat.

"Yang, ntar jadi ke supermarket kan?" Dina bertanya saat memoles bibirnya dengan lipgloss.

"Ke Marthyper atau ke Fourcare?"

"Terserah kamu aja sayang... yang penting hepi."

***X***​

Aku dan Dina melangkah berdua menyusuri rak-rak makanan instan. Dina bergelayut manja pada lengan kiriku, sementara aku mendorong troli yang sudah setengah terisi. Pengunjung supermarket melihat kemesraan kami. Mungkin mereka iri, atau menurut pandangan mereka mungkin aneh melihat Dina yang cantik dan 'girlie' dengan dress ungu yang dia gunakan berjalan bersamaku yang hanya memakai jeans yang robek di lutut dan baju kaos hitam bergambar band metal. Dina bagaikan putri yang berjalan dengan pengamen.

Handphone di kantong celanaku bergetar. Sebuah pesan terkirim ke handphoneku. Kubaca dan kubalas dengan cepat, agar troli belanja ini tidak menabrak sepasang anak kecil tidak bersalah yang berlarian melewati kami.

"Kamu smsan sama siapa yang?"

"Sama Andi, dia ngajak nonton bola minggu besok," jawabku

"Oww... aku diajak gak?"

"Emang sejak kapan kamu suka bola?"

"Aku sih gak suka bola, tapi aku suka sama kamu." Dina mengecup pipiku.

***X***​

"Gooooool! Tuh kan gw bilang juga apa, tim gw pasti menang," Andi berteriak keras di sampingku. Aku hanya tertunduk melihat tim bola kesayanganku kebobolan untuk kedua kalinya dalam lima belas menit. Waktu permainan tinggal lima menit, tipis harapan untuk menang. Hampir semua penonton yang memakai baju putih bergaris hitam sepertiku berwajah muram. Berharap cemas akan datang keajaiban di menit terkhir.

Seperti biasa, lima menit terakhir ditambah dua menit perpanjangan waktu terasa begitu cepat bagi tim yang tertinggal. Keajaiban tinggal harapan. Kemenangan tinggal kenangan. Tim kesayanganku kalah dengan skor 2-1 di kandang sendiri. Malam yang sial.

Andi yang mendukung tim lawan bersorak bersama penonton lain yang satu kubu dengannya. Mereka sibuk mengangkat gelas minuman masing-masing, bersulang di udara merayakan kemenangan timnya.

"Yang kalah, harus inget janjinya," kata Andi menepuk pundakku.

"Iye iye, gue tau."

***X***​

Dina mendesah tertahan saat lidahku menyentuh payudaranya. Kedua tangannya menjambak rambut pendekku. Tubuhnya memerah menahan gairah. Terlentang nyaris telanjang bulat di atas ranjang. Hanya secarik celana dalam melindungi selangkangannya dari pandanganku. Celana dalam merah menyala dengan bagian berenda pada sisinya.

Matanya nyaris terpejam menikmati tiap sentuhan pada titik rangsangnya. Dagunya terangkat, saat jariku menyentuh klitoris di balik celana dalamnya. Badan Dina menjadi panas dilanda badai birahi. Jeritan lirih terdengar sewaktu jariku memasuki lubang vaginanya. Lembab dan hangat kurasakan ditambah jepitan-jepitan kecil otot dinding vaginanya. Perlahan tapi pasti kugerakan jariku maju dan mundur. Setiap tusukan jariku, memaksa Dina mendesah.

Semakin cepat gerakan tanganku, semakin keras desahannya, semakin memburu nafasnya. Pinggulnya menghentak-hentak mendekatkan bibir vaginanya pada jariku. Hentakan pinggul membuat cairan vaginanya membasahi seprei. Saat sedang asik mesum, tiba-tiba...

JLEG. Handle pintu diputar dari luar. Dua orang laki-laki tanpa basa-basi masuk dengan cepat ke dalam kamar. Bagai disambar petir Dina panik mencari selimut untuk menutup tubuh montoknya. Andi masuk bersama seorang teman kami, Aldo.

Dina melihatku, tak satu katapun keluar dari mulutnya walaupun ekspresi wajahnya menunjukan risih dan marah. Aldo memberikan sebuah kamera digital padaku sambil berkata, "loe yang rekam ya..." Sementara Andi, bergegas melepas pakaiannya. Dina makin kebingungan dengan kondisi itu.

Aldo pun membuka semua pakaiannya. Dina mendelik kepadaku seraya menunjuk pada mereka berdua. "Mereka ngapain?" Dina bertanya kebingungan melihat dua orang laki-laki bertelanjang di kamar ini. Aku tak mampu menjawab pertanyaan Dina. Ini diluar rencanaku. "Kalian! Ngapain buka baju segala? pergi! pulang!" Dina melempar bantal kepada Aldo dan Andi yang mulai mendekat ke ranjang.

"Tenang Din, kalem aja napa? Enak kok di gang bang sama kami," dengan santainya Andi berkata seperti itu.

"Hah?? Apa!? Gang bang?? Enak aja, loe piker gue cewe apaan, hah!"

"Lho? bukannya loe udah setuju? kata dia loe mau," Aldo mengucapkan itu saat menunjuk hidungku.

Aku memandang mereka bergantian. Dina, Aldo kemudian Andi dan aku menggeleng pelan.

"Ahh gimana sih loe? kan udah kalah taruhan kemaren. Kesepakatannya kalo tim loe kalah, kita bisa 'maen' sama Dina."

Dina menutup mulutnya yang terbuka. Wajahnya memerah, air matanya mengalir turun membasahi pipi. Andi yang tak perduli pada kondisi itu, mulai membentak Dina. "Loe itu taruhannya, loe harus ngelayanin kita berdua!" Andi berteriak yang di balas dengan satu kata oleh Dina, yaitu "bangsat!"

Andi meloncat ke ranjang mencoba menindih tubuh mulus Dina. Dengan sigap Andi memegang kedua tangannya namun Dina tak tinggal diam. Dia berusaha sekuat tenaga memberontak. Berteriak dan meronta sekuat tenaga hingga kulit putihnya berubah kemerahan. Aldo yang melihat Andi kerepotan segera turut membantu

Aku melihat pemberontakan Dina dengan mata kepalaku sendiri. Aku tak kuasa menolong. Sebenarnya bukan tak mau, namun aku sedikit terangsang melihat reaksi penolakan Dina. Tubuhnya meronta saat kedua tangan Aldo meremas payudaranya dari belakang dengan keras, hingga meninggalkan bekas tangan merah. Air matanya terus mengalir. Tangis berampur teriakan caci maki. Wajah frustasi itu.

Selang lima menit, setelah dua tamparan, satu jambakan, beberapa remasan payudara dan gosokan pada selangkangannya, Dina tampak berhenti berontak. Hanya tersisa tangis dan caci maki. Bangsat, anjing, keparat dan beberapa makian laknat keluar silih berganti dari bibir manisnya. Walaupun memaki, hei, tubuhnya melemas, matanya menjadi sayu, persis beberapa menit yang lalu saat aku memainkan vaginanya.

Jantungku berdegup kencang, darahku berdesir. Tiap pompaan jantungku amat terasa mengalir ke seluruh tubuh, terutama selangkanganku. Dina mulai merespon rangsangan Aldo pada payudaranya. Walaupun meremas dengan kencang, remasan Aldo sukses membuat Dina mendesah.

Aku menghidupkan kamera pemberian Aldo. Momen seperti ini sangat sayang untuk disia-siakan. Kapan lagi aku melihat Dina dirangsang orang lain?

Dina menggeleng saat Andi berdiri dan menyodorkan penisnya yang berdiri tepat di depan wajahnya. Andi memaksanya untuk oral sex. Dina bertahan menutup rapat mulutnya walaupun Andi menamparnya. Air mata Dina kembali mengalir.

Aldo tak kurang akal. Dia memainkan klitoris Dina. Dengan cepat klitoris pacarku itu digosok dengan jarinya hingga Dina tak dapat menahan jeritannya. Hanya beberapa detik, jeritan Dina menjadi tertahan. Bibirnya yang sexy dimasuki penis Andi yang sudah keras. Andi menjambak rambut Dina dengan kedua tangannya. Kepala Dina ditahan begitu seluruh batang penisnya masuk ke dalam mulut. Dina terbatuk dengan suara tercekik. Mulutnya membuka lebar, megap-megap untuk mengambil nafas bagaikan ikan di luar air.

Dina berontak, dia mencoba melepaskan kepalanya dari tangan Andi, namun jambakan Andi jauh lebih kuat. Dengan penis yang dipaksa masuk ke dalam mulutnya, tanpa sadar air liurnya menetes dari pinggir bibirnya yang terbuka lebar. Ditambah kulit putihnya yang memerah menahan emosi dan hasrat, sungguh pemandangan yang luar biasa.

Aku men-zoom wajah Dina. Dengan ekspresi jijik dia mengulum penis Andi. Tangannya bertumpu pada paha Andi, berusaha keras mendorong wajahnya dari selangkangan Andi. Tiba-tiba Aldo menarik mundur pinggul Dina. Posisi Dina menjadi bertumpu pada lututnya dengan wajah masih berada di depan Andi. Aldo menggenggam penisnya dan mengarahkan pada bibir vagina Dina. Teriakan tertahan keluar dari mulut Dina saat Aldo memaksa memasukan penisnya dari belakang. Dina menjerit-jerit dan menangis begitu vaginanya dimasuki penis Aldo.

Seluruh penis Aldo masuk ke dalam vagina Dina begitu Aldo menghentakan pinggulnya. Aldo menggoyang perlahan. Dina mau tak mau mengayunkan tubuhnya mengikuti irama goyangan Aldo. Saat Aldo menggoyang ke depan, penis Andi masuk semakin dalam di mulutnya dan saat Andi menggoyang ke depan, penis Aldo menghujam vaginanya.

Tangisan Dina berubah menjadi suara "Ughh" pendek yang berulang ulang. Goyangan Aldo semakin cepat, Dina berusaha mengimbanginya. Andi kini tak lagi menjabak rambut Dina. Tampaknya Dina yang terbuai oleh birahi dengan suka rela menghisap penis Andi.

Aku berjalan ke belakang Aldo, terekam di kamera, cairan vaginanya merembes di paha putih Dina. Kuturunkan sedikit kamera untuk mendapat angle lebih baik. Benar saja, dapat kurekam penis andi memasuki vagina basah Dina yang berwarna putih kemerahan. Aldo dengan sengaja menurunkan tubuhnya menempel pada punggung Dina, membuat sudut rekamku menjadi lebih baik.

Tangan Dina kini bertumpu di ranjang. Posisinya benar-benar doggy style yang sempurna. Sementara vaginanya di hujam dengan cepat oleh penis Aldo, mulutnya sibuk bermain dengan penis Andi. Ya, bermain penis Andi. Dina tenggelam dalam nafsunya, mungkin dia telah lupa tadinya memaki dan mengataiku binatang. Kini dia melenguh dan mendesah tertahan menikmati dua penis laki-laki yang mengisi kedua lubangnya. Walaupun kali ini dia berkata 'tidak', tapi reaksi tubuhnya di video rekamanku tak bisa dipungkiri. Dina ingin dipuaskan oleh kedua temanku.

Andi penisnya dihisap oleh Dina, mulai menggerang. Tangannya kembali menjambak rambut Dina. Ekspresi wajahnya kaku, seperti menahan sesuatu. Dugaanku Andi tidak dapat bertahan dari permainan lidah Dina. Benar saja, tak beberapa lama, Andi menarik kepala Dina menempel pada pinggulnya. Dina membuka mulutnya lebar-lebar. Setelah beberapa hentakan, tampak sperma menetes di sudut bibir Dina. Andi terhuyung ke belakang, tubuhnya limbung dan jatuh ke ranjang. Dengan jarinya, Dina membersihkan sisa sperma di mulutnya. Ekspresinya begitu menggoda saat dia menjilati sperma di jarinya dan melihat ke arah kamera. Sial, dia memprovokasiku.

Aldo mendorong kepala Dina menempel di ranjang saat dia mempercepat gerakan pinggulnya. Dina pun tak mau kalah, dengan bertumpu pada lutut dia memundurkan pantatnya menempel pada pinggul Aldo. Suara desahan keduanya semakin menjadi. Seakan mereka lupa sedang bercinta di kamar kostku.

Aldo menepuk pantat mulus Dina. Bekas merah tangan Aldo menghiasi pantat putih Dina. Pemilik pantat bulat itu menikmati perlakuan Aldo. Setiap tepukan ke pantatnya, Dina mengerang sexy seperti di film porno jepang. Tiba-tiba Aldo berhenti dan meminta Dina membalik badannya. Dina berbalik dan terlentang di ranjang, kakinya mengangkang, kedua tangannya menempel dan meregangkan bibir vaginanya. Aldo tak menunggu lama melihat pose menantang Dina. Tanpa basa-basi dia memasukan penisnya ke dalam vagina Dina diiringi lenguhan penuh nafsu keduanya. Kembali Aldo menggoyangkan pinggulnya. Kaki Dina menjepit punggung Aldo dan pinggulnya ikut bergoyang.

Tanpa sadar Dina mulai meremas payudaranya sendiri. Remasannya keras sehingga meninggalkan bekas merah di payudaranya. Sesekali tangannya menggosok klitorisnya cepat-cepat. Dina sudah tak terkendali. Mulutnya mulai memaki, namun kali ini sedikit berbeda. "Cepetan bangsat! Loe mau memek gue kan? Ayo goyang yang cepet!" Suara Dina memenuhi seluruh ruangan. Makian dan erangannya keluar bergantian tanpa jeda.

Aku mendekati mereka, mengambil angle pertemuan alat kelamin mereka. Penis Aldo tampak licin berkilat keluar masuk dengan cepat vagina Dina. Titik-titik air tampak menempel di bulu vagina Dina. Payudara Dina yang bergoyang-goyangpun tak lepas dari tangkapan kameraku. Bergantian aku menyorot wajah keduanya. Raut wajah mereka berdua sama, raut wajah orang yang sedang berjuang menggapai kepuasan.

Tiba-tiba Dina melakukan gerakan yang aneh. Kakinya menjepit pinggul Aldo erat-erat, pinggulnya terangkat tinggi. Ado merespon dengan membungkukkan badannya dan menghisap leher Dina. Tangan Dina menahan lututnya, membuat pantat dan pinggulnya terangkat makin tinggi. Dina menyemangati Aldo untuk bergerak lebih cepat. Nafasnya pendek-pendek seperti orang sakit asma. Perkataannya terpotong-potong. Hingga sesaat kemudian, "aaaaaaaaaahhhhhhhhhh! Bangsaaaaaaaaaaaaaaaaat!" Dina berteriak panjang sambil memukul-mukul lengan Aldo. Nyaris bersamaan, Aldo mendorong pinggulnya dalam-dalam pada Dina.

Keduanya diam tak bergerak, mempertahankan posisi terakhir mereka. Dina yang terlentang dengan pantat terangkat dari ranjang sementara kakinya mengait erat pinggang Aldo yang sedang bertumpu pada lutut dan kedua tangannya. Hanya suara nafas keduanya yang kudengar. Selain itu, sunyi.

***X***​

Sejak kejadian itu, Dina marah padaku. Dia menjadi lebih murung dan pendiam. Dengan rayuan dan bujukan akhirnya dia mau memahami keadaaanku dan akhirnya aku dimaafkan dengan sukses. Dina memaafkanku tapi dengan syarat, dia tidak mau bertemu dengan Aldo maupun Andi untuk kedua kalinya, akupun tidak boleh bergaul dengan mereka lagi dan tidak mau menjadi objek taruhan lagi. Aku menyanggupinya karena akupun tak mau terulang hal itu lagi. Dina kembali ceria dan sepertinya tidak mengalami trauma akibat 'kubagi' dengan teman-temanku. Namun satu hal yang agak berat, dia selalu menolak ajakanku untuk berhubungan badan.

Sebulan kemudian Dina mulai kembali sibuk dengan kuliahnya yang baru memulai semester baru. Akupun sibuk mencari inspirasi untuk melanjutkan cerita bersambung yang diterbitkan setiap hari minggu di koran ibu kota demi beberapa lembar uang bergambar tokoh proklamasi. Ya, aku menyambung hidup dengan mengirim tulisanku ke majalah dan koran.

Dina tidak pernah protes ataupun meminta kemewahan dariku. Selain mengerti keadaan ekonomiku, orang tuanya mengirimkan biaya kuliah lebih dari cukup untuk biaya hidupnya sebulan. "Gak pa pa kita hidup dari bawah, yang penting kamu mau berjuang buat aku," begitulah kelakar Dina.

***X***​

Sore itu hujan rintik turun membasahi bumi. Aku mendengarkan radio sambil tiduran dan menulis kerangka pada buku catatanku. Berkali-kali aku menulis kalimat, berkali-kali pula aku mencoretnya. Otakku seakan buntu, inspirasi seakan luntur bersama turunnya hujan. Saat sedang asiknya mencoret, tiba-tiba terdengar suara gerbang kos dibuka diikuti dengan suara mobil. Aku bangun dan menengok ke halaman. Tidak biasanya ada mobil masuk ke dalam area kos. Sebuah mobil hitam keluaran baru mematikan mesinnya tepat di depan kamarku. Pintu mobil terbuka, Dina keluar dari dalam mobil dan berlari ke depan kamarku diikuti oleh si pengendara mobil tadi.

"Ayo sini masuk, maaf kamarnya berantakan," Dina mengajak pengendara mobil itu masuk ke dalam kamar. "Yang, kenalin, ini temen kelasku. Kita mau bikin tugas bareng, gak pa pa kan?"

Orang itu menyodorkan tangannya padaku, "saya Mita," gadis itu memperkenalkan dirinya.

"Iya." Kusambut uluran tangan Mita dan tersenyum.

"Tar ya Mit, aku bikinin teh," kata Dina saat berjalan ke dapur.

"Gak usah repot-repot Din."

"Enggak kok, kan aku yang udah ngerepotin kamu bantuin tugasku."

Dina berlalu ke dapur. Untuk beberapa saat terjadi kecanggungan antara aku dan Mita. Tiga semester Dina kuliah tapi baru kali ini dia membawa temannya datang ke kos.

"Abang suaminya Dina?" Mita bertanya tanpa basa-basi padaku memecah kesunyian.

Aku tersenyum mendengar dia memanggilku 'abang'. Baru kali ini ada orang yang memanggilku seperti itu. "Enggak, kita masih pacaran," jawabku.

"Owww..." Mita mengangguk. Beberapa saat kesunyian kembali terjadi. Mita melihat detail kosku. Kamar kosku cukup luas, hanya sebuah lemari, kasur tanpa ranjang, radio dan tv yang menjadi isinya. Beberapa foto menempel di dinding kamar yang bercat putih. Selembar karpet plastik berwarna biru sengaja kami gelar di tengah ruangan karena kami sepakat tidak membeli kursi agar kamar lebih lega.

Dina datang dari dapur membawa sebuah nampan dengan dua mug besar di atasnya. Dina menaruh satu mug di depan Mita dan memegang sebuah lagi di tangannya. Kedua gadis ini mulai berdiskusi tentang kuliah mereka. Tidak lama, berlembar kertas, laptop dan tiga buku berserakan di atas karpet biruku. Aku tak mengerti bahasan diskusi mereka berdua, saat hujan mulai reda aku mengambil jalan tengah. "Yang, aku ke depan bentar ya, mau cari rokok."

***X***​

Dina mulai sering membawa temannya untuk mengerjakan tugas kuliah bersama temannya di kos. Terkadang Dina yang pergi ke rumah temannya hingga petang. Sesekali teman kuliah Dina mampir ke kos untuk mengambil ataupun mengantar buku, berkas maupun flashdisk saat Dina tak ada di rumah. Kuliah Dina tampak lancar-lancar saja hingga suatu kali Mita datang untuk mengambil bukunya yang tertinggal tempo hari dan...

"Makasi ya bang."

"Iya, sama sama. Kamu gak nunggu Dina balik?"

"Gak usah, bang. Saya cuma bentar kok."

"Ohh, ya udah. Hati-hati di jalan ya."

Mita tak mengucapkan kata perpisahan maupun beranjak dari tempatnya. Dia diam mematung dan memandangku lekat-lekat. Kakinya bergerak-gerak. Berkali-kali dia menggaruk kepalanya.

"Kamu... um... gak jadi pulang?"

"Sebenernya, Mita mau ngomong... tapi Mita takut..."

"Ngomong apa? Kenapa harus takut?"

"Mita takut abang marah sama Mita."

Pernyataannya barusan membuatku enasaran. "Emangnya aku marah kenapa?"

"Abang tau Hari?"

"Tau, emang kenapa sama si Hari?"

"Abang tau dua minggu ini Dina jalan lagi bareng Hari?"

"Oh ya? Dia gak pernah bilang sama saya."

"Berarti bener kecurigaanku...." Mita menghentikan ucapannya.

"Kecurigaan apa Mit?

"Aku kan sering tuh nganter Dina pulang, tapi akhir udah dua minggu ini dia kalo pulang dijemput sama orang pake motor gede. Nah, temen-temen kan penasaran, biasalah cewe kan sukanya kepo. Jadi ya kita liatin siapa yang jemput. Pertama kirain abang yang jemput, eh taunya bukan. Trus Dina pernah juga kita liatin makan bareng di warung depan kampus sama cowo. Mereka suap-suapan gitu, mesraaaa banget..."

"Suap-suapan?"

"Iya, waktu itu bukan cuma aku yang liat, pas kebetulan aku disana sama Ratna."

"Trus kamu liat apa lagi?"

"Tar dulu, bang. Nah, abis kita liatin itu, besoknya aku tanyain sama Dina. Awalnya dia gak mau jawab, ujung-ujungnya baru kita tau kalo cowo itu namanya Hari."
"Tampang cowo itu kek mana?"

"Orangnya putih, rambutnya lurus, agak berotot trus agak pendek. Kayanya tinggian Dina deh sama tu cowo."

"Trus?"

"Um..." Mita tampak berpikir sejenak, "hidungnya gakmancung juga gak pesek. Udah itu aja kayanya."

"Iya bener itu, itu yang namanya Hari."

Hari, lelaki yang dulu pernah menjadi tambatan hati Dina. Namun karena Hari bukan tipe laki-laki setia, Dina meninggalkannya setelah mengetahui Hari berselingkuh untuk ketiga kalinya. Dulu dia selalu menangis jika melihat barang pemberian, foto kenangan, bahkan hanya mendengar nama Hari membuat Dina murung seharian. Saat itu, aku berusaha keras menghiburnya. Taktik menjadi pahlawan kesiangan itu kujalani selama enam bulan sebelum aku bisa membuat hati Dina move on padaku.

Beberapa kali Mita melihat Dina berjalan bersama Hari. Kemesraan yang mereka tunjukan sudah melewati batas hubungan antara mantan pacar. Malah dari foto-foto di handphone Mita, Dina dan Hari seperti sepasang kekasih yang dimabuk cinta. Mita sering menyatakan simpatinya padaku. Dia sudah menyarankan padaku untuk membicarakan hal ini pada Dina. Tapi aku tidak tega. Aku terlalu menyayanginya.

Semakin hari Dina nyaris tak peduli padaku. Kemesraan hambar yang kami tunjukan jika ada waktu bersama hanya untuk melanjutkan hubungan. Aku tahu hubungan ini sudah tidak sehat. Dinapun mulai berubah sikap. Hidupku jadi makin tak terurus. Dina sering mengirim pesan singkat untuk menyuruhku makan. Tapi pesan hanya sebatas pesan, bukan nasi yang bisa membuat perutku kenyang. Mita yang mengetahui keadaan ini, sering merasa kasihan padaku dan membawakan makanan. Kadang jika Dina pulang larut, Mitalah yang memasak di kosku.

Malang tak dapat di tolak, untung tak lari kemana. Sikap cuek Dina dan perhatian berlebih Mita yang datang pada saat bersamaan membuat orientasi hatiku berubah haluan. Datar, begitulah kata yang tepat untuk menggambarkan suasana hatiku saat bersama Dina. Berbanding terbalik jika Mita datang ke kosku, aku jadi merasa kehadirannya menambah hidup. Perasaan yang sama kurasakan dulu saat awal aku menjalin hubungan dengan Dina.

***X***​

"Sayang, makasi ya, tadi enak banget. Aku gak pernah ngerasain yang kaya gitu." Itulah kalimat pertama yang kudengar saat aku terbangun. Kulihat Mita yang berbaring di dadaku tersenyum manis.

"Sama-sama sayang. Aku juga enak kok," aku mencium keningnya. "Dari tadi kamu ngeliatin aku bobo ya?"

"Hehehhe, iya sayang," jawab Mita cengengesan. "Aku mandi dulu ya, takutnya tar lagi dia pulang."

"Um... satu ronde lagi boleh ngak?"

"Huu, nakal. Ini udah jam tujuh lho. Tar kalo dia balik bisa jadi perang dunia nanti."

"Iya deh, iya." Dengan berat hati kurelakan tubuh telanjangnya bangun dari pelukanku.

"Ohh iya, hampir lupa," dia membuka tasnya dan mengambil sesuatu. Kedua tangannya tersembunyi di belakang punggung saat dia mendekatiku. "Yang ini buat Dina," Mita menyerahkan sebuah flashdisk berwarna pink padaku dengan tangan kirinya. "Trus yang ini buat kamu sayang," kata Mita saat memberikan sebuah kotak kecil berwarna hitam. Kotak itu berhiaskan pita putih berbentuk bunga. "Buka aja dulu," kata Mita begitu melihat kebingungan di wajahku.

Aku membuka kotak hitam itu. Di dalam kotak itu, terdapat sebuah jam tangan besi berwarna hitam dengan merk Lolex.

"Astaga," tanpa sadar mulutku terbuka lebar, "makasi banyak sayang."

Mita mengecup pipiku dan berkata, "happy valentine's day"

***X***​

"Yang, tadi Mita ada dateng gak?"

"Dateng... dia nitip flashdisk buat kamu." Aku memberikan flashdisk Mita padanya.

"Makasi sayang," Dina mencium pipiku dan mengambil flashdisk itu. "Besok aku mau nginep di tempat Ratna ya. Soalnya kelompokku disuruh bikin presentasi ekologi perairan. Aku satu kelompoknya ama Ratna. Gak pa pa kan kamu sendirian besok?"

"Berapa hari?"

"Sehari aja kok sayang, boleh ya? Pleaaaaaseee..."

"Iya boleh kok," jawabku sambil menjawab sms dari Mita

***X***​

"Jadi hari ini kalian gak ada kuliah ekologi perairan?"

"Kuliah dari Hongkong? Kita jurusan pariwisata. Ayang ni mau maunya diboongin sama Dia. Tadi kan udah nelepon Ratna juga, gak ada dia janjian belajar sama Ratna. Kalo perkiraanku ni ya, dia pergi sama..."

"Hari," aku memotong ucapan Mita. Darahku mendidih menahan emosi, Dina sudah bertindak terlalu jauh. Aku duduk diam memikirkan jalan hubunganku dengan Dina. Mita mendekat dan memelukku.

"Udahlah sayang... kamu putusin aja Dina. Kan ada aku..."

Aku menoleh pada Mita, menatap matanya dalam dan bertanya, "emangnya kamu mau? Kamu tau kehidupanku kayak gini. Kamu tau aku gak bisa ngasi kamu apa-apa. Duit gak punya, makan susah."

"Aku mau... aku sayang sama kamu... uang gak masalah, aku bisa minta kiriman lebih dari orang tuaku. Mereka pasti ngasi kalo aku bilang butuh buku kuliah. Yang penting aku bisa sama kamu, jadi pacarmu, bukan selingkuhan kaya gini."

"Kamu gak malu? Kamu tau kan keadaan kita? Cepet ato lambat nanti orang-orang pada tau lho."

Mita tak menjawab. Dia hanya tersenyum dan mendekatkan wajahnya padaku. Dengan lembut dia mencium bibirku. Badannya menindihku jatuh ke atas karpet. Bibir kami perpagutan, saling menghisap penuh nafsu. Mita dengan mudahnya membuat hasratku membara dan membuat pikiranku lebih mudah untuk membuat keputusan, memutuskan Dina.

***X***​

Aku tersentak karena rasa perih di pipiku. Sebuah benda menghantam tubuhku dan mental membentur dinding. Setengah sadar aku melihat Dina menujuk ke arahku.

"Bangsat loe dua ya! Anjing loe pada!" Dina menghantam kepalannya padaku. "Gini kerjaan loe waktu gue gak ada! Bangsat!" Dina melempar tasnya ke sebelahku dan mengenai Mita yang menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut.

Mita bersandar di dinding dan menangis sesenggukan. Tak mampu berkata sepatah katapun. Dina berteriak keras memaki kami berdua. Akupun hanya diam melihatnya mengamuk dan menangis. Barang-barang di kamar dilemparinya secara membabi buta. Sambil bersungut, Dina mengemasi pakaiannya di lemari.

"Kamu mau ngapain?"

"Aku pergi! Aku gak tahan lagi!"

"Din... " aku bangun menahan sebelah tangannya.

"Apa sih!" Dina mendorongku menjauh. Sebuah dorongan yang membuatku sadar bahwa hubunganku dan Dina telah berakhir malam itu.

***X***​

"Sayang, aku beliin kamu McRonald nih," sapaku pada Mita begitu aku membuka pintu kamar. Mita senang begitu aku muncul di depan pintu. Serta merta dia memelukku. Hari ini aku mendapat bayaran untuk ceritaku yang terbit minggu lalu. Sengaja aku singgah membelikan Mita makanan sebelum pulang.

"Yang... kamu kesini sama..." Mita mundur beberapa langkah, matanya mendelik memandang ke belakangku. Reflex kuputar badanku. Tiba-tiba sebuah pukulan menghantam tepat di mataku, membuat semuanya gelap.

***X***​

Teriakan melengking membuatku terbangun. Kaget kulihat Mita berdiri dengan tangan tergantung beberapa meter di depanku. Kedua kakinya diikat tambang hingga pahanya membuka lebar. Tubuhnya telanjang bulat penuh bekas luka. Mita menangis menunduk. Dina berdiri disebelah Mita memegang sebatang rotan. Tanpa perasaan Dina memukulkan rotan ke perut Mita. Teriakan melengking kembali menggema. Teriakan kesakitan Mita.

Bangsat! Aku segera bangun untuk menghentikan Dina namun tubuhku tak bisa bergerak bebas. Emosi membuatku ceroboh dan tidak menyadari keadaan. Baru kusadari aku tak memakai pakaian, tangan dan kakiku terikat di dinding. "Dina, stop!" Aku berteriak keras pada Dina namun dia malah tersenyum dan berjalan menuju meja di ujung ruangan. Meja itu penuh dengan perkakas. Dina mengambil stun gun dan mendekati Mita. Aku memikirkan kejadian terburuk, Dina akan menggunakan alat itu untuk menyiksa Mita. Benar saja, selang beberapa detik teriakan Mita kembali terdengar. Dina menyetrum payudara Mita menggunakan stun gun.

"Sialan loe Din! Dasar perek kurang ajar! Sini loe kalo, agghhh!" tak sempat aku menyelesaikan makianku karena sebuah benda panas menyentuh lengan kananku. Aku melihat lenganku, sebuah tongkat besi dengan ujung merah menyala ditempelkan disana. Panas dan pedih kurasakan. Tak lama tongkat besi itu ditarik dan di tempel ke leherku. Rasa sakit ini membuatku berteriak.

Dina tertawa keras melihatku menderita. "Gimana? Enak?" dia bertanya seolah aku menikmati kesakitanku. Dina memberi kode pada orang di sampingku. Orang itu berjalan memunggungiku ke arah meja dan mengambil sebuah parang. Dengan sebilah parang di tangannya dia mendekati Mita. Aku mengenal orang itu, itu Hari.

"Kamu harus lihat yang ini," Dina berkata padaku.

Hari mengangkat parang dengan kedua tangannya dan mengarahkannya pada Mita. Aku ngeri memikirkan apa yang akan dilakukan hari pada Mita. Aku menutup mataku rapat.

Bugh! Terdengar suara benda jatuh di tanah diikuti suara tawa Dina. Perlahan aku membuka mata. Yang kupikirkan tidak terjadi. Kusangka Hari akan menghujam parang itu pada Mita, ternyata dia hanya memotong tali pengikat tangan Mita. Hari juga memotong tali yang mengikat kaki Mita. Apa mereka akan membebaskan Mita?

Lagi-lagi dugaanku salah. Hari mengambil sebuat tongkat pramuka. Tangan dan kaki Mita diikat menjadi satu pada tongkat yang membuat Mita terlentang dengan tangan dan kaki terangkat ke atas. Hari berlutut di depan kepala Mita dan menurunkan retsleting celananya. Hari mengeluarkan penisnya dan mengangkat kepala Mita. Laknat! Hari memaksa Mita mengoral penisnya. Mita lemah lunglai tak mampu melakukan penolakan.

"Anjing! Banci! Sini loe lawan gue!" Aku memprovokasi Hari agar menjauhi Mita.

Dina mengambil sesuatu dari atas meja dan berjongkok di sebelah Mita. Tangan kanannya mendorong benda itu pada selangkangan Mita. Benda itu dildo. Mita mengerang tertahan saat Dina menjejalkan dildo berwarna cokelat ke dalam vaginanya. Beberapa detik kemudian, terdengar suara 'bzz bzz bzz' dari arah Mita. Dina menghidupkan dildo elektrik yang mengganjal vagina Mita. Dina menggeser tubuh Mita sehingga selangkangannya berada di depanku. Sebuah dildo lagi dijejalkan pada anus Mita yang membuatnya kembali menjerit kesakitan.

"Gimana? Bagus kan pemandangannya?"

"Perek loe Din! Mita gak salah, gue yang salah! Gak punya otak loe emang."

"Ow... jadi kamu mau?" Dina membawa sebuah kantung hitam dari meja dan mendekatiku. Dia mengeluarkan dua buah penjepit besi dan berkata sambil menjambak rambutku, "sekarang kamu cobain mainanku." Dina dengan kasar menjepit putting payudara kananku. Aku merasakan sakit luar biasa. Gigi penjepit besi itu melukai putingku. Rasanya seperti digigiti tikus.

"Cakit ya cayang? Aduuw kaciiiiaaaan. Cini-cini ama Dina." Telapak tangannya bergerak cepat menampar pipiku. Tak cuma sekali, berkali-kali dia menamparku hingga kedua pipiku terasa menebal. "Cayang, kalo udah cakit, bilang ya. Nanti Dina kaci yang enak lho." Dina menarik dan memuntir putingku yang tak terjepit.

"Ugh," aku menahan teriakanku, aku tak mau Dina merasa menang. Kembali Dina mengambil sebuah jepitan besi dan kali ini payudara kiriku yang menjadi sasaran. Aku memejamkan mata menahan sakit. Air mata tak dapat kutahan mengalir perlahan membasahi pipi. Darah menetes dari kedua putingku namun aku masih bertahan. "Cuma segini Din? Khehehe... Perek kaya elo gak bisa bikin gue sakit!" entah setan apa yang merasukiku, aku malah menantang Dina. Aku frustasi, aku sadar tidak bisa bertahan lama dari penyiksaan Dina. Minimal jika aku mati, kematianku tidak membuatnya terpuaskan.

Dina bereaksi, wajahnya memerah, wajahnya menunjukkan kejijikannya padaku. "Loe..." Dina mengepalkan tangan di depan wajahku.

"Iya, kenapa gue?"

"Aaaaaaaaaaargh!" Dina berteriak penuh emosi, belari mengambil parang di dekat Hari dan...

Jleab! Parang itu menancap di perut Mita.

"Loe liat ni May! Loe liat!" Dina melakukan dua buah tusukan tambahan pada badan Mita yang lunglai. "Anjing loe Maya!" Jleb! "Kenapa loe lebih milih lonte ini daripada gue!?" Dina melakukan sayatan panjang pada perut Mita dan menarik ususnya dengan paksa. "Nih! Makan Nih! Loe sayang sama dia kan!?" teriak Dina saat menjejalkan gulungan usus penuh darah di wajahku.

"Hooooeeekkk!" Bau darah segar dan rasa jijik tak mampu kutahan saat usus Mita menyentuh wajahku. Belum hilang mual yang kurasakan. Dina mendekati Mita yang bersimbah darah dan menyayat payudara Mita. Dina melakukannya dengan dingin dan kasar. Mita berontak sekuat tenaga, tubuhnya meronta tapi tindihan Dina lebih dari cukup untuk menahan Mita. Darah memenuhi dada Mita saat Dina memotong putus daging di dadanya. Kulihat tangan Mita gemetar hebat. Badannya kejang seperti ayam yang baru disembelih.

"Makan nih, makan! Loe lebih suka toket itu kan!? Makaaaaan!" Dina sekali lagi membuatku muntah akibat memaksa gumpalan daging payudara Mita masuk ke mulutku. "Enak kan? Enak? Lesbi bangsat loe!" Dina menamparku lagi.

"Khehe... mending gue lesbi... Daripada loe, jadi pereknya si Hari."

Dina mendelik padaku dan mengayunkan parang itu ke arah tubuhku. Parang ayunan Dina mengenai rusuk kiriku dan membuatku berteriak kesakitan. Dina menarik parangnya, namun parang itu tersangkut pada tulang igaku. Dina tak mau menyerah, dia menggoyangkan parang itu seakan tidak sedang tersangkut pada tubuh manusia. Beberapa kali tarikan baru parang itu lepas. Dina mengayunkannya lagi. Ayunan kedua mengenai pahaku. Aku melihat luka melintang terbuka dengan darah yang mengucur deras disana. LAgi-lagi aku hanya bisa memaki Dina dan hal ini membuat Dina semakin marah. Dia menarik putting kiriku sekuat tenaga dan mengirisnya dengan satu gerakan.

"Anjing loe bangsat! Lepasin gue, lepasin!" aku sudah tak tahan. Aku menangis sekuat-kuatnya. Perbuatan Dina kali ini benar-benar menyerang mentalku.

"Lepasin? Emang loe kira cuma segini doing hah?" Dina memainkan sisi tajam parangnya di kulit tanganku.

"Bunuh... bunuh aja gue Din... bunuh gue!" itulah satu-satunya yang terpikir olehku. Lebih baik aku mati daripada dimutilasi hidup-hidup.

Dina menyeringai kejam dan menggores-gores tanganku. Tiap goresan terasa sangat menyakitkan. Setelah puas membuat goresan pada kedua tanganku, Dina bicara panjan lebar tentang hubungan kami dulu sambil sesekali menghujamkan parang itu ke paha dan tubuhku. Payudara kananku tak lolos dari kekejaman Dina. Dia memotong putingku dan memaksaku memakannya.

Tubuhku terasa lemas dan kesemutan. Pandanganku mulai kabur. Celoteh Dina pun mulai samar. Sekujur tubuhku gemetar. Ingin rasanya semua ini berakhir cepat. Aku berdoa, jika umurku harusnya masih panjang, ambilah aku sekarang, aku rela.

JLEB!

***X***​

"Sayang, kamu gak pa pa kan?" Itulah kalimat pertama yang kudengar saat aku terbangun. Nafasku seperti orang habis berlari. Kulihat Mita memandangku dengan raut wajah khawatir. Aku melihatnya lama, apakah ini mimpi? Mita, tadi sudah...

"Kamu gak pa pa kan sayang?" Mita mengulang kembali pertanyaannya tadi. "Aku jadi takut kalo kamu kaya gini."

"Hah? Ngak kok, aku ngak pa pa. Cuma mimpi buruk aja."

"Beneran gak pa pa kan?" Mita memastikan sekali lagi.

"Iya... Cuma mimpi kok yang."

"Kalo gitu aku mandi dulu ya, takutnya tar lagi dia pulang."

"Siapa?"

"Dina. Ini kan udah jam 7, tar jam 8 dia pulang lho. Kalo ketauan bisa berabe." Mita berjalan ke kamar mandi namun tiba-tiba dia menghentikan jalannya. "Ohh iya, hampir lupa," dia membuka tasnya dan mengambil sesuatu. Kedua tangannya tersembunyi di belakang punggung saat dia mendekatiku. "Yang ini buat Dina," Mita menyerahkan sebuah flashdisk berwarna pink padaku dengan tangan kirinya. "Trus yang ini buat kamu sayang," kata Mita saat memberikan sebuah kotak kecil berwarna hitam. Kotak itu berhiaskan pita putih berbentuk bunga. "Buka aja dulu," kata Mita begitu melihat kebingungan di wajahku.

Dengan sangat perlahan aku membuka kotak hitam itu. Di dalam kotak itu, terdapat sebuah jam tangan besi berwarna hitam dengan merk Lolex.

"Astaga," tanpa sadar mulutku terbuka lebar. Aku ngeri setengah mati melihat isi kotak hitam itu.

Mita mengecup pipiku dan berkata, "happy valentine's day, Maya."



TAMAT
 
Terakhir diubah:

Credit :

Writer : Sevenstrings

ProofReader : Apel Beracun. Spezza. Willdick. Andreejf. Reditya. Elmooscreamoo. Cath. Upil Hero.

Crew : FLava, SGR, Eliza, Superpuss, Abond, AndreDiaz

THx to : IS, ACER, HALIM, Surya 12/16 + Min, mod, Panitia Challenge 2, Juri, Voter, Fans & groupies

And least but not the last

SPECIAL THX : ISWW, MOM, DAD, BRO, SIS, FAM​
 
Terakhir diubah:




Seperti Biasa
Pertamax itu harus dan selalu punya TS :p

keep rockin guys :cup:

Nb : to juri >> dalam cerita saya sengaja menyamarkan merk dagang dng meng-anagram atau mengganti 1-2 hurufnya... agar tidak terkena pasal hukum
Contoh : Lolex adalah plesetan dari merk jam tangan Ro-lex

Thx judge
 
Terakhir diubah:
Udah siapin :kopi: ama rokok
Dengan semangat 45 maju tak gentar,
Menerobos lebatnya hutan belantara
Demi keinginan untuk gelar tiker di layar tancep om ss
Sampe lokasi cmn sy sendirian, belum ada apa2nya
:sendirian:


Sssstttttttttt,
Pelemnya dah mulai
Diem dulu yo
:baca:
 
njier gak dapet pertamax ane.

baca cerita ini otak ane kayak diputer 180 derajat pas endingnya, bener2 gk nyangka klo ternyata pemeran 'aku' adalah cewek dan mereka adalah lesbi. ane baru nyadar pas baca ending ternyata clue tentang si 'aku' adalah cewek udh ada dari awal cerita. pemeran 'aku' gk pernah ngasih keterangan klo dia punya penis dan jg waktu kenalan sama mita, si 'aku' bilang klo baru kali ini dia dipanggil abang

bener2 baru nyadar deh 2 clue itu di ending, keren bgt suhu sepen, ane sampe bengong2, otak ane dibuat jempalitan di ending. apalagi pas semua kekerasan dina itu cuma mimpi, ah spiclis deh pokoknya.

ini baru de ril mainfak :jempol:
 
Arrrggghhhh...., aku terkecoh dengan cerita ini... !
Kirain tokoh utamanya laki-laki, taunya perempuan juga..., Maya..!
Lesbian... !

Eh, benar kan ? Atau justeru ane yang salah tebak lagi ?

Iiiiih..., gila ! Dahsyat ! Mantap !
Bikin mulut ini harus bilang... . Sempurna !
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Thx all :ampun:

Ini sedikit balas dendam sebenarnya...
Idenya buat celeng helloween dulu... tp karena sibuk jd br skg nyempetin...
Maaf kalo kurang memuaskan...
Tanpa isi di credit, cerita ini hanyalah sampah...
Merekalah yg membuat ini jadi mendingan...
 
ternyata "Aku" adalah cewek, ketipu ketipu ketipu... :takut: adegan terakhirnya bikin mual segala isi perut dikeluarin.
 
:jempol:
Kerenn gann

Ane Gª nyangkaa.. Ane pikir jugak "aku" tuh cowok tau cewek..

Style maya kecowok'an kek N̤̥̈̊y̶̲̥̅̊ɑ̤̥̈̊ jadi dipanggil abang..
 
aiiiiiyyyy:benjol:
serasa di ajak koprol ane
sama empu GSString..
:pusing:
lagi musimnya minpak nech..

:pandatakut:
kulit di sayat, darah muncrat,
usus semburat dan putting yang liat
seolah dijejalin di mulut ane..
duch,, ngeri-ngeri sedap:kacau:
isi perut hampir menguap...

dan cuma bisa melongo karena kecele pada akhir cerita. tiada menyangka jika ini adalah pasangan jeruk bersengketa:hammer::hammer:

kalau boleh menggambarkan pas jalan-jalan di Super Market. mereka ini seperti pasangan Dara dan Mitha, Duo Virg*n kale ya...hehehe...
:D

sajian malam jumat
yang mantaaap:thumbup
:beer:
Makasih om​
 
Adegan terbaiknya malah pas scene Gore (bisa memainkan imajinasi pembaca), scene yang lompat2 di awal sampai tengah cerita (selain ss) sebenernya bikin ngantuk, flat banget adegan dan dialognya.
Mulai kuat lagi menjelang ending, credit buat kejutan Lesbi, so epic, mengingatkan pada Grace dan anjingya karya Jayporn dulu yg jg gak tertebak. :D
Dan ada beberapa typo khas sepen :D
 
Bimabet
Wah loe pada, subuh2 baca cerpan :ha: :pandaketawa:

Thx semua komennya :ampun:




Adegan terbaiknya malah pas scene Gore (bisa memainkan imajinasi pembaca), scene yang lompat2 di awal sampai tengah cerita (selain ss) sebenernya bikin ngantuk, flat banget adegan dan dialognya.
Mulai kuat lagi menjelang ending, credit buat kejutan Lesbi, so epic, mengingatkan pada Grace dan anjingya karya Jayporn dulu yg jg gak tertebak. :D
Dan ada beberapa typo khas sepen :D

I miss you...
When we hang out again?
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd