Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Cinta tapi beda

:fiuh::fiuh:Waduh ... masih ada yang mantengin ternyata ...wkwkwk maaf suhu semua ... saya lagi nyusun penelitian sama skripshit dulu ... ada kerjaan yang lain juga ... maaf belum sempet nulis lagi:fiuh::((
 
12. Begitulah cinta ... deritanya tiada akhir (pov Rahayu)

Tring ... tring... tring... suara bel istirahat berbunyi, membuat aktivitas belajar-mengajar terhenti sementara dan hampir seluruh murid keluar dari kelasnya. Seperti biasa aku menghabiskan waktu istirahatku di bangku koridor depan kelasku dengan membaca materi biologi yang akan diujikan saat ulangan di jam keempat nanti. Suasana taman kecil di depan kelasku yang asri dan koridor yang tidak terlalu ramai membantuku fokus pada buku catatan yang berisi ringkasan materi yang akan diujikan. Tiba-tiba sebuah bola kertas terlempar dari atas dan terjatuh di atas kepalaku. Mataku langsung mengarah ke koridor lantai 2 yang tepat berada di atas kepalaku. Aku terkejut melihat Surya menatap ke arahku sambil tersenyum dan melambaikan tangannya. Ia memberiku kode untuk membuka isi bola ketas yang dilemparnya sebelum menghilangkan wajahnya dari pandanganku. Kuambil dan kubuka bola kertas yang terjatuh di dekat kaki kananku.

Aku akan menunggumu di depan gerbang setelah pulang sekolah. Aku ingin mengantarmu pulang dan meminta izin kepada ibumu untuk mengajak anaknya jalan-jalan nanti sore.”

Astaga ...aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Surya. Mengapa ia semakin gencar mendekatiku sejak ia mengungkapkan perasaannya padaku? Apakah dia tidak mengerti jika aku sangat menjaga jarak ketika bergaul dengan lawan jenisku? Atau jangan-jangan dia tidak puas dengan status sahabat yang saat ini kita berdua jalani? Astaga Surya... dengan sikapmu yang terus mendekatiku membuatku semakin sulit menghilangkan rasa ini dari hatiku. Apa kau sadar jika kita ini berbeda dan tidak dapat disatukan? Aku masih menatap tulisan yang tercetak pada kertas lusuh itu sebelum sebuah tangan mungil merebut kertas itu dari tanganku. Kulihat Yunita berdiri di depanku dan membaca kertas yang diberikan Surya padaku. Entah sejak kapan ia berada di dekatku.

“Surya yang menulis surat ini?” tanya Yunita setelah ia selesai membaca isi surat. Aku hanya menghela napas dan menganggukkan kepalaku. Kemudian Yunita duduk disampingku dan mengelus pundak kananku.

“Kamu tenang saja. Aku akan membantumu menghadapi persoalan hatimu ini. Oh iya ... apakah kamu bisa meluangkan sedikit waktu saat istirahat dzuhur nanti, Yu?” tanya Yunita.

“Bisa ... ada apa, Nit?,” ujarku.

“Sebenarnya aku ingin mempertemukanmu dengan Nadea, Yu. Kupikir ia punya solusi untuk masalahmu,” gumam Yunita sambil menyerahkan sebungkus batagor padaku.

“Aku tahu, kamu tidak membawa bekal ‘kan hari ini.” Aku hanya tersenyum menerima bungkusan batagor dari Yunita. Ibuku memang tidak sempat menyiapkan bekalku ketika hari ini aku berangkat lebih pagi dari biasanya agar kejadian kemarin tidak terulang lagi.

“Apa maksudmu, Nit? Apa hubungannya Nadea dengan masalahku?” tanyaku sambil menyobek salah satu sisi plastik dan mulai memakan batagor pemberian sahabatku.

“Kalian berdua mempunyai masalah yang sama. Kupikir masalah kalian akan lebih mudah diselesaikan jika kalian berdua saling membantu,” gumam Yunita. Ia terdiam sejenak sambil menatap mataku.

“Nadea juga jatuh cinta pada Surya, Yu,” lanjut Yunita. Aku hanya terdiam mendengar kabar yang sangat mengejutkanku ini. Aku tidak menyangka ada cinta terpendam diantara persahabatan mereka berdua. Pantas saja Nadea memandang kami berdua dengan sinis ketika Surya mengantarku setelah acara pentas seni kemarin. Ia mengira aku telah merebut Surya darinya. Astaga ... apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tega melihat gadis cantik dan baik seperti Nadea harus tersakiti karena rasa yang salah dari kami berdua.

“Yu,” ujar Yunita sambil menggenggam erat tangan kananku dan menyadarkanku dari lamunanku. Aku hanya mendesah pelan dan menatap Yunita yang tengah tersenyum ke arahku.

“Aku tahu saat ini hatimu sedang bingung ‘kan. Aku sarankan kamu bertemu dulu dengannya. Berbagilah dengannya ... aku yakin kalian berdua akan saling mengerti karena kalian menyukai lelaki yang sama,” ujar Yunita. Tidak lama kemudian bel masuk kembali berbunyi dan Yunita menggandeng tanganku sampai ke kelas.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 12:30 saat bel kedua istirahat berbunyi. Beberapa menit kemudian tampak beberapa spot di sekolah menjadi tempat berkumpul para murid untuk merehatkan pikiran sejenak. Area mushola sekolah yang awalnya sepi menjadi sangat ramai dengan siswa yang ingin beribadah. Aku dan Yunita datang terlambat dari biasanya sehingga kami harus mengantri untuk mngambil air wudhu. Sebenarnya kami tidak terlambat jika Yunita tidak mengajakku untuk melewati jalan memutar setelah melihat Surya tengan berbincang dengan temannya di lorong yang biasanya kami lewati. Aku dan Surya sempat beradu pandang dan ia memberikan senyum dan lambaian tangannya ke arahku sebelum Yunita menarik tanganku untuk memutar arah. Ketika aku menengok kulihat Surya masih melihatku dengan tatapan yang tidak bisa kumengerti. Yunita sedikit menyentak tanganku yang tengah ia genggam seolah melarangku untuk melakukan kontak dengan Surya. Setelah aku membuka alas kaki, Yunita langsung menarikku yang ingin masuk antriaan wudhu.

“Aku ingin kamu berkenalan dulu dengan Nadea,” ujar Yunita sambil menarikku menuju ruang IRMA yang terletak di salah satu sudut mushola. Kulihat seorang gadis cantik berambut panjang sepunggung tengah asyik duduk bersandar sambil membaca buku kumpulan hadist yang selalu dibahas oleh anggota IRMA setiap berkumpul ketika Yunita membuka pintu ruangan. Gadis itu langsung mengarahkan pandangannya ke arah kami ketika pintu terbuka.

“De, kenalkan ini Rahayu, sahabatku yang aku ceritakan kemarin. Yu, kenalkan ini Nadea, teman pertamaku di SMA ini,” ujar Yunita. Nadea langsung menutup bukunya dan berdiri tersenyum mengulurkan tangan kanannya padaku.

“Nadea,” gumamnya setelah tangan kanannya kusambut.

“Rahayu,” ujarku sambil membalas senyumnya.

“De, aku dan Rahayu sholat dulu ya. Biar nanti kalian enak ngobrolnya. Silahkan lanjut lagi bacanya cantik. Siapa tahu kamu berminat jadi mualaf,” ujar Yunita sambil tersenyum dan membawaku kembali ke antrian wudhu. Aku sedikit aneh melihat gadis kristiani seperti Nadea membaca buku yang bersebrangan dengan ajaran yang dianutnya. Peristiwa itu sangat jarang terjadi. Biasanya`manusia sangat menghindari pendapat atau ilmu yang bersebrangan dengan pemikirannya. Tidak jarang timbul permusahan hanya karena perbedaan pendapat dan pola pikir. Padahal mereka mempunyai tujuan yang sama walaupun berbeda cara.

“Nadea itu mirip sama kamu. Sama – sama hobby membaca. Buku bertema apapun pasti ia baca. Menurutnya buku membuka wawasan dan pola pikir manusia. Tidak heran dia selalu mendapat juara 3 besar pararel di kelas IPA,” ujar Yunita yang melihatku sedikit bingung saat melihat Nadea membaca kumpulan hadist.

“Aku suka dengan orang berpikiran luas dan terbuka. Setelah berkenalan dengan Nadea, aku jadi tidak mengerti mengapa Surya berusaha mendekatiku. Padahal dia suadh mempunyai gadis yang terlihat sempurna disisinya,” gumamku.

“Cinta itu bukan dlihat, Yu. Tapi dirasakan ... kita bisa saja memilih ingin suka dan dekat dengan siapa saja, tetapi kita tidak bisa memilih jatuh cinta dengan siapa.” Aku sedikit tertegun mendengar ucapan Yunita. Cinta itu memang buta. Jika kita mencintai tanpa diiringi dengan akal sehat, cinta bisa membuat kita menjadi orang gila dan paling bodoh di dunia. Aku sangat menikmati saat air menyentuh kulit dan rambutku saat berwudhu. Sensasi dingin yang berasal dari sumber mata air seakan merefresh tenaga dan pikiranku agar khusyuk ketika menghadap kepada-nya. Saat aku berdoa aku berpikir sejenak, mungkin Surya akan lebih bahagia bersama Nadea. Kecantikan dan kepintaranku jauh berada dibawahnya. Terlebih mereka sudah bersahabat sejak kelas 10. Apalagi kita berdua memiliki latar belakang yang sangat berbeda. Setelah shalat aku dan Yunita bergegas menghampiri Nadea di ruang IRMA. Ia menyambut kami dengan senyuman ketika tiba di ruang IRMA.

“Baiklah, sebaiknya aku menunggu di luar agar kalian lebih bebas berbicara dari hati ke hati. Waktu istirahat tinggal 15 menit lagi. Jadi manfaatkan waktu yang tersisa untuk memikirkan solusi permasalahan hati kalian, ya,” ujar Yunita sambil berdiri keluar danmenutup pintu ruangan. Aku mengambil posisi duduk di depan Nadea sambil bersandar di dinding belakangku. Kami berdua terdiam sejenak saling menatap dan menunggu inisiatif untuk membuka pembicaraan.

“Yu, apakah benar kamu jatuh cinta dengan Surya, sahabatku?” tanya Nadea membuka pembicaraan. Aku menunduk sambil menganggukkan kepalaku. Terdengar Nadea menghela napas sebelum melanjutkan pembicaraan.

“Yu, kamu tahu ‘kan jika kalian berdua itu berbeda, mengapa bisa jadi seperti ini?” gumamnya.

“Entahlah, De. Aku sendiri juga bingung. Rasa ini hadir begitu saja. Kami tidak pernah saling bertegur sapa sebelumnya. Aku sadar kalau dia berbeda denganku dan aku memilih memandangnya dari kejauhan. Namun semua berubah ketika kami mengetahui perasaan kami masing-masing. Ia semakin berusaha mendekatiku dan itu membuatku dilema,” gumamku sambil tertunduk.

“Yu, aku dan Surya sudah bersahabat selama 2 tahun dan selama itu pula aku memendam rasa padanya. Selama kami bersahabat baru kali ini aku melihatnya jatuh cinta. Meskipun ia tidak pernah bercerita padaku, aku sering melihatnya mencuri pandang padamu. Tatapan matanya yang teduh saat melihatmu membuatku iri. Awalnya kukira ia hanya kagum padamu mengingat adanya batas diantara kalian. Sehingga kupikir aku masih punya kesempatan untuk mengisi relung hatinya. Namun ternyata dugaanku salah. Aku tahu kalian saling mengungkapkan perasaan saat tampil di pensi kemarin. Ketika aku bertanya tentang dirimu padanya, ia berkata bahwa ia jatuh cinta padamu. Itu membuatku sakit, Yu. Aku tidak menyangka kalian akan semakin dekat setelah pensi. Meskipun Surya berkata padakyjika kalian hanya bersahabat, aku takut kalian melanggar batas diantara kalian,” ujar Nadea. Kami terdiam saling menatap. Kulihat bola matanya yang hitam mulai berair seperti awan mendung di musim hujan.

“Yu, aku memang sering berpacaran dan berganti pasangan. Aku bahkan dijuluki playgirl yang menjadi primadona seluruh siswa saat SMP. Tapi aku belum pernah merasakan jatuh cinta sedalam ini, Yu. Kumohon berikan aku cinta yang Surya berikan padamu, Yu. Demi kebaikan kita bertiga. Tolong bantu aku agar Surya melihat besarnya cintaku padanya. Tolong sadarkan dirinya jika ada cinta yang lebih baik,” ujar Nadea sambil mengenngam erat kedua tanganku. Kulihat tetesan air mulai mengalir dari matanya yang sipit. Kubalas genggamannya dengan meremas pelan telapak tangannya. Aku rasakan mataku ikut berair setelah mendengar ketulusan hati Nadea. Betapa sangat berdosanya kami jika dengan egois memilih melanjutkan kisah cinta ini. Melihat tulusnya rasa yang dimiliki Nadea membuat hatiku terenyuh. Aku ingin sekali membantunya, tapi apakah aku bisa menahan rasa sakit hatiku ketika aku membantunya ?aku memeluk Nadea yang langsung disambut tangisan yang membasahi pundakku. Perlahan kuelus rambut dan pungungnya.

“Maafkan aku, De ... aku tidak bisa membantumu untuk mendapatkan cinta dari Surya.” Nadea langsung menarik diri dari pelukanku dan menatap wajahku. Kulihat matanya sedikit sembab dan sisa air mata masih mengalir mulus di pipi putihnya.

“Apa maksudmu, Yu? Apakah kamu belum sadar jika kalian tidak mungkin bersatu?” ujar Nadea sedikit ketus. Ekspresi wajahnya ketika marah tampak sangat menggemaskan.

“De, Aku tidak sanggup jika kamu memintaku untuk menjadi jembatan penghubung cintamu kepada Surya. Melihat kedekatan kalian saja sudah membuat hatiku sakit. Kuharap kamu mengerti. Aku akan mundur perlahan, De. Aku akan berusaha menjauhi Surya. Berusahalah menggapai cinta dengan tanganmu sendiri, De. Tolong bantu aku untuk memadamkan perasaan ini.” Nadea langsung kembali memelukku setelah mendengar perkataanku.

“Terima kasih, Yu. Kebaikanmu tidak akan pernah kulupakan. Aku berjanji akan membuat Surya berpaling darimu.”
***​
Kring ... kring ... kring ... suara bel pulang sekolah berbunyi. Para guru langsung menutup pertemuan hari ini dan merapihkankan peralatan mengajarnya dibantu oleh ketua kelas. Sementara murid yang lain juga sibuk menata buku dan alat tulis di dalam tas mereka sebelum keluar kelas. Sementara aku dan Yunita langsung mengambil peralatan kebersihan karena hari ini jadwal kami untuk piket harian. Aku sengaja berlama-lama menyelesaikan tugasku dengan harapan Surya tidak menungguku di depan gerbang. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 16:30. Sudah hampir 2 jam aku dan Yunita membersihkan kelas. Anggota piket yang lain sudah pulang sejak 1 jam yang lalu.

”Ayo pulang, Yu. Sudah kesorean kita,” gumam Yunita sambil menggendong tasnya. Aku masih duduk terdiam sambil memandang awan dari jendela kelas. Aku masih ragu untuk pulang. Perasaanku mengatakan jika Surya masih disana.

“Kita shalat ashar dulu yuk sebelum pulang. Kita hadapi bersama jika dia masih disana,” ujar Yunita tersenyum sambil menarik tanganku untuk berdiri. Ketika aku dan Yunita berjalan di lorong masuk menuju gerbang sekolah, kulihat seorang siswa bersweater abu-abu tengah duduk diatas sepeda motor matic yang terparkir di depan gerbang sekolah.

“Astaga ... itu Surya, Yu ... dia pasti lagi nungguin kamu,” ujar Yunita. Aku masih menatap Surya dari kejauhan. Wajahnya tampak gusar dan sesekali melihat layar handphone miliknya.

“Ayo, Yu. Kita lewat belakang saja. Aku tahu celah tembok yang biasa digunakan anak-anak untuk kabur,” ujar Yunita sambil menarik tangan kananku. Namun aku masih tetap terdiam dan mengedarkan pandanganku ke halaman parkir di dekat gerbang sekolah. Kulihat disana seorang siswi tengah berdiri tegak di tengah hangatnya sinar matahari sore. Ia terus berdiri menatap ke arah Surya walau peluhnya terus berjatuhan membasahi baju seragamnya. Aku sangat terkejut ketika aku memperjelas pandanganku ke arah siswi tersebut.

“I ... itu bukannya Nadea, Nit?” tanyaku sambil mengarahkan jari telunjukku ke arah siswi tersebut.

“Iya, Yu ... itu memang Nadea. Sedang apa dia disana?” tanya Yunita penasaran.
“Sebelum kita berpisah di mushola saat istirahat tadi, aku sempat menceritakan surat yang diberikan Surya pada Nadea, Nit. Dia bilang dia akan emngajak Surya pulang bersama sehingga tidak sempat bertemu denganku,” ujarku tertunduk.

“Astaga ... ternyata ini bagian dari drama percintaan kalian,” gumam Yunita dengan mata terus menatap ke arah Surya dan Nadea. Sudah 15 menit aku dan Yunita melihat dan menunggu apa yang taerjadi antara Surya dan Nadea. Langit sore yang berwarna jingga sudah mulai berubah menjadi kehitaman pertanda malam akan segera tiba. Kulihat Surya menyalakan motornya dan mengemudikannya ke arah parkiran. Ketika sampai di depan Nadea, ia berhenti dan turun dari motornya. Mereka tampak saling menatap dan berbicara. Ketika Surya memberikan sebuah minuman botol kepada sang gadis, Nadea langsung menyambutnya dengan memeluk Surya. Aku hanya mengeratkan genggamanku di tangan Yunita saat melihat kejadian yang sangat menyayat hatiku. Yunita tampaknya tahu isi hatiku hanya mengelus pundak kiriku. Setelah mereka selesai berpelukan, kulihat Surya melepas sweater miliknya dan memakaikannya ke Nadea persis seperti apa yang kualami saat malam pensi. Aku hanya bisa menatap kemesraan mereka dengan mata berlinag dan hati terluka. Surya lalu membonceng Nadea yang duduk dengan posisi merapat memeluk pinggang Surya sebelum mereka pergi dan menghilang di jalan raya. Perlahan air mataku mulai menetes membasahi pipiku. Hatiku terasa lebih sakit dibandingkan rasa sesak yang kualami saat pertemuan pertamaku dengan Surya. Yunita kemudian mengambil sapu tangannya di dalam tas dan mengusap lembut air mataku.

“Tabahkanlah hatimu, Yu. Ini baru awal ... masih banyak kejadian yang akan melukai hatimu nanti. Inilah resiko dari pilihan yang kamu ambil. Begitulah cinta. Deritanya tiada akhir. Jadi biasakanlah dirimu,” ujar Yunita sambil mendekap kepalaku.

“Malam ini aku akan menemanimu. Aku akan meminta izin ibuku untuk menginap di rumahmu. Kebetulan aku punya stok drama komedi yang cukup banyak di laptopku. Ayu kita nonton sampai rasa sedih dihatimu menghilang,” hibur Ayu sambil mengelus kepalaku.
“Terima kasih, Nit ... kamu memang sahabatku yang terbaik ... hu .. hu...” tangisku yang sedari tadi kutahan akhirnya pecah saat aku memeluk Yunita dengan erat.
 
Terakhir diubah:
akhirnya bisa update juga disela skripsi yang tidak kunjung ACC dan pekerjaan yang menumpuk :Peace::Peace::Peace:
silahkan dinikmati dan ditunggu krtitk dan sarannya suhu :cendol::cendol:
 
Mantul ceritanya hu. Persis seperti yang ane alami.

Bedanya kisah ane bertepuk sebelah tangan 😁
 
Ampun memang pacaran beda keyakinan bro... Jadi ingat dulu, selalu kelabakan disuruh sholat kalau lagi main ke rumah doi.. yang ada gw bertapa di kamar mandi... Teruskan tulisannya bro, walau bacanya suka bikin sesak dada n mata bengkak ^_^^
 
dilanjut lagi atau udah stop ni Suhu @marsena?
Bagus cerita nya,semoga happy ending (dg tidak menyatukan Surya dan Rahayu) dengan pasangan masing2
 
Kita memang bisa memilih suka atau benci dengan siapa tapi kita gak bisa milih jatuh cinta dengan siapa😢😢
 
Terakhir diubah:
13. Aku pasti bisa
Pov rahayu
Air hujan yang turun siang ini membuat suara gemericik yang khas saat bertemu beberapa dahan dan ranting pohon di depan kelasku. Suara dan bau yang khas ketika hujan datang selalu berhasil membuat pikiranku sedikit rileks. Suara teriakan siswi yang tengah menonton film horor di kursi depan dan tawa siswa di belakang kelas yang tengah asyik bermain kartu masih belum bisa mengalahkan suara derasnya hujan diluar.
"Jadi golongan darah O itu disebut golongan darah universal karena bisa mendonorkan darahnya kepada golongan darah manapun, " Ujarku pada siswi manis berambut ekor kuda yang tengah membaca buku catatan biologi milikku di tangan kanannya. Sementara tangan kirinya masih memegang hasil kuis biologi miliknya yang baru di bagikan tadi pagi.
"Ah... Selva pusing, yu. Tidak adalah cara yang lebih simpel untuk mengingatnya? Bagaimana nasibku saat remedial kuis minggu depan? Tolonglah aku, Yu." Aku hanya tersenyum saat mendengar keluhan Selva. Teman sebangku di kelasku ini adalah siswi yang paling ceria di kelas dan memiliki nilai terbaik di sekolah pada pelajaran olahraga. Walaupun ia sedikit bermasalah di mata pelajaran yang mengandalkan hapalan.
" Gini, deh. Coba kamu ibaratkan golongan darah A itu Liverpool, golongan darah B itu Manchester City, golongan darah AB itu Arsenal, dan golongan darah O itu Manchester United."
" Ok... Sepertinya aku akan lebih paham jika menggunakan perumpamaan seperti ini. "
"Nah kamu tau 'kan saat ini fans Liverpool dan Manchester City jarang saling mengejek? Karena mereka takut karma yang akan menimpa tim kesayangan mereka yang tengah bersaing ketat memperebutkan posisi 2 klasemen. Saat ini hanya fans Manchester United yang berani mengejek ketiga tim tersebut yang memang berada dibawahnya. Bagaimana dengan fans Arsenal? Mereka hanya bisa ikhlas dan pasrah menerima semua bully an ketiga fans klub diatas. Sama seperti golongan darah. Golongan darah A hanya bisa di donorkan ke golongan darah sejenis atau golongan darah AB. Golongan darah B juga demikian. Sementara golongan darah AB hanya bisa mendonorkan ke golongan darah sejenis. Bagaimana? Sudah mengerti?" Ujarku sambil menahan senyum. Aku memang sengaja mengambil perumpamaan dari klasemen liga inggis saat ini ( pekan ke 17 20/21) karena Selva merupakan "the gooners" Sejati sejak SD. Salah satu impiannya adalah menonton langsung pertandingan Arsenal dari tribun Emirates Stadium.
"Jahat... Rahayu jahat... Rasain nih, " Gumamnya sambil mengelitiki pinggangku.
"Ahaha... Hentikan... Iya... Iya maaf, Va, " Tawaku sambil berusaha menghindar dan menangkis jemari Selva yang berusaha merayap di pinggangku. Kami berdua tertawa lepas di tengah jam pelajaran kosong siang ini. Setidaknya tawa ini membuat pikiranku jadi sedikit rileks setelah 1 minggu tidak bertemu Surya. Mungkin lebih tepatnya aku yang berusaha menghindar darinya setelah kejadian yang membuat hatiku sakit seminggu yang lalu. Walaupun selama itu juga ia selalu berusaha mendekatiku. Bahkan Yunita menyebutku seperti maling yang dikejar polisi saat melihat Surya berada di sekitarku. Selama seminggu ini juga aku menahan sakit karena Nadia semakin dekat dengan Surya. Bahkan menurut kabar yang beredar hanya tinggal menunggu waktu mereka akan menjadi sepasang kekasih. Memang itu yang kuinginkan sebelum kami terlalu larut dalam cinta terlarang. Namun aku juga butuh waktu untuk terbiasa hingga akhirnya rasa itu hilang dengan sendirinya. Ah... Sungguh jatuh cinta itu sangat merepotkan. Ketika aku dan Selva tengah asyik bercanda, Naomi yang baru saja masuk kedalam kelas langsung menepuk pundakku.
"Pulang sekolah kamu jangan langsung pulang, ya. Bu Anisa menyuruhmu untuk menemuinya di ruang guru pulang sekolah nanti. Ada hal penting yang ingin beliau bicarakan denganmu, " Ujar Naomi. Aku terkejut mendengar perkataan Naomi. Bu Anisa adalah guru Biologi yang terkenal dengan ketegasannya dalam menghadapi siswa yang bermasalah dengan mata pelajarannya dan peraturan sekolah. Bahkan tahun kemarin beliau meremedialkan kuis seluruh siswa di kelas Yunita tanpa melihat hasil kuis yang sudah dikerjakan karena beberapa siswa ketahuan bekerjasama saat kuis. Yunita sampai menggerutu kepadaku karena ikut menanggung akibat dari kesalahan yang tidak ia perbuat.
"Apa beliau menyadari penurunan nilaiku saat kuis terakhir? Saat itu memang aku kurang fokus saat mengerjakan soal karena memikirkan permasalahanku dengan Surya, " Gumamku dalam hati.
"Kamu tenang saja, Yu. Aku yakin beliau memanggilmu bukan karena ingin menegurmu 'kok. Mungkin saja beliau memintamu untuk mewakili sekolah di perlombaan bergengsi seperti OSN (Olimpiade Sains Nasional) misalnya, " Ujar Selva saat melihat perubahan raut wajahku.
"Itu tidak mungkin, karena OSN tahun ini dilaksakan saat liburan semester ini. Tapi aku juga yakin beliau ingin bertemu denganmu bukan ingin memarahimu. Mungkin benar apa yang dikatakan Selva, tapi di perlombaan lain. Kami semua tahu kamu ada siswi terbaik di mata pelajaran ini. Positif thinking saja, " Ujar Naomi sambil meninggalkanku dan bergabung dengan siswi lainnya yang tengah asyik menonton film horor. Benar apa yang dikatakan Selva dan Naomi. Aku tidak boleh berburuk sangka terlebih dahulu. Mungkin saja aku termasuk siswi beruntung yang dipilih beliau untuk mewakili sekolah. Jika itu benar semoga aku bisa melupakan permasalahanku sejenak dengan fokus dalam persiapan lomba.
"Terima kasih infonya, Mi, " Senyumku yang dibalas acungan jempol oleh Naomi.
Bel pertanda jam pelajaran terakhir sudah selesai telah berbunyi. Beberapa teman sekelasku langsung memasukkan buku dan alat tulis bersiap untuk pulang. Sementara siswa yang mendapat jadwal piket langsung menaikkan bangku ke atas meja dan bersiap membersihkan kelas. Kulihat Naomi sedang berusaha menangkap dan menegur beberapa siswa laki-laki petugas piket yang langsung keluar kelas dan melalaikan tugasnya.
"Yu, tungguin, ya. Kita pulang bareng " Ujar Yunita sambil menyapu lantai dibawah meja guru.
"Aku disuruh menghadap Bu Anisa sekarang, Nit. Nanti aku tunggu di depan gerbang aja ya, " Ujarku sambil merapihkan alat tulis dan buku di dalam tas.
"Yah... Ok deh... Jangan pulang duluan ya. " Aku hanya tersenyum melambaikan tanganku dan pergi ke ruang guru. Setibanya disana kulihat Bu Anisa tengah mengemasi barang bawaannya dan bersiap untuk pulang.
"Selamat siang, Bu. Kata Naomi ibu memanggil saya?" Ujarku saat sampai di depan meja Bu Anisa.
"Ah... Akhirnya kamu datang juga. Ada hal penting yang ingin ibu sampaikan padamu. Tapi kita tidak bicara disini. Tolong kamu tunggu di Lobby ya. Ibu akan membereskan barang bawaan ibu dulu, " Ujar Bu Anisa.
"Baik, Bu. Saya permisi, Bu. " Setelah keluar dari ruang guru, aku langsung bergegas menuju lobby. Disana tampak masih ramai beberapa siswa yang lalu lalang melintasi lobby. Beberapa tampak siswa asyik mengobrol dan bercanda di kursi tunggu yang tersebar di area lobby. Setelah memilih kursi, aku kembali membuka mushaf kecil yang selalu kubawa untuk kembali mengingat hapalan ayat. Aku hanya membutuhkan waktu 3 menit saja untuk fokus membaca dan menghapal ayat Al-Quran tanpa memperdulikan suara bising di sekitarmu. Fokus dan konsentrasi dengan cepat memang salah satu keahlianku. Memiliki fokus dan daya ingat tinggi membuatku lebih cepat menghapal ayat suci dan memiliki nilai tinggi di mata pelajaran yang mengandalkan hapalan. Namun beberapa menit kemudian terdengar suara yang lelaki yang bisa menghancurkan fokus ku.
"Ok deh... Aku anterin kamu belanja hari ini, " Ujar sang lelaki. Sementara aku berusaha melirik ke arah sumber suara. Jantungku tiba-tiba berdegub kencang saat melihat pemandangan yang ada di ujung mataku. Tampak sepasang siswa paling populer yang saat ini tengah diisukan telah berpacaran berjalan ke arahku. Mereka berdua bergandengan tangan dengan mesra dan terlihat sangat cocok. Mungkin mereka adalah calon best couple di angkatanku. Aku kembali berusaha fokus membaca mushaf saat melihat sangat lelaki terkejut melihatku.
"Sur, kok diam? Ayo kita harus bergegas. Aku harus pulang sebelum maghrib loh, " Ujar Nadea, siswi yang sejak tadi berpegangan tangan dengan Surya. Tidak terasa tanganku terasa bergetar sambil memegang mushaf. Saat kucoba sedikit melirik ke arah mereka, tampak Nadea semakin erat memegang tangan Surya dan sedikit menariknya agar Surya lebih cepat berjalan ketika melewatiku. Setelah mereka sudah berjalan agak jauh, aku perlahan membuang napas lega. Tidak terasa mataku mulai berlinang saat menatap punggung mereka berdua. Oh Tuhan... Bagaimana caranya agar aku bisa berhenti mencintainya? Apakah aku harus menahan rasa ini sampai kita lulus dan berpisah nanti? Sungguh aku hampir mencapai batas kemampuanku.
"Maaf membuatmu menunggu, Yu. Ayo kita pulang, " Ujar Yunita yang tiba-tiba ada disampingku.
"Astaghfirullah... Ngagetin aja kamu, Nit, " Ujarku sambil menyeka beberapa air mataku yang sempat menetes. Yunita langsung mengedarkan pandangannya ke arah pintu keluar lobby.
"Sabar, Yu. Aku tahu ini sulit bagimu. Sepertinya kamu harus mencari kegiatan atau ekskul baru agar kesibukanmu bertambah dan perlahan melupakannya, " Gumam Yunita sambil duduk dan mengelus pundakku. Selama beberapa saat kami berdua diam membisu tenggelam dengan pikiran masing-masing.
"Maaf agak lama, Yu. Ayo sekarang kamu ikut saya. Nanti dijalan saya jelaskan tujuan saya memanggilmu, " Ujar Bu Anisa.
"Baik, Bu, " Ujarku sambil memasukkan mushaf ke dalam tas.
"Baiklah... Aku pulang duluan ya, Yu," Ujar Yunita sambil melambaikan tangan dan pergi meninggalkanku. Sebuah mobil sedan hitam berbunyi ketika Bu Anisa memencet tombol alarm di kunci mobil saat kami tiba di parkiran sekolah.
"Ayo masuk, Yu. " Aku membuka pintu depan penumpang setelah Bu Anisa masuk terlebih dahulu di kursi kemudi.
"Silahkan kamu baca baik-baik brosurnya. Saya harap kamu berminat mengikutinya, " Ujar Bu Anisa sambil menyerahkan sebuah brosur sebelum menyalakan mobilnya.
"Olimpiade Biologi Indonesia... Kompetisi Biologi tingkat Nasional... Hadiah utamanya tiket masuk Universitas Gajah Mada. " Aku terkejut saat membaca brosur yang diberikan oleh Bu Anisa. Sebuah kompetisi yang bisa menjadi jalan pintas untuk menggapai impianku.
" Bagaimana? Kamu berminat 'kan mewakili sekolah kita? Hadiahnya free entry UGM loh... Kamu bisa memilih fakultas dan jurusan yang kamu inginkan di UGM jika kamu berhasil memenangkannya, " Terang Bu Anisa sambil fokus mengemudi.
"Iya, Bu. Saya berminat. Tapi kenapa Ibu memilih saya untuk menjadi wakil di kompetisi sebesar ini? Bukannya memilih Nadea yang juara 1 umum?"
"Nadea memang murid paling pintar di angkatanku. Tetapi kamu adalah murid yang memiliki nilai paling stabil dan terbesar di mata pelajaran Biologi. Sebenarnya saya juga menunjuk Haikal, juara kelas IPA 3 untuk menemanimu mewakili sekolah. Tetapi dia izin menyusul karena harus izin ke pelatih futsal sekolah ," Ujar Bu Anisa. Sungguh aku sangat senang sekali mendengarnya. Menjadi perwakilan sekolah dan selangkah lebih dekat untuk menjadi dokter... Aku tidak akan melewatkan kesempatan ini.
"Alhamdulillah... Terima kasih atas kepercayaan yang Ibu berikan. Saya akan berjuang dan membuat sekolah kita bangga, " Senyumku.
"Tapi kamu jangan senang dulu. Sebelum maju ke tingkat nasional, kamu harus lolos seleksi tingkat kabupaten. Saya dengar hampir semua SMA di Purwakarta ikut ambil bagian dalam kompetensi ini. Apalagi kita hanya punya waktu 3 hari untuk persiapan sebelum seleksi tingkat kabupaten digelar. " Aku terkejut mendengar berita dari Bu Anisa. 3 hari adalah waktu yang sangat singkat untuk mempersiapkan lomba setingkat nasional. Apalagi menurut penjelasan brosur bobot soal akan setara dengan OSN dicampur beberapa soal berbahasa Inggris.
"Oleh karena itu kita harus mempersiapkannya dari sekarang. Makannya hari ini saya mengajakmu berkunjung dan berlatih soal di rumah saya. Kebetulan anak saya yang paling besar sedang libur semester. Jadi dia bisa membantu saya untuk mempersiapkan kalian sebelum lomba. Kamu tidak ada kegiatan sore ini 'kan? " Ujar Bu Anisa saat melihat raut cemas di wajahku.
"Tidak ada, Bu" Ujarku sedikit lega. Aku dan Bu Anisa asyik mengobrol tentang kegiatan sekolah dan keluarganya sepanjang perjalanan. Ternyata anak Bu Anisa juga pernah mengikuti lomba ini. Meski harus gugur di final, ia berhasil lulus ujian masuk UGM. Bu Anisa mulai menurunkan kecepatan ketika mobilnya berbelok masuk ke dalam sebuah kompleks perumahan. Ia menghentikan mobilnya tepat di depan pagar hitam sebuah rumah bertipe minimanilis yang terletak tidak jauh dari gerbang kompleks. Setelah Bu Anisa membunyikan klakson 3 kali, tampak seorang pemuda berkulit sawo matang dengan rambut sedikit gondrong membuka pintu pagar.
"Pasti kamu baru bangun tidur, ya. Libur kuliah bukan berarti libur mandi pagi loh, Kak, " Ujar Bu Anisa saat turun dari mobil dan memperhatikan penampilan anaknya.
"Iya, mah. Mumpung libur jadi keasyikan santai di rumah. Hehe..." Bu Anisa hanya menggelengkan kepalanya saat mendengar pengakuan sang anak.
"Ok mumpung kamu lagi santai, tolong bantu mama mengajar murid mama untuk lomba nanti, ya. Mama mau istirahat dulu. Rahayu, kenalkan ini anak yang Ibu ceritakan saat di mobil tadi. " Kulihat raut wajah sang anak berubah malas saat mendengar titah sang Ibu.
"Tapi, Mah... "
"Tidak ada alasan... Sekarang kamu mandi dan bantu murid Mama belajar. Rahayu, kamu tunggu di ruang tamu, ya, " Titah Bu Anisa sambil melangkah masuk ke dalam rumah.
"Ilham, " Gumam pemuda yang ada dihadapanku sambil mengulurkan tangan kanannya padaku.
"Rahayu, Kak, " Balas ku sambil menangkupkan kedua tanganku.​
 
Terakhir diubah:
Kita memang bisa milih suka dan benci sama siapa tapi kita gak bisa milih jatuh cinta sama siapa 😢😢😢
 
Bimabet
Njirrrr ini drama, konflik sama alurnya ngena banget, salut sama suhu. Tetep updet ya suhu
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd