Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[copas] Mamanya Eri

qsanta

Semprot Lover
Daftar
17 Sep 2014
Post
269
Like diterima
986
Bimabet
- Update halaman dua [26 Mei 2016 ; 15.20 wib]
- Update halaman tiga [29 Mei 2016 ; 10.20 wib]
- Update halaman tiga [30 Mei 2016 ; 09.47 wib]
- Update halaman empat [4 Juni 2016 ; 07.21 wib]

Bagi yang suka berpetualang di dunia perstensilan internet raya, mungkin ada yang telah membaca kisah ini. Namun kali ini izinkanlah saya membagikannya di sini dengan harapan pembaca yang belum berkesempatan bisa membacanya.​

[copas] Mamanya Eri​

Bingung aku. Lulus smk, dapet beasiswa sekolah gratis di universitas di bandung, jurusan tata boga. Perkuliahan masih lama, tapi aku tentu harus pindah dari sekarang. Untungnya ada teman sd dulu yang kini pindah di bandung. Namun dia lagi kuliah di jogja. Entah tau kondisiku dari mana, akhirnya dia bujuk aku agar tinggal di rumahnya saja. Dan kini, aku lagi berdiri di terminal bis, nunggu dijemput mamanya Eri.

Seingatku, mamanya Eri cukup lumayan. Meski tubuhnya tak lagi langsing, yah tipikal ibu – ibu biasa. Bahkan bisa dibilang montok. Sebenarnya aku merasa canggung bertemu dengan beliau, tapi mau gimana lagi.

Ayahnya Eri, kuingat tak bersahabat. Aku selalu merasa tak dianggap. Rasanya ada sesuatu pada diriku yang tak disukainya. Aku tak ingin tinggal serumah dengan ayahnya Eri. Tapi serumah dengan mamanya Eri membuat ketakutanku agak sedikit berkurang.

Aku tetap gugup. Bagaimana kalau ternyata mamanya Eri gak lagi ramah padaku? Aku selalu merasa paling diterima diantara teman – temannya Eri. Bahkan aku selalu diterima saat main ke rumah Eri, namun ternyata Erinya lagi main keluar. Aku selalu diajak masuk dan main sendiri.

Ingatanku tentang Eri sebenarnya makin memudar, namun entah kenapa ingatanku tentang mamanya malah kuat. Sekuat esenza, keramik yang ada iklannya di tv.

Sebuah mobil tiba – tiba berhenti di depanku. Pintu supirnya terbuka, lantas seorang wanita paruh baya keluar dan menyapaku.

"Ali?"

Aku mengangguk lantas dia tersenyum. Aku angkat ranselku yang kutaruh di jalan, disamping tasku yang lain, lantas aku pakai. Bu Bambang langsung menghampiri dan meraih tasku.

"Sini, biar ibu bantu."
"Gak perlu bu, Ali bisa kok."

Tapi Bu Bambang langsung mengambil dan menaruhnya di bagasi.

"Udah lama nunggunya ya? Maafin Ibu ya, abisnya macet sih."
"Enggak kok Bu."

Setelah Bu Bambang menaruh tasku, lantas aku menaruh ranselku di bagasi. Saat aku berdiri, Bu Bambang lantas memelukku. Aku diam terpana.

"Masih ada barang bawaan lagi gak?"

Aku masih terpana, tak mampu bersuara, hanya menggeleng tanda tiada.

"Masih tetep pendiam ya."

Aku mengangguk. Dia lantas tertawa.

"Pintunya bisa dibuka lho."

Aku tersadar, lantas masuk ke pintu depan, sebelah kursi supir. Setelah itu, Bu Bambang pun ikut masuk.

"Ibu senang bisa membantumu dan kamu mau tinggal sama ibu."
"Iya bu. Maaf udah ngerepotin."
"Enggak kok. Ibu juga kadang sendirian di rumah. Biar ada yang nemenin sekalian ngajarin masak."
"Iya bu. Tapi kan ...."
"Nah, gitu dong."

Tangan kiri nya dilepas dari kemudi, lantas memegang tangan kananku. Meski tangannya terasa hangat, namun kegugupanku membuatku hanya mampu menatap jalanan di depan.

"Ibu sudah gak sabar nih."

kugeser posisi dudukku hingga menyudut ke arah pintu, dengan maksud melihat Bu Bambang. Kulihat Bu Bambang kini fokus di belakang kemudi. Roknya kulihat agak sedikit naik, memperlihatkan pahanyanya yang mulus. Bu Bambang bersuara, membuatku takut ketahuan sedang melihat tubuhnya. Namun ternyata dia hanya teriak ke pengemudi lain di jalanan.

Setelah bebera saat, aku terkadang dilihatnya sedang melihat padanya. Tentu aku makin canggung dan kembali melihat ke jalanan. Namun sepertinya Bu Bambang tak keberatan. Seiring percakapan kami, perlahan kecanggunganku menghilang. Bahkan Bu Bambang juga bilang sesuatu tentang aku yang harus keluar dari dalam tempurung, biar gak seperti katak, katanya.

"Tapi hati – hati, kalau enggak, cewek – cewek cantik bakal menerkam. Abisnya kamu ganteng sih."

Aku jadi malu mendengarnya. Benarkah beliau berpikir aku ganteng? Sesadarku, wajahku biasa saja. Bahkan seingatku gak ada yang pernah bilang aku ganteng.

Kami berhenti dulu di stasiun pengisian bahanbakar umum, lantas isi bensin. Setelah itu, Bu Bambang beli dua es cone. Lantas kembali mengemudi.

"Coba nih punya ibu," kata Bu Bambang sambil mendekatkan es cone-nya yang ada di tangan kiri ke dekat mulutku.

Aku menggelengkan kepala, lantas beliau menarik tangannya. Aku jadi menyesal telah menolak tawarannya. Rupanya penyesalanku ini terlihat olehnya. Lantas beliau kembali mendekatkan es cone ke dekat mulutku. Langsung saja aku jilat.

"Seger..."
"Nih lagi."

Kubuka mulut, kujulurkan lidah, namun tangan Bu Bambang bergerak menjauhkan es cone dari mulutku. Kumajukan kepala, namun es itu makin menjauh. Lantas Bu Bambang tertawa.

Aku tak ingat apakah beliau suka menggodaku sedemikian rupa. Kumajukan lagi kepalaku, namun ternyata lidahku malah menjilati jemari Bu Bambang yang memegang es cone itu.

"Bener – bener seger," kataku mencoba menutupi kegugupan akibat insiden tak sengaja itu.
"Moga aja rasanya enak."

Aku jadi malu mendengarnya.

"Coba ibu pingin cicipi punyamu."

Kujulurkan es cone namun Bu Bambang hanya sedikit menggerakan kepala membuatnya tak bisa menjangkau es coneku. Kujulurkan lagi tapi susah. Akhirnya kubuka dulu sabuk pengamanku. Posisiku jadi agak ke tengah. Kudekatkan es cone ke mulutnya. Lidahnya menjulur menjilat es, lantas lidah itu menghilang ke dalam mulutnya.

Namun tak cukup sampai di situ, lidahnya kembali terjulur. Kali ini bukan es cone yang menjadi targetnya. Jemarikulah yang dijilatinya. Jilatan ketiga kembali ke es. Begitu banyak es yang terjilat, membuat sebagian tumpah membasahi dagunya. Kulepas tisu dari gagang es cone untuk mengelap dagunya.

"Makasih Li."
"Sama – sama."

Aku kembali membetulkan posisi duduk.

"Lagi dong."

Kembali kudekatkan es cone ke depan mulutnya. Namun ternyata sudah mulai meleleh. Segera kuletakan tangan kiri di bawah es cone agar tak jatuh. Namun telat, beberapa tetes telah membasahi dagu Bu Bambang. Reflek Bu Bambang mengedepankan kepalanya membuat tetesan yang turun dari dagu menetes di paha beberapa milimiter dari roknya.

"Dingin, bersihin dong."

Aku hanya melongo melihat es cone yang mulai meleleh di paha Bu Bambang.

"Ambil dong Li, colek."

Kucoba mencolek es. Namun lelehannya makin masuk ke dalam.

"Jangan sampai kena rok!"

Tangan kiri Bu Bambang, yang masih memegang es cone, menarik ke roknya ke dalam, memperlihatkan lagi sisi dalam pahanya.

Otomatis, es cone di tangan Bu Bambang meleleh jatuh menimpa pahanya yang telah tertetesi es coneku. Tangan Bu Bambang jadi makin dalam menarik roknya hingga terlihat garis tipis celana dalamnya.

Berbeda dengan es cone yang terus bergerak, pikiranku malah diam.

"Ibu mesti nyetir nih. Jadi kamu yang harus bersihin esnya."

Mataku terpaku pada celana dalamnya yang menutupi selangkangan Bu Bambang.

"Ali.
"Ali."
"Ya."
"Jangan didorong, ambil!"
"Iya."

Kucolek tanganku agar esnya keluar. Akhirnya bagian terbesar es ada di jariku. Aku bingung cari lap untuk mengelap jariku, namun kuputuskan untuk memasukannya ke mulut dan menjilatinya.

Kembali kuletakan tangan di paha Bu Bambang untuk mengambil esnya. Kulihat pahanya basah, namun mataku kembali terpaku pada cd pink Bu Bambang.

Mungkin melihat arah mataku, dan efek yang ditimbulkan es cone mulai melebar, Bu Bambang akhirnya mengangkat roknya sepinggang hingga terpampanglah dengan jelas, selangkangannya yang terbungkus cd pink.

Kembali kudaratkan jemari di pahanya, kini pendaratanku makin mendekati cdnya. Kucolek es dan saat jemariku di depan mulut, Bu Bambang bersuara.

"Hey."

Kutatap Bu Bambang yang telah membuka mulutnya. Kini kumasukan tangan ke mulut Bu Bambang. Jemariku langsung mengenai lidahnya. Bibirnya menutup sebelum aku menarik tanganku. Jemariku langsung dihisapnya.

Aku diam. Terkejut. Hingga beliau bergumam agar aku menarik tanganku. Kutarik namun ternyata mulut beliau masih menyedotnya hingga akhirnya jemariku bebas, lepas.

"Enak ya. Cepet bersihin."

Aku kecewa saat melihat pahanya. Hanya tinggal sedikit yang tersisa.

"Udah meleleh."
"Sayang dong. Padahal enak."

Bu Bambang tertawa. Aku ikut tertawa sambil mencolek pahanya. Kembali kumasukan jemariku, yang hanya ada sedikit es, ke dalam mulut Bu Bambang. Namun kini kugerakan jemariku dalam lebar lidahnya.

"Mmmmm..."
"Satu lagi."

Kenapa aku gak bilang masih ada banyak? Lagian Bu Bambang kan gak liat.

Saat aku kembali duduk dengan benar di kursi, Bu Bambang menyodorkan lap di tangannya.

"Lap pake ini dong."

Kuraih dan kulap.

"Pelan – pelan. Paha ibu kan bukan meja."

Kulap, namun tanganku tak berani menyentuh cd pinknya.

"Makasih Li. O, ya, bentar lagi nyampai nih."

Saat aku akan memasang sabuk pengaman, kusadari ada gundukan di celanaku. Kutatap Bu Bambang namun tampaknya beliau tak menyadarinya. Akhirnya mobil parkir di sebuah rumah. Bu Bambang membetulkan roknya.

"Akhirnya kita sampai Li."
 
Terakhir diubah:
"Selamat datang di rumah."

Mungkin Bu Bambang mencoba mencairkan kekikukanku. Kulihat Pak Bambang, namun dia sama sekali tak terpengaruh. Menoleh pun tidak.

"Jangan sakit hati ya. Bapak memang gitu. Keras."

Bu Bambang mencoba menghiburku sambil membimbingku menuju ruang yang kukira akan menjadi kamarku.

"Tiru Eri, anggap aja Bapak gak ada."
"Eri juga digituin?" Aku terkejut mendengarnya.
"Iya. Kayak ada jurang pemisah yang makin melebar. Tapi bukan salahnya Eri."

Aku ingin tahu lagi, tapi tak bertanya lebih jauh. Aku ikuti Bu Bambang naik tangga. Kulihat pergerakan pantatnya, yang sungguh sangat menawan. Kami tiba di kamar yang cukup besar, yang seingatku dulu sering menjadi ruang bermain kalau aku dan Eri selagi kecil, dulu. Bu Bambang menaruh tasku di kasur, sedang aku menaruh ransel di lantai.

"Gimana?"
"Bagus Bu."
"Syukurlah kalau kamu suka. Ada tape dan tv juga dvd."
"Makasih Bu. Makasih banyak."
"Gak perlu. Lagian ini juga untuk kebaikanmu."

Aku masih terharu akan keramahannya hingga tak menyadari kalau Bu Bambang mendekatiku dan mencium bibirku. Lantas Bu Bambang keluar kamar, meninggalkanku yang berdiri terpana. Aku serasa tak percaya Bu Bambang mencium bibirku. Aku jadi berharap agar Eri gak pernah pulang.

Aku harus berusaha agar Pak Bambang menyukaiku. Setidaknya, tidak mendiamkanku. Agar aku bisa tinggal lebih lama lagi. Namun ternyata kenyataannya jauh lebih susah. Saat makan malam pun Pak Bambang tak pernah bicara padaku.

Sesudah itu, sambil membantu Bu Bambang di dapur, kukira beliau langsung ke dapur agar bisa menjauh dari Pak Bambang, Bu Bambang menyuruhku tetap sabar hingga Bapak memulai pembicaraan.

"Nanti juga berubah kok," katanya mencoba meyakinkanku.
"Bapak hanya, gimana ya, kuno.
"Lagian, Ibu dan Eri ingin kamu tinggal di sini. Biar Bapak yang mengalah."

Aku tak lagi fokus mendengar suaranya karena lututnya menyentuh lututku. Ternyata Pak Bambang ke dapur, meletakan piringnya ke wastafel. Setelah itu kembali pergi. Aku yakin Pak Bambang melihat istrinya menyentukan lutut ke lututku.

"Bikinin kopi dong."
"Iya."

Saat Bu Bambang melewatiku sambil membawa kopi, beliau kembali menyentuhkan lututnya ke lututku, seolah sentuhan lutut itu merupakan cara komunikasi rahasia. Beberapa hari kemudian Bu Bambang selalu berbuat sesuatu agar mendapatkan perhatianku. Selain menyentuhkan lutut, juga memegang lenganku, mengelus kakiku dengan kakinya saat kami duduk di sofa yang sama.

Bu Bambang selalu menyuruhku melakukan sesuatu. Seperti menjemur cucian di halaman. Okelah, aku bisa keluar menjemur saat aku tahu ada Bu Bambang yang mengawasiku. Namun saat Bu Bambang menyuruhku menutup dan atau mengecek pintu pagar, aku begitu gugup, begitu tegang saat kembali di rumah. Aku mencoba menyembunyikan kegugupanku dari Bu Bambang. Bu Bambang selalu terlihat senang kalau aku melakukan apa yang diperintahkannya. Lantas memelukku, seolah memberikanku hadiah, yang tentu kuterima dengan senang hati.

Tapi saat Pak Bambang ada di rumah, aku mencoba menjauhi Bu Bambang. Namun ternyata sulit, karena Bu Bambang mulai memakai pakaian yang, terbilang seksi, seperti pakaian berbahan tipis, setipis sutra, begitu tipisnya bagaikan tiada lagi yang lebih tipis. Atau bahkan pakaian yang ketat, begitu ketatnya hingga seolah tiada lagi yang lebih ketat.

Saat aku dipeluknya, aku menjadi ragu apakah Bu Bambang memakai pakaian dalam di dalam bajunya. Rasa penasaranku makin besar karena kini Bu Bambang memakai baju dengan belahan leher yang lebar.

Ketakutanku terhadap Pak Bambang tentu tak perlu saat Bu Bambang memelukku saat Pak Bambang tak ada. Namun kenyataanya, saat Pak Bambang ada, Bu Bambang seolah tak peduli dan tetap memelukku. Meski pergerakan Bu Bambang tak terlihat menggoda, namun kenyataannya tetap menggoda.

Aku takut Pak Bambang jadi marah hingga mengusirku.

Tingkah laku Bu Bambang saat ada Pak Bambang kini makin bervariasi. Bu Bambang duduk di sofa, menyilangkan kaki hingga membuat roknya turun hingga pahanya makin terlihat. Pun duduk sedemikian rupa hingga menyebabkan salahsatu payudaranya menyembul. Kalau aku tak menyadarinya, Bu Bambang akan bergerak dan atau bersuara hingga aku menoleh.

Suatu ketika, aku sedang dalam keadaan terangsang. Tentu gundukan di celanaku terlihat jelas. Aku capek mencoba menyembunyikan efek dari tingkah laku Bu Bambang, yaitu tonjolan di celanaku, setidaknya dari mata Bu Bambang.

Suatu ketika, Bu Bambang merebahkan diri di sofa. Kakinya menyentuh sisi sofa hingga terangkat. Pak Bambang di belakang Bu Bambang, sedang aku agak jauh namun posisiku duduk menatap mereka. Bu Bambang mengangkat lututnya hingga membuat roknya jatuh memperlihatkan pahanya. Baru kali ini aku kembali melihat pahanya setelah insiden es cone dulu.

Otomatis kontolku menegang. Pak Bambang mendeham, aku melihatnya sambil merasa berdosa. Aku merasa Pak Bambang mengetahui kelakuan istrinya.

Suatu ketika, kaki kiri Bu Bambang naik ke sandaran sofa, sedang kaki kanannya jatuh ke lantai, membuat kakinya melebar hingga selangkangannya tersaji untuk mataku. Aku tak begitu fanatik terhadap hal – hal berbau porno, tapi kali ini aku jadi ingin menikmati gundukan daging milik Bu Bambang.

Setelah beberapa lama, aku putuskan kembali ke kamar. Begitu ada di lantai atas, aku mendengar Bu Bambang bicara dengan Pak Bambang. Entah kenapa aku merasa suara Pak Bambang tak terdengar senang.

***

Aku sedang menonton tv sambil berbaring di kamar, sehabis menumpahkan peju di kamar mandi yang ada di kamarku. Aku mendengar pintuku diketuk, lantas terbuka. Bu Bambang lantas masuk dan duduk di kasur.

"Mau minum susu gak? Teh atau kopi?"

Aku menggelengkan kepalaku. Bu Bambang kini memakai daster tidurnya.

"Ali lupa gak cium sebelum tidur dulu sama Ibu."
"Apa... Tapi..."
"Atau Ali gak mau ya? Ya gak apa – apa kalau gak mau."
"Mau bu."
"Kalau gitu cium ibu dong."

Aku bangkit dan menekankan bibirku ke bibir Bu Bambang, sekilas. Saat aku kembali merebahkan diri, Bu Bambang ikut rebahan hingga bibirnya kembali menyentuh bibirku. Tekanan bibirnya lebih lama dari yang tadi. Lantas dia menarik kepalanya.

"Gitu saja?"
"E... ng...."

Bu Bambang bangkit lantas berdiri.

"Selamat tidur Li."
"Sama – sama Bu."
"Di dalam kenyataan, kamu harus berjuang untuk mendapat apa yang kamu inginkan. Kalau gagal, coba terus hingga berhasil."

Bu Bambang melangkah hingga keluar dari kamarku. Tipisnya daster Bu Bambang membuatku yakin kalau beliat tak memakai apa – apa lagi di dalamnya. Aku mencoba berpikir mengenai makna kenyataan hidup, yang Bu Bambang katakan. Namun karena lelah, aku pun tertidur.
 
Esoknya Bu Bambang memakai kaos berkerah lebar dan rok yang pendek. Belahan dadanya terlihat jelas. Pak Bambang terlihat murung, lantas cepat keluar dari rumah tanpa bicara. Bu Bambang lantas ke halaman belakang, duduk santai di kursi malas namun aku tetap di dalam rumah. Aku takut Pak Bambang kembali.

Setelah sejam atau lebih Pak Bambang tak kembali. Aku keluar, ke halaman belakang dan duduk di sambil Bu Bambang yang lagi membaca. Menyadari aku yang duduk di sebelahnya, Bu Bambang menaruh bukunya dan mulai mengoles kakinya. Entah dengan hand body atau apa aku tak tahu.

Apa yang Bu Bambang lakukan sungguh erotis di mataku. Terlebih aku menyadari Bu Bambang melakukannya untukku.

Aku ingin menyentuhnya.
Aku ingin mengoleskan lotion itu pada kakinya.
Tapi keberanianku tak ada.

Selesai dengan kaki, kini Bu Bambang mengoleskannya di tangan. Setelah tangan, Bu Bambang memasukan tangan ke dalam baju dan mengoles tubuhnya yang terbalut kaos. Bu Bambang terlihat tak peduli pada satu – satunya orang yang memperhatikannya.

Bu Bambang mengejutkanku saat kakinya menyentuh kakiku lantas menatapku. Meski aku tak memiliki keberanian, namun tatapanku tak beranjak dari matanya.

"Ibu lapar nih. Mau makan gak?"

Aku mengangguk.

Tak ada lagi godaan dari Bu Bambang hingga malam saat Bu Bambang kembali melakukan aksinya di sofa. Pak Bambang terlihat tak senang tapi saat aku beranjak ke kamar, ternyata tak ada obrolan sama sekali.

Malam ini, saat Bu Bambang membungkuk mencium selamat malamku, kucium agak lama, bahkan kuberanikan diri memengang bahunya saat Bu Bambang mencoba bangkit. Efeknya tentu dadaku merasakan tekanan dari payudara Bu Bambang.

"Ali suka gak mencium Ibu?"
"Iya bu."
"Ali suka gak liat kaki Ibu?"
"Iya."
"Papanya Eri gak suka lho."
"Ali tahu."
"Tapi Ali tetep liat?"
"Habisnya gimana lagi."
"Gak apa – apa kok. Lagian ibu juga gak keberatan."
"Benarkah?"
"Iya. Ibu jadi merasa cantik dan senang."

Bu Bambang kembali membungkuk dan menciumku. Kali ini tekanan payudaranya makin meningkat di dadaku.

"Ali senang liat kaki Ibu?"
"Iya."
"Tapi gakkan Ibu kasih liat lagi kecuali Ali melakukan sesuatu untuk Ibu."
"Melakukan apa Bu?"
"Beliin ibu sesuatu ke minimarket."
"Sendiri?"
"Iya, sendiri. Mini market yang deket rumah. Ali mau kan, demi Ibu?"

Bibir Bu Bambang kembali menyentuh bibirku.

"Iya," jawabku lirih.
"Bagus," katanya terdengar senang, lantas menciumku agak lama lagi.
 
Esoknya aku ke minimarket, membeli dua buah susu uht yang dua liter. Aku tak bilang ke Bu Bambang kalau pulangnya aku berlari dengan cepat, begitu cepatnya bagaikan tiada lagi yang lebih cepat. Bu Bambang juga tak bertanya kenapa aku ngos – ngosan kecapaian saat tiba di rumah.

Aku kecewa melihat kaki Bu Bambang yang biasanya memakai rok pendek, kini memakai rok yang agak panjang. Bu Bambang menyadari tatapanku yang sedang melihat kakinya.

"Nanti malam Li, setelah Bapak pulang."

Aku kecewa.

"Sabar. Masa gak bisa nunggu beberapa jam sih."

Kekecewaanku tak langsung sirna. Aku telah belanja, sendiri. Aku ingin hadiahku.

"Kamu mau melihatnya sedikit?"

Aku mengangguk.

Bu Bambang mengangkat sedikit roknya. Mataku menatap.

"Ali suka kaki ibu"
"Iya."

Roknya ditarik makin ke atas.

"Ali bener – bener suka?"
"Iya, bener – bener suka."

Makin ke atas.

"Sesuka itu?"

Aku lupa mengiyakan karena ujung roknya makin naik hingga mulai terlihat cdnya. Kali ini warnanya kuning. Roknya makin ke atas hingga sampai ke perutnya.

"Ali suka celana dalam ibu gak?"

Aku hanya sanggup mengangguk.

"Ali ingin ibu pake ini malam nanti atau ingin yang pink?"

"Iya."

Aku tak percaya Bu Bambang tahu kalau aku melihat cdnya waktu di mobil dulu.

"Meski Bapak duduk di belakang Ibu?"
"Iya."
"Baik kalau kamu memang suka."

Bu Bambang melepas roknya lantas melangkah mendekatiku. Bu Bambang menciumku.

"Sebaiknya kamu kembali ke kamar hingga nanti Bapak datang."

Aku tak setuju, namun tetap melakukan apa katanya.

***

Malamnya Bu Bambang menepati janjinya. Kaki kanannya digerakan seolah mengelus paha kaki kirinya. Saat kedua pahanya dilebarkan, aku seolah bisa melihat cd kuningnya. Lantas Bu Bambang menatapku. Bola matanya digerakan ke kiri seolah bertanya apakah suaminya melihatnya.

Aku menggeleng pertanda tidak.

Tangannya meraih ujung rok dan menariknya hingga ke pinggang. Ternyata Bu Bambang tak memakai cd sama sekali.

Selanjutnya, saat Bu Bambang ke kamar, aku tak bisa menyembunyikan ereksiku dari dalam celana. Saat Bu Bambang melihatnya, aku merasa seolah makin mengeras.

"Apa ibu membuatmu senikmat itu?"
"Iya."
"Bagus, karena esok Ibu ingin kamu melakukan sesuatu untuk Ibu."
"Belanja lagi?"
"Iya."

Bu Bambang membungkuk. Daster yang dipakainya kali ini memiliki rok yang lebih pendek. Dan susunya terlihat lebih dari belahan lehernya.

"Kali ini ibu ingin kamu beli sepatu lari untuk Ali. Biar ibu nanti kasih uangnya."
"Sepatu lari, dari mana?"
"Dari mall."

Ketakutan langsung menyelimutiku membuatku merinding. Bu Bambang makin mendekatkan diri kepadaku hingga payudaranya menyentuh dadaku.

"Ali, sadar."
"Mall kan lumayan jauh. Ali gak ..."
"Gak jauh – jauh amat kok. Ali pingin tahu gak hangatnya tubuh Ibu karena apa yang Ali lakukan?"

Aku tak bisa bicara, tapi tatapanku seolah menyiratkan suatu jawaban. Bu Bambang merebahkan tubuh diatas tubuhku seutuhnya. Aku bisa merasakan hangatnya tubuh Bu Bambang, meski kami memakai pakaian.

"Gimana, hangat gak?"
"Iya."

Aku mendadak lupa tentang mall. Selangkangannya menekan selangkanganku. Bibirnya berada di telingaku.

"Ali mau kan ke mall?" bisik.

Kontolku berdenyut.

"Boleh gak Ali merasakan hangatnya tubuh Ibu tiap kita berciuman selamat tidur?"

Bu Bambang tertawa.

"Pinter Li. Kamu mesti bilang, meminta saat menginginkan sesuatu. Meski tak bisa kamu dapatkan."
"Jadi ali gak boleh?"
"Ibu gak bilang gitu."
"Biasanya manusia tak selalu mendapat apa yang dia inginkan. Jadi Ali mesti pintar memilih waktu.
"Seperti sekarang, saat Ali punya sesuatu untuk ditukar. Kamu mesti ke mall dulu."
"Baiklah."

kupegang bahu Bu Bambang agar Bu Bambang tak bisa bangkit. Namun ternyata Bu Bambang malah makin menekankan tubuhnya.

"Cium Ibu," bisiknya.

Saat aku mencium beliau, tanganku beralih dari bahunya memasuki daster hingga bagian pinggir payudaranya. Tentu aku tak bisa meremas payudaranya karena tertekan ke dadaku. Aku pun tak mencobanya. Mungkin kali yang lain.

Sekilas, tapi melintas dengan goresan mendalam, aku penasaran kenapa mamanya Eri bertindak seperti ini? Sebelumnya beliau tak pernah seperti ini. Setidaknya, aku tak pernah ingat mamanya Eri bertindak seperti ini.

Lantas mulut Bu Bambang beralih dari sebelah kupingku ke mulutku. Rasa penasaranku pun hilang.
 
Pelayan toko olahraga mengira aku aneh. Begitu masuk, kuberikan uang yang Bu Bambang kasih kepadanya.

"Saya mau beli sepatu lari."

Aku duduk dan dia langsung melihat kakiku, mungkin mencoba menakar ukurannya. Aku melihat pintu toko.

"Lari," batinku berteriak.

Tapi bagian lain dari diriku, bagian yang menjadi dominan akibat perlakuan Bu Bambang seolah mencegahku.

"Kamu telah sejauh ini, kalau lari, sia – sialah sudah. Kamu bisa, pikirkan hadiah yang akan kamu terima dari Bu Bambang, yang menunggu kamu di rumah," batinku lagi.

Kubayangakan Bu Bambang berbaring di sofa. Kakinya terpampang, haus akan tatapanku meski ada suaminya. Jiwaku seolah lepas dari tubuh, melayang mendekati Bu Bambang hingga bisa melihat cdnya dengan begitu jelas. Bu Bambang bicara, tapi aku tak begitu jelas mendengarnya. Jangan gugup Li, Kamu pasti bisa. Lakukanlah demi Ibu.

"Coba yang ini pak."

Lamunanku buyar lantas melihat pelayan.

"Iya. Biar saya pakai."
"Baik, biar saya masukan yang ini."

Pelayan lantas mengambil sepatuku.

"Tak perlu, biarkan saja."
"Sayang lho pak, masih bagus."
"Saya hanya bercanda," aku mencoba tertawa.

Tentu orang akan curiga kalau aku meninggalkan sepatuku di toko. Atau memberikan seluruh uang kembaliannya untuk pelayan, yang hampir aku lakukan. Aku menanti dengan sangat cemas hingga pelayan menaruh sepatu lamaku ke dus baru dan memasukannya ke kantong. Lantas uang kembaliannya dia berikan padaku.

Aku tak lari keluar toko. Bahkan aku berjalan biasa hingga keluar dari mall. Kenyataanya , aku berjalan hingga ke rumah. Kepalaku dipenuhi pikiran – pikiran tentang Bu Bambang. Aku melakukan ini untuk Bu Bambang, bahkan aku akan melakukan apa saja demi Bu Bambang.

Aku kecewa melihat mobil sudah ada, tanda kalau Pak Bambang sudah pulang. Aku melangkah lunglai ke rumah. Namun sebelum masuk, aku mendengar Bu Bambang bercakap dengan Pak Bambang. Aku penasaran dengan apa yang mereka percakapkan. Aku pun tak langsung masuk, namun mencoba mencuri dengar.

"Mama melangkah terlalu jauh."
"Mama tahu apa yang mama lakukan."
"Benarkah? Mama menggodanya. Bahkan membiarkannya melihat kaki mama. Ya tuhan."
"Mama gak mempertontonkan kaki. Mama hanya berbaring santai."
"Mah."
"Baik, mama memang memperlihatkan kaki mama. Terus kenapa? Papa tahu gak dia kemarin ke minimarket beli susu. Dan papa tahu dimana dia sekarang?"
"Tentu tidak mah"
"Mama kasih tahu. Dia ke mall pergi beli sepatu lari."

Suara Bu Bambang terdengar seperti bangga.

"Mama suruh dia ke mall sendirian? Ya tuhan, apa yang mama lakukan?"
"Dia akan baik – baik saja."
"Enggak mah. Apa yang mama suruh terlalu dini. Terlalu cepat."
"Jangan papa hancurkan apa yang sudah mama lakukan."
"Dia gakkan bisa mah."

Tangis. Aku mendengar suara tangis. Tangis Pak Bambang.
Awalnya aku yakin Bu Bambang yang menangis, namun setelah mendengar lebih teliti, suara tangis itu adalah suara Pak Bambang.
Aku terkejut Pak Bambang menangis karena kepeduliannya padaku.

"Dia bisa. Dan dia melakukannya demi mama."
"Kenapa? Apa mama kira mempertontonkan kaki bakal..."
"Diam. Papa udah janji gakkan membicarakan itu."

Kuputuskan untuk masuk. Kubuka pintu dan suara – suara itu langsung hilang. Mereka menatapku.
Bu Bambang melihatku, biasa saja. Tanpa kesan apapun.
Pak Bambang melihatku, terkejut seolah terpukau.

Aku penasaran dengan tatapan Pak Bambang. Pergi ke mall beli sepatu menurutku bukan suatu yang wah. Bahkan, malam nanti aku akan bertanya ke istrinya apa lagi yang dia mau aku lakukan.

Kalau soal pertunjukan kaki saja Pak Bambang marah, bisa jadi Pak Bambang kena serangan jantung kalau melihat istrinya menindih tubuhku.

Tapi kali ini, tak terlihat sedikitpun amarah di mata Pak Bambang. Bahkan, Pak Bambang terlihat senang membuatku terlihat bersalah.

***

Lebih dari semenit kami berciuman. Tanganku masuk ke belahan leher bajunya lantas mengelus punggungnya.

Kusadari Bu Bambang mencoba membantu teman anaknya untuk menguasai rasa takut.
Rasa takut kesendirian.
Rasa takut sendiri di luar, di tempat yang ramai.
Mencoba membantu dengan cara menggodaku.

Kuakui bantuannya berhasil. Dan aku ingin dibantu lebih jauh lagi. Aku mulai berpikir untuk minta membantunya lagi belanja. Namun kusadari lebih baik tidak meminta karena bisa jadi Bu Bambang berpikir kalau aku gak lagi takut dan tak perlu dibantu lagi.

Bu Bambang menekan lutut ke kasur mencoba bangkit saat merasakan kontolku yang makin menegang.

"Ali benar – benar takut saat di sana."

Usapan tanganku di punggungnya makin ke bawah dan menekan agar selangkangannya kembali menekan selangkanganku.

"Tapi Ali bisa menguasainya kan," suaranya terdengar bangga.
"Ali hampir lari, Ali hampir kabur."
"Benarkah?"
"Iya."

Bu Bambang terlihat khawatir.
Kuangkat selangkanganku sambil mencoba menekan punggung Bu Bambang.

"Tapi Ali melawan keinginan untuk kabur kan?"
"Iya, Ali mencoba memikirkan Ibu, seperti sekarang. Itulah yang membuat Ali berani."
"Nah, Ali bisa kan."
"Iya, karena Bu Bambang."

Tekanan tanganku kini membuat selangkangan Bu Bambang kembali menekan selangkanganku.

"Ali gakkan bisa melakukannya kalau bukan demi Bu Bambang."
"Li, Bapak mulai curiga. Ibu mestinya gak membiarkan permainan kita lebih jauh lagi."
"Ali gakkan bisa melakukannya kalau tanpa Ibu. Ali mau pergi lagi besok, asal Ibu janji mau terus bantu Ali."
"Ibu gak bisa bantu kamu selamanya. Hanya sampai kamu bisa melakukannya dengan kemauan sendiri."
"Makasih Bu."

Kugoyangkan pantatku dan kembali bicara agar Bu Bambang tak menyadarinya.

"Pak Bambang sepertinya mulai menyukai Ali."
"Tentu saja."

Tangan Bu Bambang kini memegang wajahku. Kucium Bu Bambang.

Untuk kali pertama, kujulurkan lidah meski aku tahu Bu Bambang akan menolaknya.
Ternyata tidak.
Lidahku menyentuh bibirnya.
Lidahku melewati bibirnya.
 
"Gak ada yang lupa?"

Bu Bambang melihat kosmetik yang berserakan di meja. Kosmetik yang baru saja aku beli.

"Dari beberapa toko berbeda kan?"

Berbeda dari hari kemarin, kali ini Bu Bambang terlihat terpukau.

Kuusapkan lutuku ke belakang lututnya. Lantas kutekan selangkanganku ke pantatnya. Wajah Bu Bambang menatap ke arah suaminya sedang duduk.

Aku tak peduli, kugesekan selangkanganku dan kucium pipinya.

"Jangan Li"
"Sedikit hadiah dong."

Kuputar tubuh Bu Bambang lantas kucium.

"Ada Bapak."
"Biar saja."

Kucium lagi Bu Bambang. Kumainkan lidah. Bu Bambang mencoba berontak. Kupegang rambutnya hingga kepalanya diam. Setelah beberapa detik, Bu Bambang mulai tenang.
Tangan kananku kini meremas susu kirinya. Bu Bambang tak protes.

Saat Bu Bambang berbalik untuk menghitung lagi kosmetiknya, Pak Bambang datang.

"Apalagi ini? Sukses belanja lagi? Hore."
"Iya. Ali beli ini. Tapi dari beberapa toko berbeda."
"Benarkah? Menakjubkan. Bapak udah bilang ke mamamu kalau ini hanya sementara."

Bu Bambang mendadak menatap, memelototi suaminya.

"Maksud bapak, rasa takut di luar rumah, eh, tapi kamu benar – benar sembuh."
"Iya. Ali rasa Ali bisa melakukannya dengan sedikit motivasi."

Aku menyadari kecanggungan Pak Bambang karena menyinggung mamaku. Pak Bambang tentu tahu kalau orang tuaku telah meningggal. Reaksi Bu Bambang menyiratkan seolah dia khawatir kalau aku berbicara soal orang tuaku.

Pak Bambang kini mencoba mengganti topik pembicaraan.

"Memang luar biasa perkembangannya. Tapi kita mesti terus mencoba."

Setelah Pak Bambang pergi, Bu Bambang kembali bicara, pelan.

"Jangan dengar omongannya. Kadang dia bicara tanpa dipikir dulu."

Kurasa Bu Bambang terlalu khawatir padaku. Orang tuaku telah lama meninggal. Aku bahkan tak bisa mengingat wajah mereka. Bahkan, aku tak bisa mengingat mereka. Apa mungkin Bu Bambang memang sepantasnya khawatir?
Mungkin ada sesuatu yang menyebabkanku tak bisa mengingat orangtuaku. Aku mulai khawatir. Tapi tak kutunjukan pada wajahku.

"Iya Bu, Ali juga gak memikirkannya."

Malamnya, seperti biasa, Bu Bambang mempertunjukan kebolehannya. Aku tak lagi khawatir pada Pak Bambang semenjak beliau menunjukan kekagumannya atas diriku. Dan lagi, dari pembicaraan mereka yang aku kuping dari luar rumah, Pak Bambang menyerahkan sepenuhnya aksi Bu Bambang untuk membantuku mengatasi ketakutanku.

Aku merasa Pak Bambang tak lagi keberatan atas aksi istrinya. Atas aksi istrinya yang diketahuinya. Tentu Pak Bambang akan marah jika tahu aksi istrinya yang terjadi diluar sepengetahuannya.

Kini Pak Bambang sedang nonton berita. Saat iklan, Pak Bambang beranjak ke kamar mandi. Aku beranikan diri menghampiri Bu Bambang untuk melihat tubuhnya dari dekat. Bu Bambang tak mau repot – repot menutupi tubuhnya.

Aku makin berani, kulebarkan selangkangannya hingga terlihatlah cd birunya. Bu Bambang tak terlihat panik karena memang belum terdengar siraman air dari kamar mandi.

Tentu aku belum menyadari kalau Bu Bambang tak suka dipaksa atau dibuat terburu – buru. Apalagi beliau tak berusaha menutup pahanya. Tapi matanya menatap ke arah lain, menunjukan ketidaksukaannya.

Tatapan Bu Bambang itu menyadariku kalau Bu Bambang tak suka paksaan.

"Maaf bu. Ali gak bisa bersabar. Aku terlalu antusias menunggu esok hari."

Tatapan Bu Bambang melunak.

"Masih butuh bantuan ibu ya?"
"Selamanya bu. Ibu nanti mau ke kamar Ali?"
"Emang Ali butuh Ibu?"
"Iya."
"Kalau gitu Ibu akan datang."

Terdengar suara siraman air.

***

Lampu kamarku mati. Satu – satunya sumber cahaya berasal dari tv, yang suaranya ku-mute-kan, alias tiada suara. Bu Bambang lantas masuk dan menciumku.

"Ibu gak bisa lama, Bapak belum tidur."

Aku tak membantahnya. Kuangkat kepala dan menciumnya. Tangan kananku memegang kepalanya sedang tangan kiriku memegang bahunya.

"Mungkin untuk satu ciuman saja," lirihnya.

Kutekan tanganku hingga tubuh Bu Bambang menindihku. Kucium.

"Kamu nakal ya menahan Ibu," katanya sambil telunjuknya mengelus dahiku. "Bapak pasti bertanya – tanya kenapa Ibu lama sekali."
"Benarkah?"

Kembali kucium bibir Bu Bambang. Rupanya Bu Bambang mulai sadar akan tiadanya selimut yang memisahkan tubuhku dan tubuhnya.

"Selimutnya kemana?"
"Gerah bu, jadi gak pake selimut."

Tanganku memeluknya erat agar tak bangkit.

"Tapi kita gak boleh begini."
"Begini gimana?"
"Tanpa selimut."
"Kenapa? Lagian bedanya apa?"
"Gak sopan."
"Kenapa? Kita kan berpakaian, gak telanjang."

Tak kusinggung tentang diriku yang hanyha memakai celana pendek. Kucoba mencium tapi bibirnya menolak.

"Entahlah, ibu rasa terlalu."
"Tenang aja."

Kutahan kepalanya dan kuhujani bibirnya dengan ciumanku. Awalnya Bu Bambang menolak, namun akhirnya pasrah.

"Pak Bambang bakal penasaran Ibu ke mana. Ibu mesti pergi."

Kuelus punggung Bu Bambang dengan tanganku.
Kuelus bibir Bu Bambang dengan bibirku.

"Ibu mesti pergi."

Aku tahu Bu Bambang tak ingin beranjak.

"Bapak kemungkinan ketiduran."
"Kamu yakin?"
"Apa bapak lagi baca?"

Kuarahan tanganku ke pantatnya. Kuelus dan kuremas. Tiada penolakan.

"Iya."
"Kan Ibu bilang bapak selalu langsung ketiduran kalau lagi baca di kasur."
"Memang."
"Jadi Ibu gak usah terburu – buru."
"Mungkin."

Kuremas pantatnya dengan kedua tanganku dan kucoba melebarkannya.

"Tanganmu lagi ngapain?"
"Lagi meriksa hadiah dong."
"Hadiah?"
"Cd biru ini."
"Kamu mesti belanja ke tempat spesial kalau mau hadiah itu. Besok Ibu beri hadiahnya."

Bu Bambang menggodaku, namun tak mencoba menyingkirkan tanganku.

"Sekarang."
"Sekarang?"
"Ali ingin hadiahnya sekarang biar esok bisa beraksi lagi."
"Ibu gak bisa ngasih sekarang. Kan lagi Ibu pakai."
"Kan Ibu pake daster, tinggal lepas saja."
"Ibu gak bisa tidur tanpa cd. Ntar Bapak menyadarinya."
"Bapak kan tidur."
"Siapa tahu belum."
"Bapak gakkan menyadarinya."

Kucium Bu Bambang. Tangan kiriku mengelus rambutnya sedang tangan kananku tetap di pantatnya. Lantas aku mulai menarik ujung dasternya.

"Mau ngapain kamu?"
"Siap – siap ambil cd."
"Ibu gak bilang boleh."

Aku tak bicara namun tetap menarik ujung dasternya.

"Jangan sekarang. Ibu lepas saat ibu pergi."
"Jangan, sekarang aja."
"Ali, Ibu gak bisa.."
"Bisa, Ibu bisa."

Kuangkat hingga ujung roknya mencapai pinggangnya. Lantas Bu Bambang mengangkat pinggul dan menarik cdnya.

"Biar sama Ali bu."

Bu Bambang diam membiarkanku menarik cdnya hingga ke lutut. Lantai kakiku menariknya hingga lepas. Kami kembali beciuman. Kali ini tanganku mengelus pantatnya langsung tanpa terbungkus cd. Kulebarkan pantatnya hingga beberapa kali karena tiada penolakan.

Bu Bambang mulai menggoyangkan selangkangannya kepadaku. Celanaku mulai basah. Kupikir aku orgasme, lantas kusadari aku belum orgasme.

Bu Bambang melepas ciumannya lantas menekan memeknya ke celanaku sambil terus menggoyangkannya. Tangannya mencengkram bahuku sedang kepalanya berada di samping kepalaku.

Aku orgasme.

Beberapa detik kemudian, Bu Bambang bangkit. Bagian rok depan dasternya terlihat basah.

"Duh," kata Bu Bambang lantas melepas dasternya hingga telanjang. "Sebaiknya Bapak udah tidur lelap." Bu Bambang memegang dasternya, lantas mengambil cdnya dan keluar dari kamarku.
 
bingung aku. Lulus smk, dapet beasiswa sekolah gratis di universitas di bandung, jurusan tata boga. Perkuliahan masih lama, tapi aku tentu harus pindah dari sekarang. Untungnya ada teman sd dulu yang kini pindah di bandung. Namun dia lagi kuliah di jogja. Entah tau kondisiku dari mana, akhirnya dia bujuk aku agar tinggal di rumahnya saja.

......

asli bingung...
Antara awal cerita dan kelanjutan ceritanya...
Maaf... Maaf...
Otak saya macet kayaknya...
:p
 
Anak ini punya phobia di tempat umum, tapi anehnya dari tempat asalnya ke bandung bisa pergi sendiri pakai kendaraan umum sebelum terapi dari bu bambang. Dan ini sedarah dari mananya ya?
 
Bimabet
Agak bingung sih tapi ceritanya slow banget aku suka...
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd