Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

[copas] Menikmati Deburan Ombak - Ibu dan anak.

qsanta

Semprot Lover
Daftar
17 Sep 2014
Post
269
Like diterima
977
Bimabet
Update :
- Di bawah [19 Oktober 15]
- Di bawah [21 Oktober 15]

Seperti biasa, ini copas dari RW sebelah.​

Menikmati Deburan Ombak​


Suara petir membangungkanku dari tidur. Kulirik jam, masih jam setengah satu malam. Tiba – tiba aku ingat, malam ini, kamis kliwon sepuluh kawolu, februari atau tepatnya tepat satu tahun suamiku meninggal.



Aku masih ingat, saat itu saat kemarau panjang, kutinggalkan anakku di rumah kakeknya, sedang aku dan suamiku sedang duduk di selembar tikar. Bulan bersinar dengan terangnya ditemani puluhan atau bahkan ratusan bintang. Di sisi laut itu, entah kenapa suamiku mengajak aku untuk menikmati deburan ombak di malam hari. Tak seperti biasanya, aku mengiyakan. Beberapa saat kemudian, tiba – tiba hujan turun dengan derasnya. Saat aku dan suamiku bangkit untuk menepi, saat itulah tiba – tiba petir menyambar suamiku. Meninggalkan aku yang pingsan sendirian. Meninggalkan aku di alam fana ini berdua dengan anak semata wayangku, meski matanya tidak seperti wayang. Kami namai anak kami wayan. Mungkin firasat ini yang mengilhami kami untuk memberi nama itu.



Teringat suamiku menjadikan aku teringat malam – malam sunyi, sepanjang hidupku selalu kesepian. Malam tanpa belaian seorang lelaki dan atau perempuan, pokoknya tanpa belaian. Aku rindu. Kuputuskan untuk mengerakan tangan ke selangkanganku. Daster kusingkap hingga sepinggang. Kumainkan tangan di selangkanganku. Kunikmati sapuan tangan di memekku dengan ekspresi yang, ekspresi yang terkejut.



Aku terkejut hingga membuatku diam membeku saat melihat anakku berdiri di pintu sambil sedang melihatku. Tiba – tiba aku tersadar, kucabut tanganku dan langsung kututupi memek dengan dasterku. Aku langsung duduk di kasur, kutepuk sebelahku. "Sini nak, duduk!"



Anakku tak beranjak, "Sini, jangan takut!" Akhirnya anakku duduk di sampingku.



"Mama lagi apa mah?"



Wajar anakku tak tahu apa yang kulakukan. Selain karena baru masuk smp, juga masih kuat kekanak – kanakannya. Berbanding terbalik dengan tubuhnya yang termasuk tinggi untuk seukuran anak seusianya.



"Mama lagi masturbasi sayang."

"Oh, seperti kata Bili. Tapi kok beda mah dengan cerita Bili?" kata anakku sambil menatap pahanya, menunduk.

"Tentu beda sayang, mama kan wanita, sedang bili kan lelaki," kataku sambil merangkul bahunya.



Wayan mengangkat kepala lalu menatapku. Wayan juga mengangkat tangannya dan mendaratkan di lututku. "Mah," katanya pelan, "saat mama memegang tubuh mama ...."



"Namanya memek."

"Oh, saat mama menyentuh memek mama, apa sakit mah? Mama kok kayak mau nangis?"

"Enggak nak, gak sakit. Bahkan mama gak nangis kok."

"Apa semua perempuan seperti mama?"

"Tentu tidak. Ada yang tinggi, ada yang pendek. Ada yang rambutnya panjang, ada yang keriting." Aku mulai menjelaskan gambaran umum tentang wanita kepada anakku. Kujelaskan juga perbedaan antara wanita dan pria. "Wanita memiliki memek. Sedang pria memiliki kontol. Kalau pria tertarik kepada wanita, biasanya kontolnya langsung keras."



"Kalau itu Wayan juga sering mah. Kalau pagi hari ingin pipis kontol Wayan pasti keras."



Aku tersenyum mendengarnya, "berarti kamu normal nak. Saat kontol pria sedang keras, pria bisa memasukan kontol ke memek wanita. Lalu bisa di gerakan bolak – balik. Pria dan wanita bakal merasak nikmat." Aku diam sesaat. "Kamu kok belum tidur sayang?"



"Gak bisa tidur mah."

"Ya udah, kamu tidur di sini aja ya sama mama." kataku sambil merebahkan anakku di kasur. Saat itu kulihat gundukan di selangkangannya. Betapa anakku kini telah gede.



Rupanya anakku sadar aku sedang melihat selangkangannya, "mama lihat apaan sih mah?"

"Eng... enggak liat apa – apa nak." kataku malu.



Anaku kini telah berbaring, namun aku masih duduk. Tangannya yang tadi di lututku otomatis kini berada di pahaku. "Mah, apa Wayan boleh liat mama gak?"



Meski terkejut, kuusahakan agar terlihat sebiasa mungkin. Kuatur nafasku lalu mulai berbicara, "melihat apa nak?"



"Saat Wayan datang, Wayan gak begitu jelas liat mama saat sedang memegang memek mama."

"Terus, apanya yang mau kamu liat?"

"Wayan ingin liat letak tangan mama dan ingin tahu memek itu kayak apa sih?"

"Kamu yakin nak?"

"Iya mah."



Aku lalu berdiri dan melepas dasterku. Aku kembali ke kasur. Wayan bergerak ke ujung kasur sementara aku berbaring dan melebarkan paha. Kutunjuk memekku. "Ini yang disebut memek. Namun kalau kamu belajar biologi di sekolah, namanya vagina." Kubuka bibir luar memekku dan menunjuk klitorisku. "Kalau ini namanya itil. Bahasa biologinya klitoris. Gunanya untuk memberi kenikmatan bagi wanita." Setelah itu, kutunjuk lubak memekku. "Kalau ini lubangnya memek. Di sinilah kontol masuk.

"Udah ngerti apa ada yang mau ditanyakan?" Tiba – tiba aku merasa bodoh berkata seperti ini.



Entah bagaimana caranya anakku telah ada diantara kakiku. Anakku lalu menyentuh anusku, "Kalau ini namanya apa mah?"

"Kalau itu pelajaran untuk lain hari nak."

"Boleh gak Wayan memegang mama?"

"Tentu saja sayang," kataku penuh kelembutan.



Wayan mengulurkan tangan hingga menyentuh kulit diatas memeku. Wayan lalu menatapku, mungkin untuk melihat reaksiku.



Aku hanya tersenyum kepadanya, "Teruskan nak!"



Wayan lalu membuka bibir luar mememku. Dengan tangan lain, dia menyentuh itilku. Aku menerawang saat merasakan sensasinya. Rupanya anakku cepat belajar.



"Mah," katanya lembut.



Aku membuka mata. Betapa tampannya anakku ini. Nafasku agak lebih cepat sekarang.



Wayan berdiri lalu melepas piyama dan melemparkannya ke lantai. Aku takjub melihat anakku. Meski masih kecil, namun tubuhnya, kontolnya serasa sudah siap memuaskan wanita.



"Mah?"

"Iya nak?"

"Ajari Wayan caranya dong mah!"

"Iya, coba berlutut di depan memek mama. Dorong pantatmu ke depan."



Wayan melaksanakan perintahku.



"Pegang kontolmu. Arahkan hingga menempel ke lubang memek mama."



Aku mengejan saat kontolnya menyentuhku.



"Sekarang kamu dorong pelan – pelan."



Begitu lama lahirku tak pernah dinafkahi. Begitu lama penantian ini hingga saat kontol anakku mencoba masuk, aku hanya ingin menjerit, mendesah, mengerang. Namun aku tahan hingga hanya mampu mengejang.



Wajah tampan itu menatapku seolah minta persetujuanku. Aku mengangguk membuat anakku terus melesakan kontolnya. "Kok rasanya enak mah? Wayan salah gak?"

"Terus nak, kamu udah benar kok."



Setelah kontolnya mentok di memekku, Wayan mulai memompanya. Setiap tusukan membuat pompaannya semakin cepat. Wajahnya menunjukan seakan dia sedang berada di surga. Aku tahu anakku takkan bertahan lama.



"Udah dulu nak! Liat mama!"

"Wayan gak bisa berhenti mah." Kini Wayan menatapku.

"Kalau gitu, diamkan di memek mama nak!"



Wayan pun mendorongkan kontolnya dan mendiamkan.



"Kamu pintar nak!"



Aku benar – benar diambang orgasme yang sangat kutunggu. Tapi tak terlaksana. Kutahan karena aku takut jika aku benar – benar ogasme, anakku akan terkejut dan ketakutan.



"Mah," kata anakku pelan. "Wayan ingin pipis. Gak tahan nih."

"Berhenti dulu nak, mama mau ngajari yang lain."

"Wayan gak kuat mah. Enak."

"Kamu mau pipis sekarang atau nunggu?" kataku sambil mencoba mengontrol nafasku.

"Wayan pingin sekarang."

"Baiklah, sekarang gerakan pantatmu secepatnya."



Wayan kembali memompaku. Yang kudengar hanyalah erangan anakku ini. Kini, orgasme yang hampir melandaku menjadi tak penting. Yang kuinginkan sekarang adalah anakku merasakan orgasmenya yang pertama. Kenikmatan yang bisa kuberikan.



Matanya menutup saat anakku menusukan kontol dan menyemburkan spermanya beberapa kali hingga usai. Semprotannya membuatku mengejang nikmat, aku orgasme. Setelah itu ia membuka mata dan menatapku. Tubuhnya kini ambruk di atas tubuhku. Kupegang pantat anakku agar kontolnya tak segera lepas.



"Mah..." bisiknya, "Wayan sayang mama..."



Anakku merendahkan bibirnya hingga mengenai bibirku. Kami pun berciuman. Akhirya kontol anakku mengecil dan lepas dari memekku. Anakku langsung melihatku dengan panik, bertanya – tanya.



"Kenapa ini mah?"

"Gak apa – apa sayang. Barusan kamu keluar orgasme. Kalau kontol udah keluar, langsung mengecil."

"Oh..."



Kembali kuraih kepala anakku hingga kami berciuman lagi. Anakku menciumku sambil berbaring di perutku, namun sebentar kemudian dia menghentikan ciumannya. Kepala anakku turun dan langsung mendekat di susuku. Rupanya anakku langsung menyusu. Sensai ini membuat memekku kembali gatal. Kuraih rambut anakku dan kuelus – elus. "Terus sayang..."



Anakku terus menyusu tanpa bangkit. Sementara aku dibuatnya makin tak tahan. "Sayang." bisikku.



"Iya mah."

"Mama pingin ke kamar mandi dulu."



Anakku lalu berguling ke sisiku dan berbaring. Saat aku bangun, aku berbalik dan menciumnya. Aku ke kamar mandi, kencing lalu kembali ke kasurku. Aku duduk di sebelah anakku.





"Mah," kata anakku. "Katanya tadi mau ngajarin yang lain."

"Iya. Karena sekarang kamu udah bisa ngentot, mama mau ngajarin kamu soal nyepong."

"Oh, bili juga pernah bilang saudarinya suka nyepong pacarnya."

"Kamu mau diajarin soal nyepong sama kakaknya bili?"

"Ya enggak dong mah."

"Mama gak mau ngelarang kamu, tapi kalau ada gadis yang ngajakin kamu ngentot, mending cepet – cepet pulang ke mama."

"Iya mah."



Anakku bangkit lalu kembali menyusu padaku. Kanan dan kiri bergantian.



"Mama kok cantik sih?" katanya polos. "Mama gak perlu khawatir, Wayan gakkan main ngentot sama wanita lain kok mah." katanya lalu menciumku.



"Kamu kok pintar ciuman sih nak, belajar dari mana?"

"Gak tau mah. Gak belajar dari mana – mana kok."



Kini kepala anakku bersandar di dadaku sementara rambutnya kuelus. Kami berbaring cukup lama hingga kurasakan kontolnya bergerak – gerak menggesek pahaku.



"Mah, kontol Wayan keras lagi, gimana ini?" katanya sambil melihat kontolnya.

"Berarti udah siap belajar lagi." Desahku ke telinganya.



Aku bergerak hingga kepalaku dekat dengan kontolnya. Kumasukan kontol ke mulutku dan kuelus dengan lidahku. Kontol anakku kini makin keras. Kurasakan campuran cairan cinta kami sebelumnya. Kudengar juga erangan Wayan saat mulutku beraksi.



"Oh... Mah... Enak mah... Ajari terus mah..."



Kuusap rambutku ke pinggir agar Wayan bisa melihat dengan jelas apa yang sedang kulakukan. Kuelus pelir anakku sambil kontolnya kuhisap. Anakku sedang berjuang merintih menahan nikmat. Kini kulepas kontolnya, namun ganti kujilati layaknya magnum. Semakin lama jilatanku, semakin jelas erangan anakku.



Beberapa saat kemudian, mulutku mulai pegal. "Mau lanjut atau ganti mau ngentot lagi?"



"Wayan ingin ngentot mah."



Aku berbaring di kasur, kubuka kembali pahaku. Anakku tersenyum lalu menciumku.



"Bisa ngentot dengan cara lain gak mah?"

"Bisa dong sayang," kataku lalu berbalik dan nungging. "Ini namanya doggie style, atau gaya anjing. Kamu ke belakang mama, terus masukan kontolmu dari belakang."



Anakku langsung mengikuti kalimatku. Luar biasa cerdasnya dia, dia mengelus pantatku. Kurasakan helm kontolnya masuk ke memekku hingga terbenam seluruhnya. "Sekarang gerakan kontolmu nak."



Wayan mulai memompaku dari belakang membuatku makin tak tahan ingin segera orgasme. Wayan kini agak membungkuk untuk meraih putingku dengan tangannya. "Ahh.... ahh..." erangku menyambut tangannya. Sodokan anakku membuatku makin melayang.



"Pelan – pelan nak, biar gak cepet keluar," desahku sambil menoleh. Anakku berkilau penuh dengan peluhnya.



"Enak mah... ah..." katanya disela sodokannya yang makin liar. Tangannya kini kembali meremas pantatku. Hingga akhirnya sodokannya menukik bersamaan dengan semburan peju di memekku. Semburan itu kembali membuatku orgasme.



Anakku membiarkan kontolnya di memeku hingga beberapa saat kemudian keluar. Dia lalu meniciumi pantatku. Diantara ciumannya, terdengar bisikannya, "Mah... Wayan ingin yang lain lagi..."

Aku lalu ambruk ke kasur. Kubalikan tubuhku.



"Ingin apa lagi anakku yang ganteng ini?"

"Wayan ingin.. kalau boleh... ingin yang ini," katanya sambil menunjuk anusku dengan jemarinya.



Aku tak pernah memberitahukan hal ini. Dari manakah ia mengetahuinya? Ah... jangan – jangan dari si bili lagi.



"Sayang..." kataku saat anakku menciumiku, dari memek naik hingga susu. "Mama rasa kamu, kita belum siap untuk itu. Sekarang, memek mama hanya untukmu."

"Mama emang pintar," desahnya sambil menyusu padaku.



Anakku menurunkan kepala untuk menciumi perutku. Kubuka lebar pahaku. Tangannya memegang tubuhku.



"Wayan dulu di salam sini ya mah?" katanya sambil menatap perutku.

"Ya nak. Memangnya kenapa?" Aku penasaran tentang pikirannya itu.

"Mah... Wayan bisa buat bayi gak di sini?" katanya sambil melepaskan pandangan dari perutku. Kini pandangannya menatapku.

Aku menatapnya. Kini anakku tak seperti anak – anak. Pria dewasalah yang kutatap. Karena tak ada lelaki lain, aku tak memakai kb setelah kematian suamiku. Aku tak yakin bagaimana harus menjawabnya. Usiaku memang belum terlalu tua untuk memiliki anak lagi.



Bahkan sepertinya, benih anakku sudah mulai bersarang di rahimku yang tanpa pengaman. Kuraih kepalanya dan kudekatkan kepadaku. Aku berbisik di telinganya. "Tentu bisa nak."



Akhirnya kami pun tertidur.
 
Terakhir diubah:
Letak misterinya ada dimana ya? Hehehe...

Oh, mungkin lanjutannya yg masih misteri...:D
 
baguus..
Cuma kecepetan tamat nya..
..Ijin baca gan
 
Setelah beberapa hari ternyata peju anakku tak membuahkan kehamilan. Aku bersyukur karena merasa belum siap, meski secara keuangan, almarhum suamiku meninggalkan harta yang banyak. Dengan gaya hidup keluargaku yang sederhana, tentu takkan cepat habis.

Hari – hari berlalu. Kegiatan sekskual dengan anakku pun terus berlanjut. Setelah kuyakin anakku bisa memuaskanku, aku mulai menceritakan hasrat terpendamku pada dirinya. Kujelaskan panjang lebar tentang kesukaanku akan kontrol dari seseorang. Seseorang yang bisa menguasaiku.

"Kamu masih menginginkan mama?" aku menarik nafas setelah menjelaskan.

"Tentu saja mah. Wayan akan coba memuaskan rasa lapar mama yang ingin dikontrol."

"Apa kamu masih menyayangi mama meski mungkin mama minta kamu melakukan hal – hal aneh?"

"Seperti apa mah?"

"Seperti mengikat mama, memukul dan bahkan meniduri mama hingga pingsan. Memperlakukan mama layaknya seorang pelacur."

"Mama yakin dengan apa yang mama katakan?"

"Mama yakin sayang."

"Mah." Anakku tertawa... Lantas tawanya berhenti, ekspresinya mendadak serius. "Coba bawa apa yang mama punya ke sini, kejutkan Wayan!"

Aku bergegas ke kamar. Kulepas semua pakaian hingga telanjang seperti bayi yang baru lahir. Kuambil kalung anjing dan talinya lantas kembali ke ruang tv. Kulihat anakku sedang duduk di sofa, juga telanjang. Aku lantas berlutut di depannya dan kupersembahkan kalung anjing dan talinya. Anakku terlihat terkejut. Mungkin tak menyangka aku memiliki barang seperti ini.

Tangan kuletakan di belakang punggung. Aku gemetar, gugup. Anakku melihatku dengan tatapan nafsu dan juga cinta.

"Mah, saat mama turun tangga, mama bener – bener seksi. Mulai kini, kalau di rumah mama gak perlu berpakaian. Adapun saat keluar, mama tak perlu pake cd maupun bh.

"Terserang kamu sayang," kataku dengan gembira.

Anakku melihat kalung lantas menatapku, "apa mama yakin dengan semua ini? Sekali Wayan pasang, tak ada kata kembali."

"Mama yakin. Mama ingin kamu memiliki mama seutuhnya," kataku gemetar.

Aku bahkan merasa mataku mulai basah. Inilah saat dimana hubunganku dengan anakku berubah, jadi lebih baik. Setelah anakku memasangkan kalung anjing di leherku, aku orgasme. Aku mengerang, tubuhku gemetar tak terkendali. Memekku serasa basah oleh cairan kenikmatan.

"Gila, ternyata mama memang liar. Baru dipasang kalung aja bisa membuat mama keluar. Mama benar – benar binal," seringai anakku.

Aku tertunduk malu. Suara anakku yang merendahkan serta seringainya bahkan membuatku makin tak tahan. Jauh di lubuk hatiku aku yakin hidupku kini hanya untuk melayani anakku.

"Jangan nunduk, lihat Wayan!"

Anakku menarik tali kalung, lantas kutatap anakku.

"Leher jenjang mama bener – bener cocok dipasangi kalung ini. Mulai kini, mama adalah milik wayan seorang.
"Ntar Wayan ganti kalungnya dengan yang lebih lebar, biar gak perlu dibuka saat leher mama dibersihin. Ntar Wayan cari yang gak mencolok kalau mama keluar tak perlu dibuka. Kalau perlu Wayan ukir juga nama mama di kalungnya. Gimana mah?"

Mendengar isi dari kata – kata anakku membuat memekku makin basah. Aku semangat sekali.

"Selain itu, Wayan ukir juga nama Wayan sebagai pemiliknya yang sah. Wayan sih pingin pakein tali kalung jadi kalau kita jalan – jalan keluar orang – orang akan tahu siapa mama dan milik siapa."

Ide anakku tentu akan membuat siapa pun yang membaca ukiran di kalung mengetahui betapa aku hanyalah miliki seseorang, anakku. Andai keinginan anakku terwujud, menarik tali kalungku di hadapan umum, tentu aku akan makin senang. Bahkan belum selesai bicara pun, kalimat anakku bagaikan mantra. Mantra yang bisa membuatku orgasme meski tanpa penetrasi.

"Oh....," erangku

"Dasar cabul, baru dengar kata – kata aja udah keluar. Tatap mata Wayan!"

Aku menatap matanya setelah gelombang orgasmeku mereda.

"Mulai kini, sebut Wayan dengan kata 'Tuan.'"

Memekku makin basah, perubahan anakku, dari anak lugu menjadi seperti ini kuakui merupakan salahku. Andai malam itu aku tak melakukan apa pun... tapi, apa yang terjadi terjadilah. Yang kutahu anakku menyayang mamanya. Hatiku bahagia, kutatap anakku yang menurutku tampan ini, meski tak setampan tailor.

"Iya tuan, mama milik tuan seorang," kataku bangga.

"Mama juga peliharaan Wayan sekarang, iya kan?" tanyanya sambil menarik tali kalung hingga merentang.

"Ya tuan, mama peliharaan anda. Tuan bisa dan dapat melakukan apa pun pada mama," aku menjawabnya dengan penuh sukacita.

"Melakukan apapun?" tanyanya. Alisnya mengerut namun suaranya seperti menggodaku.

"Iya. Tuan bisa mengikat, memukuli hingga berdarah. Melacurkan bahkan bisa menjual mama kalau tuan mau."

Lututku gemetaran. Aku menunduk. Suaraku pelan meski kuyakin anakku bisa mendengar semua kata – kataku. Bukan berarti aku ingin dilacurkan dan atau dijual, namun kukatakan apa yang selayaknya dikatakan oleh seorang hamba.

"Pahami ini, mama milikku seorang. Selamanya. Yah, mungkin nanti mama akan kujual kalau udah tua dan jelek. Hehehe, bercanda mah. Bagi Wayan, mama sangat cantik. Apa mama bener – bener ingin Wayan lacurkan?"

Aku menggelengkan kepala pertanda tidak.

"Sayang, mama gak ingi berhubungan dengan pria lain. Mama hanya ingin kamu, anak mama, tuanku."

Memanggil anakku dengan kata tuan rasanya seperti sangat alami bagiku. Bahkan menimbulkan sesasi lain di perutku.

"Wayan tahu. Tapi Wayan juga tahu kalau mama memliki nafsu yang sangat besar. Namun Wayan sangat menyayangi mama. Wayan akan berusaha menyenangkan dan membahagiakan mama, dengan cara yang mama suka, hingga akhir hidup Wayan."

Aku bahagia mendengar uraian anakku. Air mata bahagia pun tampak di mataku.

"Mama juga sayang padamu nak. Mama harap rasa sayangmu tak menghentikanmu memperlakukan mama serendah – rendahnya. Iya kan?"

Suaraku terdengar khawatir, namun Wayan malah tertawa.

"Wayan yakin mama memang benar – benar binal. Wayan akan sangat menikmati saat – saat merendahkan mama. Gimana?"

Aku memohon, "Iya nak, rendahkan mamamu!"

"Sabar mah, hari masih panjang. Apapun yang Wayan lakukan nanti, yakinlah kalau Wayan tak akan membuat mama cacat. Gini aja mah, apa mama suka kalau pantat mama Wayan merahkan tiap hari? Wayan pukul tiap hari?"

"Oh... iya pukul mama tiap hari. Mama mohon tuan," aku memohon tanpa malu.

"Sabar mah. Wayan janji akan wayan merahkan pantat mama biar meriah. Biar mama gak bisa duduk. Tapi sekarang Wayan ingin menikmati susu mama dulu"

Aku gemetar gembira mendengar janji anakku. Kucondongkan tubuh hingga dadaku mendekat ke anakku. Aku mengerang nikmat saat tangan anakku memegang susuku. Awalnya hanya membelai, lantas meremasnya. Awalnya remasannya lembut, namun perlahan tapi pasti, remasan itu makin menguat. Aku meringis sakit, namun ternyata tubuhku gemetar akibat orgasme lagi.

Wayan melepas satu tangan. Kini kedua tangan wayan meremas satu susuku dengan keras. Rasanya darahku berhenti mengalir akibat kerasnya kepalan tangan anakku, namun tak menghentikanku dari orgasme yang datang lagi.

"Terus tuan, mama mohon!"

Aku merasa belum puas. Aku ingin anakku lebih keras lagi meremas. Aku juga ingin anakku meremas susuku yang lain.

"Udah cukup. Kapan – kapan Wayan pake tali aja biar lebih erat. Mungkin Wayan gantung juga mama dengan tali terikat ke payudara. Kalau kurang sakit, Wayan tusukan jarum sekalian.
"Tapi kini, kita mainkan dulu pentil mama. Wayan ada ide."

Wayan memilin putingku dengan keras. Aku mengerang sakit sekaligus nikmat. Saat anakku makin memilin hingga sangat tipis, aku berteriak orgasme.

Wayan melepas pelintirannya, namun kembali memelintir. Kini dia memelintir sambil menariknya. Dilakukannya itu berulang hingga putingku tertarik makin jauh. Sakitnya makin tak tertahankan hingga Wayan melepas pelintirannya. Pentilku jadi terlihat panjang. Mataku berair, aku terisak akibat rasa sakit sekaligus nikmat. Aku bahkan tak tahu berapa kali aku orgasme. Memekku? Tentu saja lembab.

Kasih sayang yang ditunjukan anakku tadi, kini berubah jadi sadis. Namun aku menyukainya.

"Layaknya leher mama yang jenjang, sangat cocok untuk kalung anjing; pentil mama pun cocok untuk dipasangi cincin. Kombinasi kalung anjing di leher serta cincin di pentil pasti indah," kata anakku sambil memainkan pentilku dengan telunjuknya, seolah ingin menyingkirkan rasa sakitku.

"Tuan mau melubangi pentil mama?" tanyaku takjub.

Darimana dia dapat ide itu? Bukannya takut, aku malah penasaran ingin segera merasakannya.

"Gak hanya itu, sekalian juga bibir memek mama," katanya lantas memeriksa memekku dengan tangannya. "Basah banget nih memek."

Aku malu. Saat anakku mulai menyibakan bibir luar memek, pahaku kembali gemetaran.

"Mama bener – bener binal, kayaknya bisa bikin ngelumasi oli mesin nih."

Tangannya yang basah oleh cairan memekku ditarik lantas dihirupnya. Setelah puas menghirup, tangannya dijilati dan dihisap hingga bersih.

"Nikmat," pujinya.

Antara malu dan bangga, aku hanya bisa diam saat dua jemari anakku kembali ke memekku, mencabutnya, lantas dijilati lagi. Terus begitu hingga tiga kali. Setelah itu, jemarinya yang basah oleh cairan memek didekatkan ke bibirku.

"Coba nih mah, biar tahu rasanya!"

Kujilati dan kuhisap hingga bersih. Aku ternyata menyukainya, meski rasanya unik.

"Makasih tuan," kataku setelah jemarinya bersih.

Melihat anakku menikmati cairanku, serta mencobanya sendiri membuatku terangsang. Elusan dan korekan jemarinya di memekku membuat memekku tak berhenti membasahi dirinya sendiri.

Menyadari memekku yang tak kering – kering membuat anakku menempelkan kepalanya ke selangkanganku. Bibirnya seolah dilem ke memekku. Jilatan dan hisapannya pun mulai. Saat kulihat kerongkongannya bergerak berkali – kali, kusadari mungkin sudah banyak lendirku yang diisepnya. Namun semakin banyak cairanku yang dihisapnya, semakin banyak juga tubuhku memproduksinya. Hingga kurasa anakku puas, akhirnya ia angkat kembali kepalanya. Wajahnya sungguh basah. Wajahnya lantas diseka oleh celana dalamnya. Setelah itu celana dalam itu diselipkan di memekku.

"Nih biar gak ngucur membasahi lantai."

Aku merasa malu saat kusadari ada genangan di lantai bawah memekku.

"Mah, mama bener – bener pabrik lendir memek. Kayaknya Wayan mesti minum ini tiap sarapan dan atau makan. Kok bisa banyak kayak gini sih? Kelainan kali ya."

Aku pun mengira begitu, mungkin aku memang memiliki kelainan hingga selalu mengucurkan banyak cairan memek. Entahlah, aku tak pernah memeriksakannya ke dokter.

"Sampai mana tadi kita? Oh, ya. Soal bibir memek ya."

Anakku kini mencengkram bibir memekku dengan jemarinya. Ia tarik dan regangkan seperti menguji kelenturannya. Lantas ia juga lakukan hal yang sama terhadap bibir dalam memekku. Memang memekku sudah bergelambir, tak seperti dulu. Maklumlah, stw.

"Bibir luar memek mama tebel bener. Cocok kalau ditindik lantas dipasangi tiga cincin. Biar bisa ditarik hingga terbuka. Tapi bibir dalemnya kecil, mungkin pake cincin kecil aja, biar aman."

Anakku menarik jembut memekku dengan keras membuatku teriak kesakitan.

"Ini mesti dibabat nih, biar lebih seksi."

Seharusnya aku malu, marah dan atau terhina, namun kata – kata anakku malah membuatku semangat oke lagi.

"Iya sayangku, tuanku, mama seneng dipasangi cincin di pentil dan memek. Biar lebih terlihat layaknya budak tuan."

"Seneng bener. Tinggal satu nih yang belum, itil mama."

Akhrinya sampai juga ke bagian ini. Sejak anakku memasangkan kalung di leherku, itilku memang membesar perlahan – lahan. Anakku tak kesulitan mencarinya, lantas dimainkan oleh jempol dan telunjuknya.

"Kita bikin ini jadi makin besar."

Anakku lantas meremas dan mencubitnya terus – menerus. Namun saat anakku menariknya keras – keras, aku berteriak kesakitan. Airmataku bercucuran akibat sakit yang sangat. Tubuhku gemetaran. Namun aku orgasme. Pinggangku bergerak liar. Saat akhirnya itilku dilepas, kulihat itilku melambai memanjang. Sensasinya seperti terbakar, antara nikmat dan sakit. Saat teriakanku berhenti, aku roboh ke pangkuan anakku.

Sepertinya aku pingsan sebentar. Saat tersadar, anakku sedang mengelus itil dengan jarinya, seperti yang telah ia lakukan pada pentilku.

"Mama udah sadar? Mama gak apa – apa?"

Aku mengangguk pelan meski pinggangku rasanya panas seperti terbakar. Kulihat selangkanganku untuk mengetahui apa yang terjadi. Aku takjub melihat daging kecil kemerahan yang mencuat dari bibir memekku. Aku tau itilku memang besar, namun aku ragu apakah bisa sebesar ini. Rasanya terus berdenyut – denyut.

Anakku yang masih lima belas tahun sanggup melakukan ini padaku. Itilku dijadikannya terlihat menjijikan. Anakku tersenyum menatapku, seolah bangga telah membuat itilku berubah. Itilku lantas dipilin oleh anakku dan dikocok layaknya kontol mini. Ajaib, itilku makin membesar dan memberikan kenikmatan yang tiada tara hingga membuatku kembali orgasme.

Cairan memekku yang mengalir deras terus membasahi celana yang terjepit di memekku.


Jumlah berlebihan jus cum feminin yang membanjiri terowongan vagina saya terus menerus dan mulai meresap melalui celana katun jenuh. Aku terbakar dan seks saya pikiran gila rasanya seperti saya sendiri yang sangat seksual dirangsang klitoris, penis feminin saya benar-benar bertanggung jawab untuk penyemprotan semua jus cum.

Setelah aku menenangkan diri dari orgasme, anakku melepaskan tangannya lantas menunjuk itilku.

"Wayan akan coba buat itil mama terus segede ini."

Aku terkejut mendengarnya. Idenya begitu liar, entah masuk akal atau tidak.

"Kamu bercanda Yan!"

Aku masih kebingungan hingga lupa akan perintahnya untuk tak menyebut lagi namanya. Saat kulihat matanya, dia terlihat serius membuatku kembali sadar akan posisiku.

"Tapi, gimana caranya tuan?" Aku tergagap.

"Gini aja, kita panjangkan dan keraskan dulu hingga besar. Setelah itu, kita tindik di pangkalnya terus dipasangi cincin kecil. Jadi itil mama akan terus terekspos, karena tertahan oleh cincin itu. Setelah itu, bagian tengah juga ditindik, lantas dipasangi cincin kecil. Pun bagian tiga per empatnya. Setelah itu, dibawah itil kita pasangi besi sepanjang itil, yang dimasukan ke dalam cincin.
"Namun yang utama, kita panjangkan dulu itilnya. Setelah panjang, di ujungnya kita pasang cincin berlian kecil.
"Gimana perasaan mama denger bagian paling berharga di tubuh mama bakalan ditindik, dipasangi cincin oleh anak mama sendiri! Mama akan jalan dengan itil membesar selamanya. Bahkan bakal terlihat selamanya."

Aku terkejut. Bingung apa yang harus aku katakan. Kalau soal ditindik dan dipasangi cincin sih masih wajar. Namun melakukan hal itu ke itilku? Kayaknya seperti dimutilasi. Anak manisku kok bisa dapet ide nyeleneh gitu dari mana ya?

Aku mencoba membayangkan apa yang dikatakan oleh anakku. Efeknya, tubuhku gemetar, aku orgasme lagi. Anakku sepertinya puas akan reaksiku.

"Mah, tahu gak gunanya cincin di itil mama? Yang ditengah buat dipasangi tali, jadi kalau jalan tinggal ditarik. Yang di tiga per empat untuk dipasangi lonceng kecil, biar bunyi. Bahkan mungkin dipasangi bel juga di pentil mama, biar rame.
"Moga saja suara bel gak menarik perhatian saat kita jalan diluar. Intinya adalah, agar lebih meyakinkan kalau mama memang milik Wayan. Gimana, mama suka gak?"

Kata – katanya terdengar aneh. Namun pikiran liarku malah tertarik dan tak sabar lagi. Anakku adalah pemilikku. Artinya memekku miliknya juga. Dan lagi aku telah mengatakan padanya bahwa dia boleh melakukan apa saja pada tubuhku. Aku menerima takdirku, keinginan anakku. Mungkin kata – katanya hanya sekedar imajinasinya yang takkan terjadi. Meski begitu, tetap membuatku semangat.

Sepertinya celana yang terjepit oleh memekku sudah sedemikian basah hingga membuat tetesan air memekku menetes lagi ke lantai.

"Mama suka apa yang akan terjadi pada tubuh mama, anakku, tuanku."

Saat orgasmeku mereda, aku menatap anakku dengan mata berkaca – kaca. Namun anakku menatap memekku yang tetap meneteskan cairan.

"Dasar binal, bawa sini gelas."

Aku bangkit lantas ke dapur. Dari dapur aku kembali dengan membawa gelas dan menyerahkannya ke anakku. Saat aku akan kembali berlutu, anakku menghentikanku. Dia menyuruhku untuk berdiri dan melebarkan kaki. Cd yang terjepit dia ambil, lantas gelas dipegangnya di bawah memek. Cairan memekku langsung masuk ke gelas hingga penuh. Setelah itu dia minum sampai habis. Setelah itu gelasnya ditaruh dan dia meraih cd basah itu.

"Berlutut, buka mulut lebar – lebar dan liat ke atas!"

Anakku memeras cd di atas mulutku. Sebagian masuk ke mulut namun sebagian lagi membasahi wajahku. Setelah kering, wajahku belepotan. Aku mengangkat tangan bermaksud menyekanya. Namun tangan anakku lebih dulu menampar susuku dengan keras.

"Jangan lakukan itu. Ingat, mama lonteku. Kalau mau ngapa – ngapain mesti seizin wayan. Mengerti?"

"Mengerti anakku, tuanku!"

"Tetep gitu, jangan gerak."

Aku menurut. Anakku lantas berdiri dan masuturbasi dengan kontolnya tepat di depan mulutku. Tak perlu waktu lama baginya untuk memuntahkan pejunya ke dalam mulutku. Setelah selesai, dahi dan daguku pun tak luput dari pejunya. Yang di dagu bahkan mulai menetes. Ingin kuseka lantas kuminum. Namun aku tetap menunggu.

"Wajah mama terlihat binal. Kayaknya kita meski lakuin facial ini setiap hari. Biar kayak dimasker. Jangan banyak gerak biar mengering. Jangan dicuci sampai tidur. Mengerti?"

"Mengerti tuan. Mama bangga bermasker peju tuan."

Campuran cairan sendiri dan peju anakku di wajah membuat sensasi tersendiri hingga tubuhku kembali gemetar akibat orgasme. Saat anakku melihat cairan mengucur dari memek ke pahaku, dia mengambil cd dan menejepitkannya lagi ke memekku.

"Tentu kita gak bisa menikah secara legal. Namun begitu, kita bisa adakan syukuran kecil – kecilan ngundang sedikit orang. Biar mereka liat mama telanjang dan pake kalung anjing di leher. Setelah mereka liat tubuh seksi mama, kita adain pesta seks."

Sepertinya anakku melihat kerutan di wajahku, lantas dia bertanya.

"Mama kayak gak senang. Kenapa?"

"Soal syukuran sih mama seneng. Namun, lain daripada itu tidak."

"Mama tak lagi ingin orang lain ngentot mama?" wajahnya menyiratkan ketidak percayaan. "Mama milik Wayan. Bahkan Wayan tak sabar menunjukan mama ke teman – teman dan melihat teman – teman ngentot mama.
"Sekarang coba bilang apa mama udah gak mau gitu?"

"Bukan itu sayang. Mama gak pake kb. Andai mama gak hamil oleh ..."

Aku merasa sedih. Kutatap anakku dengan penuh cinta. Mataku membasah, seolah memohon untuk dipahami.

"Mama hanya ingin hamil oleh tuan."

"Wayan juga mah. Wayan akan jadi ayah dari anak – anak mama. Takkan Wayan biarkan orang lain menghamili mama. Bahkan akan Wayan kurung mama sampai benar – benar hamil

"Tuan akan mengurung mama di rumah?"

Aku jadi gelisah mendengarnya. Anankku terlihat prihatin, meski namanya bukan Wayan Prihatin.

"Wayan gak bermaksud mengurung mama di rumah layaknya burung di dalam sangkar emas. Maksud Wayan, yang Wayan kurung itu memek mama. Bahkan bisa Wayan pasang gembok kecil di memek mama."

Anakku kini mengelus pantatku, hingga jarinya mengenai anusku. Lantas dia mencoba merenggangkan anusku. Selama beberapa menit, anakku mencoba memasukan telunjuk ke anusku hingga bisa masuk walau secuil, secuil. Setelah itu, dilepas telunjuknya dan dimasukan ke memek. Di koreknya memekku hingga telunjuk itu basah. Telunjuk basah itu dicabut dan kembali ditusukan ke anusku. Dimainkan telunjuknya di anusku. Otomatis telunjuk itu dicengkram oleh anusku. Setelah dirasa agak cukup, dia masukan jari tengah hingga jemari yang bermain di anusku ada dua.

Ia coba renggangkan lubang anusku hingga mentok, terus begitu berulang kali. Rangsangan seksual seperti ini baru kali ini kurasakan. Gelombang orgasme kemabli melanda membuaku menjerit tanpa malu. Setelah itu jemarinya dicabut dan diarahkan ke mulutku.

"Bersihin nih lonte!"

Jemarinya penuh cairan memek dan anusku. Bisa kuhirup aroma kotoran khas anus yang sungguh aneh tapi nyata, takkan terlupa. Aku tak mau menolak. Aku ingin melakukan apa pun yang diperintahkan oleh anakku, tak peduli seberapa menjijikan itu.

Tanpa ragu kujulurkan lidah dan mulai menjilati. Lantas kumasukan jemari itu ke mulutku dan kuhisap layaknya menghisap kontolnya. Meski kurasa cairan memek dan anusku telah hilang dari jemarinya, namun aku tak berani berhenti sebelum dihentikan anakku.

"Udah cukup lonte," katanya sambil mengelus rambutku. "Kayaknya anus mama bisa ditindik juga dan dipasangi gembok sedemikian rupa. Biar gak bisa duduk lagi.
"Menarik ini. Memek dan anus mama bener – bener di bawah kendali wayan. Jadi gak ada yang bisa memasukan apa pun. Selain itu, mama tahu gak kegunaan lainnya?"

Aku hanya bisa tertegun mendengar uraiannya. Rasanya terlalu konyol untuk dipercaya. Dia tentu tak serius.

"Setelah terkunci, mama mesti izin dulu kalau mau kencing dan atau buang air besar. Gimana, suka gak?"

Astaga! Tentu aku ingin dikontrol oleh anakku. Sekali selangkanganku terkunci, bahkan kebutuhan dasarku pun mesti seizinnya. Pikiran izin untuk kencing terlalu membingungkan.

"Oh.... mama keluar...." aku teriak saat kembali orgasme.

"Kayaknya mama bener – bener suka ide wayan yah." Lantas dia berbisik di telingaku, "mama akan jadi budak seks Wayan selamanya."

"Itulah yang mama mau, memenuhi semua keinginan tuan." kataku gembira.

"Wayan cinta sama mama, budak seks wayan."

Aku menangis terharu. Hatiku penuh cinta untuk anakku.

"Ssshh... udah jangan nangis lagi."
 
Dengan perasaan senang, aku masak untuk makan di siang hari ini. Lantas kami makan bersama sambil duduk di meja makan. Sambil makan, kami ngobrol tentang sekolah dan teman – temannya. Rasanya seperti tiada apa – apa. Anakku pun berpakaian kumplit, kecuali aku yang tanpa busana. Tali kekang yang mengikat leherku terikat di ujung lainnya ke kaki meja.

"Sekarang kita mulai aja, biar gak banyak waktu yang terbuang."

Anakku menepuk kepalaku beberapa kali, lantas dia mengambil tali kekang dan menyentakkanya beberapa kali dengan gembira.

"Rasanya nikmat banget pegang nih tali. Trus narik – narik anjing binal ini ke mana pun. Gimana, suka gak dipanggil anjing binal?"

"Iya tuan, mama suka dipanggil anjing binal."

"Anjing pinter," katanya sambil menepuk lagi kepalaku. Seolah memuji.

"Sekarang, berlutut kayak anjing!" katanya sambil menyentakkan kekang.

Tanpa berpikir lagi aku menurut. Kepalaku kembali di elus.

"Pinter, meski binal, namun nih anjing pinter juga."

Aku senang mendengar pujiannya.

"Jalan yuk."

Wayan menarik kekangku. Aku merangkak mengikutinya yang ternyata ke halaman belakang rumahku.

"Tiap peliharaan mesti dilatih. Apalagi bagi anjing yang baru pertama kali dipelihara. Tiap hari bakal Wayan bawa ke belakang biar bisa beraktifitas. Ngerti kan?"

Aku terperangah. Kayaknya dia tak serius, namun setelah kupikir, aku lantas tahu dia sangat serius. Kurasa peran yang dia ingin aku mainkan, dari yang awalnya serasa penuh canda kini berubah jadi serius dan liar.

"Sayang, kamu tak bener – bener ingin mama ... untuk ..." aku terlalu malu untuk menyelesaikan kata – kataku. Aku masih berharap dia bercanda.

"Tentu saja. Wayan ingin mama kencing dan eek di luar, layaknya anjing binal. Bahkan Wayan harap mama bisa melakukannya di jalan dan atau di taman. Mungkin bisa kalau tengah malam. Ntar Wayan biarkan mama lari di taman, menuju pepohonan kayak anjing – anjing lain. Meski saat tengah malam, Wayan tahu mama pasti akan menyukainya. Ntar deh Wayan buatin kotak untuk eek biar gak ngotorin halaman belakang kita.
"Bay de wey baswey, mulai sekarang mama dilarang makan di meja lagi. Ntar Wayan siapin dua mangkuk, buat makanan dan minumnya.
"Mungkin juga ntar Wayan piara dua atau tiga anjing besar. Buat nemenin mama. Cuma mereka gakkan dikekang talinya. Hanya mama yang tali kekangnya diiket ke kaki meja. Suka kan"

Aku tak henti – hentinya dibuat terkejut oleh kata – kata anakku. Idenya terlalu mengerikan untukku. Kuakui aku suka dipasangi kalung dan kekang, namun hanya sebagai simbol bahwa aku adalah budak. Selama ini kupikir anakku juga berpikiran sepertiku, hanyalah sebagai fantasi pemenuhan hasrat. Kini menjadi jelas apa yang ada di pikiran anakku. Dia ingin mengubahku jadi hewan peliharaannya.

Aku sedih. Aku marah. Anakku ingin aku bertindak layaknya binatang. Aku, seorang ibu yang hampir berusia empat puluh, jadi budak seks peliharaan anakku sendiri, merangkak dan bertindak layaknya anjing. Nafasku memburu mengingat apa yang akan kualami selanjutnya, penghinaan saat buang hajat layaknya anjing, di depan anakku, di tempat umum. Kini air mataku mengalir akibat kesedihan.

"Ingat gak mah, dulu Wayan ingin pelihara kucing, namun dilarang sama papa. Kini setelah tiada, Wayan udah gak mau kucing. Wayang kini punya piaraan baru, anjing binal. Ntar Wayan pamerin ke temen – temen. Biar pada tau siapa pemilik dari anjing binal ini. Kalau perlu, wayan cari komunitas yang kayak gini, ntar deh wayan cari di warnet."

Saat anakku menyentakan kekang, aku merangkak dengan pikiran kacau. Namun yang pasti, kini aku tak ragu anakku akan merubahku, mamanya sendiri, menjadi binatang peliharaanya yang akan dipamerkan di hadapan orang lain. Aku merasa dikhianati, semua emosi yang kurasakan kini membuatku depresi. Apakah dia akan tetap mencintaiku setelah merendahkanku sedemikian rupa?

Beberapa saat lalu aku bahagia oleh kata – kata anakku. Namun kemudian, aku kecewa dan marah oleh kata – katanya juga.

Saat anakku merasakan keenggananku merangkak, kukira dia akan marah. Namun ternyata, dia malah mendekatiku lantas kembali menarik kekang dengan lembut. Jemarinya meraih daguku dan mengangkatnya hingga kami bertatapan.

Melihat wajah sedihku yang berair mata, anakku lantas memeluk sambil mengelus rambutku dengan penuh kasih.

"Jangan sedih mah. Wayan hanya ingin membuat mama bahagia. Tadinya kukira ini akan membuat mama bahagia. Bahwa inilah yang mama inginkan. Mama gak mau jadi anjing peliharaan Wayan lagi? Katakan saja! Gak apa – apa kok."

Aku bingung. Anakku sepertinya sangat peduli padaku. Namun mendengar idenya, sungguh sangat kejam.

"Apa kamu masih mencitai mama, sayangku, tuanku?" tanyaku ragu.

"Tentu mah. Wayan sangat mencintai mama!" jawabnya dengan tegas.

Anakku menciumku dengan gairah. Lidah bertemu lidah, liur bercampur liur. Setelah ciuman kami lepas, kutatap matanya. Kini dapat kulihat rasa cinta yang begitu besar dari matanya untukku, mamanya.

"Mah, Wayan mencintai mama. Meski dengan cara yang aneh. Wayan mesti jelaskan karena Wayan gak ingin mama setengah – setengah dalam menjalani apa yang akan terjadi. Karena terlalu senang, Wayan jadi lupa diri dan melakukan semua ini dengan cepat, terlalu cepat bagai tiada lagi hari lain.
"Saat mama bilang ingin kurendahkan, bukankah telah Wayan peringati sebelumnya. Bukankah mama berjanji akan menuruti Wayan? Kenapa tidak mama nikmati apa yang akan Wayan lakukan demi mama?"

"Terus, soal kencing dan ... gimana tuan? Kedengerannya sangat menjijikan." kataku dengan jijik.

"Apakah mama gak ingin kencing dan eek untuk anak mama sendiri?" katanya dengan lembut menggodaku.

"Sayang, apa kamu masih menghormati mama setelah mama ... mama kencing dan eek di depan tuan?" kataku sambil menatap anakku dengan penuh kasih.

Buang hajat menurutku merupakan hal yang paling pribadi. Selalu dilakukan di ruang tertutup. Namun kini anakku ingin aku melakukannya di hadapannya.

"Mah, Wayan akan selalu menghormati mama. Mamalah yang melahirkan dan membesarkan Wayan dengan penuh kasih sayang. Aku menghormati mama saat membersihkan jemariku setelah yang penuh kotoran dari memek dan anus mama.
"Wayan menghormati mama saat mama dipasangi kalung dan kekang lantas merangkak layaknya anjing binal.
"Wayan bahkan akan tetap menghormati mama saat mengencingi wajah mama nanti dan saat mama meminum air kencing Wayan." katanya dengan penuh percaya diri.

Saat Wayan menyadari keterkejutanku, dia malah tertawa. Dia tahu sekarang aku mulai menerima nasibku jadi hewan peliharaan anakku sendiri.

"Mama mesti belajar menyukai air kencingku. Juga akan belajar minum air kencing mama sendiri. Ngerti anjing binalku?"

Wayan berhenti sejenak untuk tersenyum nakal.

"Dan sekarang waktunya perubahan. Mama tahu Wayan mencintai mama dengan sepenuh hati, gak perlu meragukan itu. Serahkanlah tubuh dan jiwa mama ke Wayan seutuhnya. Wayan janji takkan membiarkan siapa pun melukai mama hingga cedera.
"Wayan punya banyak rencana untuk mama. Wayan akan senang merendahkan mama di depan Wayan dan atau di depan teman – teman Wayan.
"Karena Wayan tahu mama adalah anjing binal Wayan."

Tiba – tiba semua kebencian, amarah, ketakutanku pun sirna. Sirna itu sempurna. Hatiku senang turun rasa was – wasku. Anakku masih dan akan tetap mencintaik, menghormatiku. Kini aku takkan ragu lagi untuk buang hajat di hadapan anakku.

Bukankah ini yang kuinginkan. Direndahkan dan diperlakukan seperti pelacur murahan. Saat anakku ingin aku makan dan minum dari mangkuk anjing, aku akan melakukannya.

"Sayang, apa mama akan dikasih makanan anjing?"

Anakku tertawa seolah aku mengatakan sebuah lelucon.

"Meski mama jadi anjing binal Wayan, Wayan gakkan ngasih makanan anjing tiap hari. Lagian, mama mesti masak makanan bergizi agar mama tetep sehat."

Tiba – tiba anakku tersenyum nakal.

"Kecuali kalau mama ingin makanan anjing, bisa Wayan berikan. Mungkin Wayan biarkan mama makan makanan anjing untuk menghibur teman – teman Wayan. Tapi yang pasti, makanan manusia atau pun makanan anjing, tetep mesti makan di mangkuk anjing. Gimana, suka kan anjing binalku?"

"Tuan, mama seneng dipanggil anjing binal. Mama juga senang kalau harus makan dari mangkuk anjing.
"Mama juga seneng bakal dilatih layaknya anjing peliharaan," kataku sambil menggoyangkan pantatku ke kiri ke kanan.

Aku akhirnya menerima kenyataan jadi anjing peliharaan anakku.

"Tuan, mama siap dilatih," kataku memohon.

"Wayan tahu mama pasti akan suka jadi peliharaan Wayan. Wayan yakin mama akan makin pintar nanti," kata Wayan bersemangat sambil menepuk – nepuk kepalaku. "Kini ikuti Wayan.

Tali kekangku ditarik dan aku merangkak mengikuti dengan semangat. Saat di teras halaman belakang, dia berhenti lantas berbalik hingga di belakangku. Cd yang terjepit memekku ditariknya menyebabkan cairan mengalir melalui pahaku hingga ke lantai.

"Buka lebar lutut, kepala di lantai dan angkat pantatnya anjing!
"Lebih lebar lagi!" kata anakku sambil menyentak tali kekang.

Setelah memposisikan diri sesuai kata – katanya, anakku memujiku.

"Anjing pinter. Anjing pinter.
"Tiap kali ke sini, di taman atau di depan temanku, kalau mau buang air, mesti kayak gini dulu. Dan saat mau kencing, kebelakangkan tangan dan buka memek lebar – lebar. Namun saat bibir memeknya telah dipasangi cincin, cukup tarik cincinnya saja. Naikkan satu kaki lantas kencing.
"Lantas kalau mau eek, kayak gini juga tapi tanpa mengangkat satu kaki. Buka lebarkan pantat dengan tangan.
"Kalau mengerti, goyangkan pantatmu beberapa kali layaknya anjing."

Setelah kugoyangkan pantat beberapa kali, kurasakan pecutan di pantatku.

"Bagus. Pantat mama kini lebih bagus lagi. Andai punya pecut bisa jadi hiasan garis – garis. Oh ya, kurang ekor. Pantesan kayak ada yang kurang. Kalau anus gak dikunci, ntar mesti dipasangi ekor. Suka kan anjingku sayang?"

"Iya anakku sayangku tuanku, mama peliharaan tuan. Pasti bagus kalau punya ekor, biar bisa digoyang – goyang."

Sebuah ekor yang dipasang ke anusku serta bisa bergetar terdengar sangat liar.

"Bagus, bagus. Sekarang waktunya kencing untuk tuanmu!"

Kulebarkan memekku hingga kuyakin anakku bisa melihatnya. Kuangkat kaki kananku seperti perintahnya. Air kencing pun keluar membasahi lantai di bawahnya. Tak lupa kugoyangkan pantat. Kulakukan semua seperti tak punya urat malu.

Di sisi lain, aku bangga melakukan hal yang paling pribadi di hadapan anakku untuk kesenangannya sendiri. Aku merasa seperti binatang, anjing peliharaan anakku sendiri. Yang kurasa kurang hanyalah ekor yang terpasang di anusku.

Akhirnya kutapaki juga langkah kecil ini, langkah yang akan membawaku ke dunia liar alam pikiran anakku. Tiada kata kembali, bila telah kencing layaknya anjing di depan mata anakku sendiri. Untuk kami dan untuk masa bahagia bersama.

Aliran deras kencingku berganti menjadi tetes – tetes kecil yang kadang jatuh kadang mengucur di paha kiri. Setelah itu kurasakan cairan memekku mengalir lagi mencampuri air kencing yang telah lebih dulu tergenang di lantai.

Campuran kedua cairan yang keluar dari lubang yang sama itu sungguh beraroma khas, yang tentu memenuhi rongga dadaku dan anakku. Kini aku diam menunggu perintah selanjutnya.

"Bagus. Kini Wayan tahu anjing jalang ini suka kencing untuk tuanmu," kata Wayan sambil tertawa.

"Sayang rasanya cairan memek itu terbuang percuma. Oh ya, sekarang waktunya eek untuk tuanmu!"

Kini kulebarkan pantatku hingga anusku terlihat. Aku mulai mendengus berusaha mendorong agar kotoranku keluar. Sulit, karena posisiku bukan posisi alami untuk eek, kecuali anjing betulan. Selain itu sulit juga karena ini pertama kalinya aku eek dilihat orang lain, yang tak lain adalah anakku sendiri.

Saat anusku mulai membuka, kurasakan mata anakku bagai laser yang tertuju ke pantatku. Saat memekku mulai berdenyut tak terkendali, aku yakin akan merasakan sensasi baru yang belum pernah kurasakan.

Kotoranku mulai keluar dari anus, pikiranku dipenuhi kenikmatan liar. Pikiranku dipenuhi khayal seolah telah bertahun lamanya aku tak eek, dan akhirnya diizinkan juga oleh anakku. Aku mengejang bahagia.

"Bagus anjing. Tak dapat dipercaya, bagus sekali. Memang mestinya jijik, tapi karena keluar dari pantat mama, anjing peliharaanku, rasanya jadi sangat indah. Dorong terus anjingku!"

Aku mengejang. Sepertinya kotoranku tergantung sepanjang 8 sentimeter. Akhirnya kotoranku jatuh menimpa genangan air kencing di lantai, diantara kedua kaki yang kulebarkan. Tubuhku bergetar, kejang akibat orgasme yang kurasakan. Saat sisa – sisa air kencingku keluar, muncul lagi kotoran lain dari anusku.

Anakku bersorak gembira. Aku mengejang lagi berusaha mengeluarkan kotoran tersebut. Namun yang keluar tak sekeras yang pertama. Hingga akhirnya kurasakan sudah tak ada lagi.

"Bagus anjing binalku, bagus. Liat tetesan eek yang menempel di kulit anjing, bener – bener seksi.
"Liat tuh genangan di lantai. Banyak bener.!"

Aku malu melihat gundukan kotoranku. Aku berharap lantai itu membuka dan mengubur semuanya.

"Ntar – ntar mesti direkam nih. Siapa tahu anjing binalku bisa jadi bintang."

Bukannya malu dan atau terhina dengan ide direkam, aku malah senang. Kudengar suara sleting. Tanganku masih di pantat, melebarkannya. Lantas kurasakan helm kontol anakku menyentuh anusku. Aku menjerit terus hingga akhirnya batang kontol anakku tertanam seluruhnya di anusku. Dia tarik kontolnya lantas menghujamkan kembali. Rasanya sungguh sakit. Tubuhku orgasme lagi menerima rasa sakit ini. Sisa kotoran yang belum dibersihkan seolah berubah menjadi pelumas saat anakku mulai memompa kontolnya. Lantas kontolnya ia cabut. Aku kecewa anusku tak dikasih pejunya.

Anakku melangkah hingga ada di depanku. Kontolnya dipenuhi bercak – bercak kuning kotoranku. Baunya sungguh tak enak, memualkan dan seperti mau muntah. Mungkin karena pertama kali kucium baunya. Aku tahu apa yang diinginkannya. Maka sebelum diperintahkan, kubuka mulutku.

"Anjing pinter," kata anakku sambil menepuk kepalaku.

Kontolnya lantas dimasukan ke mulutku. Aku hampir tersedak oleh kotoranku sendiri. Saat kontol itu ditarik pelan – pelan, kututup mulutku seolah menguncinya. Anakku mulai memompa kontolnya perlahan. Kuimbangi dengan jilatan agar kontol anakku bersih.

Setelah beberapa sodokan, aku mulai terbiasa dengan rasa dan aroma kotoranku sendiri. Setelah kurasa bersih, aku mulai berusaha memberikan sepongan ternikmat untuk anakku. Namun anakku malah menghentikan sodokan dan melepaskan kontol dari mulutku. Aku kecewa karena aku ingin menelan pejunya.

"Pinter nih anjing. Sekarang buka mulut dan julurkan lidah. Wayan kasih hadiah."

Aku senang mendengarnya. Kulakukan perintahnya.

"Jangan ditelan anjing, biarkan tetap di lidah," anakku memerintah sambil menepuk kepalaku. "Sekarang kocok kontol tuanmu hingga keluar."

Kukocok kontol anakku dengan kedua tangan. Saat kubelai kontolnya dengan bibirku, anakku keluar dan pejunya mulai masuk ke mulutku hingga penuh. Terakhri tetesan peju yang masih menempel dia gesek ke mulutku.

Anakku memuji mulutku yang penuh peju hingga aku merasa pegal. Akhirnya anakku menyuruhku menelan pejunya perlahan – lahan, sambil dimainkan oleh lidahku. Nikmatnya peju anakku ini. Pengalaman ini membuatku pun keluar.

"Pinter. Pinter nih anjing," anakku memuji sambil menepuk kepalaku saat aku membuka mulut untuk menunjukan semua pejunya telah tertelan.

"Jangan ditutup dulu mulutnya, masih ada hadiah lain untuh anjing yang pinter."

Anakku memposisikan kontol hanya beberapa senti meter di depan mulutku. Aku senang mengetahui akan diberi air kencing oleh anakku. Saat air kencingnya masuk ke tenggorokanku, aku bahagia. Mulutku penuh. Aku berusaha menelan sebanyak mungkin. Teguk demi teguk. Asin tapi enak. Saking banyaknya hingga luber dari mulutku. Menetes ke dagu lantas ke susuku. Saat hanya tinggal tetesan, anakku menggerakan kontolnya hingga tetes – tetes itu mengenai wajahku. Meski mataku tertutup, namun ada juga yang merembes.

Setelah habis, wajahku kini bau kencing anakku. Aku keluar lagi saat sedang dikencingi. Aku tahu aku akan ketagihan air kencing anakku.

"Bagus sekali, meski baru pertama kali. Anjing pinter," pujinya sambil menepuk kepalaku. "Namun lain kali, kalau ada tetes yang tumpah, anjingku bakal dihukum."

Anakku membersihkan lantai dengan air dari selang. Setelah selesai, kuharap aku akan disemprot juga. Ternyata tidak. Tentu saja aku merasa sangat kotor. Kuharap anakku mengizinkanku mandi. Anakku menatapku, mungkin menyadari apa yang kurasakan. Lantas ia tersenyum mengejek.

"Wajah anjing tetep kayak gitu hingga saat tidur. Anjing asli gak bersihin pantat sehabis eek, tapi karena ini belum seratus persen anjing, biar ada pengecualian."

Anakku menarik kekang. Kuikuti dengan merangkak dari lantai hingga ke halaman belakang.

"Sekarang berlutut, dudukan pantat ke tumit, lantas bersihkan pantat dengan digosok ke tumit.
"Bagus. Wayan demen liat goyangan susunya. Mulai kini, kalau Wayang bilang anjing bertumit, mesti kayak gini. Mengerti anjing?"

"Iya tuan," jawabku dengan senang hati karena menerima trik baru agar aku lebih sempurna lagi jadi binatang peliharaannya.

"Mulai esok anjing akan belajar banyak hal baru. Jadi mesti cepat hafal. Kalau tidak, akan dihukum. Sekarang bersihkan pantat dengan digesek di rumput."

Dengan perasaan malu aku dudukan pantat di rumput. Kulebarkan pantat hingga anusku mengenai rumput lantai kugesekan untuk menghilangkan kotoran. Rumput pun membuat anus dan belahan pantatku sakit. Sepertinya lecet.

"Anjing pinter." pujinya lagi sambil menepuk kepalaku.

"Kayaknya gak sampai bersih, iya kan anjing?" anakku mengejek.

Aku hanya bisa mengangguk.

"Jangan pernah membersihkan pantat dengan tangan. Pakai cara yang lebih baik.
"Jangan kira yang tadi hanya soal kencing dan eek. Seterusnya bakal ada pelatihan kencing dan eek hingga otot memek dan anus kuat. Biar memeknya bisa memuncratkan cairan lebih jauh lagi. Setelah itu kita tampilkan di depan teman teman. Gak masalahkan?"

"Tentu tidak. Mama akan senang menghibur teman – teman tuan."

"Bagus anjing. Bagus," pujinya sambil menepuk kepalaku. "Mulai sekarang, mulut anjing akan jadi toilet. Namun, saat Wayan habis eek, lidah anjing mesti membersihkan. Keberatan gak?"

"Tidak tuan."

"Bagus. Kini balik ke soal yang tadi. Wayan tahu mama suka banget senam hingga badan mama lentur. Tinggal latih hingga selentur mungkin hingga leher bisa ada di antara kaki. Ngerti maksudnya?"

Aku mengerti maksud anakku. Apa yang anakku ingin kulakukan merupakan penghinaan yang memalukan.

"Sepertinya susah dilakukan tuan."

"Butuh waktu memang, tapi bisa dilakukan. Hingga itu bisa dilakukan, bersihkan pantat dengan rumput. Lantas harus bisa jilati anus sendiri agar bersih setelah eek. Mengerti anjing binalku?"

"Iya tuan, anjing binal akan melakukannya untuk tuan." aku mengangguk.

"Bagus. Anjing pinter." puji anakku sambil menepuk kepala. "Setelah itu, belajarlah minum kencing langsung dari memek."

Tali kekangku ditarik. Aku mengihkuti hingga ke ruang tamu. Anakku duduk, dan aku disuruh berbaring di pangkuannya dengan menghadap lantai. Pantatku ditampar.

Aku, seorang wanita dewasa, direndahkan oleh anakku dengan cara ditampar pantatku. Namun tamparan demi tamparannya berbuah orgasmeku. Hingga akhirnya tamparannya berhenti. Tubuhku kejang akibat orgasme. Pantatku serasa panas.

"Udah cukup. Pantat anjing udah merah. Lagian tangan juga sakit."

"Lagi tuan, tampar lagi anjing binal ini!"

"Dasar anjing maniak sakit. Ntar ganti aja pake yang lain, sakit kalau pake tangan."

Anakku lantas mencium pantatku yang telah merah.

"Anget bener nih pantat. Lezat!"

Aku senang mendengar anakku menyukai pantatku yang baru saja ditamparnya. Cintaku padanya semakin besar saat dia kini mengelus dengan lembut pantatku itu.

***
 
Aku bangun. Saat akan beranjak dari tempat tidur, aku tertahan. Setelah beberapa saat mencoba berpikir, baru kusadari leherku terikat tali kekang dan kekang itu pun terikat ke ranjang. Aku tidur telanjang. Di sebelahku terdapan anakku yang sedang tidur. Juga telanjang.

Kulihat anakku begitu tenang dalam tidurnya. Aku seperti tak percaya, anakku ini yang kemarin melukai pantatku, hingga kini masih berasa sakit. Sakitnya tuh di sini di kulit pantatku. Kucium anakku dengan penuh kasih sayang. Perlahan tapi pasti, ciumanku berubah jadi penuh hasrat. Kujulurkan lidah berusaha memasuki mulutnya. Ciumanku rupanya telah membangunkan anakku. Lantas dia balas menciumku.

Tangan anakku membelai rambutku. Belaian itu kini membimbing kepalaku turun ke selangkangannya. Dorongannya membuat mulutku dimasuki kontolnya yang langsung mentok ke tenggorokanku. Lantas dia mulai menggenjot mulutku.

"Ini yang mama mau? Anjing binalku?"

Anakku berteriak lantas genjotannya makin keras. Saat kontolnya menekan lebih dalam, saat itulah pejunya menyembur langsung ke tenggorokanku. Setelah selesai, kuharap anakku akan langsung mencabut kontolnya. Namun anakku malah membiarkannya sebentar, lantas kencing langsung ke tenggorokanku.

"Leganya gak harus ke kamar mandi di pagi hari," kata anakku dengan riang.

Aku hampir muntah saat air kencing anakku mengalir melalui tenggorokan hingga memenuhi perutku.

"Pinter, anjing pinter. Mulai kini Wayan ingin dilayani kayak gini tiap pagi." puji anakku sambil menepuk kepalaku.

Aku bahagia mendengar anakku senang. Apalagi dihadiahi peju dan air kencingnya. Hanya saja aku ingin anakku tak menyemprotkan peju dan kencingnya langsung seperti barusan. Aku ingin merasakan dulu dengan lidahku.

"Makasih tuan udah ngasih minum peju dan kencing tuan yang nikmat. Mama bangga bisa melayani tuan!"

"Bagus. Anjing pinter," puji anakku sambil menatapku dan mengelus pipiku lembut.

Aku bahagia, karena anakku kembali senang untukku. Kuharap aku akan tidur berdua seperti ini dengan anakku hingga ajal menjemput.

***

Aku masak sementara anakku siap – siap akan sekolah. Kuhidangkan makanan di meja dan di mangkuk di bawah. Saat anakku makan di meja makan, aku makan di bawah dari mangkuk, dengan tali kekang terikat ke meja makan. Sambil makan, kami tetap ngobrol seperti biasa. Anakku menyuruhku ke dokter untuk memeriksa kesiapan tubuhku mengandung. Setelah makan, dia menciumku lantas menampar pantatku yang masih merah beberapa kali. Lantas dia menyuruhku untuk beres – beres rumah serta mandi terlebih dahulu.

Aku bersyukur anakku menyuruh konsultasi ke dokter untuk kehamilanku. Lantas aku ke kamarku, yang kini jadi kamar anakku juga. Aku mengenakan busana yang dipilihkan oleh anakku. Aku hanya memakai gamis hitam serta jilbab. Lantas aku pergi ke klinik biasa. Kebetulan dokternya adalah temanku sedari dulu. Dokter ani.

Kami berbasa – basi lantas kuutarakan maksudku. Kukatakan aku telah menikah dan ingin segera punya anak.

"Selamat, terus gimana anakmu?"

Aku mengerti maksudnya. Dia ingin tahu reaksi anakku terhadap pernikahanku. Dengan bangga kukatakan kalau anakku senang dengan pernikahanku ini.

Lantas aku berbaring. Ani sepertinya terkejut menyadari aku tak memakai apa – apa dibalik gamis ini. Saat Ani memeriksa selangkanganku, aku penasaran apakah dia menyadari keanehan lainnya.

"Mulai nakal ya," kata Ani sambil jarinya mengelus pantat merahku.

"Kamu nikah sama orang yang suka hal – hal ginian?" tanyanya sambil tersenyum nakal kepadaku. "Kayaknya hal baru ini cocok sama kamu. Kamu jadi terlihat seksi dan bahkan terlihat bahagia. Beda jauh dibanding saat terakhir aku melihatmu. Hanya murung dan murung, seperti burung yang dikurung. Cuman, sebagai temenmu, aku hanya ingin bertanya satu hal. Apa kamu yakin dia gak kan bertindak terlalu jauh hingga mencederaimu?"

Ani terdengar biasa saja. Tidak ragu. Bahkan jarinya terus mengelus pantatku. Aku jadi takkan ragu ke sini lagi esok lusa saat hubunganku dengan anakku makin mesra. Aku pun tahu, cepat atau lambat, ani harus diberitahu tentang hubunganku dengan anakku. Bahkan sebaiknya aku kasih saja sedikit bocoran. Bukankah aku akan ditato oleh anakku. Aku harap dengan memberi kepercaan pada Ani akan membuatku aman saat aku membutuhkan dokter.

"Tenang, aku percaya dia. Lagian aku juga sudah tau dia sedari dia kecil. Kami saling mencintai," kataku berusaha meyakinkan Ani.

"Dasar gila! Lu nikah sama berondong yang suka mengontrol ya?" tanyanya sambil menyeringai.

Bocoranku berhasil. Aku yakin itu. Tapi aku ingin membocorkan lebih lagi.

"Memang lebih muda, tapi udah jago. Anakku juga tahu sedari awal. Dia pastikan kalau aku takkan celaka. Bahkan dia mengerti tentang kebutuhan seksualku."

"Tahu sedari awal? Maksudnya?" Ani terkejut.

Aku tahu Ani akan bertanya lebih lanjut. Namun yang pasti, aku tak berbohong. Aku harap apa yang kuungkapkan tidak bakal membuatnya jijik.

"Ya, anakku tahu dari awal kalau aku akan dilatih dan direndahkan secara seksual. Hampir tiap waktu aku merangkak di rumah. Leherku dipasangi kalung anjing bertali kekang. Juga terkadang dihukum. Kamu lihat sendiri kan buktinya di pantatku. Kuberitahu anakku kalau aku kini bahagia. Inilah yang kuinginkan. Anakku tak keberatan selama itu membuatku bahagia. Anakku bilang akan selalu menjaga dan ada untukku."

"Wow, kamu benar – benar akan direndahkan selamanya? Bertahun – tahun kukenal kamu, aku tetap terkejut mendengarnya. Aku mesti ketemu dan ngobrol sama suamimu. Yang telah merubahmu jadi seperti ini," tatapnya dengan kagum.

"Makasih Ni. Aku memang bahagia. Aku akan selamanya tunduk dan berterimakasih sama dia. Dan semuanya takkan terjadi tanpa cinta dan dorongan anakku."

"Kamu bilang anakmu senang kamu jadi semacam budak seks? Apa dia pernah liat kamu merangkak? Apa dia juga liat kamu dihukum?" tanyanya sambil seringai.

"Aku bersyukur punya anak seperti dia. Dia juga pastikan kalau aku diperlakukan dengan baik tanpa kemungkinan untuk cedera. Cedera hamstring misalnya. Jadi dia ikut berpartisipasi dalam pelatihanku. Bukan saja dia suruh aku merangkak sambil menarik kekangku, dia juga menghukumku, menampar pantatku misalnya.

Ani tidak seterkejut tadi. Yang kulihat di wajahnya bukan rasa jijik, tapi tatapan mesum. Kini aku yakin Ani takkan keberatan dengan hubunganku dengan anakku. Dengan suara menggoda, kuteruskan ucapanku.

"Aku yakin kamu bakal seneng ketemu anak muda tampanku. Dan kita bisa bersenang – sengang bersama. Kalau kamu ngerti sih."

"Andai aku punya waktu luang. Mungkin bulan depan bisa kujadwalkan. Kamu udah terangsang ya?"

Ani kini memasukan pelebar memek dan melebarkan memekku lantas memeriksanya. Tiba – tiba Ani mencubit itilku dengan keras membuatku hampir berteriak. Untung saja aku masih bisa menahan mulutku. Tapi aku tak bisa menahan tubuhku merasakan orgasme hingga kencing.

"Gila. Aku baru liat wanita orgasme sambil kencing kayak gini."

Setelah tubuhku tenang kembali, Ani mencolek cairan di memekku dan menjilatinya.

"Memekmu kayaknya lezat. Aku juga baru liat itil segede ini. Aku mesti menghukummu karena keluar tanpa peringatan di depanku."

Ani menyumbat mulutku dengan kasa lantas mencubit dan menarik itilku dengan keras. Aku menjerit menangis terisak saat itilku terus ditarik. Ani terus menyiksa itilku tanpa ampun. Tubuhku kembali kejang tak terkendali. Aku berteriak merasakan campuran rasa sakit dan nikmat tak tertahankan. Air mataku menetes. Aku kencing lantas pingsan.

***

Saat aku membuka mata, Ani menatapku sambil tersenyum.

"Aku tak percaya itilmu membesar. Kayaknya masih bisa tumbuh lagi jika diremas dan ditarik – tarik. Kelenjar memekmu juga memiliki kelainan. Yaitu mengeluarkan cairan memek dengan jumlah yang sangat banyak. Normal namun langka." kata Ani dengan takjub.

"Andai waktuku luang, aku bakal seneng luangin waktu sama kamu, pelacurku. Apa anakmu bener - bener ikut berpartisipasi? Oh tuhan, aku bakal seneng liat kamu direndahkan anakmu."

Sebelum aku pergi, Ani menciumku dengan penuh gairah. Lantas dia bilang dia seneng bertemu lagi denganku. Kubilang tinggal atur waktunya. Bawa juga pemuka memek, biar anakku bisa melihat lebih jauh lagi. Dijawabnya kenapa gak sekalian dia liat lubang lainnya.

Lantas kusadari aku baru saja mengakui hubunganku dengan cara mengatakan agar anakku bisa melihat memekku lebih jauh lagi. Pantatku lantas ditamparnya beberapa kali hingga pahaku penuh oleh cairan memekku. Saat akan kuseka, Ani melarangnya.

"Sekarang pergi dan tunjukan ke orang lain betapa jalangnya dirimu."

***

Aku dibawa anakku ke tukang tato. Aku takut tukang tato bakal mengetahui hubungan kami. Namun tak kuutarakan ketakutanku pada anakku. Ternyata tukang tatonya adalah ayah teman sekolahnya. Anakku meyakinkanku bahwa dia bisa dipercaya. Asal kita bertindak wajar dan normal.

Tempatnya terasa nyaman. Lantas kami dibawa ke ruangannya. Sambil basa – basi, dengan malu – malu kukatakan aku ingin ditindik di puting dan bibir vaginaku. Lantas tukang tato menatap anakku. Anakku duduk di kursi sambil agak gugup. Lantas tukang tato tersenyum seperti memahami sesuatu. Aku yakin kini dia paham kalau aku dan anakku telah berhubungan. Aku panik tapi berusaha menyembunyikan kepanikanku. Aku hanya tersenyum sopan.

Rupanya tukang tato menyadari kepanikanmu.

"Semua rahasia pelanggan aman bersama saya bu," katanya berusaha meyakinkanku.

Entah kenapa hati kecilku percaya kata – katanya.

"Hanya itu saja bu? Gimana kalau sekalian di tato?" tanyanya sopan.

Aku menatap anakku menunggu jawabnya. Tukang tato kembali menatap anakku. Kulihat tatapan takjub dan iri di wajahnya.

"Seharusnya bapak bertanya sama kamu nak. Karena sepertinya kamu yang memegang kendali. Sebelumnya kamu kemari bertanya tentang tato dan tindik. Namun kamu bilang gak mau ditato."

Anakku benar – benar terkejut oleh komentar tukang tato. Tak bisa menyembunyikan kegugupannya anakku lantas bicara lagi.

"Bagaimana bapak tahu kalau mama dan saya ... ??? Bukankah kami bertindak normal? Kalung mama pun dilepas dahulu sebelum ke sini."

"Bisa dilihat oleh mata yang jeli. Tapi secara sepintas, anda berdua memang terlihat seperti ibu dan anak yang normal. Bukan kali ini saja saya berhadapan dengan pasangan seperti anda berdua. Seperti yang telah saya katakan, rahasia pelanggan aman bersama saya. Dan lagi, saya juga kenal beberapa orang yang seperti anda berdua.
"Saat anda berdua masuk, saya sudah tahu apa yang terjadi. Bahkan saya pernah dapat pelanggan seperti anda, hanya saja putranya dua."

"Kalau gak keberatan, maukah bapak ceritakan tentang keluarga itu?"

"Dahulu kala, sang ibu barusaja melahirkan bayi kembar, keduanya perempuan, dari benih anak pertamanya. Lantas beberapa saat kemudian, anak keduanya menghamili ibunya. Kedua anak itu meminta saya menindik selangkangannya agar vagina dan anus ibunya bisa dipasangi gembok kecil."

Mendengar uraian tukang tato mungkin menyebabkan anakku lebih berani.

"Saya ingin mama juga ditindik agar memek dan anusnya bisa digembok. Itilnya juga sekalian. Mama memang udah jadi budak seks saya."

Aku malu mendengarnya. Namun akhirnya aku bahagia karena mulai ada orang lain yang tau derajatku. Tukang tato melihat anakku dengan takjub. Lantas menatapku seolah meminta konfirmasi.

"Iya, anak saya adalah tuan saya. Pemilik saya. Saya adalah budak seksnya. Anjing jalangnya," kataku dengan bangga dan gembira.

"Saya iri. Kamu punya hubungan yang luar biasa. Bukan sekedar permainan berpura – pura. Kamu ingin seperti apa nih?"

Anakku mulai menjelaskan keinginannya.

"Yakin mau menindik itil mamamu? Apa cukup besar?"

"Mau lihat?"

Lantas aku disuruh berdiri telanjang di depan tukang tato. Anakku mulai mengelus itilku hingga beberapa menit kemudian mulai membesar, seperti kontol mini. Selama itu aku mengerang dan terkadang menjerit saat aku orgasme. Cairan memekku mengucur hingga pahaku. Bahkan membasahi lantai. Itilku kini sudah besar, anakku mendekatkan tangannya yang penuh cairan memek ke depan mulutku. Lantas kujilat dan kuhisap. Kulihat tukang tato yang sedang menatap terkagum – kagum.

"Dengan latihan rutin, itilnya bakal makin besar dan panjang," kata anakku.

"Luar biasa. Ya memang kalau lebih besar lagi bisa ditindik seperti yang kamu mau. Hanya saja, mungkin beresiko. Bisa jadi itilnya kehilangan sensitifitasnya. Apa kamu yakin?"

"Yakin. Inilah resiko yang akan saya tempuh. Bahkan, setiap tubuh mama merupakan titik sensitifnya. Kumainkan saja susunya sudah membuatnya keluar. Apalagi saat kutampar pantatnya.
"Muter anjing, liatkan pantatmu ku tukang tato!"

Aku berbalik hingga menampilkan pantatku yang merah.

"Semalam kupecut. Kayaknya merah bekas pecutan malah membuat lebih seksi. Nungging anjing, lebarkan pantat biar makin terlihat!"

Aku merasa malu, namun tetap melaksanakan perintahnya. Kulebarkan pantatku hingga anusku terlihat.

"Gimana pak, kalau anus mama dikunci? Gak masalah kan?"

Tukang tato bilang kalau dia bisa melakukan itu. Dia juga menyentuh anusku untuk memastikannya.

"Oh tuhan, dia langsung keluar meski hanya disentuh anusnya saja," tukang tato berseru takjub.

Tiba – tiba pantatku ditampar beberapa kali oleh anakku.

"Dasar anjing jalang, bersihin semua ini!"

Aku tahu anakku hanya ingin menunjukan kontrolnya atas diriku di depan tukang tato. Aku ingin membuat anakku bangga padaku. Aku lantas menjulurkan lidah dan menjilati cairian di lantai, sedang pantatku kuangkat. Setelah itu, aku merangkak membersihkan cairan memekku.

"Maaf pak anjing saya udah ngotorin tempat bapak."

"Bagus, anjing pinter," puji anakku sambil menepuk kepalaku, setelah aku selesai mebersihkan lantai.

Rasa malu yang kurasakan membuat tubuhku, yang masih ditepuk oleh anakku kembali orgasme. Memekku kembali mengotori lantai. Aku menundukkan kepala akibat malu. Lantas kembali kubersihkan lantai dengan lidahku.

"Dasar anjing ceroboh. Sekali lagi kamu lakukan itu, akan dihukum.
"Maaf pak, anjing saya perlu dilatih lagi. Seperti yang bapak lihat, anjing saya masih ceroboh. Juga belum bisa mengontrol memeknya."

Kata – kata anakku makin membuatku malu dan terhina.

"Baru kali ini bapak lihat wanita keluar kayak kencing gitu. Begitu seringnya, begitu banyaknya. Bapak yakin, setiap pria di dunia ini pasti cemburu."

"Makasih pak. Saya juga bersyukur punya mama seperti ini."

Aku menatap anakku penuh cinta saat rambutku dibelainya. Lantas anakku menciumku. Tukang tato menatap kami dengan sabar.

"Duduk anjing!"

Aku lantas duduk. Pantatku menduduki betisku.

"Bener – bener terlatih!" puji tukang tato. "Berdasar pengalman saya, kamu pasti ingin dan akan menunjukan peliharaanmu kepada temanmu. Dan anjing ini pasti suka dipamerkan.
"Tapi anak seumuruanmu bermulut lebar. Meski kamu suruh temanmu bersumpah atas nama apa pun, akan ada seseorang yang menceritakannya. Lantas seseorang akan memberitahu dunia, bisa karena cemburu atau karena ingin mengambil keuntungan.
"Cepat atau lambat, yang berwajib akan tahu. Dan kalian berdua bisa dipenjara. Jadi, bapak sarankan agar jaga hubungan kalian supaya tak ada seorang pun yang tahu."

"Iya pak," suara anakku terdengar pelan setelah diberitahu kenyataannya.

Apa yang tukang tato sampaikan mungkin tak pernah terlintas di benak kami.

"Untung kalian datang dulu ke sini. Kalau sampai ada orang yang tahu yang tak bisa menutup mulut, bisa celaka."

"Gimana tentang tawaran trisom dan atau aktifitas lainnya di internet pak?"

"Jangan pernah gabung. Bisa jadi kalian malah diperas lantas dipaksa melakukan hal – hal yang bahkan tidak akan kalian sukai."

Setelah percakapan, mulailah pekerjaan. Rupanya hanya pentilku yang ditindik, lantas dipasangi ring. Ring tersebut bisa dipasangi bel kecil yang bisa dicabut.

Selesailah pekerjaan kami di tempat tato.
 
Aku bangun. Saat akan beranjak dari tempat tidur, aku tertahan. Setelah beberapa saat mencoba berpikir, baru kusadari leherku terikat tali kekang dan kekang itu pun terikat ke ranjang. Aku tidur telanjang. Di sebelahku terdapan anakku yang sedang tidur. Juga telanjang.

Kulihat anakku begitu tenang dalam tidurnya. Aku seperti tak percaya, anakku ini yang kemarin melukai pantatku, hingga kini masih berasa sakit. Sakitnya tuh di sini di kulit pantatku. Kucium anakku dengan penuh kasih sayang. Perlahan tapi pasti, ciumanku berubah jadi penuh hasrat. Kujulurkan lidah berusaha memasuki mulutnya. Ciumanku rupanya telah membangunkan anakku. Lantas dia balas menciumku.

Tangan anakku membelai rambutku. Belaian itu kini membimbing kepalaku turun ke selangkangannya. Dorongannya membuat mulutku dimasuki kontolnya yang langsung mentok ke tenggorokanku. Lantas dia mulai menggenjot mulutku.

“Ini yang mama mau? Anjing binalku?”

Anakku berteriak lantas genjotannya makin keras. Saat kontolnya menekan lebih dalam, saat itulah pejunya menyembur langsung ke tenggorokanku. Setelah selesai, kuharap anakku akan langsung mencabut kontolnya. Namun anakku malah membiarkannya sebentar, lantas kencing langsung ke tenggorokanku.

“Leganya gak harus ke kamar mandi di pagi hari,” kata anakku dengan riang.

Aku hampir muntah saat air kencing anakku mengalir melalui tenggorokan hingga memenuhi perutku.

“Pinter, anjing pinter. Mulai kini Wayan ingin dilayani kayak gini tiap pagi.” puji anakku sambil menepuk kepalaku.

Aku bahagia mendengar anakku senang. Apalagi dihadiahi peju dan air kencingnya. Hanya saja aku ingin anakku tak menyemprotkan peju dan kencingnya langsung seperti barusan. Aku ingin merasakan dulu dengan lidahku.

“Makasih tuan udah ngasih minum peju dan kencing tuan yang nikmat. Mama bangga bisa melayani tuan!”

“Bagus. Anjing pinter,” puji anakku sambil menatapku dan mengelus pipiku lembut.

Aku bahagia, karena anakku kembali senang untukku. Kuharap aku akan tidur berdua seperti ini dengan anakku hingga ajal menjemput.

***

Aku masak sementara anakku siap – siap akan sekolah. Kuhidangkan makanan di meja dan di mangkuk di bawah. Saat anakku makan di meja makan, aku makan di bawah dari mangkuk, dengan tali kekang terikat ke meja makan. Sambil makan, kami tetap ngobrol seperti biasa. Anakku menyuruhku ke dokter untuk memeriksa kesiapan tubuhku mengandung. Setelah makan, dia menciumku lantas menampar pantatku yang masih merah beberapa kali. Lantas dia menyuruhku untuk beres – beres rumah serta mandi terlebih dahulu.

Aku bersyukur anakku menyuruh konsultasi ke dokter untuk kehamilanku. Lantas aku ke kamarku, yang kini jadi kamar anakku juga. Aku mengenakan busana yang dipilihkan oleh anakku. Aku hanya memakai gamis hitam serta jilbab. Lantas aku pergi ke klinik biasa. Kebetulan dokternya adalah temanku sedari dulu. Dokter ani.

Kami berbasa – basi lantas kuutarakan maksudku. Kukatakan aku telah menikah dan ingin segera punya anak.

“Selamat, terus gimana anakmu?”

Aku mengerti maksudnya. Dia ingin tahu reaksi anakku terhadap pernikahanku. Dengan bangga kukatakan kalau anakku senang dengan pernikahanku ini.

Lantas aku berbaring. Ani sepertinya terkejut menyadari aku tak memakai apa – apa dibalik gamis ini. Saat Ani memeriksa selangkanganku, aku penasaran apakah dia menyadari keanehan lainnya.

“Mulai nakal ya,” kata Ani sambil jarinya mengelus pantat merahku.

“Kamu nikah sama orang yang suka hal – hal ginian?” tanyanya sambil tersenyum nakal kepadaku. “Kayaknya hal baru ini cocok sama kamu. Kamu jadi terlihat seksi dan bahkan terlihat bahagia. Beda jauh dibanding saat terakhir aku melihatmu. Hanya murung dan murung, seperti burung yang dikurung. Cuman, sebagai temenmu, aku hanya ingin bertanya satu hal. Apa kamu yakin dia gak kan bertindak terlalu jauh hingga mencederaimu?”

Ani terdengar biasa saja. Tidak ragu. Bahkan jarinya terus mengelus pantatku. Aku jadi takkan ragu ke sini lagi esok lusa saat hubunganku dengan anakku makin mesra. Aku pun tahu, cepat atau lambat, ani harus diberitahu tentang hubunganku dengan anakku. Bahkan sebaiknya aku kasih saja sedikit bocoran. Bukankah aku akan ditato oleh anakku. Aku harap dengan memberi kepercaan pada Ani akan membuatku aman saat aku membutuhkan dokter.

“Tenang, aku percaya dia. Lagian aku juga sudah tau dia sedari dia kecil. Kami saling mencintai,” kataku berusaha meyakinkan Ani.

“Dasar gila! Lu nikah sama berondong yang suka mengontrol ya?” tanyanya sambil menyeringai.

Bocoranku berhasil. Aku yakin itu. Tapi aku ingin membocorkan lebih lagi.

“Memang lebih muda, tapi udah jago. Anakku juga tahu sedari awal. Dia pastikan kalau aku takkan celaka. Bahkan dia mengerti tentang kebutuhan seksualku.”

“Tahu sedari awal? Maksudnya?” Ani terkejut.

Aku tahu Ani akan bertanya lebih lanjut. Namun yang pasti, aku tak berbohong. Aku harap apa yang kuungkapkan tidak bakal membuatnya jijik.

“Ya, anakku tahu dari awal kalau aku akan dilatih dan direndahkan secara seksual. Hampir tiap waktu aku merangkak di rumah. Leherku dipasangi kalung anjing bertali kekang. Juga terkadang dihukum. Kamu lihat sendiri kan buktinya di pantatku. Kuberitahu anakku kalau aku kini bahagia. Inilah yang kuinginkan. Anakku tak keberatan selama itu membuatku bahagia. Anakku bilang akan selalu menjaga dan ada untukku.”

“Wow, kamu benar – benar akan direndahkan selamanya? Bertahun – tahun kukenal kamu, aku tetap terkejut mendengarnya. Aku mesti ketemu dan ngobrol sama suamimu. Yang telah merubahmu jadi seperti ini,” tatapnya dengan kagum.

“Makasih Ni. Aku memang bahagia. Aku akan selamanya tunduk dan berterimakasih sama dia. Dan semuanya takkan terjadi tanpa cinta dan dorongan anakku.”

“Kamu bilang anakmu senang kamu jadi semacam budak seks? Apa dia pernah liat kamu merangkak? Apa dia juga liat kamu dihukum?” tanyanya sambil seringai.

“Aku bersyukur punya anak seperti dia. Dia juga pastikan kalau aku diperlakukan dengan baik tanpa kemungkinan untuk cedera. Cedera hamstring misalnya. Jadi dia ikut berpartisipasi dalam pelatihanku. Bukan saja dia suruh aku merangkak sambil menarik kekangku, dia juga menghukumku, menampar pantatku misalnya.

Ani tidak seterkejut tadi. Yang kulihat di wajahnya bukan rasa jijik, tapi tatapan mesum. Kini aku yakin Ani takkan keberatan dengan hubunganku dengan anakku. Dengan suara menggoda, kuteruskan ucapanku.

“Aku yakin kamu bakal seneng ketemu anak muda tampanku. Dan kita bisa bersenang – sengang bersama. Kalau kamu ngerti sih.”

“Andai aku punya waktu luang. Mungkin bulan depan bisa kujadwalkan. Kamu udah terangsang ya?”

Ani kini memasukan pelebar memek dan melebarkan memekku lantas memeriksanya. Tiba – tiba Ani mencubit itilku dengan keras membuatku hampir berteriak. Untung saja aku masih bisa menahan mulutku. Tapi aku tak bisa menahan tubuhku merasakan orgasme hingga kencing.

“Gila. Aku baru liat wanita orgasme sambil kencing kayak gini.”

Setelah tubuhku tenang kembali, Ani mencolek cairan di memekku dan menjilatinya.

“Memekmu kayaknya lezat. Aku juga baru liat itil segede ini. Aku mesti menghukummu karena keluar tanpa peringatan di depanku.”

Ani menyumbat mulutku dengan kasa lantas mencubit dan menarik itilku dengan keras. Aku menjerit menangis terisak saat itilku terus ditarik. Ani terus menyiksa itilku tanpa ampun. Tubuhku kembali kejang tak terkendali. Aku berteriak merasakan campuran rasa sakit dan nikmat tak tertahankan. Air mataku menetes. Aku kencing lantas pingsan.

***

Saat aku membuka mata, Ani menatapku sambil tersenyum.

“Aku tak percaya itilmu membesar. Kayaknya masih bisa tumbuh lagi jika diremas dan ditarik – tarik. Kelenjar memekmu juga memiliki kelainan. Yaitu mengeluarkan cairan memek dengan jumlah yang sangat banyak. Normal namun langka.” kata Ani dengan takjub.

“Andai waktuku luang, aku bakal seneng luangin waktu sama kamu, pelacurku. Apa anakmu bener - bener ikut berpartisipasi? Oh tuhan, aku bakal seneng liat kamu direndahkan anakmu.”

Sebelum aku pergi, Ani menciumku dengan penuh gairah. Lantas dia bilang dia seneng bertemu lagi denganku. Kubilang tinggal atur waktunya. Bawa juga pemuka memek, biar anakku bisa melihat lebih jauh lagi. Dijawabnya kenapa gak sekalian dia liat lubang lainnya.

Lantas kusadari aku baru saja mengakui hubunganku dengan cara mengatakan agar anakku bisa melihat memekku lebih jauh lagi. Pantatku lantas ditamparnya beberapa kali hingga pahaku penuh oleh cairan memekku. Saat akan kuseka, Ani melarangnya.

“Sekarang pergi dan tunjukan ke orang lain betapa jalangnya dirimu.”

***

Aku dibawa anakku ke tukang tato. Aku takut tukang tato bakal mengetahui hubungan kami. Namun tak kuutarakan ketakutanku pada anakku. Ternyata tukang tatonya adalah ayah teman sekolahnya. Anakku meyakinkanku bahwa dia bisa dipercaya. Asal kita bertindak wajar dan normal.

Tempatnya terasa nyaman. Lantas kami dibawa ke ruangannya. Sambil basa – basi, dengan malu – malu kukatakan aku ingin ditindik di puting dan bibir vaginaku. Lantas tukang tato menatap anakku. Anakku duduk di kursi sambil agak gugup. Lantas tukang tato tersenyum seperti memahami sesuatu. Aku yakin kini dia paham kalau aku dan anakku telah berhubungan. Aku panik tapi berusaha menyembunyikan kepanikanku. Aku hanya tersenyum sopan.

Rupanya tukang tato menyadari kepanikanmu.

“Semua rahasia pelanggan aman bersama saya bu,” katanya berusaha meyakinkanku.

Entah kenapa hati kecilku percaya kata – katanya.

“Hanya itu saja bu? Gimana kalau sekalian di tato?” tanyanya sopan.

Aku menatap anakku menunggu jawabnya. Tukang tato kembali menatap anakku. Kulihat tatapan takjub dan iri di wajahnya.

“Seharusnya bapak bertanya sama kamu nak. Karena sepertinya kamu yang memegang kendali. Sebelumnya kamu kemari bertanya tentang tato dan tindik. Namun kamu bilang gak mau ditato.”

Anakku benar – benar terkejut oleh komentar tukang tato. Tak bisa menyembunyikan kegugupannya anakku lantas bicara lagi.

“Bagaimana bapak tahu kalau mama dan saya ... ??? Bukankah kami bertindak normal? Kalung mama pun dilepas dahulu sebelum ke sini.”

“Bisa dilihat oleh mata yang jeli. Tapi secara sepintas, anda berdua memang terlihat seperti ibu dan anak yang normal. Bukan kali ini saja saya berhadapan dengan pasangan seperti anda berdua. Seperti yang telah saya katakan, rahasia pelanggan aman bersama saya. Dan lagi, saya juga kenal beberapa orang yang seperti anda berdua.
“Saat anda berdua masuk, saya sudah tahu apa yang terjadi. Bahkan saya pernah dapat pelanggan seperti anda, hanya saja putranya dua.”

“Kalau gak keberatan, maukah bapak ceritakan tentang keluarga itu?”

“Dahulu kala, sang ibu barusaja melahirkan bayi kembar, keduanya perempuan, dari benih anak pertamanya. Lantas beberapa saat kemudian, anak keduanya menghamili ibunya. Kedua anak itu meminta saya menindik selangkangannya agar vagina dan anus ibunya bisa dipasangi gembok kecil.”

Mendengar uraian tukang tato mungkin menyebabkan anakku lebih berani.

“Saya ingin mama juga ditindik agar memek dan anusnya bisa digembok. Itilnya juga sekalian. Mama memang udah jadi budak seks saya.”

Aku malu mendengarnya. Namun akhirnya aku bahagia karena mulai ada orang lain yang tau derajatku. Tukang tato melihat anakku dengan takjub. Lantas menatapku seolah meminta konfirmasi.

“Iya, anak saya adalah tuan saya. Pemilik saya. Saya adalah budak seksnya. Anjing jalangnya,” kataku dengan bangga dan gembira.

“Saya iri. Kamu punya hubungan yang luar biasa. Bukan sekedar permainan berpura – pura. Kamu ingin seperti apa nih?”

Anakku mulai menjelaskan keinginannya.

“Yakin mau menindik itil mamamu? Apa cukup besar?”

“Mau lihat?”

Lantas aku disuruh berdiri telanjang di depan tukang tato. Anakku mulai mengelus itilku hingga beberapa menit kemudian mulai membesar, seperti kontol mini. Selama itu aku mengerang dan terkadang menjerit saat aku orgasme. Cairan memekku mengucur hingga pahaku. Bahkan membasahi lantai. Itilku kini sudah besar, anakku mendekatkan tangannya yang penuh cairan memek ke depan mulutku. Lantas kujilat dan kuhisap. Kulihat tukang tato yang sedang menatap terkagum – kagum.

“Dengan latihan rutin, itilnya bakal makin besar dan panjang,” kata anakku.

“Luar biasa. Ya memang kalau lebih besar lagi bisa ditindik seperti yang kamu mau. Hanya saja, mungkin beresiko. Bisa jadi itilnya kehilangan sensitifitasnya. Apa kamu yakin?”

“Yakin. Inilah resiko yang akan saya tempuh. Bahkan, setiap tubuh mama merupakan titik sensitifnya. Kumainkan saja susunya sudah membuatnya keluar. Apalagi saat kutampar pantatnya.
“Muter anjing, liatkan pantatmu ku tukang tato!”

Aku berbalik hingga menampilkan pantatku yang merah.

“Semalam kupecut. Kayaknya merah bekas pecutan malah membuat lebih seksi. Nungging anjing, lebarkan pantat biar makin terlihat!”

Aku merasa malu, namun tetap melaksanakan perintahnya. Kulebarkan pantatku hingga anusku terlihat.

“Gimana pak, kalau anus mama dikunci? Gak masalah kan?”

Tukang tato bilang kalau dia bisa melakukan itu. Dia juga menyentuh anusku untuk memastikannya.

“Oh tuhan, dia langsung keluar meski hanya disentuh anusnya saja,” tukang tato berseru takjub.

Tiba – tiba pantatku ditampar beberapa kali oleh anakku.

“Dasar anjing jalang, bersihin semua ini!”

Aku tahu anakku hanya ingin menunjukan kontrolnya atas diriku di depan tukang tato. Aku ingin membuat anakku bangga padaku. Aku lantas menjulurkan lidah dan menjilati cairian di lantai, sedang pantatku kuangkat. Setelah itu, aku merangkak membersihkan cairan memekku.

“Maaf pak anjing saya udah ngotorin tempat bapak.”

“Bagus, anjing pinter,” puji anakku sambil menepuk kepalaku, setelah aku selesai mebersihkan lantai.

Rasa malu yang kurasakan membuat tubuhku, yang masih ditepuk oleh anakku kembali orgasme. Memekku kembali mengotori lantai. Aku menundukkan kepala akibat malu. Lantas kembali kubersihkan lantai dengan lidahku.

“Dasar anjing ceroboh. Sekali lagi kamu lakukan itu, akan dihukum.
“Maaf pak, anjing saya perlu dilatih lagi. Seperti yang bapak lihat, anjing saya masih ceroboh. Juga belum bisa mengontrol memeknya.”

Kata – kata anakku makin membuatku malu dan terhina.

“Baru kali ini bapak lihat wanita keluar kayak kencing gitu. Begitu seringnya, begitu banyaknya. Bapak yakin, setiap pria di dunia ini pasti cemburu.”

“Makasih pak. Saya juga bersyukur punya mama seperti ini.”

Aku menatap anakku penuh cinta saat rambutku dibelainya. Lantas anakku menciumku. Tukang tato menatap kami dengan sabar.

“Duduk anjing!”

Aku lantas duduk. Pantatku menduduki betisku.

“Bener – bener terlatih!” puji tukang tato. “Berdasar pengalman saya, kamu pasti ingin dan akan menunjukan peliharaanmu kepada temanmu. Dan anjing ini pasti suka dipamerkan.
“Tapi anak seumuruanmu bermulut lebar. Meski kamu suruh temanmu bersumpah atas nama apa pun, akan ada seseorang yang menceritakannya. Lantas seseorang akan memberitahu dunia, bisa karena cemburu atau karena ingin mengambil keuntungan.
“Cepat atau lambat, yang berwajib akan tahu. Dan kalian berdua bisa dipenjara. Jadi, bapak sarankan agar jaga hubungan kalian supaya tak ada seorang pun yang tahu.”

“Iya pak,” suara anakku terdengar pelan setelah diberitahu kenyataannya.

Apa yang tukang tato sampaikan mungkin tak pernah terlintas di benak kami.

“Untung kalian datang dulu ke sini. Kalau sampai ada orang yang tahu yang tak bisa menutup mulut, bisa celaka.”

“Gimana tentang tawaran trisom dan atau aktifitas lainnya di internet pak?”

“Jangan pernah gabung. Bisa jadi kalian malah diperas lantas dipaksa melakukan hal – hal yang bahkan tidak akan kalian sukai.”

Setelah percakapan, mulailah pekerjaan. Rupanya hanya pentilku yang ditindik, lantas dipasangi ring. Ring tersebut bisa dipasangi bel kecil yang bisa dicabut.

Selesailah pekerjaan kami di tempat tato.
 
Qsanta.... saya sangat puas dengan ceritamu.... walaupun copas tapi kamu meracik sedemikian rupa membuat saya :tegang::tegang::tegang: saya mengakui kehebatanmu Qsanta....
salam dariku....
qslamet
 
hardcrooooooottt... mama berjilbab emang gag ada matinya
langcroooooootken
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd