APRIL MOP
Special Credit for : Mumpuni
Special Credit for : Mumpuni
Aku memang punya kebiasaan yang ganjil. Bila cowok lain menjadikan Sabtu malam sebagai waktu keramat untuk mengunjungi cewek tersayang, waktu keramatku justru Selasa malam.
Nggak tahu kenapa. Mungkin hanya sekadar sok antikemapanan. Aku sering bertanya pada diriku sendiri, memangnya ada apa dengan Sabtu malam? Apakah pada saat itu malaikat Cupid beterbangan sambil membawa lebih banyak anak panah dari hari-hari biasa, sehingga siapa pun yang berduaan pada malam itu akan memiliki peluang 30% lebih besar untuk jadian?
Intan bilang aku nggak romantis dan selalu nyari-nyari alasan biar bisa beda sama orang lain. Mungkin itu betul juga. Yang jelas aku memang sama sekali nggak percaya pada Sabtu malam. Tuhan menciptakan tujuh hari dalam seminggu. Kalau hanya untuk spent time berdua sama seseorang, hari mana pun sama saja. Nggak ada bedanya sedikit pun.
So here I am again, at Selasa malam di rumah Intan. Aku membelokkan skuterku melintasi pagar pekarangan dan berhenti di depan beranda. Orang lain biasanya memarkir kendaraan di pinggir jalan di luar sana. Aku beda. Aku sudah punya hak untuk masuk tanpa kulonuwun hingga ke dalam jauh sejak aku masih jadi teman dulu. Dan sejak jadian dengannya, aku bisa masuk rumah bahkan tanpa bilang kulonuwun atau ketuk pintu dulu.
Malam ini juga. Tapi aku agak kagok karena Pak Seno ternyata lagi nongkrong baca koran di sofa panjang tempat Intan dan aku biasa duduk. Ia menoleh menatapku seperti memang sengaja menunggu kemunculanku.
Lagi disuruh ibunya beli telur di supermarket depan situ, ujarnya tanpa ditanya sambil memberesi korannya.
Duduk saja dulu.
Aku mengangguk, Ya, Pak.
Pak Seno ini orangnya ramah dan gampang akrab dengan anak muda. Sayang kami jarang bisa ngobrol lama karena dia sibuk terus dengan tugas-tugasnya sebagai dosen di Undip. Whatever-lah, yang penting dia nampak oke-oke saja anak gadisnya kupacari.
Bagaimana kuliahmu? Lalu dia berinisiatif memulai perbincangan. Lancar?
Lumayan, Pak. Masih banyak C-nya, tapi mending daripada kena D atau E!
Pak Seno tertawa pelan, Sebenarnya kalau kamu sudah pacaran dengan Intan sejak dulu, aku bisa pesankan satu tempat buatmu di Undip pas ujian masuk, jadi kamu nggak perlu kuliah di swasta seperti sekarang.
Jangan ah, Pak. Kan KKN.
Betul, tapi kan hemat di ongkos. Sisa uangnya bisa dipakai untuk beli motor baru atau komputer.
Aku tertegun. Wah, betul juga!
Tahun ini saya masih bisa ikut lagi, Pak. Aku langsung bersemangat.
Yang penting kamu tetap bisa jaga hubunganmu dengan Intan. Kalau pas ujian nanti kamu sudah nggak ada apa-apa lagi sama dia, ya percuma.
Percaya deh sama saya, Pak. Biar pun nggak karena itu, saya tetap sayang setengah mati sama dia. Janji!
Pak Seno terdiam. Mendadak wajahnya jadi serius. Dahinya berkerut tajam. Lalu ia mengangguk-angguk.
Bagus, katanya kemudian. Karena itu yang ingin kubicarakan denganmu sekarang.
Aku juga ikut serius, Maksud Bapak?
Pak Seno nggak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang, lantas menatapku lekat penuh perhatian.
Seberapa besar kamu ingin serius dengan anakku si Intan?
Aku terhenyak sesaat, Sa saya kira saya sangat serius padanya. Dalam arti, perasaan saya
Dengar, ya? Mungkin ini kelihatan agak terburu-buru. Pak Seno memotong kalimatku. Tapi aku berharap, kami berharap, agar hubungan kalian segera diresmikan.
Aku tergagap menelan ludah, Apa, Pak? Diresmikan?
Keluarga besar kami memang masih agak kolot. Terus terang kami nggak pernah bisa lihat dua orang berpacaran terlalu lama. Itu bisa menjurus ke arah yang nggak-nggak. Nah, daripada ambil risiko, lebih baik langsung saja menikah secepat mungkin selagi masih ada kesempatan.
Aku seperti disambar geledek. Wajahku saat itu pasti pucat bukan main!
Tapi, Pak ?
Bukankah semua hubungan cinta bermuara ke pernikahan? Bukankah apa yang sedang kamu kerjakan dengan Intan suatu saat juga akan diarahkan ke sana!?
Ya, tapi nggak sekarang. Nggak secepat ini! Kami baru tiga bulan jalan bareng. Saya masih semester dua kuliah. Intan baru kelas dua SMU. Kami bisa apa!?
Kenapa takut? Cinta akan mengalahkan segalanya.
Itu omongan penyair. Saya bukan penyair!
Itu sebabnya tadi aku tanya apakah kamu serius apa nggak dengan Intan. Sebab jika kamu serius, ya beginilah konsekuensinya. Kamu ingin diterima di keluarga kami, maka kamu juga harus mau mengikuti aturan main di sini. Dan aturan mainnya adalah kami mau kalian berdua secepat mungkin meresmikan hubungan kalian!
Aku meneguk ludah lagi, Tapi, Pak saya kami
Pokoknya begini. Kalau kamu betul-betul serius sama dia, benar-benar sayang sama dia, inilah yang akan kita bersama lakukan. Bilang pada orang tuamu untuk datang kemari melamar Intan buatmu. Bulan depan aku mau kalian sudah bertunangan. Dan dalam tiga atau empat bulan mendatang, kalian resmi menikah. Soal biaya jangan khawatir. Kita bisa selenggarakan dengan sederhana. Yang penting intinya.
Sebuah sensasi yang amat kasar menggerayangi mukaku. Sementara sekujur badanku lemas dengan tengkuk merinding hebat. Dan untuk pertama kalinya setelah hidup belasan tahun sebagai cowok, aku pengin nangis karena ketakutan!
Tapi, Pak saya sungguh belum siap untuk itu, sahutku lemas. Sumpah Demi Tuhan, saya belum siap. Umur saya baru 19 tahun !
Pak Seno bangkit berdiri, Memangnya apa yang kamu takutkan? Wong aku jamin lamaran orang tuamu pasti kuterima dengan senang hati!
Suaraku makin memelas, Bukan itu
Aku nggak mau tahu! Pokoknya begitu aturannya di sini. Kalau kamu ragu-ragu atau nggak mau, lupakan kamu pernah kenal dengan Intan!
Begitu habis kalimatnya, Pak Seno langsung berlalu dengan wajah mendongak tinggi-tinggi ke ruang dalam.
Dan aku hanya bisa duduk terpaku dengan telapak tangan dingin berkeringat dan aliran napas terasa sesak di dada.
Mimpi apa aku semalam? Menikah? Secepat ini? Apa dunia sudah gila!?
Rasanya aku sudah hampir semaput ketika melihat bayangan Pak Seno muncul kembali dari dalam sambil menyulut rokok kretek. Ia duduk kembali menghadapiku, lalu melempar sesuatu ke atas meja. Kulihat itu sebuah pita kaset handycam.
Ambil! Itu buatmu! katanya, atau serunya, tetap dengan nada nggak ramah.
Aku termangu heran, Apa ini, Pak?
Ini tanggal berapa? Pak Seno mengepulkan asap rokoknya.
1 April. Memangnya kenapa, Pak?
Itu rekaman wajah panikmu barusan. Kamu punya satu kopian, kami juga punya satu. Lumayan diputar kalau kamu dan Intan sudah tua nanti. Pasti akan mengingatkanmu bahwa suatu saat dulu kamu pernah begitu histeris pada kata pernikahan. Tiba-tiba lelaki itu nyengir jelek. Pernah dengar istilah April Mop, kan? Hehe
Aku terpana. Lalu melotot. Lalu pengin menjerit, lalu pengin mengumpat
Terakhir diubah oleh moderator: