Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Gunung Kemukus

satria73

Calon Suhu Semprot
Daftar
12 Nov 2017
Post
2.563
Like diterima
6.746
Bimabet
Gunung Kemukus



"Ayah tahu Gunung Kemukus?" tanya istriku saat aku beristirahat setelah pulang berjualan bubur ayam, di hadapanku sudah tersedia kopi yang dibuatkan oleh Wina anak tiriku. Sekilas aku melihat Wina yang sedang asyik menonton tv, cantik sekali anak tiriku ini.

"Gak tau, Mah." Jawabku sambil lalu, rasanya aku pernah mendengar nama Gunung Kemukus tapi lupa di mana. Lagi pula aku tidak begitu tertarik dengan nama itu, aku lebih tertarik mencuri curi pandang ke arah Wina yang hanya memakai celana pendek ketat sehingga aku bisa melihat pahanya yang putih mulus dengan urat urat biru yang membayang.

"Itu Yah, tempat pesugihan yang terkenal sampai ke luar negeri." Kata Wina ikut nimbrung. Wina adalah anak tiriku yang baru saja lulus SMA, usianya 18 tahun. Aku sudah menganggapnya seperti anakku sendiri walau kadang aku suka berpikir mesum, tapi aku berhasil mengatasinya. Entah sampai kapan aku bisa bertahan mengendalikan pikiran mesumku.

Aku menikahi istriku Lina lima tahun yang lalu, seorang janda beranak satu yang ditinggal mati suami saat anaknya berusia 10 tahun. Walau usia kami terpaut Lima tahun dan istriku usianya lebih tua dariku, tapi tidak menghalangi niatku menikahinya. Kecantikan dan bentuk tubuhnya yang seperti gitar Spanyol membuatku tergila gila kepadanya, terlebih perhatiannya membuatku bertekuk lutut. Dia tidak melihatku sebagai seorang preman pasar yang kerjanya hanya memungut iuran uang keamanan ke setiap pedagang, tanpa penghasilan tetap karena uang yang kami kumpulkan harus dibagi rata.

Kadang kala Aku merasa iba, sebelum menikah denganku Lina hidup berkecukupan dengan harta peninggalan almarhum suaminya yang meninggalkan sebuah Toko kelontong yang lumayan ramai. Setelah kami menikah, perlahan namun pasti Toko kelontong miliknya bangkrut. Akhirnya Lina berinisiatif alih profesi menjadi penjual bubur ayam di bekas Toko kelontong miliknya, awalnya usaha kami cukup menjanjikan namun setelah setahun usaha bubur ayam kami pun mengalami nasib yang sama dengan Toko kelontong. Tidak ada modal dan terbelit hutang, Lima terpaksa menjual Toko miliknya.

Sedangkan rumah peninggalan suaminya yang besar sengaja dikontrakkan ke orang lain, sedangkan kami mengontrak di rumah yang lebih kecil sehingga kami mendapatkan uang lebih dari sisa uang kontrakan rumahnya. Lumayan untuk membantu perekonomian kami yang morat marit.

Tidak ada pilihan lain, dengan uang yang masih tersisa, aku berinisiatif menjadi penjual bubur ayam keliling. Sebuah awal yang cukup berat karena harus memulai dari nol, aku tidak biasa berjualan. Pekerjaanku dari dulu dan hanya itulah yang aku tahu adalah menggunakan kepalan tangan untuk berkelahi dan menakut nakuti orang untuk memberiku uang atau bahasa kerennya tukang palak yang kalau dilihat dari jumlah sangatlah kecil. Hingga akhirnya salah seorang temanku mengajak bergabung dengan preman pasar, aku mendapatkan tugas untuk memungut iuran dan sebagian hasilnya harus aku setor.

"Masa tempat Pesugihan bisa sampai terkenal ke luar negeri? Kalian tahu dari mana?" tanyaku heran. Walau sebenarnya wajar, istri dan anakku sangat suka melihat tayangan mistis di televisi. Kultur kebudayaan kita tidak pernah lepas dari hal berbau mistis.

"Tahu dari TV, Yah.." jawab Wina. Selama mengobrol dengan Wina, aku tidak berani terang terangan melihat ke arahnya karena takut tergoda oleh pakaiannya yang memakai celana pendek dan baju you can see yang belahan dadanya rendah sehingga aku bisa melihat permukaan payudaranya yang besar, sudah sering aku menegur Wina tapi Istriku sama sekali tidak pernah mempersoalkan hal itu.

"Wina berpakaian begitu Cuma di rumah, kalau di luar pasti akan aku larang." Kata istriku membela anaknya. Dia sama sekali tidak memperdulikan perasaanku sebagai pria normal yang bisa khilaf.

"Gunung Kemukus itu tempat orang mencari Pesugihan tanpa tumbal dan untuk melakukan ritual Pesugihan di Gunung Kemukus kita harus datang dengan pasangan selingkuh sebanyak 7x malam Jumat pon untuk melakukan ritual Sex sehingga hajat kita tercapai, terdengar mudah dan ritualnya enak tapi sebenarnya tidak semudah itu melakukan ritual Sex di Gunung Kemukus. Ada tata cara yang harus kita lakukan dengan benar agar semua hajat kita berhasil, tata caranya adalah :

1. Di sana sebelum kita Ziarah Ke Makam Pangeran Samudra terlebih dahulu kita mandi di Sendang Ontrowulan, kita harus mandi berdua dengan pasangan kita. Tapi pada kenyataannya sangat sulit untuk mandi bersama pasangan, saking banyaknya yang datang sehingga orang berebutan mandi akhirnya sangat sulit untuk bisa mandi bareng pasangan ritual.

2. Kita ziarah ke Pangeran Samudra untuk melakukan nikah gaib, nikah yang hanya kita lakukan dengan hati dan kita ucapkan secara lisan di hadapan Makam Pangeran Samudro tanpa didengar oleh orang lain. Pada praktiknya hal itu akan sangat sulit dilakukan karena banyaknya peziarah yang datang dan berebutan masuk ke dalam cungkup makam untuk mendapatkan berkah, mereka akan saling berebutan mengambil kembang kantil yang sudah ditaburkan di atas makam.

3. Di kamar kita harus melakukan semedi dalam keadaan bugil, semedi dengan dua alat kelamin kita bersatu. Kelihatannya mudah, tapi sebenarnya sulit karena jiwa kita sudah dikuasai nafsu.

4. Ini yang terakhir, kita melakukan hubungan sex sebanyak 7 x dalam sehari semalam, enak, nikmat dan sepertinya mudah. Tapi tidak semua cowok yang bisa melakukan hubungan sex 7 x dalam waktu sehari semalam, walau dia sudah makan obat perangsang.


Setelah berhasil kita tidak boleh menghianati pasangan ritual kita apalagi sampai ingkar janji, maka semua harta yang kita dapatkan akan hilang dalam sekejap. Tentu saja setiap Pesugihan harus pakai tumbal, tumbal Pesugihan Gunung Kemukus adalah berzina, apalagi kalau sampai wanitanya bisa hamil. Itulah tumbal dari Pesugihan Gunung Kemukus. " kata Lina menerangkan panjang lebar tentang Ritual di Gunung Kemukus membuatku heran ada tempat Pesugihan seperti itu. Sangat berbeda dengan Pesugihan yang menurutmu memerlukan tumbal jiwa, di Gunung Kemukus tumbalnya adalah berzina. Tumbal ternikmat yang pernah kudengar.

"Kamu tahu dari mana, tentang Gunung Kemukus?" tanyaku heran, Lina begitu gamblang tentang ritual di Gunung Kemukus.

"Dari Bu Hajjah Ijah, dia sering ke sana dan sekarang dia jadi orang sukses padahal dulunya dia orang miskin." Kata Lina.

"och!" jawabku singkat. Bu Hajjah Ijah tetangga kami yang cukup disegani karena kedermawanannya.

"Bu Hajjah cerita kepadaku, tapi ini rahasia tidak boleh ada orang yang tahu. Dulu waktu Almarhum ayah Wina masih hidup, kehidupan Bu Hajjah tidak seperti sekarang, dia sering datang ke rumah untuk meminjam uang, itu sebabnya Bu Hajjah menganjurkanku ke Gunung Kemukus agar derajat kita kembali naik." Kata istriku pelan, takut orang lewat mendengarnya.

"Aku tidak akan mengijinkan kamu ke Gunung Kemukus, tidak akan pernah." Jawabku marah, aku tidak bisa membayangkan tubuh indah istriku dinikmati pria lain, apalagi sampai hamil.

===========

Ternyata percakapan tentang Gunung Kemukus tidak berhenti sampai disitu, berlanjut hingga berhari hari sampai aku bosan mendengar nama Gunung Kemukus, seolah tidak ada hal yang lebih penting daripada Gunung Kemukus. Bahkan saat aku sudah mau tidur, Lina selalu membicarakan Gunung Kemukus.

"Seharusnya Ayah Ritual di Gunung Kemukus, biar hidup kita menjadi lebih baik." Kata Lina, membuatku menoleh ke arahnya.

"Ke Gunung Kemukus, maksud kamu?" tanyaku jengkel, kenapa istriku selalu menyinggung tempat itu dan selalu mendesakku untuk melakukan ritual di Gunung Kemukus.

"Iya Yah, ini semua demi masa depan anak anak kita. Kebutuhan hidup kita semakin besar, sementara usaha kita sepertinya jalan di tempat." jawab istriku, dia tidak memberiku kesempatan berpikir, terus memojokkanku dengan kondisi perekonomian kami yang semakin memburuk setelah pernikahan kami menginjak tahun ke lima.

"Kalau kamu mau ke Gunung Kemukus berangkat saja, aku tidak akan melarang." jawabku putus asa, Aku sudah lelah ribut masalah Gunung Kemukus hanya karena penghasilanku yang tidak menentu. Aku merasa ini semua salahku hingga kehidupannya jatuh miskin seperti sekarang.

"Bukan aku yang harus berangkat ke sana, tapi Ayah yang harus berangkat." jawab istriku dan selalu diakhiri begitu. Walau aku bukanlah orang benar, hidupku berkecimpung di dunia maksiat tapi aku bukanlah penjahat kelamin, tidak seperti temanku yang selalu menghabiskan uangnya di tempat pelacuran. Aku takut terkena penyakit kelamin.

"Kenapa harus, aku?" tanyaku heran, bukankah lebih mudah kalau Lina yang melakukan ritual. Walau usianya sudah menginjak 35 tahun, wajahnya yang cantik dan bentuk tubuhnya tidak akan kalah dengan wanita berusia 20-25 tahun. Tidak sulit buat Lina untuk mencari pasangan ritual, dibandingkan aku yang harus mencari pasangan ritual

"Ayah mau, tubuhku disentuh pria lain? Aku bukan pelacur, tubuh dan jiwaku hanya milik Ayah." kata Lina memelukku, kepalanya bersandar di dadaku. Aku membelai rambutnya bahagia karena Lina tidak pernah mau berpaling dariku, walau dengan keterbatasan ekonomi seperti sekarang.

"Tentu saja tidak akan aku biarkan pria lain menyentuhmu, lalu kenapa kamu memaksa aku ke Gunung Kemukus?" tanyaku sambil mempermainkan rambutnya yang lurus dan hitam tidak kalah dengan bintang iklan sampo yang sering aku lihat di TV.

"Demi kehidupan kita yang lebih baik dan terlebih lagi dengan masa depan anak kita, Si kecil memang belum membutuhkan biaya yang cukup banyak, tapi semakin bertambahnya usia, semakin besar biaya yang dibutuhkannya. Hanya itu alasanku menyuruh Ayah ke Gunung Kemukus, Pesugihan di Gunung Kemukus tanpa tumbal hanya berhubungan sex dengan pasangan tidak sah atau berzina. Walau sebenarnya berat membayangkan Ayah berhubungan sex dengan wanita lain, tapi kita harus berkorban untuk masa depan kita." jawab Lina melihat ke arah anak kami yang baru berusia 4 tahun, sedang tidur nyenyak di sampingnya.

"Aku nggak mau berhubungan sex dengan wanita yang belum aku kenal, apalagi menurut yang aku baca di sana jadi tempat prostitusi berkedok ritual dan mayoritas wanita yang datang ke sana pasti sering berganti pasangan, artinya bisa saja mereka mempunyai penyakit kelamin bahkan yang lebih parah mereka terkena HIV. Aku tidak mau terkena penyakit kelamin dan menularkannya ke kamu, hidup kita bukannya membaik malah akan terkena masalah baru." jawabku memberikan argumen, hal yang selama ini aku takuti.

"Itu sudah aku pikirkan dan aku tidak akan mengijinkan Ayah melakukan ritual dengan wanita tidak jelas. Aku sudah punya calon yang akan menjadi pasangan ritual Ayah." jawab Lina membuatku heran karena niatnya yang sudah tidak bisa berubah, dia sudah menyiapkan pasangan ritual.

"Siapa?" tanyaku penasaran, siapa wanita yang akan menjadi pasangan ritualku, walau aku belum menyanggupinya.

"Wina, anakku..!" jawab Lina tenang, lain dengan yang aku rasakan. Aku seperti mendengar suara petir di siang hari yang cerah. Aku memandang Lina, tidak percaya dengan apa yang aku dengar dan semoga pendengaranku salah. Entah dapat wangsit dari Setan Penunggu Pohon Mangga di halaman depan rumah kami, atau Setan dari mana sampai Lina mau mengorbankan anaknya melakukan ritual sex denganku di Gunung Kemukus.

"Kamu masih waras, kan?" tanyaku dengan suara bergetar menahan marah. Walau Wina bukanlah anak kandungku, tapi sudah lima tahun ini dia menjadi anakku dan aku sudah menganggapnya sebagai anakku sendiri, sekarang Wina mau dijadikan tumbal dari obsesi gila Istriku.

"Ini demi masa depan kita dan anak kita, aku sudah bicara dengan Wina dan dia sudah bersedia." jawab Lina.

"Sudah, aku mau tidur." jawabku mendorong Lina agar menjauhiku.

"Aku sudah bicarakan ini dengan Wina, dia bersedia melakukan ritual karena ingin hidupnya bisa sukses tanpa tergantung dari orang tua." kata Lina, dia masih berusaha memaksakan pendapatnya, pendapat tergila dari seorang ibu.

"Kamu benar benar gila, bagaimana kalau Wina sampai hamil karena ritual itu?" tanyaku marah, kenapa istriku sama sekali tidak memikirkan masa depan anak perempuannya.

"Tidak masalah kalau sampai Wina hamil, anaknya kita rawat dan Wina bisa meneruskan kuliah setelah ritual kita berhasil. Semuanya demi kehidupan kita agar menjadi lebih baik." Jawab Lina tenang. Aku semakin yakin istriku mulai tidak waras karena obsesinya.

Aku membalikkan tubuh membelakanginya, aku lelah dan harus tidur karena besok bangun jam 3 pagi untuk belanja di pasar. Pelan pelan kesadaranku hilang dan aku benar benar lelap dalam mimpi yang terasa aneh.

==============

Aku berjalan di jalan yang menanjak, sebuah jalan raya desa yang halus. Mau apa aku ke sini? Aku sendiri tidak tahu kenapa aku berada di tempat ini, tempat yang sangat asing dan belum pernah aku datangi sebelumnya. Akhirnya aku sampai di sebuah jembatan panjang yang melintasi sebuah danau besar, di samping kiriku beberapa buah perahu motor tertambat di Dermaga kecil. Di seberang aku melihat bukit kecil berdiri kokoh menebarkan aura mistis yang kental.

Aku melangkah menghampiri salah satu perahu yang mulai terisi oleh penumpang, dua wanita paruh baya dan seorang paruh baya. Mereka menatapku aneh, pandangan mereka penuh selidik.

"Nyekar, Mas?" tanya salah satu wanita paruh baya dengan penampilan Emak Emak jaman Now dengan gincu merah merona terlihat mencolok, wajahnya tebal oleh bedak.

"Memangnya ini tempat apa, Bu?" tanyaku heran. Perahu mulai bergerak menyeberangi danau.

"Loh, kamu ke sini tapi tidak tahu tempat apa ini?" tanya wanita itu heran, tersenyum genit melihatku.

"Tidak tahu, kenapa saya ada di sini." kataku tidak kalah heran dengan wanita paruh baya itu. Sedangkan wanita paruh baya lainnya saling berbisik melihat ke arahku.

"Masa?"/tanya wanita itu Aku baru sadar dengan kecantikan wanita yang sedang mengajakku mengobrol, usianya justru semakin menambah pesona kecantikannya, wajahnya sangat mirip dengan wajah istriku, hanya usia mereka yang membedakannya.

"Iya, aku benar benar tidak tahu tempat apa ini." jawabku heran, kenapa mereka tidak mengatakan dimana kami berada.

"Kita sedang menuju ke Gunung Kemukus, kamu sudah punya pasangan?" tanya wanita itu tersenyum genit, padahal tanpa dibuat genit senyumnya sudah mempesona mata pria yang melihatnya.

"Be belum..!" jawabku heran, kenapa aku bisa sampai di sini.

"Kebetulan, aku juga belum mempunyai pasangan." jawab wanita itu masih dengan senyumnya yang genit.

"Tidak mungkin, kenapa aku bisa sampai di sini. Tidak mungkin...!" gumamku lirih, dermaga di seberang semakin terlihat jelas, hanya tinggal beberapa meter.

"Wina, sedang apa kamu di sini?" teriakku memanggil Wina yang berdiri menanti kedatangan perahu.

Belum juga perahu merapat, aku sudah meloncat menghampiri Wina yang berdiri tersenyum menyambut kedatanganku. Rambutnya yang panjang bergelombang, bergerak dipermainkan angin sehingga semakin membuatnya terlihat semakin cantik.

"Apa yang kamu lakukan, di sini? Kamu tahu tempat apa, ini?" tanyaku marah.

"Gunung Kemukus, memangnya kenapa? Bukankah ayah yang mengajakku ke sini, kita sedang melakukan ritual di suni." Jawab Wina tersenyum, memamerkan dua lesung pipit di pipinya yang chubby.

"Aku tidak pernah mengajakmu kesini, jangan bohong kamu!" bentakku marah.

"Ayah sudah lupa? Ayah tahu, Wina tidak pernah berbohong." Jawab Wina menatapku heran.

Wina menarik tanganku, seperti kerbau dicucuk hidung aku berjalan mengiringi langkah kaki Wina yang lincah melewati jalan yang di kiri kanannya berjejer warung yang sepi tanpa pembeli. Wina mengajakku masuk ke salah satu warung, membawaku ke bagian dalam warung yang kiri kanannya terdapat pintu pintu yang berjajar. Wina membuka salah satu pintu, menarik tanganku yang ragu masuk ke dalamnya.

"Ini kamar siapa, Wina?" tanyaku heran, kamar ini terlalu sempit, sebuah ranjang kayu kecil yang hanya bisa ditiduri oleh dua orang yang saling berdesakan. Spreinya terlihat kusam, warnanya sudah memudar dan bau pengap tercium.

"Ini kamar kita selama tujuh hari kita melakukan ritual, ayo Yah buka baju, hari ini kita baru berhubungan sex 4 x sedangkan seharusnya kita melakukannya sebanyak 7 x dalam waktu 24 jam." Kata Wina membuka seluruh pakaiannya hingga bugil tanpa menungguku yang diam menatap kenakalannya.

"Wina, apa yang kamu lakukan?" kataku terkejut.

============

"A, bangun...!" kata Lina menggoyangkan tubuhku, perlahan aku membuka mata. Aku menarik nafas lega, ternyata aku masih ada di kamarku.

"Aa mimpi apa, sampai berteriak seperti itu?" tanya Lina sambil melap wajahku yang basah oleh keringat dingin.

"Mamah, kenapa ayah memanggil aku?" tanya Wina masuk tanpa mengetuk pintu lebih dahulu, matanya terlihat sayu ciri khas orang yang baru bangun tidur. Melihat Wina, hatiku berdesir aneh.

"Ngimpi, tolong ambilin air." kata Lina menyuruh Wina untuk mengambil air putih di dapur. Tanpa menjawab. Wina ke luar kamar.

"A Andi mimpi apa?" tanya Lina setelah melihatku mulai tenang.

"Aku mimpi naik perahu di Gunung Kemukus, aneh !" jawabku pelan.

"Ayah, mimpi ke Gunung Kemukus?" tanya Wina masuk dengan membawa segelas air putih yang langsung diberikannya, kepadaku. Rumah ini kecil, hanya ada dua kamar tidur sehingga suara kami akan terdengar di setiap ruangan.

"Iya, aku naik perahu terus berteriak kaget karena tiba tiba sudah ada di sana." jawabku tidak berani melihat wajah Wina gara gara obrolanku dengan Lina semalam, Wina yang duduk di tepi ranjang, dekat kakiku.

"Och, sama siapa ayah ke Gunung Kemukus?" tanya Wina pelan.

"Iya, sama siapa?" Lina menanyakan hal yang sama.

"Sendiri, waktu aku sampai di seberang, aku lihat Wina." jawabku lirih. Aku melihat Wina yang sedang memandangku dengan berani, ciri has anak jaman sekarang mereka lebih berani dibandingkan jamanku dulu yang masih merasa sungkan saat berhadapan dengan orang tua.

"Itu artinya Ayah memang harus ke Gunung Kemukus, Lina yakin itu sebuah petunjuk langsung dari Pangeran Samudro dan Dewi Ontrowulan. Kamu sudah siap melakukan ritual di Gunung Kemukus dengan ayahmu, Wina?" tanya Lina, tenang. Mimpiku justru digunakan untuk memperkuat argumennya yang ngawur, bagiku mimpiku adalah bunga tidur.

"Iya Mah, Wina sudah siap, tinggal nunggu ayah sudah siap apa belum?" tanya Wina membuatku shock, dunia remajaku sangat jauh berbeda dengan remaja sekarang.

"Ayah harus tentukan sekarang, ini semua demi masa depan kita.!" kata Lina semakin mendesakku.

"Kenapa kamu mau melakukan ritual dengan ayah, ayah tidak mau merusak masa depan kamu?" tanyaku heran, apa yang sudah dilakukan istriku sehingga Wina bersedia melakukan ritual denganku.

"Wina mau melakukan ritual demi masa depan, Wina ingin jadi orang sukses tanpa merepotkan ayah dan Mama." kata Wina lugas, aku tidak melihat keraguan di matanya.

"Pikirkanlah, ayah tidak mau merusak keperawananmu yang menjadi hak suami kamu!" kataku berusaha menyadarkan Wina dengan risiko yang akan kami hadapi.

"Wina sudah tidak perawan, jadi sudah tidak ada masalah lagi." jawab Wina pelan, hal yang sudah kuduga melihat pergaulan anak muda jaman sekarang yang terlalu bebas.

"Sudah tidak ada alasan lagi, Yah. Mamah akan menyiapkan semua keperluan kalian untuk melakukan ritual.

"Tapi, Wina itu anakku. Aku tidak mungkin bisa berhubungan sex dengan anakku sendiri, walau Cuma anak tiri. Kalau Wina sampai hamil, apa kata para tetangga?" Kataku masih belum juga menerima keputusan mereka berdua, sebagai pria normal tentu saja aku akan terangsang melihat tubuh indah Wina yang mewarisi bentuk tubuh ibunya dan kecantikannya melebihi kecantikan ibunya. Tapi aku tidak mau kehilangan akal sehat, merusak janji suci pernikahan dengan berhubungan sex dengan anak tiriku sendiri

"Kalau syarat berhasil sampai Wina hamil, Wina sudah siap. Kalau Ayah tidak mau ritual denganku juga nggak apa, aku bisa ritual dengan orang lain." Kata Wina tegas membuatku terkejut, tekadnya sudah tidak bisa berubah lagi. Dia mewarisi kegilaan dan obsesi ibunya.

"Baiklah kalau itu memang keinginan kalian, aku akan melakukannya, asal kalian tidak menyalahkanku kalau ritual itu tidak berhasil." Kataku, aku tidak akan membiarkan Wina melakukan ritual dengan sembarang pria, resikonya terlalu besar. Apalagi sampai hamil oleh pria tidak jelas dan tertular penyakit kelamin.

"Deal..! Ayah harus yakin, ritual ini akan bisa membuat kita kaya." seru istriku terlihat senang, matanya berbinar indah, gila kenapa dia justru senang dengan keputusanku. Begitu yakinkah Lina bahwa ritual ini akan memberi kami kekayaan seperti yang diimpikannya? Tidak, tidak ada yang pasti di dalam hidup ini, semuanya tidak pasti.

"Kamu beneran sudah tidak, perawan?" tanyaku sekedar memastikan.

"Kalau ayah tidak percaya, boleh ayah cobain dulu..!" jawab Wina meraba selangkangannya.

"Hush, tidak boleh. Kalian hanya boleh melakukannya di Gunung Kemukus.!" Kata istriku tegas.

==========

Jam sudah menunjukkan angka 22:30, tapi mataku belum juga mengantuk. Aku menoleh ke arah istriku yang tidur membelakangiku, Lina tidur menghadap ke arah anak kami yang baru berusia 2 tahun. Pamali kata orang Sunda kalau tidur membelakangi anak padahal aku tahu tujuannya bukan ke situ. Aku bangun perlahan agar tidak mengganggu Lina yang tidur nyenyak, sebelum keluar kamar aku kembali menoleh ke arah Lina memastikan dia masih tidur nyenyak.

Sampai sekarang, aku tidak habis berpikir kenapa Lina menyuruhmu melakukan ritual sex di Gunung Kemukus dengan anak kandungnya sendiri. Bahkan aku mulai meragukan kewarasan istriku, saat ini mungkin dia masih waras. Tapi kalau ternyata setelah ritual kehidupan kami tidak berubah, apa yang kutakutkan mungkin bisa terjadi. Aku tidak berani membayangkan setelah melakukan ritual dan kehidupan kami tidak kunjung membaik, Lina akan mengalami depresi berat karena pengorbanannya menumbalkan anaknya berubah menjadi sia sia.

Ya Tuhan, jangan sampai itu terjadi. Aku melangkah ke luar kamar, Wina belum tidur.

“Kamu belum tidur, Win?” tanyaku melihat Wina yang sedang mengemas pakaiannya ke dalam ransel sedang, besok kami akan ke Gunung Kemukus.

"Belum Yah, lagi nyiapin baju dan perlengkapan selama di Gunung Kemukus." Wina tersenyum manis. Tatapan matanya begitu bergairah.

Ya Tuhan, apa yang sudah kulakukan dengan menyanggupi untuk melakukan ritual sex di Gunung Kemukus dengan anak tiriku sendiri, remaja cantik yang sudah kuaggap sebagai anakku. Aku menatap mata Wina, berharap dia mengurungkan niatnya melakukan ritual sex di Gunung Kemukus, dia tidak perlu melakukan ritual bejat yang akan menghancurkan hidup dan masa depannya. Masa depannya masih panjang, banyak jalan yang bisa ditempuhnya.

"Kamu serius dan tidak mau mengurungkan niatmu, melakukan ritual di Gunung Kemukus?" aku semakin gelisah. Kenapa justru aku yang menjadi tegang, seharusnya aku senang bisa menikmati tubuh belia anak tiriku, bahkan banyak ayah kandung yang memperkosa anaknya. Sedangkan aku, kenapa ragu untuk melakukannya, akal sehatku mengatakan, dia adalah anakku walau dia bukan berasal dari benihku. Dia anakku, komitmen yang sudah tertanam di hatiku saat menikahi ibunya.

"Ayah kenapa menanyakan hal itu, keputusan Wina sudah bulat." jawab Wina, tatapan matanya membuatku menunduk terlebih aku baru menyadari pakaian Wina yang mengumbar aurat. Seperti kebiasaannya selama ini, Wina hanya memakai kaos tanpa lengan dengan belahan dada rendah sehingga payudaranya yang besar terlihat sempurna, pemandangan yang menguji keimananku. Kenapa aku harus ragu, tubuh belianya bisa kunikmati sepuasnya, dia hanya anak tiri dan aku sudah mendapatkan persetujuan.

"Seharusnya kamu berpakaian lebih tertutup, kamu sudah dewasa bukan lagi anak kecil. Di rumah ini ada ayah, bisa saja ayah khilaf seperti yang sering diberitakan." aku menasihati Wina sehingga lupa menjawab pertanyaannya.

"Kenapa Wina harus malu di hadapan ayah, nanti di Gunung Kemukus Ayah bahkan akan melihat Wina bugil dan Ayah akan menikmati sekujur tubuhku." Wina menjawab pertanyaanku dengan santai, tangannya menyibakkan rambutnya yang panjang sangat serasi dengan lehernya yang jenjang. Kulitnya yang putih terlihat semakin indah di bawah penerangan lampu LED, berkilat membakar gairah pria normal. Aku tidak memungkiri pesona yang dimilikinya, hanya etika dan komitmen yang selama ini membuatku bertahan.

"Tidurlah, besok kita akan melakukan perjalanan, jauh!" aku meninggalkan Wina, jawabannya sudah menunjukkan keteguhan hatinya yang tidak akan berubah.

"Kenapa ayah terlihat, ragu?" pertanyaan Wina menahanku, aku berbalik dan duduk bersila di hadapannya. Ruang tamu kami kecil, sehingga tidak diperlukan sofa.

"Ayah cuma memikirkan masa depanmu kalau ritual ini gagal, ayah juga takut ibumu... Ach sudahlah." mengibaskan tangan, mengusir bayangan buruk yang melintas, situasi tiba tiba berubah sangat mencekam.

"Justru Wina bersedia melakukan ritual demi masa depan, ayah tidak perlu merasa bersalah. Lagi pula, cepat atau lambat keperawanan Wina akan hilang." jawaban Wina membuatku terkejut karena itu artinya Wina masih perawan.

"Kamu, masih perawan?" tanyaku tajam, kenapa dia membohongiku demi sebuah ritual yang hasilnya belum pasti.

"Kenapa ayah harus mempersoalkan, keperawananku? Seharusnya ayah senang karena akan mendapatkan keperawananku, setelah ayah tidak mendapatkan dari Mamah." jawab Wina, dia terlihat yakin dengan keputusannya.

"Kenapa harus aku? Kamu bisa memberikan ke pacarmu atau yang paling bagus untuk suamimu." kataku pelan, kenapa aku harus dihadapkan pada situasi yang seharusnya tidak kualami.

"Lebih baik ayah tidur, Wina juga sudah ngantuk." Wina menutup ransel yang sudah penuh oleh pakaian dan juga perlengkapan yang dibutuhkannya selama di Gunung Kemukus.

==========

"Ayah, kenapa?" tanya Wina setelah kami turun dari bus, di hadapan kami ada jalan yang akan membawa kami ke Gunung Kemukus. Tempat ini seperti tidak asing, aku pernah ke daerah sini tapi kapan ? Aku hanya pernah merasa datang ke sini.

"Sepertinya ayah tidak asing dengan tempat ini, aneh padahal ayah belum pernah ke sini." kataku. Ini hanya perasaan, karena sugesti yang aku terima selama beberapa hari ini.

"Itu artinya ritual kita akan berhasil, Wina yakin." Wina menggandengku yang membawa ransel Wina di punggung dan tas berisi pakaian di tangan. Kami menyerang ke arah jalan di hadapan kami.

"Ojek, Pak..!" beberapa tukang ojek rebutan menawari kami ojek, aku menoleh ke arah Wina yang juga menoleh ke arahku.

"Kita jalan saja, Yah. Menurut Mbah Google, jaraknya tidak terlalu jauh." kata Wina menggenggam telapak tanganku, tangannya terasa dingin, mungkin dia mengalami sedikit kepanikan setelah tempat yang kami tuju sudah dekat .

"Yuk..!" aku setuju dengan Wina, kami harus berhemat selama di Gunung Kemukus.

Benar seperti yang dikatakan Wina, jarak dari jalan raya ke dermaga penyeberangan perahu tidak jauh, kami segera naik perahu menyeberang. Sesampainya di seberang, ada sebuah loket kecil yang mengharuskan kami membeli tiket untuk masuk ke dalam lokasi Gunung Kemukus, semuanya sangat mirip dengan mimpiku, entah ini suatu kebetulan atau apa. Aku tidak mau terlalu berspekulasi.

"Yah..!" Wina menatapku bingung setelah kami berada di lokasi Gunung Kemukus, banyak warung berjajar di kiri kanan kami dan menurut cerita Wina dari berita dan informasi Goigle, warung di tempat ini menyediakan kamar untuk tempat menginap atau dengan kata lain sebagai tempat melakukan ritual mesum.

"Iya, kita nyari kamar sekalian makan, kamu pasti lapar." kataku memegang telapak tangan Wina yang basah berkeringat, aku paham dengan apa yang dirasakan oleh Wina. Dia pasti mulai panik, beberapa mata yang berada di warung semua tertuju ke arahnya. Sejak kami turun dari bus, semua mata sudah tertuju ke arahnya.

"Masih ada kamar kosong, Bu?" tanyaku membalas senyuman ibu pemilik warung yang gemuk dan genit.

"Ada Mas, kok datangnya sekarang, biasanya hari kamis menjelang malam Jum'at Pon ?" Ibu gemuk itu terus tertuju ke Wina, dari atas ke bawah seperti seorang pembeli yang sedang meneliti barang yang akan dibelinya.

"Boleh saya lihat kamarnya, Bu?" aku merasa risih dengan pandangan Ibu gemuk yang menjengkelkan, dia lebih asik memperhatikan Wina daripada melayani pertanyaanku.

Wina semakin kencang memegang telapak tanganku, bahkan memeluk tanganku sehingga aku bisa merasakan payudaranya yang lunak menempel hangat. Wina pasti merasa sangat tidak nyaman dengan pandangan mata zi pemilik warung yang menurutku sangat keterlaluan.

"Nyari tempat lain yuk, Yah..!" Wina menarik tanganku keluar, tanpa memperdulikan Ibu gemuk yang berusaha mencegah kami.

Keterlaluan, kami bukannya mendapatkan sambutan yang baik, tapi apa yang dilakukannya ke Wina sudah membuat kesadaran kami habis. Kami tidak perlu bingung mencari kamar untuk menginap, karena setiap warung menyediakan kamar untuk para peziarah yang datang dari segala penjuru.

Kami segera masuk warung yang berada tidak jauh dari warung pertama kali kami masuki, alhamdulillah perlakuan pemilik warung lebih ramah dibandingkan ibu gemuk yang matanya tidak pernah lepas dari Wina.

"Mari mas, saya antar ke kamar..!" kata pemilik warung yang belum terlalu tua dengan senyumnya yang cukup manis.

"Iya Mbak, terima kasih." jawabku setelah kami sampai pada kamar yang dimaksud. Kami menempati kamar paling pojok, ini lebih baik daripada kami harus menempati kamar terdepan, tentu akan sangat mengganggu.

"Sama sama, Mas." ibu warung meninggalkan kami di kamar yang terasa pengap dan bau apek karena satu satunya sirkulasi udara di kamar ini hanya terletak di langit kamar.

"Yah, makan di kamar saja, Wina malu." kata Wina merebahkan tubuhnya di ranjang yang seukuran dengan ranjang di kamarnya.

"Iya, tunggu sebentar." aku keluar untuk memesan makan dan juga kopi serta air teh manis hangat kesukaan Wina, setelah itu aku kembali masuk kamar yang kecil sehingga kami tidak bisa bergerak leluasa di dalamnya.

"Kamu yakin akan meneruskan ritual, ini?" tanyaku untuk kembali memastikan sebelum semuanya terlambat, masih ada kesempatan membatalkan semuanya.

"Kita sudah sampai di sini, kenapa ayah masih bicara seperti itu?" tanya Wina bangun dari tidurnya, Wina membuka sweater yang dipakainya sejak di dalam kereta yang dingin oleh AC.

Aku memandang Wina, senyumnya terlihat lepas tidak terpengaruh oleh rasa lelah setelah melakukan perjalanan jauh. Wina terlihat begitu bahagia, padahal kami berada di tempat yang tidak pantas untuk anak seusianya. Ragu ragu aku memegang pipinya yang halus, inilah pertama kalinya aku memegang pipinya setelah lima tahun pernikahanku, pertama kali aku memegang pipi anak tiriku

"Kenapa kamu mau melakukan ini, pasti ada alasan lain yang kamu sembunyikan?" tanyaku berusaha mengetahui apa yang ada dalam pikiran Wina.

"Ayah beneran ingin tahu, kenapa Wina mau melakukan ini?" Wina menatapku, tangannya memegang tanganku yang menjauh dari wajahnya dan kembali membawa tanganku ke pipinya.

"Mas, makannya..!" aku segera membuka pintu menerima nampan berisi dua piring nasi lengkap dengan lauk pauknya dan segelas kopi serta teh manis hangat.

"Kita makan dulu, ngobrolnya nanti saja." kataku mengambil piring berisi nasi dan lauk pauknya.

"Suapin..!" rengek Wina manja, membuatku merasa canggung. Tidak biasanya Wuna berlaku seperti ini, aku menatap Wina yang menatapku seperti seorang gadis remaja yang sedang dimabuk cinta.

"Tumben, kamu jadi manja?" aku menyuapkan satu sendok berisi nasi dan lauknya ke mulut mungil Wina.

"Kan selama di sini, Wina adalah istri ayah." jawab Wina, mulutnya terbuka melahap nasi. Aku dengan telaten menyuapi Wina, bergantian dengan ku hingga dua piring nasi habis berpindah ke perut kami.

"Kita langsung mandi di Sendang, yah !" ajak Wuna setelah kami cukup beristirahat, suasana masih terasa kaku. Selama di Gunung Kemukus, hubungan kami bukan lagi ayah dan anak, tapi sebagai sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta.

"Yuk..?" jawabku singkat.

============

"Yah, Wina malu..!" untuk pertama kali aku melihat Wina menunduk malu saat kami sudah berada di Sendang Ontrowulan yang berada di dalam kamar mandi, yang dimaksud Sendang adalah sebuah sumur yang tidak terlalu dalam.

"Biasanya kamu berpakaian sexy di depan ayah tidak pernah malu, sekarang kok malu?" godaku untuk mencairkan ketegangan yang sedang kurasakan, sebentar lagi aku akan melihat tubuh bugil anak tiriku.

"Tapi Wina tidak pernah bugil di hadapan ayah, rasanya berbeda." Wina menghindari tatapanku yang mulai bergairah melihat tubuh montoknya.

"Ya sudah, ayah nunggu di luar. " jawabku memberi solusi agar Wina tidak perlu merasa malu harus bugil di hadapanku.

"Jangan, kita harus mandi bareng!" Wina mencegahku yang akan keluar, dia memegang tanganku.

"Yakin?" aku menatap Wina, kembali aku melihat keteguhan hati dari matanya yang bulat, wajahnya bersemu merah.

Wina mengangguk dan mulai membuka t"shirt yang dipakainya, aku hanya bisa menahan nafas saat t'shirt itu terlepas melewati kepalanya. Aku menerima t'shirt yang diberikan Wina tanpa melepaskan pandanganku ke arah payudaranya yang besar terbungkus BH berwarna krem.

"Ayah sudah nggak sabar pengen lihat payudara, Wina ya?" goda Wuna, keberaniannya telah kembali. Wina memegang sepasang payudaranya menggodaku yang meneguk air liur, gairahku sudah membutakan pikiran dan hatiku.

"Buruan, nanti ada yang datang, bukan hanya kita yang akan melakukan ritual." kataku berusaha menahan gairah melihat payudara montok anak tiriku yang sangat puting khas gadis Sunda.

"Iya, Sayang.!" kata Wina, sikapnya terlihat semakin binal saat membuka kancing dan resleting celana jeansnya.

"Yah, bukain celana Wina, susah !" Wina berkata manja, saat aku melihat wajahnya, dia berpaling menghindar. Dia hanya berusaha menjadi binal untuk menutupi rasa malunya, itu yang kulihat.

"Nakal..!" aku berjongkok dan meraih celana jeans Wina dengan tangan gemetar, walau aku sudah sering membuka pakaian istriku tapi sensasi yang kudapatkan membuka celana Wina jelas sangat jauh berbeda.

Perlahan aku menarik celana jeans Wina, mataku terpaku ke celana dalam berwarna krem yang menebarkan aroma khas, aroma yang semakin membangkitkan gairahku yang selama ini berusaha aku pendam setiap kali melihatnya berpakaian sexy. Semakin ke bawah celana jeans Wina, wajahku semakin mendekati celananya, Wina memegang pundakku saat mengangkat kakinya bergantian hingga akhirnya celana jeansnya berhasil aku lepaskan.

"Sudah!" aku menarik nafas lega setelah berhasil membuka celana jeans yang dipakai Wina, pekerjaan yang sebenarnya mudah tapi terasa sangat berat. Aku menggantung celana dan jeans Wina di paku yang terdapat di dinding.

"Inj, Yah..!" Wina memberikan BH dan Celana dalamnya yang sudah terlepas tanpa aku melihatnya, aku menggantung di tempat kaosnya yang sudah tergantung lebih dahulu.

Tanpa menoleh, aku membuka pakaianku dengan cepat sebelum peziarah lain datang untuk mandi. Aku berbalik, ternyata Wina memperhatikan ku sejak tadi.

"Ich, ayah..!" seru Wina menutup wajahnya, sepertinya dia terkejut melihat kontolku yang sudah tegang sempurna karena melihat kemolekan tubuh Wina. Aku sudah tidak peduli lagi dengan status jami, mereka yang memaksaku untuk melakukan ritual.

"Kenapa, Win?" tanyaku berpura pura tidak tahu, padahal aku tahu kenapa Wina menutup wajahnya dengan telapak tangan kanan sedangkan tangan kirinya menutupi memeknya yang mungkin merasa ngilu membayangkan kontolku menerobos memeknya.

"Ittu ayah....!" Wina menunjuk ke arah kontolku yang sudah tegang maksimal, menunjukkan kegarangannya yang sudah membuat Lina istriku takluk dan selalu berhasil meraih orgasme berkali kali setiap kali kami berhubungan sex.

"Ayah normal, melihat kamu buka baju langsung ngaceng." jawabku tenang, aku menegang kontolku, menunjukkannya ke arah Wina, aku meraih tangan Wina yang menutupi memeknya, kutempelkan ke batang kontolku.

"Ini syarat ritualnya, seperti yang kamu bilang." kataku berbisik di telinganya.

"I, iyya Ayah..!" Wina membuka wajahnya, matanya terpaku melihat kontolku, lalu memegangnya dengan lembut.

"Besar sekali ayah, apa muat di memekku?" tanya Wina sudah benar benar siap untuk melakukan ritual sex ini, tidak terlihat keraguan di wajahnya yang cantik bahkan dari rina wajahnya yang memerah, Wuna sudah mulai terangsang.

"Pasti masuk, walau awalnya agak sulit..!" aku mengelus kulit wajahnya yang halus, memberinya kekuatan bahwa kami akan bisa melewatinya bersama sama.

"Iyya, Ayah. Wina sudah siap, karena Wina mencintai ayah, ayah satu satunya pria yang Wina harapkan menjadi pendamping hidup Wina." jawaban Wina membuatku sangat terkejut, itukah yang membuatnya mau melakukan ritual sex denganku.

"Ngomong apa, kamu." kataku meninggalkan Wina dan menimba air dari Sendang Ontrowulan mengisi ember hingga penuh. Aku menaburkan bunga yang kubeli sebelum masuk ke dalam sendang dan juga sedikit minyak mawar yang kubawa dari Bogor.

"Kita langsung mandi, sini badan kamu ayah rajah biar air Sendang Ontrowulan bisa masuk sempurna ke dalam sum sum." aku mengambil spidol tinta emas yang sudah aku persiapkan dari kantong celana, sebenarnya proses merajah tidak ada dalam keterangan. Ini hanyalah inisiatifku sendiri, berdasarkan ilmu mistik yang pernah aku pelajari selama ini.

Ada sebuah tata cara yang dianggap sebagai sebuah keharusan orang yang akan melajukan mandi di sumber air keramat badannya harus dirajah, tata cara merajah tubuh berbeda beda tergantung kepada siapa berguru.

"Caranya bagaimana, Yah?" Wina menatapku heran, dia tidak pernah berurusan dengan hal yang berbau misti. Sekalinya dia ingin melakukan ritual mistis, dia memilih ritual paling bejat yang aku ketahui.

"Sila menghadap Sedang, kamu baca Bismillah selama ayah rajah." aku menerangkan apa yang harus dilakukan.

Aku menulis sebuah rajah yang sudah hafal diluar kepala di atas punggung mulus Wina, tanganku agak gemetar saat bersentuhan dengan kulit Wina sehingga tulisanku tidak bisa sempurna, semoga hal ini tidak mengurangi kedahsyatan rajah yang sudah aku tulis. Dari punggung aku pindah ke dada dan perut Wina, aku harus berjuang keras untuk tidak memperhatikan payudara montok Wina yang sangat menggiurkan. Sabar, aku akan menikmati payudara Wina tidak lama lagi. Aku menarik nafas lega setelah proses merajah selesai, diakhiri dengan menyiramkan air ke kepala Wina.

Selesai mandi, kami berziarah ke Makam Pangeran Samudra yang terletak di puncak bukit, sepanjang perjalanan Wina terus menggenggam telapak tanganku seperti sepasang kekasih yang berbeda usia.

Di makam, seperti keterangan yang aku dapatkan dari Lina yang mendapatkannya dari tetangga kami yang sudah berhasil menjadi kaya, aku dan Wina bersalaman layaknya seseorang yang akan menikah. Bedanya, seorang mempelai pria akan menggenggam orang tua mempelai wanita atau bisa juga wali dari pihak atau penghulu untuk mengucapkan ijab kabul. Ya, aku dan Wina akan melakukan nikah ghaib atau bisa juga nikah batin, tidak ada penghulu maupun saksi, kami menikah disaksikan batu nisan makam yang kami yakini tempat bersemayamnya Pangeran Samudra.

"Aku nikahi kamu, Wina binti Adam dengan Mas Kawin sperma yang akan aku bayar selama ritual." kataku mengucapkan mantra yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa yang bisa aku mengerti.

"Aku terima nikahnya aku dengan Andi Bin Adam dengan Mas kawin sperma yang akan membuahi rahimku, sehingga akan lahir kekayaan duniawi yang berlimpah ruah, kesuksesan yang kami idam idamkan." jawab Wina mengucapkan kalimat yang sudah dihafalnya dengan suara pelan agar tidak terdengar oleh orang lain.

Bau menyan yang menyengat tercium hidung selama prosesi ritual yang berlangsung singkat, tidak ada bunyi koor para saksi layaknya sebuah pernikahan yang mengatakan kami sudah sah sebagai suami istri. Yang terdengar jelas adalah gumaman kami membaca mantra yang sudah kami hafal.

"Sudah selesai, kita kembali ke kamar yuk ?" ajakku lembut. Aku tidak lagi melihat sosok anak tiriku, tapi sosok dewasa yang akan menjadi istriku selama kami melakukan ritual di Gunung Kemukus.

"Iya, Aa.." jawab Wina membuatku heran, kenapa Wina memanggilku A seperti ibunya memanggilku. Nanti saja aku tanyakan alasan Wina tidak memanggilku ayah, aku tidak mau kuncen dan beberapa orang yang sedang mengobrol mendengar perdebatan kami.

"Kamu kenapa memanggil Ayah dengan panggilan, Aa?" aku bertanya setelah kami berjalan agak jauh dari cungkup makam Pangeran Samudra.

"Kan A Andi sudah sah menjadi suami Wina, masa begitu saja nggak ngerti." Wina cemberut mendengar aku merasa keberatan dengan panggilannya, hal yang sebenarnya terasa janggal karena pernikahan kami bukanlah pernikahan yang sebenarnya.

"Iya, aku lupa." aku tertawa kecil membuat Wina tersenyum lebar, senang karena argumennya bisa aku terima. Aneh rasanya, Wina memanggilku A Andi, biarlah dia memanggilku begitu selama kami berada di Gunung Kemukus

Sampai kamar, Wina langsung membuka seluruh pakaiannya hingga tidak ada yang tersisa, dia terlihat sama sekali tidak malu harus bugil di hadapanku setelah kami mandi di Sendang Ontrowulan. Sepertinya dia ingin segera melakukan ritual selanjutnya, tanpa beristirahat lebih dahulu.

"Kamu mau kita langsung melakukan ritual, berikutnya?" aku terpesona melihat bentuk tubuh Wina yang sempurna, payudaranya besar melebihi payudara ibunya. Tanpa dapat kutahan lagi, aku meraba payudara Wina yang menurutku sempurna.

"Aa genit, iya biar bisa istirahat..!" Wina tertawa geli saat aku mempermainkan sepasang payudara indahnya, matanya redup sayu.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku seolah aku lupa dengan ritual selanjutnya. Aku segera membuka pakaianku dengan kontol yang sudah menegang sempurna, karena ritual selanjutnya kami akan melakukan meditasi dalam keadaan bugil dan alat kelami kami bersatu.

"Kita meditasi dengan kontol A Andi dalam memek, Wina." jawab Wina menunduk malu karena sudah mengucapkan kalimat yang tabu untuk seorang gadis.

"Kamu masih perawan, atau sudah tidak perawan?" tanyaku untuk memastikan.

"Masih perawan, A." Wina terlibat gelisah, karena ritual selanjutnya akan merobek selaput daranya. Apa lagi kalau saat kontolku merobek selaput daranya dalam keadaan masih kering, rasanya pasti akan teramat sakit. Aku menatap Wina, bagaimana caranya agar memeknya basah dan siap menerima penetrasi kontolku.

"Aku basahi memekmu dulu, biar tidak terlalu sakit saat kontolku merobek selaput dara kamu." kataku mendorong Wina agar rebah di ranjang.

"Buka pahanya, Sayang..!" kataku lembut saat Wina merapatkan pahanya, ini pengalaman pertama wajar Wina merasa gugup.

"Malu, A..!" Wina tidak berusaha melawan saat aku membuka pahanya semakin lebar sehingga aku bisa melihat keindahan memeknya yang mulus tanpa bulu, aku menelan air liur membasahi tenggorokanku yang menjadi kering.

"A, jangan dientot dulu, kita harus semedi agar ritualnya menjadi sempurna." Wina salah paham dengan maksudku, aku hanya ingin membasahi memeknya dengan lidahku sehingga dia lebih rileks saat kontolku merobek selaput daranya.

Aku tidak menjawab, wajahku semakin mendekati memeknya yang berwarna pink dan bentuknya yang tembem. Belum sempat lidahku menyentuh memek Wina, sebuah suara keras seperti benda yang jatuh menimpa atap membuatku terkejut.


"Apa itu, A ?" tanya Wina, dia juga terkejut sepertiku. Aku melihat ke atas genteng, ada banyak titik cahaya yang menerobos masuk dari celah kecil di antara tumpukan genteng.

"Mungkin buah yang jatuh, menimpa genting." ini adalah penjelasan paling masuk akal yang bisa kuberikan ke Wina dan juga kepada diriku sendiri, aku tidak mau mengaitkan semuanya dengan hal yang berbau mistik.

"Kita mulai meditasinya, A..!" aku mendorong tubuh Wina yang akan duduk, untuk kembali terlentang.

"Nanti dulu, memek kamu masih kering." aku meraba memek Wina yang gundul tanpa bulu, masih kering. Wajahnya terlihat sangat tegang.

"Aa mauuu. Appa?" tanya Wina gugup, melihat wajahku semakin mendekati memeknya sehingga aku bisa mencium baunya yang khas dan sangat aku suka.

"Mau Ayah jilatin dulu, biar memek kamu basah dan siap dicoblos." aku masih merasa canggung dengan panggilan Wina, biar bagaimanapun dia adalah anak tiriku walau dia beranggapan selama ritual aku adalah suaminya.

"Aa, jorok...!" Wina menjerit kecil saat lidahku menyentuh itilnya, aku berusaha membuka belahan memeknya agar lidahku tidak hanya menggelitik itilnya, tapi juga lobang memeknya agar cepat menjadi basah.

Gila, aku menjilati memek anak tiriku sendiri dengan rakus. Ke mana norma yang selama ini berusaha aku pegang teguh, semuanya runtuh dalam sekejap oleh bujuk rayu setan lewat ritual pesugihan yang belum tentu akan membuat kami menjadi kaya raya seperti yang sudah dijanjikannya.

"Aa, ichhhh ennnakkkk..!" Wina menggeliat seperti cacing kepanasan, aku segera menghentikan aksiku sebelum Wina mendapatkan orgasme. Kalau sampai Wina meraih irgasme sebelum kami melakukan meditasi dengan alat kelamin bersatu, itu artinya kami gagal.

"Kita mulai meditasi, Sayang..!" kataku menarik tangan Wina agar duduk.

"Lagi, A..!" Wina terlihat tidak rela, keasyikannya terganggu. Birahi sudah mulai menguasai jiwanya, tapi kami harus melakukan ritual sesuai dengan urutannya. Aku tidak mau ritual gagal dan istriku akan menjadi sangat depresi, karena angan angannya.

"Nanti, sekarang kita mulai meditasinya." aku memaksa Wina yang terlihat enggan untuk duduk, meditasi harus segera dimulai sebelum aku kehilangan kendali atas diriku.

"Iya, A." Wina terlihat kecewa, kenikmatan yang sedang dirasakannya tertunda. Dia menatap kontol ku yang seperti tonggak kayu yang akan menerobos memeknya yang tembem, memek perawan.

"Sini aku pangku, kini mulai meditasinya." aku meraih tubuh Wina agar naik ke pangkuanku dengan posisi saling berhadapan, tangan kiriku memegang kontolku agar tepat pada lobang memeknya yang semoga saja sudah basah.

Wina sudah mengerti apa yang harus dilakukannya, perlahan dia menurunkan pinggulnya setelah merasa kepala kontolku sudah pada tempat yang benar, matanya terpejam saat kepala kontolku melesak masuk.

"Aduhhh, sakittt Aa..!" seru Wina menggigit bibirnya, menahan rasa sakit saat kepala kontolku menyentuh selaput daranya.

"Pelan pelan, nanti sakitnya hilang..!" kataku memeluk tubuh montok Wina, rasanya aku tidak rela kalau sampai Wina membatalkan niatnya. Antara rasa iba dan tidak ingin ritual ini batal, ritual ini harus tetap berjalan apapun yang akan terjadi, aku sudah tidak bisa mundur begitu juga dengan Wina.

Walau awalnya aku tidak yakin dengan keberhasilan ritual ini, tapi sekarang aku merasa ritual ini tidak boleh gagal, aku tidak mau istriku terjadi sesuatu hal. Atau mungkin itu hanya alasanku saja, karena jauh di lubuk hatiku sangat menginginkan hal ini terjadi.

"Iyyya, Aa. Perawan Wina cuma untuk Aa karena Wina mencintamu..!" seru Wina, pinggulnya bergerak turun dengan cepat sehingga kontolku merobek selaput daranya. "Aduhhhhh, sakitttt..!" Wina menjerit pelan.

"Sebentar lagi sakitnya akan segera hilang, nanti jadi enak..!" jawabku membelai pipinya yang chubby dan halus.

"Iyyyya, Aa. Wina cinta Aa, makanya Wina mau melakukan ritual ini." jawaban dari Wina membuatku terkejut, ternyata dia mencintaiku. Tapi aku tidak punya waktu memikirkan hal itu, jepitan memek Wina begitu nikmat, aku tidak pernah bermimpi menikmati memek perawannya.

"Kita mulai meditasinya." kataku berusaha mengabaikan jepitan memek Wina, kami harus mulai membaca mantra sebelum aku lepas kendali memompa memek Wina. Butuh perjuangan berat untuk bertahan dalam situasi ini.

"Iya, A.." jawab Wina, matanya terpejam, entah apa yang sedang dipikirkannya dan yang dirasakannya.

Niat isun, bla bla....
Guwa garbane bla bla bla

Perlahan kami mulai membaca mantra bersama, mantra yang diberikan oleh Lina dari tetangga kami. Tubuh kami saling berpelukan, membagi kehangatan untuk membangkitkan energi yang tersimpan di dalam alam bawah sadar, energi hitam yang tersimpan di dalam jiwa kami.

"Niat isun membuka gua garbane si Wina binti Adam, membuka pintu kekayaan yang tersimpan di alam gaib dan dijaga oleh Pangeran Samudra, dengan menggunakan kunci yang dipegang Dewi Ontrowulan. Maka, kabulkan keinginan kami." aku mengucapkan kalimat yang tidak pernah aku rencanakan sebelumnya, seperti ada kekuatan yang menuntunku mengucapkan kata itu, kekuatan yang asing yang membuat bulu kuduk merinding.

"Aku terima benih yang akan ditanamkan oleh kekasihku, benih yang akan membuahi rahimku sebagai syarat untuk meraih keinginanku." Wina membalas apa yang kuucapkan, matanya tetap terpejam. Aneh, kalimat yang aku ucapkan dan diucapkan Wina tidak pernah kami rencanakan sebelumnya.

"Aa dengar ada yang ngomong, nggak?" tanya Wina setelah kami selesai membaca mantra, tubuhku terasa mati rasa terus bertahan dengan posisi seperti ini bahkan kontolku menjadi mati rasa.

"Aku tidak mendengar suara apa apa, memangnya kamu mendengar apa? Kita sudah selesai meditasinya?" tanyaku heran, suara apa yang sudah didengar Wina.

"Aa pegel, ya? Kasian..! Aduhhhhh, memek Wina ngilu tapi enak." seru Wina bangun dari pangkuanku, bibirnya mendesis, sedangkan aku tidak merasakan apa apa saat kontolku terlepas dari memeknya karena mati rasa.

"Masih, sakit?" tanyaku melihat Wina mengangkang dan memeriksa memeknya, lobangnya menjadi besar dan ada bercak darah perawan yang mulai mengering.

"Enggak, cuma rasanya aneh. Memek Wina lobangnya jadi sebsar ini." Wina menunjukkan lobang memeknya yang semakin merah, lobangnya menganga. Pemandangan yang mengbangkitkan birahiku, sudah waktunya aku menikmati memek Wuna sebagai syarat ritual, syarat utama dalam pesugihan yang sedang kami lakukan saat ini.

"Sekarang kita mulai ritual, utamanya." aku mencium bibir Wina dengan bernafsu, tidak ada lagi hubungan anak dan ayah yang harus aku jaga. Sekarang kami adalah sepasang insan yang sedang dimabuk birahi, mengumbar syahwat agar semua hajat yang kami inginkan tercapai.

Aku semakin bernafsu melumat bibir sensual anak tiriku yang membalas ciumanku dengan kaku, terbukti dia masih terlalu hijau. Bibirnya terbuka pasif saat lidahku masuk ke rongga mulutnya, tanganku ikut aktif meraba payudara berukuran cup B, lebih besar dari milik ibunya.

"Aa, ennnak banget..!" Wina merintih merasakan payudaranya aku permainkan sambil menjilati lehernya yang jenjang dan basah oleh keringat, padahal udara agak dingin.

Lidahku menjulur menjilati payudaranya, payudara yang sudah terlihat membesar saat aku menikahi ibunya dan tidak pernah kubayangkan bisa menikmatinya. Nikmat, sensasi yang kurasakan begitu dahsyat karena Wina adalah anak tiriku tanpa perlu aku memaksanya dia sudah menyerahkan tubuhnya secara utuh.

"A, terussss!" Wina menggeliat saat aku menghisap puting payudaranya yang mengeras, sementara tanganku mengelus memeknya dan memainkan itilnya yang tersembunyi di balik lipatan.

Puas bermain dengan payudaranya, aku mendorong Wina rebah di atas kasur yang spreinya sudah memudar warnanya. Mataku terus tertuju ke memeknya, masih ada sisa bercak darah yang mulai mengering. Perlahan aku membuka lipatan memeknya yang sangat merah dan berkilau oleh lendir birahi.

"Aa, jangan diliatin terus, Wina malu..!" Wina menutup wajahnya dengan telapak tangan kirinya, wajahnya bersemu merah. Tangan kanannya berusaha menyingkirkan tanganku dari memeknya.

"Kenapa harus malu, memekmu sangat indah dan menggairahkan." aku menyingkirkan tangan Wina dari tangan kiriku. Wajahku Semakin mendekati memeknya, menghirup aroma nya yang memabukkan.

"Aa, uhhh ennnakkk banget..!" Wina memegang kepalaku yang berada di selangkangannya, menjilati itil mungilnya dengan bernafsu. Aku terus menjilatinya, menghisap lendir yang keluar seperti seorang musafir yang haus.

"Enak, Sayang?" aku menatap Wina yang mengangkang pasrah, kontolku sudah berada tepat di lobang memeknya. Perlahan aku mendorong lalu menariknya kembali menggoda birahi Wina yang sudah pasrah.

"Aa, masuukin..!" Wina menarik pinggangku, matanya terpejam dan sambil menggigit bibir sensualnya saat kontolku menerobos masuk hingga dasar memeknya. Mentok, tidak ada yang tersisa

"Sakit?" tanyaku khawatir melihat ekspresi wajahnya, kontolku terlalu besar untuk memek mungilnya.

"Sedikit ngilu, nggak apa apa." bisik Wina tanpa membuka matanya. Entah apa yang ada di pikirannya, aku hanya bisa menerka.

"Benar, nggak apa apa?" tanyaku memastikan, perlahan aku menarik kontolku hingga tersisa kepalanya dalam jepitan memeknya.

"Jangan dicabut, Wina nggak apa apa..!" seru Wina, dia memeluk pinggangku takut kontolku terlepas dari memeknya. Wina menatapku sayu, berusaha meyakinkaku.

Kami saling bertatapan, entah kenapa hatiku merasakan sesuatu yang aneh. Perasaan yang sama saat aku bertatapan mata dengan ibunya, ini bukan lagi perasaan seorang ayah kepada anaknya tapi perasaan pria dewasa kepada seorang wanita. Ini tidak boleh terjadi, aku berusaha mengusir perasaanku dengan menghujamkan kontolku ke dalam memeknya, perlahan tapi pasti.

"Aa, ennnakkk...!" Wina mendesis saat kontolku bergerak lembut dalam jepitan memeknya yang sudah semakin licin dan dia mulai terbiasa dengan kehadiran kontolku.

Nikmat, aku berusaha mencari kenikmatan dalam jepitan memek Wina, kenikmatan birahi yang bisa mengaburkan perasaanku. Ini bukan cinta, ini birahi sebagai syarat kesempurnaan ritual yang sedang kami jalani, tidak boleh ada perasaan selain itu.

"Kenapa kamu berusaha untuk mengabaikan perasaanmu ? Perasaan yang sama pernah kualami kepada ibu tiriku sendiri, bukankah cinta adalah sebuah anugerah terindah dalam hidup manusia?" sebuah suara yang entah datang dari mana, terdengar begitu nyata di telinga sehingga aku menoleh mencari sumber suara tersebut.

"Aa, kenapa berhenti? Wina sudah nggak sakit." teguran Wina membuatku sadar, sepertinya tadi hanya suara dari hati kecilku saja.

"Beneran kamu nggak sakit, lagi?" aku menatap Wina yang memandangku dengan tatapan wanita dewasa, bukan lagi tatapan seorang anak kepada ayahnya.

"Sudah enak, memek Wina seperti digaruk..." kata Wina tegas, dia menggerakkan pinggulnya agar kontolku bergerak dalam lobang memeknya yang sempit.

"Iya sayang, ayah akan membuatmu merasakan surga dunia." bisikku sambil menciumi lehernya yang jenjang dan basah oleh keringat dingin, sementara aku mulai menggerakkan pinggul memompa memek Wina. Kontolku bergerak semakin lancar di dalam lorong sempit memek Wina berusaha mencari kenikmatan yang sempat tertunda, aku berusaha mengabaikan gadis yang sedang kusetubuhi adalah anak tiriku, hanya anak tiri dan bukan anak kandung.

"Bukan Ayah, Aa adalah suamiku. Terusss Aa, ennnnakkk...!" Wina menggerakkan pinggulnya menyambut hujaman kontolku, tangannya memeluk pinggangku.

"Benar, gadis yang sedang kau setubuhi bukanlah anakmu. Dia gadis yang membutuhkan cintamu, rahimnya membutuhkan semburan benihmu sebagai bukti cintanya yang tulus.." kembali suara itu terdengar, bukan lagi suara seorang pria, tapi suara seorang wanita yang sangat merdu.

"Aaa, ennnnnakkk..!" Wina menjerit kecil, mengingatkanku ke Lina istriku yang selalu berisik saat bersetubuh. Buah tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya, sepertinya hal ini cocok untuk Wina.

"Dengar, dia wanita dewasa yang sudah bisa menikmati persetubuhan, dia berhak mendapatkan kenikmatan tabu ini. Puaskan dia, seperti anak tiriku yang sudah memberiku kepuasan yang tidak pernah kudapatkan dari ayahnya." suara wanita itu kembali terdengar, mengalun merdu diiringi suara dengus nafas Wina yang tersengal sengal.

Ya, aku tidak lagi melihat wajah Wina sebagai anakku. Dia sudah tumbuh sempurna sebagai gadis yang mempunyai birahi dan dia berhak mendapatkannya, bukankah itu kodrat seorang manusia.

"Nikmati kontolku Sayang, kamu berhak mendapatkannya." aku berbisik di telinga Wina, mencium bau keringatnya yang menurutku sangat memabukkan.

"Aa, Winnnna nggaaaak tahannnnn...!" Wina menggigit bibirku, tubuhnya mengejang dahsyat saat orgasme menghampirinya. Kaki dan tangannya melingkar di tubuhku membuatku sulit bergerak, hal yang paling membuatku takjub, kontolku seperti diremas remas oleh memek Wina yang terus berkedut dan menghisap, dahsyat melebihi kemampuan memek ibunya.

"Ennak, sayang?" aku menata Wina yang terpejam menikmati orgasme dahsyat pertamanya, orgasme pertama yang akan menjadi kenangan terindah dalam hidupnya.

"Iya A, makasih sudah mau ngajarin Wina ngentot.!" jawab Wina, dia tersenyum, tatapannya begitu sayu.

"Aa yang seharusnya berterima kasih karena sudah mendapatkan perawan Wina, belum pernah Aa dapet memek perawan." aku mencium bibir Wina dengan mesra dan lama, entah kenapa getaran aneh kembali kurasakan. Ya Tuhan, jangan sampai ritual yang sedang kami lakukan terbawa hingga dasar hati, aku tidak boleh BAPER, tidak boleh.

"Cinta, kenapa masih juga berusaha kamu ingkari? Dia anugerah terindah dalam hidupmu." kembali suara wanita itu bicara, entah kepada siapa atau memang sengaja ditujukan untukku.

Persetan dengan suara itu yang berusaha mempengaruhi pikiranku, hanya ada satu wanita yang kucintai dan tidak akan pernah ada yang lain. Aku mencintai Wina seperti seorang ayah yang mencintai anaknya, walaupun sekarang aku menyetubuhinya, itu semua kulakukan sebagai syarat ritual. Aku melakukan ritual ini demi wanita yang kucinta, Lina istriku.

"Tapi kamu menikmati tubuh anakmu, bahkan selama ini kamu berjuang keras untuk menganggap dia adalah anakmu, sementara jauh di lubuk hatimu berkata lain." suara wanita itu seperti mampu membaca pikiranku selama ini yang harus berjuang keras dari pesona kecantikan dan keindahan tubuh anak tiriku sendiri, selama ini aku mampu bertahan.

"A, boleh nggak Wina di atas?" pertanyaan Wina membuyarkan lamunanku, aku menatap matanya yang bulat jernih, mata yang selama ini berusaha aku ingkari sudah menawan hatiku.

"Iya, Sayang." aku bangkit dan rebah di samping Wina, pikiranku terpecah antara menikmati tubuhnya dan suara yang kudengar.

Aku berusaha kembali berkonsentrasi pada Wina yang berjongkok di atas kontolku, dia memegang kontolku agar tepat pada lobang memeknya yang sudah melebar dan bisa beradaptasi dengan kontolku yang cukup besar walau tidak sebesar kontol bintang porno barat.

"Aa, masukkkkkk...!" Wina mendesis lirih, matanya melihat proses penetrasi kontolku di memeknya.

Konsentrasi ku sudah kembali melihat ekspresi Wina yang begitu menikmati kontolku di memeknya, ekspresi yang membuat wajahnya semakin cantik. Wajah yang selama lima tahun ini selalu bermanja manja padaku, berkeluh kesah dan mengadu setiap kali ada temannya yang membuatnya jengkel, apa benar perasaanku selama ini bukan perasaan seorang ayah kepada anaknya, tapi perasaan seorang pria dewasa kepada seorang gadis.

"Aa, ampunnnn.... Winnnna mauuu keluarrr lagiiii...!" seru Wina menyadarkan lamunanku, ternyata Wina sudah kembali meraih orgasme. Tubuhnya bergerak cepat semakin memperindah payudaranya yang berguncang lembut. Aku meraih payudara Wina dan meremasnya pelan membuat orgasme yang dialaminya semakin dahsyat.

"Lihat, wanita yang kamu cintai begitu menikmati ritual ini. Apa lagi yang akan kamu ingkari?" suara itu kembali terdengar, perlahan lahan aku melihat sosok wanita yang berdiri di ambang pintu, wanita yang hanya memakai kain panjang yang dililitkan di tubuhnya sehingga separuh payudaranya menyembul dari balik lilitan kain yang dipakainya.


"Si siapa kalian, mau apa datang menggangguku?" suaraku bergetar, menatap dua sosok yang berdiri anggun di ambang pintu.

"Aaa, bicara dengan siapa?" Wina bertanya heran, dia meraih wajahku agar melihatnya.

"Eh, kamu tidak melihat mereka?" aku menoleh ke arah pintu, ke dua sosok itu sudah menghilang entah ke mana mereka.

"Dari tadi Wina tidak melihat siapa siapa, hanya ada kita berdua di dalam kamar." jawab Wina heran, matanya terlihat ketakutan, dekapannya semakin erat mencari perlindungan dari ku.

"Aku seperti melihat dua sosok pria dan wanita, sekarang mereka menghilang entah ke mana." jawabku, aku mengusap wajah Wina yang halus dan masih tetap memelukku, tidak rela kontolku terlepas dari jepitan memeknya yang begitu sempit.

"Itu artinya hajat kita akan tercapai, yang datang pasti Pangeran Samudra dan Dewi Ontrowulan. Ayo A, entot Wina lagi, Aa belum ngecrot " Wina berusaha menggerakkan pinggulnya, walau gerakannya terasa kaku.

"Kamu yakin, itu Pangeran Samudra dan Dewi Ontrowulan?" tanyaku pelan, wajah Wina terlihat semakin cantik di bawah penerangan cahaya yang sangat minim. Aku mencium bibirnya dengan lembut, selembut aku mencium bibir ibunya.

"Iya A, itu pasti mereka yang sudah memberi kita restu, entot Wina dan hamili Wina!" seru Wina, gerakkan pinggulnya semakin lincah bergerak naik dan turun, dia begitu cepat belajar.

"Baiklah kalau itu maumu, aku akan menghamilimu seperti aku menghamili ibumu." kataku mulai memompa memek Wina, aku berusaha jujur bahwa jauh di lubuk hatiku sangat mencintainya.

*******"""""""
 
Cerita baru dgn tema lama. Tapi ini agak berbeda, wajib tuk diikuti.

Izin pasang patok om ts..
 
"Aku nikahi kamu, Wina binti Adam dengan Mas Kawin sperma yang akan aku bayar selama ritual." kataku mengucapkan mantra yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa yang bisa aku mengerti.

Atatata tatatata ta..
Mas kawinnya mantul bener..
Makasih suhu, karya dari suhu jempolan semua...
:ampun::ampun:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd