Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Hidden Desire

deyondaime

Suka Semprot
Daftar
25 Dec 2011
Post
12
Like diterima
125
Lokasi
tangerang selatan
Bimabet
permisi para suhu sekalian… hanya mencoba publish karya, kritik dan saran sangat diterima, enjoy.... jangan lupa likesnya kalau terhibur :Peace:

part 1

“ah…..” aku mendesah sekeras mungkin menyambut sebuah dorongan kenikmatan yang mengalir dari seluruh tubuh menuju batang kemaluanku yang seketika itu pula memuntahkan cairan sperma. Seluruh syaraf dalam tubuhku melemas membuatku rileks. Dengan ini aku siap menyambut pagi. Seperti biasanya aku selalu melakukan masturbasi setiap pagi sebelum memulai aktifitas. Suara air gunung yang dialirkan melalui pipa ke dalam bilik kecil yang kusebut kamar mandi ini sanggup meredam suara desahan-desahanku setiap pagi. Lagipula kamar mandiku ini terletak cukup jauh dari rumah, sekitar 6 meter, dan tak ada rumah tetangga di radius 15 meter, hanya ada ladang dan sawah. Aku segera membersihkan tubuh dan kembali ke dalam rumah. Di dapur, ibuku sedang memasak gorengan untuk sarapan, sementara ayahku telah duduk di dipan di belakang rumah sambil menikmati teh manis lengkap dengan gorengan gurih buatan ibu.

“gus… sini duduk dekat ayah.” Beliau memanggilku setelah menyadari kepulanganku dari kamar mandi. “ayah dan ibu sudah membicarakan soal beasiswamu itu….” ayah menyeruput teh manisnya pelan.

“gapapa ko yah, kalau memang keputusannya tidak diambil, agus bantu-bantu ayah saja di sawah, dan juga jaga ternak.”

“kamu itu, ayah belum selesai ngomong ko main ambil kesimpulan saja,” ayahku tersenyum.

“lalu?”

“ayah dan ibu menyetujuinya, kamu harus ambil beasiswa itu.” kata ayahku mantap.

“tapi kan, beasiswa itu hanya menutup biaya kuliah, bagaimana dengan biaya hidup agus di kota nanti? Agus tidak mau merepotkan ayah dan ibu lebih jauh lagi.”

“nak… jika ada kemauan pasti ada jalan… kemarin sebuah surat datang dari kota. Itu adalah surat balasan dari teman lama ibumu, wa asih. Kamu bisa tinggal bersamanya selama kuliah dan kamu pun bisa bantu-bantu usahanya untuk tambahin uang biaya hidup nak.”

“benarkah?”aku menatap ayah tak percaya. Ia mengangguk membuat hatiku gembira tak terkira.

“nah sana siap-siap, kita urus persyaratan yang harus dilengkapi untuk beasiswamu itu.”

Namaku adalah Agus Budiman, aku tinggal di desa terpencil di kaki gunung yang sangat jauh dari kota, bahkan di peta saja nama desaku tidak tercantum. Mayoritas penduduk di desa kami adalah petani dan peternak sapi dan kambing. Walau banyak anak remaja di sini putus sekolah setelah smp hanya karena mereka dan orang tua mereka lebih tertarik bertani dan beternak daripada sekolah tinggi, ayahku tidak demikian. Dia melihat antusias dan semangatku untuk belajar, terutama ilmu sains, dan dia berharap aku bisa menggapai cita-citaku untuk menjadi seorang dokter. Maka ia banting tulang membiayaiku sekolah ke SMA terbaik di kabupaten kami. Walau jaraknya cukup jauh dari rumah, sekitar satu jam perjalanan jalan kaki membelah gunung, aku tetap semangat belajar. Satu karena aku sangat suka belajar, dua karena aku melihat dukungan orang tuaku yang begitu besar. Ditambah lagi, aku adalah anak satu-satunya, setelah adik dan kakakku meninggal dunia karena sakit sewaktu kecil, aku tidak ingin menjadi anak yang tidak memuaskan harapan orang tua.

Kerja kerasku terbayar, dan kurasa ditambah takdir yang sepertinya memihakku, aku berhasil mendapat beasiswa kuliah kedokteran dari pemerintahan kabupaten untuk siswa berprestasi. Awalnya kaluargaku ragu karena biaya yang ditanggung hanyalah biaya kuliah tanpa ada biaya hidup di kota, tapi dengan datangnya surat dari teman lama ibuku, kini aku mantap pergi ke kota dengan beasiswa tersebut.

“ini alamat uwa asih kamu simpan baik-baik, kalau sampai hilang bisa repot nanti.” Ayahku memberikan secarik kertas. “nanti ketika menumpang, jadi anak yang baik ya, jangan bikin malu ayah dan ibumu” aku mengangguk mengerti.

“jangan lupa kabari ayah dan ibu di rumah nak.” Ibu memelukku erat, anak semata wayangnya kini akan pergi jauh dan lama. Dia pasti akan sangat rindu, pikirku.

Ketika bus mulai melaju, aku melihat kedua orang tuaku menatapku lekat, seakan tak ingin melepaskanku. Tapi ini harus dilakukan. Berpisah dengan orang yang disayang itu tidak enak, kita pasti ingin selalu bersama mereka. selain itu, pergi ke daerah baru yang tidak aku kenal membuatku takut, aku hanyalah remaja berumur 17 tahun yang tidak tahu dunia luar, yang kutahu selama hidup ini hanyalah desaku yang asri di kaki gunung. Tapi guruku pernah berkata bahwa rasa nyaman itu akan merusak kita, dan jika kita ingin maju, kita harus keluar dari zona nyaman itu. Maka dengan tekad bulat, aku keluar dari zona nyamanku di desa.

Aku tiba di terminal pukul 9 malam, dengan bertanya pada sopir – sopir angkot aku diarahkan naik angkutan yang melewati daerah tempat tinggal wa asih. Sekitar 15 menit kemudian aku telah tiba di alamat yang dimaksud. Aku berdiri di depan pagar sebuah rumah sederhana dengan nomor rumah yang sama dengan yang ada di kertas, dengan hati cemas aku memencet tombol bel yang terdapat di pagar. Jujur saja aku merasa khawatir karena pertama aku belum pernah bertemu dengan wa asih, aku hanya mendengar sedikit cerita tentangnya dari ibu sebelum berangkat. Ibu bilang wa asih adalah sahabat karib ibu saat kecil, lalu saat remaja setelah ibuku dinikahkan dengan ayah oleh orang tuanya, wa asih merantau ke kota dan tidak pernah kembali ke kampung sejak itu. menurut ibu, ia tidak pernah kembali ke desa karena sudah tidak ada orang tuanya lagi yang hidup di sini, dan saudara nya pun sudah tidak ada yang tinggal di sini. Tapi wa Asih sempat beberapa kali berkirim surat pada ibu dan ayah, jadi mereka tidak benar-benar hilang kontak.

Kedua, aku cemas karena beban pesan ayahku untuk menjadi anak baik. Aku tidak ingin membuat orangtuaku malu jika di mata wa asih ternyata aku bertindak tak sopan, atau tidak baik. Apalagi dia sudah berbaik hati memperbolehkanku untuk menumpang bersama dia dan keluarganya. Hatiku berdegup kencang ketika ada suara dari dalam rumah membuka pintu. Seorang wanita paruh baya seumur ibuku berjalan ke pagar rumah. Tubuhnya gempal seperti ibu-ibu di umur 45 tahun, tapi kulitnya masih terlihat kencang dan bersih. Jika wanita ini adalah wa asih, jelas dia terlihat lebih muda dari ibuku.

“cari siapa ya?”

“maaf, benar ini rumah wa asih?”

“benar, ada apa ya?”

“saya agus budiman, anaknya Pak Panji Gumilang.”

“oalah… nak agus? Ya ampun kamu mirip banget sama ayahmu ya… ayo masuk-masuk, kirain kamu datengnya minggu depan loh…”

“maaf di desa ayah tidak punya hape soalnya, jadi tidak bisa memberi kabar.”

“haduh… zaman udah canggih gini, kenapa desa kita itu tidak maju-maju ya…” wanita paruh baya yang ternyata wa asih itu tertawa. Aku segera mengikutinya ke dalam rumah. Kini kami duduk di ruang tamunya yang tidak terlalu besar, di salah satu dindingnya terdapat lukisan desa yang menampilkan sawah, sungai dan gunung, mirip suasana di desaku, mungkin itu adalah pengobat rindu wa asih pada kampung halamannya. Lalu terdapat beberapa foto wa asih dalam berbagai acara seperti hajatan atau pernikahan. Tap aku tidak menemukan fotonya bersama keluarganya.

“kamu pasti cape banget ya, perjalanan dari desa ke kota kan jauh. Nih minum dulu biar seger.” Wa asih menyajikan sirup dingin di meja.

“terimakasih wa…” aku segera meminumnya habis, maklum perjalanan jauh bikin haus dan letih.

“nah sekarang kamu uwa anter ke kamar ya, kita ngobrol – ngobrolnya besok aja, kasihan kamu kecapean. Ayo sini bawa barang-barangmu.” Aku segera mengikuti wa asih menuju kamar belakang. “ini kamarmu, tidak usah sungkan, disini Cuma ada kita berdua, uwa tinggal sendiri di sini, jadi jangan malu-malu ya. Uwa seneng banget loh ya pas ayah kamu kirim surat itu. uwa jadi ada temen tinggal disini, gak kesepian terus.”

“iya wa…” aku hanya tersenyum mendengar ocehannya.

“kalau mau ke kamar mandi, langsung ke dapur aja, ada di sana kok. Selamat istirahat ya, uwa juga sudah mengantuk nih.”

“iya wa terimakasih.” Wa asih segera menutup pintu kamarku. Aku membaringkan tubuh yang letih ini di tempat tidur yang sangat terasa empuk dan harum. Ada banyak pertanyaan yang muncul dalam kepala soal wa asih, seperti kenapa dia hanya tinggal sendiri? Kemana keluarganya? Tapi aku belum berani, mungkin karena kami belum akrab dan aku takut salah ucap yang membuatnya tidak enak hati. Aku memendam semua pertanyaan itu untuk nanti, dan dalam sekejap aku terlelap.
 
part 2

Esoknya aku bangun pukul 4 seperti kebiasaanku, aku segera ke berjalan ke kamar mandi, kulihat kamar wa asih masih terutup dan dari ventilasi kulihat lampunya masih mati, ia sepertinya masiha tidur lelap. Di kamar mandi aku melakukan ritual pagiku di desa, yaitu mandi pagi yang didahului oleh masturbasi. Kebiasaan masturbasi ini dimulai sejak aku smp, ketika aku mulai puber dan tubuhku mulai menghasilkan sperma. Sebenarnya sejak kecil aku sudah suka menggesek-gesekan kemaluanku ini hingga mencapai rasa enak, yang waktu dulu tak kutahu namanya orgasme. Baru setelah aku puber, aku mengerti bahwa kegiatan itu disebut masturbasi dan rasa enak di ujungnya disebut orgasme.

Ada satu kejadian yang menjadi penyebab kebiasaanku ini. Sebuah kejadian yang menjadi rahasia terbesarku. Dulu ketika aku kecil, aku sering bermain di rumah tetanggaku, tetanggaku ini punya anak perempuan yang lebih tua dariku, mungkin sekitar 5 tahun lebih tua. rumahnya selalu sepi karena orang tuanya biasanya berada di ladang, begitupula rumahku, maka aku sering bermain dengannya untuk mengusir kebosanan. Ketika bermain dia senang sekali meraba-raba tubuhku dan khususnya kemaluanku. Aku yang waktu itu masih kecil tak mengerti apa yang sedang terjadi, tapi aku merasakan rasa enak ketika dia meraba-rabaku. Bahkan pernah beberapa kali dia mengulum kemaluanku, dan puncaknya ketika dia memintaku memasukan kemaluanku ini ke dalam kemaluannya. Yang kurasakan saat itu adalah hangat dan nikmat. Kejadian itu berulang beberapa kali sampai suatu hari ayahnya meninggal karena kecelakaan dan ibunya mengajak dia pindah ke desa sebelah dimana nenek dan kakeknya tinggal. Otomatis, kegiatanku tadi dengannya terhenti, tapi tubuhku selalu ingin merasakan kembali kenikmatan itu hingga akhirnya aku terbiasa melakukan masturbasi sampai sekarang.

Alasan kedua kenapa aku melakukan masturbasi di pagi hari adalah karena itu bisa membuat tubuhku rileks dan nyaman untuk beraktifitas seharian. Aku sering kelelahan karena sekolahku sangat jauh dari rumah, tapi anehnya dengan masturbasi di pagi hari aku merasa tubuhku enteng dan berenergi. Oleh karena itu aku tidak pernah meninggalkan ritual pagi itu. seperti halnya pagi ini, setelah tubuhku lelah kemarin karena perjalanan jauh, kini saatnya aku mengecas energy.

Biasanya aku mulai dengan meraba sendiri tubuhku sambil membayangkan sosok-sosok tertentu yang dapat membangkitkan gairahku. Biasanya yang kubayangkan adalah ka wati, tetangga depan rumahku. Dia 4 tahun lebih tua dariku, dan dinikahkan orangtuanya setelah lulus smp. Sejak menikah dan punya anak, tubuhnya mengalami perubahan, dia jadi lebih gemuk, perut dan buah dadanya menonjol. Terutama jika dia mengenakan pakaian favoritnya yaitu kaus klub bola ketat dengan celana legging, tonjolan itu semakin memanjakan mata yang melihat. Setiap sore, biasanya dia akan nongkrong bersama ibu-ibu muda lainnya di teras rumah sambil mengasuh anak mereka yang masih balita. Aku yang baru pulang sekolah senang sekali menatapnya lama-lama. Aku tidak mengerti kenapa tonjolan buah dada dan perutnya dapat membuatku bergairah, padahal teman-temanku di sekolah umumnya senang wanita tinggi langsing seperti model. Semua bulatan dalam tubuhnya seakan memantik darahku untuk berdesir, terutama jika aku sudah membayangkan pantat bulatnya menindih kemaluanku. Aku bisa langsung orgasme hanya dengan membayangkannya.

Sambil meraba-raba tubuhku sendiri dan membayangkan ka wati yang melakukannya, aku mulai memainkan putingku sendiri yang sudah kuludahi. Semua orang punya titik sensitif dalam seks, dan milikki adalah putting. Jangan tanya kenapa karena akupun tidak tahu. Hanya dengan mempermainkan putting basahku saja, kemaluanku akan berdiri tegak. Lalu setelah itu aku akan mulai mengocok kemaluanku perlahan sampai ketika akan mencapai puncaknya aku mempercepat gerakan tanganku sambil tak lupa menggerakan pantatku untuk mengimbangi, dan tanganku yang satunya tak berhenti memainkan putting. Sementara itu pikiranku terus berimajinasi bahwa ka watilah yang melakukan semua itu padaku. Aku pun senang mendesah ketika rasa nikmat itu mulai menguasai.

“ah… ka wati… terus… aku mau keluar….” Desahku di kamar mandi. “ah…. Ah….. ah……” spermaku muncrat membasahi tangan dan pahaku. Aku segera membersihkannya dan mandi. Ketika aku keluar dari kamar mandi, wa asih sedang duduk di kursi meja makan yang berada di depan pintu kamar mandi. Aku setengah kaget, sejak kapan dia di situ?

“gus… lama amat mandinya, ngapain hayoo?” uwa tersenyum padaku, aku jadi salah tingkah.

“maaf wa…. Tadi sakit perut makanya lama…” aku menjawab asal.

“iya deh…. Nanti abis uwa mandi, anter uwa ke pasar ya… kamu bisa bawa sepeda motor kan ya?”

“iya wa bisa….”

Beberapa saat kemudian aku dan wa asih telah meluncur di jalanan kota dengan sepeda motor miliknya. Tujuan kami adalah pasar. Ternyata uwa ini kalau siang berjualan gado-gado di depan rumahnya, pantas saja semalam kulihat ada semacam etalase kaca yang biasanya terdapat di warung nasi di beranda rumahnya.

“gus kamu hebat ya bisa dapet beasiswa kedokteran gitu….” Kata uwa asih di perjalanan.

“ya… hasil kerja keras sama takdir yang mujur wa….” Jawabku merendah.

“gak heran sih… ayah kamu dulu juga pekerja keras, pasti lah nurun ke anaknya….”

“wah masa wa?”

“iya… selain itu dulu, ayah kamu itu idola remaja putri di desa, udah ganteng, rajin, wah… paket lengkap deh….”

“waduh? Segitunya ya ayah dulu?” aku tidak percaya.

“hahaha… masa ibu atau ayahmu gak pernah cerita?” wa asih tertawa.

“enggak wa… lagian juga gak penting deh kayaknya diceritain ke aku…” aku mencoba mengingat-ingat apakah ayah dan ibuku pernah bercerita tentang itu.

“eh awas gus ada lubang!”

Karena perhatianku teralihkan, aku tidak menyadari bahwa ada lubang besar yang cukup dalam menganga di jalan. Refleks aku segera menekan rem dalam-dalam membuat motor berhenti mendadak, dan tubuh wa asih maju menempel punggungku. Seketika aku merasakan tiga tonjolan hangat di punggungku selama beberapa saat sampai motor benar-benar berhenti. Aku tahu apa tonjolan itu, dan kemaluanku pun segera bereaksi. Cepat-cepat aku membetulkan posisi dudukku di motor agar ada jarak antara tubuh kami, dan sepertinya wa asih pun segera kembali duduk seperti semula.

“maaf wa… agus gak konsen…”

“iya.. uwa juga salah, ngajak kamu ngobrol.”

Pagi itu setelah mengantar wa asih ke pasar aku segera berangkat ke kampusku untuk mengurusi daftar ulang dan segala persiapan untuk masa orientasi. Aku kembali pulang ketika hari menjelang sore, kulihat dagangan wa asih telah ludes terjual. Ketika aku masuk rumah, dia sedang menonton sinetron di ruang tengah. Aku segera mencium tangannya dan masuk kamar. aku membaringkan tubuh yang lumayan letih, dan ingatan itu kembali muncul. Kejadian tadi pagi ketika kurasakan tiga tonjolan hangat di punggungku, dan imajinasi liarku mulai bermain. Tapi segera kutepis, aku merasa tidak nyaman berimajinasi hal seperti itu tentang wa asih, wanita sepantaran ibuku, wanita yang baik mau memberiku tumpangan, sungguh tidak sopan, pikirku. Maka aku segera beranjak dan mengambil air minum es di kulkas untuk menyegarkan pikiran.

“gus…. Sini…” wa asih memanggil dari ruang tengah.

“ada apa wa?” aku duduk di sofa ruang tengah di seberang wa asih. Maksud hati ingin menghilangkan imajinasi liar tadi, kini aku malah dipertontonkan pemandangan yang lebih dahsyat mengundang birahiku. Wa Asih ternyata memakai kaus ketat dan celana yoga yang ketat pula. Memperlihatkan tonjolan dada dan perutnya. Walaupun lipatan lemak di perutnya cukup terlihat, tapi ukuran dadanya lebih menonjol daripada lemak perut itu, sungguh bentuk tubuh yang bahkan lebih sempurna daripada ka wati. Seketika kemaluanku mulai mengeras, aku segera membetulkan posisiku, berharap wa asih tidak menyadari tonjolan di balik celana pendekku.

“temenin uwa nonton ya, biasanya uwa kan sendiri melulu, jadi seneng ada yang nemenin nih…”

“oh… iya wa…” aku tersenyum getir. Hatiku tak tenang karena dengan menemaninya, pikiranku tidak akan bisa tenang. Aku memutar otak untuk mengalihkan imajinasi liar ini. “wa… agus boleh tanya sesuatu?”

“tanya aja gus, ga usah sungkan gitu….”

“uwa ko tinggal sendiri?” aku mencoba memilih kata-kata agar dia tidak tersinggung.

“oh… uwa emang ga punya keluarga gus…”

“maksudnya?”

“uwa dulu pernah menikah, trus uwa juga ga dikaruniai keturunan.”

“oh… terus suami uwa kemana?”

“udah cerai… waktu nikah sama uwa dia kan sebenernya udah punya istri, jadi kami nikahnya diem-diem, nikah siri gitu..”

“oh…” aku agak terkejut mendengarnya.

“udah ah… ko uwa jadi cerita ini ya ke kamu, padahal sama ayah dan ibu kamu saja uwa gak pernah cerita loh….”

“waduh… rahasia ya wa? Yaudah agus janji gak bakal cerita-cerita ke siapapun wa…” aku merasa tidak enak hati.

“bagus kalau begitu.” wa asih tersenyum. Entah kenapa kali ini senyumnya terlihat lebih manis dari pertama kali bertemu.

“nanti malam tolong uwa tagihin uang kontrakan ya gus…”

“kontrakan?”

“iya.. itu kontrakan di depan yang lima pintu… kamu tagihin, tiap pintu sejuta, kalau udah bayar suruh tanda tangan di buku ini.”

“memangnya itu kontrakan siapa?”

“ya punya uwa lah…. Bilang aja kamu keponakan uwa baru datang dari kampung, kalau kamu bawa buku ini, mereka pasti percaya kok.”

“oh… siap wa.” Aku baru tahu bahwa selain jualan gado-gado, wa asih punya kontrakan lima pintu, luar biasa sekali.
 
part 3

Hari – hari berikutnya kegiatanku sebelum perkuliahan dimulai adalah bangun pagi mandi tak lupa masturbasi sambil kadang-kadang membayangkan wa asih, bukan lagi ka wati. Bukan apa-apa, hanya saja setelah seminggu tinggal dengannya dan setiap pagi aku mengantarnya ke pasar, imajinasi ini makin liar tak terkira. Penyebabnya adalah momen ketika tubuhnya menempel ke punggungku. Di setiap polisi tidur, jalanan tak rata, atau saat aku mengerem mendadak tubuhnya akan selalu otomatis menempel ke punggungku tanpa pernah dia tahan. Dia seperti merelakan tubuh bagian depannya menempel dengan punggungku, dan ini sangat menyiksa. Tapi aku tidak bisa membicarakan ketidaknyamanan ini, karena tentu akan sangat tidak sopan jika dia tahu ternyata aku sering membayangkan hal yang aneh tentang dirinya.

Sore itu di hari terakhir orientasi kampus, aku terkejut ketika masuk ke dalam rumah wa asih dan mendapati dirinya sedang berolahraga di ruang tengah mengikuti arahan instruktur dari dvd yang dia putar. Pemandangan yang sangat luar biasa membangkitkan birahi. Dia memakai tanktop ketat berwarna ungu dan celana lengging dengan warna senada. Pakaiannya itu benar-benar membentuk tubuhnya, walau memang masih terlihat ganjalan lemak di perutnya, tapi dengan ukuran buah dada yang bisa disebut toge itu, tubuh wa asih tetap terlihat proporsional dan indah dipandang. Lalu kucuran keringat yang membasahi tubuh, dan terutama lehernya yang cukup jenjang menambah keseksiannya di mataku, aku cukup lama terpaku di ruang tamu memperhatikannya sampai wa asih menyadari kehadiranku.

“eh agus… udah pulang toh, maaf ya uwa lagi olahraga dulu, kalau udah tua gini ga sering olahraga, bisa repot.” Katanya tanpa menghentikan gerakan senamnya mengikuti instruktur.

“iya gapapa wa… memang harus begitu… pantes uwa masih terlihat awet muda ya…” jawabku.

“ah.. kamu bisa aja…. Masa masih dibilang awet muda…”

“serius loh wa… masih kenceng kulitnya… hehe”

“bisa aja memujinya….”

“aku masuk kamar dulu ya wa…”

“iya… iya… silahkan.”

Aku masuk kamar dan segera melampiaskan dorongan birahiku dengan….. kau tahulah apa. Aku sempat berharap bahwa esok tidak akan ada lagi kejadian seperti ini. dada wa asih menempel punggungku di motor mungkin masih bisa kutoleransi, tapi pemandangan seperti tadi, bukan suatu hal yang birahiku mampu toleransi. Tapi ternyata sore itu hanyalah sebuah awal, karena di hari-hari berikutnya kejadian seperti itu semakin intens, terutama setelah aku aktif kuliah. Wa asih sering melakukan olahraga sore setiap kali aku pulang dari kampus, lalu hampir setiap malam dia memintaku menemaninya menonton sinetron favoritnya, dan setiap itu pula dia memakai pakaian yang seakan memprovokasi birahiku ini. suatu waktu dia memakai tangtop ketat, buah dadanya seakan ingin melompat dari cengkraman baju tersebut. Lalu celana pendek yang memperlihatkan pahanya yang putih dan kencang, seakan melambai minta dibelai. Lain waktu, ia mengenakan lingerie yang cukup menerawang, hingga bra dan cd nya seolah mengintip dari balik lingerie tersebut. Tapi dia bersikap biasa saja, seakan tidak ada ada hal yang mengganggu. Bahkan ketika aku duduk tidak tenang berganti-ganti posisi menahan birahi, dia tetap tenang saja seperti tidak ada apa-apa.

Akhirnya aku sering beralasan bahwa banyak tugas sehingga tidak bisa menemaninya menonton tv setiap malam, dan aku pun sering pulang larut untuk menghindari masuk rumah ketika wa asih berolahraga. Aku tidak ingin menjadi anak kurang ajar yang membuat malu ayah ibuku dengan berlaku tidak sopan pada orang yang telah baik kepadaku dan orang tuaku ini. Tapi malam itu semua berubah 180 derajat.

Seperti biasa, aku sengaja menghabiskan waktu di perpustakaan kampus walau tidak ada tugas yang harus dikerjakan demi pulang larut. Sekitar pukul 7 malam aku sampai rumah dan kudapati wa asih sedang menonton TV, dan hari itu ia memakai kaus lengan pendek ketat dan celana pendek selutut. Aku cukup lega. Setelah mencium tangannya aku segera pamit ke kamar untuk mandi dan istirahat. Tak lama setelah itu, kudengar sebuah kutukan di pintu kamar, dan itu adalah wa asih, dia meminta izin untuk masuk kamarku. Lalu dia duduk di kursi meja belajar, sementara aku duduk di ranjang.

“gus… uwa mau tanya sesuatu.”

“iya wa… ada apa?”

“uwa merasa kamu sering sengaja pulang malam. Uwa ngerasa kayaknya kamu suka menghindar dari uwa, apakah ada suatu hal yang membuatmu tidak nyaman?” bagai sebuah petir menyambar, pertanyaan itu membuatku terkejut. Aku tidak tahu harus berkata apa.

“anu…. Itu…” otakku tidak bisa memberikan ide untuk menjawab pertanyaan wa asih. Aku hanya tergagap.

“kamu harus jujur gus, kalau kamu tidak nyaman, uwa jadi merasa bersalah sama orang tua kamu, mereka kan teman uwa. Masa iya, anaknya ikut numpang tidak diurus dengan baik, mau ditaro dimana muka uwa.”

“anu wa… sebenernya… tapi aku gak enak ngomongnya…” jawabku bingung.

Wa asih beranjak dari kursi dan duduk di sampingku di ranjang. “uwa udah percaya sama kamu loh, nyeritain rahasia yang gak pernah uwa ceritain ke orang tua kamu. Sekarang ko kamu gak percaya sama uwa? Ceritain aja ada apa, kalau itu sebuah rahasia yang kamu gak mau orang lain tahu, uwa akan jaga kok, yang penting uwa tahu kamu kenapa.”

“aku suka ga nyaman wa, kalau sore pas pulang uwa sedang olahraga, atau pas malam nemenin uwa nonton tv.” Aku akhirnya luluh.

“gak nyaman kenapa?”

“anu wa… baju yang dipake uwa.”

“kenapa? Uwa membuat kamu jijik?”

“aduh…. Bukan begitu, justru sebaliknya…” aku cepat merespon, takut menyinggungnya.

“sebaliknya?”

“anu… aku jadi suka terangsang…” aku menjawab pelan. Kulihat wa asih malah tersenyum.

“ko bisa? Kamu memang suka wanita yang lebih tua ya?”

“eh…. Ya siapa yang tidak begitu wa kalau uwa pake baju seksi begitu, mana uwa juga kan masih kelihatan muda.”

“hm….. masa? Kalau ka wati yang sering kamu desahkan di kamar mandi itu siapa? Lebih tua gak?”

Aku sangat terkejut mendengar pertanyaan tersebut. “anu…. Anu…..” aku sungguh kehilangan kata-kata.

“uwa tahu apa yang kamu suka lakukan tiap pagi di kamar mandi…. Suka kedengeran tahu, uwa juga tahu, beberapa kali kamu malah nyebut nama uwa.”

“maaf wa… maaf banget, soalnya udah kebiasaan. Ketika lelah atau stress, masturbasi adalah caraku untuk bisa fresh lagi.” Aku menundukan kepala.

“jangan merasa bersalah begitu.” Kini tangan wa asih berada di pahaku, tubuhku gemetar bukan main. Apa ini? “daripada dikeluarin sendiri, kenapa gak uwa bantu aja?” matanya menatap mataku. Pandangan kami beradu dan lama-lama wajah kami makin dekat. Dapat kurasakan nafasnya yang memburu, serta wangi tubuhnya yang khas. Lalu tiba-tiba dia mencium bibirku penuh nafsu. Memasukan lidahnya ke dalam mulutku. Bagiku yang baru pertama kali berciuman, ini adalah sensasi yang luar biasa. Lalu dia mendorong tubuhku hingga terbaring di ranjang dan mulai menindihku. Bibir dan lidah kami masih berpagutan. Sesaat kemudian dia berhenti. Mata kami masih saling memandang.

“wa….”

“kamu mau bikin uwa enak ga?” aku mengangguk pelan. Lalu dia membuka kaus ketatnya memperlihatkan bra yang hanya menutupi putingnya. Terpampanglah dua buah dada besar yang sejak pertama kulihat, kuidam-idamkan. “tolong kenyotin gus.” Bisik wa asih. Aku langsung meraih kedua buah ranum itu dan mulai menjilati puting kirinya, sementara yang kanan aku mainkan dengan jari seperti aku memainkan putingku sendiri setiap pagi. Wa asih menggelinjang menahan kenikmatan yang kuberikan.

“ah…. Iya terus….. terus mas panji.” Wa asih mendesah.

Seketika aku berhenti dan menatapnya kaget. Dia pun sepertinya menyadari kata yang telah diucapkannya. Dia memanggil nama ayahku. Sepertinya tanpa sadar, dalam kenikmatan, dia keceplosan memanggil nama ayahku. Apakah itu artinya sebenarnya dia membayangkan sedang dihisap putingnya oleh ayah? Dia segera bangkit mengambil kausnya dan keluar dari kamarku. Aku pun mengikutinya, kulihat dia terduduk di sofa dengan kaus yang telah terpasang di tubuhnya.

“maaf gus….”

“boleh agus tahu kenapa uwa sebut nama itu?” aku sungguh penasaran.

“sini duduk samping uwa, biar uwa ceritakan sesuatu.” Aku duduk di sampingnya. “dulu sebelum ayah dan ibumu menikah, ayahmu berpacaran dengan uwa gus. Tapi hubungan kami itu tidak ada yang tahu, kami merahasiakannya dari semua orang. Karena orang tua ayahmu tidak senang dengan uwa.”

“kenapa wa?”

“uwa itu bukan penduduk asli sana, keluarga uwa pendatang, dan kami memiliki kepercayaan berbeda dengan penduduk kampung. Saat itu, kepercayaan adalah masalah yang serius. Memang dalam kehidupan social sehari – hari tidak akan ada masalah, tapi untuk masalah pernikahan, kepercayaan adalah masalah penting. Maka ketika kami jatuh cinta dan berhubungan, ayahmu dan uwa merahasiakannya, karena pasti akan ditentang oleh keluarga.”

“hubungan ayahmu dan uwa harus berakhir ketika ayahmu dijodohkan dengan ibumu setelah lulus smp. Awalnya ayahmu tidak mau. Tapi uwa teman dekat ibumu, dan uwa tahu ibumu itu punya perasaan pada ayahmu. Di samping itu, ayahmu bahkan diancam tidak akan dianggap anak jika dia menolak perjodohan itu.” wa asih melanjutkan.

“melihat keadaan dan situasi itu, lalu kemudian orang tua uwa juga berencana pindah ke desa lain lagi karena urusan pekerjaan, uwa merasa bahwa pergi dan mengakhiri hubungan dengan ayahmu adalah pilihan terbaik. Uwa rela berkorban perasaan ini demi kebaikan bersama.” Air mata mulai menetes di pipi wa asih.

“tapi rupanya itu adalah keputusan yang uwa sesali seumur hidup. Karena perasaan ini tidak pernah benar-benar hilang. Begitu pun ketika uwa dinikahi siri oleh mantan suami uwa dulu. Perasaan uwa hanya untuk ayahmu. Lalu setelah sekian tahun lamanya uwa mampu menahan. Datanglah surat ayahmu soal kamu. Uwa sebenarnya tidak ingin bantu karena nanti malah membuat uwa makin mengingat masa lalu, tapi justru tubuh ini reflek menuliskan balasan yang sebaliknya.”

“dan ketika uwa melihat kamu untuk pertama kalinya waktu itu, uwa seakan sedang melihat ayahmu gus. Kamu mirip sekali dengan dia. Gagah, tampan, dan pekerja keras pula. Perasaan yang uwa pendam seakan kembali membuncah. Lalu setelah beberapa hari uwa tahu kebiasaan kamu setiap pagi dan bahkan berimajinasi tentang uwa, akal sehat uwa jadi hilang. Uwa melakukan segala cara untuk menggodamu, termasuk soal pakaian itu gus.”

“tolong maafkan uwa, kamu uwa jadikan sebagai pelampiasan dari rasa dan birahi yang terpendam selama ini untuk ayahmu.”

Aku sungguh terkejut dengan cerita wa asih. Tapi melihat nya kini, seorang wanita yang terluka karena berkorban demi kebahagiaan orang lain, seorang wanita yang terluka karena memendam perasaannya begitu lama, aku tidak menyalahkannya. Aku justru semakin simpatik padanya. maka segera kupeluk wa asih dari belakang, kusenderkan kepalaku di bahunya.

“wa…. Aku tidak peduli jika uwa menjadikanku pelampiasan.”

“maksudmu gus?”

“aku tidak ingin uwas sedih, jika memang melampiaskannya padaku dapat membuat uwa bahagia, aku rela wa.” Mendengar itu wa asih segera berbalik dan menatap mataku. Kami segera berciuman kembali, cukup lama. Lalu ia membimbingku masuk ke kamarnya. Di ranjang springbed ukuran besar, aku dibaringkannya kemudian dia duduk dia atas kemaluanku, dan melepas kausnya kembali. Dada besar yang indah itu kembali terpampang di hadapanku.

“kalau begitu, uwa minta kamu membantu uwa melepas kerinduan ini.”

“tentu wa…”

Aku segera menggapai kedua payudaranya, meremas dan memainkan putingnya sambil sesekali menghisapnya. Ia mendesah dan menggelinjang. Ia lalu melepas celananya mengekspos kemaluannya yang ditumbuhi bulu lebat.

“sentuh ini gus…” ia menunjuk hutan rimbun di antara selangkangannya. Walau ini pengalaman pertamaku menyentuh itu, tapi aku cukup sering membaca buku-buku porno milik temanku di sma, hal itu membuatku tahu apa yang harus kulakukan. Aku mengelus bibir vaginanya perlahan, dan mencari bulatan yang disebut klitoris ketika kutemukan, segera ku sentuh dan mainkan. Wa asih mendesah dan menggelinjang lebih hebat dari sebelumnya. Titik sensitifnya berarti klitoris. Beberapa menit kemudian wa asih terengah-engah dan berkata.

“gus uwa udah gak kuat, cepet masukin punya kamu.”

Dengan bimbingan wa asih, dia melucuti celana pendekku dan menuntun kemaluanku yang telah tegang maksimal ke vaginanya. Basah dan hangat kurasakan meliputi batang kemaluanku, sungguh kenikmatan yang berbeda dengan masturbasi. Lalu secara perlahan wa asih mulai menggerakan pinggulnya naik turun. Dan dalam beberapa menit kamar dipenuhi suara dua tubuh yang beradu serta desahanku dan wa asih.

“hm…. Gus punya kamu besar dan keras banget…. Ah enak…..”

Ketika aku mulai merasakan akan orgasme, secara reflek aku menggerakan pinggulku lebih cepat, sebagai wanita yang berpengalaman, wa asih mengerti itu, dia segera menahan gerakan pinggulku dengan menindihkan pantatnya ke tubuhku.

“sshhhh…. Kamu jangan gerak ya, keluar di dalem juga gapapa gus.” Bisik wa asih mesra. Aku hanya mengangguk. Lalu dia memutar-mutar pinggulnya sambil sesekali diangkat dan diturunkan, membuatku sungguh melayang. Beberapa saat kemudian aku merasakan tarikan kenikmatan tanda orgasme tiba.

“waaa…. Aku keluar….”

“iya… keluarin aja…..” wa asih menutup bibirku dengan bibirnya, dan ketika spermaku muncrat di dalam kemaluannya, dia menekan tubuhnya kuat-kuat ke tubuhku. Aku pun memeluknya erat. Kami berciuman cukup lama setelah orgasme. Aku menikmati kehangatan tubuh wa asih yang penuh peluh, begitu pula dirinya. Hingga kami merasa mengantuk dan terlelap.


bersambung di page selanjutnya gan…..
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd