Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG HIPNOTIS

Status
Please reply by conversation.

Nicefor999

Adik Semprot
Daftar
31 Aug 2020
Post
142
Like diterima
3.894
Bimabet
HIPNOTIS

Cerita ini hanya fiktif belaka, hanya cerita iseng yang keluar dari otak mesum penulis. Cerita ini bukan soal ujian, jadi jangan terlalu serius membacanya. Perlu diingatkan juga bahwa semua yang ada dalam cerita ini hanyalah khayalan dari penulis semata. Tak ada kaitannya dengan dunia manapun, atau yang benar-benar berhubungan dengan kehidupan nyata. Jangan mengkritik yang menimbulkan demotivasi karena bikin drop dan males nulis. Bagi yang suka baca saja, yang tidak suka tinggalkan saja. Terakhir penulis berharap semoga cerita ini bisa menghibur bagi setiap yang membaca, ambil pelajaran baiknya, buang yang buruknya. Oke ... Selamat menikmati ...!
---ooo---

PART 1

Panggil saja aku Denta Ekawijaya. Aku lahir dari keluarga sederhana. Cerita hidupku tidak seperti kebanyakan orang. Saat usiaku 4 tahun, orang tuaku bercerai. Ayahku menikah lagi. Aku tentu belum mengerti apa itu perceraian. Aku malah sudah beribu tiri. Kala itu aku ingat ibuku juga pergi meninggalkanku. Ia pergi untuk menjadi TKW di negeri jiran. Namun, entah apakah bisa dibilang keberuntungan atau bukan, karena kejadian itu berlangsung saat aku masih kecil. Jadi aku juga tidak terlalu merasakan kesedihan yang mendalam, karena kerjaku hanya makan, main, dan tidur. Aku menjadi anak nenek dan kakekku. Merekalah pengganti ayah dan ibuku. Aku dibesarkan oleh mereka berdua sampai SMA.

Setelah lulus SMA, aku mulai mencoba cari kerja untuk mendapat pengalaman. Aku mengawali karir dengan bekerja di sebuah toko roti. Walaupun bayaran yang kuterima tidak besar, aku tidak khawatir. Memang bukan uang yang kucari, melainkan lingkungan baru. Aku ingin tahu bagaimana rasanya terjun ke dunia kerja. Bertemu orang baru, belajar disiplin, mengetahui sistem kerja yang terstruktur, serta memiliki tata krama yang baik ketika melayani customer.

Setahun bekerja di toko roti aku mendapatkan teman-teman dan keluarga baru yang luar biasa. Namun aku memutuskan untuk berhenti bekerja di toko roti. Saat itu, ada seseorang yang mengajakku ‘narik’ angkutan umum. Tak lama dari situ, aku memutuskan menjadi sopir angkutan umum dan merasa penghasilanku jauh lebih baik menjadi ‘sopir tembak’ angkutan umum. Ada satu lagi yang paling aku suka dengan profesi baruku ini yaitu waktu bekerja pun ‘semau gue’, tak terikat oleh batas waktu yang ditentukan. Selama dua tahun aku menggeluti profesiku sebagai sopir angkot dan selama itu aku mengenal kehidupan di jalanan yang sangat keras.

Sore itu hujan deras, lengkap dengan suara petir dan awan gelap. Aku nongkrong di warteg langganan yang letaknya di pinggiran terminal. Warteg yang selalu ngangenin, karena di sana tersedia makanan rumahan murah meriah, segala rupa ada. Mulai dari telor ceplok, tempe tahu goreng, semur jengki sampai yang kekinian semacam rolade. Karena masih kenyang, aku hanya memesan kopi saja di situ. Dari jarak yang agak jauh, aku melihat seseorang dengan wajah sumringah berjalan mendekatiku. Dan aku bisa menebak kalau dia sedang mendapatkan ‘rezeki nomplok’ yang besar hari ini.

“Sadap ... Keliatannya tangkepan loe paus hari ini ...” Kataku sesaat orang yang kuperhatikan barusan sudah duduk di sampingku dengan nafas yang masih terengah-engah.

“Double paus, bro ...” Jawabnya dengan dada yang kembang kempis.

“Njir ... Bisa traktir rokok dong?” Kataku bercanda tapi serius.

“Ambil aja ...” Katanya singkat.

Tanpa berpikir panjang, aku meminta sebungkus rokok kesukaanku kepada ibu warteg dan bilang padanya kalau rokok ini Gandi yang bayar. Ya, Gandi adalah orang yang duduk di sebelahku saat ini. Laki-laki berusia 24 tahun itu adalah seorang yang mahir menghipnotis. Kemampuannya itu ia gunakan untuk ‘mencari uang’. Dengan hanya menyentuh tubuh korban, maka korban tersebut akan melakukan semua perintahnya tanpa sadar. Dan itu, aku tahu semua karena Gandi adalah teman kost.

“Bujug dah ... Banyak banget ...?!” Mataku membulat sempurna saat melihat uang di tangannya. Satu gepok uang merah yang kutaksir tidak kurang dari lima juta.

“Nih ...!” Gandi memberiku tiga lembar uang merah. “Lumayan buat bayar kos ... He he he ...” Lanjutnya sambil memasukan uangnya kembali ke dalam saku celana.

“Ndi ... Em ... Gue pengen bisa seperti loe ...” Kataku pelan dan sedikit ragu-ragu. Gandi pun menoleh padaku sambil tersenyum.

“Buat apa? Mau jadi penjahat seperti gue? Jangan, bro ... Loe udah punya kerjaan halal ... Buat apa jadi penjahat seperti gue ...” Ucap Gandi pelan sambil menepuk-nepuk bahuku.​

“Dasar pelit loe ...!” Kataku seraya bangkit dari tempat duduk. “Thanks duitnya ... Gue narik dulu ...” Kataku dan berlalu dari tempat itu.

“He he he ... Yang rajin loe ... Biar cepet kaya ...” Teriaknya yang kujawab dengan acungan jari tengah.

Aku pun melakukan rutinitas seperti biasa mengantar penumpang ke tempat tujuan mereka. Sepanjang itu, aku merasakan kalau semakin hari semakin sulit mencari uang. Sebagai sopir angkot, uang yang didapat tak sepadan dengan tenaga yang terkuras. Aku ingin hidup senang dan serba cukup. Dan akhirnya aku tertarik untuk mengikuti jejak Gandi sebagai seorang hipnotis.

Sang surya tenggelam, malam pun datang, cuaca yang kurang bersahabat membuatku memilih untuk menyudahi membawa angkot dan pulang ke tempat kost. Setelah mandi dan berpakaian, aku segera ke kamar kost si Gandi. Untung laki-laki itu ada di kamarnya dan langsung saja kuutarakan keinginanku padanya.

“Gak ada ritual harus puasa, tapa dan segala macem ... Loe tinggal beli aja jimatnya ... Kalau loe mau, gue kasih alamat yang jual jimat seperti punya gue ini ...” Terang Gandi sambil memperlihatkan cincin perak bermata batu akik berwarna merah.​

“Oh ... Itu loe beli berapa?” Tanyaku penasaran.

“Ini yang mahal ... Harganya dua juta ... Ada yang lebih murah, tapi kualitasnya kurang memuaskan ... Semakin mahal harganya semakin mantep kualitasnya ...” Jelas gandi lagi.

“Oh ... Gitu ya ... Gue mau seperti loe ... Mana alamatnya? Gue mau pergi sekarang ...!” Kataku sangat bersemangat.

Gandi pun tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia lantas memberiku alamat penjual jimat yang bisa menghipnotis. Tekadku sudah bulat akan menjadi seorang hipnotis sekaligus penjahat demi mendapatkan uang banyak. Aku bosan dengan keadaan yang tak pernah beranjak dari kekurangan.

Setelah mendapatkan alamat penjual benda jimat tersebut, langsung saja aku menuju ke alamat yang dimaksud. Tak jauh, hanya satu jam berkendaraan umum aku sampai di sebuah rumah yang menurutku sangat angker. Rumah yang agak jauh dari tetangga, suasana gelap karena di halaman berdiri pohon beringin. Aku melangkah terus ke arah pintu lalu mengetuknya. Tak seberapa lama, seorang pria paruh baya dengan menggunakan setelah baju koko dan peci hitam di kepalanya menyambutku dengan sangat ramah. Beliau bahkan tanpa sungkan mempersilahkan aku masuk dan menyuruhnya duduk di kursi tamu.

“Ada apa anak berkunjung ke rumah bapak yang reot ini?” Tuan rumah langsung menanyakan maksud kedatanganku.

“Maaf pak sebelumnya ... Berdasarkan informasi dari teman saya ... Benarkan bapak menjual jimat untuk hipnotis?” Tanyaku pada inti permasalahan.

“Hhhhmm ... Benar ... Tapi, jimat itu cuma satu lagi dan itu yang termahal ...” Ungkapnya dengan wajah sedikit ragu. Mungkin mengira aku tak mampu membelinya.

“Berapa pun akan saya bayar ...” Kataku antusias sambil menggeser duduk sedikit ke depan.

“Apakah anak membawa uang lima juta sekarang?” Tanyanya dan langsung saja aku tersenyum. Memang sejak di kamar kost Gandi, aku sudah berniat membeli jimat yang termahal. Makanya aku memang sudah mempersiapkan uang itu sejak dari tempat kost.

“Saya bawa ...” Jawabku sambil mengodok saku celana dan mengeluarkan uang sebanyak lima juta, tak lebih.

“Kalau begitu ... Tunggu sebentar ...!” Kata si tuan rumah sambil bergerak ke dalam kamarnya. Tak lama berselang, beliau sudah kembali ke ruang tamu dengan membawa sebuah cincin perak bermata batu akik berwarna hitam.

“Ini barangnya ...” Kata pria paruh baya itu sembari menyodorkan cincin perak bermata batu hitam tersebut padaku.

“Aku terima ya pak ... Dan ini uangnya ...” Sahutku sangat senang. Aku langsung pakai saja cincin itu di jari manis tangan kananku.

“Pakainya di tangan kiri ...” Tiba-tiba pria paruh baya itu berkata sambil menghitung uang yang baru saja aku berikan. Aku pun segera memindahkan cincin itu ke jari manis tangan kiri.

“Maaf pak ... Bagaimana menggunakannya?” Tanyaku.

“Begini ... Kalau anak mau menghipnotis orang ... Mata cincin harus di posisi telapak tangan terus tekan dengan jempol anak ... Katakan kemauan anak ke si target ... Setelah itu baru lepas cincinnya dan kembalikan ke posisi semula seperti ini ... Anak tak perlu menyentuh target, cukup dengan omongan saja ...” Jelas sang penjual sambil memperagakan cara pemakaiannya. “Saat anak bicara, target sudah dalam pengaruh anak ...” Lanjut pria paruh baya itu.

“Oh ... Baiklah ... Kalau begitu saya pamit ... Terima kasih atas barangnya ...” Kataku sambil berdiri lalu bersalaman dengan si tuan rumah.

Aku diantar sampai ambang pintu oleh pria tersebut. Langkahku seperti semakin ringan meninggalkan rumah angker itu. Saatnya aku akan mencoba khasiat benda mahal ini. Bila tidak terbukti pasti aku akan kembali ke sini. Sekitar lima menit berselang, aku sudah sampai di trotoar jalan utama. Aku melihat sebuah mall yang bakal aku lewati. Kupercepat langkah menuju ke sana dan tak lama aku sudah sampai di dalam mall. Aku edarkan pandangan ke segenap penjuru ruang lantai satu mall sambil berpikir ke mana mencari target. Tiba-tiba saraf otakku memberitahukan kemana aku harus melangkah.

Kini aku hendak ke area food court yang berada di lantai teratas mall. Di sana biasanya banyak berkumpul orang-orang sehingga aku bisa lebih mudah menentukan target. Lantai demi lantai telah aku lalui dan akhirnya sampai juga di tempat yang aku tuju. Benar dugaanku, suasana food court malam ini agak lumayan ramai. Memang tempat ini adalah salah satu alternatif tempat nongkrong yang cukup digemari oleh warga kota.

Setelah menelisik setiap sudut ruangan foot court, mataku tertarik pada seorang wanita yang duduk sendirian sambil menikmati makanannya. Aku perhatikan wajahnya agak murung seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat berat. Wajahnya cukup cantik dan cara berpakaiannya juga menandakan kalau dia orang yang berada. Penampilannya modern, beberapa perhiasan menempel di tubuhnya. Aku pun perlahan mendekati si wanita yang kutaksir berumur sekitar 30 tahunan. Aku mulai membalikkan cincin dan menekannya dengan jempolku. Aku pun duduk di bangku depannya secara tiba-tiba.

“Hai ... Aku adalah teman lamamu ... Kamu sangat baik padaku dan segala yang aku mau pasti kamu turuti ... Setelah aku pergi, kamu seperti biasa lagi tapi kamu lupa dan tak ingat sama sekali bahwa kamu telah bertemu denganku ...” Kataku pelan sesaat telah berada di depannya.

“Hai ... Kamu ... Kemana saja?” Ucap si wanita dengan mimik terperanjat hebat. Bukan dia saja yang terperanjat, aku juga ikut kaget namun cuma sebentar dan selanjutnya tersenyum senang. Luar binasa, ini cukup membuatku percaya dengan keampuhan cincin yang kupakai. Tanpa kuduga, si wanita bersikap sesuai dengan apa yang aku katakan tadi. Ia benar-benar telah mengenalku.

“Ada saja ... Tapi maaf ... Kok aku lupa namamu ... He he he ...” Kataku basa-basi busuk karena ingin mengetahui nama targetku.

“Ih kok gitu ...? Aku ini Ira ... Eh, iya ... Kok aku juga lupa ya nama kamu ...?” Ucapnya dengan kening berkerut pertanda heran.

“Aku ... Fandi ...” Kataku memperkenalkan diri dengan nama yang berbeda dengan namaku yang asli.

“Oh iya ... Fandi ya ... Ih, kemana aja ... Kok gak pernah kelihatan ... Kerja apa sekarang?” Tanya Ira dan tiba-tiba saja tangan wanita itu menggenggam tanganku. Karuan saja aku agak grogi diperlakukan seperti itu karena seumur-umur aku tidak pernah dipegang atau memegang tangan wanita semesra ini.

“Em ... Aku baru saja dirumahkan ... Tadinya aku kerja di bank ... Lama jadi pegawai kontrak ... Ya, beginilah, aku gak kerja sekarang ... Aku pengangguran ...” Kataku seraya memasang muka sedih.

“Oh ... Sabar ya ... Memang lagi musimnya seperti itu ...” Katanya sangat lembut seperti ikut merasakan kesedihan dari ucapanku barusan.

“Makanya sekarang aku butuh uang ... Aku mau, kamu memberikan aku uang, lima juta saja ... Please ...!” Kataku memelas.

“Oh ya ... Kalau gitu kamu tunggu sebentar ... Aku akan ambil dulu uangnya di ATM ... Tunggu ya ... Jangan kemana-mana ...” Kata si wanita yang langsung beranjak dari tempatnya lalu pergi entah kemana.

Aku berteriak dalam hati, namun bibirku tetap terkatup. Benar-benar di luar dugaan, aku berhasil menghipnotis wanita itu dengan sempurna. Ajaib luar biasa bahkan di luar akal sehat. Cincin ini akan membawa diriku menuju puncak harapan akan nasib baik yang terbentang luas di hadapanku. Saat ini, kebahagiaanku tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Dan beberapa saat kemudian, Ira pun datang.

“Ini uangnya ... Kebetulan baru saja suamiku transfer ...” Kata Ira sambil memberikan segepok uang berwarna merah padaku. Tak perlu berpikir lagi, aku sambar uang itu dan kumasukan dalam saku celana.

“Emang suamimu kerja apa?” Tanyaku dan kali ini aku benar-benar ingin tahu.

“Suamiku pelayaran ... Ya, beginilah kalau jauh dari suami ... Suamiku berlayar sembilan bulan dan tiga bulan libur ... Masih lama pulangnya ...” Tutur Ira setengah mendesah tampak sekali kesedihannya.

“Sembilan bulan??? Lama banget?!” Aku terkejut karena baru mengetahui kalau seorang pelayar harus meninggalkan istrinya selama itu.

“Iya ... Sembilan bulan ... Selama itu aku harus tidur sendiri ...” Ucap Ira terdengar bercanda. Kini raut mukanya pun agak terang, roman sedihnya agak menghilang. Aku hanya tersenyum mendengarnya.

“Oke deh ... Aku harus segera pulang ... Maaf ya aku tinggal ... Jaga dirimu baik-baik ...” Kataku sambil berdiri dan menyalami wanita itu.

“Kok buru-buru?” Tanyanya.

“Ada perlu penting sekali ... Oke ... Bye ...” Jawabku dan langsung bergerak meninggalkan korban pertamaku.

Mendadak dunia seperti terang benderang. Tak pernah menyangka akan mendapat uang dengan begitu mudah. Sekarang aku akan mencari target lain yang mungkin akan lebih besar uangnya. Malam itu aku terus beroperasi, beberapa ‘mangsa’ berhasil aku kelabui hingga uangku mencapai 20 juta lebih. Setelah merasa cukup, aku pun pulang ke tempat kost dan beristirahat dengan hati yang dipenuhi rasa kegembiraan.

Sejak saat itulah, aku menjadi seorang hipnotis yang merampok uang orang lain. Semakin hari kemampuanku semakin terasah. Kemampuan menghipnotis sudah mendarah daging dan tidak perlu diragukan lagi tingkat keberhasilannya. Aku menjadi profesional yang sangat mahir dengan pekerjaanku. Tak terasa hampir setahun aku menggeluti profesi ini hingga aku bisa membeli rumah di sebuah kompleks perumahan di kawasan pinggir kota. Kini hidupku lumayan berkecukupan secara materi, bahkan aku bisa membuka bengkel motor di depan komplek perumahanku.
---ooo---


Suasana desa sangatlah tenang, sejuk serta asri. Karena letak Desa Sukamukti berada persis di bawah kaki gunung dan dikelilingi oleh sungai yang lebarnya ada sekitar 20 meter dengan kedalaman mencapai 5 meter dan panjangnya sampai menembus ke laut selatan. Banyak pepohonan rindang dan lebat tumbuh di daerah tersebut seperti pohon jati, pinus, maoni dan lain sebagainya. Karena memang daerah sekitar Desa Sukamukti dikelilingi hutan yang lebat. Tidak jarang pepohonan tersebut digunakan oleh warga untuk kebutuhan mereka, tapi tidaklah sampai merusak habitatnya.

Ya, disinilah kediaman kakek dan nenekku dan kini aku sedang mengunjungi mereka. Sudah dua hari aku menginap di rumah kakek dan nenek sekedar untuk membuang jenuh kehidupan kota. Nyanyian tonggeret makin lama makin kencang dan ramai mengisi lembah dengan suara alaminya. Semakin tinggi matahari, semakin kencang pula suara serangga kecil itu. Alam perbukitan tidaklah lengkap jika tidak ada suara makhluk yang nyaring itu. Aku duduk di lantai beralaskan tikar di hadapan kakek yang sedang menghisap rokok nipahnya.

“Bapakmu akan ke sini ... Dia ingin bertemu denganmu ...” Ujar kakek. Hening sejenak. Kami bergumul dengan pikiran masing-masing. Aku melempar pandang lurus ke hamparan kebun kopi.

“Aku tidak ingin bertemu dengannya. Aku tidak ingin bertemu dengan orang yang telah menyia-nyiakan aku ... Aku masih tidak terima dengan perlakuannya ...” Kataku pelan.

“Tidak baik menyimpan dendam terus seperti itu ... Bagaimana pun ia itu bapakmu ... Berkah kehidupan itu berasal dari restu orangtua ... Temuilah, sebelum kamu menyesal ...” Nasehat kakek yang membuatku menghela nafas panjang.

Aku pun terdiam dengan keraguan. Aroma khas asap menguar dari rokok yang dihisap kakek. Tapi aku suka. Aku juga ikut-ikutan gaya kakek duduk setengah bersila, membuka sebatang rokok nipah, menekuk-nekuknya agar tidak kaku, mengambil sedikit tembakau, lalu membukus dan menggulungnya sampai kencang. Kuambil pemantik lalu menyalakannya. Kuhisap dalam-dalam. Seakan-akan kenikmatan menghisap tembakau dan rokok nipah ini dapat mengusir segala risau. Kerap aku terbatuk-batuk karena aroma tembakau kakek yang keras. Ditemani secangkir kopi, ternyata memang nyaman. Pantas kakek dari dulu lebih memilih hidup di kebun yang kerap kukatakan ‘bumi pengasingan’. Kakek selalu menolak jika diajak tinggal ke kota. Bahkan tinggal di dusun pun menolak. Alasannya di kota itu berisik, tidak ada air pancuran. Baru sekarang aku paham sepenuhnya mengapa Kakek memilih hidup seperti di pengasingan. Rupanya hidup sederhana, dikelilingi pohon dan satwa yang bebas, tidak banyak hal yang dipikirkan. Tidak juga banyak keinginan. Tidak ada waktu untuk mengumpat atau mengulik-ngulik kekurangan maupun kelebihan orang. Hidup dibiarkan mengalir apa adanya.

“Kapan dia mau datang ke sini?” Tanyaku pada kakek setelah menghembuskan asap rokok nipah ke udara.

“Hari ini ... Dia dalam perjalanan ...” Jawab kakek sambil tersenyum. “Temuilah walau sebentar saja ... Kasian dia jauh-jauh mau datang ke sini hanya ingin melihatmu ...” Lanjut kakek.

Sebenarnya aku sangat enggan bertemu dengan ayahku yang terakhir kali aku bertemu dengannya saat aku sekolah dasar dulu. Rasa dendam padanya masih saja bercokol di hatiku. Aku merasa disia-siakan karena tak diurusnya sejak bayi, dibiarkan begitu saja tanpa ada perhatian sedikit pun. Sekarang dia mendadak ingin menemuiku, pasti ada sesuatu yang memaksanya. Entahlah apapun itu, namun yang jelas ini sangat berkaitan dengan kehidupanku yang sudah sukses.

Saat hari sudah menjelang sore, sepasang suami-istri datang ke rumah kakek dengan wajah letih sambil menjinjing bungkusan. Sejujurnya aku sampai lupa dengan wajah ayahku ini. Kutatap lekat-lekat sambil berjabatan tangan. Saat ayah hendak memeluk, aku tahan badannya sambil melepaskan jabatan tangan kami. Aku saat ini belum mau ‘menerima’ dan ini kulakukan hanya sekedar untuk menghormati keinginan kakek saja.

Selanjutnya, aku hampiri ibu tiriku yang baru kali ini aku melihat wajahnya. Aku jabat tangannya sambil memperhatikan wajahnya. Dia mempunyai wajah yang cantik yang kutaksir usianya sekitar 39 tahunan. Mata bulat yang indah, bibir sensual, hidung mancung, bulu mata yang lentik. Tubuhnya pun proporsional, tidak terlalu gemuk juga tidak terlalu kurus. Aku tak merasa rugi saat kuberikan senyuman dan anggukan kecil tanda perkenalanku padanya.

“Marni ...” Lirihnya sambil membalas senyumku.

“Denta ...” Balasku.

Kami pun ngobrol namun aku banyak diam dan termenung. Kakek dan nenek tahu benar bagaimana perasaanku, keduanya sengaja memancing-mancing agar aku mau berbincang dengan ayahku. Tetap saja karena hatiku yang masih belum menerima, percakapan kami terdengar sangat hambar. Sampai akhirnya perbincangan keluarga itu selesai dan masing-masing kami meninggalkan ruang depan. Sementara itu, aku keluar rumah hendak ke warung untuk membeli rokok dan kopi.

Tak lama berselang aku sampai di warung yang letaknya hanya beberapa meter saja dari rumah kakek. Lantas membeli rokok dan kopi, setelahnya aku kembali ke rumah. Sengaja aku membeli rokok dan kopi agak banyak karena ayah dan ibu tiriku akan menginap semalam di rumah kakek. Aku simpan rokok dan kopi di meja dapur, di sana kakek sedang ngobrol dengan ayah, aku yang malas bergabung lantas menyambar handuk dan pergi ke pancuran untuk mandi.

Langkahku melambat saat melihat pancuran tempat mandi terisi orang. Dari posisiku yang hanya lima langkah dari pancuran, aku bisa melihat kepala dengan rambut hitamnya. Aku pun langsung menebak kalau seseorang yang mandi di sana adalah ibu tiriku. Terpaksa aku menunggu sampai dia selesai mandi. Aku pun berjongkok di bawah pohon mahoni sambil terus memperhatikan pancuran yang dikelilingi bilik sebatas perut.

Tiba-tiba, mataku membulat. Pemandangan di depan mataku sungguh menggoda sistem pengendalian diri di tubuhku. Marni yang berdiri agak menyamping sehingga payudaranya dapat terlihat olehku. Payudaranya begitu sempurna. Buah dada yang menakjubkan, besar, bulat dan kencang dengan pentil susu yang menonjol ke depan seakan menantang. Dada yang berukuran tidak biasa itu terekspos sempurna menampilkan keindahan bentuknya. Suhu badanku mendadak panas. Aku coba mengalihkan pandanganku tetapi selalu kembali pada buah dada yang menggoda itu. Dan tak lama, pikiran kotorku muncul.

Marni melilitkan tubuhnya dengan handuk lalu keluar dari pancuran begitu saja. Tampaknya ia tidak melihat keberadaanku. Dadaku semakin sesak tatkala melihat tubuh Marni yang hanya terlilit handuk yang menampakkan paha putihnya dan leher yang sama putihnya. Aku semakin terkesima begitu melihat dari belakang, Marni berjalan dengan bokong bulat dan seksi. Tak sadar, aku mengusap-usap kejantananku yang meradang di dalam celana. Ludahku tertelan dan aku merasa bahwa tubuh itu sudah menarik-narik libidoku.

Tak lama wanita seksi itu menghilang di balik pintu. Segera saja aku mandi di pancuran. Pikiran kotorku terus menggodaku, memerintahku untuk mencicipi tubuhnya. Dan aku akan melakukannya, itung-itung balas dendam pada ayahku. Wanita itu layak ‘kucicipi’ sebagai ganti atas kekecewaanku selama ini. Segera saja aku selesaikan acara mandiku dan berpakaian lalu bergerak ke dalam rumah. Sesampainya di kamar, aku rapikan penampilanku, menyisir rambut dan menggunakan parfum. Kemudian aku keluar mencari wanita incaranku.

Marni dan nenek sedang masak di dapur. Aku dekati mereka pura-pura mencicipi masakan yang sudah matang. Aku pun berbincang-bincang dengan wanita beda usia itu. Nenek tersenyum mengira aku sudah mau ‘berbaikan’ dengan ibu tiriku karena memang aku sering menggoda ibu tiriku dengan perkataan guyonan. Untungnya Marni menyambut baik pendekatanku sehingga kami tampak akrab. Berkali-kali aku mencuri pandang pada dada Marni yang seolah menantangku untuk merabanya.

Dan waktu yang kutunggu datang juga. Nenek pergi ke depan rumah sambil membawa baki berisi kopi dan gorengan untuk kakek dan ayah yang sedang ngobrol di sana. Tanpa membuang waktu, aku geser cincin ajaibku hingga berada di telapak tangan dan jempulku menekan mata cincin agak kuat.

“Bu ...” Kataku dan Marni menoleh dengan tatapan syahdu. “Nanti malam sekitar jam dua belas, ibu bangun dari tidur. Saat ibu bangun, memek ibu sangat gatal ingin dimasuki kontol. Dan kontol itu hanya kontolku, bukan yang lain ... Ibu sangat ingin ngewe denganku ... Ya, nanti kita akan ewean di gubuk tengah ladang kakek ... Ibu langsung pergi saja ke gubuk itu, aku pasti sudah di sana ... Setelah puas ewean ... Ibu kembali ke kamar dan tidur ... Paginya ibu bangun dan tidak ingat sama sekali kalau kita pernah ewean ... Paham ...!” Aku mengeluarkan kata-kata hipnotisku dan langsung dijawab anggukan dan senyumannya.

Aku tersenyum penuh kemenangan sambil mengembalikan posisi cincinku. Kami pun kembali dalam keadaan normal dengan terus berbincang-bincang seperti tidak terjadi apa-apa. Tak lama berselang, nenek datang lagi ke dapur dan menyuruhku untuk gabung dengan kakek dan ayah di ruang depan. Aku berjalan menuju ke sana, sesampainya aku pun duduk di sebelah kakek.

“Denta ... Minum kopinya nanti keburu dingin ...” Ujar kakek sembari menyodorkan gelas ke depanku.

“Denta ...” Giliran ayah bersuara, aku menoleh sekilas lalu nyeruput kopiku yang sudah agak dingin. “Bapak mau minta maaf kalau selama ini bapak menelantarkanmu ... Ini benar-benar dari hati yang paling dalam ... Bapak benar-benar menyesal ...” Kata ayah.

Cih ...” Geramku dalam hati. Kenapa tidak dari dahulu ia sadar, kenapa baru sekarang saat aku sudah mapan.

“Denta ... Jawab ...!” Kakek menyuruhku sambil memegang pahaku karena aku menahan jawaban untuk beberapa detik lamanya.

“Iya aku maafkan ...” Kataku yang bertolak belakang dengan suara hati tanpa ingin menoleh ke wajah ayahku.

“Bagus ... Kakek gak ingin kamu jauh dengan orangtuamu ... Sekali lagi kakek ingatkan, bagaimana pun mereka adalah sumber berkah kehidupanmu ...” Ujar kakek kini sembari menepuk-nepuk ringan pahaku.

Aku pura-pura ramah saat ayah mengajakku berbincang-bincang. Padahal di benakku terus membayangkan kenikmatan yang akan aku dapat dari tubuh istrinya. Sebuah pembalasan yang menurutku masih jauh dari seimbang. Tapi tak apalah, lain kali aku akan pikirkan lagi pembalasan-pembalasan lainnya. Aku tak peduli dengan statusnya sebagai ayah karena ia sudah begitu kejam meninggalkan diriku sejak bayi merah dan itu dosa yang tak pernah aku ampuni selama hayat di kandung badan.​

---ooo---

Malam beranjak dengan begitu cepat, kesunyian mulai menyelubungi rumah kakek yang setengah permanen ini. Tidak ada suara televisi atau bahkan percakapan yang dapat menghangatkan suasana. Tentu saja karena saat ini jam sudah menunjukkan pukul 23.45 malam. Aku beranjak dari kamar ke gubuk di tengah ladang kakek yang letaknya lima menit berjalan kaki. Tak sulit menjangkau gubuk ini karena jalan setapak beralas batu menghubungkan gubuk dengan rumah kakek walau di kanan kiri jalan setapak tumbuh pohon-pohon agak besar.

Bintang-bintang bersinar dengan indahnya di langit gelap. Rembulan yang masih menampakkan sinar penuh seakan tak mau ketinggalan untuk menghiasi malam. Suara hewan malam perlahan mulai naik ke atas panggung orkes kemegahan alam memberi aura tersendiri. Tidak, bukan aura horor yang kumaksud, tapi lebih pada ketenangan jiwa karena sebelumnya tak pernah mendengar suara-suara itu.

“Hah ... Si jagur udah gak tahan,” ucapku sambil mengeratkan jaket yang membalut tubuh. Gairahku sangat kejam, sangat menguasai, gairah yang kuat untuk bersenggama. Bahkan kejantananku pun sudah tidak sabar bertemu dengan pasangannya.

Tak lama, aku melihat sebuah lampu senter ditembakkan ke tanah. Senyumanku mengembang tatkala mengetahui wanita itu sedang berjalan ke arahku. Wanita yang memakai daster putih itu kini berada tepat di depanku. Sorot matanya yang memelas seolah minta sesuatu. Hasrat birahiku yang memang luar biasa panas, menggerakan tanganku ke dadanya. Kutangkup buah dada Marni dengan kedua tanganku, meremas benda kenyal itu sambil menatap matanya. Nafasnya yang tidak beraturan cukup untuk mengekspresikan betapa tinggi gairah wanita ini. Tangan Marni pun mulai mengusap usap selangkanganku.

Sejurus kemudian kami pun memasuki gubuk untuk memulai permainan yang sesungguhnya. Selanjutnya, kami melepas pakaian kami satu demi satu. Marni merebahkan badan di atas bale gubuk yang terbuat dari bambu. Walau agak samar tapi aku bisa melihat kemolekan ibu tiriku. Dalam nafsuku yang puncak itu, aku merasakan tidak perlu lagi pemanasan, aku segera memposisikan diri di atas tubuhnya. Kemaluan kami sudah berhadapan dan saling menyentuh, hingga kepala penisku sudah berada tepat di depan pintu lubang surgawinya.

“Blesssssss ...!” Perlahan tapi pasti, aku dorong penisku menyeruak masuk di antara lubang surga yang basah milik Marni. Lalu langsung aku tekan sedalam mungkin hingga pangkal batangku. Nyatanya penisku tidak bersisa ditelan lorong sempit dan hangat itu. Aku tahan sejenak penisku di dalam vagina Marni sambil merasakan kehangatan yang melingkupi rudalku.

“Ayo Sayang ...” Ucap Marni sambil memandangku dengan wajah horny-nya. Kami berdua terus saling berpandangan.

“Iya ... Terimalah ini ...!” Jawabku seraya mulai membawa kejantananku perlahan bergerak ke atas bersamaan dengan mata Marni yang saat ini terpejam dan wajahnya pun bergerak menengadah ke atas. Tak lama kebenamkan kembali ke tempat asalnya.

Aku tarik lagi perlahan hingga sebatas leher kejantananku dan aku tekan kembali hingga hanyut lagi. Terus aku perbuat itu dengan perlahan namun teratur. Aku rasakan sekali kenikmatan yang tiada tara. Dengan gaya misionaris begini, membuatku bisa menciumi Marni dari mulai leher, pipi, teliga, dan bibir. Aku terus mencari kenikmatanku sendiri dengan terus menggerakkan pantatku naik turun, menggesek-gesekan kejantananku keluar masuk di dalam vagina Marni yang semakin licin.

Sekitar lima belas menit berselang, keringat kami mulai bercucuran deras. Marni hanya bisa terpejam dan meremas-remas rambutku. Aku pompa terus vagina Marni karena nikmatnya luar biasa. “Crop... chop... chop... chop...!” Suara yang dihasilkan dari kehangatan vagina Marni dan genjotan penisku membuat suasana menjadi semakin panas. Aku rasakan surga yang amat sangat. Alangkah penisku serasa dihisap ke dalam lubang surganya. Rasa hangat yang bersumber di kemaluanku saat ini mulai menjalar ke seluruh tubuhku.

Aku terus menggempur vaginanya dengan sodokan erotisku. Aku menutup mata dan merasakan rasa yang timbul dari gesekan alat kelamin kami sambil terus menggerakkan kejantananku mengocok liang nikmatnya. Terdengar nafas Marni semakin memburu dibarengi dengan nafasku yang tersengal-sengal. Tidak lama kemudian, tubuh Marni mengejang kaku dan dinding vaginanya terasa menjepit dan meremas penisku sekuat mungkin.

“Aaaaaaaaahhhhh .....!!!” Marni memekik panjang. Aku rasakan sekali ada sesuatu yang sangat hangat, bahkan sedikit panas menyelimuti kemaluanku. Penisku serasa ada yang menyiram di dalam vagina Marni. Oh, rasa hangat itu membuatku gila.

Aku hentikan sesaat genjotanku sambil meremas-remas payudaranya. Mulutku pun menyasar bibirnya. Aku berusaha membangkitkan lagi gairah Marni. Dan akhirnya usahaku berhasil, wanita itu mulai lagi menggeolkan pantatnya. Aku tarik rudalku perlahan. Ketika aku tarik, aku lihat batang penisku basah. Dan, “Plop..!” Kemaluanku keluar dari vagina Marni. Lalu aku suruh Marni bangkit dan menungging, ia pun menuruti kemauanku. Marni langsung menungging, memamerkan keindahan lubang surgawinya.

Aku hampiri lubang itu dengan berjalan memakai kedua lututku. Sesampainya aku di dekat lubang kenikmatan itu, aku tidak langsung menghujamkan batangku, aku ingin menikmati dulu sesaat pemandangan terindah yang aku lihat. Aku menonton sesuatu yang sangat mengagumkan diantara dua buah bongkahan pantat Marni. Pantat Marni yang begitu putih, mulus, padat dan berisi itu menjepit sesuatu di tengahnya. Sesuatu yang sangat ranum berwarna merah muda. Sebelum aku menghujamkan lagi penisku. Aku kecup dulu dengan mesra vagina Marni.

“Cleb..!” Aku hujamkan kembali batang kebanggaanku itu. Marni sedikit merintih. Dari belakang sini, aku memompa penisku lagi keluar masuk vagina Marni. Posisiku yang berada di belakang membuatku bisa jelas melihat penisku keluar masuk cepat ke lubang vaginanya, dan saking pasnya, bibir vagina Marni itu seperti keluar setiap batangku kutarik keluar dan seakan terbenam melipat ke dalam setiap aku dorong penisku ke dalam.

“Aagghh... ssshh... ooohh... hegghh..!” Marni meracau terus, suaranya kian tak berirama.

Sementara gerakanku semakin liar dan cepat sehingga buah dada Marni terpental-pental. Kedua tanganku memegang erat pinggulnya yang terbukti sangatlah indah dan pas itu. Kedua tanganku membantu mendorong pinggulnya, jadi tenaga genjotan di pantatku sedikit lebih ringan. Entah keberapa kali batangku menghujam-hujam liang nikmatnya, yang kurasakan hanyalah betapa kenikmatan yang sedang melanda tubuhku ini membuat jiwaku seakan ringan saja, terbang ke atas surga. Secara teratur dengan ritme tetap aku masih memaju-mundurkan pinggulku terus menyetubuhi Marni dari belakang. Begitu nikmat mengeluar masukkan alat vitalku, menggesek daging liang vaginanya. Begitu ketatnya lubang kemaluan Marni mengocok-ocok dan menyedot-nyedot batang penisku. Pinggulku terus bergerak maju mundur menyetubuhinya seakan tiada rasa puas untuk terus menggeluti tubuh Marni yang montok dan bahenol ini. Aku bahkan semakin bertambah ganas mengeluar masukkan alat vitalku yang masih over voltage menggesek liang vaginanya sampai kandas.

“Crop... crop... crop...!” Suara kocokan penisku ke vagina Marni terus cepat. Berbagai menit telah berlalu. Gerakan pompaku terus cepat, buas dan ganas. Kempotan vagina Marni terasa lebih keras dan lebih menyedot dari yang tadi. Desahan dan erangan mengiringi setiap gerakan, mengiringi pertempuran kelamin kami. Aku lihat Marni mulai menggeleng-gelengkan kepalanya keras sekali. Bersamaan dengan itu, dari dalam diriku ada yang ingin keluar. Aku makin mempercepat gerakanku, dan akhirnya ...

“Aaaaaccchhhh...!” Kami berdua memekik lumayan keras.

Aku tekan dan aku dorong pinggulku hingga penisku benar-benar hanyut ke vaginanya. Penisku berdenyut dengan sendirinya tidak terkendali dan kempotan Mirna pun sangat terasa sekali. Kemaluan kami berdua berdenyut dengan cara reflek dan tidak terkendali lagi. Spermaku tumpah ruah di dalam vaginanya disertai cairan hangat vagina Mirna. Cairan puncak kenikmatan surgawi kami saling berjumpa dan bercampur. Entah berapa lama tubuh kami berdua mengejang hebat. Ujung rambut hingga ujung kaki kami mengeras dan mengejang. Marni mengangkat kepalanya sambil menyeringai dan mengerang pelan. Aku menengadahkan kepalaku sambil menahan kenikmatan yang muncul.

Dengan sisa tenaga, aku membungkukkan badanku dan kucium dia. Dirinya membalas ciumanku seadanya. Lalu, aku keluarkan penisku dari lubang surganya. Tampak olehku penisku begitu basah dengan kepala yang sangat memerah. Kulihat juga alangkah lubang vagina Marni begitu basah dan aku perhatikan ada sedikit spermaku yang putih kental menempel pada klitorisnya.

Aku yang sudah terpuaskan segera memakai baju kembali, demikian pula dengan Marni. Wanita itu pun tanpa berkata-kata langsung meninggalkan aku sendiri. Ia kembali ke rumah sementara aku masih ingin di gubuk ini sedikit lebih lama. Aku menatap langit ditemani suara burung hantu yang terdengar semakin keras. Mereka seolah ingin menunjukkan penguasaannya atas malam dan tak ingin ada seorang pun yang mengusik.

Tak lama, aku mulai melangkah meninggalkan dinginnya angin malam menuju rumah. Sesampainya di sana, aku langsung masuk ke dalam kamarku dan merebahkan diri di atas kasur. Sambil tersenyum aku memejamkan mata. Untuk saat ini aku merasa puas dengan pembalasanku. Mungkin akan ada pembalasan lain hingga dendamku terbayar lunas. Namun yang jelas, saat ini aku perlu tidur karena lelah dan kantukku sudah tidak bisa diajak kompromi. Dan beberapa menit kemudian, aku mulai masuk ke alam mimpiku.​

Bersambung


Note:

Cerita ini rawan macet tapi dijamin akan masuk finish walau paling bontot. Update tidak tentu, disesuaikan dengan kondisi dan mood. Juga, dijamin gak bakalan kena gembok mimin dan momod. Salam sejahtera untuk kita semua dan sehat selalu.

Sambungannya di sini ...
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd