Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Housewife Tales

Stlh mengenal Afif the aquaman lebih jauh, siapa yang lebih anda sukai dibanding Imron the janitor?


  • Total voters
    117

caligula1979

Semprot Addict
Daftar
24 Jun 2012
Post
486
Like diterima
2.808
Bimabet
Halo mupengers! Kisah kali ini adalah sidestory dari tulisan saya sebelumnya, Mom, Friends, and Friend’s GF yang merupakan sidestory dari saga Ritual Keluarga. Jadi tulisan ini adalah sidestory dari sidestory, bingung kan? Hak... hak... hak...
Selamat menikmati!




POV Christine


Aku dan suamiku, Robi, sudah berumah tangga selama sembilan tahun dan dikaruniai dua orang anak yang lucu-lucu, Mathew yang sulung berusia delapan tahun dan adiknya, Jane yang kini berusia lima tahun. Aku sendiri, Christine (32 tahun) adalah seorang ibu rumah tangga dengan fisik 166 cm, langsing dengan dada berukuran sedang saja. Dalam berpakaian aku termasuk biasa saja, tidak terlalu menonjolkan lekuk tubuhku. Kegiatanku sehari-hari selain mengurus anak, suami dan rumah, kadang membantu di toko orang tuaku atau hang out dengan teman-teman sesama mama muda di sekolah anak kami. Walau sudah melahirkan dua anak, namun tubuhku masih ideal berkat gym dan fitness serta perawatan diri yang rutin kulakukan. Pernikahan kami yang telah berlangsung selama hampir sepuluh tahun ini berlangsung dengan harmonis, secara materi pun bisa dikatakan berlebih. Kehidupan seksku biasa saja dan aku mulai merasakan yang dikatakan seksiolog bahwa menjelang usia pernikahan kami sekarang kejenuhan seks mulai muncul. Gairahku memang cepat sekali memuncak dan kalau melakukan hubungan seks aku suka sekali berlama-lama dengan berbagai variasi, namun Robi kurang inovatif dalam hal ini atau lebih parah kalau aku sedang ingin tapi dia malah tidak mood karena lelah bekerja. Sebagai istri tentu aku sangat mengerti keadaannya dan tidak pernah komplain apapun mengenai hal ini, namun sebagai wanita ketidakpuasan itu tetap ada dan aku selalu merasakan ada sesuatu yang kosong dalam kehidupan seksku, entah apa. Terkadang bila kesepian di rumah aku melakukan masturbasi untuk menambah kepuasanku. Namun tanpa pernah kuduga, kekosongan itu mulai terisi melalui lingkungan pergaulanku dengan sesama mama muda di sekolah sehingga merubah pandanganku tentang seks dan berani mendobrak hal yang dulunya kutabukan. Mama-mama muda di sekolah yang sering ngumpul denganku itu pandangannya begitu liberal tentang seks, berbeda dengan aku dan suamiku yang berasal dari kota kecil di Kalimantan. Seperti yang sudah kusebut di atas bahwa kehidupan seks kami biasa saja, aku pertama kali melakukannya saat malam pengantin kami, dengan seorang pacarku waktu kuliah dan ketika pacaran dengan Robi, berciuman mulut/ French kiss, petting dan saling meraba saja belum pernah kulakukan. Karena itu, bagaimana aku tidak kaget dan merinding begitu mendengar teman-temanku itu begitu santai tanpa malu-malu menceritakan perselingkuhan yang mereka lakukan, ada yang memelihara brondong mahasiswa, ada yang affair dengan mantan pacar, teman, sopir, pegawai, jongos di rumah, dan lain-lain. Kalau melakukan dengan selain suami jangan dibaperin, ambil enaknya aja; ini namanya selingkuh badan, bukan selingkuh hati; jaman gini yang bisa have fun bukan cuma laki-laki aja, kita cewek juga berhak dong, lagian gua juga tau kok dia kalau tugas keluar ada main sama perempuan lain; yang penting hati gua tetap buat suami gua dan gua tetap menjalankan tanggung jawab gua sebagai istri dan ibu buat anak-anak; pandangan-pandangan liberal tentang seks itu secara sadar atau tidak, sedikit-demi sedikit mulai merasuk dan mengusik pikiranku. Bahkan ada pandangan yang lebih parah lagi seperti, kita suami istri saling terbuka aja soal seks, masing-masing tau ada affair, yang penting kita tetap saling sayang. Pandangan-pandangan seperti ini tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya apalagi sejak kecil aku dididik oleh orang tuaku yang konservatif.

"Masih hubungan sama brondong lu yang Arab itu ga Lan?" tanya Yulia, salah satu temanku pada Lani, temanku yang lain, sesama mama muda, ketika nongkrong di sebuah kafe selepas mengantar anak kami ke sekolah.
“Udah gak kok sejak tiga bulan kemaren, kan udah lulus dia, dah balik ke kotanya” jawab Lani dengan santai, “lu sendiri sama supir lu gimana?’
“Kemarin abis anter anak gua baru digrepe-grepe sama difingering sambil nyetir mobil, gila berani amat tuh orang” tutur Yulia.
“Ciee... jadi kemaren baru dikelonin supir nih ceritanya!” timpal Frida, yang memiliki bisnis butik dan kuliner itu.
“Eeii... supir lu si Pak Oded itu... lumayan emang, tapi permainannya masih kalah kalau dibanding brondong gua” Olivia yang pernah ‘dipinjamkan’ sopirnya Yulia itu ikut nimbrung meramaikan
"Masa? Gua jadi pengin icip-icip jagoan lu Liv... kenalin dong kalau boleh” sahut Yulia merespon.
“Boleh tar gua kasih kontaknya yah!” kata Olivia.
Pembicaraan seperti ini dikenal sebagai ‘women talk’ di antara kami para istri, masing-masing berkomitmen untuk menjaga affair ini hanya antara kita-kita saja. Kalau topiknya sudah sampai sini biasanya aku hanya diam menyimak saja sambil sesekali ikut tertawa bisa lucu. Memang tidak semua di geng mama-mama muda kami seperti itu, aku dan dua temanku lainnya termasuk yang tidak menjalani gaya hidup tersebut. Di kompleks perumahan tempat tinggal kami, aku juga memiliki lingkungan pergaulan yang lain, di sini aku akrab dengan Arlene (29 tahun), kami sama-sama ibu rumah tangga, rumah kami berjarak lima puluh meteran, kami sering jogging dan fitness bareng di sport centre kompleks ini, dua anakku berteman dekat dengan anak semata wayangnya, Jayden. Arlene sudah menjadi teman yang enak diajak bicara dan sering membantu kami sejak kami pindah ke kompleks ini lima tahun yang lalu. Hanya kepada Arlene saja aku menceritakan kejenuhan dalam kehidupan seksku dan kelakuan mama-mama muda di sekolah anakku itu.
“Sebenernya sih Tin, yang kaya gitu jaman sekarang apalagi di kota besar udah gak aneh” tanggap Arlene dalam satu kesempatan ketika mengobrol dengannya di kantin sport centre setelah nge-gym bareng.
“O ya? Jadi lu juga pernah denger?” tanyaku penasaran.
Arlene menganggukkan kepala lalu menghisap milk shakenya dulu
“Temen gua juga ada yang gitu, mama-mama di sekolah si Jayden juga ada kok”
“Wow... gitu yah Len, kalau menurut lu sendiri gimana yang kaya gitu?”
“Hhmmm... kalau gua sih, oke-oke aja lah yah, gua setuju seperti yang lu bilang tadi, kalau do it sama selain suami, ya gak usah dibaperin, enjoy aja”
Aku tidak menyangka Arlene juga berpandangan seperti itu
“Lu jawab kaya gitu Len, jangan-jangan lu juga udah... ?” aku memelankan suaraku dan menatapnya dengan penasaran penuh selidik.
“Eehhmm... itu sih... ya gitu deh hihihi!” jawabnya dengan senyum penuh arti lalu kembali menyeruput milk shakenya.
“Hei ternyata lu punya sesuatu disimpen sendiri yah... cerita-cerita dong, kita kan udah temenan lama!” kataku penuh rasa ingin tahu.
“Ssstt... jangan disini ah ngomongnya, masih ramai, kita ke rumah gua aja yuk mandi di sana!” ajaknya.


Kami pun memanggil pelayan untuk membayar pesanan kami lalu beranjak dari sport centre dan berjalan kaki ke rumah Arlene yang tidak terlalu jauh. Sambil berjalan kami juga meneruskan obrolan kami selain obrolan yang serius dan panas barusan. Sesampai di sana, Arlene mengajakku mandi bareng dan aku tidak menolak karena pikirku toh kami sama-sama wanita. Namun yang membuatku risih adalah ketika di kamar mandi setelah kami sama-sama bugil, Arlene melakukan sesuatu yang sama sekali tidak kuduga. Saat air hangat dari shower mengguyur tubuh kami, Arlene memelukku dan merabai payudara dan pantatku.
“Len, apaan sih? Gua bukan lesbian” kataku.
“Gua juga bukan, kalau iya masa gua nikahin laki gua?” katanya sambil menyeka rambutku ke belakang, “gua cuma mau jawab keluhan lu tentang kejenuhan seks, lu itu butuh variasi Tin dan itu bukan berarti lu gak sayang ke Robi lagi”
Kami saling pandang dan wajah kami makin mendekat. Arlene mencium bibirku, membuatku risih dan sedikit meronta, namun rasa risih itu hilang oleh perasaan aneh yang sulit kujelaskan dengan kata-kata yang menjalari sekujur tubuhku. Itulah pertama kalinya aku berpelukan dan berciuman dengan sesama jenisku. Sentuhan-sentuhan Arlene ke sekujur tubuhku membuatku terhanyut dan tidak kuasa menolaknya, terutama ketika ia menyentuh bagian sensitifku. Kelembutan tubuh Arlene yang memelukku membuat darahku makin berdesir, payudara kami saling berhimpit dan bergesekkan. Aku semakin terbawa suasana dan pasrah menikmati segala yang ia lakukan, kami benar-benar melupakan bahwa kami sama-sama perempuan, perasaan itu hilang akibat Akhirnya aku mulai membuka bibirku yang terkatup membalas permainan lidah Arlene. Kedua tanganku yang semula diam kini mulai melingkari tubuhnya, kubelai punggungnya yang halus dari atas sampai ke bawah dan terhenti di bongkahan pantatnya yang bulat indah yang secara refleks kuremasi. Arlene pun membalas dengan cara yang sama, dengan lembut ia pun meremas-remas pantatku, membuat birahiku semakin naik dan terbawa arus suasana. Ciuman kami pun semakin bernafsu, desahan tertahan kami bercampur dengan suara kucuran air shower. Lima menit kemudian, Arlene melepas ciuman bibirnya, lalu mulai menciumi leherku dan semakin turun ke payudaraku. Kusandarkan punggungku ke tembok berlapis marmer agar nyaman.
“Aaahh!” desahku ketika Arlene mulai menciumi dua bukit payudaraku secar bergantian.
Nafasku mulai memburu hingga akhirnya aku menjerit kecil ketika ia menghisap putingku. Aku tidak bisa menyangkal bahwa aku menikmatinya
"Enak Tin?" tanyanya di sela-sela mengenyoti payudaraku
"Eeehhmmm” jawabku mengangguk, “teruusin Len!" kataku sambil membelai rambut basahnya.
Arlene pun semakin gencar menghisap-hisap putingku, namun lembut dan mesra, ternyata begini rasanya bercinta dengan sesama wanita. Tangannya turun ke bawah menuju selangkanganku lalu dengan lembut ia membelai vaginaku yang berbulu, jarinya sesekali menggesek bibir vaginaku. Jarinya yang lain masuk ke dalam dan menemukan klitorisku. Ia mulai memainkan benda kecil sensitif tersebut sehingga tubuhku menggelinjang hebat. Dari dalam liang vaginaku terasa ada cairan hangat yang mengalir perlahan.

Aku membalas perlakuan Arlene dengan meremas payudara kiri dan memilin-milin putingnya.
“Kita selesaiin mandinya dulu, lanjut di kamar gua” kata Arlene sambil tersenyum dengan posisi wajah kami berdekatan.
Sambil tersenyum aku pun mengangguk pelan. Kami saling menyabuni tubuh masing-masing sambil sesekali menggerayangi bagian sensitifnya.
“Anak lu udah dua tapi ini lu masih kencang yah!” komentar Arlene saat menyabuni vaginaku sambil menguak belahannya.
“Masa sih? Emang lu nggak?” balasku sambil membelai vaginanya lalu memasukkan telunjuk dan jari tengahku sehingga membuatnya mendesah, “punya lu juga masih kencang kok hihihi”
Kami tertawa-tawa sambil saling memandikan satu sama lain. Setelah beres mandi, kami mengeringkan tubuh masing-masing dengan handuk dan keluar dari kamar mandi tanpa mengenakan apapun. Arlene menarik lenganku menuju kamarnya. Kami menjatuhkan diri ke ranjang queen size yang biasa dipakai tidur bersama suaminya itu. Ia menindih tubuhku dan kami saling tersenyum lalu kembali berciuman. Ciuman Arlene merambat turun menjilati leherku, payudara, perut, terus turun ke selangkanganku.
“Nngghhh!!” aku mendesah dan menggeliat saat lidahnya menjilati bibir vaginaku.
Jemari lentiknya menguak bibir vaginaku dan lidahnya menyusup masuk ke dalam. Kini ujung lidahnya menyentuh klitorisku. Betapa mahir ia mempermainkan lidahnya pada daging kecil sensitifku, ia juga menjilati dinding-dinding dalam vaginaku. Aku mulai menggoyangkan pinggulku untuk menambah sensasi nikmatnya, tubuhku bergetar dan mulutku menceracau tak karuan. Hingga tak lama kemudian, aku mulai merasakan gelombang nikmat datang menerpaku. Tanganku memegang bagian belakang kepala Arlen dan mendorongnya. Karuan saja wajah tetanggaku itu semakin terbenam di selangkanganku.
"Leenn.... aahh... mau keluar Len...!!" aku menjerit dan menggelinjang.
Arlene menghentikan jilatannya, kini ia mencium dan menghisap kuat kewanitaanku yang mulai mengeluarkan cairan orgasme. Tubuhku serasa melayang tinggi, mataku membeliak-beliak merasakan kenikmatan orgasme yang mendera tubuhku hingga akhirnya aku melemas kembali. Arlene pun melepas hisapannya pada vaginaku. Ia kembali menindihku dan mendekatkan wajahnya ke hadapan wajahku, kami kembali berperlukan dan berpagutan.
"Enak Tin?" tanyanya sambil tersenyum dan membelai rambutku.
Aku pun mengangguk dengan senyum lemas. Aku baru tahu bercinta dengan sesama wanita ternyata seru juga dan tidak berisiko hamil tentunya.

“Nah sekarang giliran lu, do as I did to you!” kata Arlene berguling ke samping sehingga kini aku menindih tubuhnya.
Aku memulai dengan menjilati leher jenjangnya, aroma harum sabun dan shampo masih terasa di tubuhnya. Sampai di payudara, kukenyoti bongkahan kenyal itu dan kusentil-sentil dengan lidahku di dalam mulut, membuatnya mendesah-desah dan meremasi rambutku.
“Eeehhmmhh Tin, yang satu juga digituin dong, enakkhh!!” desahnya.
Aku berpindah mengulum payudara yang satu dan yang satunya kuremasi dengan lembut serta kupilin-pilin putingnya yang sudah menegang itu. Tanganku yang satu bergerak turun merabai kelembutan kulit paha dan pantatnya, terus bergerak hingga berhenti di selangkangannya.
“Aaaangghh..”, Arlene mengerang ketika kumainkan dua jariku di dalam liang vaginaku, tubuhnya menggeliat nikmat.
Aku terus mencucup puting payudara Arlene sambil menatap wajahnya untuk melihat reaksinya. Arlene menatapku sayu dan penuh penyerahan, membuatku sedikit merasa canggung dan jantungku berdegup kencang, aku belum terlalu terbiasa dengan semua ini, dimana aku sampai seintim ini dengan sesama jenisku. Jariku terbenam dalam liang vaginanya dan kurasakan denyutan yang begitu seksi, kumasukkan jariku lebih dalam hingga terasa begitu hangat dan basah oleh cairan kewanitaannya. Kuraih klitorisnya dan kugesek-gesek dengan jariku. Ketika kurasakan ia hampir orgasme, aku menghentikan adukan jariku.
“Ngghh... terusin dong!” keluh Arlene manja.
Aku kembali mengobok-obok vaginanya dengan jariku sambil mengenyoti payudaranya.
“Aaaggghhh… Tin… aaauh…”, Arlene mengerang sambil memelukku ketika akhirnya ia orgasme
Aku dapat merasakan sentakan tubuhnya, rasanya jariku seperti diremas di dalam liang vaginanya. Kugeser tubuhku ke bawah dan kurenggangkan sepasang pahanya, lalu...
“Aaaah…. ampun Tiinn…”, erang Arlene ketika kuhisap vaginanya yang masih mengucurkan cairan bening.
Tubuh Arlene makin berkelojotan, tangannya berusaha mendorong kepalaku agar cucupanku terlepas, tapi ia terlalu lemah untuk melakukan itu. Ia mendesah pasrah saat aku menyedot habis cairan cintanya. Pertama kali merasakan cairan kewanitaan ternyata begitu nikmat, tidak terlalu berbeda dari aku biasanya menelan sperma suamiku. Sesekali kulesakkan lidahku ke dalam liang vaginanya untuk mengais sisa cairan cintanya di dalam. Setelah tubuh Arlene melemas dan cairannya berhenti mengucur, barulah aku melepaskan cucupanku. Kubringkan diriku di sebelah Arlene yang masih tersengal-sengal.
“Duh… lu di ranjang nakal juga yah…”, kata Arlene di sela nafasnya yang memburu.
“Cuma bayangin gua lagi ML sama si Robi tapi tanpa penis aja” jawabku
“Gua tanya nih, setelah kita ML, lu masih sayang ke laki lu ga?” tanyanya
Aku mengangguk, “kita tadi kan cuma have fun aja Len”
“Nah... you got the point, have fun aja, apa bedanya kalau lu lakuin ini ke pria selain si Robi”
Kata-kata ini seolah mendobrak pandanganku tentang seks selama ini, jujur saja aku memang menikmati hubungan sesama jenis kami tadi, tapi bukan berarti aku jadi jatuh cinta pada Arlene, tidak... aku tidak pernah berpikir untuk mencintai sesama wanita. Aku mulai mengerti mengapa teman-teman mama mudaku di sekolah suka mencari kepuasan seksual di luar suami mereka, namun hubungan mereka dengan suami tetap baik-baik saja. Arlene mendekapku yang sedang speechless tidak mampu berkata apa-apa, lalu dia mulai menceritakan pengalaman pertamanya berselingkuh sejak menikah dengan suaminya.



POV Arlene
Satu setengah tahun sebelumnya



“Jadi mereka berdua sering ngelonin lu kalau laki lu ga ada?” tanyaku melihat foto dua orang pemuda Chinese pada akun Instagram di smartphone Dinda.
“Eeehhhmm” gumam wanita yang duduk di hadapanku itu, “kadang satu-satu, kadang duaan sekaligus, threesome, hihihi... “ ia tanpa malu-malu menceritakan kenakalannya.
"Terus.... laki lu ga curiga selama ini... ?”
"Ya main cantik dong say... chatting di WA jangan pernah lupa dihapus dan ingat, ini cuma selingkuh badan, bukan selingkuh hati, pokoknya kunci utamanya itu jangan melibatkan perasaan, cukup ambil enaknya aja, di luar itu jangan pernah berhubungan apa-apa lagi, inget kata-kata gua ini Len” kata Dinda blak-blakan.
Hari itu pagi jam sembilanan, kami sedang ngobrol di Starbucks di salah satu mall di Bandung setelah mengantarkan anak kami ke sekolah. Dinda Triani (33 tahun) merupakan temanku, seorang ibu beranak tiga, anaknya yang paling kecil adalah teman sekelas anakku, Jayden. Wanita beretnis Jawa (menurut pengakuannya juga punya sedikit darah Chinese dan Belanda) ini masih terlihat cantik dan seksi di usianya yang pertengahan kepala tiga dan sudah tiga kali melahirkan itu. Suaminya adalah seorang pilot di sebuah maskapai nasional sehingga banyak menghabiskan waktu di luar. Hubungan mereka sebenarnya baik-baik saja, namun kurangnya nafkah batin karena jadwal kerja sang suami membuat Dinda diam-diam mencari kepuasan dari orang lain. Ketika aku curhat padanya mengenai kehidupan seksku dengan suami yang mulai hambar karena kesibukannya bertambah sejak naik pangkat di perusahaan, inilah solusi yang ditawarkan Dinda padaku, mencoba rasa lain selain suami.
"Len, sesekali lu harus try to be naughty... supaya ada sensasi yang beda jadi sex life lu juga ga boring” kata Dinda empat hari sebelumnya.
Kata-katanya itu terus terngiang-ngiang dalam benakku hingga akhirnya besok lusanya aku mengirim pesan WA pada Dinda bahwa aku mengiyakan ajakannya itu setelah kemarin malamnya aku dan suamiku bertengkar sampai aku melempar gelas hingga pecah, yang sebenarnya dipicu masalah sepele saja. Yah begitulah kehidupan rumah tangga kami setelah enam tahun menikah. Tidak seindah fairy tale, tapi juga tidak buruk-buruk amat sampai menciptakan neraka di rumah, menurut psikiater ini disebabkan karena karakter kami berdua yang sama-sama keras dan enggan mengalah. Aku Arlene (28 tahun), pendidikanku hanya D3 lalu bekerja di bank dan tidak sampai dua tahun aku menikah dengan Evan, yang lebih tua enam tahun dariku. Kami dikenalkan orang tua kami, papa kami berteman dekat. Setelah menikah aku menjadi ibu rumah tangga dan melahirkan Jayden. Secara materi kami sangat berkecukupan, Evan seorang pekerja keras dan karirnya terus menanjak, namun semua harus dibayar dengan kurangnya waktu bersama keluarga. Kadang kami romantis dan menghabiskan waktu bersama bertiga terutama kalau sedang liburan ke luar kota atau luar negeri, namun kadang kalau mood sedang buruk, hal kecil saja bisa memicu pertengkaran dan saling bentak antara kami.

“Nah mereka udah sampai Len” kata Dinda setelah membaca pesan WA yang baru masuk.
Jantungku makin berdebar-debar hingga tidak sampai lima menit, dari kejauhan, dua orang pemuda yang wajahnya baru kulihat di smartphone Dinda itu muncul di ambang pintu kaca, yang satu melambai ke arah kami. Aku melirik Dinda yang dengan berseri-seri balas melambaian.
“Here they are!” kata Dinda tersenyum nakal padaku.
Mereka datang ke meja kami, dua-duanya ganteng seperti aktor-aktor Mandarin, pantas Dinda menjadikan mereka ‘mainan’ favoritnya. Dinda segera memperkenalkan mereka padaku, ketika berjabat tangan saja bulu kudukku sudah merinding dan darahku berdesir makin cepat. Yang satu bernama Wandi (22 tahun) tubuhnya berisi, terlihat jelas ia rajin fitness sedangkan yang satunya bernama Arvin (20 tahun), tubuhnya lebih kurus dan tidak seputih Wandi, tapi wajahnya lebih imut dengan rambut spike seperti boys band Asia. Keduanya kuliah di universitas swasta dan fakultas yang sama, Arvin adalah junior Wandi yang mengenalkannya pada bisnis part time memuaskan wanita ini. Keduanya memesan minuman dulu, lalu Wandi mengambil tempat di sebelahku dan Arvin di sebelah Dinda. Kami mulai ngobrol, kedua pemuda itu memang pandai membuat pembicaraan menarik sehingga sebentar saja aku mulai merasa nyaman dengan mereka. Suasana cepat menjadi akrab dan hangat, kami tertawa bebas dan bercanda. Setengah jam kemudian, minuman dan dessert yang kami pesan sudah habis, Dinda memberi isyarat untuk ke kamar, mal ini memang bersambung ke hotel di belakangnya dan Dinda sudah membooking kamar sehari sebelumnya. Dari dalam tasnya, ia mengeluarkan kartu akses yang adalah kunci kamar pada Arvin. Kemudian ia mengajakku beranjak dari tempat ini untuk ke kamar duluan agar tidak terlalu mencolok. Kami sampai di kamar di lantai lima, kamarnya cukup mewah dengan ranjang lebar dan seperangkat sofa, Dinda ternyata royal juga untuk urusan seperti ini. Jantungku makin berdebar-debar karena saat itu akan segera tiba.
“Lu pake ranjang aja dulu Len, gua di sofa, make yourself comfortable” kata Dinda, “pengen sama siapa dulu? Wandi atau Arvin?”
“Eerr... itu sih terserah lu aja deh Din!”
Habis berkata terdengar pintu dibuka dari luar dan dua pemuda tadi pun masuk.
“Hai ladies!” sapa Wandi.
Dinda langsung menggaet lengan Arvin dan membawanya ke sofa. Begitu duduk keduanya langsung berciuman penuh nafsu. Wajahku langsung memerah melihat mereka karena selama ini belum pernah melihat orang bercinta secara live. Tanpa canggung Arvin mempreteli kancing kemeja yang dikenakan Dinda dan melucutinya sehingga terlihat bra hitam yang dikenakan temanku itu.


Bulu-bulu tubuhku merinding ketika kurasakan tanganku digenggam oleh Wandi.
“Ci, kita ke ranjang aja!” ajaknya
Aku pasrah dituntunnya ke ranjang, lalu aku duduk di tepinya, ia juga duduk di sebelahku.
“Santai ci, pertama kali emang tegang” katanya mendekap tubuhku membuatku merasa hangat dan nyaman.
Pandanganku tertumbuk ke sofa dimana Dinda membuka celana panjang Arvin beserta celana dalamnya. Tangannya langsung menggenggam penis pemuda itu, menundukkan badan dan menjilatinya dengan rakus.
“Uuuhhh... Mbak Dinda!” lenguh Arvin yang tangannya mulai menyusup ke balik cup bra temannku itu.
Adegan live itu membuat badanku menghangat terutama ada rasa geli disekitar pahaku. Wandi agaknya mengerti yang kualami. Kurasakan tangannya mengelus pahaku dan menyingkap rok gaun terusanku. Aku melirik ke arahnya dan tanpa penolakan sehingga membuatnya makin berani. Diciumnya telingaku dan menghembuskan nafasnya yang hangat sambil berkata pelan,
“Kita jangan mau kalah hot sama mereka ci”
Aku tidak tahu harus berkata apa antara galau, risih, dan birahi, tiba-tiba saja bibir Wandi menempel di bibirku. Mataku membelakak kaget, namun segera terpejam lagi dan terhanyut dalam permainan yang dipimpinnya dengan gemilang. Tangannya meremas payudaraku dari luar dan tangan satunya meraih resletingku di punggung lalu menurunkannya. Kubuka bibirnya dan kusambut lidahnya dengan lidahku, uuhh... pemuda ini sungguh seorang good kisser, lidah kami beradu liar sampai ludah meleleh di pinggir bibir kami. Dengan gentle ia rebahkan tubuhku di ranjang dan ia peloroti gaunku yang telah terbuka resletingnya dengan perlahan sambil menciumi lekuk-lekuk tubuhku. Akhirnya di tubuhku hanya tinggal bra dan celana dalam kuning saja. Ia bangkit berlutut sejenak untuk membuka sendiri pakaiannya, dadanya yang bidang dan perut kencang walau belum six pack itu nampak seksi di mataku. Badan suamiku waktu belum menikah denganku saja tidak seindah ini. Ia menindihku dan kembalil memagut bibirku, kurasakan tangannya bergerak ke punggungku melepas kaitan bra-ku. Kami melepas ciuman agar ia bisa melepas penutup dadaku dulu. Payudaraku yang sedang namun bulat indah itu segera terekspos. Wandi memandang kagum gunung kembarku dengan puting mungil berwarna coklat itu. Tanpa buang waktu lagi mulutnya langsung melumat putingku, kurasakan lidahnya bergerak lincah menyentil-nyentil putingku sehingga nafsuku memuncak. Tangannya mulai merogoh masuk ke celana dalamku, jari-jarinya meraba belahan vaginaku dan menekan masuk mempermainkan bibirnya yang mulai becek.

Aku kembali menengok ke sofa, Dinda dan Arvin sudah telanjang bulat. Kini mereka sedang bergaya 69, Dinda di atas tubuh Arvin sedang mengoral penisnya sementara pemuda itu di bawahnya menjilat dan mencucuk-cucukkan jarinya ke vagina temanku itu. Wandi berhenti mengenyot payudaraku, kini ia menarik lepas celana dalamku perlahan, setelahnya ia renggangkan kakiku sehingga ia dengan leluasa mengamati vaginaku yang ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat.
“Aaawwhh!” desahku saat ia mencucukkan jari tengahnya ke liang senggamaku.
Ia lalu mendekatkan wajahnya ke selangkanganku, dapat kurasakan hembusan nafasnya di sana.
“Harum ci, pasti terawat banget yah ininya!” komentarnya yang memang benar karena aku rutin merawat wilayah intimku dengan rajin minum obat-obatan tradisional.
Aku kembali mendesah dan menggeliat saat kurasakan lidahnya menyapu telak bibir vaginaku sambil jarinya dikeluar-masukkan ke liang senggamaku.
"Eeeemmm... geli Wan!” aku mengerang kegelian, tapi pemuda itu tidak perduli dan meneruskan aksinya di vaginaku.
Jemarinya menyibakkan bulu vaginaku dan mengangakan bibirnya dan menjilatinya dengan gerakan dari bawah ke atas
“Aduh Wan… ini diapain sih?” aku menceracau tak menentu, terutama ketika lidahnya menyentuh klitorisku, terkadang ia menghisap-hisap daging kecil sensitif itu sambil menggerak-gerakkan ujung lidahnya.
“Oooh Wan… udah mau keluar nih…” celotehku membuatnya berhenti melumat vaginaku.
“Sekarang yah ci!” katanya membuka celana dalamnya
Aku hanya mengangguk, wajahku sudah sangat memerah akibat terangsang berat, kulihat penis Wandi mirip dengan milik suamiku, juga sama-sama tidak disunat, standar penis Asia. Saat itu di sofa, Dinda melenguh panjang dan menggelinjang. Arvin berhasil mengantarnya ke puncak kenikmatan dalam gaya 69, nampak pemuda itu menyeruput cairan vagina Dinda, sementara Dinda semakin bersemangat mengocok penis pasangannya itu. Mereka lalu melepaskan diri, dengan gentle Arvin menyandarkan punggung Dinda pada sandaran sofa kemudian dikenyotinya payudara temanku itu sambil tangannya menggerayangi tubuhnya. Pandanganku bertemu dengan Dinda, ia melontarkan senyum padaku yang juga kubalas dengan senyuman lemas. Benda tumpul yang menempel di bibir vaginaku membuatku kembali fokus pada diriku dan Wandi. Pemuda itu melesakkan batangnya sekaligus… blessss… benda itu menyeruak masuk dengan agak mudah karena vaginaku sudah dilumasi lendir.
“Aauuhhh… sudah masuk Wan!” aku menyambutnya dengan pelukan erat
Ini adalah penis keempat yang masuk ke vaginaku setelah aku kehilangan keperawanan dengan mantanku waktu kelas tiga SMA, mantan kedua waktu kuliah, dan suamiku, Evan. Sejenak rasa bersalah mulai menyelubungiku, aku telah melanggar janji suci kami di depan altar waktu menikah dulu. Namun kenikmatan datang menerpa seiring genjotan Wandi membuatku melupakan pergumulan batin itu.
“I still love you Van, ini cuma hubungan badan, gak lebih” aku mencari justifikasi atas perbuatanku ini.

Dengan sepenuh hasrat kupeluk leher pemuda itu, kulumat bibirnya sambil membiarkan penisnya semakin membenam ke dalam liang senggamaku yang sudah basah. Aku merasakan nikmat yang berbeda saat penisnya menghujam ke vaginaku. Penisnya memang mirip milik suamiku, tapi kenapa rasanya begitu nikmat? Benarkah kata orang bahwa hubungan seks dalam perselingkuhan jauh lebih nikmat daripada pasangan yang sah? Entahlah... yang jelas, baru belasan menit Wandi menggenjotku aku sudah mau orgasme saking nikmatnya.
“Jangan.. jangan keluar dulu... tapi... gila, gak kuat gua!” batinku sambil berusaha keras menahan orgasme yang kian menerpa tubuhku.
Akhirnya aku tidak kuasa lagi menahannya, kugapai puncak kenikmatan itu yang membuatku terkejang-kejang saking nikmatnya. Wandi mencium pipiku lalu berbisik terengah,
"Udah keluar ci?"
"Iya.. saking enaknya..." sahutku sambil merengkuh leher pemuda itu ke dalam pelukan hangatku.
Kata-kataku itu membuatnya semakin bersemangat mengayun penisnya. Maju mundur makin cepat di dalam liang senggamaku yang sudah banjir. Genjotannya semakin lancar dan menimbulkan suara berdecak yang nyaring.
Tanpa menghentikan ayunan penisnya, Wandi masih sempat berkata, "Punya cici enak, masih seret, padahal katanya dulu cici melahirkannya normal kan!”
Aku cuma tersenyum dengan hati tersanjung. Kulihat di sofa Dinda sedang naik turun di pangkuan Arvin dengan posisi memunggungi. Kepala pemuda itu menyelinap di lengan kanan Dinda, menjilati ketiaknya yang tercukur licin dan payudaranya sambil tangannya meremasi payudara yang satu lagi. Kulihat payudara Dinda besar juga dibandingkan dengan milikku, kuperkirakan berukuran D-cup. Sungguh ini adalah seks terliar yang pernah kualami, suasana ini membuatku tidak lagi pasif seperti awal tadi. Berkali-kali kuciumi bibir Wandi yang selalu disambutnya dengan lumatan hangat dan mesra. Yang lebih indah lagi adalah ketika aku merasa hampir orgasme lagi, lalu kuajak pemuda itu melepaskan spermanya bersamaan.
“Beres ci!” sanggupnya, lalu mempercepat genjotan penisnya.
Akhirnya puncak kenikmatan yang sangat indah itu kucapai lagi. Aku berkelojotan dan kami saling berpelukan seerat-eratnya. Wandi membenamkan penisnya sedalam mungkin, sampai terasa menyentuh dasar liang senggamaku. Di dalam sana terasa cairan hangat dan kental menyembur-nyembur memenuhi liang vaginaku, yang disusul oleh kejutan-kejutan dinding vaginaku. Sungguh kenikmatan yang luar biasa, dengan suamiku saja aku belum pernah merasakan seperti ini. Aku tidak khawatir akan risiko kehamilan karena kemarin malam aku sudah mengkonsumsi pil anti hamil. Di rumah memang aku menyediakannya karena belum siap memiliki anak kedua.

Kami terkapar, kubiarkan Wandi tetap menelungkup di atas tubuhku. Beberapa saat kemudian ia mencabut penisnya dari vaginaku. Kemudian ia mengambil tissue dari atas meja kecil di samping ranjang dan disekanya vaginaku dengan tissue tersebut sampai bersih. Perlakuannya yang gentle itu sungguh membuatku tersanjung, walau sebenarnya suamiku pun kadang melakukannya. Kulihat Dinda dan Arvin semakin seru, gerak naik-turun temanku itu semakin ganas, sepasang payudara montoknya tidak pernah lepas digerayangi Arvin dari belakang. Ikat rambut Dinda telah terlepas sehingga rambut hitam panjangnya tergerai dan membuatnya terlihat makin seksi dalam kondisi seperti ini. Aku dapat melihat penis Arvin yang sudah basah itu timbul-tenggelam di vagina temanku.
“Abis ini mau tukeran ci?” tanya Wandi mendekap tubuhku.
“Boleh” jawabku dengan mata terus memandang adegan Dinda dan Arvin.
Dinda semakin berisik mendesah-desah, untung saja kamar ini kedap suara, kalau di hotel murahan mungkin suaranya sudah terdengar ke luaran. Arvin meladeni goyangan pinggul Dinda yang binal dengan menyentak-nyentak pinggulnya ke atas sehingga penisnya semakin menghujam ke vagina temanku itu. Keduanya saling berpacu, seolah sama-sama tak mau kalah untuk mereguk kenikmatan birahi. Terkadang Arvin menggigit-gigit daun telinga Dinda, kadang melumat payudara, kadang juga menjilati leher dan ketiaknya yang sudah dibanjiri keringat.
“Arvin… oooohhh yaahh... entot terus Vin... .jangan berhenti, enak... aahh.. ohhh” Dinda makin histeris dan goyangnya makin tak terkendali
Akhirnya tubuh Dinda mengejang tegang dalam dekapan pemuda itu. Keduanya lalu berciuman mesra menikmati sisa-sisa kenikmatan.
“Mbak Dinda kalau ML liar gitu ci, sama kaya cici tapi cici lebih soft” kata Wandi dekat telingaku.
Aku hanya menanggapi dengan menggenggam tangannya yang diletakkan di atas payudaraku.
“Din! Ke sini aja, tempatnya masih luas kok!” panggilku setelah mereka melepas ciuman dan nafasnya mulai teratur.
“Okay say, yuk Vin, kita main di sana rame-rame” sahutnya turun dari pangkuan pemuda itu dan menggandeng tangannya.
Kami bergeser untuk memberi tempat bagi keduanya.
“Gimana Len? Puas gak sama jagoan gua?” tanya Dinda tersenyum nakal
Aku hanya mengangguk dengan wajah memerah. Kami berempat berbaring bugil di ranjang berbincang santai diselingi senda gurau tentang pengalaman barusan sebelum akhirnya Dinda mengajak tukar pasangan. Kedua brondong itu langsung bertukar tempat sesuai permintaan temanku yang adalah klien tetap mereka.

Dinda langsung melahap penis Wandi agar mengeras maksimal, pemuda itu merespon dengan mengelusi punggung Dinda yang berkeringat dan merambat turun meremas payudaranya. Arvin memelukku dan kami berciuman, ia mengelusi tubuhku dan aku meraih penisnya yang masih keras. Hebat juga nih anak, ia masih bertahan setelah membuat Dinda orgasme dua kali. Semoga ia lebih memuaskan dari si Wandi harapku.
“Mau gaya apa ci?” tanyanya sambil mengelus pipiku, wajah kami sangat berdekatan sehingga aku dapat memandangi ketampanannya lebih dekat.
“Doggie aja yah!” ajakku.
“Sip ci!”
Kami segera mengatur posisi, aku menungging sambil bersandar pada bantal dan Arvin berusaha memasukkan penisnya dari belakang. Penis kelima itu segera melesak masuk ke dalam liang kemaluanku yang becek. Ia segera menyodok-nyodok liang senggamaku, membuatku terpejam-pejam lagi saking nikmatnya. Tangannya sesekali menepuk bongkahan pantatku, lalu memeluk pinggulku cukup jauh, sehingga tangannya bisa mencapai vaginaku. Arvin cukup kreatif dalam bercinta, sambil menggenjot dari belakang, ia bisa mengelus-elus klitorisku yang menonjol dengan lembut, sehingga aku meringis-ringis saking nikmatnya. Serbuan erotis di dua titik sensitif itu sungguh membuat darahku berdesir-desir dalam nikmatnya lautan kenikmatan. Wandi yang sedang dioral Dinda di sebelah meraih payudaraku yang menggantung dan memilin-milin putingnya, ia memandangiku sambil senyum, nampaknya ia menikmati ekspresi wajahku yang tengah dilanda kenikmatan ini. Kemudian ia meraih kepalaku dan memiringkan tubuhnya sedikit sehingga dapat melumat bibirku. Aku meladeninya dengan memainkan lidahku sehingga desahanku teredam cumbuan kami. Kami tidak lama melakukannya karena Dinda mengajaknya untuk memulai ronde berikut.
“Hai say!” sahut Dinda merebahkan dirinya telentang di sebelahku.
Kutengokkan kepala ke belakang melihat Wandi berlutut di antara paha Dinda yang telah ia bentangkan. Dengan sekali dorong pemuda itu membenamkan penisnya ke vagina temanku. Desahan nikmat langsung terlontar dari mulut Dinda dan Wandi mulai mengayun penisnya dengan gairah yang berkobar-kobar. Gila... baru sekali ini aku mengalami persetubuhan foursome seperti ini, rintihan kami sahut-menyahut di kamar hotel ini.
"Oooh... Wan.... tusuk lebih dalam dong!" Dinda merengek manja dan erotis.
Di pihakku, pertahananku mulai bobol, aku tak kuat berlama-lama disetubuhi dalam posisi ini apalagi dengan klitoris yang terus-terusan dielus oleh jemari Arvin. Aku makin merasa seolah makin tinggi melayang di langit yang bertaburkan bunga-bunga surgawi, keringatku pun semakin bercucuran membasahi tubuhku.
“Uuuggghh... kita keluar bareng yah ci!!” lenguh Arvin.
“Iyah... ayo semangat, cici juga udah mau!” balasku
Setelah saling berpacu dengan kecepatan tinggi akhirnya aku pun mengejang dan memekik lirih menjemput orgasmeku. Arvin masih terus menggenjot hingga akhirnya tiba-tiba ia mencabut batang penisnya dan buru-buru menelentangkan tubuhku, lalu menyodorkan penisnya ke wajahku. Creeeet... creeet... cairan putih kental bercipratan di wajahku.
"Maaf ci, telat minta ijin buang di luar, keburu crot!" katanya terengah-engah
“Padahal di dalam juga boleh kok” kataku
"Soalnya saya paling suka ngecrotin muka cantik kaya cici ini" kata Arvin tersenyum lemas, “cici gak marah kan?”.
Aku menggeleng, aku memang suka melahap sperma apalagi milik pemuda yang kukagumi ini. Cairannya banyak juga sampai leher dan rambutku juga terkena cipratannya, agaknya aku harus mandi setelah ini. Aku menyeka ceceran spermanya dengan jari dan kuemut-emut, aroma tajam yang khas itu sudah akrab di mulut dan hidungku. Tak lama kemudian Wandi dan Dinda juga akhirnya menuntaskan pergumulan mereka. Dinda mengulum penis pemuda itu hingga muncrat di mulutnya, kuperhatikan kemahirannya menghisap hingga tidak setetespun cairan putih itu meleleh keluar mulutnya. Wandi dibuatnya melenguh dan menggelinjang merasakan dahsyatnya hisapan temanku itu. Setelah mandi dan berpakaian rapi kami pun keluar dari kamar hotel secara terpisah dengan dua brondong itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.32, aku naik ke mobil Dinda untuk menjemput anak-anak kami yang bubar lebih telat karena field trip ke Lembang.

To be continued...
 
Suatu pagi
10. 07



“Hhhmm... mmm... enaaakk, sepongan cik benar-benar mantap” racau nikmat Bang Afif sambil mengelusi rambut wanita yang berlutut di depannya sambil menjilati batang penisnya itu.
Afif Syamsudin (40 tahun) bersyukur dalam hati, meskipun hanya seorang penjaga depot air minum merangkap tukang antar galon di kompleks elite ini, dirinya telah berkesempatan mencicipi tubuh para wanita penghuni kompleks yang berhasil ditaklukkannya mulai dari pembantu rumah tangga, anak gadis, ibu rumah tangga, hingga istri bosnya sendiri. Dari segi wajah, Afif jauh dari tampan, dengan jenggot menghiasi dagunya, namun tubuhnya berisi dan kuat karena dulunya ia pernah menjadi buruh tani di kampungnya di Sumatera Barat, setelah bercerai tanpa anak karena istrinya selingkuh ia pindah ke kota Bandung menjadi penjaga gudang di perusahaan ayah dari bosnya. Pengabdian selama lebih dari satu dekade dengan hasil kerja yang selalu memuaskan membuatnya dipercaya memegang depot air minum milik putra bosnya setelah ia menikah. Rumah yang dipakai usaha itu memiliki kamar tidur dan kamar mandi sendiri sehingga itulah yang menjadi tempat tinggalnya di Bandung, lebih nyaman daripada ketika di mess karyawan yang harus berbagi tempat. Sakit hati dengan penghinaan mantan istrinya dulu yang mengatakan dirinya jelek, tidak pandai menyenangkan wanita, payah dalam bercinta dan miskin pula, membuat Afif dendam dan bersumpah bahwa satu hari nanti dirinya akan menaklukkan wanita-wanita yang jauh lebih cantik dan berkelas daripada mantan istrinya yang hanya wanita kampung lulusan SD itu. Tempaan fisik dalam pekerjaan dan seni bersosialisasi yang ia pelajari baik dari pelacur yang ia gauli, orang-orang yang pernah menjadi rekan kerja, dan lain-lain mengubahnya menjadi Afif yang sekarang, yang mampu menaklukkan wanita tanpa harus menjadi kriminal.


Wanita yang sedang berlutut mengoral penisnya ini bernama Vivi (31 tahun), ibu dari dua putri kembar, suaminya memiliki toko di ruko depan kompleks, tidak jauh dari rumahnya ini.
“Eemm... emmm... hhheemmm” Vivi terus mengulum dan menjilati batang penis Afif
Cukup besar penis pria itu di mulutnya sampai ia agak gelagapan dan air liurnya pun menetes. Perlahan pria itu juga memaju-mundurkan penisnya tersebut mengikuti irama maju-mundur mulut Vivi. Mulutnya tak berhenti meracau merasakan nikmatnya kuluman mulut Vivi. Ibu beranak dua itu kagum dengan stamina si pengantar air ini yang selalu sanggup bertahan lama namun tanpa keluar terlebih dahulu. Sekarang saja ia sudah hampir lima belas menit mengoral penisnya dengan segenap teknik yang dikuasainya, namun belum ada tanda-tanda pria ini orgasme. Akhirnya Bang Afif melepaskan penisnya dari mulut wanita itu.
“Hooshh... nngghh.. heeh” Vivi terengah-engah mengambil udara segar.
“Di kamar yuk cik!” ajak Afif
“Kamar? Jangan ah... suami saya hidungnya sensitif, ntar curiga lagi” tolak Vivi, “di ruang tamu aja kaya biasa”
“Bosen cik, udah sering, yang lain dong!”
“Kalau gitu di rumah sebelah aja! Saya ambil kuncinya dulu”
“Ooh boleh-boleh!”
Vivi lalu mengambil kunci di kamar lalu menuju ke sebuah pintu yang terlihat masih baru di koridor halaman belakang dengan diikuti si pengantar air itu dari belakangnya. Pintu itu ternyata langsung terhubung dengan rumah di sebelahnya yang masih baru. Afif memandangi sekeliling rumah mungil berlantai dua itu, bau cat masih terasa. Tempat itu belum diisi perabotan, di sebuah sisinya nampak tumpukan dus berisi perabotan yang masih belum dirakit.
“Ini tempat buat apa cik?” tanya Afif.
“Buat papa mamanya suami saya, kan Desember ini mereka bakal tinggal di sini, jadi enak ada rumah kecil sendiri dekat kita, tinggal nunggu furniturenya aja ini” tutur Vivi.
“Gitu yah” kata pria itu memandangi sekitar rumah baru tersebut, “ah... cik, ini!” ia mengambil selembar kardus bekas yang bersandar pada pintu dan membentangkannya di tengah ruangan, “bisa berbaring di sini hehehe!!”
Kemudian pria itu menelanjangi dirinya sendiri diikuti Vivi yang merasa tertantang hingga keduanya akhirnya telanjang di tengah rumah baru itu.
“Kita bikin acara ngentot pertama di sini cik!” kata pria itu mendekap tubuh Vivi dan memagut bibirnya.
Wanita itu juga tak mau kalah, ia pun menyambut lidah Afif dengan lidahnya. Mereka saling beradu lidah sambil saling menggerayangi tubuh masing-masing. Tanpa melepas ciuman, Afif membaringkan tubuh wanita itu di atas kardus. Telapak tangannya yang kasar berkapal meremas payudaranya yang kenyal
“Mmmhhh!” desah Vivi tertahan merasakan pelintiran jari Afif yang membuat putingnya mulai kaku dan keras
Tangan yang satunya menuju selangkangannya membelai vaginanya yang ditumbuhi bulu-bulu lembut yang lebat.

Jilatan Afif merambat turun hingga ke selangkangan wanita itu. Dihirupnya aroma vagina Vivi yang sedap karena rajin dirawat dengan perawatan berkelas itu. Aroma itu sungguh membangkitkan gairahnya. Ia pun mengeluarkan lidahnya menjilati bibir vagina Vivi yang mulai becek.
”Aaaaahh... sssshhh!!” desah Vivi menggeliat.
Jemari pria itu juga aktif memberikan sentuhan erotis, jempolnya memutar dan menekan klitoris Vivi yang menonjol keras. Akibatnya tubuh wanita itu langsung bergetar, mulutnya semakin menceracau, nafasnya semakin terengah-engah menahan nikmat yang tak terhingga. Lalu jari tengahnya berputar dengan gerakan mengebor menembus liang vagina yang semakin basah dan licin itu. Tubuh ibu beranak dua itu langsung menggelinjang hebat dan melonjak-lonjak melambungkan dirinya hingga ke awang-awang. Jari tengah Afif terasa seperti dijepit oleh dinding basah dengan sangat kuat disertai dengan kedutan-kedutan yang keras dan cepat.
“Aaakkkhh....” desahan panjang keluar dari mulut Vivi
Lalu tubuh wanita itu melemas dan punggungnya terhempas pada kardus di bawahnya. Nafasnya tersengal-sengal seperti habis lari marathon. Jemari dan lidah Afif telah sukses mengantarnya ke puncak kenikmatan. Afif mencabut jarinya dari liang vagina Vivi yang banjir, ia arahkan jari-jarinya ke mulut Vivi yang langsung menjilatinya, ia merasakan aroma lendirnya sendiri dan mengulum jari pria itu dengan penuh perasaan. Sungguh, dengan si pengantar air galonan itu, ia dapat mengekspresikan diri seliar-liarnya. Nafsu Vivi naik lagi dengan cepat, ia ingin segera merasakan nikmatnya gesekan penis pria itu di dinding vaginanya. Maka tanpa ragu ia menyuruh pria itu berbaring di kardus dan naik ke selangkangannya meraih penis yang masih tegang itu. Vivi mengangkat pinggulnya sedikit sambil mengarahkan kepala penis Afif yang mirip helm tentara itu ke mulut vaginanya.
“Eeenngghh” desah Vivi sambil meringis saat menurunkan pinggulnya hingga penis itu menerobos liang senggamanya.
Di luar dugaan, Afif mulai menggerak-gerakkan penisnya dengan menyentak pinggulnya ke atas sehingga Vivi cukup duduk diam sambil merasakan nikmatnya sodokan Afif yang sedang terlentang. Kemudian ia menjatuhkan dadanya ke atas dada bidang pria itu sambil memeluk lehernya. Mereka pun sama-sama bergerak. Afif menggerak-gerakkan penisnya dengan arah yang berlawanan dengan ayunan pinggul Vivi. Saat Vivi menurunkan pinggul, Afif mendorong penisnya, saat Vivi mengangkat pinggul, Afif menarik penisnya. Keduanya sama-sama aktif saling mengejar kepuasan.
“Pak... duuuuh... jujur aja... aahh... kok saya udah ketagihan ngentot sama bapak yah!!” kata Vivi berterus terang sambil terus menggerakkan tubuhnya.
“Iya... saya juga cik, memek ncik sedap sih” balas Afif meremasi sepasang payudara wanita itu.

Setelah hampir dua puluh menit ber-WOT, akhirnya Vivi sudah tidak tahan lagi, wanita itu menggelepar nikmat di atas tubuh si pengantar air. Vivi merasakan betul liang senggamanya bergetar-getar hebat dan cairan kewanitaanya tak terbendung lagi. Ia menggelinjang dahsyat sambil memeluk leher kokoh Afif.
“Ooooh.... saya udah keluar lagi Pak!” desahnya
Sambil tersenyum Afif membalik posisi mereka dan mengarahkan penisnya ke bibir wanita itu.
”Lebih sering crot lebih baik cik, tandanya cik puas,” katanya sambil mendesakkan penisnya ke liang senggama Vivi.
Afif pun mulai menyenggamai wanita itu lagi dengan perkasanya. Dimintanya Vivi agar melipat kakinya ke atas, sehingga kedua lututnya hampir menyentuh payudara. Dengan pasrah wanita itu menurutinya sehingga kini Afif bisa menusukkan penisnya sedalam mungkin. Setiap kali penis pria itu menghujam, kepala jamurnya selalu menyundul dasar liang kemaluan wanita itu. Alhasil, Vivi pun merintih-rintih histeris dibuatnya. Sebentar saja Afif sudah mengantar wanita itu ke puncak kenikmatan lagi.
“Pakk.... sshhh... nanti buangnya.... aahhh... di mulut saya!” pinta Vivi.
“Siap... asal cik senang aja!” kata Afif terus menggenjot.
Lima menit kemudian ia mencabut penisnya dan buru-buru pindah ke samping wajah Vivi. Wanita itu pun menangkap penis bersunat Afif, lalu mengulumnya sambil menyedot-nyedot, kedua tangannya turut aktif mengurut-urut. Afif mendengus-dengus dan crooot.. crottt. crooot... moncong penis si pengantar air menembak-nembakkan cairan putih kental di dalam mulut si wanita. Vivi langsung melahap semuanya dengan sepenuh gairah, tak tersisa setetes pun.
“Sepongan cik emang nomor satu!” puji Afif sambil membelai rambut Vivi dan menciumi bibirnya dengan mesra.
“Saya juga puas banget ngentot sama bapak!” kata Vivi tersenyum sambil bangkit dan memunguti pakaiannya, “makasih yah!”
Afif keluar dari rumah itu menuju ke gerobak motornya di halaman depan. Sebelum naik ia membaca sebuah pesan WA dari Christine, salah seorang pelanggan
“Pesan dua galon Pak, kirimnya besok jam 11an yah”
“Akhirnya ada mainan baru” kata Afif dalam hati, seringai mesum menghiasi wajahnya.
Afif mengemudikan gerobak motornya pelan, delapan rumah dari rumah Vivi, sebuah BMW hitam berhenti di sebuah gerbang dan pintu kemudi membuka.
“Siang Pak!” sapa wanita cantik berambut pendek memakai blazer krem dengan rok selutut yang turun dari mobil itu.
“Siang Bu!” Afif melambai dan balas menyapa wanita itu sambil terus mengemudikan gerobak motornya.
“Ngarep yang satu ini sebenarnya, kapan ya ada kesempatan?” kata Afif dalam hati membayangkan wanita tadi yang bernama Imelda (36 tahun), seorang ibu beranak dua, yang adalah istri pendeta. Tentu perlu usaha ekstra keras untuk dapat menikmati wanita religius seperti itu.



POV Christine
11. 03


Siang itu dengan hati berdebar-debar aku menanti kedatangan Bang Afif, si pengantar air galonan di kompleks ini ke rumahku. Saat itu pakaian yang kupakai adalah gaun terusan rumahan dengan dada agak rendah dan menggantung sejengkal di atas lutut. Entah mengapa selama masa menunggu itu aku merasa diliputi kegalauan erotis yang tak kupahami. Arlene telah mengutarakan niat perselingkuhanku ini pada Bang Afif dan aku juga telah membuat janji hari ini dengan alibi memesan air galon pada jam segini sebagai kode. Bayangan liar mengenai apa yang akan terjadi sebentar lagi membuat bulu-bulu di tubuhku merinding. Kubuka tutup botol anggur merah suamiku dan kutuangkan isinya ke gelas. Aku sebenarnya tidak suka minuman beralkohol tapi kali ini aku membutuhkannya untuk menenangkan diri, lagipula yang ini kadar alkoholnya ringan, hanya 20 persen. Kuteguk sekaligus gelas yang setengahnya berisi wine itu. Tiba-tiba bunyi bel musik memecah lamunanku. Oh! Bang Afif! tak salah lagi, pasti dia! Kuintip dari jendela, benar saja! Kulihat pria itu sedang berdiri menunggu di depan pintu gerbang rumahku. Di sampingnya nampak gerobak motor yang selalu bersamanya setiap mengantarkan air galon. Dengan hati berdebar aku melangkah ke luar rumah untuk membukakan gerbang.
“Siang cik, ini airnya dua galon yah!” sapa pria itu begitu aku keluar dan membukakan gembok.
Ia tetap bersikap sopan seperti biasa namun aku merasakan sekali matanya tertumbuk ke arahku seperti menembus ke balik pakaian hingga relung-relung batinku yang sedang ada celah kosong ini.
“Siang pak, iya dua, masukin ke dalam aja seperti biasa!” aku mempersilakannya masuk memarkirkan gerobak motornya di pekaranganku.
Semua berlangsung seperti biasa, ia mengangkut dua galon baru ke tempat biasanya di bawah tangga lalu ia membawa yang kosong. Kunyalakan televisi untuk menepis kegugupanku hingga tak lama kemudian....
“Cik, saya mau omong, cik Arlene udah cerita semuanya ke saya” kata pria itu berhenti di dekatku dengan menenteng dua galon kosong.
“Aahh... iya...” jawabku gugup dan tanganku mulai berkeringat dingin.
“Permisi boleh saya duduk? Kita perlu omongin dulu” katanya lagi.
“Iya silakan Pak!” suaraku sedikit bergetar.
Kuperhatikan wajahnya yang keras dengan jenggot di dagunya, otot-otot di lengannya nampak menonjol kuat. Ia dengan santai duduk di sebelahku,

“Emang Arlene cerita apa aja ke bapak?” tanyaku
"Yah intinya sih, cik ini butuh sesuatu untuk mengisi kesepian selama ditinggal suami soalnya jenuh sama kehidupan seksnya, bener?” ia menatapku
Aku hanya menganggukkan kepala saja sebagai jawabannya.
“Cik jangan tegang, jangan takut” ia meraih tangan kananku dan menggenggamnya, yang anehnya aku diam saja tidak menolaknya, “saya ini bukan penjahat kelamin, saya gak maksa, juga gak memeras... jadi semua ini dilakukan suka sama suka, sama-sama senang, sama-sama puas, itu aja, sampai sini cik paham?” pungkasnya
“Iyah!” aku mengangguk lagi, saat itu aku merasakan wine yang kuminum sudah mulai berpengaruh, badanku menghangat dan kepala sedikit berputar.
“Lalu yang perlu saya tekankan lagi, hubungan ini jangan pernah bawa perasaan, cukup hubungan badan saja, karena kalau udah main perasaan, bisa berabe, cik pasti ngerti kan?”
“Jadi cik yakin bersedia?” tanyanya lagi setelah aku mengangguk “kalau misalnya cik berubah pikiran pun saya gak akan maksa, saya gak mau merusak rumah tangga orang, jadi kuncinya adalah cik sendiri, kalau yakin kita lanjut”
Aku menghela nafas tidak langsung menjawabnya. Ini sungguh suatu perbuatan yang tidak pernah kulakukan seumur hidupku, namun kini fantasi liar itu mengalahkan segalanya, memadamkan rasa maluku dan mengobarkan gairah nakal dalam tubuhku. Pandangan-pandangan seks liberal dari Arlene dan teman-teman mama muda di sekolah terus terlempar bagaikan pisau ke benakku, ditambah lagi pengaruh alkohol yang menghangatkan itu.
“Saya bersedia Pak, tapi tolong jaga rahasia ini” tegasku
“Udah pasti cik, ini antara kita saja, kalau sampai kedengaran kan saya juga yang susah cik, orang kecil kaya saya bisa apa kalau satu kompleks ngegerebek saya bawa polisi, iya kan? Nah kalau udah sama-sama ngerti, bisa kita mulai aja cik, saya masih harus nganter lagi takutnya”
Kembali aku mengangguk, lalu tiba-tiba Bang Afif menarik tanganku hingga tubuhku jatuh dalam dekapannya. Tanpa berkata apa-apa ia langsung mencium bibirku, dadaku semakin berdegup kencang ketika kurasakan lidahnya menyeruak masuk ke celah bibirku dan menggelitik hampir semua rongga mulutku. Darahku langsung berdesir dan bulu tengukku merinding karena mendapat serangan mendadak itu. Aku risih dan malu tapi badanku memanas, terutama ada rasa geli disekitar pahaku, ternyata pria itu mengelus pahaku hingga rokku tersingkap, kurasakan tangannya yang kasar itu pada kulit pahaku yang lembut, sensasinya sungguh berbeda dari suamiku.

“Oohh... Tin, ini sungguh tidak pantas, kamu seorang istri, seorang ibu! Tapi kelakuanmu mirip pelacur!”
“Kenapa tidak? Ini hanya selingkuh badan, bukan selingkuh hati... kamu tetap bisa mencintai suamimu dan anak-anakmu, ini hanya untuk kesenangan!” batinku bergumul
Kemahiran Bang Afif mengobarkan nafsuku menyebabkan nafsu birahi semakin kuat menguasaiku secara perlahan tapi pasti. Permainan lidahnya dan elusannya yang kini telah sampai ke selangkanganku dan mengelusinya dari luar celana dalam telah membuat diriku terbakar dalam kenikmatan, bahkan dengan suamiku sekalipun aku belum pernah merasakan rangsangan sehebat ini. Aku menyerah pada nafsu, kubiarkan pria ini berkuasa atas diriku. Bang Afif juga nampaknya mulai terangsang, aku dapat merasakan napasnya terengah-engah. Di tengah percumbuan kami, aku juga mendesah menahan kenikmatan yang sudah membakar akal sehatku. Tangan pria itu mempreteli kancing bajuku di depan, tak ayal lagi, payudaraku yang tertutup bra hitam tanpa tali bahu terbuka di depannya. Dengan cekatan tangannya melepas bra itu sehingga buah dadaku terbuka tanpa tertutup sehelai apapun. Aku berusaha menutupi dengan mendekapkan lengan di dadaku, namun Bang Afif memegangi lenganku dan merentangkannya. Ia rebahkan tubuhku di sofa dan menyelipkan bantal kursi ke bawah kepalaku. Tanpa membuang waktu, bibirnya melumat payudara kananku dan tangannya meremas-remas payudara yang satunya. Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain menggeliat dan mengerang karena kenikmatan terlarang yang mencengkeram diriku. Aku menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan karena sensasi geli-geli nikmat ketika payudaraku dilumat olehnya. Kemudian mulutnya turun menciumi perut dan pusarku. Sekali lagi aku hanya mendesis-desis mendapat serbuan erotis itu. Aku pasrah saja ketika gaun terusan dan celana dalamku dilucuti dengan satu tarikan. Sekarang tubuhku yang ramping dan berkulit putih ini benar-benar telanjang bulat di hadapan si pengantar air ini. Wajahku benar-benar memerah antara malu dan pengaruh alkohol, aku belum pernah sekalipun telanjang di hadapan pria selain suamiku. Aku juga tidak menyangka diriku akhirnya melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai konservatif yang kuanut selama ini.
“Bentar yah cik!” katanya lalu melepas semua pakaian yang menempel di tubuhnya.
Aku dapat melihat tubuh Bang Afif yang berisi dan berkulit gelap, namun yang membuatku lebih terpana adalah benda panjang di selangkangannya. Benda yang sebesar pisau dapur itu berwarna coklat tua dengan urat-urat menonjol di batangnya, ujungnya disunat menyerupai jamur. Kuperkirakan ukurannya nyaris dua kali milik suamiku. Perasaanku bercampur baur antara ngeri, gemas dan penasaran membayangkan benda itu akan mengaduk-aduk vaginaku, bisa-bisa aku pingsan digarap habis olehnya.

“Cik bener-bener cantik kaya bidadari, badannya juga bagus, ramping, ideal banget! Saya senang dikasih kesempatan seperti ini sama cik!” puji pria itu mengagumi tubuh polosku dan menjamahinya dengan tangan kasarnya.
Aku tersipu malu dan salah tingkah, tersanjung oleh pujiannya. Kemudian ia mendekap dan menindih tubuhku. Darahku bergolak ketika merasakan dada bidang Bang Afif menempel erat di dadaku, gesekan kulitku yang lembut dan kulitnya yang kasar menimbulkan sensasi nikmat. Baru kali ini kurasakan dekapan pria lain selain Robi. Ia menciumi sekujur tubuhku, sementara tangannya juga aktif meremasi payudaraku dan mempermainkan putingnya yang sudah mengeras.
“Aaahhh!” desahku tersentak ketika kurasakan ada benda yang masuk dan menggelitik liang vaginaku.
Ternyata Bang Afif mencucukkan jari tangannya ke sana, ia memutar-mutarkan telunjuknya di dalam liang vaginaku sehingga aku tidak kuat lagi menahan kenikmatan yang menderaku. Secara refleks aku memutar-mutarkan pinggulku. Kemudian ia melancarkan serangan erotis berikutnya dengan menelusupkan kepalanya di selangkanganku. Kembali aku menggeliat dan mendesah saat bibir dan lidahnya melumat habis vaginaku. Tidak kuat menahan kenikmatan itu, tanpa sadar tanganku menjambak rambut Bang Afif yang masih melahap vaginaku. Aku benar-benar telah tenggelam dalam lautan birahi. Pinggulku mulai bergerak teratur seirama jilatan lidah Bang Afif di vaginaku, aku pasrah dan menikmati permainan itu. Lidahnya yang kasap itu seperti ular menari-nari di vaginaku, menjilati bibir, dinding dalam hingga klitorisnya. Aku dibuatnya mendesah dan menggeliat tak karuan menerima kenikmatan darinya. Seluruh rasa nikmat berkumpul di klitorisku membuat pertahananku akhirnya jebol juga. Vaginaku berkedut-kedut dan mengucurkan lendir mencapai orgasme, pria itu dengan rakus menyeruput cairan kewanitaanku. Setelahnya, ia mencium dan mengulum bibirku, tanpa sadar aku membalas lumatan bibirnya dengan nafsu pula, kurasakan cairan vaginaku sendiri masih tersisa di mulutnya, bibir mungilku terasa sangat basah olehnya.
“Sekarang yah cik!” katanya sambil merenggangkan pahaku dan menempelkan ujung penisnya yang seperti jamur itu di belahan bibir vaginaku.
“Pelan yah Pak, jangan nyakitin!” ujarku lirih.
“Saya gak pernah nyakitin cik, yang ada malah ngasih enak hehehe... uuuggghh!!” habis berkata pria itu menekan masuk penisnya ke liang nikmatku sehingga membuatku juga ikut merintih.
“Ouhh... masih rapat yah cik... kaya punyanya gadis, padahal anak cik udah dua kan” pujinya lagi membuatku semakin melayang tersanjung.
Penis Bang Afif keluar-masuk secara teratur di vaginaku dan aku mengimbanginya dengan gerakan pinggul memutar.
“Aaahh... terusin Pak.. enak” ucapku secara tak sadar
“Cantik... cik tambah cantik kalau lagi terangsang gini”
Kuakui permainan pria ini memang luar biasa, romantis, lembut, tapi sungguh memacu birahiku secepat genjotannya di tubuhku disertai sanjungan dan kata-kata erotis yang semakin membuatku terbuai. Eranganku sudah tak tertahankan lagi, aku memang ribut bila bercinta, dengan suamiku biasanya kami bercinta bila malam anak-anak sudah tidur atau ketika mereka tidak di rumah.

Sungguh yang kini menjadi partner bercintaku adalah seorang pria jantan, entah selain aku dan Arlene, siapa lagi wanita di kompleks ini yang sudah ditaklukkannya. Setelah beberapa saat lamanya kami mencapai orgasme berbarengan, lenguhannya dan desahanku bercampur baur menciptakan suasana erotis di ruangan ini. Ia ambruk menindih tubuhku, kami berpelukan dengan nafas terengah-engah. Kemudian ia turun dan mengambil air di minibar dekat sini, dibawakannya segelas air padaku.
“Minum dulu cik!” ia menyodorkan gelas tersebut.
“Makasih” aku menerimanya dan segera meneguk isinya sampai habis.
Bang Afif memang tidak tampan, bahkan tampangnya sangan ndeso, tapi ia tahu bagaimana menyenangkan dan memuaskan wanita.
“Ayo sekarang giliran cik yang aktif, bikin saya nafsuan lagi!” kata Bang Afif.
Walaupun merasakan malu untuk bertingkah binal, namun aku mencoba membayangkan pria ini adalah Robi, kucoba melakukan apa yang biasa kulakukan pada suamiku untuk merangsangnya. Kumulai dengan menggerakkan tanganku di sekujur tubuhnya, kugesekkan payudaraku pada dadanya yang bidang. Pria itu menutup mata menikmati perlakuanku dan aku mulai menciuminya. Kucium putingnya yang berbulu sehingga membuatnya merintih nikmat.
“Oohhhh…. Cik pinter juga nyenengin pria yah!” lenguhnya
Kugeser tubuhku ke bawah dan kugenggam penisnya yang mulai setengah terbangun. Kini wajahku tidak sampai sejengkal dari batang yang gagah perkasa itu, aroma keringatnya memberi kesan jantan, baru kali ini aku melihat penis bersunat seperkasa ini. Tanganku mulai mengocok lembut benda itu. Kujilati batang berurat itu membuatnya mendesah sambil meremas rambutku, kemudian aku membuka mulut selebar-lebarnya dan memasukkannya ke mulut.
“Yaahhh... mantapphhh cikkk!!” desahnya sambil tangannya meremasi payudaraku.
Kepalaku bergerak naik-turun perlahan mengoral batang penisnya hingga kurasakan benda itu semakin mengeras di mulutku.
“Udah cik, ayo sekarang kita berdiri!” Bang Afif melepaskan penisnya dari mulutku dan menarik tubuhku hingga berdiri.
Didorongnya punggungku hingga posisiku kini berdiri menungging dengan tangan bertumpu pada sandaran sofa. Dari belakang Bang Afif kembali menghujamkan penisnya ke vaginaku.
“Ahh... oouhh.... ” desahan nikmat terlontar dari mulutku saat pria itu menggenjotku dalam doggie style berdiri.
Semakin lama sodokan penisnya semakin keras sehingga membuatku semakin tak terkendali. Tangan pria itu tak henti-hentinya meremasi payudara dan pantatku. Gelombang kenikmatan menjalari tubuhku.
“Aaah Pak.... saya udah gak kuat... oohh...”
Aku tak kuasa lagi membendung kenikmatan itu, dinding vaginaku berkontraksi cepat akibat gesekan dengan penisnya. Kugerak-gerakkan pinggulku maju-mundur menyambut sodokannya hingga akhirnya tubuhku menggelinjang dan aku menjerit nikmat penuh kenikmatan. Bang Afif terus menggenjot selama dua-tiga menit ke depan hingga akhirnya ia memeluk erat tubuhku. Penisnya memuntahkan cairan hangat ke dalam rahimku. Oh, sungguh orgasme yang dahsyat menerpa kami sebelum akhirnya roboh kelelahan di atas sofa.

Kami berpelukan telanjang di sofa dengan nafas terengah-engah, tidak berkata apapun.
“Permainannya luar biasa... sangat jantan dan bertenaga!” aku hanya bisa memujinya dalam hati, tidak berani mengungkapkan secara terus-terang.
Tak lama kemudian, pria itu melepas pelukannya dan mengecup keningku.
“Saya masih harus kerja lagi cik, pergi dulu yah!” katanya sambil memunguti pakaiannya.
“Eerr... sebentar Pak!” aku bangkit dengan malas dan mengambil selembar lima puluh libuan dari laci, “kembaliannya ambil buat bapak aja!” aku merasa wajib memberi tips sebagai penghargaan bagi pria yang baru saja menambal celah kosong dalam kehidupan seksku itu.
“Makasih cik, kalau perlu saya, tinggal panggil aja!” ia menerima uang itu.
Setelah berpakaian, ia pergi tanpa banyak bicara. Aku merenung sambil berendam di bathtub membersihkan diriku. Perasaan menyesal tiba-tiba melingkupi diriku, aku merasa telah mengkhianati suamiku yang kini sedang bekerja demi keluarga. Aku yang seorang istri dan ibu dari dua anak ini telah memberikan diriku pada seorang pengantar air galonan seperti seorang perempuan murahan. Kenikmatan terlarang ini sungguh merubahku dari seorang istri setia menjadi wanita penyeleweng. Namun anehnya peristiwa itu terus terulang ke depannya, setiap seminggu hingga sepuluh hari sekali Bang Afif datang ke rumahku mengganti air galon setiap jam siang atau sore ketika suami dan anak-anak tidak di rumah. Hampir semua kunjungan berakhir dengan hubungan seks yang tidak mampu kutolak. Daripada semakin galau memikirkan pertentangan nurani, biarlah yang terjadi, terjadilah.. yang penting aku tetap menyayangi suami dan buah hatiku, aku tetap memenuhi kewajiban sebagai istri dan ibu. Pandangan-pandangan liberal tentang seks dari teman-temanku di sekolah anak juga kian mempengaruhiku untuk menjustifikasi penyelewenganku. Aku mengkompensasikan guilty feeling ini dengan memberi perhatian lebih banyak pada suami dan anak-anak. Alhasil harus kuakui, aku dan keluarga justru semakin mesra. Hingga kini aku memandang bercinta dengan Bang Afif adalah pelengkap kehidupan seksku di samping dengan suamiku, ibaratnya suamiku itu adalah main coursenya, sementara si pengantar air itu adalah dessertnya yang membuat makan semakin nikmat.



Epilog

Dua tahun kemudian
Hari Minggu, pukul 11.10

Rumah Arlene yang luas telah ditata secara apik untuk perayaan ulang tahun pertama putra keduanya. Makanan dan minuman telah tersedia di koridor belakang. Tamu-tamu sudah mulai ramai berdatangan sejak setengah jam sebelumnya. Suasana sangat hidup dan cerita, anak-anak bermain dengan riang gembira di taman belakang dan sebagian lain di ruang tengah bermain PS4 bersama Jayden, putra sulung Arlene. Para papa dan mama saling berkumpul dalam beberapa kelompok sibuk berbincang sambil menikmati snack dan minuman. Mayoritas dari tamu yang hadir adalah teman-teman sekolah Jayden dan kerabat yang tinggal di Bandung, serta beberapa teman gereja dan tetangga dekat. Arlene, yang hari itu tampil cantik dengan gaun terusan pink, tengah menyiapkan es puter di dapur dibantu oleh Christine, tetangga dan teman dekatnya.
“Len, omong-omong papa biologis si Jason lu undang ga?” tanya Christine setengah suara sambil menaburkan sesendok kecil tape hitam ke setiap cup es puter yang disekop Arlene setelah pembantu meninggalkan dapur.
“Ya gak lah, emang dia siapa?” jawab Arlene, “sstt... jangan omongin itu disini ah, telinga di mana-mana tau” katanya sambil menyikut pelan Christine.
Kedua wanita itu pun tertawa cekikikan sambil meneruskan pekerjaan mereka.
“Say, ada si Widya tuh!” sahut Evan, suami Arlene, yang muncul di ambang pintu.
“Ohh iya... ini dua lagi!” sahut wanita itu.
“Udah gua aja, lu ke depan sana!” tawar Arlene meraih sendok es krim dari tangan Arlene, “dikit lagi kan”
“Eeerr.... oke sori yah Tin, ngerepotin, thanks loh!”
“Iya... iya... gih sana!” Christine meneruskan sisa pekerjaannya.
“Siapa emang Van?” tanya Christine setelah Arlene meninggalkan mereka.
“Sepupunya dari Jakarta” jawab pria itu, “udah sini Len, masa tamu yang ngelayanin sih” Evan hendak meraih baki berisi cup-cup es puter itu ketika Christine hendak mengangkatnya.
“Udah... this is women job... lu sana gih layani tamu, hussh..... husshh!” kata wanita itu agar Evan tidak menghalanginya.

--------------

“Sis!! Hai pakabar, long time no see nih!” Arlene menyambut wanita berpostur tinggi langsing yang baru turun dari mobil.
“Hai... tambah cantik aja nih!” sapa wanita bernama Widya itu, keduanya berpelukan dan cipika-cipiki di pekarangan rumah yang bisa menampung lima mobil itu.
“Halo Ted!” sapa Arlene pada suami wanita itu yang baru mengeluarkan putra kecil mereka yang tertidur di jok belakang dan menggendongnya, “Duh Leo-nya masih bobo ya!”
“Iya nih, tadi di jalan agak macet sih, capek dia kayanya kemaren tidurnya kurang” kata Tedi.
“Ayo... ayo masuk, langsung makan aja, udah mulai kok!” Arlene mempersilakan mereka masuk.
Baru saja mereka melangkah masuk ke rumah, mata Arlene tertumbuk pada sebuah mobil putih yang parkir di seberang rumahnya. Senyum mengembang di bibir tipisnya melihat siapa yang turun dari mobil tersebut.
“Din! Wah... wah... lengkap nih hari ini! Seragam lagi” sapa Arlene pada Dinda yang datang memakai gaun batik bercorak sama dengan kemeja yang dipakai suaminya serta pakaian ketiga anak mereka, “hai mas!” sapanya pada suami Dinda yang lalu balas menyapanya.
“Iya kan hari ini dia lagi gak terbang” kata Dinda.
“Ayo... ke dalam yuk! Ada sulap sama game loh!” kata Arlene pada tiga anak mereka.
Kemudian ia masuk beriringan dengan Dinda yang bergandengan mesra dengan suaminya itu. Mereka pun berbaur dengan lusinan tamu lainnya.

--------------------------
Tedi nampak sedang berbincang dengan seorang wanita sambil menemani anaknya yang sedang bermain dengan anak wanita itu.
“Oh kamu ngekost di sana, berarti kamu kenal si Rico dong?” tanya Tedi
“Rico... “ wanita itu tersenyum dikulum, “Rico yang sama Amel?”
“Aahhh... iya, iya bener, itu dia! Mereka udah merit sekarang”
“Yeahh... old memory” kata wanita bernama Hany (34 tahun) itu lalu meneguk minumannya dulu, “udah lama banget, gak kerasa, kita semua udah berkeluarga atau ada anak”
“Kalau gitu kamu juga anggota klub itu dong” Tedi memelankan suaranya, “orgy club’
Hany tersenyum dipaksa menyembunyikan kegugupannya, “Eerr... itu...”
‘Tenang.... santai aja, gua gak maksud jahat kok, Rico emang pernah cerita ke gua soal itu”
“Yah terus terang sih emang gitu, emang banyak kenangan nakal di sana” kata Hany mengenang.
“Terus klub itu masih ada sampe sekarang?”
Hany menggeleng, “Om sama tante kostnya udah pindah ke luar negeri tiga atau empat tahun lalu, kostnya juga udah dijual, that’s the end of the club” ia lalu menyuapkan kue ke mulutnya.
‘Kesini sama anak aja? Suami ga ikut?”

“Eehhmm” Hany mengangguk, “gua single mother, kamu?”
“Oh itu istri gua, lagi sibuk sama sepupunya” Tedi menunjuk istrinya yang ngerumpi dengan Arlene dan beberapa wanita lain.
“Rico banyak cerita tentang klub ke kamu ya keliatannya”
“Gak juga, dia junior gua, pernah sekelas jadi kita agak dekat, cuma cerita sekilas aja lah”
“Gua mau ke toilet dulu nih, tapi di sana penuh” kata Hany dengan nada menggoda.
“Yang di lantai dua aja, ntar gua omong ke si Evan” lalu Tedi mendatangi Evan yang sedang mengobrol dengan beberapa tamu tidak jauh dari mereka.
“Ooh... iya silakan yang di dekat kamar ujung mbak!” kata Evan yang mengenali Hany sebagai salah satu orang tua teman anaknya.
“Gua anter aja Van!”kata Tedi
“Iya, lu tau kan, naik aja sana!” kata Evan.
Tedi lalu mengantarkan wanita itu ke toilet lantai dua meninggalkan sejenak anak mereka yang kini sedang duduk manis menonton sulap yang dipertunjukkan oleh dua orang badut. Suasana sepi di sana, kontras dengan lantai bawah yang meriah.

-----------------------------
“Jason kok mukanya agak mirip sama anaknya Lisa yah?” kata Imelda, si istri pendeta membandingkan balita yang tengah dipangku Arlene dengan Davin, putra Lisa, si pemilik depot air minum, yang sedang tampil di depan untuk membantu atraksi sulap si badut.
“Hhhmm... idungnya sih sama-sama lebar, mulutnya juga mirip” kata Dinda memperhatikan
“Ciiee... jangan-jangan papanya sama nih!” sahut seorang wanita lain yang anaknya satu sekolah dengan Jayden.
Wanita-wanita yang berkumpul di situ langsung ketawa cekikikan.
“Ssstt... Len, kayanya ketahuan juga nih kita suka berbagi suami” kata Lisa berkelakar.
Kembali para mama-mama muda itu tertawa-tawa. Lisa dan Arlene pura-pura ikut tertawa dan tersenyum dipaksa, dalam hati mereka sebenarnya deg-degan, masing-masing tahu siapa sebenarnya ayah biologis anak mereka.

-------------------------------
Di kamar mandi lantai atas

“Mmhh... eeenngghh!!” Hany mendesah tertahan dan menggelinjang di tengah percumbuannya dengan Tedi ketika pria itu mempraktekan teknik fingering-nya.
Gaun terusan wanita itu telah tersingkap dan tangan Tedi merogoh ke dalam celana dalamnya. Ibu jari dan telunjuk pria itu menemukan klitoris Hany dan memainkannya. Wanita itu memperat dekapannya, pinggulnya bergetar-getar menahan nikmat saat pusat pertahanannya mendapat sentuhan-sentuhan erotis Tedi.
“Kita mulai aja, waktu kita gak banyak! Takutnya ada yang datang” kata Tedi, pengalaman membuatnya mahir membaca situasi.
“Sure... gua juga udah gak sabar!” jawab Hany dengan nafas terengah-engah, “tar... gua buka dulu biar gak kusut!”
Hany melepaskan gaun terusannya hingga tersisa pakaian dalamnya saja, lalu berlutut di depan Tedi dan dengan cekatan ia membuka ikat pinggang serta celana, digenggamnya penis Tedi yang sudah ereksi.
“Uuuhh!!” desah Tedi merasakan tangan halus wanita itu mengocoki penisnya.
Hany membuka mulutnya dan melahap batang penis Tedi, dikulumnya benda itu hingga mentok di kerongkongannya. Hisapan-hisapannya sungguh dahsyat sehingga membuat Tedi terpaksa harus menghentikannya agar tidak muncrat lebih awal.
“Oke... sekarang” pinta Hany membalikkan tubuhnya dan menungging ke arah Tedi, ia menyandarkan tangannya ke tembok.
Mendapat instruksi itu, Tedi langsung memeloroti celana dalam Hany hingga lutut. Ia arahkan penis di genggamannya ke liang senggama wanita itu.
“Hhmmhh...” lenguh Hany menahan volume suaranya saat penis Tedi melesak masuk.
Tedi membiarkan sesaat penisnya merasakan sensasi hangat serta denyutan vagina wanita itu meremasi batangnya. Sadar tak punya waktu lama, Tedi mulai menggenjotnya pelan
“Sssstttttt.... eemmhh” rintih Hany merasakan gesekan di dinding vaginanya
Penis Tedi bergerak maju mundur menyodoki vagina Hany. Tangannya aktif menggerayangi payudaranya yang keluar dari cup bra-nya, sesekali ditariknya putingnya yang membuat wanita itu semakin blingsatan. Sebagai wanita yang berpengalaman dalam bercinta, Hany tidak diam saja, ia memutar pinggulnya sehingga membuat pria itu merem-melek merasakan penisnya seperti diplintir.
Plookk... plookk... ploookkk.. benturan kelamin mereka terdengar di kamar mandi itu bercampur dengan desahan tertahan. Hingga akhirnya.....
“Oohhh... gua keluarhh... “ Hany mendesah lirih saat otot-otot vaginanya berkontraksi akibat orgasme yang sebentar lagi melanda.
“Sama... kita barengan yah... uuhh” Tedi makin kencang mengenjot.
Adrenalin mereka turut berpacu karena rasa was-was kalau ada yang datang mengetahui perbuatan mereka yang makin membuat pergumulan makin seru.
“Oh yesshh... oogghh!!” Hany menjerit ditahan saat gelombang nikmat itu menyelubunginya.
Tedi terus mengenjotkan penisnya dan diakhiri dengan tusukan yang dalam
“Uuuhh... ” lenguh Tedi menyemprotkan spermanya di dalam sana.
Deru nafas mereka masih memburu menikmati sisa persetubuhan mereka. Perlahan Hany melepas tubuh mereka dan membuka tutup kloset lalu duduk di atasnya. Ia menyiramkan semprotan ke vaginanya mencuci sisa persetubuhan tadi.
“Thanks buat quickienya yah!” kata Tedi sambil menaikkan kembali celananya
“Sama-sama, temannya Rico temannya gua juga, ga usah sungkan” balas Hany, “I also enjoyed it”
Kemudian Tedi membuka pintu perlahan dan mengintip ke depan.
“Aman!” kata Tedi pada wanita itu, “gua yang turun duluan yah”
Hany mengangguk dan tersenyum lemas.

---------------
“Gimana? Udah puas di atas?” tanya Widya seraya menyodorkan orange juice pada suaminya yang baru muncul.
“Yup, pake banget!” kata Tedi menerima gelas itu dan merangkul pinggang ramping istrinya itu, “udah kebelet tunggu gilirran yah?”
Widya tersenyu nakal dan mencubit lengan suaminya itu.
“Emang udah ada calon nih? Siapa? Cowok itu yah yang tadi ngobrol sama lu?” tebak Tedi memandang ke arah suami Dinda yang pilot itu.
“Ada aja...” senyum Widya makin lebar.
Pasutri itu nampak sangat mesra sambil sesekali mempehatikan anak mereka yang sedang menikmati game bersama anak-anak lainnya.
“Hoi, gimana nih kabar?” sapa Evan, sang tuan rumah, menghampiri mereka.
Mereka berbincang akrab beberapa saat sampai Widya pamit ke toilet karena pembicaraan mereka lebih didominasi bisnis dan urusan pria. Tedi penasaran siapa yang akan digaet istrinya itu, nampaknya bukan suami Dinda seperti yang ditebaknya, karena Widya melewati pria itu yang masih sibuk ngobrol dengan orang lain. Widya nampak membaurkan diri dengan sepupunya dan beberapa wanita lain. Atau sesama wanitakah karena istrinya itu memang menikmati juga hubungan sesama jenis. Biarlah nanti saja tunggu cerita dari istrinya, rasa penasaran memang membuat hidup lebih seru.

--------------------
Seperempat jam kemudian
Gudang belakang



Di gudang belakang rumah Arlene yang jauh dari keramaian, nampak sepasang manusia tengah bergumul. Widya yang berbaring di atas sebuah meja bekas mendesah-desah karena disenggamai oleh salah satu badut pesta yang menopang kedua paha indahnya. Widya sudah tidak lagi mengenakan celana dalamnya, sementara gaun terusan turtle neck berwarna abu-abunya sudah tersingkap hingga ke atas dadanya, dan bra krem dengan kait di dadanya pun sudah terbuka memperlihatkan sepasang payudara indahnya. Si badut, yang adalah pria berusia awal tiga puluhan itu, tinggal memakai baju norak berwarna warninya tapi bantal perut yang memberi efek gendut sudah dikeluarkan agar lebih nyaman bersetubuh. Tak mau diam, Widya juga menggoyang pinggulnya selentur mungkin, sehingga vaginanya membesot-besot penis si badut. Ini bukan hanya memberi kenikmatan bagi si badut, tapi juga membuat wanita itu lebih nikmat, karena ia dengan sengaja menggesek-gesekkan klitorisnya ke penis si badut. Dalam arus birahi yang deras ini, si badut meraih payudara Widya dan meremas-remasnya dengan gemas. Ayunan penis badut itu terkadang cepat seperti pembalap sepeda yang sedang sprint, terkadang juga perlahan seperti ombak yang tengah berlenggak-lenggok di tengah samudra.
“Dududuuuuh... ci.... oooh... kok enak banget yah” ceracau badut itu.
“Namanya juga ngentot... pasti sama-sama enak dong mas... ah... ahh” kata Widya
“Tapi... saya baru pernah ngerasain yang kaya ci ini, mantap banget” puji si badut.
Badut itu semakin garang menyetubuhi Widya dan wanita itu. meringis-ringis menahan nikmat yang hampir melewati batas. Batin Widya semakin melayang-layang dalam nikmat yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Akhirnya Widya tiba di puncak orgasme, tubuhnya berkelojotan dengan mata terpejam, sambil kedua pahanya semakin erat melingkari pinggang si badut.
“Aaaaahhhhh... ” desah wanita itu menggigit telapak tangan agar suaranya teredam.
Momen-momen nikmat itu sungguh indah, dinding vagina Widya semakin meremasi penis si badut sambil mengucurkan lendir kewanitaannya. Namun batang kemaluan badut itu masih perkasa menggenjot liang vagina Widya yang sudah basah kuyup, bahkan semakin lancar menyundul-nyundul dasar liang senggama. Setelah lima menitan, barulah ia akan orgasme. Sebelumnya ia masih sempat ia bertanya dengan suara lirih
“Lepasin di dalam ci?”
“Boleh, lagi aman” sahut Widya, ia tidak ingin si badut itu buang di wajah atau mulut yang bisa merusak make-up nya.
“Yaaahh.... ngecrot ni cik!” erang si badut.
Penisnya menyemprot-nyemprotkan spermanya di dalam rahim Widya memberikan kehangatan di dalam sana. Genjotannya terus berlanjut hingga penisnya meyusut dan akhirnya ia mencabutnya lepas.
“Makasih ya mas, saya puas tadi!” kata Widya memakai kembali celana dalamnya lalu merapikan kembali bra dan gaunnya.
“Saya juga senang bisa ngentotin perempuan cantik kaya ncik” jawab si badut nyengir di balik make upnya.
“Saya keluar dulu yah mas, di sini sih ga ada yang lewat, tapi ntar hati-hati aja liat situasi dulu” pesan Widya mendekati pintu dan menekan gagangnya.
“Eh... omong-omong nama ncik siapa?”
Widya sudah keburu keluar tanpa menjawab pertanyaan itu.

------------------------
“Wuih... sama badut, boleh juga pilihan lu!” kata Tedi sedikit terkaget mendengar cerita istrinya itu, “yang mana? Atau dua-duanya?” ia memandang dua badut yang kembali meramaikan pesta.
“Yang pake botak palsu itu tuh!” jawab istrinya, “buang di dalam loh!”
Tedi makin panas dan cemburu mendengar penuturan nakal istrinya itu. Tiba-tiba...
“Hai... hai... yuk potret dulu rame-rame!” Arlene menghampiri mereka untuk mengajak foto bareng.
“Okay... yuk!” Widya bangkit berdiri disusul Tedi yang menuntun putra kecil mereka.
“Enjoy playing with my hubby?” tanya Widya setengah berbisik menghampiri Hany dan berdiri di sebelahnya untuk sesi foto bersama.
“Ahh... hihi” senyum Hany pada pasutri itu, “really I did”
Tak lama kemudian, pesta pun usai meninggalkan kesan masing-masing baik bagi tuan rumah dan para tamu.

THE END
 
Terakhir diubah:
okay mupengers! bukan cuma film kekinian kaya MCU & DC yang ada post credit endingnya, cerita gw pun ada dengan efek surprise yang wah tentunya. maaf rilisnya agak lama, soalnya baru pulang vacation abroad sih, selamat dinikmati ya!



Suatu pagi
09. 50



Afif mengarahkan penisnya ke vagina Olivia yang tengah menungging di tengah matras yang digelar di ruang tengah itu. Adegan mereka disaksikan oleh Christine, Frida, dan Yulia yang duduk di sofa yang melingkar.
“Ooooh…” Olivia mendesah lirih saat penis Afif dengan perkasanya menggenjot liang kewanitaannya, membuatnya menggeliat dan menceracau tak karuan.
Christine memang sudah mengatur acara ini untuk teman-teman sesama mama muda di sekolah anaknya itu. Ia mengajak ketiga temannya yang bisa ikut acara ini untuk bertaruh bahwa Afif selaku ‘jagoan’nya ini mampu membuat mereka bertiga orgasme hingga lemas sebelum dirinya sendiri mencapai orgasme, aturannya tidak boleh main keroyok, jadi harus satu per satu. Afif yang sudah dikonfirmasi dua hari sebelumnya sudah mempersiapkan diri dengan jamu tradisional untuk menambah staminanya secara alami. Pria itu semakin ganas menggenjot Olivia, moncong penis bersunatnya terus-terusan menyundul liang senggama wanita itu. Setiap kali menumbuk rahimnya, Olivia terbelalak dan ternganga sambil mendesah dalam nikmat yang luar biasa. Olivia sendiri tidak pasif menerima sodokan penis pria itu, ia juga menggoyang pinggulnya sebinal mungkin agar mampu membuat pria itu orgasme. Namun pengalaman Afif terbilang tinggi, ia tahu siasat wanita itu, sehingga ia mengatur tempo genjotan dengan tepat. Tangan kasarnya pun beraksi meremas-remas payudara Olivia dengan lembut serta menggerayangi bagian sensitif lainnya dari tubuh mulus wanita itu. Semuanya itu membuat Olivia merinding dan bergetar, ia merasakan orgasmenya sebentar lagi akan tiba. Menyaksikan pergumulan itu, ketiga wanita yang menonton tidak bisa menyangkal diri mereka pun hanyut dalam arus birahi. Yulia menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya sambil diam-diam menggesekkan kedua paha indahnya karena merasa gatal di selangkangannya. Frida juga menggigit bibir merasakan vaginanya basah dan putingnya mengeras, ia ingin segera merasakan kenikmatan yang sedang dirasakan temannya itu. Christine pun merasakan hal yang sama, di balik lengannya yang dilipat ia meremas payudaranya sendiri, matanya tidak lepas dari pergumulan Olivia dan Afif di hadapannya.
“Punya cik legit banget… kontol saya kaya dihisap-hisap gini” kata Afif dekat telinga wanita itu.
Olivia merasa tersanjung dengan ucapan si pengantar air itu sehingga ia menggoyang pinggulnya lebih liar yang menyebabkan klitorisnya makin bergesekan dengan batang pria itu dan mempercepat orgasmenya.
“Duuhh Pak... saya udah gak tahan… aaahhh!!” desah Olivia
Mengetahui situasi ini Afif memaju-mundurkan penisnya makin cepat dan keras, mengaduk-aduk liang senggama wanita itu. Akhirnya sebuah hujaman keras yang menghantam dinding rahim berhasil mengantar Olivia ke puncak kenikmatan.
“Aaaahhhhh... !” wanita itu mendesah panjang, cairan cinta mengucur deras dari liang senggamanya, tubuhnya mengejang dahsyat.
Afif segera mencabut penisnya yang masih tegak, lalu...sruupppttt!, dengan rakusnya pria itu menyeruput cairan cinta Olivia memberi kenikmatan ekstra pada wanita itu.

“Ayo berikutnya!” sahut Afif setelah melahap habis cairan cinta Olivia
“Frid! Giliran lu tuh!” ujar Christine pada temannya itu.
“Iyah, gua tau” Frida bangkit dan menghampiri pria yang sudah telanjang itu.
Frida bergidik melihat penis Afif yang masih begitu tegak dan nampak mengkilat karena basah oleh cairan orgasme Olivia. Darah wanita 36 tahun beranak dua itu berdesir membayangkan benda itu akan mengaduk-aduk vaginanya. Afif langsung meraih pinggang rampingnya begitu dalam jangkauannya dan mendekapnya. Afif memagut bibir Frida yang dibalas tak kalah bergairah oleh wanita itu.
“Mmmmhh... sshh” suara lengguhan bercampur dengan suara desahan seiring pergumulan yang kian ganas.
Tangan Afif menyingkap gaun terusan Frida sambil mengelusi paha mulus dan bongkahan pantatnya yang semok itu. Sementara Frida sendiri sambil beradu lidah meraih batang penis pria itu dan mengocoknya. Ia tidak ingin kalah taruhan dari Christine, maka ia harus membuat pria ini orgasme duluan setelah sebelumnya menumbangkan Olivia. Afif melepas pagutannya dari bibir Frida untuk melucuti gaun terusan yang dipakai wanita itu menyisakan bra dan celana dalam merah. Di usianya yang sudah pertengahan kepala tiga, bentuk tubuh Frida masih indah, payudara 34B-nya terlihat begitu kencang dan perutnya masih rata. Ia memang rajin merawat tubuhnya, selain memperhatikan makanannya, ia juga rajin gym dan fitness. Frida berlutut dan menggenggam batang penis Afif.
“Keras banget” katanya dalam hati, “tapi gua ga percaya ga bisa bikin dia keluar duluan”
Frida pun mulai menjilati penis itu sehingga Afif merem-melek menikmati layanan oralnya, kepalanya mendongak dan tangannya meremasi rambut wanita itu.
“Ohhh... terus cik! Sepongan ncik mantap abisshh!!” ceracau Afif, tangannya bergerak ke punggung wanita itu dan melepaskan kait bra-nya.
Tanpa menghentikan hisapanya, Frida menggerakkan tangan melepaskan bra itu agar tidak mengganggu. Kini terlihatlah buah dadanya yang membusung kencang dengan puting coklat itu.
“Hhhhmmmmm… sssslllrrrppp… eeemmhh...” Frida bergumam sambil mulutnya terus menghisap-hisap kepala penis Afif sambil tangannya terus mengocok batangnya.
Lidah Frida bergerak liar menyapu-nyapu kepala penis Afif yang bersunat, kadang juga menjilati lubang kencingnya. Afif sungguh terbuai dibuatnya, badannya sampai bergetar, namun ia tidak lupa tugasnya agar tidak orgasme duluan sebelum memuaskan ketiganya.
“Cik, udaaahh… saya mau ngerasain memek ncik ngejepit kontol saya…ooooohhhh…” desah Afif menarik penisnya hingga lepas dari mulut wanita itu.
“Oke sekarang bapak berbaring!” suruh Frida yang cenderung dominan dalam bercinta.
“Siap cik! Ayo!” Afif membaringkan tubuhnya telentang di matras dengan penis masih mengacung tegak.
Frida melepaskan celana dalamnya sebelum naik ke selangkangan pria itu. Dengan kemahirannya dalam bercinta, ia sangat percaya diri dapat menaklukkan si pengantar air ini semudah menaklukkan suami dan beberapa brondong peliharaannya. Tangan Frida meraih penis Afif dan menempelkan moncongnya di mulut vaginanya yang sudah becek sejak tadi.
“Aaahh!!” desah Frida sambil mendongakkan kepala saat menurunkan pinggulnya hingga penis pria itu melesak masuk ke liang senggamanya.
Afif juga mendesah bersamaan sambil tangannya meremas kedua payudara wanita itu. Kenikmatan sungguh luar biasa dirasakan oleh pengantar air galon itu, nazarnya untuk bisa menggauli wanita yang jauh lebih cantik dan berkelas daripada mantan istrinya yang dulu menghinanya telah terpenuhi, bahkan melampaui harapannya. Dan para wanita itulah yang sukarela menyerahkan tubuhnya untuk ia nikmati.

Tanpa menunggu lebih lama, Frida menaik-turunkan pantatnya dengan gerakan perlahan, lalu kecepatannya naik secara bertahap. Liang vaginanya yang basah itu mulai membesot-besot batang penis Afif dengan mantapnya.
“Enak kan pak?” tanya Frida tersenyum memperhatikan reaksi Afif yang meringis menikmati genjotannya.
“Maknyus pake banget cik, oohh!!” jawab Afif memilin puting wanita itu.
Sesekali Frida memutar pinggulnya sehingga penis Afif yang menancap di vaginanya terasa diplintir. Lima menit kemudian ia menjatuhkan dadanya ke atas dada pria itu serta memagut bibirnya, dilumatnya dengan segenap gairah kewanitaannya. Sementara pinggulnya tetap diayun sedemikian rupa sehingga batang penis Afif menghujam-hujam di dalam himpitan dinding vaginanya. Posisi ini berlangsung selama hampir seperempat jam ke depan, tubuh Frida pun mulai bermandikan keringat.
“Gila kok belum keluar-keluar juga sih?” wanita itu bertanya-tanya dalam hati.
Posisi WOT memang favorit Frida yang biasanya mampu menaklukkan partner bercinta dalam waktu relatif cepat. Namun Afif bukanlah anak kemarin sore dalam bercinta, meskipun dalam gaya ini wanita itu bisa lebih mendominasi, ia mampu berkonsentrasi mengatur pernafasan agar tidak keluar duluan sambil terus memberi rangsangan padanya seperti mengenyoti payudara, sentuhan-sentuhan erotis pada tubuhnya, atau berpagutan bibir. Sesekali ia juga menyentakkan pinggulnya ke atas sehingga kepala penisnya menghantam g-spot Frida mengantar wanita itu kian dekat ke puncak kenikmatannya. Christine, Olivia dan Yulia yang menyaksikan mereka pun takjub sampai pandangan mereka tidak bisa lepas dari adegan itu.
“Kuat banget yah Liv?” tanya Yulia pelan pada Olivia di sebelahnya.
Olivia mengangguk, “lu coba aja sendiri abis ini kan giliran lu, jangan sampai kalah duluan yah”
“Cik kayanya udah cape yah, kita ganti posisi yuk!” ajak Afif merasakan goyangan Frida mulai melemah.
Wanita itu tidak menjawab, ia hanya pasrah ketika Afif membaringkan tubuhnya menyamping menghadap ke arah tiga wanita yang menonton adegan live mereka. Setelah menaikkan paha kanan wanita itu ke bahunya, Afif kembali memasukkan penisnya ke liang vaginanya dan menggenjotnya, awalnya pelan, namun semakin lama menjadi semakin cepat dan brutal, ditambah remasan-remasan pada payudara wanita itu.
“Akhh... akhh... akhh!!” Frida mendesah makin keras, ia harus mengakui keperkasaan Afif yang berhasil mengambil alih kendali dan balik mendominasinya.
Tak lama kemudian wanita itu merasakan tubuhnya menggigil, ia sudah tidak bisa membendung gelombang orgasme yang datang begitu dahsyat menerpanya. Dengan sebuah erangan panjang, Frida akhirnya orgasme, matanya membeliak-beliak dan tubuhnya menggelinjang. Wanita itu betul-betul merasakan kepuasan total, cairan orgasme mengucur deras dari vaginanya seperti ngompol sampai membasahi selangkangan dan paha dalamnya.

“Hehehe... banjir cik!” kata Afif menyeringai penuh kemenangan setelah berhasil menaklukkan Frida.
Tiga wanita yang menonton terhenyak menyaksikan penis pria itu masih tegak ketika ia mencabutnya dari vagina Frida, terutama Yulia yang makin berdebar-debar karena sekarang gilirannya. Afif mencucuk-cucukkan jarinya ke vagina wanita itu lalu menjilati jari yang sudah belepotan cairan kewanitaan itu.
“Gurih... sedap!!” katanya dalam hati.
Pria itu lalu menoleh ke arah Yulia dan bangkit berdiri membuat wanita itu semakin nervous.
“Santai cik, di situ aja, biar cik ini bisa istirahat dulu di matras!” kata Afif menghampiri Yulia dan meninggalkan Frida yang sudah terkulai lemas.
Afif berhenti di depan wanita itu sehingga penisnya yang masih tegak dan berlumuran cairan cinta itu tepat mengacung ke wajahnya. Olivia yang duduk di sebelah Yulia pun menelan ludah menatap benda itu masih begitu keras dan perkasa setelah mengantarkan dirinya dan Frida ke puncak kenikmatan.
“Boleh minta tolong dibersihin dulu kontol saya cik?’ pinta pria itu.
“Ayo Yul! Tinggal lu seorang harapan kalian bertiga” sahut Christine yang duduk di sofa tunggal.
Yulia sadar, ia harus mampu membuat pria ini orgasme, ia percaya pasti sanggup. Tangannya pun meraih batang penis itu dan mulai menjilatinya. Lidahnya menyapu-nyapu batang penis itu turun hingga menjilati dan mengulum sejenak zakar pria itu, lalu menjilat naik lagi hingga batang itu bersih. Yulia membuka mulutnya melahap benda itu membuat pemiliknya melenguh nikmat. Dikulumnya benda itu selama tiga menitan hingga Afif menghentikannya.
“Udah dulu cik, sekarang giliran saya!” ia mencabut penisnya dari mulut wanita itu lalu duduk di sebelahnya.
Ia langsung mendekap tubuh Yulia dan memagut bibirnya, tangannya pun mulai meremas payudara wanita itu. Yulia yang sejak tadi sudah horny dengan cepat terhanyut dan merespon dengan membuka mulutnya membiarkan lidah pria itu menyapu rongga mulutnya, lidahnya juga ikut beradu dengan lidah pria itu. Dari payudara tangan Afif merambat turun ke paha, menyingkap rok katun selutut yang dipakai Yulia dan mengelus masuk hingga ke selangkangan yang masih tertutup celana dalam. Badan Yulia bergetar merasakan jemari pria itu menggesek bibir vaginanya dari luar celana dalam, sebentar saja bagian tengah celana dalam itu sudah basah akibat permainan jari pria itu. Yulia sendiri meraih batang penis Afif dan mengocoknya, ia harus aktif agar bisa membuat pria ini orgasme duluan. Tangan Afif bergerak makin dalam meraih karet pinggang celana dalam Yulia lalu menariknya turun. Wanita itu menggerakan sepasang kaki jenjangnya membantu celana dalam itu terlepas darinya. Afif turun dari sofa dan berlutut di antara kedua belah paha Yulia yang kemudian ia rentangkan sehingga vaginanya dengan bulu tercukur memanjang dan bibirnya yang merekah basah itu terlihat jelas. Ketika mulut pengantar air itu mendekati vaginanya, Yulia merasakan nafasnya menerpa vaginanya yang sudah becek. Dan…ujung lidah Afif mulai menyapu-nyapu kewanitaannya dari bawah ke atas dengan begitu lahap.

Yulia mulai terpejam-pejam dalam arus nikmat, terlebih setelah jilatan Afif terpusat di klitorisnya
”Pak… oooohhhh… enakkhh.. aahhh!!” desah wanita itu sambil meremasi payudaranya sendiri yang masih tertutup pakaiannya.
Olivia yang duduk di sebelah birahinya sudah tinggi lagi dan merapatkan dirinya pada Yulia. Dipeluknya tubuh Yulia dan dipagut bibirnya.
“Kalau gini gua keluar lebih cepet dong!” protes Yulia memalingkan wajah.
Olivia menggeleng, “lu yang servisin gua, gak tahan nih, gua gak akan ganggu kok” katanya dengan tatapan sayu, “sini gua bukain dulu bajunya!”
Yulia pun pasrah mengangkat kedua tangan membiarkan kaosnya diloloskan oleh Olivia yang lalu membuka bra-nya. Yang tersisa di tubuh Yulia kini tinggal rok yang telah tersingkap. Olivia berlutut di sofa dan menyodorkan dadanya ke wajah Yulia. Tanpa disuruh lagi, Yulia segera mendekatkan mulutnya ke puting kiri Olivia dan mulai menjilatinya
“Ahh, Yull… ” ibu cantik beranak satu itu mendesah penuh nikmat.
Yulia memeluk tubuh Olivia, tangannya meraih vagina temannya itu dan jemarinya mengusap bibir vaginanya ke atas dan ke bawah hingga membuat Olivia semakin menggelinjang nikmat. Christine mengambil air minum dan memberikannya pada Frida yang masih terkulai lemas di matras. Dibantunya temannya itu menegakkan tubuh hingga duduk, Frida menerima gelas itu dan langsung meneguk habis isinya.
“Gua rasa Yuli gak bakal bertahan, gua ngaku kalah Tin, jagoanlu emang luar biasa!” kata Frida.
“Eeii... keluar juga belum, kita liat aja dulu!”
“Gua yakin Tin, si Olive emang bego, dia ikutan gitu malah bikin si Yuli lebih cepet keluar, lu liat deh!” kata Frida pelan.
Tak lama kemudian, Yulia meminta Afif berhenti menjilati vaginanya dan langsung menyetubuhinya. Pria itu lalu mengatur posisi dengan Yulia menindih Olivia yang berbaring di bawahnya. Pria itu mengarahkan penisnya ke vagina Yulia yang sedikit menunggingkan pinggulnya.
“Oooooh… udah masuk pak!” desah Yulia merasakan penis Afif melesak masuk ke vaginanya.
Penis itu mulai bergeser-geser maju-mundur di dalam cengkraman liang vaginanya, terasa sekali menggesek-gesek dinding vaginanya sehingga wanita itu tak kuasa menahan desahan. Di bawahnya, Olivia menarik wajahnya kemudian memagut bibirnya, kedua wanita itu pun berciuman, payudara mereka yang berukuran sedang itu saling berhimpit dan bergesekan. Genjotan Afif makin lama makin menggila, membuat Yulia semakin mendesah di tengah percumbuannya dengan Olivia. Pria itu juga menjulurkan tangannya ke bawah agar bisa menggerayangi vagina Olivia. Yulia kadang menggerakkan pinggulnya dengan harapan Afif segera muncrat, namun pria itu begitu tangguh dan pandai mengatur tempo sehingga dirinya lah yang merintih-rintih histeris dalam nikmatnya hunjaman dan besotan penis pria itu.
“Aaah... !!” Yulia mendesah panjang dengan tubuh mengejang.
Afif merasakan vagina wanita itu mencekik batang penisnya, lalu disusul oleh semburan cairan hangat yang banyak sekali. Rupanya mama muda cantik itu sudah mencapai orgasmenya. Afif semakin dalam menghujamkan batang penisnya, hingga semakin banyak cairan Yulia yang meleleh keluar.

“Hhoosshh.... hooosshh... nngghh,” Yulia terengah-engah hingga akhirnya tubuhnya lemas dan menindih Olivia.
Perlahan Afif mencabut penisnya yang berlumuran cairan kewanitaan dan... masih tegak.
“Nah... you see!” kata Frida, “congratulations... lain kali gua masih mau nyoba jagoan lu ini”
“Uuuhh... sori gua gak tahan lagi, jadi kalah dah!” kata Yulia pada Olivia.
‘It’s ok” kata Olivia lalu memagut bibir Yulia.
“Nah... sekarang giliran cik Christine!” sahut Afif sambil turun dari sofa
Christine berdiri dan memandang kagum ke arah penis Afif yang masih perkasa itu. Ia membiarkan tubuhnya didekap pria itu dan dilumat bibirnya. Setelah berpagutan sejenak, Afif membalik tubuh wanita itu dan mendekapnya dari belakang, disibaknya rambut panjangnya ke kanan sehingga leluasa menjilat dan mencium leher kirinya. Tangan kanan pria itu meremasi payudara Christine dan tangan kirinya menyingkap roknya lalu menyusup ke balik celana dalamnya.
“Aaahhh!!” desah Christine melingkarkan lengan kirinya ke leher Afif merasakan jemari kasar pria itu mengelusi bibir vaginanya.
Frida bangkit dan mendekati mereka.
“Gua bantu yah Tin!” katanya tersenyum nakal sambil tangannya membuka kancing gaun terusan Christine.
Christine yang sudah menahan-nahan nafusnya sejak tadi pasrah saja dihimpit oleh Afif dan Frida dari depan belakang. Frida memagut bibirnya dan kedua wanita cantik itu pun beradu lidah. Setelah melepas kancing terakhir, Frida memeloroti gaun terusan Christine sehingga terjatuh di bawah kakinya. Afif melepaskan kait bra-nya di punggung dan Frida melucuti penutup dada warna krem itu, disusul celana dalamnya. Kini keempatnya telah telanjang bulat di ruang tengah menikmati kenikmatan tabu. Frida kembali memeluk Christine dan mencium bibirnya, buah dada dan paha mulus mereka saling bergesekan. Sejenak kemudian Frida melepas ciumannya dan ganti memagut bibir Afif yang menjulurkan kepalanya lewat bahu Christine yang terus mendesah karena putingnya dimainkan oleh Afif dan vaginanya digerayangi Frida, ia sendiri memegangi batang penis pria itu dan mengocoknya di bawah sana. Selang beberapa saat kemudian, Afif membaringkan Christine di matras dan berlutut di antara kedua belah pahanya. Kepala penisnya ditempelkan ke bibir vagina wanita itu dan dan perlahan namun pasti mulai menerobosnya. Christine mendesis merasakan penis perkasa si pengantar air mempenetrasi vaginanya. Tanpa menunggu lama, Afif mulai menggerakkan pinggulnya maju-mundur menggenjot vagina ibu beranak dua itu. Christine, yang sudah berpuasa seks selama lima hari sejak suaminya pergi ke luar negeri untuk urusan bisnis, ikut menggoyang pinggulnya dengan liar sehingga measakan sensasi penis pria itu seperti mengebor vaginanya. Frida tentu tidak tinggal diam, ia menaiki wajah Christine berhadapan dengan Afif. Tanpa disuruh, Christine mulai menjilati vagina temannya itu sehingga ia menggelinjang dan mendesis. Afif mencondongkan badan ke depan dan memagut bibir wanita itu, tangannya meraih payudara kanannya dan meremasinya. Sodokan penis Afif pada vagina Christine membuat wanita itu semakin bernafsu yang ia lampiaskan dengan menjilati vagina Frida makin dalam hingga sampai pada klitorisnya. Tubuh Frida menegang saat Christine menghisap lembut daging kecil yang sensitif itu.

Menyaksikan threesome di matras itu, Yulia dan Olivia pun birahinya naik lagi. Olivia naik ke tubuh Yulia dalam posisi 69, keduanya saling menjilati vagina pasangan masing-masing.
“Ouhh… yesshh…” Olivia melenguh saat merasakan lidah hangat temannya itu menyapu kewanitaannya, menghantarkan sebuah kenikmatan ke seluruh tubuhnya.
Tubuhnya menggelinjang saat Yulia menusukkan lidahnya membelah bibir kewanitaan Olivia yang bersih terawat. Dengan gerakan yang teratur lidah itu menyapu lipatan bagian dalam bibir kewanitaan Olivia. Olivia pun membalas dengan cara yang sama, jarinya membuka bibir vagina Yulia dan lidahnya menjilati klitorisnya bergerak melingkari daging sensitif itu, bukan itu saja, jarinya pun mencucuk-cucuk liang senggamanya.
“Ahhhh!!!” akhirnya Olivia mengejang
Yulia memejamkan matanya saat merasa cairan orgasme Olivia menyembur, cukup banyak hingga membasahi sekitar mulutnya.
"Oooohhh... Yul... terus sedot... iyah sedot itil gua!! Jilat yang bersihh... oohhh... !” ceracau Olivia menikmati servis mulut Yulia pada vaginanya.
Meskipun sejatinya berorientasi seks straight, dalam suasana penuh birahi seperti ini, Yulia begitu bernafsu menyeruput lendir yang keluar dari vagina sesama jenisnya. Dijilatinya habis lendir kewanitaan Olivia dan sesekali ia kenyot dan jilati klitoris temannya yang sudah sangat bengkak akibat orgasme. Di saat yang sama, jari Olivia juga terus mengais-ngais vagina Yulia. Sementara dekat mereka, Afif memaju-mundurkan pinggulnya semakin cepat sambil memeluk tubuh Frida yang sedang asyik ia lumat payudaranya.
"Ooouwww... aaahhh... keluar nihh!!" Christine menjerit.
Seerrr... ssrr... Afif merasakan vagina itu berdenyut-denyut dan menyemburkan cairan hangat membasahi penisnya. Denyutan tersebut menyebabkan penis pria itu seperti tersedot-sedot. Sejenak ia menghentikan genjotannya merasakan empotan vagina Christine. Setelah denyutan itu berhenti ia mencabut penisnya dan lagi-lagi... masih tegak. Afif telah menang mutlak menghadapi empat wanita cantik secara berturut-turut tanpa orgasme duluan, tubuhnya sudah benar-benar mandi keringat setelah marathon menggarap keempatnya.
“Berdiri Pak, crot di mulut saya ajah!” pinta Frida.
Terlebih dahulu Frida melakukan cleaning service, menjilat bersih seluruh cairan yang berleleran pada batang pria itu, lalu ia masukkan benda itu ke mulutnya dan dikulum-kulum. Christine yang mulai pulih tenaganya berlutut di sebelah Frida dan menjilati buah zakar pria itu. Sekaranglah Afif baru merasakan orgasmenya mendekat. Kemahiran Frida dalam oral seks ditambah Christine membuatnya menggeram dan mengejang. Sperma kental dan hangat bercipratan dengan deras membasahi wajah kedua wanita cantik itu, mereka berebutan melahap cairan itu hingga penis itu melemas dan berhenti menyemburkan isinya. Yulia dan Olivia yang takjub, turun dari sofa dan ikut bergabung, Yulia berlutut dan menjilati ceceran sperma pada wajah Christine hingga bersih lalu memagut bibirnya. Afif mendekap pinggang ramping Olivia, memagut bibirnya dan meremasi payudara kirinya.

“Ya Tuhan, ini benar-benar gila... tapi kenapa... kenapa saya juga... Tuhan tolong kuatkan hamba-Mu ini!” batin Imelda tanpa melepaskan pandangannya ke ruang tengah di balik jendela samping rumah Christine.
Tanpa mereka sadari, istri pendeta berparas cantik itu sedang mengintip mereka secara tidak sengaja. Imelda tadinya hanya ingin berkunjung ngobrol-ngobrol dengan Christine, yang adalah jemaat di gereja tempat suaminya melayani, sekalian mengundangnya ikut acara. Ketika datang tadi, ia mendapati pintu depan tak terkunci dan ia masuk seperti biasa. Baru saja hendak memanggil tuan rumah, telinganya menangkap suara-suara desahan sehingga ia mengendap-endap untuk melihat apa yang sedang terjadi. Betapa terkejut dan hampir tidak percaya apa yang dilihatnya ketika mengintip dari ambang pintu ruang depan ia melihat Afif, si pengantar air galon di kompleks sedang menggenjot Yulia di sofa. Khawatir ketahuan karena jaraknya dengan mereka tidak terlalu jauh, ia memutar ke halaman samping rumah yang ia tahu ada jendela mengarah ke ruang tengah. Di sanalah ia melanjutkan mengintipnya dengan lebih jelas. Baru kali ini ia merasakan pergumulan batin terdahsyat seumur hidupnya, sebagai istri pendeta, ia harusnya menghentikan perbuatan yang salah itu, namun karena bingung tidak ingin mempermalukan Christine dan yang lainnya, ia mengurungkan niatnya malah dalam kebingungan itu ia menyaksikan pesta liar tersebut dan tanpa dapat ditahan, naluri kewanitaannya bangkit, ia tak kuasa menahan vaginanya membasah saat mengintip adegan mereka, juga putingnya terasa tegang, bahkan secara refleks ia meremas payudaranya sendiri. Imelda hanya bisa berdoa dalam hati memohon imannya dikuatkan dan tidak terpengaruh naluri seksnya yang secara jujur diakui ia pun merasa kurang dari suaminya yang pendeta yang banyak acara itu. Setelah Afif menyemburkan spermanya ke wajah Frida dan Christine, Imelda pun dengan mengendap-endap keluar dari halaman rumah jemaatnya itu dan buru-buru kembali ke rumah. Rencananya adalah ia menegur Christine dan Afif secara pribadi nanti untuk menyadarkan mereka, namun tak dapat disangkal, kini ia sendiri terangsang oleh adegan orgy mereka, keperkasaan penis Afif terus membayanginya dan ada keinginan benda itu memasuki dan mengaduk-aduk kewanitaannya.
“Tidak... itu dosa! Tidak boleh seperti itu!” batin Imelda ketika mengguyur tubuh telanjangnya di bawah shower, “kuatkan hamba-Mu ini ya Tuhan! Hanya pada-Mu hamba berlindung! Tolong!” doanya, namun pada saat yang sama darahnya berdesir ketika ia menyabuni payudara dan selangkangannya.
Imelda, istri pendeta, wanita alim yang tumbuh dalam keluarga konservatif itu sedang menghadapi godaan terbesar dalam hidupnya, apakah ia akan menang atau membiarkan dirinya terhanyut? Biarlah waktu yang menjawabnya.

THE REAL THE END
 
Terakhir diubah:
Mangstafsss nie....milfs vs brondong
 
musti di booking dulu nih cerita biar ga kelewat.....good thread master.
 
Maaannnntaaaaaaaap... cerita baruuu... patok terpasang. Makasih cerita bagusnya suhu
 
Bimabet
Waaah. Waaah

Seperti sebelumnya.. smooth dan ngalir

Ditunggu mama mama lainnya hu

Juga spin off dari spin off dari sebuah spon off yang merupakan spin off ini..

Makasi buat ceritanya huu
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd