Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI INANG SILUMAN

Status
Please reply by conversation.
Gampang, baru juga page 1 mosok udah indax-index :D. BTW, update seminggu sekali yak. Biar aja ini sepi thread cerita yang penting 'roso' dari ceritanya.
Uugghh.. yang dulu aja sebulan sekali tetep rame kok.. biar cerita "roso" ini mbangunin master2 yang masih juga bertapa.. wkwk semangat hu gee
 
Wah cerita baru ya suhu? Selamat ya suhu, full support smp tamat, mamaku hamil 2 ga lanjut ya hu?
 
Selamat datang kembali subes Gee13. Begimana rasanya di demo masyarakat semprot? Setelah cerita mamaku hamil yg hilang di telan antah berantah. Wkwkwkwk
Gara-gara suhu Gee13 inilah ane bertobat jadi silent readers. Dan jangan sampai ane terjerumus lg menjadi silent readers!!! Kalau sampai ini cerita macet dan hilang ke negeri antah berantah, dan jangan sampai suhu Gee13 di culik kolong wewe lalu di sekap di markasnya untuk menyelesaikan cerbung-cerbung yang lalu. Ingetttt!!!! Dan camkan itu baik2!!!! Suhu Gee13.

Btw, makasih wkwkwkwkwkwk

oalah.... Jadi suhu ini Gee13 ini toh yg buat mamaku hamil... Rak tanggung jawab ik...!!! :p

Btw.... Ga sekalian buat misteri yg pendek hu buat LKTCP?
 
KESURUPAN

Part 2

Afala yatadabarunal quraan..."

"Masih kurang. Tasydid-nya mana? Hayo diulang..."

"Udah tadi kan yah?"

"Coba diulang lagi...."

"“Afala yatadabbarunal quraan..."

"Nah begitu.... Yang pertama tadi kamu kurang ditekan dua harakat.."

"Masa sih?"

"Iya. Hayo disambung lagi bacanya...."

"“Afala yatadabbarunal qurana am ‘ala qulubin aqfaluha..”

"Bagus. Bagus...."

Diliputi tudungan neon putih, bahu Johari merunduk-runduk. Kening sedikit berpeluh diusap dengan punggung telinganya. Nafas diatur selaras mungkin dengan kata yang keluar. Kedua matanya terkadang menjeling ke arah wajah pak Jumadi. Ditunggunya kepastian kalaulah yang dibacanya itu benar dan tidak keliru. Johari sedang diajari mengaji oleh Pak Jumadi. Mereka bersila-silaan di atas tikar rotan yang digelar di ruang tamu. Meja yang rentan pecah-belah dipindahkan sementara ke ruang makan, mengalah untuk mereka yang sedang beribadah penuh kekhusyukan.

Johari bukan tidak lancar mengaji. Lantunannya sudah mendayu-dayu. Entah aksen Murattal siapa yang ditiru. Huruf-huruf Hijaiyah arab pun sudah berada di luar kepalanya, meskipun hafalan surat sedikit dipunya. Kekurangan Johari yakni belum tartil membaca Al Qur'an. Terkadang ia terlalu panjang membaca sebuah huruf. Terkadang pula ia lupa dengan Makhrajul huruf. Johari menyadari. Itu mengapa dia tidak lelah dan bosan belajar mengaji, walaupun setiap Ramadan Ia khatam Al Qur'an sekali.

"Sruppppp......", pak jumadi menenggak secangkir teh tawar hangat.

"Shadaqallahul-'adzim...."

"Kok selesai?", tanya pak jumadi berdeham.

"Udah laper yah", ujar Johari menutup Kitab Al Qur'an yang diwadahi sebuah rekal. "Ba'da Isya lagi aja ya dilanjutinnya?"

"Yasudah. Tapi, coba kamu baca dulu arti dari ayat yang terakhir kamu baca..."

"Yaah, udah keburu ditutup Qur'an-nya...", rengut Johari seraya meluruskan kaki.

"Masya Allah. Siapa suruh ditutup? Buka lagi cepet..."

"Hemmm......"

Cuaca kian hari kian anomali. Kerap ditemui panas siang, malamnya hujan mengguyur. Awan putih menggumpal kelabu. Petir dan kilat bersilangan di langit yang menghampar tidak berujung. Suara mendegar-degar terdengar. Gemuruh sambar-menyambar tak tentu apa yang dikenai. Seraya mencari-cari ayat yang dibacanya, johari tak sengaja mendengar plafon rumah menggeletik-geletik. Ia melirik ke langit-langit.

"Hujan yah...."

"Iya...", kompak kedua insan itu meraba-raba suara gemercik air yang turun dari langit. "Lama banget nyari ayatnya. Kan baru kamu baca"

"Sabar yah...", johari membolak-balik lembar per lembar Al Qur'an. "Nah, ini dia......"

"Dibaca coba..."

"Maka apakah mereka tidak mau merenungkan, menghayati isi Al-Quran, ataukah hati mereka tertutup?"

Degh. Ditahannya sejenak oksigen yang diperoleh gratis tanpa perlu dibayar, namun cukup disyukuri. Kemudian Johari meresapi apa yang telah dibacanya. Sanubari bergoncang ringan. Manusia yang terlahir di dunia 15 tahun yang lalu ingat bahwasanya dia baru bisa mengaji umur 13 tahun. Melafalkan huruf demi huruf hingga menjadi satu susunan ayat dengan terbata-bata saat itu. Sekarang dia belum pula mahir melewati hukum tajwid yang sifatnya musti. Lalu, pekerjaan rumahnya harus bertambah bahwa Al Qur'an bukan hanya sebagai bacaan belaka. Arti sekaligus makna. Johari khilaf, teledor mengkaji Al Qur'an. Lantas, bagaimana dengan pengamalannya? Johari bergeming.

"Kok diem?"

"Enggak yah, lagi bingung aja nanti pulangnya gimana kalau hujan begini..."

"Hujan mah gak usah dipusingin.. mustinya disyukurin Jo. Hujan itu rahmat. Ada baiknya kamu berdoa. Karena salah satu waktu mustajab ketika berdoa ialah saat turunnya hujan...."

"Bener begitu yah?"

"Ya. Mintalah untuk kedua orang tuamu..."

Hujan semakin deras turun. Dedaunan yang menguning rontok sepanjang jalan. Beberapa ranting pepohonan patah berceceran akibat terhuyung-huyung diembus angin. Gemuruh mengerikan sesekali tampak, membuat enggan orang-orang berlalu lalang. Markah jalan sunyi. Cuma satu atau dua kendaraan milik penghuni yang lewat. Mereka adalah orang-orang yang baru tiba di rumah sehabis mencari nafkah.

Dalam momen yang langka itu, Johari mengangkat kedua tangannya. Sorot mata tertunduk takluk dalam kata yang pelan nan lembut, seakan berbisik pada kedua malaikat tak kasat mata yang mendampinginya. Ia libatkan hati selagi memuja-muji Ilahi. Bersama Asmaul Husna agar Tuhan tergoda mengabulkan apa yang dimohonkan. Tak lupa, sholawat beserta salam pada Nabi ia kirimkan, agar syafaat didapatnya
di kemudian hari. Barulah setelah itu johari mengemis-ngemis kasih dan ampunan.

Akan tetapi, kepasrahan total menyampaikan harapan dan keinginan yang belum lama direcoki oleh seseorang yang datang tergesa-gesa ke rumah dalam keadaan kuyup.

"Salamualaikum! Salamulaikum pak jumadi! Salamulaikum!", asal saja mengucap salam sambil berteriak-teriak, Satpam komplek perumahan menggedar-gedor pagar rumah pak jumadi. Dari mimik wajahnya ada sesuatu yang mendesak, penuh kerumitan yang sangat. Perihal yang tidak bisa ditangani lelaki bermisai tersebut.

"Suaranya satpam komplek yah", tebak johari setelah mengusap wajahnya.

"Iya, suaranya dia itu..."

"Ada apa ya kira-kira dia ke sini hujan-hujan begini? Kayaknya dari suaranya ada yang penting banget mau dikasih tahu yah"

"Coba kamu temui dia Jo..."

"Iya yah...", Johari menyambangi si satpam yang belum berhenti memanggil-manggil. Johari melesat. Pintu didorong kuat-kuat. Dibiarkan terbentang lebar saking tak mau membuat satpam lama-lama menunggu. Ditataplah satpam yang tak yang berpayung tersebut. Pipi penjaga keamanan itu tercoreng titik-titik air, meskipun mengenakan jas hujan bertutup kepala. Dugaan johari akibat cipratan air yang jatuh dari seng lalu mengenai sekat pagar.

"Alaykumussalam... Ada apa ya pak?", tanya johari tanpa mempersilahkan si satpam masuk untuk berteduh.

"Bapaknya mana?"

"Ada di dalem"

"Tolong dipanggilin dong!", si satpam gelisah.

"Memangnya ada apa pak?"

"Ada yang kesurupan!"

"Hah?! Kesurupan?! Siapa pak?!"

"Yasudah panggilin dulu bapaknya...!", si satpam mengomel. Ia tak sabaran.

Beruntungnya, sebelum dipanggil Johari, pak jumadi sudah keluar memghampiri. Ia ternyata membuntuti anak angkatnya. Apalagi ia merasa ada yang tak beres.

"Ada pak yadi? genting betul sepertinya..."

"Istrinya pak kadir kesurupan pak! Saya ke sini disuruh manggilin bapak!"

"Masya Allah... ayo ayo kita segera ke sana...", pak jumadi sontak berbalik badan, terburu-buru ia mengenakan sepasang sandal jepitnya yang berada di depan pintu rumah percis. "Kamu tungguin rumah ya jo... ayah mau ke rumah pak kadir dulu..."

"Aku ikut dong yah, penasaran mau lihat..."

"Tungguin rumah aja..."

"Sekali ini aja yah, plis"

"Ayo udah ikut, jangan lupa kunci rumah sekalian..."

"Oke..."

***

"Pegang yang kuat! Lemes amat luh!"

"Udah ndak kuat bang. Aduh!"

"Panggil babeh gih sana!"

"Iyaa..."

"Eh! Jangan asal main lepas dulu!"

"Lah katanya tadi suruh panggilin babeh? Gimana sih.."

"Yaudah entar aja tunggu babeh kemari.."

"Yeee... Kenapa gak diiket aja sih bang ini?"

"Jangan, entar kulitnya nyak lu lecet..."

Di sebuah rumah yang masih satu lingkup dengan rumah pak jumadi, telah terjadi kehebohan. Warga Pondok Melati berduyun-duyun datang melihat seorang wanita yang diduga telah dirasuki setan. Ibu-ibu sekitar berusaha menggamit erat tangan anaknya di tengah hujan yang mulai reda. Rombongan pun melenggang penasaran setelah mengetahui kabar tersebut, karena kasus kesurupan terbiasa hanya mereka saksikan melalui sebuah layar televisi. Kaum lakinya yang tak banyak asyik sendiri sambil mengepulkan asap rokok, bercengkerama adu pintar soal hal gaib tepat di jalan depan rumah pak kadir.

Warung di dekat rumah itu pula menuai untung. Penjajanya kerepotan. Laris manis dibeli oleh bocah-bocah yang mengemut es mambo. Ada juga dari mereka yang bergantian membeli lidi-lidian. Kepedasan, terjadi perebutan sebotol air minum yang ditenggak seorang anak. Mereka bukannya tidak tertarik melihat orang kesurupan. Rumah telah dikepung oleh orang-orang yang lebih dulu sampai dan ingin mengecek kebenaran soal itu. Sayangnya, akses masuk ditutup oleh keluarga. Mereka cuma bisa berganti-gantian menempel muka di sebuah kaca jendela yang sengaja tidak diberi gorden.

"Haduh, itu satpam ******, lama amat disuruh manggilin pak jumadi... apa perlu gue nyusul", gemas perasaan pak kadir. Daritadi ia keluar-masuk rumah hanya untuk menengok apakah pak jumadi telah sampai sembari mengumpat satpam komplek yang telah diutusnya. Pikiran pak kadir terasa berat. Berkali-kali terpaksa mengurut dada.

"Sabar atuh dir... saya yakin pak jumadi bisa tolongin istri kamuh.."

"Yakin luh?"

"Yakin, tokcer....", pak kadir tidak sendirian meratapi kegelisahan. Ia ditemani sahabat karibnya, Deden. Deden juga merupakan salah satu warga pondok melati. Rumahnya tidak jauh dari rumah pak kadir

Tiba-tiba,

"Beh! Babeh! Kemari beh!", teriak anak pak kadir yang bernama Jani. Anak itu memanggil bapaknya yang menunggui pintu agar masuk ke dalam.

"Haduh itu si jani kenape lagik...", pak kadir menggaruk-garuk kepala. Dia bukan kepalang pusing. Sepulang kerja beliau bukannya disambut manja istrinya melainkan malah diamuk-amuk. Ya, Halimah yang merupakan istri pak kadir telah mengalami kesurupan selesai azan maghrib dikumandangkan. "Den, gue masuk dulu ye..."

"Iye dir... gue tunggu sini aja, nungguin pak jumadi"

Ditengoknya halimah yang masih memberontak. Padahal, kedua kakinya sudah diikat mantap. Mulutnya sudah disumpal lakban hingga tak satu pun kata keluar. Halimah didudukkan di lantai keramik. Disandarkan tubuh yang gemetaran pada sebuah leher bangku seraya kedua tangannya dipegangi kuat oleh kedua putranya tercinta, Jaka dan Jani. Kakak beradik itu berusia belasan tahun. Jaka 17 dan jani 15 tahun.

"Beh, ini gimana? Ntar nyak ngamuk kayak tadi lagi gimana?.... masa kita diemin aje", keluh Jaka, tak lepas cengkeramannya dari lengan padat ibunya yang berpeluh dingin.

"Emprrrrhhhh..... erghhhh....", halimah kembali berkecamuk. Ia hendak menarik kedua tangannya. Kepalanya bergoncang-goncang dengan rambut terkurai ke depan, nyaris menutupi wajah. Kedua matanya terus membelalak tak menentu siapa yang dipandangi. Kedua anak yang mengapitnya saja tak dikenali. Malahan, suaminya yang baru saja tiba di rumah dengan kondisi lelah, hampir ia cekik mati.

"Huh.. kan tadi udah babeh bilang, iket sekalian aje itu tangan nyak luh..."

"Kasian beh, cukup kaki sama mulut nyak ajeh..."

"Yaudah luh tanggung sendiri..."

"Pak jumadi masih lama beh?", tanya Jani yang mulai keletihan.

"Babe kurang tahu. Sambil nunggu pak jumadi, mending luh bacain Ayat Kursi ntuh nyak luh...", tegur pak kadir.

"Kagak hafal beh...."

"Astaghfirullah... terus luh hafalnya apaan?"

"An-Nas..."

"Yaudah baca ape yang lu bisa...."

***

Dipayungi satpam perumahan, pak jumadi menembus hujan gerimis yang belum memberi isyarat reda. Beliau berjalan kaki dengan penuh kehati-hatian di balik kegelapan malam, menghindari lekuk-lekuk aspal jalan yang menadahi air. Bagian tengah sarung disingkapnya. Cipratan air cuma mengena betis. Andai tidak buru-buru ia pasti lebih memilih celana cingkrang. Beberapa kali sepanjang jalan pak jumadi membetulkan posisi peci rajutnya, hadiah seseorang yang pulang dari Umrah. Pak jumadi merasa rambut beliau gatal. Atau, jangan-jangan rontok untuk kesekian kali. Semakin licin saja bagian kepala depannya.

Ketika ayah angkatnya sibuk mengobrol dengan petugas keamanan setempat, Johari mengekor dari belakang sembari memayungi dirinya seorang. Ini pertama kalinya ia akan melihat langsung bagaimana ayah angkatnya mengobati orang kesurupan. Selama ini cuma cerita dari mulut ke mulut yang diperoleh johari. Benar atau tidaknya ia hanya bisa meyakini kalaulah ayah angkatnya itu bukanlah orang sembarangan.

Hampir tiba, ketiga orang itu memandangi sekitaran rumah pak kadir yang tersembur pancaran sinar lampu tiang listrik. Kelihatan masih ramai dan belum membubarkan diri. Sekilas, melihat seperti tidak ada kasus kesurupan, melainkan acara hajatan. Gelak tawa dan senyum itulah yang ada. Sampah-sampah bungkusan berserakan. Parit-parit kotor. Ketakutan itu yang justru dikhawatirkan pak jumadi. Dia lambat-laun tak yakin kalaulah bini pak kadir dirasuki setan.

"Rame banget yah..."

"Ini orang-orang komplek sebelah yang bikin rame...", timpal si satpam mengusap kumisnya.

"Hayuk segera kita masuk...", pak jumadi mengabaikan keramaian itu demi segera menyelesaikan persoalan yang kiranya mendera pak kadir. Pak jumadi, johari, dan satpam lekas menyeluduk kumpulan manusia yang berdiri dan ada pula yang duduk. Bocah-bocah, kaum ibu, remaja-remaja menjejali halaman rumah pak kadir, mereka memandangi pak jumadi layaknya pahlawan yang sudan dinanti. Antusias, kesurupan yang masih membelit rumah itu akan selesai.

"Awas! Awas! Awas! Menjauh! Nanti kalian kesambet bagaimana?! Siapa yang mau urus?! Bandel bocah!", tegas satpam. Ia membimbing pak jumadi memasuki rumah pak kadir, laksana seorang kyai yang dikawal para jamaahnya.

Deden yang melihat, menyambut sekaligus membarengi langkah pak jumadi.
"Nah ini pak jumadi... hayuk masuk pak, daritadi udah ditungguin..", terseringai deden.

Diayunkannya pintu depan yang tidak dikunci oleh deden. Pak jumadi kemudian mengucap salam ramah.

"Assalamu'alaykum...."

"Walaikumsalam...", pak kadir akhirnya bisa bernafas lega. Begitu juga kedua anaknya yang berwajah pasi. "Akhirnya pak jumadi datang juga. Saya sudah menunggu kehadiran bapak lama..."

"Iya maaf, usia seperti saya memang tidak bisa lagi berlari..", pak jumadi tertawa kecil

"Ah bapak bisa aja... mari pak silahkan duduk dulu..."

Johari yang turut menemani, termangu mengamati wanita yang diduga kesurupan itu. Wanita tersebut dalam keadaan terkulai lemas mengenakan rok mukena berwarna putih. Lunglai tubuhnya disangga sebuah bangku agar tidak terbaring. Kepalanya merunduk dengan rambut panjang yang terkelepai menutupi muka. Kedua matanya meruyup. Johari meragukan kalau tubuh wanita itu benar-benar disusupi makhluk halus. Terlebih ia mengendus aroma minyak angin. Di benaknya pula terpacak kalaulah keserupan identik dengan mengamuk kacau. Johari lalu memilih duduk tenang di lantai bersama dengan satpam yang belum beranjak pulang. Terdengar tidak sengaja di kupingnya celetukan si satpam,

"Bu Halimah cantik-cantik ternyata masih bisa juga kesurupan...", delik mata si satpam mengarah ke belahan dada halimah. Kebetulan halimah sedang memakai kemeja berlengan pendek. Kancing bagian atasnya terlampau berlebih dipreteli.

Bukan apa-apa, halimah istri pak kadir cantiknya sudah lama jadi pembicaraan satu permukiman. Lelaki tulen sulit untuk tidak memujinya. Baik yang sedang meniti masa remaja maupun yang sudah berumur matang. Yang sudah bersuami pun was-was dengan mata menyelidik. Sebaik dan sepandai mungkin para istri bersolek agar suaminya tidak gampang berpaut hati ke yang lain.

Halimah, meskipun tidak berpenampilan seronok. Jika melihat postur tubuhnya membuat imajinasi laki-laki mudah menggembung. Lengannya bertumpuk lemak. Perutnya tidak gendut walaupun agak memggelambir. Tubuhnya terkesan sintal dan mengundang minat lelaki berselera mama. Bibirnya sensual dikatakan amat menantang. Keindahan lengannya paling disering dipertontonkan. Sementara para bujang dan suami lupa istri menunggu-nunggu kapan halimah berpakaian seksi, menyibak aurat yang lain. Sungguh beruntung berarti si satpam ini. Dia mendapat kesempatan langka melihat belahan buah dada halimah.

"Tolong kancingkan dulu pakaian istrimu...", tegur pak jumadi sehingga mengecewakan mimik si satpam. "Yah lagi asyik-asyik...", gerutunya pelan

"Baik pak.."

Ketika pak kadir memasang kancing terakhir, halimah sontak bangun hingga mengagetkan seisi rumah. Wanita itu mendorong tubuh suaminya hingga terperenyak di dekat johari. Halimah berdiri tegak. Tangannya seperti ingin mencakar. Matanya memelototi pak jumadi, membuntang penuh kesan menyeramkan karena tiba-tiba lampu seisi rumah mati, termasuk lampu penerang jalan. Warga-warga sekitar rumah pak kadir pun berhamburan melarikan diri. Keadaan gelap gulita. Bocah-bocah menangis kehilangan emaknya. Bapak-bapak kebingungan. Remaja-remaja yang ber-haha-hihi kabur tunggang langgang menginjak rerumputan trotooar. Timbul kesan apa sengaja PLN mematikan lampu? Ternyata tidak ada kaitan. Beberapa jarak dari rumah pak kadir lampu rumah-rumah masih terlihat menyala.

"Hey pak tua! Jangan coba-coba kamu campuri urusanku. Lebih baik dirimu pergi dari sini!", dalam gelap hitam suara halimah tidak terdengar normal.

"Sebagai hamba Allah, saya berkewajiban menolong sesama. Saya tidak akan pergi dari rumah ini.."

"Oh. kamu sudah tidak sayang lagi pada umurmu rupanya. Jangan dikira kedekatanmu dengan Tuhan membuatku pantang menghadapimu.."

"Akan lebih baik sesama hamba Allah kita tidak perlu berkelahi...", pak jumadi tenang sekali. Ia masih duduk di posisinya semula.

"Hemm. Kau bukanlah tandinganku pak tua. Mengusirku hanya akan membuatmu cape saja...", ancam setan yang merasuki tubuh halimah.

Johari yang turut mendengarkan bersama penghuni yang berada di dalam rumah tidak bergeser sedikitpun. Johari bungkam, takut salah ambil tindakan. Apalagi terlalu pekat pandangan. Segalanya kini ia sandarkan pada ayah angkatnya walaupun ia mulai bergidik takut dengan suasana yang semakin pengap dan panas. Dia hanya bisa berzikir dalam hati. Tameng buat dirinya sendiri.

Tiba-tiba, johari tersentak. Nafas yang ia hela berhenti sejenak.

"ALLLAHH!!!!!!!!!", pekik kencang pak jumadi. Entah bagaimana dalam gelap ia bisa mencengkeram tepat ubun-ubun kepala halimah.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA.........!!!!!!", halimah menjerit histeris. Tubuhnya menggelugut seperti tersambar petir. Lampu yang mati berkedap-kedip tak karuan. Semuanya tercengang celangap memerhatikan apa yang dilakukan pak jumadi pada istri pak kadir.

"Ya Allah Ya Rabb!!! Halimah!!", pak kadir bernanar panik.

"Nyaak!!!", jaka dan jani memekik pelan.

Deden dan satpam perumahan menutup rapat mulut mereka.

***

"Alhamdulillah.... semuanya sudah kembali normal..."

"Saya musti kasih apa nih pak jumadi?"

"Cukup minta istrimu supaya rajin sholat..."

"Sudah kok...", pak kadir menatap halimah yang sedang menenggak air mineral. Wanita itu tengah dikelilingi oleh kedua putranya tersayang.

"Coba kamu tanyakan lagi..."

Meskipun urusan kesurupan sudah selesai, raut muka pak jumadi menggantung. Sejumlah pertanyaan menumpuk. Namun, Ia menyembunyikan kecemasan yang belum berani diutarakan. Sementara Johari yang daritadi setia menunggunya berdiri memandangi bentang langit malam. Dia sendirian menendang-nendang gelas plastik air mineral yang dibuang di pinggiran. Sebaliknya Deden dan satpam perumahan tidak lagi kelihatan bersama para warga yang sudah pulang ke rumah masing-masing semenjak halimah dinyatakan siuman.

"Yah! Jangan lama-lama! Inget! kita belum sholat Isya!", seru Johari.

To be continued...
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd