Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Jalan nan terjal

Status
Please reply by conversation.
Jalan nan terjal



part 13











Duaaar!...
Modiaaar....


Dag dug Dag dug.

Entahlah tak pikir-pikir nakal dikit juga ngga apa-apa kali lah.


“Payah, mas Ian kok malah gugup toh. Tak bikinin kopi ya? “


“Njih mbak. “



Jelas aku ngga habis pikir, mbak Her ini kenal belum lama, kok sudah berani ngajakin aku menginap di rumahnya, hadeeeh...



“ Mas e... Tarang.... kopinya sudah siap... He he, “


“Mantab, makasih yo mbak? “


“Hu um, “



Lalu mbak Her pun duduk di sebelahku, aku bebas merokok di dalam rumah, bahkan di sebelahnya pun ngga apa-apa, di sinilah mbak Her banyak cerita masalah hubungannya dengan mantan suaminya.

Lelaki yang pendiam akan tetapi kasar pada pasangannya, lebih suka memukul istri dari pada memberi nasehat, dan itu membuat umur pernikahan mereka tak sampai satu tahun, miris memang tapi itulah jalannya.



“Mbak? “


“Iya ay? “



“Ish... Mbak Her ini loh, main ay ay aja. Ayam potong maksudnya? He he”


“Loh kan aku bilang mau ngajakin kamu pacaran to mas? “


“Hus! Pacarku di kampung gimana nanti mbak? “


“ Loh udah punya pacar to? “


“Njih mbak Her yang.... Eem apa ya? “


“ Heleh. Mbok ya jujur aja, Ayu to? Cantik to? “



Nah kan matanya kedap kedip, Wasem aku yakin aku bakalan tergoda dengan makhluk yang satu ini.



“ Mbak? “


“Iyah? “


“ Lah? Ngomongnya biasa aja toh mbak. He he he, “


“Iiih, susah ih diajakin pacarannya, “



Dasar cewek. Tadinya genit, di gituin dikit langsung manyun.



“Ndak gitu kok mbak? Aku kan udah punya pacar, mosok kayak ban mobil ada serepnya? “


“Mas Ian nih. Yang disana biarin aja, kan masnya disini? Ngga apa-apa kok aku jadi ban serepnya.”



Degh!

Berat pernyataan mbak Her ini, jelas membuat otakku limbung alias ragu seketika.
Ya memang sedari awal aku tertarik sama dia, tapi hanya sebatas tertarik saja sih, manusiawi kan? Cantik keibuan loh?



“Mbak besok pagi aku mau pulang dulu ya? “


“Ih mas Ian ini, baru juga diajakin pacaran sudah mau kabur aja. Kenapa to mas, ndak selera sama aku ya mas, “


“Ngga gitu mbak, aku di pesenin paklikku suruh pulang, udah gitu ngga jelas ada apa kok tiba-tiba di suruh pulang, kan aku jadi khawatir to mbak. “


“Aku ikut ya? “



Welah, celaka dua belas kalau aku pulang bawa cewek, bisa disunat lagi sama Indriani aku, belum lagi sama Asti, hiii....

Akhirnya aku debat sampai malam di ruang tamu dengan mbak Her, dua gelas kopi pun amblas diperutku.

Haiiis... Dia perhatian dan sikapnya juga lembut, tak seperti dulu yang sok galak.

Aku kok merasa dia beneran pengen ada hubungan sama aku ya?

Hadeeeh...

Akhirnya kami tidur di lantai ruang tamu dan sebelumnya mbak Her memaksaku untuk tidur bersamanya di dalam kamar, jelas aku menolaknya, aku takut khilaf kalau di dalam kamar.

Hingga pagi sebelum subuh, seperti biasa gejolak manusiawi seorang lelaki memang tak bisa di hindari, suara kokok ayam sudah mulai terdengar nyaring ditelingaku, tapi apa daya mataku tetap terpejam, dan di bawah sana sesuatu terjadi.

Aku merasa ada tangan halus sedang membelai batangku yang menegang, terasa hangat disana, tak ayal membuat batangku semakin menegang saja.

Ah...

Mungkin aku hanya merindukan belaian kekasihku, semakin lama belaian itu semakin intens saja, malah seperti di mainkan ujungnya.
Uugh... Enak juga, aku hanya mendengus keenakan merasakannya. Ada rasa basah dan hangat, aku ingat betul rasa itu.

Yap... Ini kuluman bibir wanita, sama persis dengan apa yang kekasihku lakukan padaku. Perlahan mataku terbuka, itu pun karna birahi yang terpancing.

Tak perlu lagi aku menduga karna dirumah ini hanya ada aku dan mbak Her saja, sudah pasti dialah yang melakukannya.
Kepalang tanggung nafsu sudah menguasaiku, kuelus rambutnya yang tergerai indah tapi tak membuat dia melepaskan kuluman di bibirnya, dia hanya mendongak menatapku dan kembali menjalankan aktivitasnya.

Setelah puas barulah mbak Her merangkak keatas, bibirnya menyerang mulutku dengan liarnya, lidahnya sibuk mencari celah agar bisa beradu dengan lidahku, aku benar-benar terpancing dengan ulahnya.

Kubalas perlakuan liar mbak Her, lidah beradu lidah dan suara kecipak tak terelakkan lagi, semakin liar dan liar.

Dengan sekejap mbak Her melolosi pakaian yang ku kenakan berikut CD nya, begitu juga dengan dirinya.
Hawa yang seharusnya dingin malah menjadi panas membara.

Aku sendiri sibuk dengan dua gunung kembar yang menggantung indah didadanya, sekal dan harum, lah itu berarti mbak Her sudah membersihkan diri sebelum ini dong.


Wah wah wah....

Sesuatu yang sudah direncanakan
Payudara yang membusung dan puting yang kecokelatan itu silih berganti ku mainkan, malah terkadang ku sentil, dan hasilnya puting susu mbak Her mengeras menandakan nafsunya sudah benar-benar di atas.

Benar saja tangannya berhenti memainkan batangku, jari lentik itu menuntun mainannya menuju celah sempit miliknya.

Uugh...

Terasa basah disana, perlahan tapi pasti ujung batangku menyeruak masuk bersamaan dengan lenguhan dari mbak Her, paras keibuannya begitu mempesona menurutku, dagunya mendongak keatas dengan mata terpejam, dia begitu meresapi proses penetrasi.
Penetrasi yang di kehendaki olehnya sendiri, dengan posisi WOT membuatnya bebas menentukan apa yang dia mau, sedangkan aku sendiri hanya diam mengikuti maunya, toh aku juga ikut merasakan kenikmatan itu.

Perlahan pinggulnya bergerak maju mundur, dengan posisi memelukku erat membuatku kesulitan meremas gunung kembarnya.

Entahlah, melihatnya seperti itu membuatku kasihan, begitu rindukah dia dengan kehangatan seorang lelaki, kuelus rambut indahnya, kubiarkan dia mencari apa yang dia inginkan.

Kukecup keningnya yang mulai basah oleh keringat, dia pun menghentikan gerakannya, lalu menatap sayu dan tersenyum, aiih.. Senyum yang indah, tak tega rasanya aku menyakiti perasaannya.



“ Mbak? Ini ruang tamu lo? “


“Aa... ah... biarin ah, “


“Yo wes. “



Terlanjur basah ya sudah tak terusin aja, dengan mudah tubuh sintal mbak Her kubalik, tubuh polos itu pasrah menanti seranganku, kakinya juga sudah mengangkang lebar, dan ini yang ketiga kalinya aku melihat kemaluan wanita yang berbeda.



“Maaas? Jangan di lihatin aja, ayo masukin mas? “


“Eehm... Iya mbak? Itu mu apik he he he, “


“Mas ah, Ayoo... ah.”



Tangan mbak Her meraih dan menarik tubuhku, jelas aku ambruk menimpa dirinya. Tak disengaja wajahku pas mendarat di gunung kembar yang kenyal itu, sekalian saja kulumati gunung itu, lalu turun ke pusarnya dan turun lagi ke lembah berbulu mbak Her, sungguh pemandangan yang indah, jembut hitam legam itu tumbuh subur di seantero lembah tembem yang sudah terlihat kilatan cairan cintanya, sangat menggoda imanku tentunya, maka ku lumat perlahan bagian atasnya.

Ternyata perbuatanku membuat Mbak Her blingsatan, dia menggeliat kegelian disertai dengan Desisan-desisan mirip orang kepedasan, nafsu yang semakin menggebu membuat mbak Her menarik tubuhku.




“Masukin ah mas? Ayo... Geli tau aah... “



Sepertinya mbak Her sudah mulai tak sabar, satu tangannya menarik tubuhku dan yang satunya menjambak rambutku.



“ Iya mbak? Ini lagi usaha lo? “


“Ish... Masnya lo ah. Ayo? “



Tentu saja aku sudah bisa mengontrol diri, berkat pengalamanku dengan kekasihku tentunya, kasihan melihat mbak Her, kasihan juga ku siksa batangku yang sudah siap tempur, maka ku masukkan secara perlahan ke lubang yang sudah basah mengkilap milik mbak Her.


Bleees...


“Aaach... “


Saking tak sabarnya mbak Her ikut mengangkat pantatnya, hasilnya upayaku memasukkan batang dengan perlahan gagal total karna ulahnya itu.



“ Aaach... Maaas ayo langsung genjot maas... Aaaach... “


“ Eeegh... Iya mbak Her ku sayang... Uuugh.... “



Kuturuti kemauannya, maka segera ku genjot dengan cepat, masa bodo dengan suara kecipak di selangkangan, terus ku genjot tanpa henti, hingga akhirnya mbak Her mengejang dengan rintihan yang syahdu, yah dia mendapatkan puncak kenikmatannya dengan sempurna.



“Iiih mas? Diem dulu aah, geli tau aah... “



Tak ku jawab, malah semakin cepat genjotanku, tak ayal mbak Her semakin kegelian, entahlah. Yang jelas suaranya ah ih ah ih aja.



“ Mas nakal iiih... Mas udaaaah... Maas... Aaach... “



Mungkin niat hati ingin melepaskan diri dari amukan batangku, tapi apa daya. Posisinya yang di bawah hanya bisa meronta saja, malahan bokongnya naik turun, jelas saja membuat sodokanku makin sempurna.

Dan hasilnya bukannya terlepas malah semakin membuatnya merintih kegelian.




“ Iiih Maas... Aku nyampe lagi ini... Aaaaah... Aduuh... Iiiiiih... Maaas aku pipis loh aah... “



Seeer....

Benar saja mbak Her sampai terkencing kencing, Menyadari itu segera ku cabut batangku.


Seeer....

Lagi-lagi air hangat itu mengucur dari lubang lembah tembem yang berbulu lebat itu, nafasnya pun ngos-ngosan.

Uuugh... Benar-benar hebat janda muda ini, raut mukanya pun memerah entah malu atau bagaimana, dan setelah beberapa saat beristirahat mbak Her mulai memosisikan dirinya, dia menungging dan berpegangan kursi ruang tamu, tentu saja aku tau maksudnya.


Lalu,
Sreet!


Kyaaaah...

Buuugh!


Aku terpeleset genangan air kencing mbak Her, aku terjatuh dan mulai tersadar, kubuka mataku lebar-lebar. di lantai itu terlihat seorang wanita muda berwajah ayu berselimutkan kain batik sedang duduk dengan kaki menekuk keatas, dan memangku dagunya diatas dengkul miliknya.

Senyum manis dan malu-malu membuatku curiga akan sesuatu, bukankan dia tadi sedang menungging, lalu kulihat keadaanku.

Hais...
Masih berpakaian utuh. Lalu kulihat sekeliling.

Yah...
Aku baru saja terjatuh dari kursi ruang tamu tempat dimana aku tertidur semalam.



“Loh, mbak? “


“Hi hi hi, mas mimpi ya? Mimpi enak ya? Kok ngga ngajak sih? He he he”


Wah wah waaah.... Bajirut! Aku mimpi, mimpi basah di depan cewek lagi, lalu kulihat celanaku.


Badalah....

Dia menegang terlihat menonjol dan jadi perhatian mbak Her, pantas saja dia senyam senyum.
Diamput... Kututup muka, apalagi kalau ngga malu namanya.



“Eeem anu mbak, maaf he he, “


“Kok maaf toh mas, Rejeki lo buat aku? Mimpimu loh mas ngeri, Hi hi hi”


“Eeh loh, ngeri piye to mbak? “


“La itu, tongkat pusakamu aja siap perang kok mas, “



Duaaar!

Tanpa tedeng aling-aling mbak Her menunjuk ke area selangkanganku, malu banget aku, lalu aku ijin kekamar mandi dan memang hari sudah mulai pagi, lebih baik aku segera pamit pulang saja, mumpung belum ada lalu lalang warga di sini.


Selesai dari kamar mandi.


“Mbak aku langsung pulang aja ya? “


“Kok buru-buru to mas, ndak ngopi dulu? “


“Ndak mbak, kan mau siap-siap pulang juga mbak, “


“Loh pulang sekarang? “


“Iya to mbak, “


“Mas? “


“Iya mbak, “


“Mas Ian kesini lagi kan? “


“Iya to mbak? Kan aku kerja di sini to? “


“Asyik he he he, “


“Kenapa to mbak? “


“ Kalau mas Ian ngga balik lagi, aku pasti in aku ikut mas Ian pulang, biar tau rumahnya mas Ian, he he he, eh iya bentar”




Lalu mbak Her masuk ke kamarnya dan kembali lagi membawa buku kecil dan sebuah bolpoin.



“Nih, tulis alamat mas Ian ya? “


“Loh eh, yo wes sini, “



Setelah itu aku pamit dan langsung menuju jalan raya.


Degh!

Lah aku harus naik bus apa ini...

Wasyu lah, mesti balik ke rumah mbak Her kalau begini.

Untung saja mbak Her sudah mulai membersihkan teras rumahnya,
heem...
rajin juga ternyata.



“Mbak? “


“Loh, kenapa mas? “


“Aku ndak tau harus naik mobil apa je mbak, “


“Nah kan, ayo tak anterin aja, gimana? “


“ Ndak ah mbak, naik apa yo mbak? “



Lalu mbak Her menjelaskan padaku, harus naik apa agar aku sampai ke tujuanku.

Singkat kata aku sudah berada di daerahku, sudah mendekati kecamatan.

hoaaah...
Aku tau masalah menantiku di kampung sana, kejadian waktu itu masih jelas terekam di otakku,
Juwangi mas, Juwangi...

Degh!
Suara kondektur Bus mengingatkan para penumpang, Sampailah aku di terminal kecil ini, tak perlu mencari tukang ojek karna tanpa dipinta mereka sudah menawarkan jasa ojek mereka, aku segera naik ke motor salah satu dari mereka.



“Kemana mas? “

“Dukuh langen pak, “



Sengaja aku menyebut kampung lain yang masih setengah perjalanan menuju kampungku, aku harus waspada, mengingat kejadian yang aku tak tau persis seperti apa nasib si Iwan.



“Siip... “



Jawab tukang ojek itu,
Di jalanan, dimana aku bersama Indriani dan Asti di berhentikan oleh Panji dan kawan-kawan, aku melihat sosok yang tak asing buatku dan sedang berboncengan, jelas yang memegang kemudi si Iwan dan yang berada di belakang dengan posisi duduk yang menyamping ke kiri itu...

Eeem...

Asyu! Itu kan Indriani?

Jangan-jangan aku disuruh pulang karena kekasihku sudah dinikahi sama si Iwan.


Huuuf...

Dadaku sesak seketika, sesaat ku tengok ke belakang, memang benar itu Indriani, ah sudahlah.
Aku merasa ada yang lebih penting dari itu.

Beruntung saat berpapasan mereka tak melihatku, kebetulan juga sebentar lagi aku sampai tujuan, hingga pertigaan jalan besar, berdiri kokoh dua pohon besar yang menjadi tanda jalan menuju dukuh Langen aku meminta turun di pertigaan jalan menuju kampung yang kusebutkan tadi, jelas menjadi pertanyaan si tukang ojek.



“Loh mas kok turun disini, ndak sekalian masuk kampung saja to mas. “


“Ndak pak sini saja, biar ngga ketahuan teman-teman pak he he”


Jawabku.

“Ooo ya wis. “



Setelah membayar upah ojek aku segera berjalan ke arah barat menuju kampungku, sengaja aku melewati jalan tembus, walaupun harus melewati jalan Setapak di tengah hutan, tapi itulah jalan yang paling dekat dengan rumah.

Uuugh...
Berapa bulan aku tak melewati jalanan seperti ini, begitu tenang tak ada suara riuh kendaraan, begitu riang langkahku hingga aku sampai dijalan yang agak besar, pertanda rumahku sudah dekat dan jalan ini langsung ke belakang rumah.

Aku yakin tak seorang pun tau kedatanganku, aku ingin kedua orang tua yang selalu kurindukan itu terkejut melihat kedatangan cucunya, mue he he he,

Dari tempatku berdiri tampak sebuah rumah yang berjejer memanjang, tempat dimana suka cita bahkan duka kulalui bersama kakek nenekku, langkahku semakin dekat dan daun pintu yang sudah usang itu kini sudah di depan mata, ku dorong perlahan.


Krieeet...

Sepi, kemana gerangan kakek nenek, kutengok kandang kambing, ah mungkin di luar, pakan ternak masih terlihat segar, pasti habis diberi makan.
Benar saja segelas kopi hitam tersaji tanpa pendamping di meja, uugh... Syukurlah. Aku berharap mereka sehat walafiat. Di luar rumah, tepatnya di sebelah kamarku terdengar suara orang sedang mengerjakan sesuatu dan aku yakin itu kakek, biasanya aku yang mengerjakan atau membersihkan pekarangan samping, mungkin kakek menggantikan kerjaanku itu.
Ah lebih baik ku hampiri saja.



“Mbaaah?“


Seketika aktivitas itu terhenti, segera ku sambut dan mencium kedua tangan orang tua tersebut.



“Loo... Pulang kok ya ndak ada suara toh Le? Lewat kidul ya? “



Ucap sang nenek.


“He he, njih mbah. “


“ Yo wis, ayo masuk. “



Sementara sang nenek langsung ke belakang, apalagi kalau tidak membuat kopi hitam kesukaanku, dan kakek langsung mencecar pertanyaan kenapa aku pergi selama itu, tapi yang jelas kedatanganku membuat mereka tersenyum siang ini, setelah kopiku habis ku tenggak aku pun berpamitan untuk pergi ke rumah Asti.


Uugh...
Sedang apa dia yah.

Hem...
Sesampainya disana suasana rumah begitu sepi, kemana ini penghuninya.
Balai bambu yang dulu sering ku duduki masih terlihat kokoh, duduk adalah pilihan yang tepat, semoga sebentar lagi ada segelas kopi yang menghampiriku mue he he, berharap itu perlu to? Biar semangat juga kan.
Sebatang rokok sudah kuhabiskan tapi sosok yang kutunggu belum juga menampakkan batang hidungnya, kusulut lagi hingga dari arah jembatan, orang yang kutunggu menampakkan diri juga, dari mana gerangan gadis itu.

Saat melihatku Asti sedikit kaget lalu senyumnya mengembang indah.

Uuuugh...
Senyum yang lama tak kulihat, bahkan terakhir bertemu pun aku tak melihat senyum itu.



“ oey ... “


Sapaku sembari melambaikan tangan, dan langkahnya semakin cepat menghampiriku, rambutnya yang panjang tergerai bebas, hais... Cantik juga temanku ini,
Deru nafas terdengar halus, dan kini Asti tepat di depanku, keningnya banjir keringat serta bibir yang monyong membuatku tersenyum geli.




“Hoy! Kok manyun sih mbul. “


“Bisa pulang? Masih ingat jalan pulang? “



Weladalah, ada yang ngambek ternyata.



“Anu mbul, em Emm itu mbul... “


“halah masuk! Am em am em aja, “



Aku pun mengiyakan ajakannya, aku tau watak gadis itu, kesalnya hanya pura-pura saja.


“Duduk dan jangan kemana-mana disitu aja! “



Selayaknya bos bertitah, kata-katanya harus ku turuti, duduk manis sudah pasti jadi pilihan tepat buatku saat ini, mengingat aku pergi terlalu lama dan tanpa kabar, pasti membuat orang-orang dekatku khawatir.

Selang beberapa menit gadis itu keluar dari dapur, apalagi kalau tidak membawa segelas kopi buatku.


Ah...
Memang calon ibu rumah tangga yang baik ini, pikirku.

Diam.
Yah, duduk berdua tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut kami, bahkan segelas kopi pun tak ditawarkan, lalu buat siapa kopi itu? Haiiis.... Sudahlah ikuti aja alurnya.
Sorot matanya yang begitu tajam membuatku kebingungan, dan hasilnya aku hanya bisa menunduk dan menunggu Asti memulai sesuatu.
Lama! Maka ku beranikan diri memulai obrolan, keburu dingin kopiku nanti, eh kalau buat aku kalau buat bapaknya piye.



“Mbul, piye kabarmu apik Khan? “


“Heeem.... “


Weladalah, jawabnya Cuma hem tok ki piye.



“Mbul kamu kenapa toh. “


“heeem.... “



Hadeeh... Awas aja kamu Mbul.



“yo wis aku tak pamit mau ke tempat mbah Harjo dulu ya? “


Seketika matanya melotot melihatku, dan aku hanya tersenyum saja.



“tu kan bener, jangan kemana-mana nanti biar mbah Harjo aja yang kesini ya? “



Aku segera berdiri tapi tak juga aku berangkat, aku mau tau reaksinya sih.



“Hoy... Mau ngapain kesana!! Memangnya aku kesambet? “


“Lo.... Dari tadi di tanya Cuma ham hem ham hem kok, mana melotot lagi, kan yang begitu biasanya minta di sembur sama mbah Harjo? “


“mangkat tak patak (patak/lempar) sampean mas!! “


“Naah gitu dong... Melotot tapi ada suaranya kan mendingan to Mbul. “


“ngapain ngga pulang-pulang, kecantol cewek di sana kamu mas, sampai lupa pulang, iya... “



Aha ha ha begitu toh cara menyampaikan rasa kangennya.



“Iya maaf, kan aku udah kerja to di sana, ya masa kerja mau seenaknya pulang toh Mbul. “


“Iya yah, he he”


“Itu kopi buat siap Mbul? “


“buat bapak lah! Ngapain bikinin kopi buat orang yang bikin khawatir terus. “


“Aku ngga di bikinin? “


“ngga!”


“Pelit!”


“Biarin!”


“ya ya ya.... Eh mbul Indriani piye, aku kok lihat dia boncengan sama si Iwan ya? “


“Eem.... Itu mas anu. “



Nah loh, Asti gugup dah pasti ada sesuatu ini, ya walaupun aku sendiri sudah ada Feeling sih, tapi kan lebih baik aku tanya yang tau pastinya aja.



“Apa Mbul? “


Tanyaku lagi.



“Dah ngga penting mas? Ada yang lebih penting selain itu, lupakan dulu hatimu lah mas, lihat simbah, mereka sudah tua dan tak seharusnya mereka ikut terlibat urusan mas Ian kan? “



Duar!!!

Kenapa ini, apa yang terjadi? Tadi simbah juga ngga ada cerita apa-apa sama aku.



“mas Ian tau kenapa mas Ian di suruh pulang, mereka kesana nyari mas Ian. “


“Mereka kesini juga berarti, dan kenapa tadi kamu bilang simbah ikut terlibat apa yang mereka lakukan Mbul? “


“Mas mendingan mas Ian di rumah aja ngga usah kerja lagi lah ya? Aku takut simbah di apa-apa in lagi sama mereka”


“maksudnya Mbul, mereka macam-macam sama simbah gitu? “



Asti tak menjawab pertanyaan ku, tapi kepalanya mengangguk, cukuplah, mereka akan menikmati apa yang sudah mereka lakukan.



“dah lah, mereka siapa sih Mbul? Aku lo bingung he he... “


“ opo? Mau maranin mereka? Ngga usah! Aku Cuma minta mas Ian di rumah tok, ngga usah balas nanti malah panjang. Lagian Indriani udah nikah juga sama Iwan kok, apa yang mau mas perjuangkan juga.”



Duar....
Habis sudah harapanku, pantas saja tadi kulihat mereka boncengan, tapi sudah seharusnya aku berpikir lebih dewasa, yang jelas aku ngga terima kakek nenekku di apa-apa kan sama Iwan dan kawan-kawan, harus ku balas tanpa sepengetahuan Asti bahkan kakek ku sendiri. Aku harus cari tau siapa yang sudah berani sama kakekku.



“Mbul, boleh tau siapa orang yang ke rumahku ndak, buat jaga aja kalau aku ketemu mereka di jalan nanti. “


“Tapi ngga boleh macam-macam lo ya? “


“iya? Cuma semacam kok he he.... “



Singkat kata aku sudah mengantongi ciri-ciri orang yang sudah mengusik kakekku, besok pagi iya besok pagi akan kucari mereka.
Malam telah lewat, suasana yang tenang tanpa suara bising kendaraan mengantarkan tidur lelapku, kini pagi menyingsing dan sebuah rencana sudah siap ku jalankan.
Jalanan yang sepi berembun ku lewati, berjalan menuju tempat kemarin aku turun dari bus yang kutumpangi dari kota S itu, jauh memang tapi demi sebuah tujuan aku tak ada masalah, dan tak seorang pun yang tau kepergianku ini.
Setengah jam sudah aku berjalan, dan sampailah aku di sebuah warung kopi tak jauh dari lokasi yang kutuju, sengaja aku memakai topi untuk berjaga-jaga kalau ada seseorang yang mengenaliku.

Cukup lama aku memantau keadaan disini segelas kopi sudah amblas di perutku dan dua batang rokok hampir habis, dan apa yang kucari apa yang ku tunggu datang juga.

Heeem.....
Ku hempaskan napasku agak ngeri sih, tapi ini tekatku, segera ku bayar kopi dan beberapa gorengan yang kumakan, dan ku hampir dia,



“Mas, antar ke dukuh langen mas, “


Untunglah dia tak menatapku, kuturunkan topi agar wajahku tak begitu terlihat jelas keseluruhannya.




“Siap mas, “


Baguslah, tak perlu basa basi, aku segera naik motor dan kami pun melaju sedang, hawa yang dingin masih sangat terasa menusuk tulang, dan di tengah perjalanan ku coba pancing dia.



“Mas sampean kenal Iwan ngga mas. “


“Iwan mana mas? “


“itu mas yang dari dukuh montong yang dulu kena musibah mas. “


“Ooh.... Iya mas kenal, suka nongkrong bareng juga kok mas, ada apa ya mas. “


“ndak, ndak apa-apa kok he he... Terus itu pelakunya piye mas,”


“ Kabur mas, sampai tak samperin ke rumahnya dia juga. “


“Oooo lha terus gimana mas? ”


“ada kakeknya tok mas”


“oalah... He he... “



Cukuplah kurasa, aku hanya memastikan saja, perjalanan pun memasuki wilayah dukuh langen, tepat aku turun dari ojek motor yang kemarin, dan sekarang aku meminta turun juga disini. Tempat yang aman menurutku, mue he he...



“Hop mas, turun sini aja. “


“Loh ndak masuk sekalian mas ke kampung? “


“Ndak ndak, sini saja”



Aku segera turun dari motor dan ku angkat topiku,



“mas sampean dapat salam dari Ian lo mas, “



Sejenak orang itu berpikir, posisinya masih duduk di atas jok motor dan satu kakinya menyangga kendaraannya, tanpa menunggu lama segera ku tendang sekuat tenaga paha orang yang sudah mengantarkan aku sampai di sini,



Buugh...
Braaak!!



“Aaaargh.... Bajingan!!“



Terang saja orang itu jatuh dan kaki yang satunya tertimpa kendaraannya, dan sepertinya dia sadar sesuatu.


Buugh!!...
Blaaam!..

tapi sayang dia telat, Terjangan kakiku lebih dulu bersarang di muka bopengnya, dengan mulus tanpa hambatan kepala si bopeng mendarat di hamparan tanah kering, dengan kondisi dia yang tertimpa motor membuatku begitu mudah melakukannya, bahkan berkali kali muka dan kepala si bopeng ku injak dan kutendang.


Aaah...
Dingin tanpa perlawanan, ngga asik ngga ada seni sama sekali, dan membuatku malas menganiaya dia.



“hoy!! Masih hidup kamu, ku kasih kesempatan melawan, jangan hanya bisa berurusan sama orang yang sudah tua kamu nyuk!!

Cepat bangun atau kamu selesai disini tanpa perlawanan, cepat!!!“



Aku segera mundur memberi ruang padanya agar bangun, lucunya dia benar-benar menuruti omonganku, si bopeng segera berdiri dan aku tau dia menahan nyeri, tapi dia mencoba menutupinya.

Baguslah, lebih baik melawan dari pada ku siksa tanpa perlawanan, untungnya aku sudah membuat dia cedera kalau ngga aku bisa saja kalah duel dengannya, dari postur aku kalah jauh jam terbang masalah tarung juga kujamin aku kalah jauh, susah payah dia berdiri dan kini kami berhadapan, aku tak mau menyerang terlebih dahulu, biarlah musuh yang sudah cedera itu yang menyerang, aku merasa aku sudah berada di atas angin,


Wuuush...
Buugh!!..

Asu!
Sebongkah batu tepat mengenai lenganku, bodoh! Aku tak menyadarinya lalu dengan cepat dia menerjangku, aku tak kalah cepat, aku menghindar ke samping tak lupa ku siapkan satu kakiku.


Bugh!
Argh!!!

Paha kanannya telak terkena tendanganku, seketika si bopeng pun oleng kuterjang lagi dan lagi, hingga akhirnya dia benar-benar roboh dan tengkurap di depanku.



“Tangi nyuk!! Jangan modar dulu kamu, hoy bangun!! “


Teriakkan ku sedikit demi sedikit membuat si bopeng menggerakkan kepalanya lalu kepalanya menengadah keatas dan berusaha bangun, rasa geram membayangkan sangat kakek di pukul oleh kawanannya membuatku tak sabar, segera kutendang muka si bopeng selayaknya bola saja.



Buugh!!..

Aaargh!!...

Kembali tubuh tak berdaya itu terjerambab dan tak bergerak.



“ngga ada gunanya kamu peng bopeng! Bersiap modar kamu ha ha ha ha ha... “


Perlahan ku dekati dan niatku ingin membawanya ke dalam rimbunnya hutan. Tapi sayang dari arah utara ada seseorang yang berjalan kearahku, masih jauh sih, tapi cukup riskan buatku lebih baik ku tinggalkan saja seonggok tubuh lemah itu.

Satu sudah kubalas, aku menunggu waktu yang tepat lagi hingga semua yang berhubungan dengan semua ini habis kubereskan.






Bersambung...
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd