Sambungan...
Part 16: Gugurnya Sang Menjangan
Manusia adalah serigala bagi sesamanya, bahkan predator berdarah dingin. Salah satu contoh manusia demikian adalah Qadir Jalal Ahmad alias Broto Sunarto. Mantan begal kelas codot yang kini bertransformasi menjadi lurah Suromenggolo yang selalu tampil dengan jubah putihnya. Belum puas menjadi penguasa bumi Suromenggolo, ia berniat naik ke tingkat yang lebih tinggi, menjadi Wedana Lawu.
Wedana adalah jabatan prestisius, di atas para camat dan persis di bawah Bupati. Untuk mencapai hal itu, ia sudah menyiapkan segalanya. Memiliki kendaraan politik yang kuat, PPK alias Partai Penegak Kebenaran sekaligus berkongsi dengan para aparat Angkatan Perang Nasional atau APN. Bukan hanya itu, ia juga berhasil menjalin hubungan dengan Sinto Artawan, yang bernafsu mendirikan Artakarta, sebuah kota masa depan yang menjanjikan. Sebuah duplikat dari Makau dan Singapura.
Untuk mencapai impian itu, Broto menjadi seorang bajingan kelas t-rex. Ia tak segan membunuh dan memfitnah lawan politiknya. Lurah Durno beserta anak dan cucunya tewas secara tidak langsung oleh tangannya. Begitupula Dorosewu yang ia porak-porandakan setelah berhasil mengisolasi kekuasaan Ki Nogo Ireng. Kini, ia mengincar Awar-awar, sebuah negeri mungil yang cukup luas untuk ukuran desa.
Tetapi Awar-awar memiliki jagoanya sendiri. Bambang Kijang sang pendekar. Pria cebol tapi kekar ini adalah duri yang harus ia singkirkan agar nafsu kekuasaanya bisa terpuaskan.
Menghadapi Bambang Kijang dengan cara militer sangat riskan. Ia memiliki pengikut yang banyak, jumlahnya ratusan. Walau begitu otak picik Broto yang terus berputar akhirnya menemukan sebuah solusi. Pras, pendekar labil pragmatis Dorosewu.
“Kang, saya dengar Pras punya sokongan dari PT MBU, perusahaanya Sinto Ariawan. Bagaimana jika mereka mengerahkan ribuan anggota PPK dan Mentari Kembar.”
“Hei! Jadi kau takut bertarung?”
“Bukan begitu kang”, Jombrang, seorang pengikut Bambang Kijang berpikir sejenak. Setelah menemukan kata yang pas, ia kembali bercakap, “Saya takut dengan nasib wanita dan anak-anak Awar-awar. Bahkan saya dengar, mereka pernah mememperkosa dan menjual wanita-wanita Suromenggolo untuk dijadikan pelacur di Surabaya.”
Bambang Kijang mengerti. Ia sadar, cepat atau lambat, Awar-awar pasti diserang. Akhirnya setelah berembuk dengan sembilan pendeta tinggi Suromenggolo dan para tokoh pemuda, mereka memutuskan sebuah langkah. Semua wanita dan anak-anak akan diungsikan.
Dua hari sebelum Bambang Kijang meluruk rumah Pras, para wanita dan anak gadis secara bertahap diungsikan ke sebuah markas Polisi Desa APN.
“Saya titip wanita dan anak-anak Awar-awar.”
“Tenang saja Kang Bambang. Walau saya aparat, saya bersimpati dengan perjuangan kang Bambang.”
“Terimakasih.”
Bambang Kijang merasa lega. Setengah wanita dan anak gadis Awar-awar sudah diungsikan di rumah seorang kepala Polisi Desa Distrik Lawu Utara. Ia sangat percaya dengan sang aparat. Walau masih mudah, Abdul, nama aparat itu, terlihat sangat cakap dan bisa dipercaya. Sayangnya kali ini Bambang membuat kesalahan besar.
Malam itu, seusai meluruk rumah Pras, kira-kira Pukul 6, Bambang mengumpulkan para pendeta tinggi dan tokoh pemuda. Ia mendapat terawangan. Sebuah pertanda yang tidak terlalu baik.
Dalam terawangannya ia melihat seekor kijang sedang bertarung dengan seekor Garuda. Dengan mudah sang menjangan menghajar si burung garuda. Tetapi tiba-tiba muncul ribuan gagak. Para gaok itu membawa masing-masing batu api di cakarnya lalu membakar hutan, membunuh baik kijang dan garuda.
Sebagai seorang satria, ia mahfum itu adalah perlambang. Kijang adalah purnarupa dirinya. Garuda? Mungkin itu pras. Dan memang benar.
Kira-kira pukul enam lebih dua puluh, Pras datang. Ia langsung menuju ke alun-alun Awar-awar. Di sana, para pengikut Bambang Kijang sudah bersiap. Mereka membentuk lingkaran mengelilingi sebuah lapangan yang beralaskan tanah berdebu.
“Di mana Bambang Kijang!!!” suara Pras menggelegar.
“Tidak usah berteriak, penghianat busuk.”
“Anjing, benar kau menyerang rumahku sore tadi?”
“Aku lebih suka menyebut tempat itu sanggar pakenton!”
“Baiklah, akan kukirim kau ke neraka!”
Pras yang sudah dipenuhi amarah memulai inisiatif serangan. Ia ayunkan gadanya. Dengan jurus Ayunan Gada Menggelegar. Dengan sepenuh tenaga Pras mengayunkan gadanya secara vertikal dan diagonal. Serangan ini sangat berbahaya. Jika terkena kepala bisa langsung pecah.
Tapi dengan mudah Bambang Kijang menghindar. Bahkan tanpa menggerakan kaki, hanya tubuh saja. Lalu pada gerakan ke tiga, Bambang melayangkan seranganya. Tapak Sakti Penuh Gelora.
Jeb.............bammmmm..............
Tepat telak mengenai leher Pras. Yang terkena langsung jatuh tersungkur. Bambang mundur dua langkah. Ia gunakan jeda perlawanan itu untuk mengumpulkan tenaga.
Pras bangkit. Ia kini yang harus dipaksa bertahan. Dengan jurus Tahanan Kaki Naga, ia menyambut Tapak Sakti Penuh Gelora. Sebelas serangan, dua yang terakhir mengenai dada Pras. Sedang Pras juga sempat membalas dengan pukulan, walau tidak terlalu bertenaga karena terlalu fokus bertahan.
Mereka mundur masing-masing dua langkah. Lalu Bambang kembali menerjang. Ia menyerang dengan jurus Sabetan Membelah Nusa. Pras dengan susah payah menangkis dengan gadanya. Tetapi ternyata secara teknik, Bambang lebih handal. Dua sabetan melukai kaos Pras. Darah mengucur segar.
Pras mengamuk, ia atur nafas. Kali ini ia gunakan kembali jurus Ayunan Menggelegar dikombinasikan dengan Tahanan Kaki Naga dan jurus Naga Memburu Seteru. Ini merupakan kombinasi yang luar biasa. Pras menyerang dengan gadanya, sambil kakinya tetap waspada untuk menghindar. Sedang jika tangan kanan Pras mengayunkan gada, tangan kiri Pras memburu Bambang dengan sikut dan pukulan.
Pak...pak....jdaakkkk....
Ciattt.....happp......jdakkkkkkk
Bambang tersungkur. Tetapi insting petarungnya muncul, sepersekian detik badanya menyentuh tanah, ia berputar, kakinya melakukan serangan berupa jegalan . Pras juga ikut tersungkur. Bahkan lebih telak.
Semua orang yang melihat terpana, baik dari kubu Pras maupun Bambang Kijang. Bagi mereka yang sudah terbuka titik Shakti Arimbi-nya atau Shakti yang terletak di mata, maka mereka bisa menyaksikan pertarungan itu dengan versi yang lebih seru. Yang bertarung bukan hanya Pras dan Bambang dalam bentuk fana, tetapi juga wujud mereka dalam bentuk purnarupa.
Purnarupa Pras adalah seorang lelaki tampan berwajah indo dengan topi kepala garuda yang cucuknya penuh darah. Di tangan kananya ada Gada kayu berwarna coklat keperakan. Pakaianya jubah hitam dengan celana cingkrang juga berwarna hitam. Di pinggangna, ada sabuk dari kain berwarna merah muda. Padahal sabuk ini biasanya hanya dipakai pendekar wanita.
Sedang purnarupa Bambang lebih menawan. Seorang lelaki berkulit sawo matang tanpa pakaian secarikpun, selain sebuah mentimun yang menutup tytydnya. Ia juga memakai kalung berbandul kepala naga. Sedang di rambutnya, tampak tanduk semacam tanduk menjangan. Ia bersenjatakan pedang yang terbuat dari kilat yang menyala-nyala.
“Hebat juga kau ya. Ternyata walau sebagai penjilat Artawan, kau masih memiliki ilmu Suromenggolo”
“Jangan banyak omong kau, keparat.”
Kali ini dengan wajah penuh darah dan lebam, Pras kembali menerjang. Tapi serangannya tak beraturan. Nampaknya tenaganya sudah melemah. Tentu ini menjadi keuntungan untuk Bambang Kijang. Serangan Pras tak satupun mengenai tubuhnya, tetapi empat sikutan dan dua tendangan Bambang Kijang tepat menghajar ulu hati, leher dan paha Pras.
Pras tersungkur untuk kesekian kalinya. Bambang lalu mengambil pedang pusakanya, Ki Joko Gumilar. Sebuah pedang mustika desa Awar-awar. Ia bermaksud menebas leher Pras agar Pras bisa mati terhormat tanpa rasa takut.
Tetapi dua langkah ia maju, ia melihat seseorang. Seseorang yang memberi kode iblis. Ya, ia melihat Abdul, seorang anggota Mentari Kembar yang sudah memiliki jabatan baru, Kepala poldes. Ia berada di sebelah Kemin. Ia tersenyum. Tersenyum penuh arti. Dengan gerakan seperti menembak kepalanya sendiri, ia memberi kode.
Sontak Bambang terhentak. Ia mematung. Seperti layaknya seseorang yang sudah dibodohi. Ditipu mentah-mentah. Ia telah menyerahkan wanita dna anak gadis Awar-awar pada musuh. Ketololan yang tak bisa dimaafkan!
Mengambil momen yang tepat, Pras meraih gadanya, dan dengan jurus Ayunan Gemelegar, ia menyerang kepala Bambang.
PPyaaarrr.....
Sebuah suara menggelegar. Darah segar mengucur deras. Kepala Bambang pecah seketika. Otaknya keluar di antara sela-sela tengkoraknya yang pecah. Lalu dengan jurus Injakan Naga Menyelesaikan Prahara, ia injak leher Bambang. Kesatria Awar-awar itu mati dengan penyesalan penuh.
“Bunuh mereka semua!!!!!!” Tiba-tiba Abdul memekik. Anak buah Pras menyerbu para pengikut Bambang yang sudah kehilangan semangat bertempur. Mereka juga membakar rumah-rumah penduduk dan menculik sisa-sisa wanita yang ada, termasuk Siti, istri Bambang yang menangis kejer. Malam itu, Awar-awar seakan menemui ajalnya.