Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Keputusan [LKTCP 2020]

effervescence

Suka Semprot
Daftar
3 Aug 2020
Post
2
Like diterima
23
Bimabet
2018

“Memek kamu sempit sekali, kayak lonte.”

Tika mendengus. Kekasihnya, Ferdi, selalu mengucapkan kalimat nakal menjurus kasar setiap kali mereka bersanggama, seperti berniat membangkitkan gairahnya maupun pria itu. Akan tetapi, alih-alih terangsang, ia justru merasa Ferdi tengah melampiaskan amarah serta kekesalan terhadapnya. Ia pun sesungguhnya telah memberitahu dan mengingatkan Ferdi untuk tak melakukan atau setidaknya membatasi perilaku tersebut karena ketaksukaannya, tetapi kekasihnya tak kunjung mengabulkan, seolah-olah telinga atau nalar pria itu tersumbat batu.

“Membungkuk. Aku ingin orang-orang melihat kebinalanmu.”

Dari kamar apartemen Ferdi di lantai dua puluh tiga, ia menebarkan pandang seraya membungkuk dan menopangkan tangannya pada permukaan kaca di hadapannya. Bulan purnama menguasai langit ibu kota tanpa kehadiran awan serta cahaya lampu menerangi bangunan-bangunan dan jalan raya, tetapi semua itu bagai tak mampu membersihkan kehampaan internal kotanya. Di belakangnya, Ferdi mulai mempercepat hentakkan tubuh. Mereka telah bersanggama selama hampir satu jam. Tika tak tahu, saat ini, telah melakukan gaya ke berapa; tak sempat sekaligus malas menghitungnya. Selama persanggamaan itu, benaknya seringkali mengawang dan bertanya: mengapa aktivitas seksual tersebut tak membahagiakan dan memuaskannya, meski telah meraih orgasme dua kali? Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia berpikir, barangkali menjadikan jumlah orgasme ataupun gaya serta metode bercinta sebagai barometer kenikmatan persanggamaan merupakan suatu kesalahan besar dalam berkehidupan.

“Di mana muka sange kamu?”

Sebelum Tika sempat menanggapi, Ferdi telah memutar tubuh sekaligus menekan keras bahu Tika hingga perempuan itu terpaksa berlutut di lantai. Tika hafal gelagat tersebut; Ferdi di ambang orgasme. Ketika Ferdi mulai mengocok penisnya, Tika segera memejamkan mata. Tak lama, Ferdi mengerang, memegang kepala Tika, lalu memasukkan penisnya ke dalam bukaan kecil mulut perempuan itu. Tika pun terbatuk-batuk. Mani ejakulasi itu menjalarkan rasa pahit pada lidah serta tenggorokannya, dan sekuat tenaga, ia menelannya seraya menahan desakan untuk muntah.

Setelahnya, Ferdi lekas pergi ke kamar mandi; tanpa meminta maaf, memanjakan, ataupun sekadar berterima kasih. Tika menghampiri ranjang dan menduduki tepi tilamnya, sementara kamar mandi menguarkan suara pancuran. Dari balik bantal di dekat kepala ranjang, ponselnya bergetar sekejap. Ia segera mengambilnya dan melihat tampilan layar. Sebuah pesan baru telah masuk.

Lagi apa?

Tika tersenyum simpul. Pertanyaan itu seketika melegakan hatinya sekaligus melesapkan nyeri pada bahu dan beberapa bagian tubuhnya akibat persanggamaan tadi. Sejak penguburan jenazah Ibunda Chaya tiga hari lalu, baru kali ini sang sahabat memberi semacam pertanda kehidupan. Ia merasa begitu senang dan antusias untuk menjawabnya.

“Mau melakukannya lagi?”

Tika menoleh sekejap. Ferdi keluar dari kamar mandi lalu berjalan ke arahnya. Mata elipsnya menatap tajam, seolah ingin menjaga dan mengikat Tika di ranjang agar tak beranjak ke mana-mana. Butir-butir air melintas turun dari dada bidang dan kekar tangannya, sementara penisnya mencuat tegang. Tika menggeleng lalu kembali menatap layar ponsel. Tangannya mengetik balasan.

Biasa, sama Ferdi. Ada apa?

Nafas hangat seketika menjalari tenguknya, menyusul ciuman demi ciuman di tempat sama, sementara dua tangan merayap dari punggung menuju payudaranya untuk kemudian menyentuh dan memilin kasar putingnya. Tika berdecak seraya menoleh. Ferdi tersenyum lebar, nyaris menyeringai.

“Kamu sungguh menggairahkan. Aku ingin memakaimu sepanjang malam.”

Ferdi beringsut seraya memejamkan mata. Tika segera berdiri dari tilam dan mendapati juluran tali dari kedua kaki penyangga sisi atas ranjang. Ia seketika menatap tajam Ferdi.

“Aku tak mau. Cukup.”

Ia melepas tali-tali itu, menggulungnya, lalu berjalan menuju sebuah nakas cokelat di seberang ranjang. Setumpuk pakaiannya tertata rapih di atas nakas itu. Ia lantas membuka rak di bawahnya. Kotak kondom, sabuk kesucian, pecut, vibrator baja nirkarat dan kotaknya, serta pelumas berserakan di dalamnya. Semua barang-barang itu milik dan pembelian Ferdi. Ia sama sekali tak memintanya. Ia bahkan tak mengenal barang-barang itu sebelum menjadi kekasih Ferdi. Ia memperhatikan vibrator baja nirkarat dan kotaknya. Sang kekasih pernah memberitahu bahwa vibrator baja nirkarat itu harus segera dibersihkan dengan air hangat dan sabun setelah selesai digunakan agar kotoran tak menempel dan berkembang biak lalu menyebarkan kuman penyebab infeksi dan penyakit ke kemaluan perempuan, dan ia ingin memastikan bahwa pria itu masih mengingatnya.

“Kamu sudah mencuci peralatan yang kita pakai tadi?”

“Sudah.”

“Kapan?”

“Tadi, waktu ronde pertama. Kamu lupa?”

Tika tak menjawab. Ia sama sekali tak mengingatnya. Laci memori otaknya kosong. Atau hilang? Korup? Ia tak tahu.

Ferdi, seakan menyadari kebimbangan itu, segera berkata, “Benar, Tika. Sumpah. Aku perlu cuci ulang?”

Tika, merasa ucapan itu telah cukup meyakinkannya, menggangguk seraya menaruh tali ke dalam rak dan menyimpan vibrator baja nirkarat ke dalam kotaknya. Ia lantas mengambil tumpukan pakaiannya, memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, dan pergi ke kamar mandi. Di sana, ia mencantolkan pakaiannya pada gantungan di pintu terlebih dahulu, sebelum akhirnya membilas badannya.

Setelah mengeringkan tubuh dengan handuk, ia mengamati citranya melalui cermin wastafel. Bercak kemerahan bertebaran di sekitar dada dan putingnya. Ia mundur beberapa langkah lalu memutar pinggangnya. Bercak kemerahan serupa juga mengisi permukaan bokongnya. Semua ruam itu ulah Ferdi selama persanggamaan tadi; berasal dari gigitan kecil, tamparan tangan, atau pecutan. Tika tak menikmatinya. Dari tindakan-tindakan itu, secuilpun, ia tak menangkap geliat gairah atau rangsangan, kecuali kepedihan. Ia tak mengerti, mengapa Ferdi menggemari bubuhan kasar itu. Sesungguhnya, ia memiliki pertanyaan lebih mendasar dan besar daripada perihal perilaku Ferdi di ranjang: tepatkah keputusannya menjadikan pria itu sebagai pengisi singgasana hatinya? mengapa ia masih mempertahankannya? Ia telah melalui satu pergantian tahun sebagai kekasih Ferdi dan hubungan itu tampaknya tak akan lagi berkembang atau bahkan tak pernah mengembang sejak awal. Mungkinkah ini saat tepat untuk mengakhirinya?

Ia pun berpakaian, keluar dari kamar mandi, lalu duduk bersanggakan bantal tempat tidur untuk melihat keadaan ponselnya. Chaya telah mengirimkan balasan.

Besok malam, jam tujuh, kamu bisa datang ke pembukaan kafe Ephemeral? Itu kafe teman-temannya Bani.

“Kamu besok dinas, kan?” tanya Tika.

“Iya,” jawab Ferdi.

“Sampai kapan?”

“Kurang tahu. Minggu depan, sih, kembali. Tapi beberapa hari setelahnya, aku harus pergi lagi.”

Tika mengangguk.

Bani?
Di kafe itu, Bani bakal sering tampil di panggung dan membantu kegiatan di dapur. Aku nanti kesepian.
Teman-temannya Bani?
Aku mau kamu.

“Kamu lagi sms-an sama siapa, sih?”

“Chaya.”

“Tika?”

Tika mendongak malas. Ferdi telah berlutut dan menjulurkan tangan. Sebuah cincin emas tertahan oleh ibu jari dan telunjuk pria itu.

“Kupikir ini sudah waktunya.”

Tika menggeleng pelan. Ia tak paham, mengapa sang kekasih rela melamarnya. Apakah itu kehendak orang tua Ferdi atau Ferdi atau semuanya? Akan tetapi, dari kunjungan-kunjungan silamnya ke rumah orang tua Ferdi, ia tahu, mereka tak pernah memaksakan atau menginginkan perkawinan anaknya. Mereka hanya bangga terhadap pencapaian karir atau finansial Ferdi, dan pria itu, sebagai seorang konsultan migas, jelas berhasil mewujudkannya.

“Kenapa?” tanya Tika. “Kamu tak dipaksa orangtuamu, kan?”

Ferdi tersenyum. “Aku mencintaimu. Tak ada alasan untuk tak melamarmu. Orangtuaku tak ada hubungannya dengan ini. Ini soal perasaanku.”

“Kamu yakin?”

“Ya. Kamu?”

Tika terdiam sejenak. Ia tak mungkin mengutarakan perasaannya sekarang. Momennya tidak baik. Ia tak mampu membayangkan kekecewaan Ferdi jika dirinya benar-benar melakukan itu. “Aku akan menjawabnya nanti sepulangnya kamu dari tugas dinasmu.”

“Kenapa tak sekarang?”

“Aku perlu waktu.”

Ferdi mendengus, berdiri, dan menyimpan cincin itu ke dalam kotak merah di laci meja kerjanya. Tika menatap layar ponsel.

Oke. Alamatnya di mana?

*​

Setibanya di kafe Ephemeral, tebal asap rokok dan kerumunan manusia di beberapa titik ruangan segera menyambut Tika, menggatalkan hidung serta kerongkongannya. Di antara itu, ia mendapati sebuah bangku kosong di pojok ruangan, sepi dari asap rokok. Ia lantas duduk di sana dan mengedarkan pandang. Beberapa meter darinya, di atas sebuah panggung kecil, sebuah cajon, dua buah gitar akustik, serta sebuah mikrofon tersusun rapih, seolah-olah penataan letaknya berdasarkan sudut kecantikan dan keindahan terbaik bagi kenikmatan pandangan pengunjung. Di belakang panggung itu, dapur dan kamar mandi berdekatan dan terpisahkan tembok.

Beberapa menit kemudian, Bani dan beberapa lelaki berjalan dari arah belakang panggung lalu naik ke atas panggung. Di saat bersamaan, salah seorang pelayan memberikan menu kafe kepada Tika. Setelah membaca menu itu, Tika memilih roti bakar rasa susu, cokelat, keju dan segelas es teh manis untuk dihidangkan. Untuk kepentingan selera lidah dan terutama keamanan isi dompetnya, ia enggan membeli jenis makanan dan minuman terlalu mahal juga terlalu kompleks. Ia tak lagi menerima pemasukan beberapa minggu ke belakang setelah kafe tempatnya berkerja sebagai barista gulung tikar. Ketika pelayan pergi, salah seorang pria di atas panggung menyapa para pengunjung lalu memperkenalkan satu persatu nama orang di sampingnya. Setiap kali menyebutkan nama orang-orang itu, termasuk Bani, Tian, nama pria itu, selalu meminta tepuk tangan dari para pengunjung kafe. Sebagai balasan, mereka, termasuk Tika, menurutinya. Tak lama, Tian membawakan sebuah lagu ciptaannya dan mengalunkan nada-nada renyah dan tegas bak gigitan pada keripik kering. Tika tak pernah mendengar lagu tersebut sebelumnya, tetapi dirinya harus mengakui kualitas baik suara nyanyian pria itu.

“Tika?”

Tika menoleh. Chaya telah berdiri di sampingnya, mengenakan gaun koktail biru. Tika pun tersenyum.

“Hei, Chaya.”

Chaya seketika mendekap erat tubuh di hadapannya. Tika, tak menduga serangan kilat itu, refleks memegang meja dan bangku di dekatnya. Chaya segera melepas dekapannya lalu menatap Tika, seolah-olah menyadari dan memahami gelagat perempuan itu sebelumnya. Bibirnya mengerucut, layaknya anak kecil ketika meminta permen kepada ibunya.

“Maaf,” ucapnya seraya tersenyum. “Aku sangat merindukanmu.” Dia melirik bangku di samping Tika. “Bolehkah aku duduk di sini?”

“Tentu,” jawab Tika. “Masa, aku harus mengusirmu?”

Chaya menarik bangku di dekatnya lalu duduk seraya menatap Tika. Di atas panggung, Tian tengah memainkan lagu kedua.

“Kupikir, kamu datang bersama pacarmu,” kata Chaya.

“Dia dinas,” balas Tika.

“Kamu tak diajak?”

“Jadi apa? Penunggu dia kerja? Memangnya aku siapa?”

“Pacarnya, kan?”

Tika menjengitkan bahu.

“Kalian putus?”

Tika menggeleng.

“Lalu kenapa?”

Tika mendengus. “Aku capek sama dia.” Ia tersenyum simpul. “Sudahlah. Tak begitu penting juga. Kamu sendiri bagaimana?”

Chaya terdiam sejenak, tetapi membiarkan mulutnya terbuka. “Baik. Serius, kalian tak putus?”

Tika kembali menggeleng.

Chaya seketika mengernyit. Kepalanya perlahan bergerak miring--bagai anjing ketika mendengar suara bernada tinggi, dan bibirnya kembali mengerucut; seolah-olah tak mempercayai perkataan ataupun meminta penjelasan lebih lanjut dari Tika.

“Kamu, tahu, kan, kamu bisa cerita kepadaku kalau ada apa-apa?”

Tika menggeleng pelan. “Tak ada apa-apa yang bisa diceritakan.” Ia tertawa kecil. “Aku hanya bosan.”

“Ya… tapi bosan itu kenapa?”

Tika tersenyum hampa dan termenung. Pertanyaan itu melintaskan sebuah pertanyaan lain di dalam benaknya: memangnya apa pendorong keinginannya berpacaran sejak awal? Ia dan Ferdi pertama kali bertemu di kafe, ketika dirinya masih bekerja sebagai barista. Waktu itu, Ferdi tengah memesan minuman dan mengajak Tika berdiskusi mengenai kualitas diskografi artis yang lagunya tengah diputar di kafe itu. Dari sana, mereka bertukar nomor, dan setelah beberapa minggu, pria itu mengajaknya kencan. Hubungan mereka kemudian merekat begitu saja, tanpa ada kehebohan seperti persetubuhan ataupun pertikaian; pria itu mulai rajin mengantarnya bekerja, menjemputnya pulang ke kos, ataupun menemaninya menyaksikan film di bioskop dan makan bersama di pusat perbelanjaan. Suatu hari, Tika bertanya kepada Ferdi apakah mereka berdua merupakan sepasang kekasih. Ferdi lantas mengakui kesukaannya terhadap Tika dan bertanya balik apakah Tika suka terhadapnya. Tika menjawab kalau mereka memiliki kesamaan dalam selera musik. Ferdi kemudian menyatakan cinta kepada Tika dan Tika menerimanya. Sisanya merupakan sejarah, termasuk persanggamaan-persanggamaan tak memuaskan itu.

Pelayan datang membawa pesanan. Tika segera menyeruput es teh manis. Setelahnya, ia mendorong pelan piring berisi empat potong roti bakar ke arah Chaya lalu mengamati perempuan itu. Kening dan bibirnya pucat, sehingga mulutnya terlihat seperti sebuah garis halus. Mata bulatnya memperhatikan roti bakar sejenak sebelum menatap Tika.

“Mau?” tanya Tika.

Chaya menggeleng pelan. Tika mengambil tisu lalu memakan satu potong roti dari piring itu. Campuran rasa manis susu, pahit cokelat, dan asin keju seketika meleleh di permukaan lidahnya. Ia pun memejamkan mata, menikmati kelindan tiga rasa itu.

“Kamu pasti membenciku sekarang,” kata Chaya.

Tika mengernyit. “Tidak. Apa maksudmu?”

Chaya tertawa kecil. “Jujur saja. Aku tak akan marah. Aku pantas mendapatkannya.”

Tika terdiam sejenak. Ia berusaha berpikir lalu mendapati kemungkinan jawabannya. “Ini soal masa lalu?”

Chaya tersenyum simpul lalu mengangguk pelan dan singkat, nyaris seperti gerakan refleks. Akan tetapi, bagi Tika, itu cukup untuk memastikan jawaban.

Mereka sesungguhnya bukan berasal dari kota itu, melainkan kota tetangga, dan sudah saling mengenal sejak SMA karena satu sekolah. Waktu itu, Tika tinggal bersama kakek dan nenek dari ibunya sebab sang ibu telah meninggal dunia ketika dirinya masih duduk di bangku SMP dan kedua orangtuanya telah bercerai ketika Tika masih dalam kandungan ibunya (dan entah untuk alasan apa, setiap kali Tika menanyakan alasan kedua orangtuanya bercerai, ibu Tika ataupun kedua orangtua ibu Tika selalu mengganti topik itu dan mengatakan bahwa mereka tak lagi peduli atau ingin mengetahui nasib ayah Tika). Selepas SMA, Tika dan Chaya berhasil lolos seleksi penerimaan mahasiswa baru di salah satu kampus negeri di ibu kota dan memutuskan untuk menyewa kamar kos bersama. Selama masa perkuliahan, maut memanggil kakek dan nenek Tika satu persatu, membuat Tika seringkali pulang ke kota tetangga untuk membersihkan rumah peninggalan kakek-neneknya sekaligus menjual barang-barang tak terpakai di sana untuk membiayai kehidupannya, hingga akhirnya pemerintah menggusur rumah tersebut demi pembangunan hotel baru dan ia tak bisa melawan ataupun melakukan apa-apa selain pasrah menerima tanpa mendapatkan kompensasi sepeser pun. Tak lama, Tika mengenal Bani karena satu kelompok belajar di kampus hingga mulai menjalin kedekatan dan berpacaran. Pada masa-masa itu, Chaya sesekali menemani keduanya ketika kencan dan Tika perlahan menyadari bahwa Chaya juga menyimpan perasaan terhadap Bani. Sebelum Tika sempat memastikan hal tersebut, Chaya telah memberitahukannya terlebih dahulu kepada Tika karena merasa bersalah. Beberapa waktu kemudian, Bani memberitahukan Tika soal kedekatannya dengan Chaya. Tanpa pertengkaran atau pertikaian, Tika akhirnya memutuskan Bani, sementara Chaya menggantikan posisi Tika sebagai kekasih Bani hingga keduanya melangsungkan pernikahan. Chaya lantas menghibahkan kamar kos itu sepenuhnya kepada Tika dan pindah ke rumah baru Bani. Kejadian terakhir terjadi lima tahun lalu.

“Ayolah, itu masa lalu. Kurasa, romansa, apalagi kehidupan, adalah medan perang kejam, dan barangkali persediaan senjata juga amunisiku tak sebanyak atau sebaik kamu. Aku tak mengapa. Manusia tak ada yang sempurna.”

Chaya terdiam sejenak dan menekur, seolah tak berani atau takut atau malu menatap wajah Tika. “Aku minta maaf.”

“Tak ada yang perlu dimaafkan,” balas Tika. “Yang penting, kamu bahagia, kan, sekarang? Itu hanya masa lalu.” Ia berdecak. “Sudah. Kita bahas saja yang lain. “

Chaya mengangguk pelan. Tika melahap roti di tangannya. Waktu senantiasa berjalan, tetapi Chaya tak juga mengajak Tika berbincang, sementara Tika terus menunggu hingga akhirnya Tian usai menyanyikan lagu ketiga dan mengatakan akan beristirahat selama dua puluh menit. Ketika Tian beserta para personil turun dari panggung, Bani mengedarkan pandang ke arah pengunjung. Chaya mengangkat tangannya ke udara lalu melambaikannya ke arah Bani. Pria itu melihatnya kemudian berjalan ke arah Chaya dan Tika.

“Halo,” sapanya ketika tiba di dekat Tika dan Chaya. “Bagaimana reuninya?”

“Baik,” jawab Chaya. “Maaf, aku tadi tak terlalu menyaksikan penampilanmu.”

Bani menggeleng seraya tertawa kecil. “Tak apa-apa. Tak ada yang berubah.” Dia menatap Tika. “Maaf, menunggu lama.”

“Aku seharusnya yang meminta maaf,” balas Tika. “Aku nyaris terlambat datang ke sini.”

Bani tersenyum. “Yang penting sampai, kan?”

Tika mengangguk.

Bani meminta izin kepada Tika untuk duduk di hadapannya. Tika mengizinkannya lalu menawarkan roti. Bani mengangguk, mengambil roti menggunakan tisu, lalu melahapnya.

“Chaya ingin liburan ke air terjun besok pagi,” ucapnya, setelah makanan di mulutnya tertelan. “Dia ingin ditemani.”

“Oh, iya,” ucap Chaya. “Kamu mau menemaniku? Bani tak bisa. Dia ada jadwal manggung di luar kota.”

Tika mengangguk. “Boleh.”

Pelayan pengantar pesanan ke meja Tika sebelumnya kembali datang dan meminta Bani ke dapur untuk keperluan memasak. Bani sangat akrab menerimanya lalu memperkenalkan pelayan itu kepada Tika. Dia, bernama Rudi, rupanya pemilik kafe itu dan seorang pemusik lepas (sama seperti Bani), sementara Bani sendiri bertugas membantu operasional kafe di kala senggang. Bani kemudian menjelaskan bahwa seluruh pelayan, koki, dan penjaga kasir merupakan pemusik lepas kenalan Rudi yang seringkali menganggur jika tak mendapat panggilan kerja. Setiap harinya, dia juga membagi pendapatan kafe sama rata kepada semua pekerja di sana. Pekerjanya tak tetap, tergantung siapa tengah menganggur. Mengapa begitu? Biar adil dan beradab, ucap Bani. Tika, teringat bahwa dirinya penganggur, menjelaskan kondisi itu dan bertanya apakah kafe itu tengah membuka lowongan. Rudi mengatakan bahwa kafe itu tidak melakukannya, tetapi kalau mendadak memerlukan bantuan, dia akan memanggil Tika. Keduanya pun bertukar nomor. Bani lantas pamit dan pergi bersama Rudi ke dapur.

“Bani lebih bijak, ya?” tanya Tika, bercanda. “Aku pikir, dia tak tertarik menjadi seperti itu. Dulu, waktu kuliah, dia sering banget bolos, kan?”

“Dia selingkuh,” ucap Chaya, pelan.

Tika mengernyit. Ia terkejut karena arah pembicaraan berubah drastis dan di saat bersamaan tak menyangka Bani kembali berbuat seperti itu. “Kapan?”

Chaya mulai bercerita. Sebulan lalu, tanpa sepengetahuannya, tatkala dia tengah sibuk menemani ibunya di rumah sakit seraya menjalani pekerjaannya sebagai guru kelompok bermain, Bani melakukannya dengan Dara, salah satu penyanyi perempuan pendatang baru di negeri itu. Kebetulan, Bani merupakan pemusik lepas favorit perempuan itu. Dara, ketika kejadian itu terjadi, tengah mengalami masa buruk karena memiliki kekasih kasar nan represif. Bani berharap, kedekatannya dapat memberikan perlindungan sekaligus bantuan agar perempuan itu keluar dari pengaruh buruk kekasihnya. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Dara, pada suatu hari, memberitahukan perihal perselingkuhan itu kepada Chaya, meminta maaf, dan setelahnya tak lagi menggunakan Bani sebagai personil musik pengiringnya. Dara bahkan tak memberitahu Bani; pria itu hanya mendapati kalau perempuan itu tak dapat dihubungi dan baru mengetahui apa yang sebenarnya terjadi setelah sang istri memberitahukannya.

“Aku tak kesal Bani selingkuh dariku, toh, dia juga sudah minta maaf, tapi mengapa perempuan itu harus pergi dari Bani, kalau dia jelas membutuhkannya? Kenapa dia merelakan dirinya menderita? Atau dia tak lagi membutuhkan Bani? Aku tak tahu. Kehidupannya privat.”

Tika tak menjawab atau membalas ucapan itu.

Setelahnya, Chaya membicarakan kegiatannya sebagai guru kelompok bermain, mengenai kegemasannya terhadap tingkah-tingkah para murid di kelasnya sekaligus kekesalannya terhadap ketakberhargaan profesi pahlawan tanpa tanda jasa itu di mata negara dan pemerintah. Akan tetapi, Tika tak sepenuhnya memperhatikan, bukan karena tak peduli atau tak punya perasaan, tetapi karena ucapan Chaya sebelum pembicaraan itu menimbulkan banyak pertanyaan sensitif dalam benaknya.

Sampai mereka akhirnya berpisah malam itu, Tika tak berani mengangkat pertanyaan-pertanyaan itu ke permukaan.

*​

Tika mengunci pintu kamar kosnya. Seraya menggendong tas punggung, ia lantas menelusuri koridor untuk menemukan pintu menuju beranda. Beberapa langkah kemudian, sang pemilik kos, perempuan paruh baya, masuk dari pintu itu lalu menatapnya.

“Hei, kamu. Melupakan sesuatu?”

Tika tersenyum hampa. Jantungnya melesak, seolah ingin melarikan diri. Ia mengetahui maksud pemilik kos, tetapi kerongkongannya tercekat, dan tak mampu menyuarakannya; ia belum membayar biaya sewa kamar untuk bulan kemarin dan bulan ini. Peraturan mengatakan, seandainya seorang penghuni kos tak mampu melunasi biaya sewa kamar selama dua bulan berturut-turut, maka orang tersebut harus bersedia angkat kaki dari tempat itu.

“Jangan pura-pura lupa,” ucap pemilik kos, tanpa tedeng aling-aling. “Kapan mau bayar?”

“Saya lagi tak punya uang.”

“Ya, jangan nge-kos di sini, lah.”

“Saya juga lagi tak punya kerja.”

“Cari. Jangan malas.”

“Sudah, tapi belum dapat.”

“Ibu tak mau tahu. Kamu tahu sendiri, kan, peraturannya seperti apa?”

Tika mengangguk pelan. Lebih baik diam daripada semakin tertimpa hal buruk, pikirnya. Setelah menunggu pemilik kos masuk kamar, ia bergerak dari dekat pintu kos menuju jalan raya di hadapan kos. Sebuah mobil biru terparkir di tepi jalan. Dari balik jendela pengemudi mobil itu, Chaya melihat Tika lalu melambaikan tangan seraya tersenyum. Tika memasuki mobil.

“Sudah siap?” tanya Chaya.

Tika tersenyum kecil, mengangguk, lalu menekur. Senyumnya telah lesap. Chaya mengernyit.

“Kenapa?”

Tika menggeleng lalu menatap Chaya. “Enggak apa-apa. Jalan saja.”

“Benar?”

“Iya.”

“Kok, tadi kayak murung?”

Tika tak membalas. Chaya meraih tangan perempuan itu dan mengelusnya.

“Hei. Cerita saja sama aku. Tak usah takut.”

Tika mendengus. “Aku tak punya uang untuk bayar kos. Sudah dua bulan menunggak.”

Chaya berdecak seraya mengambil tas dari kursi belakang. Tika segera menahannya dan menggeleng.

“Tak usah.”

“Kenapa? Aku mau membantumu.”

“Aku tak mau memberatkanmu.”

“Kamu tak memberatkanku. Tak perlu dikembalikan juga. Berapa?”

“Chaya, ayolah.”

Chaya mengambil dompet lalu mengeluarkan uang seratus ribu sebanyak lima belas lembar. “Sisanya nanti aku ambil di atm tempat peristirahatan di pinggir jalan tol.”

Tika menggeleng kencang. Chaya membuka telapak tangan Tika, menaruh uang di atasnya, lalu melipat jari-jari Tika hingga uang tersebut tergenggam.

“Ambil. Aku sahabatmu dan lebih beruntung darimu. Rasanya tak pantas jika aku tak memberikan apa yang kupunya kepadamu yang kamu tak punya.”

Tika memasukkan uang itu ke dalam tasnya seraya berterimakasih. Chaya tersenyum seraya melajukan mobilnya di jalan.

“Aku juga punya pengakuan dan ingin meminta maaf.”

Tika menoleh.

“Tadi malam, aku menyaksikan video masturbasimu.”

Tika mengernyit heran. “Nonton di mana? Aku tak pernah menyebarluaskan videoku di internet. Apakah tersebar? Si-“

“Tenang, tenang,” sela Chaya. “Tak ada di internet. Itu ada di memori kamera Bani.” Dia tertawa canggung.

Tika terdiam. Ia tak tahu harus membalas apa. Ia tak ingat pernah merekam kegiatan masturbasinya menggunakan peralatan elektronik milik Bani, kecuali melalui kamera ponselnya karena pria itu sempat memintanya. Apakah pria itu, tanpa sepengetahuannya, memindahkan video tersebut, alih-alih, sesuai permintaannya, menghapusnya setelah mereka putus dan justru memindahkannya ke media lain?

“Jadi, tadi malam, aku dan Bani sedang membuka isi memori kamera lama di laptop untuk melihat-lihat isinya,” jelas Chaya, seolah-olah mengetahui permintaan Tika, “lalu… kami menemukan videomu.”

“Deskripsikan aku di sana,” ucap Tika, penasaran.

“Di video itu, kamu sedang mabuk dan berkata kotor seperti ‘lihat memek aku. Basah banget. Aku ingin kontol kamu di sini...’,” jelas Chaya. “Aku tak pernah melihatmu seperti itu sebelumnya.”

Tika mengangguk pelan. Kini, ia ingat apa yang sesungguhnya terjadi, meskipun ingatannya samar dan tak utuh. Waktu itu, Bani tengah berada di luar kota untuk mengikuti rangkaian tur panjang seorang penyanyi dan Tika merasakan kerinduan yang teramat dalam padanya. Ia pun berusaha mengontak Bani melalui panggilan dan pesan, tetapi pria itu tak kunjung mengangkat ataupun membalas. Setengah kesal, ia mengambil sebotol penuh anggur merah miliknya dan Chaya, lalu secara tak sadar, seraya menunggu Bani memberi respons, meneguknya perlahan hingga habis. Ketika itu terjadi, ia sudah terlalu tinggi dan kesal, hingga akhirnya memutuskan untuk mengambil kamera milik Bani yang pria itu sempat titipkan kepadanya dan merekam kegiatan tersebut.

“Aku minta maaf. Aku tak sadar waktu itu. Aku benar-benar mabuk.”

Chaya tertawa kecil. “Tidak apa-apa. Semua orang memang terlihat memalukan ketika sedang mabuk,” ucapnya. “Dan gara-gara video itu, aku dan dia… terangsang dan bercinta. Kami belum pernah melakukan itu lagi sejak ibuku masuk rumah sakit dan kemarin adalah yang terbaik yang pernah kurasakan setelah sekian lama.” Dia menggeleng kencang, bagai menyesali perbuatan itu. “Aku minta maaf kalau itu terdengar kurang ajar. Kami memang biadab. Haruskah aku menghapus videonya? Kami ingin menghapusnya, tapi… entahlah.” Dia berdecak seraya kembali menggeleng. “Kami seharusnya menghapus video itu.”

“Tak usah, kalau video itu masih bermanfaat untuk kalian,” balas Tika. “Asalkan, video itu tidak tersebar di internet. Tak apa-apa.”

“Tidak. Sebaiknya kami hapus. Akan jauh lebih aman,” ucap Chaya. “Jadi, bagaimana hubunganmu dengan Ferdi? Kuharap, kalian sama bahagianya seperti kami.”

Tika tersenyum hampa.

“Kamu bahagia bersamanya, kan?” tanya Chaya.

Tika terdiam sejenak. “Aku terjebak. Sepertinya kami menemukan jalan buntu. Aku tak cocok dengannya. Aku tak bahagia.”

Tika dan Chaya menoleh serempak. Mata mereka saling bersirobok dan dalam sepersekian detik Chaya segera mengalihkan pandangannya ke jalan di hadapan, seolah perempuan itu telah tertangkap basah berbuat kesalahan. Untuk sesaat, keheningan menjadi perantara hubungan keduanya dan keadaan bagai menggantung tak terselesaikan.

“Pergi ke air terjun adalah salah satu keinginanku dan ibuku yang tak pernah terwujudkan,” ucap Chaya. “Kami sempat merencanakannya sebelum ibuku sakit. Saat sakit, ibu berkata kepadaku, ‘temui kebahagiaan dan cari penggantiku atau tak usah cari penggantiku untuk pergi ke air terjun. Yang jelas, aku ingin kamu bahagia.’” Dia menatap Tika sejenak. “Barangkali, perjalanan ini juga bisa membuatmu keluar dari jebakan itu.”

Tika tersenyum simpul. Ia ingin sekali menyetujui ucapan itu. Ia memang tak berharap banyak, tetapi, seperti perkataan banyak orang, apa salahnya berusaha?

*​

Chaya memejamkan mata dan merentangkan tangan. Di hadapannya, arus air senantiasa menggelontorkan diri dari ketinggian formasi bebatuan untuk terjun ke bawah, membuat tempias demi tempias berlompatan membasahi wajahnya. Sementara itu, tak jauh darinya, Tika tersenyum dan tertawa.

"Kamu harus melakukannya juga." Chaya menoleh ke belakang seraya menyunggingkan senyum. "Luar biasa."

Ia pun memejamkan mata, berusaha meresapi gemuruh konstan turunnya air ke dasar sungai serta belaian angin dingin dan hinggapan tempias pada wajahnya. Semuanya begitu menenangkan dan menyegarkan. Untuk sesaat, segala beban hidupnya seolah lesap, seiring gerak dan gema alam memberikannya sebentuk kepastian abstrak.

"Ya," balas Tika. "Kamu benar."

Mereka menjauhi area dasar sungai lalu duduk berdekatan dengan tas keduanya di atas bebatuan di tepi sungai.

"Aku bisa ke sini setiap hari," tukas Chaya. "Air terjun ini begitu menganggumkan."

Tika tertawa. "Padahal saat berjalan tadi nafasmu sudah satu-satu."

Chaya menyentuh pelan bahu Tika. "Kamu ini."

"Kenapa?" Tika mengernyit. "Aku cuma mengatakan apa yang kulihat."

Chaya tersenyum dan menggeleng. "Kamu benar."

Dering ponsel mendadak menyeruak dari tas merah muda Chaya. Perempuan itu segera mengambilnya, berdiri, lalu menjauh seraya menutup salah satu lubang telinganya menggunakan tangan dan menempelkan ponsel pada telinganya yang lain. Tika tak dapat mengetahui lawan bicara Chaya maupun pembicaraan mereka sebab suara perempuan itu terisap kelantangan gemuruh air. Ia pun hanya memperhatikan gerak bibir tebal serta sesekali anggukan kepala Chaya, sebelum akhirnya perempuan itu menurunkan ponsel dan kembali duduk di sampingnya.

“Siapa?” tanya Tika.

“Bani,” jawab Chaya. “Dia selingkuh lagi. Aku juga tadi sudah menyuruh dia untuk menghapus videomu dan dia sudah melakukannya. Semuanya aman.”

Tika menguak mulutnya sedikit, seolah hendak berbicara, tetapi sesungguhnya lebih mengarah pada pengungkapan keterkejutan. Ia merasa harus mengatakan sesuatu untuk menenangkan perempuan di hadapannya, tetapi kesulitan dalam menyusun kalimat, seolah-olah perbendaharaan kata dalam benaknya telah berkembang menjadi sesuatu yang sensitif dan berbahaya. Chaya mengernyit dan mengedikkan kepala.

“Kamu kenapa?”

“Aku minta maaf.”

“Kenapa?”

“Dia selingkuh.”

Chaya tertawa kecil. “Dia yang melakukannya, kenapa kamu yang meminta maaf?”

Tika tak membalas. Ia merasa bersalah dan terjebak. Apakah dirinya telah salah berbicara?

Tak lama, Chaya melambaikan tangan, membuat Tika berkedip berulang kali.

“Hei,” ucap Chaya. “Mengapa melamun? Aku tak apa-apa. Jangan mempermasalahkannya.”

“Kupikir itu sebuah masalah,” jawab Tika.

Chaya tersenyum. “Setelah perselingkuhan Bani sebelumnya, kami sudah membuat janji, kalau salah satu dari kami bercinta dengan orang lain, kami harus memberitahukannya,” balasnya. “Tenang saja.”

“Kamu tak cemburu dia melakukannya dengan orang lain?” tanya Tika.

“Cemburu pasti ada,” jawab Chaya. “Lalu apa? Toh, dia baik dan setia padaku dan tak membohongi atau menipu perempuan yang ditidurinya. Tak ada yang tersakiti.”

“Bagaimana kalau dia akhirnya meninggalkanmu?”

“Siapa peduli? Aku bukan asisten pribadinya. Ya, aku mencintainya, tetapi siapa aku jika hanya bergantung padanya? Lagipula, perempuan itu lebih lihai di ranjang daripada aku. Kalau dia lebih memilih itu daripada hal lain dalam sosok pendampingnya... terserah dia. Aku hanya berharap, siapapun yang dia pilih, mereka akan bahagia.”

“Kok, tahu?”

“Tahu apa?

“Dia lihai…”

“Kami pernah melakukannya. Bertiga.”

Tika mengernyit. “Bertiga?”

Chaya tertawa kecil. “Sejujurnya… aku kasihan dengan Bani saat itu. Dia terpinggirkan. Aku dan perempuan itu terlalu asyik bermain. Dia hanya bisa menyaksikan kami sambil merancap.” Dia mengernyit. “Kenapa bertanya seperti itu? Kamu tertarik mencobanya?”

Tika menggeleng kencang. “Tidak. Aku justru tak mengerti itu.”

“Apa? Hubungan terbuka? Main bertiga?”

“Seks. Aku tak mengerti. Apa yang menyenangkan dari seks?”

Chaya menggaruk kepala. “Tentu saja kegiatannya. Apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?”

Tika menggeleng pelan. “Entahlah. Tapi hal-hal seperti BDSM… kamu pernah melakukannya?”

“Ya. Tapi aku tak menyukainya dan menyarankannya. Itu berlebihan dan tak enak. Aku dan Bani melakukannya karena tertarik setelah menyaksikan film porno dan ternyata itu tak sehebat dan menyenangkan yang kami kira. Persis seperti bersetubuh di bawah pancuran. Kamu pernah melakukannya?”

“Bersetubuh di bawah pancuran? Belum. Licin, mudah terpeleset, pelumas seks dari tubuh kita terbawa air… buat apa? Ferdi juga tak mau.”

BDSM?”

Tika mengangguk pelan.

“Mengapa kamu melakukannya?”

Tika terdiam sejenak. Ia merasa terhimpit, tetapi di saat bersamaan juga seperti menemukan seberkas cahaya harapan, seolah-olah himpitan itulah pemula dan pengarahnya dalam menggapai kebebasan. “Kupikir, entah bagaimana, aku tak bisa bilang tidak? Maksudku, Ferdi menginginkannya dan aku pacarnya, jadi ketika dia memintanya, aku menyetujuinya, walaupun aku tak seratus persen yakin. Sungguh, aku tak menganggap BDSM menarik, hanya berharap sedikit. Menurutmu, mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa seseorang melakukan BDSM?”

Chaya tak membalas. Tika, tanpa menunggu Chaya berbicara, berusaha secara mandiri menemukan jawaban itu tanpa bersuara. Dalam hati, ia bertanya, mengapa seseorang menginginkan atau memerlukan rasa sakit berlebih untuk meraih kenikmatan, padahal orang itu dapat meraihnya melalui cara biasa tanpa memerlukan semacam ilusi? Suatu perasaan barangkali telah tercipta dan perasaan itu berangsur menjadi sebuah represi tersembunyi, sehingga orang itu kesulitan atau bahkan tak mampu merasakan, mengurai, dan memuarakannya pada sebentuk penghasilan atau pelepasan tepat guna, bermanfaat, dan baik.

“Mungkin, itu akumulasi perbuatan kehidupan, bukan hidup, terhadapmu. Terhadap kita, manusia,” jawab Chaya, seolah-olah menyimpulkan jawaban Tika. “Mereka tidak kejam, hanya tak ada yang memahami penderitaan mereka.”

Tika menggeleng pelan. Ia segera teringat kekasaran Ferdi terhadapnya. “Tapi pasti ada cara lain untuk mengendalikannya.”

“Memang.”

“Apa?”

“Cinta dan kasih yang membebaskan. Terhadap orang lain, tetapi terutama terhadap diri sendiri. Kalau kita tidak mencintai diri sendiri, mengakui segala kekurangan kita, bagaimana kita bisa mencintai orang lain?”

Tika tersenyum, menyetujui kalimat itu. “Cium pipiku.”

Chaya tertawa kecil. "Apa?"

Tika terkekeh dan menggeleng. Ia sebenarnya tak mengetahui pasti maksud kalimat itu. Padanan katanya meluncur begitu saja, seperti tanggapan terhadap suatu rangsangan. Apakah itu rayuan atau candaan? Yang jelas, tak seperti bersama Ferdi, ia merasa senang tanpa sedikitpun ragu atau kecewa bersama Chaya.

*​

Tika dan Chaya menghampiri meja resepsionis hotel. Seorang resepsionis lantas menyambut mereka dan melayani Chaya melakukan pemesanan kamar, sementara Tika asyik mengamati deretan jam digital penunjuk waktu beberapa negara pada dinding cokelat di belakang meja resepsionis. Untuk daerah itu, waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Perhatian Tika kemudian teralihkan ketika resepsionis mengatakan telah menemukan kamar kosong untuk mereka: ruangan bebas asap rokok dan memiliki satu tempat tidur.

“Kamu mau?” tanya Chaya kepada Tika.

“Boleh,” jawab Tika. “Kecuali kamu mau merokok.”

Chaya menggeleng. “Tidak.”

Chaya lantas melanjutkan reservasi hingga melakukan transaksi. Di sela-sela menunggu pembuatan kartu kamar dari resepsionis, Chaya meminta izin buang air kecil kepada Tika dan menyuruh perempuan itu mengambil kartunya jika prosesnya telah selesai. Tika mengangguk dan tersenyum setuju. Chaya pun menghilang menuju kamar mandi berjarak puluhan langkah dari meja resepsionis. Ketika sang resepsionis memberikan kartu, Tika segera mengambilnya dan menoleh ke arah kamar mandi, hanya untuk mendapati Chaya berdiri di hadapan kamar mandi, seolah mengisyaratkan bahwa perempuan itu belum memasukinya sedari tadi. Chaya tampak berbincang bersama satu pasangan—laki-laki dan perempuan, saling berpegangan tangan—seraya bersedekap, bagai meminta pertanggungjawaban. Tika pun mendatangi mereka. Ketika jarak di antara dirinya dan ketiga orang itu telah terpangkas, ia dapat mendengar pembicaraan mereka: seputar teknis perilisan lagu. Ia juga mendapati Chaya sesekali meliriknya. Akan tetapi, itu tak menghentikan pembicaraan mereka atau membuat Chaya memperkenalkan Tika kepada pasangan itu. Ketika perempuan dari pasangan itu bertanya mengenai sosok yang mendatangi mereka, baru Chaya memperkenalkan Tika. Perempuan dari pasangan itu kemudian menyalami Tika seraya tersenyum.

“Aku Dara,” ucap perempuan itu, “dan ini pacarku, Andre.”

“Halo,” sapa lelaki itu seraya menyalami Tika, “senang bertemu denganmu.”

Tika menoleh sejenak untuk melihat reaksi Chaya, tetapi perempuan itu hanya menampilkan wajah tanpa ekspresi. Ia ingin memastikan, apakah pria itu benar-benar kekasih Dara dalam pembicaraan Chaya di kafe, tetapi dirinya tak menemukan petunjuk apapun.

“Jadi, kenapa kalian ada di sini?” tanyanya, berbasa-basi.

“Kami baru selesai liburan,” jawab Andre. “Ini mau pulang. Besok, saya harus kerja dan Dara harus kembali tampil di panggung.”

Tika mengangguk pelan.

“Kalian sudah makan?” tanya Dara. “Kita bisa makan bareng, kalau mau.”

Chaya menggeleng. “Tidak. Terima kasih. Kami sudah kenyang.” Dia melirik sejenak ke arah Andre. “Lagipula, aku tak mau makan bersama sampah.”

Tika, menyadari bahwa praduganya benar dan keartisan Dara merupakan kemungkinan sumber magnet perhatian orang-orang di sekitar, membelalak lalu mengedarkan pandang secara awas untuk menemukan saksi dari pembicaraan itu. Ia tak menemukannya, tetapi itu tak cukup memberangus ketakutannya. Ia berpikir, jika tak melakukan sesuatu, situasi akan berangsur semakin parah dan hanya membuat mereka terlihat menjadi ataupun sebagai sosok jahatnya.

“Oke,” ucap Tika. “Kupikir, kita sebaiknya pergi.” Ia menatap Dara seraya tersenyum. “Semoga beruntung dengan proyekmu selanjutnya.”

“Terima kasih,” jawab Dara.

Dara dan Andre kemudian meninggalkan Tika dan Chaya menuju pintu keluar. Chaya seketika menatap Tika dan berdecak, barangkali kesal karena Tika mengakhiri pembicaraan tersebut. Berniat mencegah Chaya membuat kegaduhan atau masalah lain di lobi hotel, Tika segera mengenggam tangan Chaya dan membawa perempuan itu ke dalam lift. Ketika lift bergerak naik untuk mencapai lantai kamar mereka, Tika mendapati Chaya bernapas menderu bak pelari maraton. Ia juga melihat sirat kobaran amarah dan kekesalan dari mata bulat Chaya dan dirinya seketika tak mampu untuk mengelak dari ingatan kekasaran Ferdi ketika bersanggama. Tanpa mengucapkan satu kata pun, ia segera memejamkan mata seraya mendekap erat Chaya, berharap perbuatan itu akan memadamkan atau setidaknya meredam emosi perempuan itu. Tika merasa upayanya berhasil, karena Chaya kembali bernapas seperti biasa dan membelai rambutnya.

Setibanya di kamar, keduanya meletakkan tas mereka di tempat penyimpanan barang. Chaya kemudian pergi ke kamar mandi, sementara Tika menghampiri jendela untuk melihat pemandangan kota di malam hari. Dari kamar mandi, suara tekanan pada tombol pembilasan kakus seketika menghentak bagai petasan. Tika segera mendatangi kamar mandi dan menemukan Chaya tengah membersihkan tangannya di wastafel. Tangan itu saling menggosok cepat dan kasar, bagai usaha penghilangan noda keras pada piring kotor. Tanpa berpikir panjang, Tika kembali mendekap Chaya.

“Jangan marah. Aku takut kalau kamu marah.”

Chaya memutar keran wastafel dan berbalik. “Jangan marah? Kamu ngomong apa, sih?”

Tika menelan ludah. “Maaf. Aku tak bermaksud melakukannya.”

“Terus kenapa kamu peluk aku?”

“Aku hanya tak ingin kamu marah. Aku minta maaf. Aku idiot.”

Chaya memejamkan mata dan mendengus. “Dengar. Aku yang minta maaf. Kamu bukan idiot, tapi kamu tak bisa membuat orang lain menyangkal perasaannya sendiri. Yang menjadi permasalahannya hanya apakah penyebab dari perasaan itu masuk akal atau tidak dan menurutku itu sangat masuk akal. Aku berhak sekaligus pantas merasakannya.” Dia mengedikkan kepala. “Mau mandi?”

Tika mengangguk cepat, meskipun sebuah pertanyaan mencuat dalam benaknya. Mereka pun bergantian menggunakan pancuran untuk membilas tubuh, sebelum akhirnya berbaring di ranjang dan berusaha tidur. Tika kesulitan melakukannya karena pikirannya masih terusik pertanyaan itu. Ia tak mampu dan tak ingin membicarakannya karena takut kemarahan Chaya kembali meluap atau justru semakin parah. Di sampingnya, Chaya telah memejamkan mata, tetapi kemudian berbalik menyamping dan bergumam.

“Kamu lagi memikirkan apa?”

“Tak ada.”

Chaya membuka mata. “Ayolah. Bicarakan saja.”

Tika menggulung tubuhnya di bawah selimut. “Tapi, tolong, jangan marah.”

Chaya menggeleng. “Tak bakal.”

“Kenapa?” tanya Tika, bersuara lebih pelan. “Kenapa kamu berhak dan pantas atas perasaan itu?”

“Karena tempat ini, tatanan dunia ini, busuk dan mempengaruhi kita semua,” jawab Chaya. “Kita tak bisa menjadi manusia biasa. Laki-laki hanyalah korban, tetapi mereka tak sadar. Itu sebenarnya bukan kesalahan mereka seutuhnya, tetapi di saat bersamaan juga benar.”

“Andre sudah mengakui kesalahannya?”

“Sudah. Setidaknya tadi.”

“Lalu kenapa kamu masih membenci Andre?”

“Karena aku masih merasa jijik dan ngeri terhadap Andre, oke? Karena hampir, kalau bukan, seluruh dari mereka, laki-laki, apalagi macam Andre, berengsek. Aku hanya mencoba sebisaku, sebagai wanita, untuk memperingati mereka—walaupun itu seharusnya bukan tugas wanita, dan terpenting menjaga wanita lain dari perlakuan buruk laki-laki. Tapi, aku selalu gagal dan mendatangkan penderitaan, bukan hanya untukku, tetapi juga untuk wanita lain. Aku tak mau itu, tetapi aku selalu melakukannya. Aku memberitahukan perasaanku terhadap Bani kepadamu, supaya kamu dapat menentukan langkahmu sendiri, tetapi kamu malah mengakhiri hubunganmu dengan Bani dan sekarang mengencani pria berengsek yang jauh lebih buruk dari Bani; aku mempersilahkan Dara untuk tetap bersama Bani, tetapi Dara justru mengakhiri hubungan itu dan kembali ke pelukan pacarnya yang sejujurnya aku tak yakin kalau pacarnya itu sudah berubah benar; dan ibuku meninggal sebelum aku bisa memastikan dia menerima ajakan pernikahan suaminya karena benar-benar cinta atau karena dia tak punya atau menutup kesempatan menjadi seseorang selain istri ayahku…”

Kalimat terakhir itu mengejutkan Tika. “Apa maksudmu?”

Chaya tersenyum simpul dan mulai bercerita. Suatu malam, ketika perempuan itu berumur tujuh tahun, ayah dan ibunya pernah bertengkar hebat. Ibunya mendengar rumor dari istri-istri kerabat kerja sang suami bahwa sang suami menjalin kedekatan bersama seorang sekretaris di kantor. Sesungguhnya, itu bukan kali pertama ibunya mendengar rumor tersebut, tetapi ketika ibunya bertanya kepada sang suami untuk memastikan kebenaran, pria itu selalu mengelak dan membantah. Hari itu adalah pertengkaran terlama dan terintens mereka. Dari kamarnya, Chaya dapat mendengar ayahnya berulang kali meminta maaf jika berbuat salah, tetapi ibunya terus berupaya membuktikan kebenaran. Chaya lantas memutuskan mendatangi kamar mereka dan meminta ibunya berhenti menekan ayahnya dan menerima permintaan maaf itu. Waktu itu, Chaya tak mengetahui alasannya melakukan itu; mungkin karena lelah, sedih, dan membayangkan perceraian kedua orangtuanya. Mendengar Chaya berbicara, Ibunya pun terdiam sejenak lalu menerima permintaan maaf sang suami dan menjelaskan kalau dia melakukannya hanya karena anak mereka menginginkannya. Keesokan paginya, Chaya menemukan ibunya terduduk di sofa ruang tamu seraya menatap nanar jendela. Sang ibu melihat Chaya dan menyuruhnya duduk karena ingin memberitahukan sesuatu. Dia menjelaskan kelelahannya terhadap hidup dan keinginannya menetap di desa untuk membantu para warga di sana. Dia lantas meminta Chaya untuk menjaga ayahnya, tak mengkhawatirkan dirinya, serta mengatakan kalau ayah Chaya dan kekayaannya akan menjaga dan mengurus Chaya dengan baik.

Selama Chaya bercerita, Tika termenung dan tak berpikir sedikitpun untuk menginterupsi. Ia belum pernah mengetahui sisi hidup itu dari Chaya. Dia baru memberitahukannya tadi. Ia mengenal teman-teman Chaya, tetapi mereka pun tak pernah memberitahukan cerita itu sebelumnya. Ia merasa beruntung sekaligus takut mendapatkan kesempatan dan hak untuk mendengarnya. Ini berarti Chaya begitu mempercayakannya. Ia tak boleh memainkan narasi itu secara sembarangan dan serampangan.

“Bayangkan, aku, berumur segitu, mendengar pembicaraan seperti itu. Tentu saja, aku menangis, memeluknya, dan memohon kepada ibuku untuk tinggal. Dia terus berkata kalau semuanya sudah cukup. Aku pura-pura tak mendengarkan, tetapi dia berkata kalau aku harus sekolah dan dia tak ingin aku bolos karena aku harus jadi anak pandai. Aku pun tak mampu membalas dan agak berat hati merelakan pembicaraan itu berakhir. Di sekolah, aku terus memikirkan seluruh perkataan ibuku dan tak berani mengungkapkannya kepada temanku atau guru-guruku. Ketika pulang, aku melihat ibuku sudah berbaikan dengan ayahku. Aku tak mengungkit seluruh perkataan ibuku itu kepada mereka karena takut kalau ibuku mungkin belum atau tidak memberitahukan hal itu kepada ayahku dan pengungkitan itu akan membuat mereka bertengkar lagi. Jadi, aku tetap diam. Sejak saat itu, mereka memang tak pernah bertengkar lagi, tetapi aku selalu penasaran mengapa perilaku ibuku pagi itu sangat dingin dan brutal. Aku selalu ingin bertanya, tetapi… aku tak tahu. Aku tak mau menggali hubungan ibuku dan ayahku terlalu dalam. Maksudku, itu perkawinan mereka, bukan aku. Atau mungkin aku terlalu pengecut dan penuh beban. Entahlah.”

“Kamu bukan pengecut ataupun beban.”

“Memangnya, iya? Iya?”

Dalam sekejap, Chaya cerewet soal kesalahan dan kegagalannya dalam berbagai bidang dan aspek kehidupan. Tika berulang kali menenangkan serta mengatakan bahwa tak ada manusia sempurna di muka bumi dan Chaya adalah salah satu perempuan terbaik yang pernah dikenalnya. Akan tetapi, Chaya selalu membalas dan mengatakan kalau dia lemah dan kurang berusaha. Merasa buntu, sedih, dan tak tahan lagi mendengar Chaya mengolok-olok dan menindas diri sendiri, Tika segera mengecup bibir Chaya agar perempuan itu terdiam. Setelahnya, ia mematung. Ia merasa bodoh dan kurang ajar telah berpikiran dan berperilaku seperti itu hingga tak mampu menatap mata ataupun wajah perempuan itu, seolah melakukannya merupakan hal terlarang dan akan mendatangkan sinar kematian. Tika pun berulang kali meminta maaf, tetapi Chaya justru meraih dagunya, menatap matanya, sebelum akhirnya balas mengecup.

Kecupan itu lantas berubah menjadi ciuman mesra. Tika melucuti pakaian Chaya, sementara Chaya melucuti pakaian Tika. Seketika, Tika menjadi malu dan tak berwibawa, ketika ia mendapati Chaya mengamati tubuh telanjangnya. Ia merasa seluruh lebam di tubuhnya adalah suatu kesalahan besar dan bodoh yang telah dilakukannya serta dibiarkannya terjadi sekaligus kutukan terhadap dirinya. Oleh karena itu, ia menganggap dirinya tak pantas mendapatkan perhatian dan kepedulian Chaya.

Akan tetapi, Chaya tampak mengetahui dan ingin menghapus perasaan bersalahan itu. Dia mulai mengecup pelan dan lembut lebam-lebam tersebut. Itu membuat Tika semakin bergairah. Chaya terus melakukannya seraya membaringkan Tika dan bergerak ke bawah. Semakin Chaya turun, semakin Tika membekukan tubuhnya. Ketika wajah Chaya berada di hadapan kemaluan Tika, dia menatap mata lalu membelai perut perempuan itu kemudian memintanya tenang dan tidak tegang sekaligus menanyakan keberatan untuk melanjutkan kegiatan. Tika menggeleng dan Chaya mulai memainkan kemaluannya. Ia segera menengadah, meresapi bagaimana lidah perempuan itu menyentuh titik-titik pekanya secara hati-hati. Ia menyimpulkan, Ferdi tak pernah dan tak mampu memperlakukannya seperti itu, dengan kelembutan dan ketelitian. Ia dapat merasakan kemaluannya mulai hangat dan basah sekaligus keinginan teramat besar dalam hatinya untuk memberikan kenikmatan serupa terhadap Chaya. Ia pun menahan lalu menukar posisinya dengan Chaya. Ia mulai memperlakukan Chaya seperti perlakuan Chaya terhadapnya, tetapi lebih cepat dan menggebu. Mereka mengerang begitu kuat.

Ketika Tika memberikan stimulus pada kemaluan di hadapannya, Chaya tertawa lalu menahan dan menyuruh Tika lebih pelan dan santai dalam persanggamaan itu sebab tak seorang pun mengejar mereka. Tika lantas menekur dan tertawa kecil, merasa konyol dan malu. Chaya menggunakan momen itu untuk duduk, meraih wajah Tika, dan mencium bibir di hadapannya seraya menggunakan tangannya untuk memberikan stimulus pada kemaluan Tika. Ketika jemari lentik Chaya meluncur masuk, Tika segera terengah dan menggigit bibirnya. Ia sungguh menginginkannya. Ia lantas melakukan hal serupa kepada Chaya dan menemukan bahwa kemaluan perempuan itu juga hangat dan basah. Mereka kemudian mulai menggerakkan jemari pada lubang kemaluan masing-masing seraya saling mengunci tatapan. Mereka mendesah, sesekali mengecup leher masing-masing, hingga Chaya memasukkan jemarinya lebih dalam dan membuat Tika refleks memejamkan mata erat. Tika dapat merasakan bahwa orgasmenya mendekat dan itu lebih besar dari yang pernah dirasakannya sebelumnya atau seolah dirinya baru merasakan kehadiran orgasme untuk pertama kali. Pemikiran itu terlalu menarik perhatian Tika hingga dirinya melupakan gerakan jemarinya, tetapi Chaya seolah tak peduli atau menyadari dan terus menggerakkan miliknya. Chaya lantas mengambil jemari itu dan mulai menghisap serta mengemutnya satu persatu seperti permen atau gula-gula seraya memejamkan mata. Gerakan itu membuat Tika tahu bahwa Chaya benar-benar menginginkannya dan di saat bersamaan menyadari bahwa telah terlambat untuk mengatakan bahwa orgasmenya tiba. Ia pun mendekap erat Chaya seraya mengerang, bergetar, lalu gemetar. Sementara itu terjadi, Chaya balas mendekapnya dan mengelus pundaknya. Seraya terus menatap mata Tika, Chaya lantas membaringkan Tika, menyugarnya, dan tersenyum.

Seketika, Tika meneteskan air mata. Butir demi butirnya mengalir di pipi perempuan itu tanpa henti. Untuk saat ini, ia sukar memastikan penyebab tangisan itu karena perasaannya terlalu riuh, membara, dan masif. Yang jelas, dirinya sungguh malu terhadap Chaya.

“Hei? Kamu tidak apa-apa?” tanya Chaya, terdengar khawatir dan takut, seraya menghapus air mata dari pipi Tika dengan ibu jarinya. “Aku tak menyakitimu, kan?”

Tika menggeleng kencang. “Itu persetubuhan paling membahagiakan yang pernah kualami.”

Chaya lantas mendekap erat dan mengecup pipi Tika berulangkali seraya sesekali membisikkan beberapa kalimat menenangkan seperti: “aku mencintaimu,” dan “aku di sini untukmu,” dan “aku tak akan pergi meninggalkanmu,”. Tika ingin membalas ucapan itu dan menemukan banyak perihal lain untuk disampaikan: semacam terima kasih tambahan, permintaan maaf karena tak sempat membuatnya orgasme, ataupun penjelasan mengapa ia mengucapkan anggapan “persetubuhan paling membahagiakan” tadi. Akan tetapi, kuat perasaannya telah mengalahkan dan mengganggu fungsi tubuh hingga satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah menangis lebih kencang. Itu merupakan kombinasi dari semua hal berikut: kesetaraan, keterbukaan, dan kenyamanan. Hal-hal yang membuatnya berpikir: cinta seharusnya terasa seperti ini.

*​

Tika tenggelam memandangi jendela mobil. Ia dan Chaya tengah melaju di jalan tol, dalam perjalanan pulang menuju kota asal, dan mobil-mobil di sampingnya saling berkejaran bagai tengah berlomba menentukan pemenang. Dalam pemikirannya, Tika dan Chaya memang bukan salah satu peserta lomba itu, tetapi ia merasa mereka justru tengah mengikuti sebuah perlombaan lain. Dalam perlombaan itu, hanya mereka pesertanya, dan keduanya beradu ketrampilan melupakan persanggamaan semalam. Untuk posisi saat ini, ia menganggap Chaya jauh mengunggulinya. Ketika bangun tidur beberapa jam lalu, ia mendapati bahwa Chaya telah mandi dan berpakaian. Setelah menyadari Tika terbangun, Chaya tertawa dan mengatakan bahwa perempuan itu tidur terlalu nyenyak hingga membuatnya tak berani membangunkan. Dia lantas menyuruh Tika untuk segera mandi dan sarapan agar mereka tak terjebak kemacetan di jalan. Tika menurutinya, tetapi tak mengerti mengapa Chaya berperilaku seolah-olah terburu waktu ataupun kesalahan. Sejak sarapan di hotel hingga saat ini, ia terus memikirkan permasalahan itu dan Chaya juga tak sedikitpun mengungkit atau menyinggung persanggamaan mereka semalam dalam pembicaraan. Ia tak tahu; Chaya melupakannya karena kegiatan itu terlalu monoton dan membosankan atau mengesalkan karena gagal mendapat orgasme atau permasalahan lain.

“Tika, kita ke tempat peristirahatan dulu, ya? Bensinnya mau habis.”

Tika mengangguk dan menoleh. Chaya tersenyum simpul. Tika merasa senyum itu memiliki maksud lain, entah apa, atau barangkali harapannya terlalu banyak. Chaya melambatkan laju mobil dan mengarahkan kemudi ke tepi jalan hingga menemukan lajur lain ke arah tempat peristirahatan. Sesampainya di stasiun pengisian bahan bakar, Chaya mematikan mesin mobil lalu bertanya apakah Tika menginginkan sesuatu dari toko kelontong. Tika menggeleng cepat dan Chaya kemudian memberikan tiga lembar uang merah kepada Tika sekaligus memintanya untuk memperhatikan proses pengisian bahan bakar. Chaya pun turun dari mobil, berbincang sejenak bersama petugas, lalu pergi ke toko kelontong di kejauhan. Seraya menuruti perkataan Chaya, Tika sesekali mengamati toko kelontong untuk memastikan keadaan perempuan itu, seolah dia akan kabur dan menghilang jika tak diperhatikan. Sang petugas menyelesaikan proses pengisian bahan bakar dan Tika memberikan uang di tangannya seraya berterima kasih. Tika seketika melihat ke arah toko kelontong dan mendapati Chaya tengah berlari ke arah mobil seraya membawa dua botol minuman. Setibanya di jok pengemudi, Chaya segera menitipkan botol itu kepada Tika dan melajukan mobil dari stasiun pengisian bahan bakar.

“Boleh minta minumannya?” pinta Chaya.

Tika memberikan salah satu botol di tangannya kepada Chaya. “Ini. Satu lagi buat nanti?”

“Buat kamu,” jawab Chaya.

Tika tersenyum. “Terima kasih. Tadi pas ambil sudah bayar, kan?”

“Kok?”

“Habis, pakai lari-lari segala.”

“Lha? Bagaimana pengendara mobil di belakang kalau antre lama? Apa tidak kesal?”

Tika tertawa kecil.

“Kamu kangen aku, ya? Kok, aku lari sampai diperhatikan segala?”

Tika tak menjawab. Apakah Chaya tengah menggodanya atau hanya bercanda? Apakah ia menjebak, dijebak, atau terjebak? Ia merasa tak akan mendapat apa-apa kecuali kegetiran jika menjawab pertanyaan itu.

Chaya menunjuk laci di hadapan Tika. “Boleh tolong ambilkan satu? Terserah, apa saja.”

Tika membuka laci. Empat tumpuk album musik--berposisi dua di depan dan dua di belakang, dan sebuah botol obat transparan yang kosong. Ia mengambil album teratas dari tumpukan bagian kiri terdepan lalu memasukkan cakram plastiknya ke dalam pemutar. Setelah lagu terputar, ia kembali menaruh album itu ke dalam laci, tetapi setelahnya tak menutup lacinya dan mengambil botol obat itu. Ia menyipitkan mata dan memutar botol obat di tangannya secara perlahan bagai memutar bohlam pada fiting. Ia membaca labelnya. Botol obat itu seharusnya berisikan pil antidepresan. Takut menyinggung perasaan Chaya, ia pun mengembalikan botol itu ke dalam laci tanpa berbicara. Chaya, seolah mengetahui isi pikiran Tika, lalu berdecak.

“Kamu pasti ingin bertanya," katanya. "Itu punya Bani, tapi kadang aku juga memakainya. Bani lupa membuangnya." Dia melirik sejenak ke arah Tika seraya tersenyum mesra. "Ada pertanyaan lain yang ingin kamu tanyakan?”

Tika menutup laci. Senyum itu membuat ketakutannya lesap. “Bagaimana Bani mendapatkan botol itu? Apakah dia membelinya di apotek?”

Chaya lantas menjelaskan kalau Bani mendatangi psikolog dan psikolog itu memintanya untuk mengisi pertanyaan juga mengajaknya berbincang. Beberapa minggu kemudian, sang psikiater memberikan diagnosa dan merujuk Bani ke psikiater untuk diberikan obat. Bani pun mengambil obatnya dari psikiater.

“Tak lama, aku juga mengikuti langkah Bani untuk mendatangi psikolog dan… hasilnya sama dan obatnya pun sama. Itu sangat membantu kami; layanan kesehatan mental. Mereka sama seperti guru BK di sekolah, hanya saja yang ini tak akan memaksa atau menekanmu. Mereka hanya ingin membantu mengarahkan hidupmu,” ucap Chaya. “Jangan khawatir, persanggamaan semalam tak ada hubungannya dengan permasalahanku itu. Aku sedang tidak mencari kasihan darimu. Semalam hanya seks.”

Tika terdiam sejenak. “Kamu tahu aku kemungkinan bisa jatuh cinta padamu, kan?”

Chaya melirik dan tertawa. “Kalau kamu tak jatuh cinta denganku, kenapa kita tak pernah terpisahkan?”

“Kamu berani menjadi pacarku?”

“Pacar? Aku sudah kawin. Untuk apa? Akan tetapi, bukan berarti aku tak mau kehilangan kamu. Hubungan kita ini tak bisa dikategorikan. Hu-“

Tika membelalak. “Wow! Kalau begitu, kamu dan Andre tak ada bedanya: sama-sama berengsek! Untukmu, aku hanya orang asing, dan semalam, atau mungkin selama ini, kamu hanya ingin memanfaatkanku!”

Chaya menatap Tika. Matanya membelalak, seolah menyadari sebuah kesalahan. “Oke. Itu sama sekali tidak benar. Aku tak berniat memanfaatkanmu.” Dia menggeleng kencang. “Kamu juga bukan orang asing dalam hidupku.”

“Tapi statusku dalam hidupmu itu asing.”

“Bukan begitu.”

“Buktikan kalau aku salah.”

Chaya berpaling mengamati jalan di hadapan. Tika terus memperhatikan Chaya, berharap mulut perempuan itu akan terbuka dan meluncurkan kalimat penjelasan, tetapi tak ada tanda bahwa itu akan terjadi. Tika merasa kesunyian di antara dirinya dan Chaya berangsur meredam suara lagu dari pemutar musik lalu pendingin ruangan hingga deru mesin di telinganya. Ia tak lagi mampu mendengar apapun di sekelilingnya, kecuali kembali bergaungnya ucapan menenangkan Chaya di ranjang semalam. Ia berpikir, betapa tega Chaya mengatakan itu kepadanya serta betapa bodohnya dirinya membiarkan dan mempercayai perkataan itu.

“Kamu pernah menyesal jadi temanku atau sahabatku?” tanya Chaya.

Tika menggeleng. “Mungkin. Yang jelas, aku menyesal membiarkanmu menyetubuhiku semalam.”

“Karena aku ‘sakit’?”

“Karena kamu memainkan hatiku. Kamu tidak 'sakit'. Kamu hanya pemangsa kurang ajar.”

Chaya melambatkan laju mobil sebelum menepi dan berhenti. Tika mengernyit heran.

“Aku menyesal menjadi teman juga sahabatmu,” ucap Chaya. “Biar kujelaskan.”

Tika berdecak dan menggelengkan kepala. “Kupikir, tanpa perlu penjelasan, semuanya sudah jelas.” Ia menunjuk pintu. “Kamu mau mengusirku dari mobil ini? Tapi, hei, kita masih di dalam tol, bukan?”

Chaya seketika mengenggam tangan Tika. “Izinkan aku berbicara sejenak hingga selesai.” Dia mengeratkan genggamannya. “Boleh, kan?”

Tika mendengus dan mengedikkan kepala.

“Aku menyesal menjadi teman dan sahabatmu, bukan dalam konteks hubungannya, melainkan ucapannya. Aku menyesal pernah menyatakan ‘aku adalah temanmu’ dan ‘aku adalah sahabatmu’. Kata ‘teman’ dan ‘sahabat’ hanya membatasi keberlangsungan hubungan kita. Membatasi terjadinya kemungkinan-kemungkinan pemecahan dan penyelesaian ketika kita menghadapi masalah.”

“Lalu, kamu menganggapku apa? Batu loncatan? Manusia sengsara, menyedihkan, dan eksotis untuk disetubuhi? Cenayang bodoh? Perantara untukmu menemukan pasangan hidup?”

“Seseorang yang penting dan membantuku untuk tetap hidup.”

“Ya, apa?”

“Apakah statusnya itu penting?”

“Tentu saja.”

“Apa gunanya kepentingan itu?”

“Agar aku punya kepastian.”

“Kepastian apa?”

Tika ingin menjawab, tetapi tak mampu. Ia tak mengetahui jawabannya, meski semua materinya seolah terpeta jelas dalam benak. Apa sesungguhnya pencariannya dalam hidup? Cinta? Akan tetapi, sampai di titik manakah seseorang dapat meraih, meneguk, dan membaginya? Apakah ada batas di sana?

Chaya mendengus. “Dengar. Persanggamaan semalam sudah terjadi dan kita tak bisa mencegahnya sekarang. Tak ada mesin waktu. Akan tetapi, bukan berarti kalau kamu tak menginginkannya, aku berhak menghakimimu karena kamu membiarkannya terjadi. Aku yang seharusnya dihakimi. Untuk itu, aku minta maaf, kalau kamu tak menginginkan persanggamaan semalam. Aku minta maaf, kalau aku membiarkan persanggamaan itu terjadi. Aku minta maaf karena tak cukup memberikan kepastian terhadapmu. Aku minta maaf atas ketidakpekaanku terhadap perasaanmu. Aku minta maaf atas segalanya.”

Tika terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Tak ada gunanya menengkari sesuatu yang tak lagi penting. Bersanggama atau tidak bersanggama, apa bedanya? Pada akhirnya, ia telah melakukannya, dan Chaya telah mengakui perasaannya--bahwa dia mempermainkannya. Ia dapat mengindahkan penyesalannya.

Chaya kembali melajukan mobil di jalan tol. Tika lantas teringat lomba itu, lomba melupakan persanggamaan semalam, dan menyadari bahwa sesungguhnya kegiatan itu belum dimulai.

Mereka justru baru akan memulainya sekarang.

*​

Tika menyibak gorden penutup jendela kamar apartemen Ferdi lalu mengamati keadaan langit. Keremangan matahari mulai meruang di antara sepinya kapas awan, menjadikan lembayung khas peralihan sore menuju malam sebagai pemeran utama dalam bentangan itu. Ia merasa keremangan serupa juga tengah meruangi hatinya. Ia melirik jam dinding. Pukul lima petang. Sejak menerima permintaan Ferdi untuk berkunjung sejam lalu, ia belum mampu mengusir kebimbangan dan kegundahan dari hatinya mengenai kejadian pelamaran sebelum Ferdi pergi dinas, dan semakin larut, perasaan-perasaan itu kian ganas memporak-porandakkan hatinya. Secuil pun, Ferdi belum menyinggung permasalahan itu--janji Tika untuk menjawab pertanyaan pelamarannya, barangkali pria itu terlupa atau berubah pikiran. Tika pun tak sempat menanyakan karena ingin menjaga kestabilan suasana hati Ferdi. Bagaimanapun, pria itu baru menyelesaikan dinasnya, jadi pastilah kelelahan dan kesuntukan tengah merajainya. Permasalahan penolakan akan membuat suasana hati Ferdi berantakan dan merayu hal-hal tak diinginkan untuk terjadi.

Akan tetapi, sampai kapan sandiwara itu harus berlangsung? Ini kehidupan, bukan lakon drama. Ia merasa harus melanjutkannya seraya meminimalisir unsur keterpaksaan dan kesengsaraan di dalamnya, termasuk Ferdi. Menunda-nunda pemberitahuan jawaban itu, meski jawabannya telah ia ketahui secara pasti, hanya akan memperpanjang dan merumitkan masalah. Ia percaya, bagaimanapun, dirinya akan tetap bersalah di mata Ferdi, bukan karena perselingkuhannya bersama Chaya ataupun kebohongannya mengenai perasaanya selama ini, tetapi kenyataan bahwa dirinya merupakan perempuan. Ia juga percaya, Ferdi membutuhkan jawaban itu. Dia memerlukannya.

Ia lantas bergerak menuju dapur untuk menyeduh dua cangkir teh manis hangat, masing-masing untuknya dan Ferdi. Ia tahu, usaha itu tak akan cukup meminimalisir kemungkinan kekesalan pria itu, tetapi apa ruginya mencoba? Lagi pula, ia memang membutuhkan rasa manis di lidah sebagai penenang, karena kemungkinan besar ucapannya dan ucapan Ferdi akan terasa pahit.

Pintu kamar mandi terkuak. Ferdi melangkah keluar seraya menepuk perutnya berulang kali. Ia tahu, pria itu baru saja buang air besar dan itu dapat menjadi pembuka pembicaraan yang ringan, tetapi kenyataan realisasinya barangkali tak akan seindah pemikirannya.

"Sayang? Di mana kamu?" tanya Ferdi.

"Di sini," jawab Tika pelan.

Ferdi menoleh dan mengernyit. “Buat apa?”

Ia mengamati cangkir di atas meja di hadapannya, dalam hati bertanya mengapa pria itu masih harus bertanya jika penggunaan fungsi mata mampu menjawab pertanyaan tersebut sekaligus berharap pria itu dapat menangkap jawabannya tanpa suaranya.

Ferdi berjalan menghampiri Tika.

“Buat aku?”

Tika mengangguk. Entah mengapa, ia merasa, semakin pria itu mendekat, semakin sulit baginya untuk membuka mulut dan meluncurkan kalimat. Ferdi mengecup pipinya dan mengambil salah satu cangkir itu.

“Terima kasih.”

Tika tersenyum dan mengangguk. Ferdi berjalan ke arah meja kerja, menduduki kursi di dekatnya, menyesap isi cangkir, lalu meletakkan cangkir itu di atas meja. Tika sejenak memejamkan mata seraya menghela napas dalam.

“Ferdi, aku mau bicara.”

Ferdi tertawa kecil. “Tak ada yang melarangmu sedari tadi.”

Tika berjalan menuju ranjang lalu menduduki tepi tilamnya. Ferdi mengubah posisi duduknya hingga menghadap Tika.

“Apa?”

“Aku mau putus.”

Hening. Tika tak mampu memutus rantai kesunyian itu. Ia kewalahan mengurus peningkatan intensitas detak jantung serta percepatan respirasi pernapasannya. Ferdi berdecak dan menggelengkan kepala.

“Kenapa?”

“Aku sudah tak kuat. Aku tak bahagia.”

“Kenapa kamu tak membicarakannya sejak kemarin?”

Ferdi berdiri lalu bertolak pinggang. Tika menelan ludah.

“Jawab,” tekan Ferdi. “Punya mulut, kan?”

Tika mengangguk pelan. “Punya. Tapi, bagaimana aku bisa menjawabnya kalau kamu selalu menekanku?”

Ferdi mengernyit. “Siapa yang menekanmu?” Dia menggeleng kencang. “Aku punya pertanyaan yang lebih penting: siapa yang mengubah hatimu?”

“Tidak ada,” jawab Tika.

“Bohong.” Ferdi terdiam sejenak, sebelum menganggukan kepala. “Aku tahu. Perempuan itu, bukan? Siapa? Chaya?”

Tika tak merespons. Ia merasa, Ferdi tak perlu berpura-pura menambah dramatisasi, toh, dia telah berhasil menebaknya. Ferdi beranjak mendekati Tika, sementara Tika perlahan berjalan mundur ke arah pintu.

“Pantas saja tadi kelakuanmu aneh. Chaya, kan? Memangnya aku tak tahu? Waktu itu, saat aku melamarmu, kamu menerima pesan dari dia. Apa isi pesan itu? Ajakannya untuk memutuskanku? Ajakannya untuk meninggalkanku? Sadarlah, itu perempuan sama yang merebut pacar lamamu!”

“Hentikan.”

“Tidak. Atau jangan-jangan dia sudah menyetubuhimu? Aku tak tahu, kamu pernah mengatakan bahwa kamu tak masalah dengan perempuan yang menyukai sesama perempuan dan… barangkali kamu penasaran, tetapi apa? Apa kelebihan dia yang tak bisa kamu dapatkan dariku? Apakah dia lebih jago di ranjang? Apakah dia lebih lama dalam menjilat kemaluanmu? Apa?”

Tika berhenti bergerak. Ia menemukan pokok penting dari kekesalan Ferdi: dia merasa sumber permasalahan itu berasal dari kemampuan di ranjang, alih-alih perhatian ataupun kasih sayang.

“Jadi, ini semua hanya tentang seks untukmu? Hubungan kita?”

“Tidak. Siapa bilang?”

“Aku hanya menyimpulkan.”

“Yah… mungkin akan lebih baik jika kamu berhenti membual. Kamu yang selingkuh dariku, bukan aku.”

Tika mengangguk berulang kali. “Kamu benar mau tahu kalau dia lebih pandai memuaskanku di ranjang atau tidak?”

“Ya.”

“Jawabannya: aku tak peduli karena aku menyesal melakukannya. Itu tak ada hubungannya dengan alasanku memutuskanku. Mau tahu apa yang ada hubungannya? Sifatmu. Kamu membutuhkan pengakuan dan kehangatan dariku, tetapi kamu kurang mengetahui bagaimana cara kerja ataupun terciptanya intimasi jadi kamu mencoba mendapatkan rekognisi itu melalui cara paling mudah: seks. Tapi, apa yang kamu tidak ketahui adalah untuk melakukan seks baik—bukan seks itu sendiri, melainkan momennya—kamu perlu menggunakan perasaan dan sensitifitas. Kamu mendapatkan dua hal itu dari cinta. Permasalahannya, pandangmu mengenai cinta itu kacau. Jadi, berdasarkan itu, yang tersisa darimu hanya keseraman.”

“Omong kosong! Kamu mengatakan itu untuk menjustifikasi perselingkuhanmu. Kamu tetap salah!”

“Aku tidak membenarkan perselingkuhanku. Ya, itu selingkuh. Tetapi… apakah kamu sadar kalau kamu menyeramkan?”

“Kamu yang menyeramkan!”

“Jawab dulu pertanyaanku.”

“Aku tak mau!”

“Mau mendengar jawabanku? Jawabannya: tidak.”

“Lalu kenapa kamu masih bersamaku dan tidak pergi meninggalkanku, perek? Kamu mau merampok hartaku?”

Tika tertawa kecil. Ia merasa pertanyaan-pertanyaan itu sungguh menarik. Pertama: jika berdasar fungsi hidupnya dalam hubungannya bersama Ferdi selama masa berpacaran mereka, maka benar bahwa dirinya tak lebih dari sekadar pelacur istimewa untuk pria itu. Pelacur yang bertugas melayani kebutuhan seks dan hal-hal kehidupan lain, tanpa mendapatkan timbal balik positif selain teman makan, menonton, dan keamanan isi dompetnya dari dua kegiatan itu. Ia pun tak pernah mengajukan permintaan peminjaman uang kepadanya, dan kalaupun pernah, itu tidak dapat dijadikan alasan sepenuhnya untuk memutuskan seseorang. Mengapa dia memerlukan uang tersebut? Apakah kegunaan uangnya penting? Apakah terdapat solusi lain untuk memecahkan permasalahan yang seharusnya menggunakan uang itu tanpa menggunakan uang atau setidaknya mengurangi nominalnya? Kedua: Jika Ferdi benar-benar tertarik padanya, apakah dia tak sempat memikirkan kemungkinan buruk yang dikeluhkannya itu?
Ia perlahan melangkah maju. “Kenapa? Kamu takut, aku terlalu miskin untuk mencuri uang darimu? Atau kamu takut kalau aku benar-benar perek?”

“Kamu mengakui kalau kamu perek?”

“Tidak. Aku mungkin mengira seperti itu, sebagai konsep. Tapi aku sadar… aku hanya perempuan.”

“Jangan buatku kasihan padamu dengan keperempuananmu, dasar picik!”

“Lalu kenapa kamu masih menahanku dan memarahiku di sini?”

“Karena aku menginginkanmu dan membutuhkanmu!”

“Untuk apa?”

Ferdi terdiam lama. Kesunyian itu cukup panjang untuk membuat Tika yakin bahwa pria itu menyadari bahwa ucapan sang kekasih benar ataupun mengandung kebenaran. Ia pun tersenyum simpul.

“Kita selesai, tapi kuharap kamu menyadari kesalahanmu juga. Aku hanya memintamu retrospeksi, membuka telinga terhadap keluhan pasanganmu, mendiskusikan permasalahan itu bersama pasanganmu, menghormati pasanganmu, dan berusaha sekeras mungkin untuk berubah. Itu saja. Aku sayang padamu, Ferdi. Kamu tak seratus persen salah. Jika ada satu yang bisa disalahkan untuk permasalahanmu dan kamu ingin menyalahkannya, maka itu adalah tatanan dunia ini. Aku punya saran: kamu punya uang, kan? Kamu bisa ke psikolog. Ceritakan permasalahanmu dan kegeramanmu terhadap perempuan di sana, dengarkan masukan orang itu, dan cobalah berubah. Pergi ke sana bukan berarti kamu gagal atau tak waras. Itu sebenarnya bagus. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik. Aku tahu, jauh di dalam hatimu, kamu orang baik. Kita semua orang baik. Kita hanya tidak diperlakukan dengan baik oleh lingkungan.”

Tika mengambil tasnya dari atas meja lalu menghampiri pintu.

“Kamu akan meninggalkanku begitu saja?” tanya Ferdi. “Setelah semua yang sudah kita alami?”

Tika mengangguk. "Iya. Aku juga ingin sembuh. Aku tak bisa melakukannya kalau terus bersamamu."

Ia meninggalkan kamar itu dan memasuki lift. Ketika lift itu bergerak turun menuju lobi, ia teringat akan perlombaannya bersama Chaya. Lomba itu harus berakhir, pikirnya, sebab tak akan ada pemenang, dan kalaupun ada, pemenangnya tak akan mendapatkan apa-apa, kecuali kehampaan dan kepahitan. Ia lantas mengambil ponsel dari tasnya lalu mengetik pesan untuk perempuan itu.

hei, kamu bisa datang ke kosku? Tidak harus sekarang. Aku ingin membicarakan sesuatu. Penting.

*​

Tika mengamati pak-pak kardus di sudut kamar kosnya. Ia belum melunasi tunggakan biaya sewa kamar itu, meskipun tenggat pembayarannya hanya tersisa satu hari lagi, dan dirinya pun tak berminat memperpanjang masa kontraknya. Ia ingin mencari rumah kos lain. Oleh karena itu, ia akhirnya memutuskan untuk mengumpulkan barang-barangnya terlebih dahulu. Ia berpikir, cara itu akan lebih praktis. Ia tak perlu repot menangani dan mengatasi sifat menyebalkan sang pemilik kos berulang kali dalam rangka pembayaran dan permohonan izin keluar dari kos. Ulahnya pasti meningkatkan kebencian ataupun kekesalan sang pemilik kos terhadapnya, dengan demikian tak akan ada rayuan atau simpati palsu agar dirinya bersedia untuk tetap tinggal. Ia sungguh tak memerlukannya.

Pintu kamar terketuk. Ia berbalik dan membuka pintu itu. Chaya berdiri di hadapannya. Dia mengenakan setelan kasual nan sederhana: kemeja dan celana jin.

“Maaf, aku baru bisa datang sekarang,”

Tika tersenyum simpul. “Tak apa. Silahkan.”

Ia menguak pintu lebih lebar dan membiarkan Chaya memasuki kamar sebelum menutup pintu itu. Chaya melihat pak-pak kardus dan menghampiri barang-barang tersebut. Tika mengikuti Chaya dari belakang.

“Kamu mau pindah?” tanya Chaya.

“Iya,” jawab Tika.

Chaya menoleh. “Dia masih menjengkelkan? Pemilik kos?”

Tika mengangguk. Chaya kembali melihat pak kardus.

“Aku mau minta maaf soal kemarin,” ucap Tika. “Yang di mobil. Aku tidak ingin ada permasalahan di antara kita soal itu. Seperti katamu, itu hanya seks. Kurasa, aku juga harus belajar menghormatimu sebagai manusia.”

Chaya mengangguk. “Aku setuju, tetapi kalau kamu menganggap seks itu lebih daripada sekadar seks… aku tak mengapa. Kamu mungkin terbawa perasaan, tetapi itu wajar. Aku tak akan menyalahkanmu.” Dia meraba permukaan salah satu kardus di hadapannya. “Bagaimana keadaan Ferdi?”

“Aku sudah putus dengannya,” jawab Tika.

Chaya menoleh dan berhenti menggerakkan tangannya. “Benarkah? Kamu tak apa-apa, kan? Dia tidak menyakitimu?”

Tika menggeleng.

Chaya mengangguk perlahan. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan dalam waktu dekat?”

Tika menjengitkan bahu. “Aku tak tahu. Mencari kos baru?”

Chaya mengerucutkan mulut. “Oke, kalau begitu. Kamu tahu, kan, aku sudah menyukaimu sejak lama?”

Tika mengernyit, tak tahu perempuan di hadapannya itu hendak membawa arah pembicaraan ke mana. “Berahi atau kasih?”

Chaya berbalik menghadap Tika. “Apa bedanya? Berahi itu cinta kasih.” Dia tersenyum simpul. “Sekarang aku tanya, secara garis besar, apa kriteriamu dalam mencari teman?”

“Sifatnya cocok dan nyambung sama aku.”

“Pacar?”

Tika tak menjawab, menyadari bahwa jawabannya sama, tetapi tak dapat mengaplikasikan itu sepenuhnya terhadap Ferdi.

“Pasangan dalam perkawinan?”

Tika ingin mengangguk setuju, tetapi dirinya menemukan perbedaan pandangan. “Setiap manusia, kan, punya kemampuan dan keinginan berbeda. Jawabanku belum tentu sama dengan orang lain.”

“Tapi, intinya sama, kan? Ada yang ingin jago masak, ada yang ingin lihai di ranjang, ada yang ingin akrab dengan anak; tetapi pada akhirnya, kita hanya ingin seseorang yang menambal, mengurangi, dan menolong diri sendiri mengatasi permasalahan dan kekurangan. Permasalahan dan kekurangan apa? Sifat, kemampuan, biaya kehidupan sehari-hari... unsur untuk hidup. Karena semua hubungan itu bersumber pada satu hal: koneksi. Bedanya, semakin tinggi tingkatannya, semakin lingkungan di sekitar kita menuntut sinyal itu untuk menjadi privat, sempit, dan bertahan lama. Satu lagi: semakin tinggi tingkatannya, semakin lingkungan mengharapkan kita untuk mengesahkan hubungan itu dalam sebuah status sakral di bawah konstitusi dan menghasilkan keturunan dari sana. Permasalahannya, tak semua orang bisa menghasilkan keturunan dan tak semua orang mau menghasilkan keturunan. Untuk itu, apa yang membuat pernikahan lebih penting dan bermakna daripada pertemanan dan percintaan? Apa yang membedakan seorang teman, pacar, dan suami selain status dan keistimewaannya? Orang-orang mungkin mengatakan seks, tetapi ada, kok, sesama teman saling bersanggama, seorang pacar bersanggama bukan bersama pacarnya, dan suami-istri tak pernah bersanggama. Semua kondisi itu terjadi karena beragam alasan. Lalu apa? Apa yang membuat seseorang ingin berteman? Berpacaran? Kawin? Pengesahan. Kita hanya butuh pengesahan. Pengesahan atas apa? Menjadi manusia. Intinya, makna teman, pacar atau pasutri sesungguhnya tak begitu penting dalam kehidupan kita. Yang terpenting adalah bagaimana kita berkoneksi dan aku merasakan koneksi itu sama kamu.”

“Apa maksudmu?”

“Kegiatan liburan kita kemarin membuatku banyak bertanya mengapa banyak orang mengagungkan pernikahan dan seakan tak bisa hidup tanpanya, walaupun orang itu tak muluk dalam beragama ataupun percintaan. Jawabannya? Status. Hanya itu. Akan tetapi, banyak dari mereka tak menyadari atau melupakan satu sisi negatif sebuah status pernikahan. Maksud atau inti dari pernikahan ialah penyatuan manusia sekaligus penertib kehidupan bermasyarakat, tetapi di saat bersamaan, statusnya justru menjauhkan manusia. Para teman dan kekasih yang awalnya dekat dan akrab berubah menjadi canggung atau bahkan memutus hubungan hanya karena mereka merasa bahwa pihak lain itu tak lagi menjadi milik atau bagian dari mereka sepenuhnya. Sungguh, itu semua hanya soal kepemilikan. Manusia tak lebih dari sekadar tubuh atau produk dalam pernikahan. Mengapa melakukan itu jika kita bisa saling mencintai tanpa batasan yang memecah belah dan meresahkan? Tak perlu ada seks, ataupun kalau ada juga tak apa-apa, yang penting kita saling memperhatikan, mengawasi siapa yang lemah dan siapa yang berkuasa. Menjaga keseimbangan. Membantu sesama menanggulangi luka. Sudah terlalu sering kita menciptakan luka terhadap satu sama lain. Mengapa kita tidak coba sembuh bersama?”

“Kamu datang ke sini tidak sedang atau ingin menceraikan Bani, bukan?”

Chaya tertawa kecil. "Tidak, tetapi aku menginginkanmu dalam hidupku." Dia menggenggam tangan Tika. "Ikut bersamaku. Tinggallah di rumahku dan Bani."

"Bagaimana dengan Bani?”

Chaya menggeleng. "Dia tak mempermasalahkannya. Sekali lagi, memangnya apa arti pernikahanku dan Bani? Aku mencintainya, aku mencintaimu, dia mencintaiku, dia mencintaimu, kamu mencintaiku, kamu mencintainya… kita semua saling mencintai. Sebagai manusia. Kenapa kami tidak mau membagi tempat tinggal untukmu? Kita sudah saling mengenal satu sama lain sejak lama dan sekarang kamu membutuhkan tempat tinggal baru, bukan? Maksudku, kamu bisa tinggal selamanya di rumah kami atau pergi pada suatu hari." Dia mengayunkan tangan Tika dalam genggamannya. "Kita lihat, bagaimana kehidupan nanti membawanya.”

“Lalu?”

“Lalu, ikutlah. Bagaimana seseorang bisa mengetahui sesuatu jika orang itu tidak melakukannya?"

Tika tersenyum lalu mengangguk. Ia merasa tak pernah seyakin itu dalam membuat keputusan. Ia tahu, bagaimanapun kehidupan membawa mereka nanti, perempuan itu akan selalu berusaha melindungi, memperhatikan, dan memperdulikannya. Terpenting: dia melakukannya tanpa pamrih. Sebagai ganti, dalam hati, ia berjanji akan menerapkan hal serupa terhadapnya.

“Baiklah. Bantu aku membereskan barang-barangku.”
 
Terakhir diubah:
Omaigad..klo hanya mau mencari adegan panas dalam cerpan ini sungguh naif..
Cerita ini lebih dari ekpektasi apa pun tentang adegan ranjang...
haha..
Great job, suhu..
 
Yang penting kasih sayang, jenis kelamin nomer duaa 🙈

Semoga sukses suhu :beer:
 
Bahasanya kok berasa gimana gitu yah .....
 
Sumpah, ceritanya bagus banget. Cuma, untk memahaminya, ane mesti bnyk berpikir keras. Mungkin kurang seru, bahkan kadang membosankan untuk dibaca sambil lalu. Keseruan membaca cerpen ini baru bisa ane rasakan ketika berusaha mencoba masuk ke alam imagi penulis.
Maklum lah, ane biasa baca novel2 sekelas Fredy. S. Ringan dibaca.
Nah kalau cerpen ini, mungkin sekelas penulis Sidney Sheldon dalam membangun ceritanya.
Btw, kemungkinan besar ane bakal pilih cerpen ini untuk vote LKTCP 2020
 
Bimabet
Nice Story,
Kl orang yg ga open minded susah untuk mencerna point dr ceritanya...
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd