Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Kisah Ndoro dan Genduk (BDSM)

Status
Please reply by conversation.
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Keesokan harinya aku bangun pagi seperti biasa dan membereskan tugas-tugas rumah, aku memulai ritual mandi yang lebih lama dari biasanya. Sekujur tubuhku terasa pedih dan saat aku memandang di cermin, terlihat jelas bilur-bilur ditubuh putihku yang masih terasa pedih. Anus yang masih terasa seperti di robek paksa dan daerah pribadiku yang masih terasa pedih akibat rambut yang di cabut paksa.

Namun melihat daerah tersebut belum sepenuhnya bersih, aku memutuskan untuk mencukur sisanya dan menyelesaikan mandiku serta bersiap berangkat, tentu saja tanpa menggunakan celana dalam.

Sampai di halaman kampus, ternyata Ndoro sudah disana. Saat melewati gerbang Ndoro mendekat dan berbisik kepadaku.

“Langsung ke kamar mandi laki-laki dan tunggu aku di sana”

“Baik Ndoro.” jawabku perlahan

Menunggu Ndoro di kamar mandi laki-laki tentu saja membuatku jengah dan 10 menit terasa seperti setengah jam yang melelahkan. Saat Ndoro muncul langsung memberi isyarat agar aku masuk ke bilik toilet yang kosong. Mematuhi tanpa banyak bertanya, akupun masuk dan kemudian Ndoro menyusul.

“Angkat rokmu!” Ndoro tersenyum melihatku tanpa celana dalam.

“Sekarang kamu menungging sedikit dan relaks.”

Walau gugup dan tidak yakin apa yang akan dilakukan Ndoro di dalam bilik yang sempit itu, akupun mematuhinya tanpa banyak bertanya. dan aku merasakan dingin yang sama seperti semalam, tubuhku bereaksi otomatis seakan-akan menolak, kemudian Ndoro mengeluarkan sebuah dildo kecil.

“Tenang, aku akan memasukkan ini perlahan ke anusmu.” dan dengan perlahan dan lembut, Ndoro mendorong dildo itu masuk ke dalam anusku. Berhasil masuk.

“Genduk pintar, sekarang turunkan rokmu dan masuk kelas, beraktivitas seperti biasa dan jaga jangan sampai dildo itu terjatuh!” perintah Ndoro berikutnya.

Dengan tubuh bergetar dan suara lirih, aku menjawab “Iya Ndoro.” dan segera melangkah keluar dari bilik toilet, sempat berpapasan dengan kakak senior lain yang tersenyum penuh arti, akupun segera berlalu sambil menunduk menuju ke kelasku.

Berjalan dengan canggung karena takut dildo kecil itu jatuh, aku juga merasakan sensasi aneh dalam diri. Antara takut, malu, tapi juga senang karena mendapat pujian dari Ndoro.

Hari ini pelajaran terasa berlalu dengan cepat dan aku sangat semangat mengikuti semua kegiatan, hingga tiba-tiba Diana berkomentar saat break pertama dan kami hanya duduk-duduk di ruangan kelas.

“Hari ini kamu semangat sekali, pasti karena habis kencan dadakan sama mas Benny kemarin ya?”

“Ah masa sih?” sergahku tanpa bisa menyembunyikan senyum bahagia.

Ya, aku merasakan bahagia. Sebuah perasaan yang aneh setelah kejadian semalam. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa aku bahagia mendapat sedikit pujian dari Ndoro.

“Kau kenapa siy nggak cerita kalau sudah jadian sama mas Benny?” tanya Diana penasaran.

“Memangnya kenapa?”

“Aku sengaja tidak cerita karena nggak mau mendahului mas Benny”, lanjutku menanggapi pertanyaan dari Diana, sebuah alasan yang tidak sepenuhnya salah dan juga tidak sepenuhnya benar juga.

“Nggak apa-apa, hanya tadinya aku mau kenalkan ke kakak senior yg lain, anak Teknik Industri. Dia tertarik padamu, namun saat aku sampaikan bahwa kau sudah dengan mas Benny dia bilang nggak akan bisa bersaing dengan mas Benny.”

Diana menjelaskan dengan rinci bahwa mas Benny sangat disegani di kampus tersebut karena selain berprestasi secara akademik, mas Benny yang penampilannya sangat biasa, kurus, tidak terlalu tinggi, berkulit gelap, tidak harum dan memiliki tangan yang sangat kasar seperti parutan ternyata memiliki banyak prestasi di olahraga panjat tebing dan basket. Sering bertanding sampai ke manca negara. Selain itu, mas Benny yang berasal dari keluarga berada, juga sering membantu kegiatan Universitas.

Terdiam sembari mendengarkan penjelasan Diana, pikiranku melayang ke kejadian semalam dan mulai memahami mengapa mas Benny memiliki kepercayaan diri yang saat tinggi. Namun tetap saja tidak menjawab pertanyaanku atas diri ini yang bisa menjadi begitu patuh pada semua perintah mas Benny, Ndoro maksudku. Saat inipun aku rindu melihat tatapan mata Ndoro, rindu suara Ndoro dan rindu perintah Ndoro.

Suara Diana yang sayup-sayup aku dengar menceritakan tentang Ndoro, Diana tahu lebih banyak tentang Ndoro dibandingkan aku yang sudah memberikan diri ini kepadanya. Namun aku merasa bahwa Ndoro tidak akan suka bila aku terlalu banyak bertanya, karena Ndoro meminta kepatuhan penuh dariku. Tiba-tiba aku dikejutkan suara Diana yang menyebut nama Ndoro.

“Hai mas Benny!” renyah suara Diana menyapa Ndoro.

“Hei Di, aku butuh dengan gendukku, pinjam dulu ya.” dan tanpa menanyakan kesediaanku, Ndoro menggandengku dan aku hanya melambaikan tangan ke Diana sambil berusaha tersenyum, walau jantung ini berdegup kencang dan mulai berkeringat.

“Hari ini semua dosen akan rapat, sehingga semua akan dipulangkan cepat, kamu akan ikut aku lagi.”

Ndoro menyampaikan berita itu sambil berjalan menuju toilet laki-laki yang lengang. Sampai di dalam dan masuk ke dalam salah satu bilik, Ndoro kembali memberikan perintahnya

“Buka kancing kemejamu!” ujar Ndoro sambil mengeluarkan 2 buah paper klip hitam dari sakunya. Meraih bra-ku, mengeluarkan salah satu puting dan tetiba menjepitnya dengan paperclip.

"Aduh..!!" jeritku tertahan.

Terkejut dengan gerakan cepat Ndoro, dan rasa sakit luar biasa hingga membuat air mataku keluar, aku nyaris berteriak. Ndoro berhenti dan tersenyum saat aku hanya mengeluarkan suara erangan sangat pelan dan kemudian Ndoro melanjutkan dengan puting satunya. Merapikan kembali bra-ku, mengancingkan kemeja dan berkata.

“Kembali ke kelas dan bereskan barang-barangmu, kita pulang sekarang!” perintah Ndoro sambil menggoyangkan paperclip yang membuat puting makin terasa terbakar.

Kembali ke kelas dengan mengusap air mata dan berusaha tenang serta tidak menghiraukan rasa sakit luar biasa di dalam bra, akupun menyapa Diana yang masih duduk di meja dengan beberapa teman sekelas.

“Hari ini seluruh dosen akan rapat kata mas Benny, sebentar lagi kita boleh pulang, tapi aku duluan ya, mau pulang sama mas Benny.” ujarku pada Diana sambil membereskan buku-buku dan alat tulis. Sontak kelas ribut, dan semua beranjak untuk membereskan barang masing-masing, begitu pula dengan Diana.

“Oke…have fun kau dengan mas Benny-mu, sampai jumpa besok.” Diana membalas sambil segera membereskan barang-barangnya, dan akupun segera menyelinap keluar kelas dan menuju tempat parkir mobil. Belum sampai sana, aku mendengar suara Ndoro memanggilku

“Genduk, sini..!” Ndoro melambai dari atas motor di bawah pohon dekat gerbang kampus, bergegas aku menghampiri Ndoro sambil merasakan dildo di anus yang bergerak-gerak dan sakit di puting membuat mataku kembali berkaca-kaca karena menahan rasa sakit. Setelah dekat, Ndoro memberi isyarat agar akupun segera naik ke motor.

“Jangan duduk menyamping, aku mau kamu peluk aku nanti” dengan patuh, aku naik ke atas boncengan motor dan mulai memeluk Ndoro dari belakang dengan hati-hati agar paperclip di dalam tidak semakin menyakiti kedua putingku.

Melaju dengan kencang dijalanan yang ramai di pagi menjelang siang menuju rumah Ndoro, aku memeluk Ndoro dengan erat sesuai perintah dan memejamkan mata menahan sakit setiap Ndoro melewati jalan berlubang atau gundukan. Sesekali aku mengerang kesakitan.
Sesampai di gerbang rumah, ternyata gerbang sudah terbuka dan penjaga rumah yang sama memberikan salam. Melaju hingga samping pendopo, kemudian Ndoro memintaku untuk turun.

“Turun dan tunggu aku di dalam pendopo.”

Tanpa berkomentar aku melangkah masuk ke pendopo dan berdiri di dalam dengan kaki yang masih gemetar karena berusaha menahan sakit di anus dan kedua putingku. Menunggu Ndoro di dalam, memberiku kesempatan untuk memperhatikan beberapa foto berukuran besar yang terpajang di dinding serta berbagai lukisan abstrak. Melihat wajah laki-laki paruh baya di dalam foto itu, aku berusaha mengingat-ingat siapakah beliau yang aku yakini adalah ayah dari Ndoro bila dilihat dari kemiripan garis wajahnya. Namun aku tetap tidak mampu mengingat siapakah laki-laki tersebut.

“Permisi mbak, ada pesan dari tuan muda.” tiba-tiba aku dikejutkan oleh sapaan seorang perempuan patuh baya yang mengenakan kain dan kebaya dan mengulurkan secarik kertas padaku. Aku ambil kertas itu sambil tersenyum dan segera membaca isinya.

"Lepas sepatu, rok, dan kemejamu, berikan pada mbok Sarmi nanti mbok Sarmi akan memberikan kain sebagai gantinya dan langsung menuju kamar kemarin.’
Kebingungan dengan pesan itu dan menatap mbok Sarmi dengan nanar yang kemudian mengulurkan sehelai kain jarit batik ke arahku.

“Segera mbak, tuan muda tidak suka menunggu.” ujar mbok Sarmi dengan suara pelan.

Mbok Sarmi mulai menunduk untuk membantuku melepas tali sepatu ketsku. Aku hendak protes tapi akhirnya kubiarkan, dan memutuskan untuk segera melepas kancing kemeja, menyampirkan kain jarit di kepala agar bisa menutup saat aku melepas kemeja dan rok.

“Saya simpan barang-barangnya ya mbak” ujar mbok Sarmi sambil membereskan sepatu dan baju serta rokku dan undur diri.

Ditinggal sendirian lagi di pendopo yang terasa semakin gerah, akupun mulai berkeringat dan bingung apa yang akan terjadi kemudian dan terus bertanya-tanya apa yang sedang aku lakukan di rumah Ndoro. Berusaha tidak terlalu banyak memikirkan pertanya-pertanyaan di kepalaku, aku melangkah menuju area belakang dan mengetuk pintu kamar Ndoro.

“Masuk!” suara berat Ndoro terdengar dari dalam kamar yang pintunya sedikit terbuka.

Mendorong pintu kayu yang ternyata cukup berat, aku melangkah perlahan masuk ke dalam kamar dan menunduk, tidak berani menatap Ndoro.

“Tutup pintunya dan kunci!”

“Baik Ndoro” balasku perlahan dan melakukan yang Ndoro perintahkan.

“Lepas kainnya dan merangkak kesini, di tengah ada tongkat kayu, ambil dengan mulutmu dan bawa kemari”

“Baik Ndoro” dan aku mulai mengambil posisi merangkak melintasi kamar, lantai beton yang sangat kasar membuat lutut dan telapak tanganku sakit, belum lagi dildo di anus yang terasa sakit karena kering dan paperclip di puting. Sampai di dekat tongkat kayu, aku menunduk dan mengambilnya dengan mulutku, bagaikan seekor anjing aku membawanya ke arah Ndoro

“Pintar genduk.” Ndoro mengusap kepalaku dan mengambil kayu dari mulutku serta melemparkannya ke sudut lain dari kamar.
“Cepat ambil lagi seperti tadi” perintah Ndoro sembari mendorong pantatku dengan kakinyanya yang masih menggunakan sepatu .

Tanpa berpikir aku merangkak ke arah kayu dan kembali ke Ndoro, dan Ndoro mengulang lagi hingga berkali-kali melempar kayu ke berbagai arah hingga lutut terasa pedih karena tergores-gores lantai beton dan telapak tangan yang juga mulai pedih serta nafas terengah-engah dan keringat bercucuran. Anusku tak tertahankan pedihnya dan kembali mataku kabur akibat air mata yang menggenang. Setelah beberapa kali, aku mulai melambat saat merangkak dan Ndoro menggunakan cemeti untuk mempercepat gerakanku.

Cetar…cetar… !!

Dua kali cambukan mendadak di pantat dan pahaku membuatku mempercepat gerakan, mengakibatkan lutut dan telapak tangan makin pedih dan makin capek. Entah berapa lama Ndoro melakukan itu, aku sudah tidak mampu berpikir hanya berusaha agar tidak di cambuk hingga akhirnya aku tidak mampu lagi dan menjatuhkan tongkat yang aku gigit karena mulut dan gigiku pun sudah mulai mati rasa. Tertegun, aku berhenti dan mencoba untuk mengambil kayu itu lagi

“Stop! Tidak perlu kamu ambil!” suara Ndoro menggelegar di dalam ruangan yang terasa sangat luas namun gerah. Menunduk dan menunggu, aku bisa mendengar Ndoro melangkah ke arahku. Setelah dekat, Ndoro menginjak tanganku, namun aku tak berani bersuara hanya erangan pelan terselip keluar dari mulutku

“Buka mulutmu, julurkan lidah dan bersihkan sepatu ini!” Ndoro menyorongkan sepatu bootnya ke arah mulutku. Dengan berurai air mata, aku menjilati sepatu boot itu, dan kemudian satunya lagi hingga Ndoro berkata “Cukup!” meraih rambutku serta menarik kearah tempat tidur.

Aku ketakutan dengan apa yang baru saja terjadi, bagaimana mungkin seorang Sarah, anak seorang pengusaha yang cukup terpandang di kota ini bisa menjadi seperti ini. Aku takut berbagai kotoran yang ada di sepatu itu dan akan menimbulkan sakit. Aku takut bila sampai ada yang tahu dengan apa yang sedang terjadi ini maka akan mencoreng nama keluarga dan berbagai ketakutan lainnya. Namun pikiran-pikiran itu tidak bisa terlalu lama aku cerna di otakku karena Ndoro menghempaskan aku ke tempat tidur

“Duduk” bergerak perlahan untuk duduk di tempat tidur, Ndoro kemudian melepas bra-ku.

“Aku akan melepas jepitan ini, apapun yang kamu rasakan, aku tidak mau ada suara apapun keluar dari mulutmu, paham?”

“I...iya Ndoro, genduk paham.” sahutku lirih sembari menahan sakit luar biasa yang kembali menyerang putingku, tanpa aba-aba Ndoro menarik paperclip itu dan aku sudah membuka mulutku hendak berteriak kencang akibat sakit luar biasa yang menjalar hingga kepalaku. Namun aku takut dan hanya terbelalak serta mengepalkan tangan kuat-kuat menahan sakitnya yang nyaris tak tertahankan

“Saat jepitan di puting di lepas dan darah kembali mengalir disitu, memang akan terasa lebih sakit, tapi kamu akan terbiasa nanti” ujar Ndoro lembut sambil mengusap lembut puting yang sakit dan kemudian menunduk dan menciumnya lembut dan aku merasakan sensasi nikmat yang tidak aku pahami setelah kesakitan yang aku alami.

Sesaat kemudian Ndoro beranjak dari sampingku, berjalan ke arah pintu dan keluar serta menguncinya dari luar. Aku meraba kedua putingku untuk menghilangkan rasa sakit yang sudah nyaris hilang. Aku memandang sekeliling ruangan dan mulai merasa kedinginan karena AC yang sangat dingin di kamar ini. Namun aku tidak berani beranjak dari kasur, hanya mengusap-usap lengan dan tubuhku untuk menimbulkan rasa hangat.

Kemudian kembali pertanyaan besar muncul di kepalaku. Mengapa ini bisa terjadi? mengapa aku bisa sangat patuh? mengapa aku mau di hina, direndahkan, dan disiksa seperti ini, tapi aku malah merasakan sebuah kenikmatan setelahnya? Sebuah perasaan bahagia muncul setiap Ndoro memujiku. Bahagia? tidak…bukan hanya bahagia namun juga terselip rasa bangga karena bisa membuat Ndoro memujiku. Semakin lama, semakin aku tidak memahami diriku sebenarnya.

Berpaling melihat ke arah toilet, tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil dengan amat sangat, namun aku ragu untuk beranjak. Teringat pesan Ndoro bahwa sekecil apapun harus minta ijin Ndoro, terlebih ini sedang di tempat Ndoro. Namun dorongan urine yang sudah sangat penuh membuatku bergegas ke arah toilet dan mengeluarkan isi kandung kemihku hingga lega. Saat sedang membasuh area vagina, tiba-tiba Ndoro kembali masuk kamar tanpa aku mendengar suara kunci. Tertegun aku hingga aku belum menyiram toilet dan hanya duduk terdiam di toilet.

Saat Ndoro masuk, mengunci pintu dan melihat aku di toilet, aku bisa melihat jelas kemarahan tergambar di wajah Ndoro dan itu membuat perutku tiba-tiba melilit karena terserang rasa takut yang amat sangat.

“BERDIRI!” Teriak Ndoro dengan keras.

Tanpa menunda sedetikpun, aku langsung sigap berdiri dan menunduk ketakutan sembari melirik dari ekor mataku, melihat Ndoro yang melangkah cepat-cepat ke arahku.

“Siapa yang memberi ijin genduk bodoh seperti kamu untuk kencing?? Hah..?!!” sembur Ndoro dengan kemarahan luar biasa yang berusaha ditahannya dan aku hanya menunduk tanpa berani menjawab. Aku membisu.

“SIAPAAA..??”

Tiba-tiba Ndoro berteriak sangat keras di telingaku membuatku sangat terkejut dan menjawab dengan suara lirih,

“Ti...tidak a..ada Ndoro.”

“SIAPAA..??” kembali Ndoro berteriak, dan aku mengeraskan suaraku untuk menjawab Ndoro.

“Tidak ada Ndoro!” jawabku dengan lebih keras dan kembali menunduk, bersamaan dengan Ndoro menarik rambutku dan menggiring ke arah tempat tidur, menghempaskan tubuhku ke tempat tidur.

“Duduk!” Ndoro memberi perintah dan kemudian meraih setumpuk kertas yang tadi dilemparkan begitu saja saat menghampiriku di toilet.
Ndoro menyorongkan kertas-kertas itu ke hadapanku.

“Ini akan menjelaskan berbagai pertanyaan yang pasti muncul di otakmu, baca dan pelajari dengan baik, agar kamu paham dan bisa menjalani hubungan ini dengan lebih baik” lanjut Ndoro dengan lebih lembut.

“Baca nanti di rumah!” lanjut Ndoro saat aku hendak membaca kertas-kertas tersebut, kemudian Ndoro mengambilnya lagi dari tanganku, dan meletakkan di meja pendek samping tempat tidur.

“Kamu lapar?”

“Iya Ndoro, lapar dan haus...” jawabku dengan pelan. Kemudian aku melihat Ndoro menekan tombol di samping tempat tidur yang ternyata adalah interkom.

“Ya tuan muda?” suara mbok Sarmi terdengar di lewat intercom.

“Tolong bawakan makanan yang tadi saya minta!” jawab Ndoro dengan datar kemudian menghadap kearahku.

“Turun, duduk di samping tempat tidur.", akupun langsung mematuhinya.

Tidak seberapa lama, aku mendengar ketukan di pintu. Ndoro berjalan membuka pintu, dan menerima sebuah nampan dari mbok Sarmi.

“Terima kasih mbok..” ujar Ndoro sembari menutup pintu kembali.

Memperhatikan dalam diam, aku heran dengan perubahan nada bicara Ndoro yang sopan dan cenderung lembut saat berbicara dengan mbok Sarmi. Ah…mungkin karena mbok Sarmi adalah orang yang tua. Mencoba menjawab sendiri pertanyaan yang tiba-tiba muncul di kepalaku.

Berjalan kearahku, Ndoro kemudian meletakkan nampan di lantai di hadapanku. Aku terkejut karena diatas nampan itu ada dua tempat makanan anjing terbuat dari stainless steel mirip seperti milik anjingku di rumah. Satu berisi nasi dan potongan daging kecil-kecil serta sedikit kuah dan satunya lagi berisi air.

“Habiskan, dan jangan menggunakan tangan!” perintah Ndoro sembari mendorong nampan lebih dekat ke arahku dengan sepatunya.

Karena lapar dan haus, akupun tidak banyak memikirkan apa yang harus kulakukan. Aku menunduk, meletakkan kedua tanganku di samping nampan dan mulai menjilati makanan serta minum dari mangkuk tersebut, aku sangat haus dan lapar hingga dalam sekejap isi kedua mangkuk tersebut telah berpindah ke dalam perutku menyisakan nasi yang tercecer di nampan saat aku menjilati mangkuk.

Melihat aku telah selesai, Ndoro mengambil nampannya dan meletakkan di luar pintu. Berjalan kembali ke arahku dan duduk di samping tempat tidur, Ndoro meraih kepalaku dan mengusapnya dengan lembut, melepas kepangan rambutku dan membelai dengan lembut. Aku merasakan sensasi lain hingga membuat tubuhku bergetar, aku merasakan sebuah kenikmatan, namun hanya sesaat, karena Ndoro tiba-tiba menghentakkan rambutku hingga aku mendongak menghadapnya sembari memejamkan mata

“Buka matamu jangan pernah berani menutup mata tanpa aku perintahkan!”

Sedetik kemudian aku membuka mata dan Ndoro meludahi wajahku. Tanpa melepaskan jambakannya di rambutku Ndoro mengusap ludahnya di wajahku seakan-akan ingin memastikan setiap bagian wajahku terkena ludahnya dan berkata,“Ingat, kamu milikku dan akan patuh padaku, semua sakit yang kamu rasakan adalah untuk memuaskan aku, Ndoromu!” usai mengatakan itu, Ndoro melepaskan jambakannya dan meraih remote di meja samping tempat tidur. Ndoro berjalan menyeberangi kamar dan membuka sebuah lemari kecil lain di samping pintu dan ternyata ada sebuah TV di dalamnya, Ndoro menyalakan TV tersebut dan berjalan kembali ke arahku dan tersenyum saat melihat wajahku yang terkejut.

“Ya, aku merekam semuanya. Kalau kamu bersikap baik, saat nanti aku sudah tidak menginginkanmu, aku akan hancurkan semua rekaman itu, tapi bila tidak, aku akan menjualnya.”

“Paham?”

“Iya Ndoro, genduk paham.” Ujarku pelan.

Saat itu juga aku menyadari bahwa aku telah sepenuhnya menjadi milik Ndoro, padahal sebenarnya akupun memiliki seorang kekasih dari masa SMPku yang kebetulan kuliah di tempat lain dan aku tidak tahu apakah harus menyampaikan hal ini, atau tidak. Aku hanya terdiam dan melihat rekaman di TV itu. Ndoro kemudian menaikkan volumenya dan aku bisa mendengarkan suaraku sendiri saat itu adalah saat dimana aku berteriak kesakitan menerima cambukan pertama Ndoro. Aku langsung memalingkan wajahku, tidak kuat melihat kejadian selanjutnya.

Ndoro kemudian mematikan TV dan berbicara kepadaku.

“Semua kejadian di ruangan ini aku rekam karena aku suka melihatnya lagi berulang-ulang. selama kamu patuh, semua rekaman itu aman, aku akan menjagamu” ujar Ndoro sambil mengusap kepalaku

“Sekarang balik badan, aku akan melepas dildo kecil tadi.”

Perlahan aku membalikkan badan dan Ndoro mulai memutar-mutar dildo kecil dalam anusku dan tiba-tiba menariknya!

“Aaahhhh...!” aku tak kuasa menahan sakitnya, aku berteriak keras. Tidak menghiraukan teriakanku, Ndoro mendekat ke arahku, “Aku akan mememinta kegadisanmu hari ini, apakah kamu siap, Nduk?” tanya Ndoro dengan lembut di telingaku, membuat aku berdesir dan kembali merasakan sebuah sensasi luar biasa. Jantungku berdegup lebih kencang dan menjawab “Genduk siap kapanpun Ndoro mau.”

“Bagus, aku suka jawabanmu!” Ndoro kembali membelaiku, mengusap bilur-bilur dipunggungku dengan perlahan sambil menggumam “Ini indah..., aku suka.”
Aku hanya terdiam kemudian ada semacam dorongan untuk meletakkan kepalaku di pangkuan Ndoro dan kami pun tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Menikmati sentuhan Ndoro seakan menghipnotisku untuk tenang dan menerima Ndoro apa adanya, menerima diri ini apa adanya walau aku belum mampu memahami apa sebenarnya yang sedang terjadi pada diriku. Bayangan bahwa aku akan selamanya melayani Ndoro ternyata sangat menenangkanku. Tersadar bahwa mulai kini, aku telah memiliki seseorang yang akan selalu ada dan menjagaku terasa menenangkan dan membahagiakan, seakan sirna semua pedih dan perlakuan kasar Ndoro kepadaku.

Perlahan terbersit perasaan hangat mulai tumbuh di hatiku menggantikan rasa yang ada untuk kekasihku… Ah, ya… tersadar akan kenyataan itu membuat aku tiba-tiba menegakkan diri dan memandang Ndoro. Seakan menyadari ada sesuatu yang hendak aku sampaikan, Ndoro memandangku lembut.

“Ada apa nduk..?”

“Apa yang mengganggu pikiranmu?” Ndoro bertanya dengan lembut. Tertunduk aku dan berusaha menenangkan diri sembari mencari kata-kata yang tepat untuk menyampaikan kegelisahanku.

“Ndoro, genduk punya pacar...” ujarku lirih tanpa berani menatap Ndoro.

“Aku tahu dan aku yakin saat nanti genduk jumpa dia, genduk tahu apa yang genduk harus sampaikan dan tidak akan mengecewakan, apalagi mengkhianati aku.” Ndoro berkata dengan lembut namun tegas sembari membelai rambutku.

“Sekarang,...apakah kamu sudah siap?” tanya Ndoro sambil menjambak rambutku membuatku seketika terdongak.

Menatap Ndoro dan aku tersenyum “Iya Ndoro, genduk siap...!” Sembari membayangkan bahwa pada akhirnya Ndoro akan mencumbuiku dan bayangan itu kembali membawa sensasi hangat dan membuat badanku bergetar.

Namun ternyata aku salah besar, karena Ndoro tidak melakukannya dengan cara yang aku bayangkan, apalagi aku harapkan. Ndoro berdiri dan berjalan ke arah lemari kayu, membuka dan mengambil sesuatu. Saat kembali ke arahku, ternyata Ndoro membawa 2 buah dildo. Salah satunya cukup besar dan panjang serta bertekstur kasar cenderung bergerigi. Namun aku tidak berani bertanya sedikitpun hanya tiba-tiba aku berkeringat dan rasa takut mulai aku rasakan.

Dalam diam aku menatap nanar dan kembali air mata mulai membuat pandanganku kabur. Ingin rasanya meminta Ndoro berhenti dan menolak semuanya, namun aku tetap bertahan dalam diam dan tetap duduk bersimpuh di samping tempat tidur. Setelah meletakkan kedua dildo yang di bawanya. Ndoro kemudian membimbing aku ke tempat tidur,

“Ayo bangun, duduklah di pinggir tempat tidur, dan rebahkan badanmu...!”

Merebahkan badan perlahan sambil merasakan belaian Ndoro di pahaku, akupun mulai merasa tenang. Ndoro seakan tahu ketegangan yang aku rasakan, Ndoro mulai menciumi tubuhku dengan lembut, naik terus hingga telingaku pun diciumi dan digigit-gigit kecil pada daun telingaku.

“Kali ini genduk boleh teriak bila kesakitan tapi jangan berontak. Aku tidak akan berhenti sekeras apapun teriakanmu, Nduk.”

Ndoro berbisik lembut di telingaku, membuatku berdesir, muncul kembali perasaan nikmat dan takut disaat bersamaan, hingga akupun mulai merasakan area pribadiku menjadi berdenyut menghangat...

“Angkat kedua tanganmu ke atas!”

Ndoro memberi perintah dan berjalan memutari tempat tidur, meraih kedua pergelangan tangan dari sisi lain tempat tidur dan mengikatnya dengan tali katun yang lembut. Setelah kedua pergelangan tangan menyatu, Ndoro menarik tali hingga lenganku tertarik lurus keatas, dan menariknya dengan keras sekali lagi hingga terasa tegang di bahu.

“Angkat kakimu!”

Kemudian Ndoro meraih pergelangan kaki kananku dan memasang gelang kulit seperti yang di pasang di tanganku kemarin. Dia melakukan hal yang sama pada pergelangan kaki kiriku dan kemudian menarik rantai-rantainya sehingga kakiku terbentang maksimal, mengekspos area pribadiku.

Aku kembali terserang rasa takut yang hebat dan mulai menangis sesenggukan, sedih menyeruak karena tidak pernah membayangkan aku harus menyerahkan kegadisanku pada laki-laki yang baru aku kenal 2 hari dengan cara seperti ini. Tanpa romantisme, tanpa kemesraan, apalagi kelembutan!

“Jangan menangis, beri senyuman terbaikmu..!” ujar Ndoro sembari menyelipkan tangan kiri ke bawah pantatku dan mengangkatnya sedikit dan perlahan sekali berusaha memasukkan salah satu dildo ke dalam anusku.

“Rileks saja, lakukan seperti tadi pagi...” Ndoro berkata lembut sambil menatapku dan terus berusaha memasukkan hingga akhirnya perlahan dildo yang cukup ramping itu menelusup masuk dan terus didorongnya hingga cukup dalam. Ndoro tersenyum, “Genduk pintar...”, kembali Ndoro memberikan pujian yang membuatku bangga hingga area pribadiku terasa semakin menghangat dan lembab.

“Wah…genduk suka ya? Ini vaginamu mulai basah....” Ndoro tiba-tiba menyentuh area pribadiku dan aku merasa jengah.

Pandanganku agak terhalang oleh ukuran payudaraku, yang lumayan besar untuk perempuan seusiaku. Aku hanya bisa merasakan milik pribadi Ndoro yang bersentuhan langsung dengan bibir vaginaku. Ingin rasanya memejamkan mata untuk mengurangi rasa takut yang menyergap namun aku berusaha terus menatap Ndoro. Perlahan namun pasti, Ndoro memasukkan batang miliknya sambil membelai kedua pahaku hingga aku merasa nyaman. Sedikit demi sedikit batang itu melesak masuk, hingga terasa sempit kurasakan di area pribadiku.

Tidak seberapa lama Ndoro berhasil memasukkan keseluruhan batang perkasanya, dan dengan sekali hentak langsung menginvasi vaginaku hingga membuatku berteriak kesakitan!

“AAAAAUUUUGGHHHHHHHHH...!!!”

Aku berteriak sangat kencang dan seakan melolong kesakitan. Rasa sakit luar biasa terasa di sekujur tubuhku, tetapi teriakan itu tidak menghentikan Ndoro untuk terus menghentakkan miliknya berkali-kali di dalam kewanitaanku. Darah perawan bercampur lendir pelumasku memercik membasahi area kewanitaan dan selangkanganku saat batang perkasa itu menjalankan tugasnya dengan hebat. Sakit bercampur kenikmatan luar biasa kurasakan seketika.

Beberapa saat kemudian, Ndoro mendadak menarik batang perkasa miliknya. Lega aku rasakan sesaat setelah Ndoro melakukannya, namun kelegaan itu tidak berlangsung lama. Ndoro meraih dildo yang besar dan bergerigi serta cukup panjang tadi. Dalam pandanganku yang sudah kabur tertutup air mata, aku melihat Ndoro mengarahkan dildo ke mulutku, refleks aku membuka mulut dan mulai mengulumnya, tetapi tidak lama, kemudian Ndoro mengarahkan dildo besar itu ke bawah, berusaha menyelipkan ke bibir vaginaku dan berkata,

“Ini akan sangat sakit, Nduk..” Bersamaan dengan itu Ndoro kembali menginvasi vaginaku dengan sekali hentakan!

Kembali aku melolong kesakitan, “AAAAAAAAARRRGGGGGHHHHHH.....!!!!”

Tanpa ampun Ndoro dengan kekuatan dan gerakan cepat seperti mengocok, mengaduk-aduk vagina mungilku dengan dildo besar itu, hingga aku terkencing-kencing. Sempat kulihat Ndoro membuka mulutnya lebar-lebar menadahi dan meminum air kencingku yang tersembur dan memuncrat kemana-mana. Sepertinya Ndoro semakin terangsang melihatku terkencing-kencing. Bahkan Ndoro langsung berlutut, dan melahap vaginaku, menyedot kuat-kuat air kencingku langsung dari lubang vaginaku, masuk dalam mulutnya, dan menelannya.
Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa, tapi juga kesakitan, hingga membuatku mulai berontak dan berteriak-teriak sampai entah berapa lama.

Aku jatuh telentang di kasur. Tiba-tiba semua gelap.

Aku tiba-tiba merasakan sesuatu yang hangat dan lengket di wajahku, aku membuka mata dan samar kulihat batang perkasa milik Ndoro menyemprotkan berkali-kali lendir kenikmatannya di wajahku. Masih belum puas, Ndoro memasukkan batang miliknya ke dalam mulutku. Aku mengulumnya hingga lendir itu keluar lagi memenuhi rongga mulutku. Terasa asin saat lendir itu tertelan dalam mulutku. Kemudian Ndoro meludahi aku berkali-kali. Wajahku penuh liur Ndoro bercampur lendir kejantanannya.

“Kamu sempat pingsan Nduk...” kata Ndoro.

Aku berusaha kembali mengumpulkan kesadaran dan masih merasakan kenikmatan bercampur kesakitan luar biasa. Ndoro kembali meraih dildo di vagina dan melakukan lagi invasi di vaginaku dengan lebih cepat, melakukan gerakan keluar masuk dan memutar tanpa henti tanpa menghiraukan teriakanku hingga akhirnya aku melemah hingga tanpa aku sadari, tubuhku mulai bergetar, makin lama makin keras getaran aku rasakan hingga seakan ingin meledak, namun itu tidak menghentikan Ndoro tapi membuat Ndoro semakin brutal menginvasi hingga akhirnya tubuhku tak kuasa lagi menahan getaran yang menghebat dan berteriak memanggil Ndoro sekuat tenaga:

“NDOROOOOOOOO...!!!!” dan dengan sekali hentakan Ndoro menarik dildo itu keluar dan memelukku erat. Aku orgasme untuk yang pertama kalinya.

Kenikmatan luar biasa yang belum pernah aku rasakan berpadu dengan sakit luar biasa berpadu saling berebut berusaha memasuki otak dan rasaku, dan Ndoro dengan lembut menciumku, membelaiku dan berbisik mesra,

“Lovely. Terima kasih gendukku.”

Ndoro kembali menciumiku dengan lembut, menghapus air mataku.

“Aku tahu ini pasti sangat sakit, luar biasa sakit yang akupun tidak mampu membayangkan ada yang mau menjalaninya untukku..” Ndoro berkata lembut di hadapanku sambil membelai rambutku dan kembali mencium bibirku dengan lembut. Sesenggukan dan berusaha menenangkan diri, aku mulai membalas ciuman Ndoro. Tak satu katapun mampu aku ucapkan. Aku membisu dalam kenikmatan dan kesakitan.
Aku merasa sedih, sakit, takut namun yang mengejutkan tidak ada sedikitpun amarah dalam diri, tidak ada sedikitpun penyesalan dalam diriku. (Bersambung)
 
Terakhir diubah:
Keesokan harinya aku bangun pagi seperti biasa dan membereskan tugas-tugas rumah, aku memulai ritual mandi yang lebih lama dari biasanya. Sekujur tubuhku terasa pedih dan saat aku memandang di cermin, terlihat jelas bilur-bilur ditubuh putihku yang masih terasa pedih. Anus yang masih terasa seperti di robek paksa dan daerah pribadiku yang masih terasa pedih akibat rambut yang di cabut paksa.

Namun melihat daerah tersebut belum sepenuhnya bersih, aku memutuskan untuk mencukur sisanya dan menyelesaikan mandiku serta bersiap berangkat, tentu saja tanpa menggunakan celana dalam.

Sampai di halaman sekolah, ternyata Ndoro sudah disana. Saat melewati gerbang sekolah Ndoro mendekat dan berbisik kepadaku.

“Langsung ke kamar mandi laki-laki dan tunggu aku di sana”

“Baik Ndoro.” jawabku perlahan

Menunggu Ndoro di kamar mandi laki-laki tentu saja membuatku jengah dan 10 menit terasa seperti setengah jam yang melelahkan. Saat Ndoro muncul langsung memberi isyarat agar aku masuk ke bilik toilet yang kosong. Mematuhi tanpa banyak bertanya, akupun masuk dan kemudian Ndoro menyusul.

“Angkat rokmu!” Ndoro tersenyum melihatku tanpa celana dalam.

“Sekarang kamu menungging sedikit dan relaks.”

Walau gugup dan tidak yakin apa yang akan dilakukan Ndoro di dalam bilik yang sempit itu, akupun mematuhinya tanpa banyak bertanya. dan aku merasakan dingin yang sama seperti semalam, tubuhku bereaksi otomatis seakan-akan menolak, kemudian Ndoro mengeluarkan sebuah dildo kecil.

“Tenang, aku akan memasukkan ini perlahan ke anusmu.” dan dengan perlahan dan lembut, Ndoro mendorong dildo itu masuk ke dalam anusku. Berhasil masuk.

“Genduk pintar, sekarang turunkan rokmu dan masuk kelas, beraktivitas seperti biasa dan jaga jangan sampai dildo itu terjatuh!” perintah Ndoro berikutnya.

Dengan tubuh bergetar dan suara lirih, aku menjawab “Iya Ndoro.” dan segera melangkah keluar dari bilik toilet, sempat berpapasan dengan kakak kelas lain yang tersenyum penuh arti, akupun segera berlalu sambil menunduk menuju ke kelasku.

Berjalan dengan canggung karena takut dildo kecil itu jatuh, aku juga merasakan sensasi aneh dalam diri. Antara takut, malu, tapi juga senang karena mendapat pujian dari Ndoro.

Hari ini pelajaran terasa berlalu dengan cepat dan aku sangat semangat mengikuti semua kegiatan, hingga tiba-tiba Diana berkomentar saat istirahat pertama dan kami hanya duduk-duduk di kelas

“Hari ini kamu semangat sekali, pasti karena habis kencan dadakan sama mas Benny kemarin ya?”

“Ah masa sih?” sergahku tanpa bisa menyembunyikan senyum bahagia.

Ya, aku merasakan bahagia. Sebuah perasaan yang aneh setelah kejadian semalam. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa aku bahagia mendapat sedikit pujian dari Ndoro.

“Kau kenapa siy nggak cerita kalau sudah jadian sama mas Benny?” tanya Diana penasaran.

“Memangnya kenapa?”

“Aku sengaja tidak cerita karena nggak mau mendahului mas Benny”, lanjutku menanggapi pertanyaan dari Diana, sebuah alasan yang tidak sepenuhnya salah dan juga tidak sepenuhnya benar juga.

“Nggak apa-apa, hanya tadinya aku mau kenalkan ke kakak kelas, kelas 2 Biologi. Dia tertarik padamu, namun saat aku sampaikan bahwa kau sudah dengan mas Benny dia bilang nggak akan bisa bersaing dengan mas Benny.”

Diana menjelaskan dengan rinci bahwa mas Benny sangat disegani di sekolah tersebut karena selain berprestasi secara akademik, mas Benny yang penampilannya sangat biasa, kurus, tidak terlalu tinggi, berkulit gelap, tidak harum dan memiliki tangan yang sangat kasar seperti parutan ternyata memiliki banyak prestasi di olahraga panjat tebing dan basket. Sering bertanding sampai ke manca negara. Selain itu, mas Benny yang berasal dari keluarga berada, juga sering membantu kegiatan di sekolah.

Terdiam sembari mendengarkan penjelasan Diana, pikiranku melayang ke kejadian semalam dan mulai memahami mengapa mas Benny memiliki kepercayaan diri yang saat tinggi. Namun tetap saja tidak menjawab pertanyaanku atas diri ini yang bisa menjadi begitu patuh pada semua perintah mas Benny, Ndoro maksudku. Saat inipun aku rindu melihat tatapan mata Ndoro, rindu suara Ndoro dan rindu perintah Ndoro.

Suara Diana yang sayup-sayup aku dengar menceritakan tentang Ndoro, Diana tahu lebih banyak tentang Ndoro dibandingkan aku yang sudah memberikan diri ini kepadanya. Namun aku merasa bahwa Ndoro tidak akan suka bila aku terlalu banyak bertanya, karena Ndoro meminta kepatuhan penuh dariku. Tiba-tiba aku dikejutkan suara Diana yang menyebut nama Ndoro.

“Hai mas Benny!” renyah suara Diana menyapa Ndoro.

“Hei Di, aku butuh dengan gendukku, pinjam dulu ya.” dan tanpa menanyakan kesediaanku, Ndoro menggandengku dan aku hanya melambaikan tangan ke Diana sambil berusaha tersenyum, walau jantung ini berdegup kencang dan mulai berkeringat.

“Hari ini guru-guru akan rapat, sehingga semua akan dipulangkan cepat, kamu akan ikut aku lagi.”

Ndoro menyampaikan berita itu sambil berjalan menuju toilet laki-laki yang lengang. Sampai di dalam dan masuk ke dalam salah satu bilik, Ndoro kembali memberikan perintahnya

“Buka kancing kemejamu!” ujar Ndoro sambil mengeluarkan 2 buah paper klip hitam dari sakunya. Meraih bra-ku, mengeluarkan salah satu puting dan tetiba menjepitnya dengan paperclip.

"Aduh..!!" jeritku tertahan.

Terkejut dengan gerakan cepat Ndoro, dan rasa sakit luar biasa hingga membuat air mataku keluar, aku nyaris berteriak. Ndoro berhenti dan tersenyum saat aku hanya mengeluarkan suara erangan sangat pelan dan kemudian Ndoro melanjutkan dengan puting satunya. Merapikan kembali bra-ku, mengancingkan kemeja dan berkata.

“Kembali ke kelas dan bereskan barang-barangmu, kita pulang sekarang!” perintah Ndoro sambil menggoyangkan paperclip yang membuat puting makin terasa terbakar.

Kembali ke kelas dengan mengusap air mata dan berusaha tenang serta tidak menghiraukan rasa sakit luar biasa di dalam bra, akupun menyapa Diana yang masih duduk di meja dengan beberapa teman sekelas.

“Hari ini guru-guru akan rapat kata mas Benny, setelah istirahat kita akan dipulangkan, tapi aku duluan ya, mau pulang sama mas Benny.” ujarku pada Diana sambil membereskan buku-buku dan alat tulis. Sontak kelas ribut, dan semua beranjak untuk membereskan barang masing-masing, begitu pula dengan Diana.

“Oke…have fun kau dengan mas Benny-mu, sampai jumpa besok.” Diana membalas sambil segera membereskan barang-barangnya, dan akupun segera menyelinap keluar kelas dan menuju tempat parkir mobil. Belum sampai sana, aku mendengar suara Ndoro memanggilku

“Genduk, sini..!” Ndoro melambai dari atas motor di bawah pohon dekat gerbang sekolah, bergegas aku menghampiri Ndoro sambil merasakan dildo di anus yang bergerak-gerak dan sakit di puting membuat mataku kembali berkaca-kaca karena menahan rasa sakit. Setelah dekat, Ndoro memberi isyarat agar akupun segera naik ke motor.

“Jangan duduk menyamping, aku mau kamu peluk aku nanti” dengan patuh, aku naik ke atas boncengan motor dan mulai memeluk Ndoro dari belakang dengan hati-hati agar paperclip di dalam tidak semakin menyakiti kedua putingku.

Melaju dengan kencang dijalanan yang ramai di pagi menjelang siang menuju rumah Ndoro, aku memeluk Ndoro dengan erat sesuai perintah dan memejamkan mata menahan sakit setiap Ndoro melewati jalan berlubang atau gundukan. Sesekali aku mengerang kesakitan.
Sesampai di gerbang rumah, ternyata gerbang sudah terbuka dan penjaga rumah yang sama memberikan salam. Melaju hingga samping pendopo, kemudian Ndoro memintaku untuk turun.

“Turun dan tunggu aku di dalam pendopo.”

Tanpa berkomentar aku melangkah masuk ke pendopo dan berdiri di dalam dengan kaki yang masih gemetar karena berusaha menahan sakit di anus dan kedua putingku. Menunggu Ndoro di dalam, memberiku kesempatan untuk memperhatikan beberapa foto berukuran besar yang terpajang di dinding serta berbagai lukisan abstrak. Melihat wajah laki-laki paruh baya di dalam foto itu, aku berusaha mengingat-ingat siapakah beliau yang aku yakini adalah ayah dari Ndoro bila dilihat dari kemiripan garis wajahnya. Namun aku tetap tidak mampu mengingat siapakah laki-laki tersebut.

“Permisi mbak, ada pesan dari tuan muda.” tiba-tiba aku dikejutkan oleh sapaan seorang perempuan patuh baya yang mengenakan kain dan kebaya dan mengulurkan secarik kertas padaku. Aku ambil kertas itu sambil tersenyum dan segera membaca isinya.

"Lepas sepatu, rok, dan kemejamu, berikan pada mbok Sarmi nanti mbok Sarmi akan memberikan kain sebagai gantinya dan langsung menuju kamar kemarin.’
Kebingungan dengan pesan itu dan menatap mbok Sarmi dengan nanar yang kemudian mengulurkan sehelai kain jarit batik ke arahku.

“Segera mbak, tuan muda tidak suka menunggu.” ujar mbok Sarmi dengan suara pelan.

Mbok Sarmi mulai menunduk untuk membantuku melepas tali sepatu ketsku. Aku hendak protes tapi akhirnya kubiarkan, dan memutuskan untuk segera melepas kancing kemeja, menyampirkan kain jarit di kepala agar bisa menutup saat aku melepas kemeja dan rok.

“Saya simpan barang-barangnya ya mbak” ujar mbok Sarmi sambil membereskan sepatu dan baju serta rok seragamku dan undur diri.

Ditinggal sendirian lagi di pendopo yang terasa semakin gerah, akupun mulai berkeringat dan bingung apa yang akan terjadi kemudian dan terus bertanya-tanya apa yang sedang aku lakukan di rumah Ndoro. Berusaha tidak terlalu banyak memikirkan pertanya-pertanyaan di kepalaku, aku melangkah menuju area belakang dan mengetuk pintu kamar Ndoro.

“Masuk!” suara berat Ndoro terdengar dari dalam kamar yang pintunya sedikit terbuka.

Mendorong pintu kayu yang ternyata cukup berat, aku melangkah perlahan masuk ke dalam kamar dan menunduk, tidak berani menatap Ndoro.

“Tutup pintunya dan kunci!”

“Baik Ndoro” balasku perlahan dan melakukan yang Ndoro perintahkan.

“Lepas kainnya dan merangkak kesini, di tengah ada tongkat kayu, ambil dengan mulutmu dan bawa kemari”

“Baik Ndoro” dan aku mulai mengambil posisi merangkak melintasi kamar, lantai beton yang sangat kasar membuat lutut dan telapak tanganku sakit, belum lagi dildo di anus yang terasa sakit karena kering dan paperclip di puting. Sampai di dekat tongkat kayu, aku menunduk dan mengambilnya dengan mulutku, bagaikan seekor anjing aku membawanya ke arah Ndoro

“Pintar genduk.” Ndoro mengusap kepalaku dan mengambil kayu dari mulutku serta melemparkannya ke sudut lain dari kamar.
“Cepat ambil lagi seperti tadi” perintah Ndoro sembari mendorong pantatku dengan kakinyanya yang masih menggunakan sepatu .

Tanpa berpikir aku merangkak ke arah kayu dan kembali ke Ndoro, dan Ndoro mengulang lagi hingga berkali-kali melempar kayu ke berbagai arah hingga lutut terasa pedih karena tergores-gores lantai beton dan telapak tangan yang juga mulai pedih serta nafas terengah-engah dan keringat bercucuran. Anusku tak tertahankan pedihnya dan kembali mataku kabur akibat air mata yang menggenang. Setelah beberapa kali, aku mulai melambat saat merangkak dan Ndoro menggunakan cemeti untuk mempercepat gerakanku.

Cetar…cetar… !!

Dua kali cambukan mendadak di pantat dan pahaku membuatku mempercepat gerakan, mengakibatkan lutut dan telapak tangan makin pedih dan makin capek. Entah berapa lama Ndoro melakukan itu, aku sudah tidak mampu berpikir hanya berusaha agar tidak di cambuk hingga akhirnya aku tidak mampu lagi dan menjatuhkan tongkat yang aku gigit karena mulut dan gigiku pun sudah mulai mati rasa. Tertegun, aku berhenti dan mencoba untuk mengambil kayu itu lagi

“Stop! Tidak perlu kamu ambil!” suara Ndoro menggelegar di dalam ruangan yang terasa sangat luas namun gerah. Menunduk dan menunggu, aku bisa mendengar Ndoro melangkah ke arahku. Setelah dekat, Ndoro menginjak tanganku, namun aku tak berani bersuara hanya erangan pelan terselip keluar dari mulutku

“Buka mulutmu, julurkan lidah dan bersihkan sepatu ini!” Ndoro menyorongkan sepatu bootnya ke arah mulutku. Dengan berurai air mata, aku menjilati sepatu boot itu, dan kemudian satunya lagi hingga Ndoro berkata “Cukup!” meraih rambutku serta menarik kearah tempat tidur.

Aku ketakutan dengan apa yang baru saja terjadi, bagaimana mungkin seorang Sarah, anak seorang pengusaha yang cukup terpandang di kota ini bisa menjadi seperti ini. Aku takut berbagai kotoran yang ada di sepatu itu dan akan menimbulkan sakit. Aku takut bila sampai ada yang tahu dengan apa yang sedang terjadi ini maka akan mencoreng nama keluarga dan berbagai ketakutan lainnya. Namun pikiran-pikiran itu tidak bisa terlalu lama aku cerna di otakku karena Ndoro menghempaskan aku ke tempat tidur

“Duduk” bergerak perlahan untuk duduk di tempat tidur, Ndoro kemudian melepas bra-ku.

“Aku akan melepas jepitan ini, apapun yang kamu rasakan, aku tidak mau ada suara apapun keluar dari mulutmu, paham?”

“I...iya Ndoro, genduk paham.” sahutku lirih sembari menahan sakit luar biasa yang kembali menyerang putingku, tanpa aba-aba Ndoro menarik paperclip itu dan aku sudah membuka mulutku hendak berteriak kencang akibat sakit luar biasa yang menjalar hingga kepalaku. Namun aku takut dan hanya terbelalak serta mengepalkan tangan kuat-kuat menahan sakitnya yang nyaris tak tertahankan

“Saat jepitan di puting di lepas dan darah kembali mengalir disitu, memang akan terasa lebih sakit, tapi kamu akan terbiasa nanti” ujar Ndoro lembut sambil mengusap lembut puting yang sakit dan kemudian menunduk dan menciumnya lembut dan aku merasakan sensasi nikmat yang tidak aku pahami setelah kesakitan yang aku alami.

Sesaat kemudian Ndoro beranjak dari sampingku, berjalan ke arah pintu dan keluar serta menguncinya dari luar. Aku meraba kedua putingku untuk menghilangkan rasa sakit yang sudah nyaris hilang. Aku memandang sekeliling ruangan dan mulai merasa kedinginan karena AC yang sangat dingin di kamar ini. Namun aku tidak berani beranjak dari kasur, hanya mengusap-usap lengan dan tubuhku untuk menimbulkan rasa hangat.

Kemudian kembali pertanyaan besar muncul di kepalaku. Mengapa ini bisa terjadi? mengapa aku bisa sangat patuh? mengapa aku mau di hina, direndahkan, dan disiksa seperti ini, tapi aku malah merasakan sebuah kenikmatan setelahnya? Sebuah perasaan bahagia muncul setiap Ndoro memujiku. Bahagia? tidak…bukan hanya bahagia namun juga terselip rasa bangga karena bisa membuat Ndoro memujiku. Semakin lama, semakin aku tidak memahami diriku sebenarnya.

Berpaling melihat ke arah toilet, tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil dengan amat sangat, namun aku ragu untuk beranjak. Teringat pesan Ndoro bahwa sekecil apapun harus minta ijin Ndoro, terlebih ini sedang di tempat Ndoro. Namun dorongan urine yang sudah sangat penuh membuatku bergegas ke arah toilet dan mengeluarkan isi kandung kemihku hingga lega. Saat sedang membasuh area vagina, tiba-tiba Ndoro kembali masuk kamar tanpa aku mendengar suara kunci. Tertegun aku hingga aku belum menyiram toilet dan hanya duduk terdiam di toilet.

Saat Ndoro masuk, mengunci pintu dan melihat aku di toilet, aku bisa melihat jelas kemarahan tergambar di wajah Ndoro dan itu membuat perutku tiba-tiba melilit karena terserang rasa takut yang amat sangat.

“BERDIRI!” Teriak Ndoro dengan keras.

Tanpa menunda sedetikpun, aku langsung sigap berdiri dan menunduk ketakutan sembari melirik dari ekor mataku, melihat Ndoro yang melangkah cepat-cepat ke arahku.

“Siapa yang memberi ijin genduk bodoh seperti kamu untuk kencing?? Hah..?!!” sembur Ndoro dengan kemarahan luar biasa yang berusaha ditahannya dan aku hanya menunduk tanpa berani menjawab. Aku membisu.

“SIAPAAA..??”

Tiba-tiba Ndoro berteriak sangat keras di telingaku membuatku sangat terkejut dan menjawab dengan suara lirih,

“Ti...tidak a..ada Ndoro.”

“SIAPAA..??” kembali Ndoro berteriak, dan aku mengeraskan suaraku untuk menjawab Ndoro.

“Tidak ada Ndoro!” jawabku dengan lebih keras dan kembali menunduk, bersamaan dengan Ndoro menarik rambutku dan menggiring ke arah tempat tidur, menghempaskan tubuhku ke tempat tidur.

“Duduk!” Ndoro memberi perintah dan kemudian meraih setumpuk kertas yang tadi dilemparkan begitu saja saat menghampiriku di toilet.
Ndoro menyorongkan kertas-kertas itu ke hadapanku.

“Ini akan menjelaskan berbagai pertanyaan yang pasti muncul di otakmu, baca dan pelajari dengan baik, agar kamu paham dan bisa menjalani hubungan ini dengan lebih baik” lanjut Ndoro dengan lebih lembut.

“Baca nanti di rumah!” lanjut Ndoro saat aku hendak membaca kertas-kertas tersebut, kemudian Ndoro mengambilnya lagi dari tanganku, dan meletakkan di meja pendek samping tempat tidur.

“Kamu lapar?”

“Iya Ndoro, lapar dan haus...” jawabku dengan pelan. Kemudian aku melihat Ndoro menekan tombol di samping tempat tidur yang ternyata adalah interkom.

“Ya tuan muda?” suara mbok Sarmi terdengar di lewat intercom.

“Tolong bawakan makanan yang tadi saya minta!” jawab Ndoro dengan datar kemudian menghadap kearahku.

“Turun, duduk di samping tempat tidur.", akupun langsung mematuhinya.

Tidak seberapa lama, aku mendengar ketukan di pintu. Ndoro berjalan membuka pintu, dan menerima sebuah nampan dari mbok Sarmi.

“Terima kasih mbok..” ujar Ndoro sembari menutup pintu kembali.

Memperhatikan dalam diam, aku heran dengan perubahan nada bicara Ndoro yang sopan dan cenderung lembut saat berbicara dengan mbok Sarmi. Ah…mungkin karena mbok Sarmi adalah orang yang tua. Mencoba menjawab sendiri pertanyaan yang tiba-tiba muncul di kepalaku.

Berjalan kearahku, Ndoro kemudian meletakkan nampan di lantai di hadapanku. Aku terkejut karena diatas nampan itu ada dua tempat makanan anjing terbuat dari stainless steel mirip seperti milik anjingku di rumah. Satu berisi nasi dan potongan daging kecil-kecil serta sedikit kuah dan satunya lagi berisi air.

“Habiskan, dan jangan menggunakan tangan!” perintah Ndoro sembari mendorong nampan lebih dekat ke arahku dengan sepatunya.

Karena lapar dan haus, akupun tidak banyak memikirkan apa yang harus kulakukan. Aku menunduk, meletakkan kedua tanganku di samping nampan dan mulai menjilati makanan serta minum dari mangkuk tersebut, aku sangat haus dan lapar hingga dalam sekejap isi kedua mangkuk tersebut telah berpindah ke dalam perutku menyisakan nasi yang tercecer di nampan saat aku menjilati mangkuk.

Melihat aku telah selesai, Ndoro mengambil nampannya dan meletakkan di luar pintu. Berjalan kembali ke arahku dan duduk di samping tempat tidur, Ndoro meraih kepalaku dan mengusapnya dengan lembut, melepas kepangan rambutku dan membelai dengan lembut. Aku merasakan sensasi lain hingga membuat tubuhku bergetar, aku merasakan sebuah kenikmatan, namun hanya sesaat, karena Ndoro tiba-tiba menghentakkan rambutku hingga aku mendongak menghadapnya sembari memejamkan mata

“Buka matamu jangan pernah berani menutup mata tanpa aku perintahkan!”

Sedetik kemudian aku membuka mata dan Ndoro meludahi wajahku. Tanpa melepaskan jambakannya di rambutku Ndoro mengusap ludahnya di wajahku seakan-akan ingin memastikan setiap bagian wajahku terkena ludahnya dan berkata,“Ingat, kamu milikku dan akan patuh padaku, semua sakit yang kamu rasakan adalah untuk memuaskan aku, Ndoromu!” usai mengatakan itu, Ndoro melepaskan jambakannya dan meraih remote di meja samping tempat tidur. Ndoro berjalan menyeberangi kamar dan membuka sebuah lemari kecil lain di samping pintu dan ternyata ada sebuah TV di dalamnya, Ndoro menyalakan TV tersebut dan berjalan kembali ke arahku dan tersenyum saat melihat wajahku yang terkejut.

“Ya, aku merekam semuanya. Kalau kamu bersikap baik, saat nanti aku sudah tidak menginginkanmu, aku akan hancurkan semua rekaman itu, tapi bila tidak, aku akan menjualnya.”

“Paham?”

“Iya Ndoro, genduk paham.” Ujarku pelan.

Saat itu juga aku menyadari bahwa aku telah sepenuhnya menjadi milik Ndoro, padahal sebenarnya akupun memiliki seorang kekasih dari masa SMPku yang kebetulan bersekolah di tempat lain dan aku tidak tahu apakah harus menyampaikan hal ini, atau tidak. Aku hanya terdiam dan melihat rekaman di TV itu. Ndoro kemudian menaikkan volumenya dan aku bisa mendengarkan suaraku sendiri saat itu adalah saat dimana aku berteriak kesakitan menerima cambukan pertama Ndoro. Aku langsung memalingkan wajahku, tidak kuat melihat kejadian selanjutnya.

Ndoro kemudian mematikan TV dan berbicara kepadaku.

“Semua kejadian di ruangan ini aku rekam karena aku suka melihatnya lagi berulang-ulang. selama kamu patuh, semua rekaman itu aman, aku akan menjagamu” ujar Ndoro sambil mengusap kepalaku

“Sekarang balik badan, aku akan melepas dildo kecil tadi.”

Perlahan aku membalikkan badan dan Ndoro mulai memutar-mutar dildo kecil dalam anusku dan tiba-tiba menariknya!

“Aaahhhh...!” aku tak kuasa menahan sakitnya, aku berteriak keras. Tidak menghiraukan teriakanku, Ndoro mendekat ke arahku, “Aku akan mememinta kegadisanmu hari ini, apakah kamu siap, Nduk?” tanya Ndoro dengan lembut di telingaku, membuat aku berdesir dan kembali merasakan sebuah sensasi luar biasa. Jantungku berdegup lebih kencang dan menjawab “Genduk siap kapanpun Ndoro mau.”

“Bagus, aku suka jawabanmu!” Ndoro kembali membelaiku, mengusap bilur-bilur dipunggungku dengan perlahan sambil menggumam “Ini indah..., aku suka.”
Aku hanya terdiam kemudian ada semacam dorongan untuk meletakkan kepalaku di pangkuan Ndoro dan kami pun tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Menikmati sentuhan Ndoro seakan menghipnotisku untuk tenang dan menerima Ndoro apa adanya, menerima diri ini apa adanya walau aku belum mampu memahami apa sebenarnya yang sedang terjadi pada diriku. Bayangan bahwa aku akan selamanya melayani Ndoro ternyata sangat menenangkanku. Tersadar bahwa mulai kini, aku telah memiliki seseorang yang akan selalu ada dan menjagaku terasa menenangkan dan membahagiakan, seakan sirna semua pedih dan perlakuan kasar Ndoro kepadaku.

Perlahan terbersit perasaan hangat mulai tumbuh di hatiku menggantikan rasa yang ada untuk kekasihku… Ah, ya… tersadar akan kenyataan itu membuat aku tiba-tiba menegakkan diri dan memandang Ndoro. Seakan menyadari ada sesuatu yang hendak aku sampaikan, Ndoro memandangku lembut.

“Ada apa nduk..?”

“Apa yang mengganggu pikiranmu?” Ndoro bertanya dengan lembut. Tertunduk aku dan berusaha menenangkan diri sembari mencari kata-kata yang tepat untuk menyampaikan kegelisahanku.

“Ndoro, genduk punya pacar...” ujarku lirih tanpa berani menatap Ndoro.

“Aku tahu dan aku yakin saat nanti genduk jumpa dia, genduk tahu apa yang genduk harus sampaikan dan tidak akan mengecewakan, apalagi mengkhianati aku.” Ndoro berkata dengan lembut namun tegas sembari membelai rambutku.

“Sekarang,...apakah kamu sudah siap?” tanya Ndoro sambil menjambak rambutku membuatku seketika terdongak.

Menatap Ndoro dan aku tersenyum “Iya Ndoro, genduk siap...!” Sembari membayangkan bahwa pada akhirnya Ndoro akan mencumbuiku dan bayangan itu kembali membawa sensasi hangat dan membuat badanku bergetar.

Namun ternyata aku salah besar, karena Ndoro tidak melakukannya dengan cara yang aku bayangkan, apalagi aku harapkan. Ndoro berdiri dan berjalan ke arah lemari kayu, membuka dan mengambil sesuatu. Saat kembali ke arahku, ternyata Ndoro membawa 2 buah dildo. Salah satunya cukup besar dan panjang serta bertekstur kasar cenderung bergerigi. Namun aku tidak berani bertanya sedikitpun hanya tiba-tiba aku berkeringat dan rasa takut mulai aku rasakan.

Dalam diam aku menatap nanar dan kembali air mata mulai membuat pandanganku kabur. Ingin rasanya meminta Ndoro berhenti dan menolak semuanya, namun aku tetap bertahan dalam diam dan tetap duduk bersimpuh di samping tempat tidur. Setelah meletakkan kedua dildo yang di bawanya. Ndoro kemudian membimbing aku ke tempat tidur,

“Ayo bangun, duduklah di pinggir tempat tidur, dan rebahkan badanmu...!”

Merebahkan badan perlahan sambil merasakan belaian Ndoro di pahaku, akupun mulai merasa tenang. Ndoro seakan tahu ketegangan yang aku rasakan, Ndoro mulai menciumi tubuhku dengan lembut, naik terus hingga telingaku pun diciumi dan digigit-gigit kecil pada daun telingaku.

“Kali ini genduk boleh teriak bila kesakitan tapi jangan berontak. Aku tidak akan berhenti sekeras apapun teriakanmu, Nduk.”

Ndoro berbisik lembut di telingaku, membuatku berdesir, muncul kembali perasaan nikmat dan takut disaat bersamaan, hingga akupun mulai merasakan area pribadiku menjadi berdenyut menghangat...

“Angkat kedua tanganmu ke atas!”

Ndoro memberi perintah dan berjalan memutari tempat tidur, meraih kedua pergelangan tangan dari sisi lain tempat tidur dan mengikatnya dengan tali katun yang lembut. Setelah kedua pergelangan tangan menyatu, Ndoro menarik tali hingga lenganku tertarik lurus keatas, dan menariknya dengan keras sekali lagi hingga terasa tegang di bahu.

“Angkat kakimu!”

Kemudian Ndoro meraih pergelangan kaki kananku dan memasang gelang kulit seperti yang di pasang di tanganku kemarin. Dia melakukan hal yang sama pada pergelangan kaki kiriku dan kemudian menarik rantai-rantainya sehingga kakiku terbentang maksimal, mengekspos area pribadiku.

Aku kembali terserang rasa takut yang hebat dan mulai menangis sesenggukan, sedih menyeruak karena tidak pernah membayangkan aku harus menyerahkan kegadisanku pada laki-laki yang baru aku kenal 2 hari dengan cara seperti ini. Tanpa romantisme, tanpa kemesraan, apalagi kelembutan!

“Jangan menangis, beri senyuman terbaikmu..!” ujar Ndoro sembari menyelipkan tangan kiri ke bawah pantatku dan mengangkatnya sedikit dan perlahan sekali berusaha memasukkan salah satu dildo ke dalam anusku.

“Rileks saja, lakukan seperti tadi pagi...” Ndoro berkata lembut sambil menatapku dan terus berusaha memasukkan hingga akhirnya perlahan dildo yang cukup ramping itu menelusup masuk dan terus didorongnya hingga cukup dalam. Ndoro tersenyum, “Genduk pintar...”, kembali Ndoro memberikan pujian yang membuatku bangga hingga area pribadiku terasa semakin menghangat dan lembab.

“Wah…genduk suka ya? Ini vaginamu mulai basah....” Ndoro tiba-tiba menyentuh area pribadiku dan aku merasa jengah.

Pandanganku agak terhalang oleh ukuran payudaraku, yang lumayan besar untuk perempuan seusiaku. Aku hanya bisa merasakan milik pribadi Ndoro yang bersentuhan langsung dengan bibir vaginaku. Ingin rasanya memejamkan mata untuk mengurangi rasa takut yang menyergap namun aku berusaha terus menatap Ndoro. Perlahan namun pasti, Ndoro memasukkan batang miliknya sambil membelai kedua pahaku hingga aku merasa nyaman. Sedikit demi sedikit batang itu melesak masuk, hingga terasa sempit kurasakan di area pribadiku.

Tidak seberapa lama Ndoro berhasil memasukkan keseluruhan batang perkasanya, dan dengan sekali hentak langsung menginvasi vaginaku hingga membuatku berteriak kesakitan!

“AAAAAUUUUGGHHHHHHHHH...!!!”

Aku berteriak sangat kencang dan seakan melolong kesakitan. Rasa sakit luar biasa terasa di sekujur tubuhku, tetapi teriakan itu tidak menghentikan Ndoro untuk terus menghentakkan miliknya berkali-kali di dalam kewanitaanku. Darah perawan bercampur lendir pelumasku memercik membasahi area kewanitaan dan selangkanganku saat batang perkasa itu menjalankan tugasnya dengan hebat. Sakit bercampur kenikmatan luar biasa kurasakan seketika.

Beberapa saat kemudian, Ndoro mendadak menarik batang perkasa miliknya. Lega aku rasakan sesaat setelah Ndoro melakukannya, namun kelegaan itu tidak berlangsung lama. Ndoro meraih dildo yang besar dan bergerigi serta cukup panjang tadi. Dalam pandanganku yang sudah kabur tertutup air mata, aku melihat Ndoro mengarahkan dildo ke mulutku, refleks aku membuka mulut dan mulai mengulumnya, tetapi tidak lama, kemudian Ndoro mengarahkan dildo besar itu ke bawah, berusaha menyelipkan ke bibir vaginaku dan berkata,

“Ini akan sangat sakit, Nduk..” Bersamaan dengan itu Ndoro kembali menginvasi vaginaku dengan sekali hentakan!

Kembali aku melolong kesakitan, “AAAAAAAAARRRGGGGGHHHHHH.....!!!!”

Tanpa ampun Ndoro dengan kekuatan dan gerakan cepat seperti mengocok, mengaduk-aduk vagina mungilku dengan dildo besar itu, hingga aku terkencing-kencing. Sempat kulihat Ndoro membuka mulutnya lebar-lebar menadahi dan meminum air kencingku yang tersembur dan memuncrat kemana-mana. Sepertinya Ndoro semakin terangsang melihatku terkencing-kencing. Bahkan Ndoro langsung berlutut, dan melahap vaginaku, menyedot kuat-kuat air kencingku langsung dari lubang vaginaku, masuk dalam mulutnya, dan menelannya.
Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa, tapi juga kesakitan, hingga membuatku mulai berontak dan berteriak-teriak sampai entah berapa lama.

Aku jatuh telentang di kasur. Tiba-tiba semua gelap.

Aku tiba-tiba merasakan sesuatu yang hangat dan lengket di wajahku, aku membuka mata dan samar kulihat batang perkasa milik Ndoro menyemprotkan berkali-kali lendir kenikmatannya di wajahku. Masih belum puas, Ndoro memasukkan batang miliknya ke dalam mulutku. Aku mengulumnya hingga lendir itu keluar lagi memenuhi rongga mulutku. Terasa asin saat lendir itu tertelan dalam mulutku. Kemudian Ndoro meludahi aku berkali-kali. Wajahku penuh liur Ndoro bercampur lendir kejantanannya.

“Kamu sempat pingsan Nduk...” kata Ndoro.

Aku berusaha kembali mengumpulkan kesadaran dan masih merasakan kenikmatan bercampur kesakitan luar biasa. Ndoro kembali meraih dildo di vagina dan melakukan lagi invasi di vaginaku dengan lebih cepat, melakukan gerakan keluar masuk dan memutar tanpa henti tanpa menghiraukan teriakanku hingga akhirnya aku melemah hingga tanpa aku sadari, tubuhku mulai bergetar, makin lama makin keras getaran aku rasakan hingga seakan ingin meledak, namun itu tidak menghentikan Ndoro tapi membuat Ndoro semakin brutal menginvasi hingga akhirnya tubuhku tak kuasa lagi menahan getaran yang menghebat dan berteriak memanggil Ndoro sekuat tenaga:

“NDOROOOOOOOO...!!!!” dan dengan sekali hentakan Ndoro menarik dildo itu keluar dan memelukku erat. Aku orgasme untuk yang pertama kalinya.

Kenikmatan luar biasa yang belum pernah aku rasakan berpadu dengan sakit luar biasa berpadu saling berebut berusaha memasuki otak dan rasaku, dan Ndoro dengan lembut menciumku, membelaiku dan berbisik mesra,

“Lovely. Terima kasih gendukku.”

Ndoro kembali menciumiku dengan lembut, menghapus air mataku.

“Aku tahu ini pasti sangat sakit, luar biasa sakit yang akupun tidak mampu membayangkan ada yang mau menjalaninya untukku..” Ndoro berkata lembut di hadapanku sambil membelai rambutku dan kembali mencium bibirku dengan lembut. Sesenggukan dan berusaha menenangkan diri, aku mulai membalas ciuman Ndoro. Tak satu katapun mampu aku ucapkan. Aku membisu dalam kenikmatan dan kesakitan.
Aku merasa sedih, sakit, takut namun yang mengejutkan tidak ada sedikitpun amarah dalam diri, tidak ada sedikitpun penyesalan dalam diriku. (Bersambung)
Makin mantap suhu. Di tunggu update delanjutnya
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd