oedipus
Guru Semprot
Salam untuk semua suhu dan para penghuni forum tercinta ini pada umumnya dan untuk penghuni sf cerpan pada khususnya
Saya persembahkan sebuah cerita yang mungkin tidak menarik dari segi apapun. Tapi paling tidak bisa untuk mengisi waktu luang dan sedikit menghibur penghuni semprot. Silahkan dibaca bila berkenan, tidak dibaca juga tidak apa-apa
Akhir kata; tetap dan keep semprot
>> Oedipus << dengan ini mempersembahkan :
Kriiiiiiiiiing ..... Bunyi alarm di pagi itu membuatku terbangun, yang artinya juga sebagai pertanda akan dimulainya segala aktifitas pada hari itu.
"Huuuaaaaa, Eeehhhhmmm ," dengan masih mengantuk aku mencoba menggerakkan tangan mencari letak alarm tersebut untuk kemudian mematikannya sebelum mengeluarkan bunyi berisik lebih lama lagi. Setelah mematikan alarm aku segera bangkit, sejenak menggerakkan badan melemaskan otot yang masih kaku.
Kubuka jendela untuk menikmati udara segar. Mentari mulai memerah di ufuk timur, hawa dingin masih terasa karena sisa hujan semalam.
Setelah dari kamar mandi dan berganti pakaian dengan kaos dan training untuk sekedar jogging, sesaat setelah aku keluar dari kamar. Di meja makan sudah segelas kopi, aku meminumnya untuk sedikit menghangatkan badan.
Keluar dari pintu depan, kujumpai kakek sedang duduk di teras sambil minum teh. "Sudah bangun Lang ?" tanya kakek.
"Ya, Kek... " jawabku. Setelah berbincang sebentar, aku pamit pada Kakek. "Kek, Elang keluar sebentar, mau cari keringat Kek."
"Ya.. hati-hati dan jangan lama-lama, nanti bisa terlambat ke kantor."
"Baik Kek..," jawabku sambil berlari kecil meninggalkan rumah.
#########
Saat di jalan ingatanku melayang pada kakek. Betapa baiknya kakek dan nenek padaku. Sekilas tentang orang yang aku panggil Kakek dan Nenek tadi, walau aku memanggil mereka kakek dan nenek, tapi sebenarnya kami tidak ada hubungan keluarga sama sekali.
Sejak kecil aku hidup di Panti Asuhan, hingga delapan tahun yang lalu mereka mengangkatku menjadi anak asuh. Mereka berdua sudah tidak mempunyai keluarga lainnya. Anak, menantu dan cucu mereka sudah pergi untuk selamanya karena sebuah peristiwa tragis yang sampai saat ini enggan mereka ceritakan detail kejadiannya padaku, dengan alasan biarlah peristiwa pahit tersebut hanya akan menjadi kenangan untuk mereka berdua tanpa perlu orang lain mengetahui atau mengalaminya, termasuk aku.
Kakek adalah pensiunan polisi dengan pangkat terakhir Kolonel ( Sekarang KOMBES : Komisaris Besar ). Kakek adalah polisi yang baik, jujur dan berdedikasi tinggi. Karena sifatnya itu, sampai sekarang kakek masih dihormati. Baik di kepolisian maupun di masyarakat sekitar.Aku meneruskan jejak kakek menjadi polisi. Bukan karena paksaan kakek aku menjadi polisi, tapi karena keinginanku sendiri.
Oiyya, Namaku Elang, Elang Mahija lengkapnya. Usiaku saat ini 23 tahun. Tinggi dan berat badan : 185 cm dan 78 kg. Semenjak tinggal dengan mereka, Kakek selalu menanamkan sikap disiplin, kejujuran dan etos kerja padaku. Memang awalmya kurasakan terlalu berat dan berlebihan, namun, akhirnya saat ini apa yang telah diajarkan Kakek padaku dapat aku rasakan manfaatnya, dan tentu saja, semua berlaku atas keberhasilan yang aku rasakan saat ini.
Jam enam kurang aku sudah sampai di rumah. Setelah keringat hilang aku segera beranjak ke kamar mandi. Jam setengah tujuh aku berangkat ke kantor, setelah pamit kepada kakek.
##########
Apel pagi selesai. Semua peserta apel kembali menuju ruangan dan tempat kerja masing-masing. Sambil berjalan menuju ruangan, aku berbincang-bincang dengan Rudi. Dia temanku satu angkatan di Akpol. Sebagai anak muda selain membicarakan masalah pekerjaan, kami juga membahas soal wanita.
Saat asik bercanda, Andi memanggil kami.
Setelah berjalan bersama kami, dia berkata "Nanti kita bertiga diminta Pak Kasat untuk ikut dia. Dia bilang ini tugas rahasia. Kita bertiga diminta untuk siap-siap. Karena sewaktu-waktu kita berangkat."
"Kemana tujuan kita ?" tanyaku.
Andi hanya mengangkat bahu. Setelah itu kami hanya bisa siap sedia, tanpa tahu maksud dan tujuan dari tugas kami.
Jam sembilan kami meluncur meninggalkan Poltabes menggunakan Toyota Fortuner milik Kasatreskrim, AKBP Yudi Guntoro atau kami semua sering memanggilnya Pak Yudi yang di sopiri oleh AKP Andi Sofian yang biasa ku panggil Andi.
Sementara aku dan temanku Iptu Rudi Warsito alias Rudi ada di kursi belakang. Mobil melaju kearah timur menuju Karanganyar. Di pusat Kabupaten Karanganyar, mobil berhenti. Pak Yudi menghubungi seseorang, setelah itu dia memberi kode kepada Andi untuk melanjutkan perjalanan kearah timur.
Disuatu Restoran di daerah Karangpandan mobil berhenti. Pak Yudi kembali menelepon seseorang, sesaat setelah menutup telepon dia turun dari mobil. Dia menyuruh aku dan Rudi mengikutinya. Sementara Andi tetap ditempat, diminta untuk mengawasi setiap orang dan kendaraan yang keluar masuk.
Restoran ini cukup besar. Mungkin karena dekat objek wisata yang terkenal, Tawangmangu. Mempunyai dua tempat untuk pelanggan. Di depan untuk umum, sementara bila menginginkan tempat yang lebih privasi ada di bagian belakang. Kami mengikuti Pak Yudi kebagian belakang. Di depan pintu sebuah ruangan ada dua orang berjaga. Tubuh mereka tinggi kekar, berambut pendek, berjas dan berkaca mata hitam. Mereka mempersilahkan Pak Yudi untuk masuk. Sebelum masuk Pak Yudi menyuruh Rudi menunggu di luar.
Pak Yudi masuk ruangan dan aku mengikutinya dari belakang. Di dalam ruangan sudah ada enam orang, Empat pria dan dua wanita. Empat orang segera bangkit begitu melihat Pak Yudi masuk. Satu demi satu menyalami Pak Yudi dengan hangatnya. Kecuali seorang lelaki berkaca mata dan seorang wanita yang duduk di sebelahnya.
Seorang lelaki berbaju garis berkata kepada Pak Yudi, "Yud, kenalkan mereka, Chantal dan Hans," menunjuk lelaki berkaca mata dan seorang wanita di sebelahnya. Mereka berdua bangkit dan menyalami Pak Yudi.
Pak Yudi tampak berpikir sejenak, kemudian berkata, "Frans, Bukankah dia ini pembawa acara berita itu ?" kata Pak Yudi berkata kepada orang yang memperkenalkan mereka, yang ternyata bernama Frans.
"Benar Yud, dia memang Chantal yang itu. Dulu dia teman kuliahku dan juga Reni. Bahkan dia sudah seperti saudara dengan Reni. Iya kan, Ren ?" kata Frans, sambil menengok wanita yang dipanggil Reni yang berdiri disebelahnya.
"Kalau mau dekat dengannya, bisa lewat aku, Yud. Aku siap jadi 'Mak Comblang'." kata Reni.
Mereka semua tertawa mendengar kelakar Reni. Chantal yang menjadi bahan guyonan hanya tersenyum mendengarnya. Setelah tawa mereka reda, Pak Yudi duduk di kursi yang telah disediakan untuknya. Sebelum duduk dia sempat bertanya, "Kita makan dulu atau langsung bicara bisnis ?"
Mereka semua saling berpandangan. Tampaknya tanpa berbicara mereka sudah sepakat. Pak Yudi berpaling ke arahku dan berkata "Lang, kamu dan Rudi silahkan pesan makanan apapun. Andi biar belakangan."
Tanpa menunggu perintah dua kali aku keluar dari ruangan itu. Di luar aku berkata kepada Rudi sesuai perintah Pak Yudi. Saat kami akan beranjak untuk memesan makan, pintu ruangan terbuka. Dan keluar tiga orang, yang tidak lain Reni, Chantal dan Hans.
Saat melihat mereka mata Rudi langsung terbelalak dan mulutnya ternganga. "Rud...! Kamu kenapa ? Seperti tidak pernah melihat cewek saja," bisikku di telinga Rudi.
Dia menggeragap sadar, "Eee..., Bukankah dia Chantal. Chantal Della Concetta."
"Benar dia memang Chantal Della Concetta. Terus kenapa ?"
"Dia kan Model, Bintang iklan, dan Presenter. Memang kamu tidak tahu, Lang ?"
"Kalau soal itu, aku tahu ' Semprul '!. Maksudku, terus kenapa kalau dia selebritis ?"
"Ayo kita duduk di dekatnya, siapa tahu bisa kenalan dan foto dengannya." Kata Rudi, sambil menyeretku menuju meja tempat Chantal dan teman-temannya duduk.
Akhirnya kami berkenalan dengan mereka. Rudi yang pandai berbicara dengan mudahnya berbincang-bincang dengan mereka. Sementara aku lebih banyak diam mendengarkan. Demikian juga Chantal, dia lebih banyak senyum dari pada berbicara.
Beberapa kali kulihat Chantal menatapku, tapi saat aku balas menatapnya dia segera memalingkan muka atau menunduk. Kuperhatikan wanita yang duduk didepanku ini. Wanita cantik yang biasanya hanya bisa dilihat saat membacakan berita, disalah satu tv swasta. Kali ini dia tidak berpakaian formal seperti saat dia membacakan berita.
Pakaian yang dikenakannya saat ini adalah tanktop putih yang dilapis baju luar yang juga berwarna putih yang tidak dikancing di bagian atas. Sehingga sedikit memperlihatkan tonjolan dadanya. Sementara bagian bawah memakai celana jeans warna hitam. Tadi Rudi sempat memperlihatkan hasil pencariannya di internet tentang Chantal.
Nama lengkap : Chantal Della Concetta, panggilan Chantal. Lahir tahun 27 Juli 1980, di Bandung. Tinggi 165 cm, kulitnya putih. Dan tentu saja yang paling menarik perhatian lelaki adalah tubuhnya yang sexy dan bagian dadanya yang berukuran 35B. Cantik, pintar dan sexy adalah perpaduan yang sempurna untuk seorang wanita. Tipe wanita seperti inilah yang kuimpikan. Alangkah bodoh laki-laki yang telah menceraikannya.
Meski aku berada di tempat itu, tapi aku tidak konsentrasi mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Karena pikiranku sedang bercabang, antara memikirkan tentang semua ini, juga sedikit berpikir tentang wanita yang duduk di depanku. Aku merasa ada yang aneh dengan tugas yang sedang kami laksanakan. Firasatku membisikan bahwa orang-orang yang bersama Pak Yudi bukanlah orang-orang yang baik. Yang menganjal dalam hatiku adalah, untuk apa Pak Yudi berurusan dengan mereka.
Merasakan hawa panas di kepala, aku beranjak ke toilet. Aku membasuh muka untuk mendinginkan pikiran. Cukup lama aku berdiri dan berpikir di depan wastafel. Saat aku hendak kembali ke dalam, aku mendengar orang sedang berbicara di toilet wanita. Bukan karena mereka Chantal dan Reni hingga aku menguping pembicaraan mereka, tapi karena mereka menyebut nama Pak Yudi.
"Benarkah orang yang di panggil Yudi itu seorang polisi ?" terdengar suara Chantal bertanya.
"Ya, benar." jawab Reni.
"Tapi kenapa dia bisa berteman dengan orang macam Simon ! Bukankah dia itu seorang Mafia ? Frans juga, kenapa masih berteman dengan Simon. Apa kau belum membujuknya, Ren ."
"Aku sudah melarangnya Chant. Dan dia sudah berjanji, bahwa pertemuan ini adalah terakhir kalinya dia berurusan dengan Simon."
"Mungkin ada satu kesempatan, kita bisa berbicara kepada E...," Aku menjauh dari dinding karena ada orang lain yang mendekat ke arahku. Saat aku ingin kembali mendengarkan pembicaraan mereka. Ternyata suara mereka sudah tidak terdengar lagi, mungkin sudah kembali ke dalam. Aku meninggalkan tempat itu dengan pikiran diliputi tentang pembicaraan mereka..
Ternyata pertemuan di ruangan itu sudah selesai. Dan mereka semua mempersiapkan diri untuk meninggalkan Restoran ini. Andi dan Rudi sudah siap di dalam mobil. Saat aku hendak masuk kedalam mobil, Pak Yudi berkata "Lang ! Aku ada pembicaraan penting dengan Frans. Kamu naik mobil Frans dulu."
Tanpa banyak bicara aku segera menuju mobil yang di tunjuk Pak Yudi. Dan segera naik ke mobil itu. Kupikir semua urusan sudah selesai dan kita akan kembali. Tapi bukannya menuju kebarat, tapi kembali menuju arah timur. 'Bukankah ini arah menuju Tawang Mangu. Mau apa kesana ?'.
Pikiranku masih diliputi teka-teki. Hingga pertanyaan Chantal dan Reni yang mengajakku berbicara aku jawab seperlunya saja. Mobil-mobil ini tidak menuju pintu masuk Tawang Mangu. Tapi terus melaju lebih ke atas lagi. Kalau terus akan sampai ke pos pendakian Gunung Lawu bagian barat yang disebut Cemoro Kandang. Aku belum bisa menebak kemana tujuan mobil-mobil ini, ketika tiba-tiba ponselku berbunyi. Sebuah pesan dari Rudi. Bunyinya singkat tapi membuatku semakin berpikir. "Lang, hati-hati. Mungkin akan terjadi sesuatu."
Sebelum aku membalas pesan dari Rudi, mobil berhenti mendadak mengikuti mobil di depannya yang berhenti secara tiba-tiba. Aku segera menengok ke depan, Kulihat Frans keluar dari mobil dengan muka memerah. Sepertinya dia marah kepada seseorang dan mencaci makinya. Pak Yudi menyusul keluar dan berkata "Berhenti Frans !!!"
Frans seperti tidak mendengarkan perintah dari Pak Yudi. Dia tetap saja berjalan menuju ke arah mobilnya. Akibatnya hanya dalam tempo sepersekian detik semuanya terjadi. Pak Yudi mencabut pistol yang terselip di pinggangnya dan "Dorr...dorr...," dua tembakan bersarang di kepala Frans yang sedang berjalan membelakangi Pak Yudi.
Tubuhnya langsung terkapar jatuh ke tanah. Saat semua masih tercengang, Reni berteriak "Franssss...," Dia membuka pintu dan berlari menghampiri tubuh Frans, dan
memanggil-manggil namanya "Fraaans...Fraaans...!!!, ke...ke...napa ?" Aku dan Chantal keluar dari mobil, dan berjalan menghapiri Reni.
Sementara Reni menengadahkan mukanya memandang Pak Yudi. "Ken...ken...apa, Yud !!!" Dia bangkit dan berjalan menghampiri Pak Yudi.
"Berhenti kau perempuan jalang !!! kau ingin menyusul dia !!!"
Reni seperti tidak mendengar dan terus melangkah kearah Pak Yudi. Tapi hal itu rupanya tindakan pengundang maut bagi dirinya. Belum sempat aku mengejarnya, tiba-tiba "Dorr...dorr...," kembali dua peluru keluar dari tempatnya. Dan kali ini korbannya adalah Reni.
"Reeeen......!!!" teriak Chantal berusaha menghampiri tubuh Reni. Tidak ingin ada korban ketiga, aku segera menahan tubuh Chantal agar diam di tempat. Dia berusaha melepaskan peganganku pada tubuhnya. Tapi aku tetap bergeming dengan memeluk tubuhnya. Hingga akhirnya dia hanya bisa menggerung menangis dalam pelukanku.
"Gilaaa.....," teriakku marah, sambil mengacungkan senjataku kearah Pak Yudi. Aku benar-benar tidak tahu, Iblis dari mana yang masuk kedalam tubuh Pak Yudi saat ini. Hingga bisa membunuh dua orang begitu enaknya. Dan yang lebih menyedihkan aku tidak bisa mencegahnya.
"Diaaam kau Lang !!! Sekali kamu macam-macam, aku tidak akan segan-segan menembakmu. Ini bukan urusanmu. Lebih baik kamu diam dan ikuti aku."
Aku berusaha menahan amarahku, setelah melihat situasi tidak mendukungku saat ini. Ada dua orang yang mengacungkan senjata kearahku, tidak jauh dari tempatku berdiri. Sepertinya Pak Yudi telah bersekongkol dengan orang yang bernama Simon itu. Saat aku melihat Andi dan Rudi berdiri dengan tenang di belakang Pak Yudi aku bertanya dalam hati, 'Apa mereka sudah tahu akan terjadi hal ini dan mendukung rencana Pak Yudi'. Aku berpikir untuk mencari jalan keluar, karena tampaknya kini aku sendirian. Mataku berputar untuk mengawasi daerah sekitar.
Sementara Pak Yudi berbicara dengan Simon. Karena suara mereka keras, maka aku mendengar semua perkataan mereka. "Tinggal kita berdua, kita bisa membaginya sama besar. Bukankah begitu Mon ?"
"Ha...ha...ha..., bisa diatur Yud. Aku tahu kamu punya dendam dengan Frans, tapi kepada wanita itu, ck..ck..ck.., bisa juga kamu kejam padanya."
"Itu urusan pribadiku. Sudah, kita bicarakan pembagiannya saja," Kata Pak Yudi. Tampaknya dia tidak mau menyinggung hubungan pribadinya dengan Frans dan Reni.
"Kalau aku tidak mau berbagi denganmu, bagaimana, Yud ? Haa...haa..haa.."
"Jangan main-main denganku Mon, " ucap Pak Yudi dengan muka memerah menahan amarahnya.
"Aku tahu senjatamu Yud ! bukankah dia ?" kata simon memberi kode kepada anak buahnya. Dua orang menyeret Hans kehadapan Simon. "Bukan hanya kamu yang bisa membeli anak buah lawanmu, aku juga bisa melakukannya."
Muka Pak Yudi semakin memerah, "Kamu pikir aku tidak bisa menduga hal seperti ini terjadi Mon ?" ucapnya. Setelah diam sejenak, dia melanjutkan ucapannya, "Aku sudah menyimpan satu rekaman yang bisa menghancurkan semua bisnismu dan menyeretmu ke dalam penjara."
"Haa.. haa.. haa..., benar-benar tolol kamu Yud. Haa.. haa.. haa..., Sudah aku bilang, Bukan hanya kamu yang bisa membeli anak buah musuh, aku juga bisa melakukannya. Kamu tahu kan maksudku ? haa..haa..haa.."
Sepertinya Pak Yudi mulai sadar apa yang terjadi. Saat dia hendak membuka suara, Simon telah berkata. "Andi lakukan tugasmu."
Begitu suara Simon berhenti, kembali terdengar dua tembakan "Dorr...dorr...,"
"Ruuuuud.....," kali ini aku yang berteriak. Melihat tubuh Rudi menjadi sarang dua butir peluru. Aku berlari menghampirinya, tidak kupedulikan senjata anak buah Simon mengarahku. Kupeluk tubuhnya, dia seperti ingin mengatakan sesuatu, kudekatkan telinggaku padanya. Hanya dua kata yang terdengar "Buuukti memoriii," setelah berkata seperti itu kepalanya terkulai. "Ruuuud ....," teriakku. Aku tidak tahu lagi apa yang ada dipikiranku, semua terasa gelap. Hingga aku menganggap bahwa semua ini hanya mimpi buruk yang sedang kualami.
Tapi tangan Chantal yang menyentuh tubuhku menyadarkan diriku, bahwa ini bukanlah mimpi. Ini adalah kenyataan yang harus dihadapi. Saat aku hendak melepaskan tangan Rudi yang menggenggam erat tanganku, kurasakan satu benda kecil di dalam genggaman tangannya. Aku segera sadar apa maksud pesan terakhir dari Rudi. Tanpa menimbulkan kecurigaan siapapun kuambil benda itu dari genggamannya.
Sementara itu Simon kembali berkata, "Bagaimana, Yud ? kamu masih menganggap dirimu pintar ? Sekarang kamu sendirian. Tapi aku masih punya satu kesempatan untukmu."
Pak Yudi tidak menjawab. Mukanya kini nampak pucat. penuh kekecewaan dan keputusasaan.
"Bagaimana Yud ? Syaratnya mudah dan menguntungkan dirimu. Aku beri ide padamu. Kamu bunuh mereka berdua, dan buat laporan yang melakukan semua ini Dia. Bukankah kamu akan bebas dari segala tuduhan," kata Simon, menunjuk ke arahku dan Chantal.
Pak Yudi hanya diam, tapi akhirnya dia menganggukkan kepalanya. Perlahan dia berjalan mendekat ke arah kami. Saat jarak tinggal dua meter, Simon berteriak. "Berhenti di situ Yud! atau semuanya akan berakhir."
Pak Yudi menatapku dengan wajah sedih, seakan ingin mengatakan maaf. Saat mataku bertatapan dengan mata Pak Yudi, matanya memberi kode kepadaku. Aku sedikit mengangguk, untuk memberitahu padanya bahwa aku mengerti apa yang dia maksud. Setelah itu dia mengangkat pistolnya dan mengarahkannya kepadaku.
"Dorr...dorr...," kembali suara pistol menyalak. Tapi bukan aku sasarannya. Melainkan dua orang yang berdiri di belakangku. Sambil memeluk Chantal aku menjatuhkan diri dan berguling ke samping. Dan menarik Chantal berlindung di belakang mobil. Kuambil senjata yang terlempar dari tangan orang yang ditembak Pak Yudi. Pak Yudi sudah berlumuran darah, tapi dia sempat berteriak "Munduuur Lang ...!!!"
Melihat mereka lebih banyak dan lengkap, aku menuruti perintah Pak Yudi yang terakhir kalinya. Tanpa berpikir panjang sambil menarik Chantal, aku meluncur turun ke lereng yang berada di samping jalan yang untungnya tidak terlalu curam dan tanahnya tidak terlalu keras walau kerikil-kerikil kecil tetap menggores tubuh kami.
Sampai di bawah aku berlari ke arah pohon-pohon dan tumbuhan yang rimbun di sekitar tempat itu sambil menarik Chantal. Terdengar teriakan dan bunyi tembakan di belakang kami, tampaknya mereka tidak akan membiarkan kami berdua untuk lolos. Aku berusaha untuk berlari lebih cepat, tapi tampaknya itu hal yang sulit bagi Chantal. Dia tidak mampu mengimbangi kecepatanku berlari.
Menyadari bahaya besar masih mengancam dari belakang, Tanpa ragu aku segera membopong tubuhnya dan kembali berlari lagi ke arah hutan yang semakin lebat dan rimbun. Duri dan semak berkali-kali menggores tubuh kami berdua, juga entah berapa kali tubuh kami jatuh tersungkur.
Setelah berapa lama berlari, akupun berhenti. Mencoba mendengar suara orang-orang yang tadi mengejar kami. Setelah yakin mereka masih jauh, atau berhenti mengejar aku menurunkan Chantal dari gendonganku.
Aku memandang sekitar, untuk mencari tempat yang bisa digunakan untuk istirahat. Aku tidak tahu kami berada di kawasan hutan yang mana. Sangat baik kalau kami berada di kawasan hutan Wana Wisata. Karena pasti akan banyak petugas dari Wana Wisata. Tapi kalau masuk kawasan hutan yang masih liar, bisa saja bertemu hewan liar. Jadi aku harus tetap waspada. Aku mengambil belati yang kuselipkan di sepatuku. Kutebas batang pohon yang cukup besar, untuk membantu Chantal berjalan.
Melihat keadaannya, timbul rasa iba di hatiku. Mukanya pucat, tubuhnya yang mulus tergores dan berdarah di beberapa tempat. Dia sepertinya kaget dan terguncang karena peristiwa ini. Tidak ada suara darinya, hanya sesekali keluar rintihannya. Setelah menemukan tempat yang kupikir aman, aku menyuruhnya untuk beristirahat.
Aku naik ke atas pohon untuk melihat situasi sekitar. Setelah berputar mengedarkan pandangan, kulihat air terjun di arah timur laut. Aku segera turun dari pohon dan berkata kepada Chantal, "Mbak istirahat di sini, kalau ada sesuatu Mbak teriak saja. Saya mau cari air dan obat buat luka kita." Setelah dia mengangguk, aku segera menuju arah dimana tadi kulihat air terjun. Berada di daerah hutan seperti ini, sebenarnya bukan sesuatu yang asing buatku. Dulu kakek sering mengajakku berkemah di tempat seperti ini. Dia bilang, hal ini dilakukan untuk mengenal alam.
Dengan belati peberian kakek, aku membabat tumbuhan, dahan dan perdu yang menghalangi jalan. Sementara dengan pengetahuan tentang tumbuhan dan buah yang kupelajari dari kakek. Aku bisa tahu mana tumbuhan yang bisa dimanfaatkan di dalam hutan. Akhirnya aku menemukan air terjun itu. Yang di bawahnya ada kolam air berukuran sekitar dua meter. Airnya jernih, aku segera minum sedikit demi sedikit untuk menghilangkan rasa dahaga. Saat aku memperhatikan tempat itu, ternyata ada goa di dekat air terjun. Tampaknya cukup besar dan bersih untuk beristirahat.
Aku segera kembali ke tempat dimana aku meninggalkan Mbak Chantal. Ketika aku sampai di tempat itu, aku terkejut melihat dia terkulai lemas di tanah. Kupegang nadinya, masih berdenyut. Kusentuh dahinya, agak panas. Mungkin dia merasa syok dengan apa yang terjadi. Aku segera membopong dia ke tempat air terjun dan goa. Begitu sampai aku segera membaringkan dia di lantai goa, jaketku kupergunakan sebagai bantal.
Kubuat obat dari daun-daun, setelah itu kulepas baju luarnya yang sobek disana-sini. Kubiarkan tanktop putihnya tetap ditubuhnya, walau robek di beberapa tempat. Kutempelkan obat itu pada lukanya. Saat mengobati dirinya, mau tidak mau aku harus memperhatikan dan menyentuh tubuhnya. Tubuhnya putih mulus dan benar-benar sexy, selain itu aku menjadi tahu bra yang dipakainya ternyata berwarna putih.
Setelah mengobati luka-lukanya, aku memberinya minum. Beberapa saat kemudian reaksi obat mulai bekerja. Suhu tubuhnya menjadi normal kembali. Setelah yakin bahwa dia hanya tertidur, aku memeriksa lukaku sendiri. Sama seperti dia, hanya luka tergores. Setelah selesai mengobati lukaku. Aku duduk di depan goa, berpikir tindakan apa yang harus kulakukan selanjutnya.
Kami masih berdiri di pintu goa, sambil memandang air hujan yang masih tercurah dengan derasnya. Hawa bertambah dingin, kulihat berapa kali Mbak Chantal menggigil kedinginan. Aku mengambil jaket yang tadi kujadikan bantal, kuselimutkan pada tubuhnya. Dia tersenyum, "Terima kasih," Ucapnya.
Kami kemudian diam untuk beberapa saat. Beberapa kali aku menoleh padanya, tampaknya dia masih kedinginan. Aku yang bertelanjang dada, juga merasakan hal yang sama. Tapi aku mencoba untuk menahan hawa dingin yang menyapu tubuhku.
Mbak Chantal sepertinya menyadari apa yang kurasakan. Dia berusaha melepas jaket yang dikenakannya, tapi aku mencegahnya. Dia kemudian membatalkan rencananya untuk melepas jaket itu. Tubuhnya bergeser ke arahku, lengan kami bersentuhan. Sedikit kehangatan kami dapatkan karena sentuhan itu.
Hawa hangat bertambah, saat dia menyandarkan kepalanya di lenganku. Kubiarkan hal itu sampai kurasakan tubuhnya terguncang dan terdengar isak tangisnya. "Kenapa Mbak...? tanyaku.
"Mazel....Nathan....," ucapnya sambil memeluk tubuhku. Dan pecahlah tangisnya dalam pelukanku, air matanya membasahi dadaku. Aku balas memeluknya dan mengelus-elus kepalanya untuk menenangkannya. Akhirnya berhenti juga tangisnya, hanya masih terdengar sedu sedannya. Aku tetap dalam posisiku, hingga akhirnya tangisnya benar-benar berhenti.
Kami tetap berpelukan, hingga hawa dingin kini benar-benar tidak terasa lagi, berganti menjadi rasa hangat yang memanas. Aku bukanlah pemuda alim, yang belum pernah bersentuhan dengan wanita. Tapi juga bukan pemuda nakal yang suka jajan atau gonta-ganti pasangan.
Tapi dalam suasana seperti ini dan bersama wanita seperti Mbak Chantal. Pemuda baik-baik pun kukira akan tergoda. Begitu juga aku. Tubuh dalam pelukanku ini benar-benar menggoda untuk disentuh.
Meski aku merasakan nafsuku mulai bangkit dan tergoda untuk menyentuhnya, tapi dalam situasi seperti ini aku tidak mau mengambil kesempatan dalam kesedihan orang lain. Aku biarkan posisi kami tetap berpelukan. Akhirnya diapun tersadar dan melepaskan pelukannya. "Maaf Lang, Aku teringat anak-anakku, bagaimana dengan mereka tanpa diriku."
"Tidak apa-apa Mbak. Walaupun aku belum pernah menjadi orang tua, tapi aku mengerti bagaimana perasaan Mbak. Yakinlah bahwa mereka baik-baik saja. Aku berjanji akan membawa Mbak keluar dari situasi dan tempat ini"
"Terima kasih, Lang. Biar lebih enak bagaimana kalau kamu panggil aku Chantal, tidak usah pakai Mbak. Memangnya aku sudah kelihatan tua ya ?"
"Bukaan begitu Mbak, taa tapi..."
"Tuh kan masih panggil Mbak.."
"Baa..ba..ik Mbak. Eh... Chantal."
Merasakan hawa semakin dingin, kami beranjak dari pintu goa. Aku menyandar di dinding, sambil memandang keluar. Chantal mengikuti duduk di sampingku. Kami kembali saling diam, tenggelam dalam lamunan masing-masing. Hanya suara hujan yang terdengar di luar. Chantal melepas jaket yang dikenakannya, kemudian bangkit dan pindah duduk di antara kedua kakiku. Menjatuhkan tubuhnya bersandar di dadaku dan menyelimutkan jaket yang dilepaskannya ke tubuh kami berdua.
Kemudian menarik kedua tanganku, dan dilingkarkan di pinggangnya. Kini posisiku memeluk dirinya dari belakang. Aku masih dapat mencium harum rambut dan wangi tubuhnya. Dalam posisi seperti ini kami benar-benar tidak merasakan hawa dingin lagi. Dan berganti menjadi hawa panas yang membuat nafsuku yang tadinya mulai padam kembali menyala. Rupanya diapun merasakan kehangatan pelukan ini. Dan nampaknya dia juga mengalami hal yang sama denganku, hawa nafsunya mulai bangkit akibat bersatunya tubuh kami berdua. Nafasnya mulai tidak teratur, dan dadanya berdegup dengan kencang.
Aku coba hembuskan nafasku di atas tengkuk Chantal, untuk melihat reaksi darinya. "Aaahh...," desahnya. Mendapat respon baik darinya. Aku melanjutkan aksiku dengan mencium rambutnya, tengkuknya, berlanjut menuju telinga, kedua telinganya kucium. Kuhisap dan kugigit kecil, "Shhh..," dia mulai mendesah dan menggeliat kegelian. Kuteruskan ciumanku ke arah lehernya. Kuselusuri seluruh lehernya dengan bibirku. "Ssshhh...," desahannya semakin keras terdengar. Tubuhnya berubah sedikit menyerong, tangannya memeluk tubuhku sementara tangan kiriku juga menahan tubuhnya.
Matanya terpejam dengan bibir sedikit terbuka, kudekati bibir indah itu. Perlahan bibirku menyentuh bibirnya, ciuman yang lembut tapi bergelora. Hanya beberapa detik bibir kami bersentuhan, kemudian dengan perlahan-lahan kulepas bibirku dari bibirnya. Sambil mataku masih menikmati bibir ranumnya. Dengan perlahan pula dia membuka matanya dan untuk beberapa lama kami saling diam sambil bertatap mata.
Dia menatapku dengan pandangan sayu, mukanya merona merah. Bibirnya sedikit terbuka. Aku menunduk dan kembali mengecup bibirnya, terasa lembut dan hangat ketika bibir kami saling bertemu. Kelopak matanya perlahan-lahan akhirnya kembali terpejam. Kepala kami saling bergerak berirama ke atas dan ke bawah, bibir kami saling menyentuh secara bersama. Ciuman itu membuat birahi kami semakin menggelegak, mulut kami mengerang lembut, "Uhh hmmm..."
Chantal kembali berdiri kemudian tubuhnya menduduki pahaku. Kini tubuh kami saling berhadapan dengan posisi pangkal paha saling berhadapan. Menyebabkan penisku berdenyut merespon. Kami melanjutkan permainan bibir dengan lebih liar. Kupeluk erat pinggangnya dan dia membalas merangkul leherku. Kuelus punggungnya, hangat dan lembut terasa walau masih tertutup bajunya. Naik turun kujelajahi seluruh bagian belakang tubuhnya, "uhh hmm ... ssshhh," dia mulai mendesah lagi.
Kulepaskan ciuman di bibir secara perlahan dan kuarahkan ciumanku ke leher jenjangnya. Kubalikan badannya secara pelan dengan bibir masih menyusuri lehernya, kemudian kuarahkan tanganku masuk ke bajunya di bagian depan tubuhnya. kuselusuri perutnya yang masih rata tak berlemak dengan lembut, kunikmati kehalusan kulitnya. Dan perlahan-lahan tanganku pun naik ke atas kebagian payudaranya.
"Ooohh Lang...!!" Chantal mengerang, saat kusentuh bagian bawah payudaranya. Dan perlahan-lahan bergeser ke atas, menelusup masuk ke dalam bra nya. Kubelai satu-persatu buah dadanya yang berukuran besar, hingga jari-jariku sampai ke putingnya. Kupilin dengan lembut masing-masing puting secara bergantian. Chantal semakin mengerang, "Eeehhmmm...!!" dan mendorong payudaranya ke tanganku, masing-masing buah dada itu bergerak setiap jariku memilin putingnya seolah-olah berusaha memuaskan rasa geli yang tertahan selama ini.
Kulepaskan ciumanku di lehernya mencoba mengambil nafas sejenak. Tanganku berhenti memilin puting susunya. Kami sama-sama terdiam, hanya terdengar deru nafas kami yang terengah-engah. Kukeluarkan tanganku dari balik baju yang dipakainya. Nafsu ternyata menghilangkan kesadaran kami. Saat itu baru kusadari ternyata hujan sudah tidak sederas tadi, hanya gerimis kecil.
Dia kembali memutar tubuhnya, hingga tubuh kami saling berhadapan. Dia tersenyum dan nafsu itu kembali membara ketika melihat bibir itu. Kembali bibir kami saling berdekatan dan seperti tak kuasa menahan gairah ini, kukecup bibirnya dengan penuh kelembutan. "Aaahh...," Dia mendesah kecil ketika tanganku turun ke pantatnya, kemudian kuremas lalu kutarik tubuhnya merapat ke tubuhku.
Aku bisa merasakan payudaranya yang besar melekat di dadaku. Kami melanjutkan ciuman, bergerak dalam irama yang lambat penuh nafsu. Aku merasa pelukan tangan Chantal perlahan naik ke dada dan bahuku sampai melingkar erat di leherku. Tubuh kami saling menekan. Payudaranya semakin merapat ke dadaku, begitu juga selangkangan kami bersama-sama menekan. Saat panas ciuman kami mulai naik, "Uhmmpp...," Chantal mengeluarkan jeritan tertahan dan bibir kami membuka satu sama lain dalam gelora nafsu yang membara.
Mulut kami kian erat. Tanganku naik turun di punggungnya, menyentuh semua sisi tubuh yang belum pernah kubayangkan. Tanpa melepas ciuman, dengan perlahan kubuka bajunya. Aku menarik tangannya ke bawah dan menarik baju itu dari bahunya dan membiarkannya jatuh ke pinggangnya. Dia segera memeluk kembali leherku saat aku rapatkan tubuhnya kembali.
Kami kembali dengan permainan lidah kami. Kumainkan lidahku di antara kedua bibirnya, kukorek-korek lidahnya agar keluar. Dengan perlahan lidahnya keluar dan dengan malu-malu mengikuti gerakan kemana lidahku pergi. Dan ketika dengan perlahan lidahnya menjulur memasuki mulutku, kusambut dengan lembut dan perlahan kujepit dan kuhisap lidahnya di dalam mulutku. "Uhmmpp...," dia mendesah dan tubuhnya menggeliat menahan nikmat yang menyerangnya.
Kembali kami berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Dia menatapku dengan pandangan mata yang sayu menggoda, mulutnya merah dan basah. Kembali tanganku ke arah pinggulnya dan meremas pantatnya.
"Laaang..., mmmppphhhh ...!" Aku memotong ucapannya dengan menutup mulutnya. Saat telingaku seperti mendengar suara langkah di luar goa. Aku memberi kode kepadanya agar diam di tempat dan tidak bersuara. Sementara tangan kananku segera meraih pistol, dan siap menghadapi segala sesuatu. Aku berjalan perlahan mendekati mulut goa. Kulihat dua orang bersenjata anak buah Simon sedang berdiri tidak jauh dari mulut goa. Tampaknya mereka masih ragu untuk lebih mendekat lagi.
Kusiapkan belati di tangan kiriku. Kubidik dan siap kulempar, saat aku mendengar suara jeritan Chantal di belakangku. "Iiihh...," segera aku menengok ke belakang. Kulempar belati itu kearah Chantal, "Ziiings... sreeet...," Ular di belakang Chantal berkelojatan begitu belatiku menembus kepalanya. Sementara dua orang di luar sepertinya mendengar jeritan Chantal. Mereka memberondong goa dengan tembakan, "Dooor...dor..dert...dert...dor...," Aku segera menjatuhkan diri dan berguling kembali ke dalam goa.
Tembakan berhenti, aku kembali merayap mendekati mulut goa. Mereka juga mendekati mulut goa dengan senjata masih teracung kedepan. Begitu timing pas aku segera menekan pelatuk dan, "Dooor...Dooor...," dua buah peluru bersarang di paha mereka. Mereka mengerang kesakitan dan tubuh jatuh tersungkur ke depan, dan senjata mereka terlepas dari tangan. Sementara aku keluar sambil mengacungkan senjata pada mereka berdua. Dengan muka kesakitan mereka masih berusaha mengarahkan senjatanya kepadaku. Terpaksa aku kembali menembak mereka berdua, "Dooor...dooor...," Tamat sudah riwayat hidup mereka.
Kudekati tubuh mereka, kemudian aku geledah tubuhnya. Tidak ada barang apapun yang kutemukan. Kuambil senjata mereka dan kuperiksa isinya. Masih ada beberapa butir yang tersisa. Kuambil dan kuselipkan di pinggang. Kusembunyikan mayat mereka di tempat yang agak jauh dari gua. Setelah itu aku beranjak kembali ke dalam goa. Chantal masih meringkuk ketakutan di pojok . Begitu melihatku , dia bangkit dan segera memelukku. "Kamu tidak apa-apa kan, Lang !!!" tanya Chantal dengan nada cemas.
"Tidak apa-apa, tenanglah...."
"Apaaakah kita bisa keluar dari tempat ini, Lang ?" tanya Chantal dengan nada sedih.
"Tenang Chant, aku sudah berjanji akan membawamu keluar dari tempat ini. Hal itu akan kutepati walau harus mengorbankan nyawaku."
"Benaaar kamu rela mengorbankan nyawa demi aku ?" ucapnya sambil memandangku meminta ketegasan.
Aku menganggukan kepalaku untuk meyakinkannya. Dia kemudian memelukku lagi. "Terima kasih, Lang. Andai saja setiap lelaki seperti kamu."
Aku melepaskan pelukannya, kuambil belatiku yang masih menancap di leher ular. Kuperhatikan ular itu, ular yang cukup berbisa. Aku tidak dapat membayangkan jika dia menggigit Chantal. Kuambil bangkai ular itu dan kulempar keluar goa.
Aku kembali menghadap ke arah Chantal. "Chant, Aku akan melihat keadaan sekitar. Kalau gerombolan mereka mendengar suara tembakan tadi, mungkin mereka akan menuju ketempat ini. Aku akan menghadang mereka sebelum sampai sini. Kamu tetap di sini. Ini pegang, kalau ada sesuatu pergunakan untuk membela diri," Kataku sambil menyerahkan salah satu pistol rampasan tadi.
Dia menerimanya dengan tangan yang bergetar. Aku kemudian melangkah keluar goa. "Lang...," panggil Chantal. Aku menoleh, dia mendekatiku. Tanpa kusangka dia mencium bibirku. "Hati..hati.. !!! Ucapnya kemudian.
Kususuri bekas jalan yang mereka lewati ketika datang. Sampai beberapa lama, tidak kurasakan kehadiran mereka di sekitar tempat ini. Aku memutuskan untuk kembali ke goa. Apalagi langit kembali berwarna kelabu dan kabut nampaknya mulai turun menghalangi pandangan.
Saat sampai di goa, kulihat Chantal tanpa baju luar hanya memakai bra dan bercelana masih berdiri di depan mulut goa dengan muka masam. "Kenapa Chant, apa ada sesuatu. Mengapa kelihatan gusar seperti itu ?" tanyaku.
Dia menoleh ke arahku. "Tadi aku mencuci muka di kolam air itu. Tiba-tiba muncul dua ekor kera. Karena kaget hampir saja aku jatuh ke kolam. Bukan itu saja, karena takut aku kembali kedalam goa. Untungnya mereka tidak mengejarku. Tapi kemudian aku sadar bajuku masih di dekat kolam itu. Saat aku ingin mengambilnya, ternyata kera-kera itu telah mengambilnya dan dibuat mainan. Kemudian mereka membawanya kearah sana."
Aku sebenarnya ingin tertawa mendengar ceritanya. Tapi dalam suasana seperti ini aku merasa itu sikap yang tidak baik. Aku memandang kerahnya, terutama kearah dadanya. Karena bra nya basah, ditambah bahannya yang tipis maka puting susunya tampak tercetak jelas di depan mataku. Aku jadi menelan ludah melihatnya.
Aku jadi merasa serba salah, saat dia memergoki aku sedang memandang kearah dadanya. Untuk menetralisir suasana aku berkata kepadanya, "Coba aku lihat kemana mereka pergi," Kataku sambil melangkah ke arah mana kera-kera itu pergi.
"Aku ikut Lang ..."
Tidak sampai lima menit kami sampai di bawah pohon besar. Saat aku melihat ke atas, ada beberapa kera yang berayun kesana-kemari dengan semacam tali yang menjulur dari atas. Yang menarik perhatianku bukan kera-kera itu. melainkan benda semacam tali yang dipakai untuk berayun.
Kupegang tali itu dan kutarik, ternyata sangat liat dan lentur. Seperti semacam bahan karet. Aku tidak tahu ini pohon apa, apa semacam rotan yang masih kecil. Tapi hal itu tidak kupikirkan. Timbul ide dalam pikiranku melihat kelenturan tali ini.
Aku segera naik ke atas pohon itu, cukup licin karena basah. Setelah sampai atas, kucabut belatiku. Kupotong beberapa buah. Selain itu aku memotong beberapa dahan pohon yang menurutku baik. Saat hendak turun, aku melihat ke tempat kera itu berkumpul. Ada semacam sarang burung yang cukup besar. Aku melongok ke sarang itu. Ternyata ada bermacam benda di dalamnya. Tampaknya kera-kera itu mengambil atau menemukan benda-benda itu di sekitar tempat ini. Ada kompas, pisau, radio panggil dan bermacam lainnya.
Aku mengambil barang yang kira-kira berguna dan masih berfungsi. Ketika aku mengambil barang-barang itu kera-kera itu ribut berceceroetan. Mungkin mereka protes atau marah. Saat sampai di bawah Chantal bertanya, "Kamu bawa apa Lang ?" Aku lalu menjelaskan apa yang ada di atas, sambil menyerahkan bajunya yang tadi dibawa kera. Tapi bajunya sudah sobek tidak karuan dan tidak mungkin dipakai lagi.
Kami kembali ke goa dengan membawa barang-barang itu. Setelah sampai goa, aku berkata pada Chantal ingin mencari beberapa buah benda yang ingin kubuat sebagai senjata. Setelah mendapatkan benda-bendai itu aku segera kembali ke goa. Hari sudah senja, langit bertambah gelap dan kabut bertambah tebal.
Tanpa beristirahat untuk mengejar waktu, aku langsung mengerjakan apa yang telah kurencanakan. Chantal hanya diam memperhatikan apa yang kulakukan. Ketika gelap menyelimuti bumi, apa yang kurencanakan hampir selesai semuanya. Aku membuat busur panah dari dahan pohon tadi, sementara untuk pegasnya aku memakai tali yang tadi kuambil. Dan anak panahnya aku buat menggunakan ranting dan batang bambu kecil yang kutemukan.
Setelah selesai aku mencobanya, karena gelap aku membakar kayu-kayu yang kuambil sebelum hujan untuk penerangan. Setelah kucoba ternyata lumayan dan bisa dipergunakan sebagai senjata. Aku menjadi senang walau sedikit lelah. Setelah itu aku mencuci muka untuk menghilangkan kotoran di wajah dan memberikan sedikit kesegaran.
Saya persembahkan sebuah cerita yang mungkin tidak menarik dari segi apapun. Tapi paling tidak bisa untuk mengisi waktu luang dan sedikit menghibur penghuni semprot. Silahkan dibaca bila berkenan, tidak dibaca juga tidak apa-apa
Akhir kata; tetap dan keep semprot
>> Oedipus << dengan ini mempersembahkan :
Kriiiiiiiiiing ..... Bunyi alarm di pagi itu membuatku terbangun, yang artinya juga sebagai pertanda akan dimulainya segala aktifitas pada hari itu.
"Huuuaaaaa, Eeehhhhmmm ," dengan masih mengantuk aku mencoba menggerakkan tangan mencari letak alarm tersebut untuk kemudian mematikannya sebelum mengeluarkan bunyi berisik lebih lama lagi. Setelah mematikan alarm aku segera bangkit, sejenak menggerakkan badan melemaskan otot yang masih kaku.
Kubuka jendela untuk menikmati udara segar. Mentari mulai memerah di ufuk timur, hawa dingin masih terasa karena sisa hujan semalam.
Setelah dari kamar mandi dan berganti pakaian dengan kaos dan training untuk sekedar jogging, sesaat setelah aku keluar dari kamar. Di meja makan sudah segelas kopi, aku meminumnya untuk sedikit menghangatkan badan.
Keluar dari pintu depan, kujumpai kakek sedang duduk di teras sambil minum teh. "Sudah bangun Lang ?" tanya kakek.
"Ya, Kek... " jawabku. Setelah berbincang sebentar, aku pamit pada Kakek. "Kek, Elang keluar sebentar, mau cari keringat Kek."
"Ya.. hati-hati dan jangan lama-lama, nanti bisa terlambat ke kantor."
"Baik Kek..," jawabku sambil berlari kecil meninggalkan rumah.
#########
Saat di jalan ingatanku melayang pada kakek. Betapa baiknya kakek dan nenek padaku. Sekilas tentang orang yang aku panggil Kakek dan Nenek tadi, walau aku memanggil mereka kakek dan nenek, tapi sebenarnya kami tidak ada hubungan keluarga sama sekali.
Sejak kecil aku hidup di Panti Asuhan, hingga delapan tahun yang lalu mereka mengangkatku menjadi anak asuh. Mereka berdua sudah tidak mempunyai keluarga lainnya. Anak, menantu dan cucu mereka sudah pergi untuk selamanya karena sebuah peristiwa tragis yang sampai saat ini enggan mereka ceritakan detail kejadiannya padaku, dengan alasan biarlah peristiwa pahit tersebut hanya akan menjadi kenangan untuk mereka berdua tanpa perlu orang lain mengetahui atau mengalaminya, termasuk aku.
Kakek adalah pensiunan polisi dengan pangkat terakhir Kolonel ( Sekarang KOMBES : Komisaris Besar ). Kakek adalah polisi yang baik, jujur dan berdedikasi tinggi. Karena sifatnya itu, sampai sekarang kakek masih dihormati. Baik di kepolisian maupun di masyarakat sekitar.Aku meneruskan jejak kakek menjadi polisi. Bukan karena paksaan kakek aku menjadi polisi, tapi karena keinginanku sendiri.
Oiyya, Namaku Elang, Elang Mahija lengkapnya. Usiaku saat ini 23 tahun. Tinggi dan berat badan : 185 cm dan 78 kg. Semenjak tinggal dengan mereka, Kakek selalu menanamkan sikap disiplin, kejujuran dan etos kerja padaku. Memang awalmya kurasakan terlalu berat dan berlebihan, namun, akhirnya saat ini apa yang telah diajarkan Kakek padaku dapat aku rasakan manfaatnya, dan tentu saja, semua berlaku atas keberhasilan yang aku rasakan saat ini.
Jam enam kurang aku sudah sampai di rumah. Setelah keringat hilang aku segera beranjak ke kamar mandi. Jam setengah tujuh aku berangkat ke kantor, setelah pamit kepada kakek.
##########
Apel pagi selesai. Semua peserta apel kembali menuju ruangan dan tempat kerja masing-masing. Sambil berjalan menuju ruangan, aku berbincang-bincang dengan Rudi. Dia temanku satu angkatan di Akpol. Sebagai anak muda selain membicarakan masalah pekerjaan, kami juga membahas soal wanita.
Saat asik bercanda, Andi memanggil kami.
Setelah berjalan bersama kami, dia berkata "Nanti kita bertiga diminta Pak Kasat untuk ikut dia. Dia bilang ini tugas rahasia. Kita bertiga diminta untuk siap-siap. Karena sewaktu-waktu kita berangkat."
"Kemana tujuan kita ?" tanyaku.
Andi hanya mengangkat bahu. Setelah itu kami hanya bisa siap sedia, tanpa tahu maksud dan tujuan dari tugas kami.
Jam sembilan kami meluncur meninggalkan Poltabes menggunakan Toyota Fortuner milik Kasatreskrim, AKBP Yudi Guntoro atau kami semua sering memanggilnya Pak Yudi yang di sopiri oleh AKP Andi Sofian yang biasa ku panggil Andi.
Sementara aku dan temanku Iptu Rudi Warsito alias Rudi ada di kursi belakang. Mobil melaju kearah timur menuju Karanganyar. Di pusat Kabupaten Karanganyar, mobil berhenti. Pak Yudi menghubungi seseorang, setelah itu dia memberi kode kepada Andi untuk melanjutkan perjalanan kearah timur.
Disuatu Restoran di daerah Karangpandan mobil berhenti. Pak Yudi kembali menelepon seseorang, sesaat setelah menutup telepon dia turun dari mobil. Dia menyuruh aku dan Rudi mengikutinya. Sementara Andi tetap ditempat, diminta untuk mengawasi setiap orang dan kendaraan yang keluar masuk.
Restoran ini cukup besar. Mungkin karena dekat objek wisata yang terkenal, Tawangmangu. Mempunyai dua tempat untuk pelanggan. Di depan untuk umum, sementara bila menginginkan tempat yang lebih privasi ada di bagian belakang. Kami mengikuti Pak Yudi kebagian belakang. Di depan pintu sebuah ruangan ada dua orang berjaga. Tubuh mereka tinggi kekar, berambut pendek, berjas dan berkaca mata hitam. Mereka mempersilahkan Pak Yudi untuk masuk. Sebelum masuk Pak Yudi menyuruh Rudi menunggu di luar.
Pak Yudi masuk ruangan dan aku mengikutinya dari belakang. Di dalam ruangan sudah ada enam orang, Empat pria dan dua wanita. Empat orang segera bangkit begitu melihat Pak Yudi masuk. Satu demi satu menyalami Pak Yudi dengan hangatnya. Kecuali seorang lelaki berkaca mata dan seorang wanita yang duduk di sebelahnya.
Seorang lelaki berbaju garis berkata kepada Pak Yudi, "Yud, kenalkan mereka, Chantal dan Hans," menunjuk lelaki berkaca mata dan seorang wanita di sebelahnya. Mereka berdua bangkit dan menyalami Pak Yudi.
Pak Yudi tampak berpikir sejenak, kemudian berkata, "Frans, Bukankah dia ini pembawa acara berita itu ?" kata Pak Yudi berkata kepada orang yang memperkenalkan mereka, yang ternyata bernama Frans.
"Benar Yud, dia memang Chantal yang itu. Dulu dia teman kuliahku dan juga Reni. Bahkan dia sudah seperti saudara dengan Reni. Iya kan, Ren ?" kata Frans, sambil menengok wanita yang dipanggil Reni yang berdiri disebelahnya.
"Kalau mau dekat dengannya, bisa lewat aku, Yud. Aku siap jadi 'Mak Comblang'." kata Reni.
Mereka semua tertawa mendengar kelakar Reni. Chantal yang menjadi bahan guyonan hanya tersenyum mendengarnya. Setelah tawa mereka reda, Pak Yudi duduk di kursi yang telah disediakan untuknya. Sebelum duduk dia sempat bertanya, "Kita makan dulu atau langsung bicara bisnis ?"
Mereka semua saling berpandangan. Tampaknya tanpa berbicara mereka sudah sepakat. Pak Yudi berpaling ke arahku dan berkata "Lang, kamu dan Rudi silahkan pesan makanan apapun. Andi biar belakangan."
Tanpa menunggu perintah dua kali aku keluar dari ruangan itu. Di luar aku berkata kepada Rudi sesuai perintah Pak Yudi. Saat kami akan beranjak untuk memesan makan, pintu ruangan terbuka. Dan keluar tiga orang, yang tidak lain Reni, Chantal dan Hans.
Saat melihat mereka mata Rudi langsung terbelalak dan mulutnya ternganga. "Rud...! Kamu kenapa ? Seperti tidak pernah melihat cewek saja," bisikku di telinga Rudi.
Dia menggeragap sadar, "Eee..., Bukankah dia Chantal. Chantal Della Concetta."
"Benar dia memang Chantal Della Concetta. Terus kenapa ?"
"Dia kan Model, Bintang iklan, dan Presenter. Memang kamu tidak tahu, Lang ?"
"Kalau soal itu, aku tahu ' Semprul '!. Maksudku, terus kenapa kalau dia selebritis ?"
"Ayo kita duduk di dekatnya, siapa tahu bisa kenalan dan foto dengannya." Kata Rudi, sambil menyeretku menuju meja tempat Chantal dan teman-temannya duduk.
Akhirnya kami berkenalan dengan mereka. Rudi yang pandai berbicara dengan mudahnya berbincang-bincang dengan mereka. Sementara aku lebih banyak diam mendengarkan. Demikian juga Chantal, dia lebih banyak senyum dari pada berbicara.
Beberapa kali kulihat Chantal menatapku, tapi saat aku balas menatapnya dia segera memalingkan muka atau menunduk. Kuperhatikan wanita yang duduk didepanku ini. Wanita cantik yang biasanya hanya bisa dilihat saat membacakan berita, disalah satu tv swasta. Kali ini dia tidak berpakaian formal seperti saat dia membacakan berita.
Pakaian yang dikenakannya saat ini adalah tanktop putih yang dilapis baju luar yang juga berwarna putih yang tidak dikancing di bagian atas. Sehingga sedikit memperlihatkan tonjolan dadanya. Sementara bagian bawah memakai celana jeans warna hitam. Tadi Rudi sempat memperlihatkan hasil pencariannya di internet tentang Chantal.
Nama lengkap : Chantal Della Concetta, panggilan Chantal. Lahir tahun 27 Juli 1980, di Bandung. Tinggi 165 cm, kulitnya putih. Dan tentu saja yang paling menarik perhatian lelaki adalah tubuhnya yang sexy dan bagian dadanya yang berukuran 35B. Cantik, pintar dan sexy adalah perpaduan yang sempurna untuk seorang wanita. Tipe wanita seperti inilah yang kuimpikan. Alangkah bodoh laki-laki yang telah menceraikannya.
Meski aku berada di tempat itu, tapi aku tidak konsentrasi mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Karena pikiranku sedang bercabang, antara memikirkan tentang semua ini, juga sedikit berpikir tentang wanita yang duduk di depanku. Aku merasa ada yang aneh dengan tugas yang sedang kami laksanakan. Firasatku membisikan bahwa orang-orang yang bersama Pak Yudi bukanlah orang-orang yang baik. Yang menganjal dalam hatiku adalah, untuk apa Pak Yudi berurusan dengan mereka.
Merasakan hawa panas di kepala, aku beranjak ke toilet. Aku membasuh muka untuk mendinginkan pikiran. Cukup lama aku berdiri dan berpikir di depan wastafel. Saat aku hendak kembali ke dalam, aku mendengar orang sedang berbicara di toilet wanita. Bukan karena mereka Chantal dan Reni hingga aku menguping pembicaraan mereka, tapi karena mereka menyebut nama Pak Yudi.
"Benarkah orang yang di panggil Yudi itu seorang polisi ?" terdengar suara Chantal bertanya.
"Ya, benar." jawab Reni.
"Tapi kenapa dia bisa berteman dengan orang macam Simon ! Bukankah dia itu seorang Mafia ? Frans juga, kenapa masih berteman dengan Simon. Apa kau belum membujuknya, Ren ."
"Aku sudah melarangnya Chant. Dan dia sudah berjanji, bahwa pertemuan ini adalah terakhir kalinya dia berurusan dengan Simon."
"Mungkin ada satu kesempatan, kita bisa berbicara kepada E...," Aku menjauh dari dinding karena ada orang lain yang mendekat ke arahku. Saat aku ingin kembali mendengarkan pembicaraan mereka. Ternyata suara mereka sudah tidak terdengar lagi, mungkin sudah kembali ke dalam. Aku meninggalkan tempat itu dengan pikiran diliputi tentang pembicaraan mereka..
Ternyata pertemuan di ruangan itu sudah selesai. Dan mereka semua mempersiapkan diri untuk meninggalkan Restoran ini. Andi dan Rudi sudah siap di dalam mobil. Saat aku hendak masuk kedalam mobil, Pak Yudi berkata "Lang ! Aku ada pembicaraan penting dengan Frans. Kamu naik mobil Frans dulu."
Tanpa banyak bicara aku segera menuju mobil yang di tunjuk Pak Yudi. Dan segera naik ke mobil itu. Kupikir semua urusan sudah selesai dan kita akan kembali. Tapi bukannya menuju kebarat, tapi kembali menuju arah timur. 'Bukankah ini arah menuju Tawang Mangu. Mau apa kesana ?'.
Pikiranku masih diliputi teka-teki. Hingga pertanyaan Chantal dan Reni yang mengajakku berbicara aku jawab seperlunya saja. Mobil-mobil ini tidak menuju pintu masuk Tawang Mangu. Tapi terus melaju lebih ke atas lagi. Kalau terus akan sampai ke pos pendakian Gunung Lawu bagian barat yang disebut Cemoro Kandang. Aku belum bisa menebak kemana tujuan mobil-mobil ini, ketika tiba-tiba ponselku berbunyi. Sebuah pesan dari Rudi. Bunyinya singkat tapi membuatku semakin berpikir. "Lang, hati-hati. Mungkin akan terjadi sesuatu."
Sebelum aku membalas pesan dari Rudi, mobil berhenti mendadak mengikuti mobil di depannya yang berhenti secara tiba-tiba. Aku segera menengok ke depan, Kulihat Frans keluar dari mobil dengan muka memerah. Sepertinya dia marah kepada seseorang dan mencaci makinya. Pak Yudi menyusul keluar dan berkata "Berhenti Frans !!!"
Frans seperti tidak mendengarkan perintah dari Pak Yudi. Dia tetap saja berjalan menuju ke arah mobilnya. Akibatnya hanya dalam tempo sepersekian detik semuanya terjadi. Pak Yudi mencabut pistol yang terselip di pinggangnya dan "Dorr...dorr...," dua tembakan bersarang di kepala Frans yang sedang berjalan membelakangi Pak Yudi.
Tubuhnya langsung terkapar jatuh ke tanah. Saat semua masih tercengang, Reni berteriak "Franssss...," Dia membuka pintu dan berlari menghampiri tubuh Frans, dan
memanggil-manggil namanya "Fraaans...Fraaans...!!!, ke...ke...napa ?" Aku dan Chantal keluar dari mobil, dan berjalan menghapiri Reni.
Sementara Reni menengadahkan mukanya memandang Pak Yudi. "Ken...ken...apa, Yud !!!" Dia bangkit dan berjalan menghampiri Pak Yudi.
"Berhenti kau perempuan jalang !!! kau ingin menyusul dia !!!"
Reni seperti tidak mendengar dan terus melangkah kearah Pak Yudi. Tapi hal itu rupanya tindakan pengundang maut bagi dirinya. Belum sempat aku mengejarnya, tiba-tiba "Dorr...dorr...," kembali dua peluru keluar dari tempatnya. Dan kali ini korbannya adalah Reni.
"Reeeen......!!!" teriak Chantal berusaha menghampiri tubuh Reni. Tidak ingin ada korban ketiga, aku segera menahan tubuh Chantal agar diam di tempat. Dia berusaha melepaskan peganganku pada tubuhnya. Tapi aku tetap bergeming dengan memeluk tubuhnya. Hingga akhirnya dia hanya bisa menggerung menangis dalam pelukanku.
"Gilaaa.....," teriakku marah, sambil mengacungkan senjataku kearah Pak Yudi. Aku benar-benar tidak tahu, Iblis dari mana yang masuk kedalam tubuh Pak Yudi saat ini. Hingga bisa membunuh dua orang begitu enaknya. Dan yang lebih menyedihkan aku tidak bisa mencegahnya.
"Diaaam kau Lang !!! Sekali kamu macam-macam, aku tidak akan segan-segan menembakmu. Ini bukan urusanmu. Lebih baik kamu diam dan ikuti aku."
Aku berusaha menahan amarahku, setelah melihat situasi tidak mendukungku saat ini. Ada dua orang yang mengacungkan senjata kearahku, tidak jauh dari tempatku berdiri. Sepertinya Pak Yudi telah bersekongkol dengan orang yang bernama Simon itu. Saat aku melihat Andi dan Rudi berdiri dengan tenang di belakang Pak Yudi aku bertanya dalam hati, 'Apa mereka sudah tahu akan terjadi hal ini dan mendukung rencana Pak Yudi'. Aku berpikir untuk mencari jalan keluar, karena tampaknya kini aku sendirian. Mataku berputar untuk mengawasi daerah sekitar.
Sementara Pak Yudi berbicara dengan Simon. Karena suara mereka keras, maka aku mendengar semua perkataan mereka. "Tinggal kita berdua, kita bisa membaginya sama besar. Bukankah begitu Mon ?"
"Ha...ha...ha..., bisa diatur Yud. Aku tahu kamu punya dendam dengan Frans, tapi kepada wanita itu, ck..ck..ck.., bisa juga kamu kejam padanya."
"Itu urusan pribadiku. Sudah, kita bicarakan pembagiannya saja," Kata Pak Yudi. Tampaknya dia tidak mau menyinggung hubungan pribadinya dengan Frans dan Reni.
"Kalau aku tidak mau berbagi denganmu, bagaimana, Yud ? Haa...haa..haa.."
"Jangan main-main denganku Mon, " ucap Pak Yudi dengan muka memerah menahan amarahnya.
"Aku tahu senjatamu Yud ! bukankah dia ?" kata simon memberi kode kepada anak buahnya. Dua orang menyeret Hans kehadapan Simon. "Bukan hanya kamu yang bisa membeli anak buah lawanmu, aku juga bisa melakukannya."
Muka Pak Yudi semakin memerah, "Kamu pikir aku tidak bisa menduga hal seperti ini terjadi Mon ?" ucapnya. Setelah diam sejenak, dia melanjutkan ucapannya, "Aku sudah menyimpan satu rekaman yang bisa menghancurkan semua bisnismu dan menyeretmu ke dalam penjara."
"Haa.. haa.. haa..., benar-benar tolol kamu Yud. Haa.. haa.. haa..., Sudah aku bilang, Bukan hanya kamu yang bisa membeli anak buah musuh, aku juga bisa melakukannya. Kamu tahu kan maksudku ? haa..haa..haa.."
Sepertinya Pak Yudi mulai sadar apa yang terjadi. Saat dia hendak membuka suara, Simon telah berkata. "Andi lakukan tugasmu."
Begitu suara Simon berhenti, kembali terdengar dua tembakan "Dorr...dorr...,"
"Ruuuuud.....," kali ini aku yang berteriak. Melihat tubuh Rudi menjadi sarang dua butir peluru. Aku berlari menghampirinya, tidak kupedulikan senjata anak buah Simon mengarahku. Kupeluk tubuhnya, dia seperti ingin mengatakan sesuatu, kudekatkan telinggaku padanya. Hanya dua kata yang terdengar "Buuukti memoriii," setelah berkata seperti itu kepalanya terkulai. "Ruuuud ....," teriakku. Aku tidak tahu lagi apa yang ada dipikiranku, semua terasa gelap. Hingga aku menganggap bahwa semua ini hanya mimpi buruk yang sedang kualami.
Tapi tangan Chantal yang menyentuh tubuhku menyadarkan diriku, bahwa ini bukanlah mimpi. Ini adalah kenyataan yang harus dihadapi. Saat aku hendak melepaskan tangan Rudi yang menggenggam erat tanganku, kurasakan satu benda kecil di dalam genggaman tangannya. Aku segera sadar apa maksud pesan terakhir dari Rudi. Tanpa menimbulkan kecurigaan siapapun kuambil benda itu dari genggamannya.
Sementara itu Simon kembali berkata, "Bagaimana, Yud ? kamu masih menganggap dirimu pintar ? Sekarang kamu sendirian. Tapi aku masih punya satu kesempatan untukmu."
Pak Yudi tidak menjawab. Mukanya kini nampak pucat. penuh kekecewaan dan keputusasaan.
"Bagaimana Yud ? Syaratnya mudah dan menguntungkan dirimu. Aku beri ide padamu. Kamu bunuh mereka berdua, dan buat laporan yang melakukan semua ini Dia. Bukankah kamu akan bebas dari segala tuduhan," kata Simon, menunjuk ke arahku dan Chantal.
Pak Yudi hanya diam, tapi akhirnya dia menganggukkan kepalanya. Perlahan dia berjalan mendekat ke arah kami. Saat jarak tinggal dua meter, Simon berteriak. "Berhenti di situ Yud! atau semuanya akan berakhir."
Pak Yudi menatapku dengan wajah sedih, seakan ingin mengatakan maaf. Saat mataku bertatapan dengan mata Pak Yudi, matanya memberi kode kepadaku. Aku sedikit mengangguk, untuk memberitahu padanya bahwa aku mengerti apa yang dia maksud. Setelah itu dia mengangkat pistolnya dan mengarahkannya kepadaku.
"Dorr...dorr...," kembali suara pistol menyalak. Tapi bukan aku sasarannya. Melainkan dua orang yang berdiri di belakangku. Sambil memeluk Chantal aku menjatuhkan diri dan berguling ke samping. Dan menarik Chantal berlindung di belakang mobil. Kuambil senjata yang terlempar dari tangan orang yang ditembak Pak Yudi. Pak Yudi sudah berlumuran darah, tapi dia sempat berteriak "Munduuur Lang ...!!!"
Melihat mereka lebih banyak dan lengkap, aku menuruti perintah Pak Yudi yang terakhir kalinya. Tanpa berpikir panjang sambil menarik Chantal, aku meluncur turun ke lereng yang berada di samping jalan yang untungnya tidak terlalu curam dan tanahnya tidak terlalu keras walau kerikil-kerikil kecil tetap menggores tubuh kami.
Sampai di bawah aku berlari ke arah pohon-pohon dan tumbuhan yang rimbun di sekitar tempat itu sambil menarik Chantal. Terdengar teriakan dan bunyi tembakan di belakang kami, tampaknya mereka tidak akan membiarkan kami berdua untuk lolos. Aku berusaha untuk berlari lebih cepat, tapi tampaknya itu hal yang sulit bagi Chantal. Dia tidak mampu mengimbangi kecepatanku berlari.
Menyadari bahaya besar masih mengancam dari belakang, Tanpa ragu aku segera membopong tubuhnya dan kembali berlari lagi ke arah hutan yang semakin lebat dan rimbun. Duri dan semak berkali-kali menggores tubuh kami berdua, juga entah berapa kali tubuh kami jatuh tersungkur.
Setelah berapa lama berlari, akupun berhenti. Mencoba mendengar suara orang-orang yang tadi mengejar kami. Setelah yakin mereka masih jauh, atau berhenti mengejar aku menurunkan Chantal dari gendonganku.
Aku memandang sekitar, untuk mencari tempat yang bisa digunakan untuk istirahat. Aku tidak tahu kami berada di kawasan hutan yang mana. Sangat baik kalau kami berada di kawasan hutan Wana Wisata. Karena pasti akan banyak petugas dari Wana Wisata. Tapi kalau masuk kawasan hutan yang masih liar, bisa saja bertemu hewan liar. Jadi aku harus tetap waspada. Aku mengambil belati yang kuselipkan di sepatuku. Kutebas batang pohon yang cukup besar, untuk membantu Chantal berjalan.
Melihat keadaannya, timbul rasa iba di hatiku. Mukanya pucat, tubuhnya yang mulus tergores dan berdarah di beberapa tempat. Dia sepertinya kaget dan terguncang karena peristiwa ini. Tidak ada suara darinya, hanya sesekali keluar rintihannya. Setelah menemukan tempat yang kupikir aman, aku menyuruhnya untuk beristirahat.
Aku naik ke atas pohon untuk melihat situasi sekitar. Setelah berputar mengedarkan pandangan, kulihat air terjun di arah timur laut. Aku segera turun dari pohon dan berkata kepada Chantal, "Mbak istirahat di sini, kalau ada sesuatu Mbak teriak saja. Saya mau cari air dan obat buat luka kita." Setelah dia mengangguk, aku segera menuju arah dimana tadi kulihat air terjun. Berada di daerah hutan seperti ini, sebenarnya bukan sesuatu yang asing buatku. Dulu kakek sering mengajakku berkemah di tempat seperti ini. Dia bilang, hal ini dilakukan untuk mengenal alam.
Dengan belati peberian kakek, aku membabat tumbuhan, dahan dan perdu yang menghalangi jalan. Sementara dengan pengetahuan tentang tumbuhan dan buah yang kupelajari dari kakek. Aku bisa tahu mana tumbuhan yang bisa dimanfaatkan di dalam hutan. Akhirnya aku menemukan air terjun itu. Yang di bawahnya ada kolam air berukuran sekitar dua meter. Airnya jernih, aku segera minum sedikit demi sedikit untuk menghilangkan rasa dahaga. Saat aku memperhatikan tempat itu, ternyata ada goa di dekat air terjun. Tampaknya cukup besar dan bersih untuk beristirahat.
Aku segera kembali ke tempat dimana aku meninggalkan Mbak Chantal. Ketika aku sampai di tempat itu, aku terkejut melihat dia terkulai lemas di tanah. Kupegang nadinya, masih berdenyut. Kusentuh dahinya, agak panas. Mungkin dia merasa syok dengan apa yang terjadi. Aku segera membopong dia ke tempat air terjun dan goa. Begitu sampai aku segera membaringkan dia di lantai goa, jaketku kupergunakan sebagai bantal.
Kubuat obat dari daun-daun, setelah itu kulepas baju luarnya yang sobek disana-sini. Kubiarkan tanktop putihnya tetap ditubuhnya, walau robek di beberapa tempat. Kutempelkan obat itu pada lukanya. Saat mengobati dirinya, mau tidak mau aku harus memperhatikan dan menyentuh tubuhnya. Tubuhnya putih mulus dan benar-benar sexy, selain itu aku menjadi tahu bra yang dipakainya ternyata berwarna putih.
Setelah mengobati luka-lukanya, aku memberinya minum. Beberapa saat kemudian reaksi obat mulai bekerja. Suhu tubuhnya menjadi normal kembali. Setelah yakin bahwa dia hanya tertidur, aku memeriksa lukaku sendiri. Sama seperti dia, hanya luka tergores. Setelah selesai mengobati lukaku. Aku duduk di depan goa, berpikir tindakan apa yang harus kulakukan selanjutnya.
Kami masih berdiri di pintu goa, sambil memandang air hujan yang masih tercurah dengan derasnya. Hawa bertambah dingin, kulihat berapa kali Mbak Chantal menggigil kedinginan. Aku mengambil jaket yang tadi kujadikan bantal, kuselimutkan pada tubuhnya. Dia tersenyum, "Terima kasih," Ucapnya.
Kami kemudian diam untuk beberapa saat. Beberapa kali aku menoleh padanya, tampaknya dia masih kedinginan. Aku yang bertelanjang dada, juga merasakan hal yang sama. Tapi aku mencoba untuk menahan hawa dingin yang menyapu tubuhku.
Mbak Chantal sepertinya menyadari apa yang kurasakan. Dia berusaha melepas jaket yang dikenakannya, tapi aku mencegahnya. Dia kemudian membatalkan rencananya untuk melepas jaket itu. Tubuhnya bergeser ke arahku, lengan kami bersentuhan. Sedikit kehangatan kami dapatkan karena sentuhan itu.
Hawa hangat bertambah, saat dia menyandarkan kepalanya di lenganku. Kubiarkan hal itu sampai kurasakan tubuhnya terguncang dan terdengar isak tangisnya. "Kenapa Mbak...? tanyaku.
"Mazel....Nathan....," ucapnya sambil memeluk tubuhku. Dan pecahlah tangisnya dalam pelukanku, air matanya membasahi dadaku. Aku balas memeluknya dan mengelus-elus kepalanya untuk menenangkannya. Akhirnya berhenti juga tangisnya, hanya masih terdengar sedu sedannya. Aku tetap dalam posisiku, hingga akhirnya tangisnya benar-benar berhenti.
Kami tetap berpelukan, hingga hawa dingin kini benar-benar tidak terasa lagi, berganti menjadi rasa hangat yang memanas. Aku bukanlah pemuda alim, yang belum pernah bersentuhan dengan wanita. Tapi juga bukan pemuda nakal yang suka jajan atau gonta-ganti pasangan.
Tapi dalam suasana seperti ini dan bersama wanita seperti Mbak Chantal. Pemuda baik-baik pun kukira akan tergoda. Begitu juga aku. Tubuh dalam pelukanku ini benar-benar menggoda untuk disentuh.
Meski aku merasakan nafsuku mulai bangkit dan tergoda untuk menyentuhnya, tapi dalam situasi seperti ini aku tidak mau mengambil kesempatan dalam kesedihan orang lain. Aku biarkan posisi kami tetap berpelukan. Akhirnya diapun tersadar dan melepaskan pelukannya. "Maaf Lang, Aku teringat anak-anakku, bagaimana dengan mereka tanpa diriku."
"Tidak apa-apa Mbak. Walaupun aku belum pernah menjadi orang tua, tapi aku mengerti bagaimana perasaan Mbak. Yakinlah bahwa mereka baik-baik saja. Aku berjanji akan membawa Mbak keluar dari situasi dan tempat ini"
"Terima kasih, Lang. Biar lebih enak bagaimana kalau kamu panggil aku Chantal, tidak usah pakai Mbak. Memangnya aku sudah kelihatan tua ya ?"
"Bukaan begitu Mbak, taa tapi..."
"Tuh kan masih panggil Mbak.."
"Baa..ba..ik Mbak. Eh... Chantal."
Merasakan hawa semakin dingin, kami beranjak dari pintu goa. Aku menyandar di dinding, sambil memandang keluar. Chantal mengikuti duduk di sampingku. Kami kembali saling diam, tenggelam dalam lamunan masing-masing. Hanya suara hujan yang terdengar di luar. Chantal melepas jaket yang dikenakannya, kemudian bangkit dan pindah duduk di antara kedua kakiku. Menjatuhkan tubuhnya bersandar di dadaku dan menyelimutkan jaket yang dilepaskannya ke tubuh kami berdua.
Kemudian menarik kedua tanganku, dan dilingkarkan di pinggangnya. Kini posisiku memeluk dirinya dari belakang. Aku masih dapat mencium harum rambut dan wangi tubuhnya. Dalam posisi seperti ini kami benar-benar tidak merasakan hawa dingin lagi. Dan berganti menjadi hawa panas yang membuat nafsuku yang tadinya mulai padam kembali menyala. Rupanya diapun merasakan kehangatan pelukan ini. Dan nampaknya dia juga mengalami hal yang sama denganku, hawa nafsunya mulai bangkit akibat bersatunya tubuh kami berdua. Nafasnya mulai tidak teratur, dan dadanya berdegup dengan kencang.
Aku coba hembuskan nafasku di atas tengkuk Chantal, untuk melihat reaksi darinya. "Aaahh...," desahnya. Mendapat respon baik darinya. Aku melanjutkan aksiku dengan mencium rambutnya, tengkuknya, berlanjut menuju telinga, kedua telinganya kucium. Kuhisap dan kugigit kecil, "Shhh..," dia mulai mendesah dan menggeliat kegelian. Kuteruskan ciumanku ke arah lehernya. Kuselusuri seluruh lehernya dengan bibirku. "Ssshhh...," desahannya semakin keras terdengar. Tubuhnya berubah sedikit menyerong, tangannya memeluk tubuhku sementara tangan kiriku juga menahan tubuhnya.
Matanya terpejam dengan bibir sedikit terbuka, kudekati bibir indah itu. Perlahan bibirku menyentuh bibirnya, ciuman yang lembut tapi bergelora. Hanya beberapa detik bibir kami bersentuhan, kemudian dengan perlahan-lahan kulepas bibirku dari bibirnya. Sambil mataku masih menikmati bibir ranumnya. Dengan perlahan pula dia membuka matanya dan untuk beberapa lama kami saling diam sambil bertatap mata.
Dia menatapku dengan pandangan sayu, mukanya merona merah. Bibirnya sedikit terbuka. Aku menunduk dan kembali mengecup bibirnya, terasa lembut dan hangat ketika bibir kami saling bertemu. Kelopak matanya perlahan-lahan akhirnya kembali terpejam. Kepala kami saling bergerak berirama ke atas dan ke bawah, bibir kami saling menyentuh secara bersama. Ciuman itu membuat birahi kami semakin menggelegak, mulut kami mengerang lembut, "Uhh hmmm..."
Chantal kembali berdiri kemudian tubuhnya menduduki pahaku. Kini tubuh kami saling berhadapan dengan posisi pangkal paha saling berhadapan. Menyebabkan penisku berdenyut merespon. Kami melanjutkan permainan bibir dengan lebih liar. Kupeluk erat pinggangnya dan dia membalas merangkul leherku. Kuelus punggungnya, hangat dan lembut terasa walau masih tertutup bajunya. Naik turun kujelajahi seluruh bagian belakang tubuhnya, "uhh hmm ... ssshhh," dia mulai mendesah lagi.
Kulepaskan ciuman di bibir secara perlahan dan kuarahkan ciumanku ke leher jenjangnya. Kubalikan badannya secara pelan dengan bibir masih menyusuri lehernya, kemudian kuarahkan tanganku masuk ke bajunya di bagian depan tubuhnya. kuselusuri perutnya yang masih rata tak berlemak dengan lembut, kunikmati kehalusan kulitnya. Dan perlahan-lahan tanganku pun naik ke atas kebagian payudaranya.
"Ooohh Lang...!!" Chantal mengerang, saat kusentuh bagian bawah payudaranya. Dan perlahan-lahan bergeser ke atas, menelusup masuk ke dalam bra nya. Kubelai satu-persatu buah dadanya yang berukuran besar, hingga jari-jariku sampai ke putingnya. Kupilin dengan lembut masing-masing puting secara bergantian. Chantal semakin mengerang, "Eeehhmmm...!!" dan mendorong payudaranya ke tanganku, masing-masing buah dada itu bergerak setiap jariku memilin putingnya seolah-olah berusaha memuaskan rasa geli yang tertahan selama ini.
Kulepaskan ciumanku di lehernya mencoba mengambil nafas sejenak. Tanganku berhenti memilin puting susunya. Kami sama-sama terdiam, hanya terdengar deru nafas kami yang terengah-engah. Kukeluarkan tanganku dari balik baju yang dipakainya. Nafsu ternyata menghilangkan kesadaran kami. Saat itu baru kusadari ternyata hujan sudah tidak sederas tadi, hanya gerimis kecil.
Dia kembali memutar tubuhnya, hingga tubuh kami saling berhadapan. Dia tersenyum dan nafsu itu kembali membara ketika melihat bibir itu. Kembali bibir kami saling berdekatan dan seperti tak kuasa menahan gairah ini, kukecup bibirnya dengan penuh kelembutan. "Aaahh...," Dia mendesah kecil ketika tanganku turun ke pantatnya, kemudian kuremas lalu kutarik tubuhnya merapat ke tubuhku.
Aku bisa merasakan payudaranya yang besar melekat di dadaku. Kami melanjutkan ciuman, bergerak dalam irama yang lambat penuh nafsu. Aku merasa pelukan tangan Chantal perlahan naik ke dada dan bahuku sampai melingkar erat di leherku. Tubuh kami saling menekan. Payudaranya semakin merapat ke dadaku, begitu juga selangkangan kami bersama-sama menekan. Saat panas ciuman kami mulai naik, "Uhmmpp...," Chantal mengeluarkan jeritan tertahan dan bibir kami membuka satu sama lain dalam gelora nafsu yang membara.
Mulut kami kian erat. Tanganku naik turun di punggungnya, menyentuh semua sisi tubuh yang belum pernah kubayangkan. Tanpa melepas ciuman, dengan perlahan kubuka bajunya. Aku menarik tangannya ke bawah dan menarik baju itu dari bahunya dan membiarkannya jatuh ke pinggangnya. Dia segera memeluk kembali leherku saat aku rapatkan tubuhnya kembali.
Kami kembali dengan permainan lidah kami. Kumainkan lidahku di antara kedua bibirnya, kukorek-korek lidahnya agar keluar. Dengan perlahan lidahnya keluar dan dengan malu-malu mengikuti gerakan kemana lidahku pergi. Dan ketika dengan perlahan lidahnya menjulur memasuki mulutku, kusambut dengan lembut dan perlahan kujepit dan kuhisap lidahnya di dalam mulutku. "Uhmmpp...," dia mendesah dan tubuhnya menggeliat menahan nikmat yang menyerangnya.
Kembali kami berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Dia menatapku dengan pandangan mata yang sayu menggoda, mulutnya merah dan basah. Kembali tanganku ke arah pinggulnya dan meremas pantatnya.
"Laaang..., mmmppphhhh ...!" Aku memotong ucapannya dengan menutup mulutnya. Saat telingaku seperti mendengar suara langkah di luar goa. Aku memberi kode kepadanya agar diam di tempat dan tidak bersuara. Sementara tangan kananku segera meraih pistol, dan siap menghadapi segala sesuatu. Aku berjalan perlahan mendekati mulut goa. Kulihat dua orang bersenjata anak buah Simon sedang berdiri tidak jauh dari mulut goa. Tampaknya mereka masih ragu untuk lebih mendekat lagi.
Kusiapkan belati di tangan kiriku. Kubidik dan siap kulempar, saat aku mendengar suara jeritan Chantal di belakangku. "Iiihh...," segera aku menengok ke belakang. Kulempar belati itu kearah Chantal, "Ziiings... sreeet...," Ular di belakang Chantal berkelojatan begitu belatiku menembus kepalanya. Sementara dua orang di luar sepertinya mendengar jeritan Chantal. Mereka memberondong goa dengan tembakan, "Dooor...dor..dert...dert...dor...," Aku segera menjatuhkan diri dan berguling kembali ke dalam goa.
Tembakan berhenti, aku kembali merayap mendekati mulut goa. Mereka juga mendekati mulut goa dengan senjata masih teracung kedepan. Begitu timing pas aku segera menekan pelatuk dan, "Dooor...Dooor...," dua buah peluru bersarang di paha mereka. Mereka mengerang kesakitan dan tubuh jatuh tersungkur ke depan, dan senjata mereka terlepas dari tangan. Sementara aku keluar sambil mengacungkan senjata pada mereka berdua. Dengan muka kesakitan mereka masih berusaha mengarahkan senjatanya kepadaku. Terpaksa aku kembali menembak mereka berdua, "Dooor...dooor...," Tamat sudah riwayat hidup mereka.
Kudekati tubuh mereka, kemudian aku geledah tubuhnya. Tidak ada barang apapun yang kutemukan. Kuambil senjata mereka dan kuperiksa isinya. Masih ada beberapa butir yang tersisa. Kuambil dan kuselipkan di pinggang. Kusembunyikan mayat mereka di tempat yang agak jauh dari gua. Setelah itu aku beranjak kembali ke dalam goa. Chantal masih meringkuk ketakutan di pojok . Begitu melihatku , dia bangkit dan segera memelukku. "Kamu tidak apa-apa kan, Lang !!!" tanya Chantal dengan nada cemas.
"Tidak apa-apa, tenanglah...."
"Apaaakah kita bisa keluar dari tempat ini, Lang ?" tanya Chantal dengan nada sedih.
"Tenang Chant, aku sudah berjanji akan membawamu keluar dari tempat ini. Hal itu akan kutepati walau harus mengorbankan nyawaku."
"Benaaar kamu rela mengorbankan nyawa demi aku ?" ucapnya sambil memandangku meminta ketegasan.
Aku menganggukan kepalaku untuk meyakinkannya. Dia kemudian memelukku lagi. "Terima kasih, Lang. Andai saja setiap lelaki seperti kamu."
Aku melepaskan pelukannya, kuambil belatiku yang masih menancap di leher ular. Kuperhatikan ular itu, ular yang cukup berbisa. Aku tidak dapat membayangkan jika dia menggigit Chantal. Kuambil bangkai ular itu dan kulempar keluar goa.
Aku kembali menghadap ke arah Chantal. "Chant, Aku akan melihat keadaan sekitar. Kalau gerombolan mereka mendengar suara tembakan tadi, mungkin mereka akan menuju ketempat ini. Aku akan menghadang mereka sebelum sampai sini. Kamu tetap di sini. Ini pegang, kalau ada sesuatu pergunakan untuk membela diri," Kataku sambil menyerahkan salah satu pistol rampasan tadi.
Dia menerimanya dengan tangan yang bergetar. Aku kemudian melangkah keluar goa. "Lang...," panggil Chantal. Aku menoleh, dia mendekatiku. Tanpa kusangka dia mencium bibirku. "Hati..hati.. !!! Ucapnya kemudian.
Kususuri bekas jalan yang mereka lewati ketika datang. Sampai beberapa lama, tidak kurasakan kehadiran mereka di sekitar tempat ini. Aku memutuskan untuk kembali ke goa. Apalagi langit kembali berwarna kelabu dan kabut nampaknya mulai turun menghalangi pandangan.
Saat sampai di goa, kulihat Chantal tanpa baju luar hanya memakai bra dan bercelana masih berdiri di depan mulut goa dengan muka masam. "Kenapa Chant, apa ada sesuatu. Mengapa kelihatan gusar seperti itu ?" tanyaku.
Dia menoleh ke arahku. "Tadi aku mencuci muka di kolam air itu. Tiba-tiba muncul dua ekor kera. Karena kaget hampir saja aku jatuh ke kolam. Bukan itu saja, karena takut aku kembali kedalam goa. Untungnya mereka tidak mengejarku. Tapi kemudian aku sadar bajuku masih di dekat kolam itu. Saat aku ingin mengambilnya, ternyata kera-kera itu telah mengambilnya dan dibuat mainan. Kemudian mereka membawanya kearah sana."
Aku sebenarnya ingin tertawa mendengar ceritanya. Tapi dalam suasana seperti ini aku merasa itu sikap yang tidak baik. Aku memandang kerahnya, terutama kearah dadanya. Karena bra nya basah, ditambah bahannya yang tipis maka puting susunya tampak tercetak jelas di depan mataku. Aku jadi menelan ludah melihatnya.
Aku jadi merasa serba salah, saat dia memergoki aku sedang memandang kearah dadanya. Untuk menetralisir suasana aku berkata kepadanya, "Coba aku lihat kemana mereka pergi," Kataku sambil melangkah ke arah mana kera-kera itu pergi.
"Aku ikut Lang ..."
Tidak sampai lima menit kami sampai di bawah pohon besar. Saat aku melihat ke atas, ada beberapa kera yang berayun kesana-kemari dengan semacam tali yang menjulur dari atas. Yang menarik perhatianku bukan kera-kera itu. melainkan benda semacam tali yang dipakai untuk berayun.
Kupegang tali itu dan kutarik, ternyata sangat liat dan lentur. Seperti semacam bahan karet. Aku tidak tahu ini pohon apa, apa semacam rotan yang masih kecil. Tapi hal itu tidak kupikirkan. Timbul ide dalam pikiranku melihat kelenturan tali ini.
Aku segera naik ke atas pohon itu, cukup licin karena basah. Setelah sampai atas, kucabut belatiku. Kupotong beberapa buah. Selain itu aku memotong beberapa dahan pohon yang menurutku baik. Saat hendak turun, aku melihat ke tempat kera itu berkumpul. Ada semacam sarang burung yang cukup besar. Aku melongok ke sarang itu. Ternyata ada bermacam benda di dalamnya. Tampaknya kera-kera itu mengambil atau menemukan benda-benda itu di sekitar tempat ini. Ada kompas, pisau, radio panggil dan bermacam lainnya.
Aku mengambil barang yang kira-kira berguna dan masih berfungsi. Ketika aku mengambil barang-barang itu kera-kera itu ribut berceceroetan. Mungkin mereka protes atau marah. Saat sampai di bawah Chantal bertanya, "Kamu bawa apa Lang ?" Aku lalu menjelaskan apa yang ada di atas, sambil menyerahkan bajunya yang tadi dibawa kera. Tapi bajunya sudah sobek tidak karuan dan tidak mungkin dipakai lagi.
Kami kembali ke goa dengan membawa barang-barang itu. Setelah sampai goa, aku berkata pada Chantal ingin mencari beberapa buah benda yang ingin kubuat sebagai senjata. Setelah mendapatkan benda-bendai itu aku segera kembali ke goa. Hari sudah senja, langit bertambah gelap dan kabut bertambah tebal.
Tanpa beristirahat untuk mengejar waktu, aku langsung mengerjakan apa yang telah kurencanakan. Chantal hanya diam memperhatikan apa yang kulakukan. Ketika gelap menyelimuti bumi, apa yang kurencanakan hampir selesai semuanya. Aku membuat busur panah dari dahan pohon tadi, sementara untuk pegasnya aku memakai tali yang tadi kuambil. Dan anak panahnya aku buat menggunakan ranting dan batang bambu kecil yang kutemukan.
Setelah selesai aku mencobanya, karena gelap aku membakar kayu-kayu yang kuambil sebelum hujan untuk penerangan. Setelah kucoba ternyata lumayan dan bisa dipergunakan sebagai senjata. Aku menjadi senang walau sedikit lelah. Setelah itu aku mencuci muka untuk menghilangkan kotoran di wajah dan memberikan sedikit kesegaran.
Terakhir diubah: