Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Lorem Ipsum Dolor Sit Amet (All I Wanna do is Keep on Loving You) END

Status
Please reply by conversation.
Episode 04

Salt of the Earth




Setelah menonton pertunjukkan dari JKT48, Aurel memintaku untuk mengantarkannya pulang. Kuputuskan untuk menunggunya di dalam mobil, setelah memindahkan mobil ini ke tempat parkir yang lebih sepi, sesuai dengan yang dia minta. Agak banyak mintanya memang gadis yang satu ini. Sebenarnya aku juga sedikit malas melakukan hal seperti ini. Namun, aku mengingat perkataan ibuku mengenai Aurel, “Be nice to her, there is no other girl like her.” Ya benar juga, sepertinya tidak ada gadis lagi yang sangat baik kepadaku, yang selalu memperhatikanku saat bersama dirinya, yang selalu mendengarkan ketika aku berkeluh kesah, yang terkadang juga dapat memberi nasihat saat aku sedang kebingungan. Seperti saat itu.

.

.

.

3 tahun yang lalu

“You already did what is the best for you Januar, it is sad that you choose it more rather than other choices. We cannot do anything about this”


Ucapan dari Coach Hobbs terus terngiang di pikiranku. Menyakitkan sekali rasanya. Pihak manajemen sepertinya enggan memberikan kontrak profesional karena aku lebih memilih Indonesia sebagai kewarganegaraanku. Mereka beralasan kewarganegaraan Indonesia akan menyulitkanku mendapat ijin kerja disana. Dan lagi, Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda, membuatku harus memilih salah satu diantara Inggris dan Indonesia.

Liburan di rumah kakek tahun ini serasa agak mengecawakan. Sambil menjuggling bola aku terus-menerus memikirkan karirku kedepan di dunia sepakbola. Entah apakah aku sudah berbuat keputusan yang benar atau tidak, keputusan untuk mengambil kewarganegaraan Indonesia. Seluruh keluarga sebenarnya mendukung penuh keputusan apapun yang bisa kuambil, baik akan mengikuti ibu mengambil kewarganegaraan Inggris ataupun menjadi warga negara Indonesia seperti ayahku. Namun entah kenapa, hatiku sudah terikat dengan Indonesia.

DUGH!!!!

Goddamnit!” Aku refleks mengumpat melihat tendanganku yang seharusnya mengarah ke arah gawang, kini malah melenceng jauh melampaui pagar pembatas lapangan hingga masuk ke dalam hutan. Sudah empat puluh Sembilan kali aku melakukan tendangan bebas ini, namun hampir semua meleset! Tiba-tiba, aku merasa pagar betis buatan ini jadi meninggi dan sulit aku lewati.

Kuputuskan untuk mengakhiri latihan pagi ini. Hati dan pikiran yang kacau benar-benar membuat seluruh latihanku berantakan. Lagipula, untuk apa terus berlatih? Toh, aku tidak bisa juga menjadi pemain profesional, seperti impianku? Kakiku melangkah gontai meninggalkan lapangan yang khusus dibuatkan kakek di kediamannya, menuju paviliun yang terletak persis di samping lapangan

“Kenapa lu kak? Nggak biasanya tendangan lu banyak yang meleset.”

Tiba-tiba, suara seorang gadis memanggilku dari arah paviliun, tak jauh dari tempatku menyimpan peralatan pribadi. Suaranya aku kenal baik. Dia adalah Made, tapi dia sering protes jika kupanggil demikian. Dia lebih senang apabila kupanggil Aurel.



“Made? Dari kapan kamu ada disini?” jawabku sambil mengambil botol minum yang disodorkan olehnya.

“Aurel kak! Buset gue dari tadi ada disini nggak dianggap ya, sini lu!” ketus Aurel menarik tubuhku agar berjongkok dihadapannya. Digenggamnya pipiku kemudian dengan cekatan dia menyeka seluruh keringat yang ada di dahiku. Entah kenapa sejak dulu memang Aurel sangat memperhatikan diriku.

“Lu lagi mikirin apa sih kak? Soal yang katanya lu terancam nggak bisa terus di Arsenal?” Tanya Aurel sambil terus memberihkan keringat yang membasahi wajahku. Matanya sungguh teliti memperhatikan wajahku. Aku yang kaget kemudian menatap dirinya keheranan.

“Gue tau dari Anggi kak.” Aurel pun tersenyum kepadaku. Kemudian matanya menatapku dalam. “Lu kepikiran nggak bisa lanjut disana?”

“Aku hanya nggak percaya mereka bisa bicara seperti itu Rel. Padahal masih belum jelas juga, aku sendiri sepertinya sudah memenuhi regulasi untuk tetap berada di sana. Namun entah kenapa, mereka masih saja terlihat enggan. Padahal aku sendiri yakin bisa bersaing disana.”

Aurel kembali menatap wajahku yang terlihat kesal. Kembali ia hanya tersenyum dan mengelus wajahku.

“Emang kalo bukan Arsenal lu pasti nggak bisa main bola lagi?” tatapannya berubah menjadi lebih serius.

“Lu tuh hebat kak, kakek aja bangga banget sama lu. Dia aja pernah ngebelain pergi ngedadak ke inggris waktu lu pertama kali tanding disana. Gue rasa yang rugi tuh Arsenalnya kalo lu nggak disana lagi.”

Aku hanya bisa tertegun mendengar ucapannya. Kenapa pemikiranku sesempit itu sebelumnya. Apa yang dia ucapkan itu benar adanya. Mengapa aku harus terpaku di satu tempat hanya untuk mengejar mimpiku? Dan benar apa yang dikatakan Aurel, daripada aku fokus kepada hal diluar sepakbola yang mungkin bukan ranahku, lebih baik aku fokus kepada kelebihanku didalam lapangan. Aku bisa sukses dimana saja, selama lapangan masih tetap hijau dan bola itu bundar, tidak ada yang bisa menghalangiku untuk terus menjadi pemain terbaik. Ralat, pemain Indonesia terbaik.

Aku bangkit dari hadapan Aurel kembali menuju lapangan untuk kembali mencoba melakukan tendangan bebas. Kutarik nafasku dalam-dalam sembari menutup mana, lalu kuhembuskan keras-keras. Pojok gawang akhirnya bisa terlihat dengan jelas, pagar betis buatan itu pun tampak seperti biasanya. Setelah mengambil ancang-ancang aku lantas menendang bola yang berada di hadapanku.

DUGH!!

Seperti menonton slow-motion, bola yang kutendang terlihat bergerak lambat, terbang melengkung sesuai dengan jalur yang aku inginkan hingga akhirnya masuk ke pojok kanan atas gawang melewati pagar betis buatan dengan sangat mulus. Akupun kemudian mengepalkan tangan ke udara. Perasaan ku saat ini seperti habis membobol gawang lawan di final UEFA Youth Championship. Akhirnya, bersamaan dengan bola yang menyentuh jaring gawang, senyum tersungging dari bibirku. Setelah sekian lama hatiku resah dan bimbang, Aurel rupanya mampu memberikan setitik pencerahan.

“Nah gitu dong kak. Perasaan dari kemarin cemberut terus, jelek tau nggak kak. Lagian kalo lu jadi warga negara Inggris dan tinggal disana, lu pasti nggak bakalan nemu yang kayak gue lah disana, rugi lu.” Aurel yang menghampiriku kedalam lapangan lantas menepuk bahuku. Wajahnya terlihat ikut berbahagia.

Cuph!

Aku yang memang sedang sangat Bahagia reflek memegang pipi Aurel dengan kedua tangan dan lantas mencium bibirnya.

“Thanks ya Rel, entah kenapa kamu selalu ngerti keadaanku. Padahal aku sendiri belum banyak cerita sama orang lain. Aku sangat bersyukur kamu selalu ada didekatku.”

“Rel?”

Kutepuk bahu Aurel yang sedari tadi hanya melongo. Entah kenapa wajahnya bersemu merah. Pipinya yang memang lebih bulat dan berisi menjadi terlihat seperti buah tomat.

“Eh … iya kak, gimana?” Aurel yang sepertinya mulai kembali sadar hanya membalas perkataanku dengan gugup.

“Kamu kenapa Rel? Iya aku ucapkan banyak terima kasih sama kamu, yang selalu ada disaat aku butuh, you’re a really good cousin, Rel.”

Seketika, raut wajahnya berubah. Senyumnya lenyap, berganti dengan ekspresi yang sungguh tidak biasa. Seperti kecewa akan sesuatu hal. Wajahnya seperti terhenyak, tatapan makanya seakan kosong melihat kearahku.

“Rel, kamu kenapa?” tanyaku yang khawatir melihat perubahan mendadak dari wajahnya. Kutepuk-tepuk kembali bahunya agar dia tersadar.

“Ah, iya kak. A-aku ke dalem dulu ya kak.” Tiba-tiba saja Aurel berlari menuju bangunan utama. Entah apa yang terjadi padanya hingga dia pergi dengan tergesa-gesa meninggalkanku sendirian di lapangan ini.

.

.

.

BBBZZZZZZ

Getaran dari gawai membuyarkan lamunanku tentang Aurel. Yang sedang berada dalam lamunan ternyata menelepon.

Lu dimana Kak? Kok gue nggak liat mobil kotak sabun lu?”

Sialan, bukannya menyapa, dirinya malah mencerca mobilku.

“Aku pakai mobil papa, parkir nya di pojok deket saluran udara.”

Oh … oke.”

Tanpa basa-basi ia langsung menutup teleponnya. Ya benar, there is no other girl like her. Terkadang bisa sangat baik, terkadang juga bisa menyebalkan seperti ini.

Tak lama kaca mobilku diketuk dari luar. Ternyata Aurel sudah berada di luar mobilku. Dia langsung masuk ke kursi penumpang saat kunci pintu mobil kubuka.

“Kok pake mobil Om Haris, Kak? Mobil lu mana? Oh iya, temen-temenku yang satu kosan nebeng juga ya,” ucap Aurel panjang lebar saat duduk kemudian kembali fokus kepada gawainya. Dibelakang kemudian kedua teman Aurel turut masuk kedalam mobil.



“Maaf ya Kak jadi ngerepotin,” ujar gadis yang memiliki wajah oriental kepadaku.



“Oh, bule yang tadi nonton tuh sodara lu Rel? cakep ya,” tanya gadis yang satu lagi kepada Aurel.

“Lu jangan mikir macem-macem ya Sis sama Kak Janu,” jawab Aurel kepadanya. “Kenalin Kak, ini Sisca, kalo yang itu Kak Rona, mereka juga member sama kaya gue. Hati-hati Kak sama yang ini, dia halu banget orangnya.”

Akupun bersalaman dengan mereka. “Jadi ini yang namanya Kak Janu, dia baru pindah dari Inggris akhir tahun kemaren,” lanjut Aurel. “Woy Sis lama amat salamannya!” Tukas Aurel sembari melepaskan tangan kami yang sedang bersalaman. Keduanya bertatapan sinis kemudian saling menggerutu. Akupun hanya terkekeh melihat kelakuan mereka berdua.

“Mobilku dipake sama papah jadinya aku pake yang ada di rumah aja.”

“Sekarang mau langsung pulang atau gimana?” tanyaku kepada Aurel.

“Langsung pulang aja deh Kak, udah pada cape juga,” jawab Aurel. Sambil mengangguk akupun mengenakan sabuk pengaman, begitu pula dengan Aurel. Namun sepertinya dia kesulitan menarik sabuk yang berada disampingnya tersebut. Melihat hal tersebut, Kucoba membantu dengan menarik sabuk yang cukup jauh dari posisiku duduk, menyebabkan tubuhku harus bergerak mendekat keatas tubuh Aurel. Aurel terbelalak ketika mata kami yang sangat dekat itu bertemu pandang.

“WOY ITU NGAPAIN DIDEPAN PELUK PELUK!!”

Sambil menarik sabuk pengaman dari samping Aurel aku menatap ke kursi belakang. Terlihat Sisca dan Rona menatap aku yang berada didepan dengan wajah seakan tidak percaya, bahkan Sisca sampai menutup mulutnya.

KLIK

“Kalian kenapa?” ujarku melihat kearah mereka setelah memastikan sabuk pengaman Aurel terpasang dengan baik. Aurel sendiri masih terpaku dengan wajah semu merah. Rona dan Sisca yang berada di kursi belakang pun seperti terhenyak, entah apa yang terjadi kepada mereka semua. Tidak ada tanggapan, akupun mulai mengendarai mobilku keluar dari gedung ini.

Selama perjalanan, entah kenapa Aurel yang biasanya cerewet sekarang hanya duduk manis disampingku. Dibelakang kulihat Sisca seperti sibuk dengan gawainya namun sesekali mencuri pandang kearahku lewat spion tengah, sedangkan Rona sepertinya tertidur pulas. Suara yang terdengar dari dalam mobil sekarang hanyalah lagu yang kupasang dari audio mobilku.

“Aku bukan supir taksi online lho,” ucapku yang merasa cukup jengah dengan keheningan antara kami.

“E-eh Iya Kak, tadi penampilan aku gimana, Kak? Bagus nggak?” Aurel mulai berkata, namun anehnya dia masih tidak berani menatap kearahku.

“Sok imut banget sih lu! Najis gue liatnya,” Sisca dari kursi belakang tiba-tiba menimpali dengan nada yang agak tinggi.

“Apaan sih lu Sis!? Biasa aja kali!” Balas Aurel dengan nada yang tidak kalah tinggi.

“Kok lu ngegas sih sama gue?! Lu nya aja yang keganjenan!!” Lanjut Sisca yang semakin sewot.

Adu mulut itu berlanjut cukup lama. Mereka tidak mengidahkanku yang hanya bisa tersenyum melihat pertikaian tersebut. Rona pun tidak bergeming, entah dia memang tidak mau ikut campur atau memang dia tertidur pulas. Baru kali ini aku melihat Aurel seperti ini. Aku sendiri tidak begitu memperhatikan tentang pertikaian mereka, aku terlalu sibuk memikirkan Nadila. Tapi kenapa juga aku memikirkan Nadila ya?

“Gimana lu aja dah Rel!” ketus Sisca yang sepertinya kalah dalam argumen tidak berfaedah tersebut. Aurel yang merasa menang hanya tertawa dengan nada meremehkan kepada Sisca. “Ya iya lah gimana gue, orang gue udah kenal lama sama Kak Janu, ye kan kak?”

“E-eh, iya Rel bagaimana?” jawabku terbata-bata karena tidak siap dengan apa yang ditanyakan olehnya.

“Iiihhh Kak Janu kok gitu sih? Lagi mikirin apaan hayo?” Tanya Aurel kembali yang sepertinya tidak puas dengan jawabanku tadi.

“Oh iya, aku kepikiran sama Nadila tadi, dia nggak kenapa-kenapa?” tanyaku kepada Aurel. Ya, setelah melihat Nadila terjatuh di stage, aku tidak melihat dirinya kembali. Bahkan saat seluruh member mengantar kepergian penonton, atau yang tadi disebut high touch oleh Aurel, aku tidak melihat Nadila sama sekali. Wajahnya pun tidak sesegar biasanya.

“Ah iya tadi Kak Nadila kurang enak badan, di tengah show dia ijin mau ke dokter katanya,” jelas Aurel kepadaku. “Wah Kak Jan baru sekali nonton udah kecantol sama member nih, langsung hapal gitu,” lanjutnya dengan nada sinis kepadaku.

“Nadila itu temen sekelasku di kampus Rel. Aku malah baru tahu kalau dia itu kerjaannya seperti ini, bareng sama kamu,” ucapku menjelaskan.

“Hooo … gitu yah Kak,” ucap Aurel sembari mengangguk.

“Eh tapi Kak Nad minggu ini aneh nggak sih? Kaya yang murung terus keliatannya,” Sisca yang berada di belakang tiba-tiba ikut menimpali percakapan kami.

“Iya juga ya Sis, kagak biasanya gue liat Kak Nad kaya gitu. Kaya yang lagi mikirin sesuatu gitu keliatannya,” ujar Aurel mengiyakan ucapan dari Sisca.

Setelahnya Aurel dan Sisca kembali yang sepertinya akur membicarakan Nadila kembali memperdebatkan hal yang cukup sepele. Aku sampai tidak ingat tentang apa yang awalnya mereka bicarakan hingga bisa kembali beradu mulut dengan intens. Dan hebatnya lagi, Rona yang berada di antara mereka masih tetap tidak bergeming. Mungkin dia sudah biasa mendengar pertikaian yang sepertinya tidak pernah usai antara Sisca dan Aurel.

Tak terasa akhirnya mobil yang aku kendarai telah sampai ke tempat yang ditujukan oleh Aurel, tempat dimana mereka tinggal. Rumah kost yang terbilang cukup tertata dengan baik. Di rumah kost ini, Aurel dan Rona berbagi satu kamar kost, sedangkan Sisca menyewa kamar sendiri.

“Makasih ya Jan.” Rona yang entah kapan bangun langsung mengucapkan terima kasih tanpa basa-basi membuka pintu mobil dan langsung masuk ke dalam rumah kost.

“Kak Rona gitu amat sih? Maafin dia ya Kak Jan, mungkin udah cape, maklum umurnya udah kaya nenek-nenek,” ucap Aurel di kursi sebelahku sambil tersenyum manis. Entah kenapa, aura yang ia pancarkan sangat berbeda dari biasanya.

“Udah deh lu nggak usah keganjenan! Jijik gue liatnya,” pungkas Sisca yang melihat Aurel seperti itu. Wajah Aurel pun yang mendengar hal tersebut langsung berubah menggerutu ke arah Sisca yang keluar dari mobil. Sisca kemudian mengetuk kaca pintu supir. Dirinya tersenyum kepadaku saat kuturunkan kaca pintu tersebut.

“Makasih ya Kak Jan, kapan-kapan nontonin aku yah,” ujar Sisca sambil tersenyum kemudian berlalu dari mobilku masuk kedalam rumah kostnya.

“Ah elu juga sama aja Sis,” tukas Aurel kepada Sisca.

“Beneran kak nggak mau mampir dulu?” Aurel kembali menawarkan. Hanya saja aku yang memang sudah cukup lelah lebih memilih untuk pulang kerumah.

“Aku pulang aja Rel, makasih ya,” tolakku.

“Ya udah deh, hati-hati di jalan ya Kak Jan, nanti aku salamin deh ke Anin,” goda Aurel sembari terkekeh.

“Eh, Rel?”

“Dari tadi di teater gue perhatiin lu ngeliatin Anin terus Kak, langsung kecantol kayanya,” selorohnya kembali.

“Ada-ada aja kamu Rel, udah ya Aku pulang dulu.”

Kemudian aku pergi dari tempat tersebut, meninggalkan Aurel yang melambaikan tangannya mengantar kepergianku dari depan rumah kostnya.

.

.

.

Kutaruh gawai ku di meja samping ranjang dan langsung menyalakan televisi sesaat sebelum aku membersihkan tubuh serta mengganti pakaian didalam kamar. Dari sore tadi kami sekeluarga berjalan-jalan hingga makan malam diluar. Hal ini dikarenakan selama libur sekolah, Ibu akan menemani Hendra dan Anggie yang ingin berlibur ke kampung halaman ibu di Inggris. Ayah sendiri tidak bisa menemani mereka karena tidak bisa cuti. Aku? Sepertinya di liburan singkat ini aku tidak akan kemana-kemana. Hanya menemani Ayah agar tidak sendirian di Jakarta.

Seperti biasa, ketika ada kegiatan keluarga akhir pekan diluar rumah, akulah yang menjadi supirnya. Cukup melelahkan juga sebenarnya mencoba membelah kemacetan ibukota sore tadi, namun beruntung lalu lintas tidak sepadat biasanya.

Waktu tepat menunjukkan pukul 23.30 saat televisi yang menempel di tembok kamarku mulai menyiarkan pertandingan antara Arsenal dan Watford dimulai. Ya, hampir setiap akhir pekan kegiatanku diisi dengan menonton sepakbola, terutama Liga Inggris, khususnya Arsenal. Pada awalnya Arsenal bukan tim favoritku, namun seiring berjalannya waktu, dan juga memang secara tidak sengaja aku menimba ilmu sepakbola di akademinya, lambat laun Arsenal mulai muncul didalam hatiku. Really, It grews on me.

BZZZZZZ! BZZZZZZZ!

Gawai ku yang kusimpan di meja samping tempat tidur bergetar tanda seseorang mencoba meneleponku. Waktu sudah hampir tengah malam, aneh juga ada orang yang mau menelpon selarut ini. Aku cukup terkejut ketika melihat nama yang terpampang di layar gawaiku.

INCOMING CALL

NADILA CINDI


Nadila? Ada apa gerangan hingga dirinya menelponku di tengah malam seperti ini? Tanpa menunggu lama langsung mengangkat telpon tersebut.

“Halo ….”

Nadila langsung menyapa saat telpon tersambung, suaranya terdengar parau.

“Halo Nad ….”

Isakan kemudian terdengar dari balik telpon. Sepertinya Nadila menangis.

“Halo Nad? Kamu kenapa? Ada yang bisa kubantu?” kembali aku bertanya.

“.

Janu ….”

“Bisa kita ketemu?”

.

.

.

tbc
 
Terakhir diubah:
chapter foreshadowing sepertinya, menarik

sisj disini mantap ngeselinnya!
 
Why? Momen kyk gini hrs tbc? Author cepet sembuh tbc nya biar update nanti g terpotong tbc lg:((:Peace:
 
chapter foreshadowing sepertinya, menarik

sisj disini mantap ngeselinnya!

wah aku ga mikir sampe kesana kak, tapi liat aja deh kedepannya bakalan kaya gimana, semoga masih tetap menghibur

sisj? aku aja yang waktu nulisnya ikut kesel kak, ada ya orang kaya gitu

kakpaw kok nangis :mati:

aku juga kurang tau njel, janu belum cerita soalnya, ditunggu aja ya

ditunggu 4vs1 nya haha

wah nggak adil dong kalo 4 lawan 1



semoga kuat

Why? Momen kyk gini hrs tbc? Author cepet sembuh tbc nya biar update nanti g terpotong tbc lg:((:Peace:

waw iya semoga aku cepet sembuh ya, emang lagi ga enak badan ini teh

kenapa TBC? soalnya emang beda topik lagi kak, kan waktu kemaren aku udah bilang ceritanya dibagi 2, berarti cerita yang setelah ini harusnya udah ada,


harusnya

gimana jan?


--------------------------

eniwei biasanya aku kasih pengantar setelah apdet tapi ternyata kemaren aku tunduh berat jadi ga sempet.

lagian emang aku mau ngomong apa juga? oh iya, judulnya itu bisa diartikan "dapat diandalkan", setidaknya itu kata internet.

itu aja sepertinya, maap aku kurang bisa merangkai kata, hope you all enjoy it, saran dan perbaikan selalu dipersilahkan

:senam2:
 
wah aku ga mikir sampe kesana kak, tapi liat aja deh kedepannya bakalan kaya gimana, semoga masih tetap menghibur

waduh berarti saya yang berimajinasi terlalu jauh hahaha, nunggu aja deh jadinya seperti apa
maap tuan, saiya agak bingung maksudnya foreshadowing itu apa ya?

fore itu depan
shadow itu bayangan
wing itu sayap
jadi foreshadowing itu artinya bayangan sayap yang di depan :)

jujur saya gak tau bahasa indonesianya dan bingung mau menjelaskan ehehehe
 
fore itu depan
shadow itu bayangan
wing itu sayap
jadi foreshadowing itu artinya bayangan sayap yang di depan :)

jujur saya gak tau bahasa indonesianya dan bingung mau menjelaskan ehehehe
Waduh Tuan suhu ini bisa aja becandanya, :pandaketawa:
 
Nadila baperan, dia cuma dimanfaatin januari, januari must die, berani beraninya merawanin nadila tp asik asik ama aurel. sekali lagi Januari must die!!!!!!
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd