Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

racebannon

Guru Besar Semprot
Daftar
8 Nov 2010
Post
2.073
Like diterima
16.617
Bimabet
bakso_10.jpg

Setelah melewati banyak hari dan banyak waktu, akhirnya kita sampai disini. MDT Season 2 adalah hutang saya yang belum saya bayar, akibat kesalahan yang saya perbuat sendiri.

Tentunya setelah banyak berkontemplasi, saya memutuskan untuk merilis ulang cerita ini dengan heavy alteration. Saya tidak akan mengulang kisah dan cerita menyakitkan yang pernah terjadi di masa lalu, tepat setahun yang lalu.

Oleh karena itu, mohon diterima persembahan saya ini.

Tokoh-tokoh kunci dalam Cerita ini:
  • Arya, Gitaris Hantaman, sang tokoh utama kita.
  • Kyoko, Istri Arya
  • Stefan, Vokalis Hantaman yang slengean dan asal
  • Anin, Bassis Hantaman, nyaris herbivore man
  • Bagas, Drummer Hantaman yang misterius
  • Ai, Adik Arya
Index :

  1. PART - 1
  2. PART - 2
  3. PART - 3
  4. PART - 4
  5. PART - 5
  6. PART - 6
  7. PART - 7
  8. PART - 8
  9. PART - 9
  10. PART - 10
  11. PART - 11
  12. PART - 12
  13. PART - 13
  14. PART - 14
  15. PART - 15
  16. PART - 16
  17. PART - 17
  18. PART - 18
  19. PART - 19
  20. PART - 20
  21. PART - 21
  22. PART - 22
  23. PART - 23
  24. PART - 24
  25. PART - 25
  26. PART - 26
  27. PART - 27
  28. PART - 28
  29. PART - 29
  30. PART - 30
  31. PART - 31
  32. PART - 32
  33. PART - 33
  34. PART - 34
  35. PART - 35
  36. PART - 36
  37. PART - 37
  38. PART - 38
  39. PART - 39
  40. PART - 40
  41. PART - 41
  42. PART - 42
  43. PART - 43
  44. PART - 44
  45. PART - 45
  46. PART - 46
  47. PART - 47
  48. PART - 48
  49. PART - 49
  50. PART - 50
  51. PART - 51
  52. PART - 52
  53. PART - 53
  54. PART - 54
  55. PART - 55
  56. PART - 56
  57. PART - 57
  58. PART - 58
  59. PART - 59
  60. PART - 60
  61. PART - 60.5
  62. PART - 61
  63. PART - 62
  64. PART - 63
  65. PART - 64
  66. PART - 65
  67. PART - 66
  68. PART - 66.5
  69. PART - 67
  70. PART - 68
  71. PART - 69
  72. PART - 70
  73. PART - 71
  74. PART - 72
  75. PART - 73
  76. PART - 74
  77. PART - 75 (TAMAT)
Disclaimer:


    • Cerita ini fiksi belaka, kesamaan dengan tokoh di dunia nyata atau cerita lain hanyalah kebetulan.
    • Cerita ini tidak akan menyertakan tokoh di dunia nyata sama sekali kecuali untuk kepentingan referensi seperti pesohor atau musisi luar negeri.
    • Cerita ini berada di universe yang sama dengan Lucky Bastard, Amyra, Penanti, Lelawah dan Okasan no Hatsu Koi
 
Terakhir diubah:
MDT SEASON 2 – PART 1

------------------------------

14586610.jpg

Aku memperhatikan Kyoko dari layar handphoneku, dengan latar Candi Prambanan yang megah. Aku mengambil fotonya. Kyoko tampak manis, dengan kacamata hitam, t-shirt tanpa lengan, celana dengan warna yang senada dan sun hat yang cocok dengannya. Dia tersenyum ke arah kamera handphone, tapi senyumnya seperti menembusnya dan langsung tertuju padaku.

Selesai aku mengambil gambarnya dia langsung menuju kepadaku, menggamit lenganku, dan kembali melihat ke arah handphone. Kami lantas berfoto berdua, mengambil selfie.

Tak pakai lama, sambil kami berdua berjalan mengitari kompleks Candi Prambanan, aku mengunggah foto itu ke instagramku. Dan tak lama kemudian komentar dan likes bermunculan. Macam-macam. Tapi rata-rata memberikan ucapan selamat atas pernikahanku. Aku senyum saja membacanya, dan kembali fokus untuk berjalan berkeliling dengan Kyoko.

“Kirei…” bisiknya sambil melihat detil-detil bangunan kuno itu. Bangunan kuno yang mungkin tidak akan bisa dibuat ulang di jaman sekarang, walaupun teknologi masa kini sudah sangat canggih.

“So… Ano…. Aya tadi bilang kalau ini semua dibangun dalam semalam?” tanyanya sambil tetap terpukau.
“Legendanya kan yang bilang begitu” tawaku.
“Ahaha… Demo…. Yang buat semua candi ini hebat ya Aya, demi perenpuan, dia rela bangun ini semua semalam” lanjut Kyoko.

Iya, tadi aku menceritakan soal legenda Bandung Bandawasa yang terpukau oleh Rara Jonggrang, sehingga menepati janjinya membuat ribuan candi, yang dikenal dengan nama Candi Prambanan. Atau versi lain, katanya Candi Sewu, tapi biarlah, itu legenda yang menjelaskan soal asal-usul tak jelas Candi-candi kuno ini, yang baru muncul ketika masa kesultanan Mataram, dimana orang-orang yang menemukan candi-candi ini tidak bisa menjelaskan kenapa mereka semua berdiri disini, sebegitu megah dan banyaknya.

Kami lantas menatap ke sebuah arca. Arca Durga, di ruangan utama Candi Siwa, yang katanya perwujudan dari sosok Rara Jonggrang yang dikutuk menjadi batu karena menggagalkan usaha Bandung Bandawasa yang membangun ribuan candi untuk meminang dirinya.

Lantas aku jadi ingat percakapan di sebuah acara Jazz, dengan temanku yang adalah seorang keyboardist jazz, tentang albumku yang membatu.

--

img-2010.jpg

“Congrats” ucap Arka Nadiem

Dia adalah keyboardist ulung negeri ini. Salah satu musisi jazz muda papan atas yang namanya sudah berkibar. Dia baru saja selesai main dengan kelompok musiknya. Aku tadi menontonnya bersama Kyoko.

“Makasih” jawabku sambil menerima jabatan tangannya. Dia lantas duduk di depanku. Kami ada di food court, dan sekaleng bir serta hot dog ada di hadapannya. Sedangkan di hadapanku ada minuman ringan yang bertebaran di seluruh penjuru area Java Jazz ini.

“Bini lo mana?” dia celingukan, berusaha mencari perempuan yang bertampang asia timur.
“Lagi nonton Incognito sama adek gue”
“Oh, adek lo… Haha… Kemaren kapan tau ada yang bilang katanya dia ngecengin adek lo” tawanya.

“Siapa emang ?”

“Ada, anak baru, di tempat gue ngajar” jawabnya. Ya, dia juga mengajar di sebuah tempat les musik ternama di Jakarta.
“Oh, murid elo… Tapi tuir pasti ya, biasanya kan yang belajar di tempat situ kan udah belajar dimana-mana sebelom belajar jazz…” komentarku.
“Muda kok…. Bukan murid gue, dia main drum… Keren tuh anak, gue bilang sih prodigy ya, setaun dua taun lagi bisa lebih jago daripada orang itu” Arka menenggak birnya di siang yang terik itu, sambil melirik ke arah drummer yang sedang tampol di sebuah panggung.

“Boong” balasku pelan.
“Gak boong, ntar gue kenalin deh, udah siap main banget, umur baru 20, tadinya kuliah terus ga lanjut, malah belajar musik"
“Jurusan apaan emang tu anak?”
“DKV, sama kayak elo, makanya waktu itu dia ngepoin IG elo, gara-gara dia denger-denger anak-anak pada rame ngomongin elo mau kawin, terus dia diem aja terus liatin hape, taunya malah dia jadi ngeliatin terus instagramnya adek lo Ya” jelas Arka sambil tertawa.

“Ah era informatika” senyumku.
“Terus, sekarang emang mau ngomongin apa, tumben mendadak ngajak ketemuan, gue pikir lo ga bakal dateng ke Sini karena kawin” Arka menanyakan maksudku menemuinya hari ini di Acara jazz berskala internasional ini.

“Pengen ngobrol aja, sekalian ngajak bini ke sini, setelah kemaren capek kawinan”
“Bagus konsep kawinan lo tuh, sayang lo bikin kawinannya bentrok ama Jadwal kemaren, malah ada anak yang jadinya ngegosipin elo, bilangnya bini lo dah hamil duluan makanya buru-buru kawinnya” tawanya lagi.

“Alah, gue udah pacaran setaun lebih kok, dan lagian tanggal kawinnya emang di set tanggal segitu dari pas taun baru, Cuma kebetulan gue lupa karena sibuk nyiapin tur Jepang, gue malah baru inget ada acara ini pas balik dari Jepang... " jawabku.

“Terus mau ngobrol tuh mau apa?” tanyanya lagi sambil memainkan handphonenya.

“Lo tau kan soal lagu gue yang dulu itu?”

“Matahari dari timur itu ya?” tanya Arka.
“Menurut lo gimana, gue minta pendapat”

“Hmm….. Bagus” jawabnya pelan.

“Dari muka lo, keliatannya kalian bilang bagusnya itu ada tapinya ya?” tanyaku sambil menggaruk-garuk rambutku.

“Ah ya gimana ya, seinget gue, style elo gak kesitu deh, Dan sound yang dipake kayaknya agak tipis, improvisasinya juga manis banget, gak kayak Arya Achmad yang gue kenal kalo main gitar sih…. Cuma… Ah ga tau deh, itu mah subjektif” jelasnya.

“Nah, lagu itu bikin gue susah ngelanjutin niat gue bikin album… Soalnya gue pengen album gue nyambung sama lagu itu….”

“Lagu itu bikinnya spontan kan?” tanya Arka.
“Spontan banget”

“Ya, susah sih kalo lo gak bikin a whole album yang utuh terus mau disambungin ke lagu itu, seenggaknya kalo lo mau bikin style yang smooth jazz smooth jazz ceria kayak gitu sih asik-asik aja menurut gue” lanjut Arka. "Tapi Menurut gue jangan bikin album dengan style kayak gitu”

“Kenapa?” tanyaku pelan.
“Gak elo banget…. Jadi menurut gue, kalo lo bikin album, ya yang totally berbeda tonenya ama lagu Matahari dari timur itu” sambungnya.

“Yaudah, produserin album gue aja sekalian” tembakku.
“Ah gila, jangan lah, gue ga kuat kalo dikasih tanggung jawab ngeproduserin gitaris gerung terbaik se jabodetabek” ledeknya.
“Kampret, produserin lah” tawaku.
“Ah sial”

“Nah, terus bagusnya tonenya gimana bapak produser?” tanyaku sambil meledek.
“Udah ah, ga mau ngomong lagi gue, udah lama ga ketemu, malah ngeledekin”

“Udah, apa susahnya sih produserin Gue? tanggung jawab sama omongan elo, biar bisa lebih panjang lagi obrolan kita soal style album yang tepat” tawaku melihat tampangnya berubah jadi malas dari ceria. Matanya terlihat makin sempit.

“Bukan apa-apa, mungkin karena faktor elonya ya, gue ngerasa gak enak aja kalo ngeproduserin elo, selain karena lo kalo jadi produser menurut gue keren abis dan tiap lick-lick gitar elo di Hantaman sukses bikin gue merinding” jelas Arka.

“Alesan macem apaaa itu” aku menggelengkan kepalanya.
“Gak sesusah ngeproduserin album pop lah”
“Susah pasti, dan gue takutnya ga bisa nge direct elo... karena gue pasti nyar keenakan dengerin musiknya elo, ntar gue iya-iya aja”

“Yaelah… sama temen kok..." bisikku.
“Iya deh, tapi kapan emang lo mau bikin albumnya?” tanyanya

“Ya gue bikin working group dulu deh, sekarang lagi cari personelnya, baru dapet bassistnya sih…” jawabku.
“Ah pasti si Jacob kan?” tebak Arka.
“Iya haha”

“Udah pasti, gue suka soalnya improv-improv elo di albumnya si Jacob… Bagus bener, dan kalian cocok” komentar Arka. “Berarti tinggal pianis ama drummer dong, eh, elo mau format apaan, quartet apa trio?” tanyanya.

“Quartet kayaknya” jawabku. “ dan Pianisnya Elo aja” tembakku.
“Ah bajingan, kena lagi" tawanya.
“Tapi elo mau kan kalo gue tawarin? Tanyaku langsung.

“MAU. pasti mau kalo ditawarin maen sama elo mah Ya, udah lama gak maen sama elo dan gue suka banget maen sama elo” jawabnya dengan agak kesal karena terjebak dengan double job

“Berarti tinggal cari drummer, siapa ya….” bingungku.
“mau sama drummer yang gue ceritain tadi?” Arka menawarkan Orang yang katanya ngecengin Ai itu.

“Ntar ga main drum, malah ngeliatin adek gue terus” candaku.

“Iya, yaudah lah, kapan ntar janjian kita semua maen ke studio elo, ntar gue bawa si orang itu” tawa Arka berkepanjangan.

“Hahahaha…….. Yaudah, tapi tunggu gue balik dari Jogja ya”
“Ke Jogja ngapain?” tanya Arka sambil mengintip ke dalam kaleng bir yang kosong.

“Hanimun dong, masa abis kawin gak hanimum” jawabku.
“Bagus, bikin anak yang banyak ya” sambung Arka. Dan kami berdua tertawa, membayangkan betapa menariknya membentuk working group bersama Jacob Manuhutu dan Arka Nadiem.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

55ed0c10.jpg

“Aya apa lapar?” tanya Kyoko, membuyarkan lamunanku malam itu. Pukul 12 malam. Kami habis bergumul di atas kasur, menikmati kebebasan sebagai suami istri. Kami berdua masih telanjang bulat dan kondisi badan agak lemas, kalian tahu lah kenapa. Tapi perut ini rasanya lapar.

“Iya, mendadak gini” aku berbaring telentang dengan energi yang agak hampir habis, Kyoko menempel dengan nyamannya, memeluk badanku. Rasanya ingin langsung tidur saja, tapi perut ini meraung. Meraung dengan kerasnya sehingga getarannya terdengar.
“Perut Aya bersuara”
“Duh, untung kita nginep di Prawirotaman ya….” komentarku.

Prawirotaman, Legiannya Jogja. Penuh dengan hotel-hotel yang keren lagi affordable. Juga penuh dengan tempat hiburan malam. Banyak bar, café, coffee shop, you name it, yang dimana kebanyakan dari mereka buka sampai subuh, dan sekarang baru jam 12 malam. Aku berpikir sejenak dan langsung bangkit, duduk di kasur. Lalu aku berdiri dengan malasnya.

“Cari makan yuk” ajakku ke istriku.
“Hai… Chotto, Kyoko ke kama mandi dulu” jawabnya.

Dia kemudian bangkit dan berjalan dengan sedikit lincah untuk sedikit bersih-bersih di kamar mandi. Bisa kudengar bunyi shower. Mungkin dia mandi. Lalu aku menyusul masuk ke dalam kamar mandi, setelah sebelumnya mencabut handphoneku dari chargernya. Kyoko sedang mandi kilat. Aku lantas duduk di kloset dan membersihkan yang perlu dibersihkan.

Ada orang bilang, keintiman yang sesungguhnya itu bukan saat tidur bareng atau ketika sedang bermesraan. Tapi pada saat suami istri sibuk masing-masing dengan urusannya di kamar mandi, dan sudah tidak risih lagi pada hal-hal seperti buang air kecil dan buang air besar di depan pasangan. Dan aku senang kepada Kyoko, karena walaupun dia orang Jepang, batas-batas di kamar mandi tidak ada dengannya. Mungkin karena dia mulai mencoba menyesuaikan diri dengan style keluarga barunya ini. Dan bisa kulihat dia tersenyum ke arahku dari dalam shower.

“Aya kenapa ano…. Jo…”
“Jorok?”

“Hai, Jorok” ya, aku baru saja melepas angin dari lubang pantatku.

“Karena aku suami kamu, jadi aku bakal ngeliatin semua yang jorok-jorok dari aku” tawaku. Kyoko lantas menembakku dengan air dari shower, tapi tidak kena, karena terhalang kaca yang memisahkan antara area shower dengan area lainnya di kamar mandi. Aku hanya tertawa melihatnya.

Setelah kami selesai bersih-bersih, aku dan Kyoko lantas berpakaian dan keluar dari kamar hotel. Hotel kecil yang asri dan unik. Ada beberapa lagi yang seperti di daerah Prawirotaman. Kami lantas merayap pelan di koridor hotel dan menaiki lift untuk turun sekitar 2-3 lantai ke lobby setelah sebelumnya memastikan kamar sudah terkunci dengan baik. Setelah bertegur sapa dengan resepsionis shift malam yang berjaga di depan, kami lantas keluar dari kamar hotel untuk mencari makan. Kami berjalan dengan pelan, di tengah gelapnya malam Jogja, sambil bergandengan tangan.

prawir10.jpg

Iya, ini istriku, seruku dalam hati. Istriku, Kyoko Kaede. Lucu rasanya. Magic rasanya.

Kami akhirnya sampai di jalan utama, dan suasana masih terlihat ramai. Kerumunan manusia masih terlihat di hamparan café maupun bar. Tentunya banyak pengunjung tempat-tempat tersebut yang bertampang kaukasian alias bule. Mereka sedang menikmati surga tropis di pulau jawa ini, sambil menenggak bir merek lokal, bercanda tawa, dan menatap para pelayan yang menurut ukuran mereka eksotis dengan begitu nanarnya, sambil mengobrol keras dengan nada-nada yang kurang berkenan. Aku dan Kyoko tersenyum saja melihat tingkah mereka. Dasar turis, ledekku dalam hati, walau posisiku dengan Kyoko juga sama-sama turis seperti mereka.

Sebenarnya aku masih agak bingung, mencari makanan yang cocok untuk malam hari ini. Sebenarnya apapun boleh, warung indomie lah, atau makanan pinggir jalan, tapi jalan utama Prawirotaman lebih menarik hati daripada mencari tempat makan yang hanya sekedar warung makan.

Dan pada saat itu aku mendengar suara yang familiar, di tengah riuh rendah musik yang bersahutan di sepanjang jalan. Ya, musik disko bersahutan dengan musik lainnya yang tidak kalah kencangnya dari tempat lain. Sampai bingung kami dibuatnya.

Tapi aku lebih tertarik dengan suara tersebut.

Suara raungan gitar, suara teriakan dari lagu-lagu rock terdengar sayup-sayup di telingaku.

“Kita cek yuk” bisikku ke Kyoko. Dia mengangguk, mengiyakan. Kami berjalan, mendekati sumber kebisingan. Dan ternyata ada sebuah bar. Di bar yang tidak terlalu luas tersebut ada sebuah pertunjukan musik rock. Sebuah band memainkan lagu rock lawas. Smoke On The Water, Deep Purple. Aku dan Kyoko dengan otomatis langsung masuk, lalu duduk di sebuah meja yang kosong. Seorang pelayan melihat kami, dan menyapa kami di tengah kebisingan. Dia memberikan menu dan membiarkan kami memilih-milih makanan dan minuman.

Aku melihat-lihat sejenak. Crowdnya tidak terlalu banyak. Hanya ada sekitar 20an orang di bar ini. Tapi mereka yang bermain, tampak tidak peduli dan bermain dengan penuh semangat. Beberapa tamu bar menari dengan tololnya di depan mereka. Bule-bule mabuk. Tapi band tersebut tampak santai saja dan bermain dengan sepenuh hati.

Kyoko dan aku segera memesan makanan dan minuman, agar aku bisa kembali memperhatikan musik di panggung.

“Cool, Aya” bisik Kyoko, yang tampaknya melihatku begitu antusias.
“Iya”

Aku memperhatikan empat pemuda tanggung itu. Mereka sedang beraksi di panggung. Dari tampangnya, sepertinya mereka berusia kuliahan atau mungkin baru lulus kuliah. Yang patut diacungi jempol, di usia semuda itu skill mereka luar biasa. Mereka bermain musik dengan begitu lincah dan lancarnya. Mereka benar-benar fasih menggunakan bahasa rock and roll.

Tampang mereka terlihat lugu tapi garang. Itu lucunya. Mereka meraung, berteriak, meliuk-liuk dengan nyamannya, seakan-akan mereka adalah band rock veteran yang sudah malang melintang di panggung musik rock Indonesia. Sekarang sedang bagian solo gitar. Pemuda gondrong tanggung, dengan tampang yang lebih cocok jadi Remaja Masjid daripada gitaris rock, sedang mempertontonkan skillnya di depan beberapa orang bule mabuk yang melihat dirinya dari dekat. Dia memakai celana jeans robek, dengan kaos hitam, bertuliskan lambang band metal entahlah yang tulisannya sulit dibaca, tampak seperti tumpukan tulang ayam buatku.

Para bule itu, termasuk kebanyakan tamu lainnya, terbius oleh permainan gitarnya yang begitu lancar dan skillfull. Ah, sayang efek yang dia pakai masih generik dan sound systemnya seadanya. Kalau ditata sound nya dengan baik, pasti skillnya lebih muncul.

Perhatianku terbagi sejenak, karena minuman yang kami pesan sudah datang. Sepasang botol minuman ringan dingin. Kyoko sudah berhenti minum alkohol katanya. Dan itu bisa dimengerti.

Aku memperhatikan bagaimana personil lainnya menjaga tempo. Sang pemain bass, terlihat begitu nyaman mengiringi teman-temannya. Bermainnya sungguh aman, tapi itu yang selalu kita harapkan dari bassist. Rambutnya agak kribo, terlihat jarang diurus dan yang dia kenakan sebelas dua belas dengan sang gitaris. Si drummer sendiri, terlihat menonjol di belakang. Permainannya begitu rapih untuk orang seusianya. Dia tapi terlihat kurang pede. Bisa dilihat dia terus-terusan tampak melirik ke sang bassist. Pakaiannya? Jangan ditanya. Sama-sama saja, jeans belel dan kaos band metal entahlah. Rambutnya agak gaya tapi modelnya. Model undercut ala anak-anak jaman sekarang, walaupun terlihat sudah berantakan karena mungkin pomade yang dia pakai luntur oleh keringat.

Sang vokalis kini kembali bernyanyi, dengan suara sengau dan parau khas rocker-rocker jaman baheula. Melengking, menjerit seperti orang kesetanan.

“SMOOOKKEEEE ON THE WAAAATERRR….” teriaknya.
“And fire in the skayeeey…” jawab bule-bule mabuk di depannya dengan suara sumbang. Lebih sumbang dari suara anjing gagap yang pita suaranya kusut.

“Keren” bisikku ke diriku sendiri sambil menunggu makanan. Perutku bergemuruh makin hebat, tapi gemuruhnya masih kalah oleh raungan anak-anak muda ini. Mengerikan sekaligus menyenangkan.

Dan akhirnya makanan kami datang. Makanan standard. Nasi goreng. Makanan yang kita pilih kala sudah tidak ada pilihan lagi, dan keputusan untuk memilih harus dilakukan dalam waktu cepat. Aku kembali terpaku memperhatikan band anak-anak muda ini. Smoke in the water sudah selesai. Si vokalis dengan ramahnya mengajak bicara penonton.

“Gimana, asik?” tanya dengan logat jawa yang kental.

Tamu pribumi jawab asik, tamu bule Cuma teriak teriak “woo hoo” sambil mengacungkan botol atau gelas bir mereka. Aku tertawa saja melihatnya.

“Kalok ada yang mau ngejam atau mau rikues boleh lo, monggo” sambungnya. Aku memperhatikan penampilannya. Celana jeans belel dengan sneakers yang tidak kalah belelnya, topi snapback yang dibalik, dan dia memakai jersey sepakbola warna hijau. PSS Sleman, kubaca di lambangnya. Oh, penikmat sepakbola lokal rupanya. Kalau ketemu dengan Kang Bimo pasti bisa diskusi panjang lebar mereka.

“Aya, ayo main gitar” senyum Kyoko di sebelahku, sambil menyantap nasi goreng yang entah kenapa rasanya begitu nikmat ini. Entah memang enak, atau karena kami sangat lapar.
“Nonton aja ah, kan lagi honeymon kita” jawabku.

“Ayo, mas mbak kalo ada yang mau nyanyi atau main gitar, bas, dram, boleh lho” lanjut sang vokalis di atas panggung kecil nan imut itu. Aku memperhatikan saja sambil menghabiskan nasi goreng. Ah, biarkan orang lain yang main musik, walau memang agak gatal juga tangan ini melihat gitar nganggur.

“Mas nya mau rikues?” mendadak sang vokalis sudah berada di dekatku. Microphonenya wireless ternyata, jadi mudah dia berkeliling di bar yang tidak besar areanya ini. Aku tersenyum saja sambil mengangkat tanganku, melewatkan kesempatanku meminta mereka memainkan lagu yang aku inginkan.

Tapi mendadak sang vokalis memperhatikanku.

“Bentar mas kayak apal” mendadak dia merogoh sakunya dan mengeluarkan smartphone. Mukanya tampak excited mendadak. Dia memperhatikan layar handphone, bergantian dengan melihat tampangku. Aku dalam hati sudah tahu ini arahnya kemana, dan istriku hanya senyum-senyum saja sambil melirikku.

“WOH ADA GITARISNYA HANTAMAN DISINI LHO!!!” teriaknya excited di microphone. Penonton entah kenapa bertepuk tangan. Tentunya yang orang sini pasti paham kenapa mereka bertepuk tangan. Yang bule pun ikutan tepuk tangan sambil bersiul. Mungkin mereka hanya terbawa suasana saja.

“Selamat ya, nikahannya” mendadak dia menyalamiku. Aku menyambutnya sambil tertawa, diiringin oleh tepukan tangan dan siulan dari para penonton.
“Makasih, pasti liat di instagram” jawabku.
“Iya, saya follow mas soalnya, suka saya dengan Hantaman” balasnya.

“Mas ngejam mas” bisik sang bassist di panggung lewat microphone yang sedari tadi ia gunakan untuk mengisi backing vocal.
“Waduh, gimana ya” aku masih mencoba untuk menolak dalam hati, tapi tak enak juga melihat muka penuh harap anak-anak muda ini.

“Ayo mas, plis” si vokalis terlihat begitu berharap. Aku melirik ke arah Kyoko. Dia tersenyum, sambil memberi tanda lewat matanya agar aku meladeni permintaan mereka. Aku balas tersenyum dan akhirnya menjawab kepada sang vokalis.

“Oke deh”
“ASIK!” seru si vokalis dengan seru, dan bisa kulihat sang gitaris menurunkan gitar dari pelukannya, siap untuk memberikannya kepadaku. Aku bangkit dan meminum sedikit minumanku, meninggalkan makananku yang baru setengahnya habis. Kyoko tampak tersenyum sumringah dan kulihat ia bertepuk tangan dengan hebohnya, sama seperti para penonton lainnya. Sementara aku berjalan ke arah panggung dan menerima gitar dari sang gitaris.

Ibanez Gio. Gitar untuk pemula, biasa kita temukan di toko buku atau semacamnya. Tapi di tangan sang gitaris tadi, rasanya terdengar seperti gitar mahal. Sayang sound system di tempat itu kurang bagus.

“Lagu apa mas” bisik si vokalis di telingaku.
“Yang gampang aja lah” tawaku. Bisa kurasakan beberapa penonton yang hapal tampangku terlihat excited, karena mereka mengeluarkan handphonenya untuk sekedar mengabadikan atau mungkin live di instagram dan facebook.

“Apa dong yang gampang, lagu rock kan susah-susah mas” tawa si vokalis malu-malu.
“Ah apa aja terserah…” jawabku, masih dengan tersenyum ramah.

“Kalok Enter Sandman bisa ndak mas?” tegur si Bassist.
“Bisa-bisa aja” aku mencoba membunyikan gitar itu dengan menyalakan efek distorsi. Yah, suaranya terlalu kering. Aku berjongkok sejenak, menyetel efek milik sang gitaris, dan lalu sibuk sendiri sejenak, menyetting equalizer di amplifier dan sebagainya.

Aku membunyikannya lagi. Ah. Suaranya sudah lumayan tebal sekarang. Tapi Ibanez Gio memang suaranya kering, jadi butuh effort berlebih jika ingin suaranya jadi lebih gahar.

“Wih, bedha ya kalo profesional” bisik sang Gitaris kepada sang vokalis yang dari tadi tampak sibuk memperhatikanku. Aku hanya senyum saja dan mengangguk, menandakan kalau aku siap memainkan lagu umum anak metal. Enter Sandman.

“Buat yang ndak tau, ini Mas Arya Achmad, dia gitarisnya Hantaman, band terkenal itu lho, taun lalu manggung di jogja, kita semua pada nonton” ucap sang vokalis di microphone dengan nada yang excited. Bisa kurasakan penonton bertepuk tangan dan bersiul, walaupun tamu-tamu bule tampaknya sedikit bingung kenapa kehadiranku di panggung membuat suasana mendadak heboh.

“Hantaman abis manggung di Jepang, buat yang follo tuiter sama anu…”
“Wis, kapan tho main musike?” tegur si bassist yang tampaknya sudah tidak sabar ingin sepanggung dengan Arya Achmad.
“Saiki”
“Ya kowe ojo ngomong wae…”

“Ya jadi, Mas Arya Achmad main sama kita, lagu Enter Sandman ya!!” teriak sang vokalis, sementara sang gitaris memperhatikanku dari pinggir panggung. Aku siap memulainya.

--------------------------------------------

14561710.jpg

“Gila beda memang” puji sang bassist kepadaku setelah mereka beres-beres dan para penonton sebagian besar sudah pulang. Bule-bule mabuk itu sudah pergi entah kemana, hanya tersisa dua orang yang mojok, pasangan cowok-cewek bule, entah pacaran, entah sudah menikah, atau entah baru kenal, aku tidak peduli. Aku lebih tertarik kepada obrolan dengan sang bassist. Sementara personil lainnya sedang makan malam yang kelamaan di meja sebelah kami.

Sudah jam 1 malam, dan bar ini sudah mau tutup. Semua lampu dinyalakan agar para pelayan bisa bersih-bersih dengan mudah.

“Beda apanya emang?” tanyaku sambil minum.
“Beda kalau gitaris profesional, solonya bisa beda gitu ya mas, kok nadanya aneh begitu tapi kok enak ya, saya jadi gak konsen tadi main bass nya gara-gara mas nya mainnya kok enak banget, tapi aneh, tapi enak, gimana ya cara ngejelasinnya….” bingung Panji, sang bassist.

Aku bisa melihat dari sudut mataku, bahwa anggota band lainnya mencoba melihatku dan Kyoko dengan malu-malu.

“Ano, Aya kan gitaris… Jazz juga, munkin dia tadi kasih nada-nada Jazz” Kyoko mencoba menerangkan ke Panji.
“Wah, hebat masnya… Susah gak sih mas main jazz tuh?”
“Ah.. Gimana ya, tergantung lah… Kalo lagunya susah ya susah, kalo gampang ya gampang” aku mencoba menjelaskan tapi kok rasanya sulit untuk dijelaskan.

“Mas, saya kok jadi pingin coba belajar gitar Jazz jugak, biar kalo lagi solo tuh bisa aneh gitu” celetuk Nanang, sang gitaris. Sepertinya itu nama panggilan.
“Di jogja banyak lho gitaris jazz bagus, bisa dicari, terus belajar dari dia” jawabku diplomatis.
“Oh gitu ya mas…” Nanang tampak menerawang ke langit-langit, entah membayangkan apa.

“Sesok kowe ono’ kuliah ora Nang?” bisik Billy, sang vokalis yang keringatnya begitu basah membasahi jersey hijau PSS Sleman yang ia pakai.
“Ah… lali aku, sesok koyo’e ono’ quiz neng kelase Pak Rohmat… Durung sinau blas…” Nanang lantas menepuk jidatnya dengan keras.

“Ahaha… rasa’no… untung aku dosenku sing mata kuliah kuwi dudu Pak Rohmat… Dosenku yo jarang mlebu, jadine asisten wae…. Ra pernah quiz semester iki… Koyo’e langsung UTS…” balas Billy.

Ah, sudah lama tak mendengar orang bicara bahasa Jawa se intens ini, dan bicara soal problem-problem kuliahan. Sepertinya mereka satu lingkungan perkuliahan. Aku hanya menyeruput pelan minumanku, sambil melihat muka sumringah Panji yang tampaknya begitu senang bisa bertemu dengan aku.

“Ah… Jadi kalian ini, temen satu kampus?” tanyaku.
“Ndak mas, yang sekampus cuma saya, Nanang ama Billy..” jawab Panji.
“Satu jurusan kah?”

“Ndak mas, yang sejurusan Cuma’ Nanang ama Billy, ngambil akuntansi… Kalok saya ilmu komputer” senyumnya lebar. Lucu, rocker-rocker muda dengan mata kuliah yang konvensional.
“Kalo Ibam?” aku menanyakan soal si drummer yang dengan malu-malu menatapku dari tempat yang agak jauh.

“Kalo’ dia lagi ndak kuliah mas, taun kemaren ndak ada yang masuk… Maklum, anaknya agak malas” jawab Panji mewakili Ibam.
“Angel su ujian masuke!” umpat Ibam tertahan.
“Iya, jadi dia sekarang kalok ndak jaga warnet ya jaga distro, sambil ngikut bimbel lagi…” seringai Panji, mewakili Ibam.

Lucu. Beda berapa tahun ya usia mereka denganku? Sepertinya lebih dari sepuluh tahun. Lucu melihat keluguan mereka, berbanding terbalik dengan kegaharan mereka di atas panggung. Aku dan Kyoko saling berpandangan, dan dari tatapan kami berdua, sepertinya sudah waktunya untuk pulang ke hotel.

“So… Oke, makasih buat kesempatan ngejam nya ya…” aku tersenyum kepada mereka.
“Oh… Iya mas” kulihat Nanang menjawil-jawil bahu Billy yang masih tertegun melihatku dan Kyoko.
“Jadi, sampe ketemu lagi, makasih lho, gue ga bakal lupa malam ini” tawaku sambil mencoba mengulurkan tanganku, bersalaman dengan Panji.

“Oh, iya mas, kita yang gak nyangka lho, bisa main bareng Mas Arya, idola deh pokoknya” senyum Panji salah tingkah, sementara teman-temannya yang lain tampak saling tatap-menatap dan colek-colekan. Entah kenapa.

“Kamu aja”
“Kamu”
“Kowe”
“Kamu”
“Wis kamu”

Entah kenapa mereka seperti sibuk sendiri dan aku akhirnya bangkit dari kursi bersama Kyoko, bersiap berjalan kembali ke hotel yang jaraknya tidak jauh itu.

“Anu mas” Billy mendadak maju, setelah mengeluarkan sesuatu dari tas.

Nanang mendorong bahunya dengan agak keras, memaksa Billy agar tidak begitu malu dihadapanku.

“Ini mas” Billy memberikan sebuah CD kepadaku. Oh, CD kopian, aku pikir CD Hantaman untuk ditandatangani.

Billy menatap malu ke arahku, dan Panji yang benar-benar tepat di depanku tampak meringis tidak sabar, melihat tingkah Billy.

“Demo kita mas… Monggo didengerin, siapa tau berkenan jadi anu apa….” Billy melanjutkan kalimatnya dengan terbata-bata.
“Itu mas, jadi produser… Siapa tau aja suka… Hehehe” senyum Panji dengan anehnya.

“Oh…” aku mengambil CD kopian yang diberikan Billy, dan lantas aku tersenyum. “Gue dengerin dulu ya, pasti keren sih… Ntar kita kontak-kontakan” senyumku ke mereka.

“Wah, makasih banyak mas, Matur nuwun” Mereka tampak mencoba menyalamiku seperti santri yang mencoba menyalami Kiai yang baru saja selesai memberikan khutbah. Aku bingung harus menyalami siapa dulu. Rasanya seperti guru TK yang dirubung anak TK yang mau pamit pulang ke rumah.

Sepertinya ini akan menarik.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Wedew......
:hore:
Akhirnya di rilis juga mdt sesion 2
:tepuktangan: :tepuktangan:
Keren..........
 
Terima kasih terima kasih terima kasih akhirnya muncul juga versi revisi nya gan..semangat selalu mengeluarkan lanjutan tiap episode nya ya gan. Semoga sukses di real life agan. Cheers.
 
kl ingat tahun lalu rasanya pengen mutilasi aya biar jadi dendeng...thx update nya om
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd