Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

MDT SEASON 2 – PART 45

--------------------------------------------

messy-10.jpg

Kangen.

Kangen dia bilang. She misses me.

Dan kami menghabiskan setengah jam hanya dengan diam. Aku hanya meluruskan kakiku, duduk di atas kasur, bersandar ke bed head. Dia memelukku dari samping, membenamkan kepalanya di dadaku. Dan kami diam tanpa bahasa. Diam yang sungguh-sungguh awkward. TV kunyalakan tadi. Bunyinya tidak karuan. Entah menyetel apa dan aku tidak tahu saluran apa yang dipilih. Aku menatap ke sudut kamar, tanpa fokus yang menentu.

Kangen katanya.

Jujur, pikiranku pada saat ini bukanlah hal-hal liar seperti biasanya. Melihat dia bertingkah laku seperti ini aku malah tidak nyaman. Rasanya ingin cepat-cepat pergi. Menghabiskan beberapa ratus ribu untuk menyewa kamar di budget hotel hanya untuk peluk-pelukan seperti ini? Kami bahkan tidak mengobrol .dia diam dengan tenang sambil memelukku dan dia terlihat cukup nyaman. Badannya menempel, seperti tidak mau lepas. Matanya tertutup, dan ada perasaan lega yang terpancar dari mimik mukanya.

Kontras denganku yang tampaknya sudah gatal ingin pulang. Jujur, kalau seperti ini aku merasa terjebak. Ternyata pikiranku dengannya hanya mentok di urusan perut kebawah saja. Perasaanku sekarang tak nyaman. Kepalaku berputar-putar di sekitaran daerah radio dalam. Muka-muka orang-orang terdekatku berseliweran di kepalaku.

Kebanggaan macam apa yang didengungkan oleh Stefan, Kang Bimo dan Kang Wira?

Harus sebanyak apa aku nakal di luar hubungan pernikahanku sehingga semuanya jadi terasa wajar? Rasanya ada yang tidak beres.

Dan aku masih penasaran, apa yang sebenarnya ada di kepala ayahku dulu? Apakah dia juga merasa tak nyaman? Apakah ada hal yang mendorongnya untuk berbuat seperti itu? Apa tapi? Dan kenapa dulu aku tidak mau tahu? Kalau saja aku tahu, mungkin aku bisa menghindarinya. Kalau saja aku paham apa penyebab semua perpecahan di keluargaku dulu, bukan tidak mungkin aku bisa memperbaikinya, ataukah mungkin aku bisa menanggulanginya sekarang.

Arwen malah membuka matanya, menatap mataku dengan lekat dan dia tersenyum.

“Maafin aku ya Mas.... Gak dateng kemaren” bisiknya dengan senyumnya yang manis.
“Gak papa, kamu kan gak bisa.....” balasku dengan datar. Aku tidak bisa berekspresi saat ini. Entah kenapa semuanya salah.

“Iya, maaf banget..... Padahal aku mau banget nonton” Dia bangkit dari pelukanku dan menatap mataku erat. Dia tertarik pada bibirku dan menciumnya dengan ringan. Dia lantas memeluk leherku dan kami berguling pelan, saling berciuman.

Rasa ciuman yang hambar.

Nafsu seksualku hilang entah kemana, padahal objeknya ada di depanku. Cuma karena dia sedang berhalangan dan dia bilang ‘kangen’ rasanya semuanya jadi gelap. Ada sesuatu yang menarik Arwen untuk menjadi seperti ini. Dan aku terjebak. Harusnya aku tidak terlalu baik padanya. Harusnya setelah Jogja aku meminta maaf, langsung. Harusnya aku tidak menciuminya dengan cara mesra setiap kami berhubungan seksual. Harusnya kita tidak mandi bersama. Harusnya kita tidak berendam di bathtub itu. Harusnya kita tidak bergandengan di lift atau di Singapura. Harusnya kita tidak saling bermesraan.

Tapi telat. Dia tampaknya sudah terjebak dalam perasaan dan pemikirannya. Dan aku tidak bisa begitu saja memutuskan untuk meninggalkannya. Ini akan merusak dirinya, menghancurkan hatinya seperti Kanaya dulu mungkin? Tidak, initidak seperti Kanaya. Ini lebih parah. Ini bukan Kanaya edisi dua, ini malah lebih seperti Chiaki edisi dua, dengan aku ada di tempat Stefan sekarang. Mungkin ini yang dirasakan Stefan ketika dengan Chiaki dulu.

Salah langkah. Harusnya aku firm saja. It was a mistake, jangan lakukan lagi.

“Harusnya saya gak ada disini sekarang” bisikku ke Arwen. Dia tiduran telentang, aku ada di atasnya, dia masih memeluk leherku, menatapiku dengan mata berbinar-binar.
“Maaf” dia menelan ludahnya.

“Mending kita pulang sekarang” bisikku.
“Kenapa?”
“Gak tau... Something doesn’t add up...”
“Tapi...”
“Tapi kenapa?” potongku sambil kembali duduk di pingir kasur, memegang tangannya dan menyingkirkan tangannya dari leherku dengan lembut.

“Kita udah dua minggu gak ketemu...” bisik Arwen, ikut bangkit sambil bersandar di bahuku.
“Iya” jawabku pelan. Ingin rasanya kabur, tapi aku tidak boleh seperti itu, berani berbuat harus berani bertanggung jawab.

“Mungkin kita gak bisa ngapa-ngapain sekarang, maaf aku gak ngasih tau dulu, tapi aku pengen banget ketemu Mas Arya.... Dan cuma dengan cara ini aku bisa ketemu sekarang...” bisiknya. “Aku gak bisa lagi mungkin dateng ke Mitaka.... Aku pernah cobain dateng kesana, tapi aku gak kuat liat....”
“Liat Kyoko?”

Dia mengangguk pelan. “Liat kalian berdua” bisiknya.

Shit. Apa-apaan ini.

“Kapan itu?”
“Beberapa saat setelah Jogja” bisiknya. Ada apa sebelum kejadian di radio dan setelah Jogja? Kenapa aku baru tahu sekarang. “Aku ke Mitaka... Dan aku liat kalian disana, lagi ngobrol. Biasa, seperti aku liat kalian dulu. Tapi aku malah mundur......”

Aku malah menelan ludahku. “Maafin aku, tapi aku pengen banget liat Mas Arya”
“Gak kayak gitu caranya” balasku.

Kami berdua terdiam. Dia duduk di sebelahku, dan dia memeluk tanganku erat, sambil menyandarkan kepalanya di bahuku. Bukan. Bukan menyandarkan kepalanya. Lebih tepat kalau dia membenamkan mukanya di tanganku.

“Kenapa kita jadi kayak gini?” tanyaku dengan nada datar. Dia menjawab dengan gelengan kepala. “Harusnya yang di jogja ga pernah ada” bisikku. Dia cuma diam. Tidak bersuara, masih tetap mendekap tanganku erat. “Dan kita harus pulang, this is getting nowhere”

Dia menggelengkan kepalanya.

“Arwen...” bisikku langsung ke telinganya. Dia hanya menggeleng. Malahan dia makin erat memeluk tanganku. Tidak. Jangan langsung berdiri. Tahan emosimu Ya. Jangan sampai melukai dia lagi. Harus ada cara yang lebih baik untuk melepasnya. Minimal melepas dirinya dari tanganmu dan kita berdua bisa pulang dengan baik-baik.

“Kita gak boleh kayak gini.... Ini udah kejauhan...” lanjutku dengan nada bicara yang benar benar datar.
“Aku tau”
“Kita harus pulang sekarang. Kita bisa ketemu lain kali.... Dan mungkin nanti, kita bisa kayak sebelum Jogja lagi....” ya, mungkin itu kata-kata yang tepat. Tapi rasanya susah sekali untuk diucapkan.

Dia hanya menggeleng sambil memeluk tanganku erat. Aku menarik nafas panjang sekali. Aku tutup mataku dan kulanjutkan bicaraku.

“Kamu tau kan, kalo sejak Jogja, hubungan kita berdua jadi ga bener?”
“Aku tau...”
“Jadi kayaknya..... Kita gak boleh kayak gini lagi....” bisikku dengan berat. Berat sekali rasanya mengucapkan itu.

Lagi-lagi dia menggeleng. Aku terpaksa memegang kepalanya, mengelus rambutnya dengan tanganku yang bebas. Aku menempelkan bibirku di rambutnya dan menghirup aroma rambutnya.

“Kenapa?” bisikku.
“Gak tau. Aku cuma pengen ketemu” jawabnya. Bicaranya pelan, namun terdengar emosional.
“Tapi gak kayak gini lagi caranya.... We have to stop...”
“Terus aku gimana?”

“Gimana apanya?” tanyaku balik.
“Aku sama siapa?”
“.....” aku terdiam. Aku menunduk dan aku tampaknya berkedip lebih banyak daripada seharusnya.

“Gak tau, tapi bukan sama saya.....” bisikku sambil berusaha memegang pipinya dan mengangkat mukanya. Aku menatap matanya yang dari tadi bersembunyi. Matanya tampak mulai berkaca-kaca. Pipinya tampak memerah.

“Please.... jangan ngomongin itu dulu..... Kasih aku waktu, sebentar aja.... Aku masih pengen disini sama Mas Arya....” mohonnya.
“Tapi...”

Dia membalas “tapi” ku dengan gerakan kepalanya. Dia menggeleng lemah. Dia tampak rapuh. Ya, aku sudah mematahkan sayapnya sepertinya. Dan sekarang dia tak bisa terbang. Matanya seperti bicara ‘tolong jangan pergi’.

“Yaudah...” aku menyerah. Dia lantas beringsut, naik ke pangkuanku dengan perlahan. Kakinya melingkari pinggangku dan dia memelukku dengan kencang. Kepalanya bersandar di kepalaku, dan bisa kurasakan degup jantungnya yang kencang, nafasnya yang panas. Dia menempelkan pipinya di leherku. Dan kami kembali diam. Hening. Hening tanpa suara.

Aku menutup mataku dan berharap aku tenggelam dalam gelap ketika aku membuka mataku nanti.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

yolo-i10.jpg

“Kampret” komentar Stefan menatapku tajam. Aku baru saja menceritakan kejadian pertemuan terakhirku dengan Arwen.
“Gitu situasinya...”
“Harus mulai lo lepas men, saatnya ganti cewek” seringainya tanpa malu-malu, memberikut ide buruk. Ide paling buruk yang pernah kudengar seumur hidupku.

“Gak. Gak mau lagi... Berat banget rasanya” Kami berdua sedang berada di Setiabudi Building, menunggu Anin, Ilham dan Rendy yang akan datang menyusul kami, untuk makan siang bersama. Makan siang sekaligus bicara soal rencana video klip. Dan tempat ini sengaja kami pilih karena dekat dengan kosan Rendy. Tapi Rendy katanya ada pekerjaan yang harus dibereskan terlebih dahulu. Anin dan Ilham masih di jalan.

“Yaudah, lo tinggalin aja, gampang kan” senyum Stefan.
“Gampang apanya?”
“Tinggal lo bilang, sori, gak usah ketemu lagi, kita kejauhan, bye, see you when i see you”
“Jahat banget”

“Abis gimana, dia udah mulai clingy Ya, lo nganggep dia sebagai temen tidur, dia nganggep lo sebagai harapan. Itu salah, jangan-jangan ntar jadi kayak Chiaki kalo lo ladenin terus...” Stefan menyalakan rokok. Untung saja di restoran ini ada area merokoknya.
“Gak bisa, gak bisa segampang itu, harus pelan-pelan, lo harus liat mukanya Fan, gak tega gue” balasku.

“Itu kelemahan lo. Terlalu baik sama cewek. Udah, cut. Selesai. Sekarang gue serius, kalo lo emang kapok, udah, cut... jangan dipanjang-panjangin”
“Selama ini gue ga pernah tau rasanya jadi bokap gue, mungkin kayak gini ya rasanya? Stress, berat, dan bawaannya mau marah terus.... Dan semua yang ada di rumah jadi pelampiasannnya dia....” lanjutku.
“Bisa jadi, udah Ya, lo cut aja si Arwen, cewek begitu mah gampang kalo mau cari cowok beneran, serius deh”

“Iya, tapi harus dengan cara yang tepat Fan, gue gak mau dia kenapa-napa”
“Telat, dia udah kenapa-napa, haha...”
“Ah..”
“Buruan makanya, daripada ntar dia sengaja bikin lo keluar di dalem, terus dia tekdung, atau dia mulai posesif gak puguh, sekarang masih sopan dia kayaknya, karena dia tau, lo gak mungkin pisah sama bini lo kali, dan lo pake alesan bini lo juga bisa buat nge-cut...” balas Stefan.

“Lo mesti liat muka dia Fan, pas dia ngomong kalo dia gak kuat ngeliat gue bareng sama Kyoko. Gak tega sumpah, makanya gue harus nge-cutnya dengan cara yang gak bikin dia tambah ancur....” bisikku sambil melihat ke arah koridor, siapa tahu orang yang kami tunggu sudah datang.

“Lemah”

“Apa lo bilang?”
“Lemah... Kelemahan lo ini, perempuan. Kalo buat elo dia cuma buat jadi tempat nyuci titit lo... Lo harusnya perlakuin dia kayak gitu, bukan perlakuin dia kayak pacar, bego” ucap Stefan dengan tajam, sambil mematikan rokoknya dan membakar sebatang lagi.

“Kayak pacar?”
“Kanaya yang cuman lo tidurin sekali aja lo perlakuin kayak pacar, lo anterin dia balik, lo dengerin dia curhat, lo ngegele bareng, lo main sama dia... Ini pasti lo kayak gituin juga... Walau lo gak cerita detail ke gue, tapi gue tau, pasti lo anterin dia ke sana-sini, abis lo ewe pasti lo sayang-sayang kan? Dan lo bilang kalian berdua mandi bareng tanpa ngewe? Gue kenal elo men, dan gue tau cara elo memperlakukan perempuan kayak gimana, nah... Yang ini, selain lo gituin juga lo entotin, wajar aja kalo dia jadi kayak gitu...”

“Ya tapi....”
“Gak pake tapi. Makanya, udah, lo cut. Selesai, perkara dia mau nangis teriak-teriak juga biarin. Pake aja alesan bini, paling dia gak berani, cewek itu pemikirannya kompleks men, kalo lo kayak begituin terus, dengan cara pikir mereka yang ajaib mereka jadi posesif, mereka jadi manja.... Kalo lo mau nakal, jangan lo baik-baikin” kalimatnya benar-benar memberondong perasaanku, tersayat-sayat aku jadinya. Tapi benar. Yang Stefan katakan itu benar, dan aku tidak berhak marah jadinya.

“Ada yang gak gue ceritain ke elo Fan...”
“Soal?”
“Singapur”
“Apa?” tanyanya dengan penasaran.

“Sabtu malem. Habis dinner. Dia entah kenapa nyetel lagu yang dia request ke gue waktu pertama kali kita kenalan, yang waktu bareng sama elo di tempat Zul itu”

“Oh... Terus?”
“Entah kenapa gue emosi pas dia nanya itu, jadi gue gelap mata, gue nyerang dia.... Entah kenapa rasanya kayak pingin merkosa dia...”
“Dan?”
“Dia kaget, takut, lari ke kamar mandi.... Di kamar mandi gue datengin dia nangis... Dan akhirnya gue minta maaf, gue tenangin dia dan gue gendong ke kasur.....” berat rasanya cerita seperti itu ke Stefan.

“Oh, dan sebelumnya.... Dia keceplosan manggil gue sayang....”
“.....” Stefan menatapku dengan muka aneh. Dia lantas tertawa tanpa suara.

“Mampus lo” Stefan membetulkan posisi duduknya dan menatapku, dia menaruh rokoknya di asbak dan memulai kalimat panjangnya.

“Dia kayak stockholm syndrome sama elo... Lo lukain dia, lo kasarin dia, terus lo sayangin lagi, lo pake asal-asalan, lo bikin dia cuman jadi pemuas nafsu elo, terus lo mesra-mesraan sama dia.... Perfect, ni cewek bakal jadi lebih parah dari Chiaki gue rasa... Makanya lo harus cut. Sekarang”

“Yang ngecut Chiaki bukan elo Fan” balasku. “Bagas” aku lantas menunjuk muka Stefan. “Dan gue gak bisa pake cara elo yang langsung main putus-putusin aja. Dia orang juga.... Dan dia punya perasaan.... Jadi biarin gue ngelepas dia pake cara gue”
“Tolol. Kalo gak lo tegasin, dia bakal makin-makin” Stefan duduk condong ke depan, menatapku lekat-lekat dengan matanya yang tajam.

“Tapi dia orang. Dan gue bakal perlakuin dia kayak orang”
“Terserah, tapi kalo pake cara elo, kayaknya dia gak akan bisa lepas dari elo dan makin parah. Percaya gue Ya” dia menatap tajam ke arahku. Aku menangkupkan kedua tanganku di depan bibirku, menatap ke mata Stefan dengan dalam.

“Akhirin ini sekarang, soalnya gak bakal ada Bagas yang bakal bantu elo buat misahin dia dari elo.”
“Gue tau. Tapi gak pake cara elo. Gak manusiawi buat dia”
“Dia paling bakal nangis berapa lama sih, sebelom dia bakal ketemu cowok baru dan lupa sama elo Ya?”

“Gue punya cara sendiri. Gue bukan elo. Dan dia bukan cewek mainan elo” nada bicaraku meninggi.

Stefan hanya diam. Rasanya kami berdua akan bertatap-tatapan untuk selamanya. Dan aku masih akan tetap memperlakukan Arwen seperti manusia, dan berpisah dengannya secara baik-baik.

Ini yang membedakanku dengan kalian, Stefan, Kang Bimo, Kang Wira, ataupun ayahku. Aku masih berhubungan dengan manusia dan aku akan bicara, memperlakukannya dengan layak. Dan harusnya tidak ada yang akan terluka lebih dalam lagi. Tunggu saja.

“Eh sori lama!” mendadak kami berdua dikagetkan oleh Anin dan Ilham yang baru saja datang. “Rendy mana?”
“Belom dateng” jawabku pelan sambil tetap menatap Stefan. Stefan juga masih menatapku.

“Padahal paling deket ya rumahnya” Ilham mengambil tempat duduk dan kami berempat kemudian duduk.
“Kosan” jawab Stefan pelan.
“Masih ngekos dia? Kan udah kawin? Anggia tinggal disana juga?” tanya Ilham bingung.

“Iya, kebayang gak lo, tinggal berdua di kamar kos, romantis abis hahaha” tawa Anin sambil mengeluarkan rokok dari saku celananya dan mulai membakarnya.
“Anggia kan...” Ilham menekuk jidatnya.
“Anggia kenapa?” tanyaku, dan aku masih merasakan ketegangan antara aku dan Stefan.

“Anggia kan.... anak orang tajir banget?” bingung Ilham. “Kok mau tinggal di kos-kosan, bedua, pasti sempit deh... Ntar kalo udah punya anak gimana?”
“Kan orang tuanya yang tajir banget” jawab Stefan, dia mengeluarkan sebatang rokok, membakarnya dan dia sepertinya berusaha membuang muka dariku. Aku juga. Tidak nyaman rasanya kali ini. Apa yang ada di pikiran Stefan jauh dengan apa yang ada di dalam kepalaku.

Dia manusia. Arwen manusia. Dia punya perasaan. Yang kami lakukan berdua ini salah, dan aku ingin menyudahinya, tapi dengan cara yang baik. Aku tidak ingin ada yang terluka lagi. Mungkin aku dulu tidak memperhatikan perasaan Kanaya, dan melukainya. Aku tidak boleh mengulanginya, apalagi kalau menghindarinya ala-ala Stefan Chiaki kemarin di Jepang.

“Hebat berarti Anggia ya, gue juga pengen punya bini yang mau ngikut suaminya kemana aja gitu... Gak gengsian” Ilham mengangguk-ngangguk sambil mengelus-ngelus dagunya sendiri.
“Rendy gitu loh” puji Anin.

“Kenapa gue?” mendadak Rendy muncul dengan nafas ngos-ngosan, sambil menatap ke kami berempat yang menunggu.
“Eh... Anu... engga, nanyain kok elo gak dateng-dateng padahal paling deket dari sini tempat tinggalnya” senyum Anin aneh dengan canggung, menutupi fakta bahwa tadi kami barus aja membicarakan soal dirinya.

“Oh... Hahaha...” Rendy tertawa, dan langsung duduk di kursi, membuka laptopnya. Dia mengatur nafasnya dan menarik nafas panjang, untuk memulai pembicaraan siang ini. Dia lantas tersenyum dan menatap kami berempat.

“Ok, shall we begin?”

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Kalo gue perhatiin itu kayaknya kyoko itu cewek yg terlalu sempurna, knp kok bisa2nya diselingkuhin itu lho, gak hbs pikir gw. Save kyoko
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd