Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

seandainya ini kisah harem, setress Arya ga akan seperti ini :papi:
 
Sutepan juga bilang apa ....
...
Harus Bagas yang turun tangan ...

:p;):p:D
 
Sutepan juga bilang apa ....
...
Harus Bagas yang turun tangan ...

:p;):p:D
 
Tinggal nunggu Ai ngambek karena si Arya curhat soal si new monster.. setelah itu baru the real new MDT revive :beer:
 
QUOTE]MDT SEASON 2 – PART 49[/QUOTE]

--------------------------------------------

img-2011.jpg

Aku berdiri di lapangan Gasibu. Disorot oleh sebuah kamera DSLR dari bawah. Gitar yang kutenteng pura-pura kumainkan. Beberapa pasang mata yang lewat ada yang memperhatikanku sejenak, ada juga yang tak peduli. Tapi terik matahari peduli. Setiap take yang berikutnya aku harus menghapus keringatku, dan tak jarang aku dimake-up sedikit di antara jeda, katanya agar mukaku tidak terlihat terlalu mengkilap di video.

Capek?

Capek pasti. Yang namanya syuting video klip itu pasti selalu capek, karena aku harus mengulang-ngulang hal yang sama beberapa kali. Pura-pura main gitar, dengan sudut pengambilan gambar yang berbeda-beda. Walau sudah pasti lebih capek live show, tapi tetap saja, terik matahari benar-benar mengganggu kenyamananku.

Stefan dan yang lainnya tidak ikut pengambilan gambar hari ini, karena memang kami dishoot di hari-hari yang berbeda. Besok Bagas dan lusa Anin. Bagas sudah pasti diam saja di tempat kami menginap. Anin dan Stefan main ke rumahnya Kang Bimo, yang juga merangkap toko vinyl.

Pengambilan gambar sudah dilakukan dari tadi pagi jam 9. Sekarang sudah jam 12. Kata Rendy, dia mau sekali lagi mengambil shotku dari jauh. Aku menurut saja apa kata pak sutradara.

“Oke, cut!” teriak Rendy saat dia sudah selesai mengambil gambarku. Dia menyerahkan kamera DSLR itu ke salah seorang kru yang bertindak sebagai Loader. Orang yang tugasnya memindahkan file dari SD Card kamera ke laptop ataupun hardisk portable.

“Makan dulu sana Ya” senyum Rendy sambil meregangkan badannya.
“Panas gila” keluhku sambil menerima handuk yang diberikan oleh Rania untuk menghapus keringatku.

“Ntar abis ini di touch up dikit ya mukanya? Udah keringetan gitu” ujar Rania sambil berjalan bersamaku ke arah mobil yang diparkir. Mobil yang mengangkut kami semua ke Lapangan ini dari tempat kami menginap.

“Iya” jawabku pelan, mengutuk panasnya siang ini.

“Tar pas Mas Anin gimana ya? Mbak Santi kemaren ngomel-ngomel, katanya mukanya berminyak banget gitu, ntar mengkilap banget kayak coro kali di video kalo gak di make up terus-terusan” tawa Rania, menertawakan kondisi muka Anin.

“Resiko dia itu sih” Mbak Santi yang disebut-sebut adalah make up artist sesungguhnya dan dia yang akan banyak mendandani Ai nanti. Kalau sekarang, cuma untuk agar muka para personel Hantaman terlihat segar dan baik di rekaman, Rania saja sudah cukup.

Rania baru lulus kuliah. Dia kuliah komunikasi di salah satu kampus swasta di Jakarta. Sayang sekali dia tidak berminat untuk berkarir di bidang kuliahnya. Dia lebih tertarik di dunia mendandan-dandani orang, baik untuk keperluan pernikahan, pesta, syuting, ataupun hal yang sejenisnya. Intinya kuliahnya salah jurusan. Sayang aku tidak bisa menilai sejago apa karyanya, karena instagramnya isinya kehidupannya sehari-hari dan perannya disini cuma membantu Mbak Santi.

Sesampainya di mobil yang kami gunakan, seorang kru yang ikut dari Jakarta memberiku sebuah kotak berisi makanan. Tak pakai lama aku duduk di dalam mobil sambil membuka dan melahap isi kotak tersebut.

“Laper Ya?” tanya Mas Boy, suaminya Mbak Santi, seniornya Rendy di dunia persyuting-syutingan. Orang ini sudah berpuluh ratus kali jadi sutradara iklan dan video klip. Tapi dia tidak pernah merambah ke sinetron atau film layar lebar.

“Laper mas, dijemur kayak tadi masa gak laper, gimana ya kalo jadi paskibra, bisa mampus kayaknya gue” candaku.
“Dibawa santai aja, toh tinggal satu shoot lagi kan” dia menyalakan rokoknya sambil menatapku yang sedang lahap makan.

“Santai selalu Mas” jawabku sambil tersenyum.

Bohong.

Mukanya aja yang santai. Tapi di dalamnya lagi bergejolak dengan hebat. Aku masih mengingat pesan dari Arwen semalam. "I really-really miss us. You’re the only one I had. Tell me where are you now…. I want to be with you..... Please…." dan aku mendiamkan pesan itu untuk beberapa lama. Hingga akhirnya aku membalas, bahwa aku sedang di Bandung, sedang syuting video klip, dan aku memperingatkannya, jangan mengirim pesan seperti itu.

Dan seperti yang bisa ditebak, dia menawarkan diri untuk menyusulku di Bandung, menemaniku barang semalam, sebelum nanti Kyoko datang bersama adikku dan Anggia. Tapi tidak. Aku menolaknya. Aku bilang kalau aku tidak ingin bertemu dengan dirinya dalam kondisi seperti yang dia deskripsikan.

Arwen lantas menyerah, tapi sepertinya untuk saat ini saja, karena aku masih ingat jawabannya atas penolakanku. “Ok… Aku tunggu di Jakarta. Can’t wait to hug you again….”

Dan aku tidak menjawab lagi. Jujur aku jadi bingung, kenapa dia jadi berani berkata seperti itu padaku? Kenapa dia berani? Kenapa? Dan aku baru saja tersadar, dia sedang dipermainkan oleh keinginannya sendiri . Dan sejak dari Singapura, dia tidak pernah memberiku foto-foto seksi lagi. Dia selalu memberiku foto selfie dengan ekspresi kangen, dan yang paling parah mungkin semalam, dimana dia memberikan fotoku berdua dengannya. Layaknya orang pacaran.

Aku jadi bimbang, apakah aku harus langsung menghilang dari hadapannya? Apakah Stefan benar? Apakah aku harus langsung kabur dan lenyap? Tapi aku terlalu kasihan untuk memperlakukannya seperti itu. Aku tidak mau seperti Stefan dulu juga, yang menghilang tiba-tiba ketika Chiaki sedang mencarinya. Bisa jadi seperti Chiaki mungkin dia. Atau juga mungkin lebih parah. Atau entahlah.

“Mas, minum” tegur salah seorang kru yang memberiku sebotol air mineral, membuyarkan lamunanku.

Ah sial. Aku jadi lemah. Apakah benar kelemahanku adalah perempuan? Apakah aku terlalu baik kepada mereka? Apakah aku tolol? Apakah aku terlalu memikirkan win win solution?

Dan apa yang Arwen harapkan? Jelas dia tidak bisa memilikiku. Dia pasti terbawa perasannya. Dia memang tidak ekspresif soal feelingnya kepadaku kalau bertemu selama ini. Dan dia baru berani memberi pesan-pesan yang mesra akhir-akhir ini, setelah kejadian di mobil itu.

Ah sial. Dia tampaknya takut kalau aku pergi dari kehidupannya. Dia sepertinya ingin memilikiku.

Pusing. Apalagi malam itu dia turun begitu saja, berjalan di tengah hujan saat aku menolaknya. Itu artinya dia tidak ingin mengindahkan penolakanku dan memilih untuk mendengar isi kepalanya saja.

Pusing Ya, sumpah. Pusing.

--------------------------------------------

45328410.jpg

“Gimana Bandung? Aku udah lama gak kesana”
“Gitu gitu aja”

Aku menjawab chat Arwen yang mendadak muncul sore itu dengan seadanya, dikala aku sedang bersantai di ruang makan rumah yang kami sewa. Rumah tiga lantai dengan banyak kamar, serta kolam renang, ruang keluarga dan ruang makan yang luas. Di pinggir kolam renang sepertinya bisa dipakai untuk mengadakan acara barbeque. Dan memang itulah yang akan kami lakukan di malam minggu. Sebelum syuting terakhir, kami akan mengadakan pesta barbeque.

Anggia yang nanti akan berperan banyak. Kata Rendy, Anggia banyak mencuri resep membuat makanan yang enak, apalagi yang berbahan dasar daging, dari mantan pacarnya, Adrian. Adrian yang temannya Cheryl. Yang kalau kata orang ganteng tajir terus playboy. Entahlah. Aku tak bisa membayangkan rasanya menjadi playboy.

“Kapan-kapan aku pengen ke Bandung” jawab Arwen lagi, entah kenapa kalimat itu seperti memancingku untuk mengajaknya. Yang bisa kulakukan sekarang cuma menutup layar handphoneku untuk menghindarinya. Aku tak bisa menjawab lagi ketika dia memberikan pernyataan seperti itu. Dan sepertinya aku juga tolol, meladeni beberapa pesannya yang terdengar lebih casual, hanya untuk memastikan dia tidak berbuat konyol lebih jauh lagi.

“Arya” tegur Rendy.
“Paan”
“Ke tempatnya Kang Bimo yuk?” ajaknya tiba-tiba.

Aku bangkit dari kursi malas di teras itu dan aku menghampiri Rendy.

“Siapa aja yang mau kesana? “ tanyaku dengan malas.
“Gue sama elo doang, yang laen gak mau ikut, yuk ah, nyusul Anin ama Stefan….”
“Males tapi pengen juga… Harusnya disana sih asik…” jawabku dengan diplomatis.

“Suntuk amat sih elo?” bingung Rendy dengan muka senyum yang tulus.
“Iya…. Capek kali, kena matahari edan-edanan”

Bukan. Bukan cuma itu. Aku sedang memikirkan bagaimana cara yang paling enak untuk melepas Arwen sepenuhnya. Bukannya gampang ya? Dia bukan siapa siapa kamu Ya. Kebetulan kalian bikin kesalahan di Jogja. Kebetulan kalian kebablasan sampai sekarang, mungkin. Dan sekarang rasanya sudah absurd. Aku bingung, yang complicated itu persepsi di dalam kepalaku, atau memang situasinya.

Memang benar yang Stefan bilang sewaktu jalan ke Bandung kemarin. Aku dan Arwen amatiran. Kami tidak bisa menata perasaan kami dan dia selalu saja terbawa suasana. Aku terlalu tolol mungkin. Mungkin gampang bagi orang seperti Stefan, memutus begitu saja hubungan dengan perempuan dan menghilang saat dia ada di situasi seperti ini. Tapi aku pun selalu merasa kasihan setiap kali membayangkan tatapan Arwen kepadaku. Tatapan penuh harap, seakan-akan tiap detik dia bisa menangis.

Dan aku tidak bisa melihat tangisan perempuan. Tangisan Kyoko pada malam itu, masih kuingat, sewaktu aku baru saja pulang manggung, kutemukan dia menangis sendiri di kamar, itu menyayat hatiku. Tangisan Karina, yang menyebabkan kami berdua berhubungan seks pertama kali. Dan tangisan-tangisan dari ibuku maupun Ai yang selalu kudengar pada saat aku masih remaja dulu.

Semuanya menyakitkan. Dan aku secara otomatis selalu berusaha menghentikan tangisan dengan cara apapun.

Entahlah Ya.

Lo lagi ribet. Lo lagi sinting. Sabar, jangan ketemu Arwen dulu. Sama sekali. Tahan-tahan dulu. Ketemunya kalau sudah siap saja. Kalau sudah siap untuk mendudukkan lagi persepsi di kepalanya dan benar-benar menegaskan bahwa kita berdua sudah tidak boleh ada apa-apa lagi.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

“Kasian si Anin mampus” aku menatap ke dalam kamar, melihat Anin sedang dipijat oleh tukang pijat.
“Kenapa lemah gitu sih elo?” tanya Stefan dengan sinis, ikut-ikutan mengintip ke dalam kamar.

Sekarang sudah hari jumat malam, sekitar pukul 9. Anin tampak kelelahan.

“Dia susah banget di shoot nya tadi” keluh Rendy yang sedang santai-santai bersama kami.
“Mukanya minyakan sih, udah bisa kali dia buka pabrik minyak goreng ngegantiin bimoli” ledek Stefan dengan suara keras.

“BANGSAT!” teriak Anin dari dalam kamar. Entah bagaimana reaksi si tukang pijat mendengar teriakannya.

“Bagas juga susah di shoot, mukanya gak ekspresif” Rendy mengeluh lagi.
“Bedanya apa sama video klip yang kemaren?” tanya Stefan dengan penasaran.
“Sekarang gue mau nangkep ekspresi muka kalian masing-masing….. Jadi dua hari ini capek banget, kemaren si Bagas susah banget syutingnya karena mukanya terlalu datar, sekarang si Anin, kelenjar keringetnya kayaknya berlebihan, udah gitu kadang posisi tubuhnya bisa gerak-gerak sendiri, padahal gue bilangin jangan jalan-jalan, jadi deh banyak yang kudu di ulang ngambil gambarnya” nada bicara Rendy terdengar kesal.

“Ya itu namanya syuting video klip, mereka kan bukan aktor, punya kebiasaan yang susah dirubah, karena mereka ga bisa akting” jawab Mas Boy dengan santai, sambil membakar rokok. Istrinya tampaknya sedang di kamar, tadi kulihat dia sedang mengobrol dengan Rania. Kru-kru yang lain entah kemana. Sepertinya jalan-jalan dan nongkrong di seputaran Dago Atas. Biarkanlah mereka bersenang-senang lagi seperti hari selasa malam kemarin.

“Masalahnya Mas, kemaren waktu saya syuting pertama kali sama mereka, gak banyak problem kayaknya…”
“Saya udah liat kan videonya, kemaren itu konsepnya main bareng, jadi mereka lebih luwes… Walau ngerekamnya dibalik, paling cuma salah mencet atau salah jalan aja kan errornya kalo dari cerita elo… Kalo ini karena sendiri-sendiri, dan mereka harusnya kayaknya lagi menghayati main kesepian di tengah keramaian…. Dan Anin gak bisa diem keliatannya… Hahaha…” tawa Mas Boy.

“Iya sih”

“Untung ngajakin gue elo Ren, sekalian belajar ya kan?” Mas Boy tampak bangga. Entah bangga karena apa. Bangga karena Rendy terus berkembang, atau bangga atas pengalamannya sendiri.

“Si monyet kebiasaan heboh sendiri sih” kesal Stefan sambil meluruskan kakinya. Untung saja di dalam rumah ini boleh merokok. Jadi Stefan, Anin, Mas Boy, Mbak Santi dan Rania serta para kru bebas merokok begitu saja.

“Bini gue kapaaan ini nyampenya” kesal Rendy, menunggu kabar dari Anggia.
“Macet keles” jawabku dengan asal.
“Dah lama gak denger orang nyebut keles” Stefan tampak santai.

“Coba gue liat kabar dari Kyoko” aku tidak mempedulikan komentar bercandaan Stefan tadi.

Aku melihat chat history di handphoneku. Ada dua chat yang masuk. Satu dari Kyoko. Aku baca terlebih dahulu. “Kilometer 72 katanya, sekitar 15 menit yang lalu” aku memberitahukan posisi mereka di forum. Setelah itu tidak ada keterangan lagi, mungkin dia tertidur di mobil. Dan sepertinya sekarang giliran Anggia yang menyetir ke Bandung, gantian dengan Ai. Mungkin Ai juga tidur, karena dia tidak membalas pertanyaanku beberapa saat yang lalu, soal dimanakah posisi mereka berada sekarang.

“Ih masih kira-kira sejam lebih lagi dong datengnya?” kesal Rendy.
“Sabar kenapa sih?” Stefan berkomentar dengan nada sewot.
“Kan kangen gue sama Bini…. Itu lah bedanya kalo dah kawin, biar ketemu tiap hari, lo tetep kangen terus” balas sang sutradara.

“Ahahaha, masih honeymoon period ya?” tawa Mas Boy. Ya, memang, Rendy baru saja menikah dengan Anggia sehabis lebaran kemarin. Masih hot-hotnya mereka. Mendadak aku tersenyum kecut. Harusnya aku masih hot-hotnya dengan Kyoko. Memang sih. Tapi ada hal hot yang lainnya. Arwen. Dan itu menjijikkan kalau dipikir-pikir.

Oh iya, masih ada satu pesan lagi di media sosial yang belum kubalas. Duh. Kenapa anak ini tumben-tumbenan ngechat di luar dm instagram.

“Busy? Aku siaran malem hari ini…. Gimana syuting hari ketiga?” tanya Arwen di media sosial, yang membuatku pusing. Sejak aku di Bandung, jadi banyak pesan dari dirinya. Dan tidak lewat instagram lagi. Dia sudah mulai masuk ke line, yang kami tinggalkan sejak kami menjalani hubungan yang aneh ini. Pesan-pesan yang masuk semacam menanyakan kabar dan kesibukanku, lalu memberitahu kegiatannya. Lalu pesan-pesan kangen yang implisit.

Gila. Hampir semuanya tak aku balas sama sekali, dan yang mood kubalas cuma yang netral-netral saja. Tiap ada pesan masuk darinya, aku jadi merasa merinding. Karena dia makin lama makin merayap masuk ke dalam kehidupanku. Waktu di awal-awal, setelah kejadian di radio dan Jogja, obrolan kami di media sosial terutama instagram adalah cuma janjian bertemu. Dan sejak kejadian di mobil itu, pesan-pesannya jadi ganas dan sporadis.

Entahlah. Yang kuinginkan sekarang cuma bertemu dengan Kyoko yang benar-benar kurindukan dan mencari solusi yang tepat untuk melepas Arwen dengan aman.

“Kamu dah dimana sekarang?” tanya Rendy mendadak, dan dia sedang menelpon Anggia lewat speakerphone.
“Apaan sih nelpon nelpon…. Lagi nyetir tauk!” bentak Anggia dari seberang sana.
“Di km berapa tapi? Yang laen pada tidur ya?” tanya Rendy lagi.
“Lagi nyetir! Ntar kutelpon kalo dah sampe gerbang Pasteur!” cekrek. Suara telponnya selesai.

“Kasian ya” bisik Mas Boy ke Stefan.
“Kasian”

“Ngapain lagian ditelpon sekarang Ren?” tanyaku dengan muka garing.
“Ya penasaran aja kali…”

“Ahahaha…. Penasaran malah disemprot” tawaku sambil memperhatikan media sosialku. Karena tidak tahu harus membalas apa ke Arwen, aku memilih untuk mendiamkannya dulu. Mungkin tak usah dijawab.

“Eh ya, ntar coba lo follow up ya” tegur Stefan mendadak.
“Yang kata Kang Bimo?”
“Iya… Ntar kalo harus ketemuan lo aja, kan di Bandung, mumpung lo lagi fleksibel”
“Mumpung lo lagi fleksibel – kesannya ngatain kalo gue lagi pengangguran” aku bercanda miris atas kalimat Stefan tadi.

“Ah taik, gue tau kok kalo lo lagi sibuk” dia mendadak merubah ekspresinya menjadi ekspresi jahil. Aku tahu apa yang dia maksudkan dengan sibuk ini. Pasti urusan perempuan.

Oh iya, soal kata Kang Bimo. Dia mengatakan pada hari rabu kemarin ke Stefan dan Anin, bahwa ada pemodal asal Kalimantan yang mau membuat rangkaian tour di sana, tertarik dengan label Matahari Dari Timur. Entah dari mana dia bertemu dengan pemodal ini. Katanya sih nemu di sawah, lagi guling-guling. Tapi aku tidak percaya, karena orang itu terlalu banyak bercanda.

Si pemodal ini tertarik dengan musik kami dan Speed Demon. Dan ini juga bisa jadi kesempatan untuk semakin menjual nama Speed Demon. Sejauh ini mereka baru manggung – manggung di acara seputaran Jogja maupun Jawa Tengah. Mereka dititipkan kepengurusannya di EO yang kemarin mengurus acara launching album mereka, pakai sistem bagi hasil dengan label kami. Lumayan penghasilannya, bisa nambah-nambahin uang untuk cicilan mobil.

--------------------------------------------

jakart10.jpg

“Kamu capek?” tanya Rendy ke Anggia yang baru masuk ke dalam rumah sewaan ini, sambil menarik koper kecil Anggia ke arah kamar mereka.

“Capek? Masih nanya lagi ih… Ngeselin…. Mbok ya kalo istrinya dateng itu ditawarin mau dipijetin gitu, dipesenin McD gitu, atau diapain gitu, malah ditanya yang udah jelas jawabannya…..” balas Anggia sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Emang mau McD kamu?”
“Ya engga lah…. Kiasan aja… Kalo aku makan McD jam segini ntar perutnya jadi kayak perut kamu Ren…” Anggia menyipitkan matanya yang sudah sipit itu.
“Kan ceritanya peduli” senyum Rendy lebar, selebar perutnya.
“Bodo” balas Anggia sambil masuk ke kamar. “Aku mau tidur….”

Sedangkan Kyoko dan Ai sedang membongkar koper mereka di kamar yang jadi tempat kami bertiga. Di kamar itu ada satu ranjang besar dan satu sofa. Aku bisa tidur di sofa, mereka bisa tidur di ranjang.

Tak berapa lama kemudian, Ai yang masih memakai pakaian kantor keluar dari kamar. Dia menghampiriku dan berbisik. “Mbak Kyoko katanya mau ngomong bedua”

“Eh?”
“Cepetan, dia nungguin tuh”
“Kenapa katanya?”

“Aku gak tau, cuma dimintain tolong manggil aja” senyum Ai. Aku bingung. Ada obrolan apa? Aku agak sedikit was-was, karena kalau dalam situasi seperti ini, artinya dia mau membicarakan hal yang serius. Apakah ada sangkut pautnya dengan Arwen? Entah. Tapi aku tak boleh menghindar kalau Kyoko ternyata tahu dan dia ingin mengklarifikasinya.

Tak ada gunanya berbohong.

Aku berjalan dengan langkah penasaran ke kamar, sambil berharap, yang Kyoko ingin bicarakan bukanlah soal itu.

“Aya” sapa Kyoko dengan senyum saat aku masuk ke kamar dan menutup pintu. Senyum. Berarti bukan soal hal yang buruk.
“Hei, kenapa manggil? Mau ngomong?” tanyaku dengan muka menyelidik. Tak biasanya Kyoko melakukan hal ini, meminta ruang privasi pada orang lain. Hal-hal penting dalam keluarga kami biasanya dibahas sebelum tidur ataupun ketika kami sedang berkesempatan berdua saja tanpa ada orang lainnya.

“Betul Aya, Sekarang Aya duduk dulu disini” senyumnya sambil menunjuk sisi ranjang. Aku menurut dan duduk dengan clueless.

“Apaan nih?” bingungku sambil senyum, karena memang aku penasaran. Kyoko mengambil sebuah amplop besar dari tasnya dan dia memberikan amplop itu padaku.
“Kyoko tadinya ingin bicara sebelum tidur, tapi kita semua tidur bertiga dengan Ai Chan kan Aya, jadi sekarang saja, Kyoko minta waktu berdua dengan Aya” bisiknya sambil mencium bahuku.

“Ini apa dulu?” tanyaku, dan kurasakan degup jantungku makin keras. Apa isi amplop ini, apakah sesuai dengan hal yang mendadak kupikirkan?

“Aya buka dulu, itu kado dari Kyoko”
“Aku kan udah lewat ultahnya” tawaku.

“Iie, bukan, bukan kado ulang tahun, ini kado untuk suami Kyoko yang selalu membahagiakan Kyoko” bisiknya sambil menggenggam pahaku.

Saking penasarannya, aku mencoba membuka amplop itu pelan-pelan, balapan dengan degup jantungku yang perlahan terdengar semakin kencang.

Di dalam amplop besar coklat itu, ada dua buah amplop putih kecil lagi dan sebuah plastik ziplock, yang berisi benda yang tidak asing lagi untukku. Aku mendadak melongo, dan jantungku berdegup makin kencang. Kyoko tampak tersenyum lebar, dengan muka yang sangat antusias.

Kubuka salah satu amplop putih, yang dimana keduanya memiliki lambang yang familiar. Isinya sebuah foto. Kubuka lagi salah satu amplop putih. Isinya sebuah surat. Dengan mata yang membelalak, aku jejerkan ketiga benda itu. Foto itu, surat itu dan plastik ziplock.

“Ini…” ucapku dengan berat. Berat bukan karena hal buruk. Tapi berat karena rasanya ada perasaan yang menggelegar terasa dalam hatimu. Rasanya seperti terbang. Jantungku berdegup makin kencang. Dan rasanya aku sulit membaca surat itu. Walau akhirnya aku bisa membacanya.

“Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan bahwa….. Nama… Nyonya Kyoko Kaede… Umur… 31 tahun… Pada hasil pemeriksaan….” aku menelan ludahku dan rasanya perasaan ini bergelora. Aku melirik ke arah foto tersebut. Foto yang tak jelas, aku tak mengerti itu gambar apa, tapi ada spidol yang melingkari salah satu bagian di foto itu.

Aku pun melanjutkan kalimatku.

“Pada hasil pemeriksaan…. Pasien dinyatakan… Hamil… Kurang lebih dua minggu…. Taksiran persalinan…”
“Juli tahun depan, Aya” bisik Kyoko.

“Serius?”

“Serius, Aya, itu fotonya… Dan ini bekas test packnya…..” aku melirik ke plastik ziplock yang berisi dua buah test pack yang bertanda positif.

“Yang bener kamu?” senyumku terpasang lebar, dan aku tak bisa berkedip. Aku memandang Kyoko dengan antusias.

“Aya kan sudah baca surat dokter, juga melihat foto USG – nya…” senyum istriku sambil bergelayutan di tanganku.
“Wah… Bentar… Wah… Aku kok pengen loncat-loncat gini…”
“Aya akan jadi ayah” bisik Kyoko.

“Wow” aku tak mampu berkata-kata lagi. Kyoko hamil. Aku akan jadi ayah. Dan dalam sembilan bulan ke depan, Arya atau Kyoko Junior akan muncul. Atau malah dua sekaligus? Kembar? Hei, jangan kemana-mana dulu pikiran kamu Ya.

“Tolong tahan aku nih, aku mau guling-guling… Hahahahaha” tawaku sambil mencium pipi istriku.
“Jangan Aya, nanti kena tembok” dia membalas mencium pipiku.

“Wah ini harus ngasih tau yang laen ini!” aku rasanya seperti terbang.
“Besok bagaimana Aya, ketika barbeque, supaya suasana mendukung?” bisik Kyoko.
“Setuju!! Apalagi besok ada anak-anak Frank’s Chamber!”

Kami berdua lantas berpelukan, dan aku mencium bibir istriku erat-erat.

“Kamu kapan ke dokternya?” tanyaku penasaran.
“Kamis kemarin Aya”
“Sama siapa?”
“Sendiri… Naik taksi online….” senyum istriku sambil memelukku dengan erat. Aku menyentuh perutnya.

“Di dalam sini, ada anak kita?” tanyaku dengan tolol.
“Ada, Aya”
“Aku gak tau harus ngomong apa lagi… Ini gila… Hahahaha…. Aku bakal punya anak!!” bisikku dengan antusias ke Kyoko.

“Besok memberitahunya pasti Surprise sekali Aya, karena Ai Chan juga belum tahu, Okasan juga belum tahu” bisiknya dengan mesra ke telingaku.
“Jelas…”
“Kyoko sayang Aya” senyumya terlihat sangat sumringah. Dan ini memang momen yang kami berdua tunggu.
“Aku juga sayang kamu, ini buktinya” aku beringsut, dan mencium perut Kyoko. Aku mencium perutnya, berharap ciumanku juga diterima oleh anakku.

Anakku. Kyoko dan Arya akan punya anak.

Dan sekarang, rasanya aku melayang di udara, masalah mendadak hilang, dan euforia benar-benar memenuhi hatiku.

Anak. Aku dan Kyoko akan punya anak.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd