Agen Terpercaya   Advertise
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Berlebihan juga deh lama lama si ai.... dia pengen kakaknya sempurna kayak malaikat gitu? manusia kan tempatnya salah dan dosa...


Thanks updatenya suhu RB :beer:
 
Berlebihan juga deh lama lama si ai.... dia pengen kakaknya sempurna kayak malaikat gitu? manusia kan tempatnya salah dan dosa...


Thanks updatenya suhu RB :beer:
Sangat wajar kok om ai bersikap seperti itu..pengalaman buruk terhadap ayahnya dulu membuat dia begitu..di tambah arya adalah panutan ai dan sering di bangga2kan ke semua orang..taunya sm aja kayak bapaknya..
 
Sangat wajar kok om ai bersikap seperti itu..pengalaman buruk terhadap ayahnya dulu membuat dia begitu..di tambah arya adalah panutan ai dan sering di bangga2kan ke semua orang..taunya sm aja kayak bapaknya..
Awalnya wajar sih, tapi kalo sampe bertahun tahun ga mau maafin dan ga mau dengerin penjelasan kakaknya sih agak berlebihan menurut ane wkwkwk
 
Duuhhh... Ai-chan... Kok malah jadi kayak gini sih.. Harusnya arya bisa cegah sekuat tenaga dia biar gak kabur.. Malah jadi lepas selamanya gitu.. :stress::suhu:
 
Berat,,,,
Karena nila setitik
Rusak susu satu BeHa
:pandaketawa:
 
Penasaran cwe yg digandeng Stefan di Jepang siapa ya,, apakah valentine
 
Penasaran cwe yg digandeng Stefan di Jepang siapa ya,, apakah valentine ??
 
gw kepikirnya kaya yano purple, artis jav kekinian

34075410.jpg
Yano hmmm yummyc, cocokbgt sm yg di imajinasi ane buat arwen :mantap:
Imut2 gemesin gimana gitu.


Ada nih link gamgernya kalo mau, pm aja
 
Bimabet
SEASON 2 – PART 59

--------------------------------------------

sebstu10.jpg

“Masih nginep di temennya ma?” tanyaku malam itu ke ibuku.
“Katanya begitu, ada yang harus disiapkan soalnya besok mau ke luar kota” jawab ibuku dengan muka agak sedikit terlihat bingung.

Wajar kalau bingung. Ini hari kedua Ai tidak pulang. Kemarin, dia pergi, dari rumah dan tidak memberitahukan dia akan kemana kepadaku. Dan di hari kedua, katanya dia menginap di rumah teman kantornya karena ada yang harus disiapkan besok. Panik? Ya, aku panik. Telpon, line, whatsapp, sms, bahkan sampai direct message instagram tidak ada yang dibalas satupun, hanya dibaca saja olehnya.

Dan dia hanya memberitahu ke ibuku, alasan-alasan yang mungkin benar dan mungkin tidak itu. Aku tidak tahu dia tidur di mana dan tidak ada temannya yang benar-benar kukenal. Aku curiga, kalau aku nekat menghubungi salah satu temannya, mungkin mereka malah akan ikut panik. Dan itu tak baik.

Ai menghilang.

“Adik kamu sepertinya lagi fokus sekali dengan pekerjaannya” ibuku menyelesaikan makannya dengan meneguk air dari gelasnya. Aku Cuma mengangguk sambil tersenyum tipis. Bukan, bukan sedang fokus dengan pekerjaan. Dia menghindariku. Dia kabur hanya karena foto di instagram itu. Padahal Arwen tidak ada hubungannya sama sekali dengan pekerjaanku atau apapun.

“Fokus apa tenggelam ma?” aku mencoba sedikit berbasa-basi, agar aku tidak terlihat terlalu khawatir.
“Mungkin adik kamu harus punya pacar atau nikah ya, biar tidak terlalu tenggelam sama pekerjaan…. Sudah mau 30 lho umurnya…….” lanjut ibuku.
“Ya… Aku nikah sama Kyoko aja sebelom aku umur 32 sih, jadi….”
“Ya intinya sih, dia harus sudah pikirkan keluarga… Karir dikejar tidak ada habisnya, lagipula mama rasa dia terlihat sangat jenuh akhir-akhir ini”

Jenuh. Atau mungkin bukan jenuh ma, tapi benci. Benci sama kakaknya. Benci karena kakaknya menjijikkan. Menjijikkan memang. Tapi aku tetap menyesalkan kejadian kaburnya Ai kemarin. Aku sudah tidak ingin lagi ada perempuan lain di pinggir Kyoko. Aku sudah tidak ingin lagi berbuat kesalahan. Dan aku sudah menutup cerita kelamku kemarin, ditambah lagi, sekarang aku sedang antusias dengan kehamilan Kyoko. Aku semakin bersemangat mengantarnya ke dokter, aku semakin senang dengan segala kegiatan yang berhubungan dengan kelahiran anak kami.

Kami berdua bahkan menyempatkan diri belanja baju bayi yang warnanya netral. Jadi nanti, apapun jenis kelamin bayi kami, baju itu akan tetap bisa dipakai. Intinya hal-hal menyenangkan yang sudah pasti akan muncul dari suami istri pemula.

Tapi detik ini, sementara Kyoko belum pulang dari Mitaka, pikiran-pikiran soal Ai menghantuiku.

“Kamu ke Jepang lagi gak ajak adek kamu aja? Kayaknya jatah cuti dia tahun ini belum dipakai lho.... Mungkin dia butuh refreshing..”
“Gak mau kayaknya ma, dia keliatan sibuk kayak gini” ah, pasti nanti kalau aku tawarkan pasti dia tolak mentah-mentah.
“Sayang Kyoko gak bisa ikut ya, padahal dia bisa pulang kampung”

“Dia konsisen banget sih, pengen lima tahun di Indonesia gak keluar-keluar, biar bisa cepet jadi WNI, padahal kalo jadi WNI kenapa juga ya..... apa untungnya buat dia?” aku bertanya pertanyaan yang sulit.

“Mungkin dia ingin jadi orang Indonesia sepenuhnya, biar sama dengan kamu” senyum ibuku. Aku tersenyum balik.

“Ah, gak ada Ai gini jadi inget jaman dulu, Ai suka kabur ke Dian kalo dimarahin Papa….” aku mengenang kenangan buruk jaman dahulu. Jaman dimana Ai suka kabur ke tempatnya Dian, entah naik apa dia kesana dulu, entah kopaja, entah taksi, entah apa, tapi yang pasti dia butuh tempat untuk bernaung ketika ayahku sedang kumat kerasnya.

Mendadak pertanyaan-pertanyaan soal ayahku timbul di kepalaku. Toh, kekacauan di keluargaku bukan hanya akibat ayahku dengan segala gambaran idealnya di kepalanya soal anak-anaknya, tapi juga alkoholiknya, juga dengan semua cerita-cerita soal permainannya di luar pernikahan.

Hal-hal semacam itu selalu kudengar saat kecil dari semua orang yang kenal ataupun mengaku kenal ayahku. Bukankah kaburnya Ai sekarang ini akibat perselingkuhan juga?

“Ma, aku ada pertanyaan besar sekali soal Papa” aku menarik nafas panjang sebelum bertanya. Dan seperti dugaanku, ibuku tersenyum tipis. Entah senyum apa itu, tapi aku sering sekali melihat senyum itu, ketika dia membicarakan ayahku, atau sedang menasihati aku dan Ai soal ayahku.

“Apa itu?”
“Aku belum pernah nanya ini, tapi, aku coba pastiin lagi, apa bener, sebelum dia jadi orang yang aku dan Ai kenal, dia orang yang berbeda?”
“Sebenarnya ada kesamaannya....” senyum ibuku, mencoba menjabarkan jawabannya atas pertanyaanku.
“Maksudnya?”

“Ayah kamu itu orangnya keras, kalau kamu mau tau sekeras apa, coba lihat adik kamu, kira-kira mirip seperti itu..... Dan dia punya gambaran ideal akan dunianya sendiri, jadi dia pasti akan marah, melihat kalian semua tidak ideal menurut dirinya, dan seringkali dia memang menyalahkan mama atas hal-hal yang menurut dia tidak ideal itu.....”

“Ya kayak misal aku gak kuliah di tempat yang dia pengen, mama yang dimarahin kan?”
“Atau kalau kamu pulang ngeband terlalu malam dan kamu gak kuliah” senyum mamaku menjawabnya.

Aku tersenyum kecut.

“Itu namanya nyalahin mama atas kesalahan yang mama gak perbuat, dan itu namanya juga ngasih ekspektasi berlebihan sama anak-anaknya dong ma?”
“Mama gak bilang itu benar, itu salah, tapi mama bisa mengerti kenapa papa mikirnya seperti itu. Dia orangnya tight, dan mudah stress, kamu tahu sendiri kan, pelarian stressnya kemana?”
“Iya, rokok. Minuman. Dan marahin anak”

Ibuku tersenyum lagi dan menumpuk piring makanannya dengan piring-piring lain yang kosong, sambil tetap menatap mukaku yang tampaknya terlihat penasaran.

“Itu tidak adil sebenarnya, tapi mama selalu berusaha sabar”
“Kenapa?”
“Karena mama tahu dia bisa berubah, dia orangnya juga punya banyak sisi baik, yang sayangnya kalian semua tidak tahu......” jawab ibuku.

“Sisi baik? Sayang aku gak kenal dia terlalu lama” aku tersenyum mencibir, karena yang bisa kuingat dari ayahku cuma kekecewaan dan kemarahan. Dan satu lagi. Soal perempuan. Aku cukup banyak mendengar rumor dari orang lain soal ayahku. Soal bagaiana dia senang dan genit terhadap perempuan di luar ibuku.

“Ya, untung mama sudah pernah merasakan sisi baiknya cukup lama, jadi mama selalu punya harapan kalau dia bisa kembali ke dirinya yang dulu, ya kamu tahu kan, pekerjaannya dia cukup menekan papamu dan membuat dia menjadi seperti itu”

“Paham Ma, tapi itu kan bukan pembenaran”

“Memang bukan pembenaran, tapi itu artinya papamu kan sedang terluka, dan binatang yang sedang terluka seringkali mengamuk... Mungkin seperti itu, tapi juga mungkin itu terlalu dangkal, papamu bukan binatang kan?”

Aku cuma tersenyum mendengarkan pembelaan ibuku atas ayahku. Dia memang seperti itu. Dia mungkin masih mencintai Ariadi Gunawan. Tapi aku belum sampai ke inti penasaran yang ada di otakku. Aku, akhirnya, ingin tahu kebenarannya. Dan pembicaraan sudah terlanjur membawaku ke topik ini.

“Dan aku mau tanya.... Ini sebenarnya pertanyaan besarku, yang mungkin baru terpikir sekarang.....”
“Apa itu?” reaksi ibuku membuatnya bertanya balik kepadaku.

“Papa, apa benar... dia.... setidaknya selingkuh? Aku sering dengar hal-hal itu setiap kita kumpul keluarga, lebaran, atau laporan dari Dian... Dia pasti denger orang tuanya ngomongin Papa kan...” aku menelan ludahku. Kalimat itu begitu berat keluar dari tenggorokanku. Rasanya seperti mengorek-ngorek luka lama.

“Ya, mama sudah punya jawabannya soal itu, mama sudah tahu antara kamu atau Ai pasti suatu hari tidak tahan dengan semua berita yang simpang siur itu dan akhirnya mutusin bicara sama mama soal itu” balasnya panjang.

“Yaitu?”
“Papa mu gak pernah selingkuh, nak” senyum ibuku tenang.
“Tapi...”

“Kamu dengar langsung dari mama? Dari papa? Atau dari selingkuhan papa yang orang-orang bilang?” ibuku malah bertanya balik.

“Ya... Aku selalu dengar dari orang lain sih... Tapi masa gak pernah selingkuh? Aku gak percaya... semua orang bilang gitu soalnya....” aku benar-benar heran mendengar penjelasan mamaku. Apakah mamaku terlalu naif? Apa dia sedang denial? Apa dia sedang berusaha menghindar? Ataukah itu memang kenyataan?

“Mama juga sering dengar berita itu, malah ada orang yang mencoba menggunakan berita itu untuk ngambil mama dari papa, biasa, mantan pacar jaman dahulu, mereka merasa gentlemen dan ingin menyelamatkan mama, haha....” tawa ibuku, sepertinya mengenang kenangan yang konyol di masa mudanya dulu.

“Tapi semua orang bilang hal yang sama kan Ma? Papa selingkuh, kesana kemari, main perempuan, dan meninggalnya…. Ya, mama tau kan di mobil ada orang lain, dan kita terpaksa bayar kompensasi ke keluarga perempuan itu?”

“Ya, itu teman kantor papamu”
“Dia terlalu muda untuk jadi teman kantor Papa”
“Mama jamin, tidak ada apa-apa antara mereka berdua” senyum ibuku.

“Serius? Ini Mama bukan sedang belain Papa kayak dulu kan?” tanyaku dengan ekspresi muka yang khawatir.

“Papamu itu terlalu baik sama perempuan orangnya, dan mama tahu sekali itu….. Dan mama tidak masalah dengan sikap yang begitu, walau mungkin kadang-kadang memang terlalu baik…. Sudah berapa banyak teman kantornya, yang suka dia tolong, dan karena memang perempuan, dan segala macam, maka gosip-gosip itu bertebaran….. “ ibuku menarik nafas panjang sambil menatapku yang sedang heran.

Jujur, aku kaget. Ini pertama kalinya kudengar berita baik soal ayahku. Dan berita baik itu datang dari istrinya sendiri. Istrinya yang paling sering ia lukai. Istrinya yang paling sering menjadi sasaran kemarahannya. Aku yang buat masalah, Mama yang dimarahi. Ai yang buat masalah, Mama yang dimarahi. Tapi Mama melakukan itu untuk melindungi keduanya. Untuk melindungi anak-anaknya dan melindungi ayahku juga. Dan sekarang dia jujur. Bercerita dengan jujur ke anaknya yang selalu masa bodo soal masalah ayahnya.

“Jadi….”

“Papamu orangnya memang keras. Pekerjaannya sangat berat dan banyak saingan yang saling menjatuhkan…. Papa galak gak masuk akal? Iya. Papa mulutnya suka kasar? Iya. Papa pemabuk dan perokok juga. Tapi selingkuh, itu bukan ayah kamu….” senyum ibuku, berusaha tetap terlihat tegar walaupun dia menceritakan hal yang getir.

“Jadi…”

“Banyak Ya, teman-teman ayah kamu yang lembur sampai malam, terutama perempuan, dia antarkan pulang, lalu jadi gosip. Stress dengan gosipnya, dia marah-marah. Dan kadang marahnya sampai ke keluarga kita. Dia memang seperti itu, susah ditebak suasana hatinya, dan dia memang bermasalah dengan pekerjaannya….. Seperti mama bilang, dia seperti binatang yang terluka” lanjut ibuku laig.

“Selama ini aku salah?”
“Mungkin iya”
“Jadi aku selama ini Cuma percaya gosip yang gak bener soal selingkuhnya Papa?” tanyaku dengan tidak percaya.
“Mama paham kenapa kamu gak pernah nanya, kamu dan Ai memang sangat sakit hati sekali soal Papa yang selalu saja melihat kalian berdua salah” jawab ibuku, dengan tenang.

Aku menarik nafas panjang. Sesak rasanya. Sesak oleh perasaan bersalah. Aku menyandarkan tubuhku di kursi dan melipat tanganku.

“Jadi aku salah?”

“Mungkin bukan salah, tapi gak tepat saja…. Dan memang mudah menuduh papa seperti itu, karena kalian berdua selalu jadi korban kemarahan Papa kan? Jadi mungkin lebih mudah mengasosiasikan Papa dengan hal-hal yang tidak enak, termasuk isu-isu selingkuh itu…..” lanjut ibuku.

“Aku…”

“Itulah sebabnya, mama selalu percaya kalau papamu suatu saat bisa kembali lagi seperti sebelum menikah. Jadi orang yang tidak seperti itu, dan dulu mama mohon-mohon ke Papamu, supaya pindah kerja ke tempat yang tekanannya jauh lebih nyaman, tapi papamu menolak, karena dia pikir penghasilan di tempat lain tidak sebesar di kantornya yang dulu….”

“Besar sih besar, tapi….”
“Ya setidaknya itu pilihannya dulu, dan mama juga gak bisa salahkan dia atas pilihannya bertahan di tempat yang tidak nyaman seperti itu, jadi ya mau bilang apa….”

“Ah…” aku membenamkan pikiranku di perasaan berdosaku yang cukup besar. Selama ini aku dan Ai selalu menyangka Ayahku adalah tukang selingkuh yang parah. Dan kami menilai dirinya hanya dari gosip, cerita, kabar burung dan hal-hal yang tidak patut dipercayai lainnya.

Memang benar, kebohongan yang diceritakan berulang-ulang, akan jadi kebenaran, terlebih lagi apabila egomu bermain. Kau jadi percaya kebohongan dan tidak ingin mencari faktanya. Dan sekarang, setelah orangnya tak ada, kau tidak bisa memaafkannya lagi dan kini dia jadi pesakitan di dalam kenanganmu untuk selamanya.

Ariadi Gunawan mungkin memang jadi bagian buruk dalam hidupku. Tapi baru kali ini, aku tahu, bahwa dirinya tak seburuk memoriku. Dia tidak pernah selingkuh. Dia tidak pernah mengkhianati ibuku.

Sekarang, satu-satunya orang yang pernah berkhianat dari pasangannya di keluarga ini hanya satu orang. Yaitu aku. Hanya aku saja. Aku tersenyum kecut, menghina diriku sendiri dan kini, dosaku sudah terpatri dengan tegasnya di dalam hati Ai. Aku melukainya. Dan kali ini, aku benar-benar melukainya. Karena luka yang diberikan soal cerita perselingkuhan ayahku, hanyalah luka palsu semata.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

makam_10.jpg

Aku berjalan dengan langkah gontai, di tengah panas terik itu. Sepertinya aku salah kostum. Kemeja Flanel tidak cocok di bawah terpaan sinar matahari yang kuat, rasanya seperti neraka bocor.

Aku menenteng helmku, dan dengan tololnya aku mencari blok yang tepat. Aku belum pernah kesini lagi setelah pemakamannya. Aku memakamkannya dengan kesal, dan aku bersumpah, tidak akan pernah menginjakkan kakiku lagi kesini. Tapi sekarang aku langgar sumpahku, karena sumpahku menjadi tidak sempurna. Aku telah bersalah. Aku dan Ai telah bersalah ke Ayahku, menuduhnya yang tidak-tidak, hanya dari gosip, hanya dari cerita di belakang, yang aku tidak pernah klarifikasi ke siapapun. Andai saja sewaktu dulu aku berani menanyain ibuku soal kebenarannya, mungkin aku tidak akan sebenci ini pada dirinya.

Dan mungkin aku jadi paham, kenapa ayahku jadi begitu. Mungkin aku jadi bisa memahami, personal struggle macam apa yang dihadapi Ariadi Gunawan, sehingga tega melukai perasaan seisi keluarganya.

Sekarang aku menatap ke sebuah nisan. Nisan berwarna gelap itu. Nisan yang kupikir tak akan pernah kulihat lagi seumur hidup.

Ariadi Gunawan bin Muh. Sumantri

Aku menelan ludahku sendiri saat melihat tulisan di nisan itu, lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal meninggalnya. Tanggal kecelakaan itu. Kecelakaan, drunk driving, dan di dalam mobil itu ada seseorang perempuan, yang ternyata bukan selingkuhannya. Ayahku tidak pernah selingkuh. Aku berjalan dengan pelan dan duduk di pinggir makam ayahku.

Panas cukup terik, dan aku cukup bodoh dengan memakai kemeja flanel yang agak tebal. Akupun tidak membawa kacamata hitam dan aku tidak memakai topi apapun juga yang bisa menahan panas dari matahari langsung menerpa kepalaku. Tapi aku tidak peduli. Setelah sekian lama, aku akhirnya ada di nisan ayahku. Setelah berapa tahun ini? Belum sampai sepuluh tahun.

Aku mendadak teringat, sebuah adegan pertengkaran diriku dengan Ayahku.

--

"Mau jadi apa kamu? Kuliah desain? Kerjanya main musik terus? Kamu gak mikirkan masa depan?" bentaknya ketika aku pulang malam sehabis manggung bersama Hantaman di acara kampus lain di ujung lain Jakarta sana.

Saat itu aku berteriak balik. "Papa yang gak pernah mikirin masa depan kita! Papa selalu gak pernah ada buat kami! Papa selalu bentak bentak Mama! Papa selalu jalan sama cewek-cewek sialan itu! Papa pikir aku gak tau?"
"Sejak kapan kamu berani bicara gitu sama saya?"

--

Ya, tolol. Menuduh ayahmu melakukan hal yang tidak-tidak, dengan sumber yang tak jelas. Tak heran dia langsung naik pitam malam itu. Tak heran dia langsung mengamuk malam itu.

Dia meninggal sebelum aku lulus kuliah. Aku wisuda tanpa dirinya, dan saat itu adalah saat yang paling bahagia. Dan sekarang, entah kenapa rasanya agak sedikit hambar.

“Assalamualaikum Pah” aku mengobrol dengan kehampaan. Aku tersenyum kecut. “Enggak, aku kesini bukan mau maafin Papa… Aku Cuma mau ngaku salah….” aku menelan ludahku sendiri dengan sangat berat. Kalimat-kalimat ini bercampur dengan rasa penyesalan akan kesalahanku ke Kyoko, ke ibuku dan ke adikku. Dan juga tuduhanku ke ayahku.

“Aku mungkin gak akan bisa maafin, segala harapan Papa ke aku dan Ai yang memaksa, dan aku juga gak akan bisa maafin semua mabuk-mabukan Papa dan aku juga gak bisa maafin kasarnya Papa ke kita semua… Gak akan bisa, tapi…..”

Sesak.

“Aku bikin kesalahan, dan kesalahan itu, mungkin bisa ngelukain semua orang di keluarga kita…. Lebih dari apa yang Papa lakukan mungkin? Karena pada akhirnya aku tahu kalau Papa gak pernah selingkuh sama siapapun, dan aku mau minta maaf karena aku nuduh yang bukan-bukan, dan mungkin bikin Papa makin kacau pikirannya…..”

Aku membetulkan posisi dudukku dan rasanya mata ini jadi berat.

“Aku udah nikah sekarang”

Sesak.

“Istriku orangnya baik sekali…. Sangat sayang sama aku, bahkan mungkin kalau aku berubah jadi monster seperti papa pun, aku masih tetep bakal disayang….”

Sialan, kenapa tiba-tiba rasanya seperti ini?

“Aku bikin kesalahan, aku selingkuh dari dia… Itu Cuma… Karena… Ah…”

Entah kenapa air mataku mengalir pelan. Sial. Kenapa aku harus menangis di atas makam ayahku? Walaupun dia tidak pernah selingkuh tetap saja, kenangan buruk banyak dialami oleh diriku akibat dirinya.

“Intinya, aku selingkuh dan…. Udah berakhir, tapi aku ngelukain Ai… Dia sekarang pergi, jarang pulang ke rumah sore-sore, pulang selalu malam, dan…. Suka tidur di luar, kayak dulu…. Dan itu gara-gara aku….”

Aku menghapus air mataku dan menarik nafas panjang. Sial. Dadaku berat sekali rasanya.

“Aku gak bisa maafin kesalahan Papa yang udah pernah dilakuin ke kita, tapi akhirnya aku tahu, kalau Papa itu orang juga…. Dan Papa gak pernah selingkuh seperti yang aku tuduhin…. Malah aku yang jadi kayak gitu sekarang….. Kalau boleh, aku pengen ngulang jaman dulu, berusaha nyelamin apa yang bikin Papa jadi kacau gitu sama kita… Apa yang ngelukain Papa sehingga Papa jadi ngelukain kita…. Sekarang mungkin udah telat…. Dan aku lama kelamaan jadi sosok yang aku tuduhkan ke Papa… Mungkin itu karma kali ya, tapi…. Jujur, saat ini aku ngerasa kacau sama Ai dan aku bener-bener kangen sama dia…”

Akhirnya aku bersandar ke nisan, dan melanjutkan kalimatku.

“Aku kangen ngobrol sama dia, aku kangen bercanda sama dia…. Sekarang aku bahkan sama dia udah gak bisa lagi liat-liatan…. Entahlah, aku pengen bisa benerin kesalahanku, aku pengen bisa baik lagi sama adikku sendiri…..”

Aku tersenyum kecil.

“Aku jadi deket sama Ai gara-gara kesalahan Papa, dan jadi jauh gara-gara kesalahanku. Ironis ya?”

Kutarik nafasku dengan panjang. Aku berdiri dan menyentuh nisan itu.

“Maaf aku gak pernah kesini… Ternyata butuh kesalahan dulu supaya aku bisa dateng ke tempat ini lagi… Intinya sekarang aku Cuma berharap aku bisa deket lagi sama Ai….”

Ya, sudah saatnya pergi. Aku sudah terlalu lama mungkin disini. Dan sinar matahari begitu menyengat, begitu panas rasanya. Mendadak aku dikagetkan oleh suara yang tidak familiar.

“Eh, maaf dek”
“Eh, Pak…” aku menatap ke seseorang bapak-bapak tua yang memegang sapu di tangannya. Tampangnya agak rapuh, tapi dia pasti petugas disini.

“Anaknya Bu Yuniarti?” mendadak dia bertanya. Aku pun heran.
“Bapak kenal Ibu saya?”
“Kenal dek, Ibu kan rajin sekali ke makam, bersihkan makam dan kadang suka suruh-suruh saya rapihin” senyumnya.

Aku tersenyum balik.

“Ya, ibu saya memang masih istrinya bapak saya bahkan sampai sekarang pun”
“Itu mah dibawa mati atuh dek, kalau udah mengikat ikatan pernikahan dan belum cerai mah”
“Tapi kan bapak saya udah meninggal”
“Maaf kalau saya nanya gak sopan…. Tapi ibunya adek sudah nikah lagi?”
“Enggak, ibu saya gak mau nikah lagi…” jawabku.

“Nah, berarti bener kata adek…”
“Iya ya… Mereka masih nikah sampai sekarang”

Senyumku. Dan aku juga, masih kakaknya Ai sampai sekarang, dan aku menantikan dia kembali ke pelukanku.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd