Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 2 (racebannon)

Anjir, bagian stefan ngasih tau dia gak subur berasa banget diem2 nyeseknya
 
Anjirrr..pendeta cabul ejakulasi dini.wkwkwk

Udah bener sama ayi tp maunya sama yg lain..wkwk

Ditunggu scene Kairi sm Aya 😍😍
 
SEASON 2 – PART 67

--------------------------------------------

9 Dec : Departed to Japan - Arrived at Night
10 Dec : -
11 Dec : Hantaman - F.A.D. Yokohama
12 Dec : -
13 Dec : Arya A Quartet - Body & Soul Yokohama
14 Dec : Hantaman - Yokohama BB Street
15 Dec : -
16 Dec : Hantaman - Unit Daikanyama Tokyo
17 Dec : Arya A Quartet - Cotton Club Marunouchi Tokyo
18 Dec : -
19 Dec : Hantaman - Shimokitazawa Garden Tokyo
20 Dec : Arya A Quartet - STB 139 Tokyo
21 Dec : -
22 Dec : Arya A Quartet - Tribeca Shinagawa Tokyo
23 Dec : Hantaman - Gravity Rock Bar Shinjuku Tokyo
24 Dec : -
25 Dec : -
26 Dec : -
27 Dec : Hantaman - WWW Shibuya Tokyo
28 Dec : Arya A Quartet - Jazz Spot Candy Chiba
29 Dec : Hantaman - ZX West Chiba
30 Dec : -
31 Dec : Departed to Jakarta – Arrived 1 Jan


appear10.jpg

“Jadi, dia manggil elo beb dan sayang itu kebiasaan kalian becanda doang?”
“Iya dan gak ada maksud apa-apa….”

“Dan telpon yang pas di Pontianak itu? Valentine kan?” tanyaku penasaran.

“Iya, itu pas dia lagi panik-paniknya, sebelom kita terbang ke Pontianak, kita berdua ke dokter… lo tau lah kan, negatif hasilnya, tapi dia masih takut…..” jawab Stefan sambil menatap kopinya sore itu di coffee shop yang ada di Nakano Broadway.

“Terus kenapa lo tadi takut pas gue kasih tau kalo sempet liat chattingan elo sama Valentine?”
“Soalnya gue takut lo ngebaca obrolan diatasnya, yang soal kemungkinan betapa buruknya kualitas sperma gue”
“Oh..”

“Ngarti kan nyet?” tanya Stefan sambil menatap orang-orang yang lalu lalang begitu ramainya di trotoar. Sementara kami berdua mengobrol dengan santainya. Kami literally menunggu besok. Besok adalah show pertama quartetku di Yokohama. Kyou-Kun katanya akan menonton. Tentu saja dia pasti excited akan bertemu denganku, apalagi aku dan Kyoko akan punya anak. Dia juga tidak sabar untuk melihat keponakannya secara langsung, katanya.

Di Body & Soul, besok.

Tempat pertama aku dan Kyou Kun bertemu. Tempat dimana semua ini bermula. Kalau tidak ada tempat itu, tidak akan ada aku dan Kyoko. Dan entah kenapa hati ini miris mengingatnya, karena rasa bersalah akibat pengkhianatan yang kulakukan terhadap Kyoko pasti tidak akan pernah hilang seumur hidup. Walau setidaknya kini aku sudah kembali ke jalan yang benar, tetap saja harga yang dibayarkan mahal. Yakni, kehilangan adik.

“Jadi lo sama Valentine gak ada apa-apa?” aku berusaha melanjutkan percakapan, mengalihkan perhatianku dari pemikiran-pemikiran yang memusingkan kepala.

“Gak ada, mirip sama adek lo dulu lah” senyum Stefan sambil menghirup kopi panas yang tadi dia pesan.
“BTW susah amat manggilnya Valentine… Gue panggil Tine aja gimana?” tawaku. Ti – Ne. Begitu aku menyebutnya.

“Hahahah Tine, boleh juga dipanggil begitu, ntar ah kalo sampe Indonesia gue panggil begitu juga” tawa Stefan.
“Terus, kapan elo punya pacarnya dong kalo begitu?”
“Serah kapan, ntar gue punya pacarnya kalo lo selingkuh lagi” canda Stefan.
“Ga sopan amat becandanya?”
“Hahaha”

Aku membuka layar handphoneku dan mulai membalas pesan-pesan yang masuk, sambil melihat-lihat segala macam tulisan yang ada di media sosial. Aku tak sabar untuk segera pulang lagi dan kembali menjalani rutinitas mengantar Kyoko kesana kemari, terutama ke dokter kandungan untuk kontrol. Rasanya tak sabar, menunggu Juli tahun depan untuk melihat Arya Junior atau Kyoko Junior.

Dan setelah itu, aku akan menjadi wali nikah untuk Ai. Lucu rasanya menikahkan adikku sendiri. Dan aku akan melakukannya dengan bahagia dan bangga, walaupun dia masih tidak ingin mengobrol denganku sampai sekarang. Semua orang bahagia atas keputusan mereka berdua, apalagi ibuku, yang sepertinya merasakan kebahagiaan mereka berdua.

“Ai sama Zul kawinnya ntar dimana Ya?”
“Akad sama resepsi di Mesjid Pondok Indah” jawabku.
“Oh disono?”
“Iya, yang deket rumah aja…. Lagian simple disana, pagi akad terus langsung resepsi jam 11 siang, beres”

“Mereka mau hanimun dimana?” tanya Stefan, sepertinya cuma sekedar bertanya saja.
“Gak tau, adek gue ga cerita” jawabku.
“Adek lo gak cerita sama elo? Aneh? Bukannya dia pasti cerita apapun ke elo?”
“Gak tau Fan, jangan tanya gue, tanya dia aja” tawaku.

“Eh!”
“Paan?” aku kaget melihat mukanya yang tiba-tiba mendadak aneh itu.
“Elo belom cerita, kan waktu abis balik dari Bandung, gue bilang suruh nanya Ai kan soal masalah Arwen? Terus lo ga pernah kasih tau ke gue resultnya, apa lo gak bilang?”

“Ah Fan…. Iya, gak bilang, gak sampe hati gue” aku berbohong. Aku tidak ingin menyebabkan Stefan nanti berpikir macam-macam soal hubunganku dan Ai. Lagipula Ai masih berusaha untuk terlihat wajar di depan Stefan, walau aku merasa dia menjaga jarak dengan mahluk mesum dari hutan perawan ini.

“Ooo…. Bilang dong kalo gak bilang”
“Hehehe” tawaku sambil berusaha menyembunyikan kenyataan. Sudahlah. Aku tak ingin aku dan Arwen disebut-sebut lagi.

“Besok kakak ipar lo nonton kan?” tanya Stefan.
“Pasti dong”
“Dia bakal dateng gak pas anak lo lahiran?”
“Pasti juga… Dia udah bilang gitu ke gue…. Ah, gak sabar sampe juli rasanya…. Kalo boleh, gue rasanya pengen cepet-cepet beres ini tur, dan nungguin anak gue lahir aja”

“Lebay”
“Gak lebay, momen-momen kayak gini emang personal banget kok Fan” jawabku. Stefan hanya tersenyum kepadaku.
“Yowes, ntar malem temenin tapi, gue pengen makan yakitori sambil ngebir”
“Boleh”

--------------------------------------------

japan-10.jpg

“Lo gak minum ya?” tanyaku ke Toni.

“Enggak mas” jawabnya sambil tersenyum, menunggu pesanan yakitori kami siap dan sepertinya hanya aku dan dia yang tidak minum minuman keras di tempat ini. Ada aku, Sena, Stefan, Jacob, Arka, Toni dan….. Bagas. Agak aneh Bagas ikut keluar malam bersama kami. Apalagi Anin sedang tidak ada. Dia tampaknya sedang asik-asikan dengan istrinya.

“Bagus lah”
“Hehehe”

Bagas terdiam, dan entah kenapa dia dari tadi, seperti kemarin-kemarin, terus memperhatikan Toni. Tapi aku berusaha cuek. Soalnya memang kadang-kadang ada situasi dimana kita bisa bertindak seperti Bagas. Kita bisa tidak suka kepada orang lain tanpa alasan atau dengan alasan yang tak masuk akal. Cuma karena gaya jalannya, cuma karena gaya bicaranya, atau karena hal-hal kecil seperti mukanya tak enak dilihat atau karena bunyi bersinnya aneh.

Sejauh ini, itu perkiraanku soal perasaan Bagas ke Toni. Karena kami semua tidak melihat ada yang aneh dari Toni. Bagas tampak sengaja duduk berseberangan dengan Toni. Mungkin dari posisi dia duduk, tindak tanduk Toni dapat terlihat dengan jelas.

“Nyet” Stefan menyenggolku dan menunjuk ke arah handphone-nya. Aku mengangguk. Aku lantas merogoh saku jaketku dan mengambil handphoneku sendiri. Aku melihat pesan masuk dari Stefan. Aku membacanya.

“Blingsatan gitu mata si Bagas, perhatiin deh” aku menatap Stefan lagi dan kami berdua berpandangan. Andai ada Anin disini, kami bisa saling lihat-lihatan bertiga. Bagas tampak sabar menunggu makanan pesanannya datang dan pandangan matanya tampak benar-benar terganggu oleh kehadiran Toni.

“Hai Dozo….” Makanan kami pun tiba-tiba siap. Aku agak sedikit tak siap karena mataku dari tadi memperhatikan Bagas yang memperhatikan Toni. Begitu pula dengan Stefan yang memperhatikan Bagas yang memperhatikan Toni. Sebentar. Aku dan Stefan, memperhatikan Bagas. Bagas sedang memperhatikan Toni.

Ah. Bingung, kalau orangnya bukan Bagas mungkin dia sudah bilang jauh-jauh hari, apa alasannya dia tidak suka kepada Toni. Ada 1001 alasan yang masuk akal, dan kami sepertinya akan setuju-setuju saja karena itu subjektif. Tapi kalau Bagas yang bilang begitu dan tindak-tanduknya jadi mengerikan seperti ini, sudah lah, mau ngomong apa lagi, sambil berharap tidak ada sesuatu yang mengejutkan lagi yang ia katakan.

“Kenapa itu?” sial. Belum apa-apa tiba-tiba omongan Bagas yang tak disangka-sangka keluar lagi. Apa-apaan itu? Kenapa itu yang mana sih maksudnya?

“Kenapa Mas?” Ya, sudah pasti Toni yang ditanya, dan dia pun menjawab dengan muka ramah dan antusias khas dia.
“Itu” Bagas menunjuk ke arah piring Toni yang penuh berisi yakitori, sate ayam khas Jepang. Apa yang salah sama Toni lagi sih Gas?”
“Kenapa?”

“Itu” Bagas menunjuk ke sudut piring yang dipakai oleh Toni.
“Kenapa Mas? Bingung saya hahahahahaha”
“Sambel”
“Oh mau minta?” Toni lantas mengeluarkan botol plastik yang berisi saus sambal dari dalam tas yang ia bawa. Aku sedikit memicingkan mata.

“Bukan”
“Loh… Kirain mau minta?”
“Apa-apaan itu?”
“Apa-apaan gimana Mas? Bingung hehehehehe”
“Kenapa pake itu?” tanya Bagas dengan tajam.

“Gas…” aku mencoba menenangkan dirinya. Walaupun perkataannya terdengar dingin dan kalem, tapi untuk orang yang mengenal Bagas, entah kenapa suaranya terdengar begitu mengancam. Stefan diam saja, pura-pura tidak ada di dalam situasi itu dan dia makan dalam diam. Arka dan Jacob tampak bingung, tapi Sena membisikkan sesuatu ke telinga Arka, jadi mereka pun ikut terdiam.

Bagas menatapku dengan dingin dan aku merasa seperti sedang diperhatikan oleh hewan yang berusaha memangsaku. Aku menelan ludahku dan akhirnya aku pura-pura tidak mendengar juga, sama seperti Stefan.

“Biar enak mas, pake sambelnya, jadi enak lho”
“Eh, bukannya udah enak gak pake gituan juga?” tanyaku. Sial, otomatis. Aku juga penasaran kenapa yakitori seenak ini mesti ditambah saos sambel khas orang Indonesia supaya lebih enak. Justru malah rasanya jadi aneh.

“Pake ini lebih enak hehehe” senyum Toni ramah kepadaku.
“Gak make sense” suara Bagas terdengar seperti suara hantu pucat yang sedang mengores-gores jendela kamar kita dengan kukunya. Padahal, nada bicaranya tenang dan benar-benar biasa saja.

“Eh?” Toni tampak bingung.

“Kalau makan, dihormatin makanannya. Jangan dirusak. Benda ini tidak dibuat untuk dimakan sama itu” Bagas menunjuk dengan matanya ke arah yakitori dan sambel botolan yang masih ada di tangan Toni.

“Hehehe biar lebih selera Mas”
“Tapi kemarin waktu soal sushi, katanya terpaksa makan untuk menghormati? Kenapa yang sekarang tidak?” tanya Bagas santai sambil mulai makan.

“Eh?” Toni tampak kaget.

Aku juga kaget, dan aku kembali lihat-lihatan dengan Stefan. Mata kami berdua bertemu dan aku mengingat-ngingat kejadian sewaktu habis ditraktir Kairi di restoran sushi. Disana Toni terpaksa makan beberapa potong sushi yang bahan bakunya adalah daging-daging mentah dan nasi. Dan sehabis dari sana, dia bilang kalau dia tidak suka makanan mentah seperti itu, tapi tetap dia makan untuk menghormati yang mentraktir. Sebenarnya omongan Toni jadi tidak konsisten, harusnya, kalau kita merujuk ke pola pikir sewaktu makan sushi itu, dia akan makan yakitori ini tanpa menambahkan hal-hal yang tidak semestinya.

“Kan sudah ada condiment yang cocok untuk itu?” tanya Bagas lagi.
“Eh… Iya sih, tapi gakpapa kan Mas, biar lebih berasa lidah Indonesia” senyumnya.
“Gimana perasaan kamu, kalau kamu yang masak?” tanya Bagas, dia tidak mencecar, tapi rasanya ucapan itu merayap, dan mulai mencekik leherku.

“Emmm…”

“Coba liat tukang masaknya” Kami lantas langsung memandang ke sebuah arah yang ditunjuk oleh Bagas. Dan kami menemukan bahwa si tukang masak sedikit-sedikit melirik ke arah meja kami dengan ekspresi muka yang jauh dari kata senang. Lebih ke sedih. “Dari tadi dia kayak gitu, jadi… Kalo mau ngehormatin, konsisten ngehormatinnya” lanjut Bagas.

Aku menelan ludah sambil menatap sang juru masak yang tampaknya kesal, karena mengetahui Toni menambahkan saos sambal ke makanan yang dia masak. Dan bisa-bisanya Bagas memperhatikan orang itu. Sementara kami sendiri luput, dan langsung fokus ke makanan yang ada di piring.

“Kakak gue pernah cerita” mendadak Stefan bercerita. “Temennya pernah ke Itali, makan di restoran lokal disana lah, lupa gue kota apa…. Terus mesen makanan, pasta segala macem, pas makan, dia rasa kurang apa gitu, mungkin rasanya emang rada terlalu plain buat lidah melayu…..”

“Temen kakak lo pasti Cina kan, masa lidah melayu?” ledek Jacob sambil makan.
“RASIS!!”

“Lanjutin ceritanya” aku gatal ingin mendengar lanjutannya.

“Nah, jadi pas dia rasa kurang sesuai sama lidahnya, dia minta tabasco atau saos gitu ke waiternya, tapi yang keluar bukannya botol saos, malah chefnya, terus marah-marah, temennya kakak gue diusir…. Untung kagak bayar” ceritanya dengan muka serius.

“Hehehe tapi kan orangnya gak marah Mas kalo yang ini, mungkin dia maklum” Toni beralasan. Entah kenapa kalimatnya, walau terdengar sopan dan tidak tendensius, auranya tidak nyaman untuk didengar. Ada kesan tidak mau kalah dan agak-agak egois dari kalimat itu.

“Dia gak marah karena dia sopan. Mungkin kita harus sopan balik ke dia” potong Bagas, dengan santainya sambil melanjutkan makan, tanpa melihat sedikitpun ke arah Toni.

“Hehehe” tawa Toni dengan agak malu-malu, mungkin dia malas menanggapi situasi di meja yang jadi agak menyudutkan tingkah lakunya menambahkan saos sambel botolan ke makanan yang dia pesan. Yakitori yang sebenarnya bukan pasangan saos sambel botolan. Rasanya seperti nyelupin ayam goreng KFC ke kuah pempek mungkin, atau ngolesin pempek pake mayones.

Kami mendadak hening. Hening karena kami tahu Bagas memperhatikan semua gerak-gerik manusia di sekitarnya. Dia memperhatikan ekspresi si tukang masak. Dia memperhatikan gerak-gerik Toni. Jujur, aku saja tidak begitu memperhatikan tingkahnya dan aku bahkan sekarang tidak memperhatikan muka Arka, Sena dan Jacob yang duduknya agak berjauhan.

Tapi Bagas bisa.

Dan berbuat salah di depan Bagas? Inkonsistensi? Kami tahu Bagas paling tidak suka hal-hal yang nonsense. Mungkin Toni sudah mengganggu Bagas. Karena Bagas adalah tipe orang yang bergerak selalu dengan alasan dan latar belakang. Dia tidak subjektif. Dia objektif.

Ah, mungkin memang Toni belum dewasa, kalau dilihat dari umurnya pun, masih muda, masih jauh dibawah kita semua. Bahkan dibandingkan dengan Sena pun masih lebih tua Sena. Mungkin anak ini harus sering-sering diingatkan.

Mungkin. Tapi kalau Bagas yang mengingatkan, seram juga jadinya. Mudah-mudahan anak ini sadar kalau beberapa tingkahnya di Jepang ini agak kurang sreg dan sesuai, jadi dia bisa jaga sikap kedepannya.

“Tapi menurut gue sih Gas, makanan mah subjektif sih” mendadak Stefan bersuara, mungkin dia merasa Bagas agak berlebihan.

“Hm” jawab Bagas pelan sambil sedikit batuk. Dia menatap Stefan dengan gerakan yang cepat, menatapnya di mata sebentar dan kembali fokus ke makanan. Stefan hanya menarik nafas panjang sambil menatap ke arahku. Pandangan mata Stefan penuh arti. Dia seperti berteriak “temen kita kali ini overreacted kali ya?”. Tapi entahlah. Bagas memang enigmatic dan membingungkan.

--------------------------------------------
--------------------------------------------
--------------------------------------------

fixedw10.jpg

Aku menatap Kyou-Kun yang senyumnya terlihat sangat-sangat lebar di mataku. Zee sedang duduk di sebelah suaminya. Sang istri sedang sibuk mempersiapkan peralatan yang akan dia gunakan untuk mendokumentasikan kami nanti. Kami baru saja check sound sore ini.

“Ah, I can’t beliv, Aya and Kyoko will have children!!” dia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum lebar, menghisap rokoknya dalam-dalam dengan muka yang benar-benar ceria.

“Well….” aku tersenyum, karena bingung mau menanggapinya dengan cara seperti apa. Dari tadi, yang diobrolkanya hanya seputar keponakannya saja. Dia tampaknya sangat excited. Tentu saja sangat excited, dia sangat sayang kepada adiknya dan gara-gara dia lah aku dan Kyoko bisa menikah dan kemudian beranak sekarang ini.

“Again, congrats!”
“No, congrats to you too… you will be an uncle” senyumku balik.
“Ah, can’t wait… July?” dia memainkan jarinya di atas meja Body and Soul.

“Girang banget yak bocah” bisik Stefan sambil menyalakan rokoknya, menikmati sore yang santai itu.

“Namanya juga bakal dapet keponakan” aku menatap ke arah panggung, dimana Toni sedang melakukan sedikit setting pada drum-set nya dibantu oleh Yoichi, drummer yang memang selalu bermain bersama Kyou-Kun. Dulu dia sempat mengisi drum di lagu Matahari Dari TImur. Dan satu orang lagi yang kutunggu untuk datang dan menonton quartetku malam ini, yakni Janus Aartsen. Menurut Kyou-Kun, dia akan datang. Tentunya aku excited, akan bertemu orang-orang yang pernah bermain musik bersamaku waktu pertama kali aku ke Jepang dulu.

“But Aya! I was so sad when you say you wont play your song that recorded here!”

“Yeah…. The song doesn’t suit my musical style now…” senyumku. Jelas lagu smooth jazz yang dulu kurekam di Jepang itu tidak cocok jika dimainkan bersama dengan quartetku, kami tidak memainkan smooth jazz atau fusion-fusion ala Jepang. Kami lebih straight ahead, post bop atau apa lah namanya.

“Ah.. I See.. And your drummer! He’s so good, very very good” lanjutnya. Heran, topiknya tadi soal anakku, terus ke laguku, terus sekarang ke Toni. Demen amat kakak ipar ini, ganti-ganti topik pembicaraan seenaknya.

“Yes, very talented” senyum Arka sambil menatap ke arah panggung. Zee sekarang sedang mengambil foto Toni yang sedang sibuk berdua dengan Yoichi di panggung.

Anin, yang tampaknya menganggur, bangkit dari kursinya dan mendekati kumpulan kami.

“Ngapain lo kemari” ledek Stefan.
“Lah, emang ga boleh gue duduk deket temen-temen gue?” jawab Anin sambil meledek balik.
“Gimana, udah bebas dong udah kawin, nembak dalem dong?” Stefan bertanya sambil menyelidik.
“Heheheh rahasia” Anin tampak tersenyum bangga.
“Kalo liat bini lo, kayaknya lo dijajah abis yak, lo nya pasti cengegesan mulu bahkan di ranjang pun”

“Alah, gini nih orang yang ga kawin-kawin, kerjanya ngeledekin orang yang udah kawin” Anin lantas menyalakan rokok sambil memperhatikan istrinya dari jauh.

“Monyet”
“Elo yang monyet”
“Sama-sama monyet kok saling ngeledek sih, dah ah…. Siapa mau ikut gue jalan keluar bentar, sebelom gak bisa ngapa-ngapain lagi?” tanyaku ke forum.

“Gak bisa ngapa-ngapain lagi? Gue nonton begok, yang ribet ntar cuman elo, Arka, Jacob sama si Toni” Stefan memicingkan matanya sambil memutar-mutar rokok di tangannya.

“Gue ngajakin orang cari angin, bukan ngajakin berantem” balasku.
“Kalo keluar nitip rokok dong, yang sama sama ini” Stefan menunjuk ke kotak rokoknya. Rokok Jepang.

“Kenapa gak lo aja yang beli bareng gue?” tanyaku.
“Males, lo aja deh ya?”
“Kampret”

Aku beranjak sambil meregangkan badan. Kita cari angin dulu sebentar sebelum show malam ini.

--------------------------------------------

800px-10.jpg

Aku memilih-milih minuman ringan di minimarket sambil mengingat-ngingat merek rokok yang Stefan titip. Aku hanya mengingat design kotaknya saja, tak sempat membaca mereknya. Jadi nanti mungkin aku akan agak kesulitan di kasir, menunjuk-nunjuk ke arah display rokok disana.

Sekarang aku agak bingung, karena deretan kaleng dan botol ini semuanya berwarna menarik dan tampak menggoda. Aku bosan kalau ngopi lagi. Di jakarta ngopi, di rumah ngopi, di Nakano ngopi, manggung di café, semuanya saja kopi. Kadang-kadang aku ingin merasakan minuman ringan aneh-aneh khas Jepang yang rasanya juga unik-unik. Minuman ringan dengan kadar gula tinggi yang mungkin bisa membuat perutku buncit.

Setelah menjatuhkan pilihan ke sebuah botol yang terlihat unik, aku lantas berjalan dengan ringan ke kasir, memandang ke deretan rokok yang ada disana. Oh, iya, terlihat. Aku sudah tahu rokok apa yang dititip Stefan. Sekarang aku sibuk mentranslate nomer display rokok ke dalam bahasa Jepang.

Di minimarket Jepang, seperti minimarket di Indonesia, rokok pasti didisplay di kasir, dan cara mendisplaynya sama. Bedanya, di tiap merek dan jenis ada nomer display besar, yang memudahkan pembeli untuk langsung menyebut nomer displaynya, dibanding menyebut merk rokoknya. Sebagai contoh, kalau Marlboro Merah ada di display nomer 23, kita tinggal sebut mau rokok nomer 23 atau nijyuu san ke kasir, dan dia dengan sigap akan mengambilkannya.

Ada tiga orang di depanku, dan kami semua mengantri dengan rapih. Agak bosan, karena memang bisa kulihat kasirnya hanya satu dan orang yang sedang dilayani belanjaannya lumayan agak banyak.

Tunggu.

“Hey” aku merasakan ada suara yang menyapaku dari belakang. Entah kenapa aku hapal suaranya, tapi perasaanku seperti tidak nyaman. Suaranya berlogat bule, dan aku bisa merasakan rasa-rasa keramahan di baliknya. Om Janus kah ini? Aku lantas berbalik dan melihat sosok yang familiar.

Tapi familiar in a bad way. Aku tidak mengharapkan bertemu dengan orang ini lagi. Dia tersenyum dan memberikan aura-aura jumawa kepadaku.

“Looking forward for your show tonight”
“…..”

Lars-Inge Bjornson.

Salah satu orang yang paling tidak ingin kutemui di dunia. Tampaknya dia ingin menonton quartetku. Sial.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Inge ini yang mana ya?


:beer:
Seingat ane Lars itu orang Swedia yang jadi produser, menilai matahari dari timur istimewa, tapi menganggap hantaman bukan apa apa,,
Cmiiw 🤝

Tengkyu Bang RB
Semakin seru cerita nya,,
:beer:
 
Hampir lupa, untung diingetin

Seingat ane Lars itu orang Swedia yang jadi produser, menilai matahari dari timur istimewa, tapi menganggap hantaman bukan apa apa,,
Cmiiw 🤝

Tengkyu Bang RB
Semakin seru cerita nya,,
:beer:
 
Bimabet
Baca baca lembaran lama



:baca: :baca: :baca:
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd