Mengenang Senang (Lidya's Sidestory Pt. 4)
17 Agustus. Merupakan tanggal yang setiap tahun aku tandai sebagai bertambahnya umur, juga sebagai tanda aku harus mulai mendewasakan diri. Dan setiap tanggal tersebut, aku tidak pernah absen merayakannya bersama dengan orang tersayang, baik keluarga, teman atau sahabat. Dan selama beberapa tahun terakhir, aku menambahkan daftar baru orang-orang untuk berbagi kebahagiaan bersamaku. Yaitu fans-ku. Dan tentu saja yang paling istimewa...
Leon Sudiro Wira Atmadja.
Dan tepat hari ini, akhirnya ia mengajakku untuk bertemu. Kami atau tetpatnya Leon telah merencanakannya beberapa hari sebelumnya. Aku sungguh tidak sabar bertemu dengannya, mengingat hari ini adalah hari istimewa untukku. Dan aku pun telah siap sejak beberapa jam yang lalu. Menggunakan kaos yang dengan luaran kemeja flanel, jeans dan sneakers. Tak lupa Beanie Hat dan kacamata sebagai aksesoris tambahan, selain itu juga berguna agar fans-fans di luar sana tidak mengenaliku. Aku tidak mau kejadian itu terulang kembali.
Hanya make-up tipis yang aku poleskan. Aku memang tidak suka menggunakan riasan yang berlebihan jika bepergian. Cukup saat menjadi member saja aku menggunakan riasan yang tebal dan dramatis. Hanya eyeliner dengan lekukan di ujung kelopak mata, foundation dan lip-tint agar bibirku tidak terlalu kering juga pucat. Tak perlu merias alis tebal karena aku sudah dikaruniai alis yang cukup tegas. Aku cukup bersyukur karena aku tak perlu heboh seperti teman-teman perempuanku yang lain jika alisnya dikomentari “Eh, alis lo ketebelan”, “eh alis lo miring 45 derajat” atau “wah alis lo kemana? Itu alis apa lahan kritis”. Hih, rempong.
Beberapa saat kemudian, aku mendengar deru mesin mobil berhenti di depan rumahku. Aku melongok dari jendela kamarku di lantai 2. Ah, rupanya pangeranku telah datang menjemputku. Cepat-cepat aku meraih tas drawstring bag kulitku dan mulai mengisi dengan barang-barang yang aku perlukan saat ini. Dompet, check. Tissue, oke. Parfum, yes. Power Bank, siap. Satu per satu aku mengabsen barang-barang. Hmmm... apa lagi ya? Oh iya, handphone! Hampir saja aku lupa membawa handphone yang sedang tersambung oleh charger. Kemudian aku bergegas turun menuju pintu depan. Dan aku pun menemukan ayahku sedang bercengkerama dengan Leon.
“Yah, Masku jangan digodain gitu dong” sambarku yang sedikit mengejutkan mereka.
“Nggak apa-apalah, itung-itung mengakrabkan diri sama calon mantu, kamu mau kan nikahin putri kesayanganku ini kan? Awas kalau nggak mau ya?” ucap ayahku tanpa kontrol.
“Iiiiih ayah apaan sih? Yuk ah berangkat” sungutku sambil berlalu menuju pintu gerbang. Leon pun berpamitan dengan ayahku. Aku yang sadar kenapa Leon lama berpamitan pun kembali merajuk “Hoi, lama banget, keburu macet nih”. Entah apa yang dibicarakan Leon dengan ayahku sehingga ia tak segera menghampiriku yang tengah tidak sabaran ini
-o00o-
Dan saat ini kami tengah dalam mobil classic custom milik Leon. Bersabar menyusuri kepadatan jalanan di hari libur. Leon tidak mengatakan persis ke mana ia akan membawaku. Aku hanya menurut saja. Toh ia sudah berjanji akan memberikan hadiah sesampainya di tempat yang ia maksud.
Agar tidak bosan, Leon memasang lagu dari iPod yang ia sambungkan ke tape mobilnya. Saat itu yang aku ingat ia memutar lagu dari Paramore berjudul Fake Happy. Salah satu lagu dari album terakhirnya, After Laughter. Aku cukup menyukai Paramore sejak duduk di bangku sekolah SMA. Dan terlebih album barunya cukup mengena di hatiku. Terlebih Fake Happy ini. Aku sangat fasih melafalkan kata demi kata dalam lagu itu.
Aku benci kepalsuan” ucapku singkat. “Terkadang aku benci sama apa yang aku lakukan selama ini. Di mana aku harus selalu terlihat bahagia meski saat itu juga aku merasa sangat sedih. Namun aku harus tetap semangat, ada banyak orang di depanku yang dengan tulus mendukung aku. Hanya itu yang bisa membuat aku bertahan sampai saat ini” sambungku lagi mencurahkan pikiran melalui kata.
“Dan aku yakin, bukan hanya aku saja yang merasakan hal seperti ini. Berpura-pura bahagia”
“Hmmm... menurutku wajar jika setiap manusia punya topeng masing-masing. Namun membohongi diri sendiri itu tidak baik, sayang” Jawab Leon berusaha menghiburku.
“Dan menurutku, kamu sudah terlalu lama membohongi diri kamu sendiri. Aku tahu kamu adalah wanita kuat, namun sekuat-kuatnya kamu, kamu punya kelemahan. Dan aku akan menjadi orang yang akan selalu ada untuk kamu berbagi” ujarnya bak seorang motivator ternama yang punya suara berat dan juga mengalami kerontokan. Aku menoleh pada Leon lalu tersenyum dan menggelayut manja di lengan kirinya yang padat dan nya.
“Hubungan antar manusia memang merepotkan. Setiap manusia merupakan makhluk yang lemah, kita harus saling membantu” sambungnya lagi.
“Eh, kayak kenal kata-kata itu?” balasku iseng
“Emang, itu kan lagu kamu. Yang kadang kamu lupa speech pembukanya, kan?”
“Iiiiih, jahat!”
“Aduh... aduh... sakit “ Leon mengaduh karena lengannya ku gigit. Siapa suruh.
“Tapi kan yang bahagia lebih banyak ahahaha” sambungnya sambil terbahak.
Ya benar, tak apa jika yang bahagia lebih banyak. Dan jika itu termasuk kamu, aku akan terus membuatmu tersenyum dan tertawa seperti ini, Leon. Sampai kapan pun dan di mana pun.
Setelah cukup lama membelah keramaian jalanan ibu kota, akhirnya aku tersadar tenyata Leon membawaku ke Kebun Binatang Ragunan. Ya. Kebun Binatang Ragunan. Entah apa yang ada di kepala Leon sampai ia membawaku ke tempat ini. Dan ketika aku tanya alasannya, ia hanya menjawab “Aku mau ninggalin kesan mendalam buat kamu”. Eh, Kencan di Kebun Binatang? Kayak lagu grup aku. Hahahaha... bisa saja masku tersayang ini mendapatkan ide dari sesuatu yang sederhana ini.
Kami menghabiskan waktu cukup lama mengelilingi semua bagian Kebun Binatang Ragunan. Tidak terlewat satupun. Tak lupa kami mengabadikan momen dengan berfoto. Baik sendiri atau berfoto bersama dengan berbagai macam ekspresi konyol yang kami buat. Sampai akhirnya kami berhenti di area kandang Flamingo dan tiba-tiba ia mengajakku untuk berbicara serius.
“Uhhhm, Lid...”panggilnya
“Ya, mas ada apa?” aku berbalik bertanya
“Ada hal yang mau aku omongin, soal hubungan kita berdua” ucapnya dengan nada tegas.
“Setelah hampir beberapa bulan bersama, aku seperti menemukan warna baru dalam hidup aku...” aku memfokuskan diri menyimak kata-katanya. Jantungku mulai merasakan efeknya.
“Setelah melewati masalah yang mendera kita selama ini, aku semakin yakin bahwa kamu adalah seseorang yang aku tunggu, dan aku yakin telah menemukan tulang rusukku yang hilang...” kembali ia meneruskan kata-katanya yang terhenti. Duh, kenapa tiba-tiba nafasku jadi berat ya?
“Dan sebenarnya aku punya hadiah khusus buat kamu. Aku bohong soal aku tidak punya kado untuk kamu, dan ini adalah kado untukmu. Sebuah cincin yang diberikan ibuku, beliau berkata, serahkanlah pada wanita yang telah memberimu makna dalam hidup kamu... So... would you be mine, forever and ever?” kata Leon sambil berlutut dan menyodorkan sebuah kotak merah beludru dengn cincin di dalamnya.
Leon... Melamarku... Ini benar kan? Aku tidak mimpi kan? Seketika perasaanku campur aduk. Antara senang dan terharu. Antara panik tapi juga bahagia. Tanpa sadar, aku pun menitikkan air mata. Air mata bahagia yang menggenang di pelupuk mataku. Aku harus bagaimana? Apa aku harus menerimanya? Atau tidak ya? Aku takut apa bila nanti terjadi sesuatu yang tidak ingin aku alami kedepannya.
Tapi...
Jika aku yakin Leon adalah kebahagiaanku, kenapa aku harus ragu? Aku sudah menemukan orang yang tepat untukku menghabiskan hidup. Ya, aku yakin dengan Leon. Meski perbedaan menjulang tinggi di antara kami, tapi seharusnya perbedaan juga yang menyatukan kami. Ya, aku sudah yakin...
“Yes, I do, mas... I want to be with you forever and ever!” dan kalimat itu pun meluncur dari bibirku. Aku bahagia. Melebihi kebahagiaan yang pernah aku alami. Selepas itu, Leon mengenakan cincin itu di jari manisku. Ukurannya sangat tepat. Dengan ini, aku sudah terikat dengan Leon dan juga sebagai “Soon to Be Mrs. Wira Atmadja”.
Sebuah pelukan mengelilingi tubuhku. Pelukan yang sangat aku rindukan. Aku Cuma ingin memberi tahu, aku suka dipeluk Leon.
“Terima kasih mas, kamu udah milih aku, aku bahagia banget!” tukasku dengan rasa haru.
“Sama-sama, sayang. Aku akan sabar menunggu kamu sampai saat yang tepat. Jadi, aku harap kamu makin semangat dengan pilihan kamu saat ini, jangan pernah kecewakan orang yang sudah mendukung kamu dengan tulus. Kamu berhak berbahagia”. Ucapnya lembut. Aku pun makin erat memeluknya dan makin menenggelamkan diriku pada Leon.
Ditengah kebahagiaanku di dalam pelukan Leon, tiba-tiba rintik hujan turun menghantam bumi kami berpijak. Leon mengajakku untuk berteduh pada sebuah pendopo yang tak jauh dari posisi kami berdiri sekarang. Kami berlari secepat mungkin menuju pendopo dan sesampainya di sana, entah kekuatan dari mana, aku menyambar bibir Leon. Kami berciuman di tempat umum dan kami tidak peduli akan itu. Aku sudah tahan menahan rasa rindu dicium oleh Leon. Namun lama kelamaan nafsu kami mulai naik dan aku pun memutuskan untuk menghentikan kegiatan kami ini.
“Jangan di sini mas, kita ke rumah kamu sekarang” ucapku dengan nafas yang terengah-engah.
-o00o-
Mataku memang terpejam, namun tak sepenuhnya aku bisa tertidur. Sekarang aku sedang memandangnya terlelap sambil menggelayut pada lengannya. Kepalaku kini beralaskan dadanya. Jelas aku mendengar detak jantungnya yang berdetak teratur, hembusan nafasnya yang lembut, dengkuran halusnya membuatku tidak ingin melewatkan momen seperti ini hanya dengan tidur. Meski aku cukup lelah karena orgasme tadi. Ya, setelah dari Kebun Binatang, Leon memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Mungkin ia sudah rindu untuk bercinta denganku. “Ugghh... Sayang, maaf ya. Kamu jadi nganggur beberapa lama” gumamku dalam hati sambil mengusap kepalanya. “Engggghhh... hmmmm” Dan usapanku rupanya membangunkannya dari tidur lelapnya. Segera aku berpura-pura tidur.
“Dik... Bangun, dik... Udah malam. Udah saatnya aku anter kamu pulang” bisiknya lembut sambil menepuk-nepuk lenganku. Aku yang sedari tadi berpura-pura tidur pun menanggapinya dengan nada malas yang dibuat sealami mungkin. Dengan malasnya aku bangkit dari kasur dan memunguti pakaianku yang berserakan. Hmmm... Liar juga ya kami tadi. Saat aku hendak mengambil pakaianku, mataku tertuju pada sebuah amplop putih yang telah disobek ujungnya tergeletak begitu saja di bawah meja kerja Leon. Ku ambil amplop itu dan membolak baliknya. Nampaknya dari instansi tertentu karena menggunakan kepala surat. Ah, sayang nama instansinya telah tersobek. Lalu aku berinisiatif untuk menanyakannya pada Leon.
“Surat apa ini, mas?” tanyaku biasa saja. Namun tanggapan yang diperlihatkan Leon sungguh di luar kebiasaan.
“Kemarikan, Lid... itu surat nggak penting! Sini...” sergah Leon berusaha merebut amplop yang kugenggam ini. Panik. Leon sangat panik saat aku menanyakan surat itu. Apa yang dia sembunyikan? Pertanyaan ini langsung terbersit. Aku masih berpikiran positif.
“Nggak, bilang dulu surat apa ini?” balasku dengan nada cukup tegas sambil menahan tubuh Leon.
“Bukan apa-apa, Lid. Udah sini!” ujar Leon beralasan dan masih bersikeras untuk mengambil amplop dari genggamanku. Respon Leon membuat emosiku sedikit terpancing.
“Diam!” sentakku yang juga mendorongnya sekuat tenaga hingga ia terduduk di kasur. Ia terkejut dengan perlakuanku ini. Aku kemudian mengambil surat di dalam amplop tersebut. Perlahan ku baca isi surat itu... tertulis sebuah sambutan dalam bahasa Inggris... Berklee... Boston... Music Production and Engineering... Scholarship. Jangan bilang Leon mau meninggalkan aku, tidak... tidak mungkin... ini tidak mungkin. Kenapa kamu tidak cerita padaku? Kenapa harus aku yang tahu lebih dulu? Dan masih banyak pertanyaan di dalam kepalaku ini yang membuatku tidak bisa berpikir lurus. Emosiku sudah memuncak. Ku remas surat itu dan ku lemparkan tepat mengenai wajah Leon.
“Plak!” aku menampar pipi kiri Leon. Ia diam.
“Plak!” sekali lagi aku menamparnya. Kali ini cukup telak di pipi kanan. Ia tetap tidak bergeming. Aku yang sudah dikuasai emosi ini sudah tidak tahan lagi membendungnya.
“Lihat aku!” bentak ku penuh kekesalan. Leon hanya memandangku dengan wajah penyesalan. Air mataku kini sudah menggenang di kelopak mataku. Aku sudah tidak bisa bertindak sebagaimana mestinya. Amarahku sudah sangat memuncak dan tanganku mulai berancang-ancang untuk menamparnya...
Namun Leon berhasil menangkap pergelangan tangan kananku. Ia mencengkeramnya cukup kuat. Dan baru kali ini aku merasakan genggaman tangan Leon yang tidak seperti biasanya aku rasakan. Penuh kelembutan dan perasaan sayang. Aku marah. Sangat marah dengan keadaan ini. Tangan kiriku yang bebas pun terkepal. Segera aku mengayunkan pukulan ke arah dada Leon.
“Kenapa kamu nggak bilang, hah? Kenapa kamu mau meninggalkan aku di saat aku sudah nyaman sama kamu? Kamu bener-bener jahat!” teriakku melepaskan segala emosi yang ada dengan tetap memukulnya bertubi-tubi.
“Tenang Lidya, tenang! Dengerin penjelasan aku dulu...” Leon mencoba menenangkanku. Tidak. Aku tidak bisa tenang saat ini. “Enggak! kamu udah bohong!” ungkapku yang tidak bisa menerima kenyataan Leon akan pergi meninggalkan aku. Kenyataan bahwa kebahagiaanku saat ini akan berakhir begitu saja. Aku tidak mau!.
Leon yang sedari tadi tidak melawan tiba-tiba memelukku. Aku sedikit terhenyak ketika kulit telanjang kami saling bersentuhan. Akal sehatku sedikit muncul namun perasaan kecewa yang masih menguasai membuatnya kalah lebih dahulu. Tangisku pun pecah.
“Lepasin!” aku memberontak dan masih memukulinya
“Nggak Lid, aku nggak mau lepasin! dengerin aku dulu” tolak Leon dengan persuasif. Aku makin histeris. Tangisku makin menjadi-jadi.
“Maaf, Lid... bukan maksud aku mau bohongin kamu. Tapi aku nunggu saat yang tepat buat bilang ke kamu” ujar Leon yang tak ku gubris sama sekali.
“Lepasin, Mas! Aku udah nggak mau denger penjelasan kamu. Mau kamu bilang sekarang atau nanti, aku udah nggak peduli, kamu udah melanggar janji yang kamu buat sendiri!” ucapku terisak dan aku makin berusaha berontak. Namun semakin aku berontak, ia makin mengeratkan pelukannya. Perlakuannya membuatku lemah. Pukulanku pun perlahan juga mulai melemah. Aku hanya bisa menenggelamkan diriku di dalam pelukannya yang sangat aku sukai. Dan aku hanya bisa menangis. Aku hancur. Itu saja.
“Maaf, aku cuma nggak mau bikin kamu kecewa. Aku udah terlalu sayang sama kamu. Dan aku nggak mau bikin kamu tersiksa begini. Aku melakukannya untuk mengejar impianku” Ujar Leon lembut di telingaku
“Impian untuk hidup yang lebih baik... dan impian itu juga akan aku wujudkan bersama kamu. Aku minta pengertianmu sekali saja” sambungnya lagi. Namun aku sudah tidak mau mendengarkannya. Aku tidak mau lagi mendengarkan alasannya yang terdengar mengada-ada dan justru makin membuatku hancur
“Percuma, mas... semua udah terlambat” balasku.
“Lid, aku mohon...”
“Aku cuma mau pulang. Sekarang!” tegasku seraya menyingkirkan pelukannya yang nyaman itu. Berat. Namun kenyamanan itu makin membuat aku semakin terluka dan hancur.
“Baiklah, kalo itu mau kamu. aku antar kamu pulang”
“Nggak usah, aku bisa sendiri” ketusku seraya memunguti pakaianku yang berserakan.
“Lid, ayah kamu menitipkan kamu padaku. Kamu tanggung jawab aku sekarang. Aku nggak mau kenapa-kenapa” kata Leon.
“Tanggung jawab? Setelah kamu bohong sama aku, kamu masih merasa bertanggung jawab?”
“Lid, aku mohon. Ini bukan waktu yang tepat buat berdebat. Kamu masih emosi. Aku tidak mau ayah kamu lebih kecewa dari kamu. Tolong, aku mohon pengertian kamu”
Sekeras-kerasnya aku, melihat Leon yang mengiba seperti ini membuatku merasa bersalah. Namun tetap aku kecewa padanya. Tak lama, aku menyetujui permohonannya. Semata-mata demi ayahku.
“Oke, aku mau mandi dulu” jawabku ketus dan segera menuju kamar mandi.
-o00o-
Aku terduduk di bawah guyuran shower. Memeluk lututku dan hanya bisa menangis membayangkan hidupku tanpa Leon. Jujur aku tidak bisa berpikiran jernih. Aku sudah berusaha, tapi rasanya kekecewaanku masih lebih besar. Tiba-tiba guyuran shower itu berhenti dan seseorang menyelimutkan handuk di tubuhku.
“Lidya, jangan lama-lama di bawah shower, nanti kamu sakit” ujar Leon sembari mengeringkan tubuh telanjangku yang basah ini. Sakit? Aku sudah sakit sejak pertengkaran tadi. Aku hanya diam menatap lantai kamar mandi. Eh, Sejak kapan dia ada di sini? Ah, Bodohnya aku tidak menutup pintu kamar mandi. Kebiasaanku jika di rumahnya masih aku lakukan. Dan segala kebiasaanku di rumah ini makin membuatku hancur.
“Aku minta maaf, Lid... Aku harap kamu mau mengerti posisi aku, seperti aku mengerti posisi kamu selama ini. Aku tidak mau semua berakhir begitu saja...” kata Leon. “Aku tidak mau setelah apa yang kita lalui selama ini berakhir percuma. Aku sudah yakin sama kamu. Aku akan melakukan apa saja demi kamu...”
“Apa kamu mau membatalkan untuk pergi ke Boston demi aku?” Sergahku memotong ucapannya
“Lid... tapi...”
“Keluar, nanti aku susul kamu”
“Lidya...”
“Keluar!”
“Okay, baiklah. Aku akan keluar. Tapi aku mohon kamu pertimbangkan lagi hubungan yang telah kita perjuangkan selama ini. Maafin aku udah bikin kamu kecewa...” ucap Leon seraya mengecup keningku.
Hatiku makin tak karuan dengan sikapnya ini. Ia masih membuatku nyaman meski aku merasa kecewa. Apakah ini yang namanya jatuh cinta? Sekeras apa pun sikapku, ia bisa meluluh lantakkan benteng pertahananku dengan sikap yang lembut. Aku tidak bisa berpikir lurus, dan aku memilih untuk tidak mempedulikannya. What will happen next, I don’t wanna know.
-o00o-
Di dalam mobil menuju rumahku, kami hanya bisa saling terdiam di dalam mobil. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar. Aku hanya bisa menatap lurus menatap jalan di depanku, sibuk dengan pikiranku yang sudah tercampur aduk. Marah. Aku ingin marah dengan keadaan ini. Sementara Leon terlihat lesu dan berkonsentrasi mengandarai mobilnya. Aku yakin ia sangat menyesal dengan perbuatannya. Aku harap demikian. Entah aku bisa seperti sedia kala sebelum kejadian ini atau tidak.
Selang beberapa lama, kami telah sampai di depan rumahku. Aku hanya bisa menunduk dan bertanya dalam hati apakah ini akhir dari segalanya? Akhir dari kebahagiaan yang terlalu singkat ini?. Dan aku pun melepaskan cincin yang disematkan oleh Leon. Kuraih tangan Leon yang menggenggam setir.
“Kak, aku kembalikan cincin ini. Mulai sekarang kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Hanya sebatas staff dan performer. Cincin ini lebih layak kamu kasih untuk orang yang kuat berjauhan dengan kamu. Karena aku nggak sanggup” Ujarku menyerahkan cincin ini ke dalam telapak tangan Leon.
“Lid, aku mohon jangan seperti ini. Aku masih ingin kita mengusahakan hubungan kita ini. Aku mau kamu dan aku menjadi kita selamanya” iba Leon.
“Kak, tolong. Aku nggak mau lebih sakit lagi kalau kamu seperti ini. Terlebih aku akan lebih hancur lagi kalau kamu nggak ada disamping aku. Tolong.” Aku lebih memohon pada Leon dengan suara yang bergetar menahan kesedihanku.
“Lid...”
“Stop! Tolong atau aku tidak mau kenal kamu lagi selamanya. Please...” ancamku yang mulai tidak bisa menahan air mata.
“Aku mohon Lid, pertimbangkan lagi.”
“DIAM! CUKUP! GUE UDAH NGGAK MAU KENAL LO LAGI”
aku terpelatuk. Aku sudah tidak bisa menahan semua kekecewaanku. Lebih baik aku tidak mengenalnya lagi dari pada aku lebih menyakiti diriku. Terlebih Leon yang sudah mematahkan harapanku. Namun di sisi lain, ia sungguh berarti buatku. Aku tidak mau menyakitinya lebih dalam lagi dan berharap aku bisa kembali padanya. Aku tidak mau menjadi penghalang. Tak apa semua ini aku tanggung sendiri, asal Leon bisa meraih impiannya. Aku sadar tidak akan mendapatkan yang sesempurna Leon di luar sana. Ia hanya satu. Tidak ada yang lain. Ya, Lebih baik begini.
Aku bergegas keluar dari mobil namun Leon menahan tanganku. “Okay, aku akan batalin semua demi kamu. Tapi tolong jangan kayak gini. Aku butuh kamu, Lid.” Ucap Leon. Tuhan, kenapa Engkau harus mempertemukan dengan malaikatmu yang sempurna ini? “Leon!, please. Semua udah telat, percuma mau berapa kali kamu mohon sama aku, aku udah kecewa!. Cukup Leon, aku nggak mau lebih sakit lagi!” hardikku penuh ego. Ya, ini bukan aku. Ini adalah egoku yang terlalu kuat menguasai nurani ku yang murni.
Ku lihat raut kekecewaan dari wajah Leon yang diterpa lampu kendaraan yang lewat. “Huffft... Baiklah, kalau itu keputusan kamu. Aku akan terima. Tapi izinin aku buat antar kamu sampai dalam rumah dan berpamitan dengan ayah kamu. Setidaknya hanya ini yang bisa aku lakukan terakhir kalinya.” Ucapnya dengan nada kekalahan. Aku yang mendengarnya tak punya pilihan lain selain menuruti kemauannya untuk terakhir kali. “Iya” jawabku singkat.
Leon mengikutiku selepas aku membuka pintu gerbang dan ia berinisiatif untuk menekan bel rumahku beberapa kali sampai akhirnya Ayahku membukakan pintu untuk kami.
“Wahini, anak-anak ayah sudah pul...”
“Permisi, yah... aku mau langsung ke kamar. Lidya capek”
Ayahku menyambut kami dengan sangat hangat namun aku tidak menanggapinya dan berlalu begitu saja menuju kamarku. Meninggalkan kekasih... ah... mantan kekasihku yang perasaannya sedang diuji dengan keputusanku. Aku sudah terlalu lelah dengan semua kejadian barusan yang aku alami. Aku menjatuhkan diri ke tempat tidurku sesampainya di kamar. Aku cum bisa menerawang ke langit-langit kamarku. Pikiranku mengawang teringat kenangan aku dan Leon selama ini. Singkat tapi sangat berkesan. Tidak... tidak... bukan seperti ini. Aku tidak mau mengingat lagi kenangan yang hanya akan membuatku lemah.
Ah... kamar ini juga salah satu saksi bisu kenanganku saat aku bercinta dengannya. Tidak... aroma tubuh Leon masih menempel di tempat tidur ini... aku baru menyadari bahwa aku tidak bisa begitu saja melepas Leon dari kenanganku. Aku butuh waktu untuk itu. Dan entah sampai kapan. Kini aku hanya bisa meringkuk dan menangisi keadaan. Maafkan aku dan egoku Leon. Maaf.
End of Part 4.