Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Negeri Para Mafia

Status
Please reply by conversation.
Kalo saran ane sih tamatin aja hu.. kalopun ada yg nyomot, siapa sih yg ga tau karya ente.. yg ada kalo ketahuan dia yg malu sendiri. Gue juga kadang2 nemu copas dimari begitu ditegur langsung ngilang. Intinya selama ente punya basis penggemar sendiri, orang akan sadar mana penulis yg asli dan yg asal comot.
 
BAB SATU Awal Mula






"Sampai kapan kamu kerja Luntang kantung seperti itu, Ran ?" Tanya Aisyah menatap adik iparnya yang seharian ini hanya di rumah, tanpa ada yang dikerjakannya.

Randy hanya menatap wajah cantik kakak iparnya Aisyah dengan acuh, sudah terlalu sering dia mendengar omelan kakak iparnya bahkan bisa dikatakan itu sebagai menu tambahan sehari hari yang harus diterimanya dengan lapang dada. Karena kecerewetan Aisyah tidak dibarengi dengan hatinya, kecerewetannya adalah hal lumrah sebagai bentuk perhatiannya kepada adik ipar.

"Tiap hari juga aku sudah berusaha mencari kerja yang lebih layak, bukan hanya supir angkot tembak." Jawab Randi mengingatkan, dia tidak sepenuhnya nganggur, masih ada yang bisa dikerjakan dan menghasilkan uang walau jauh dari kata cukup. Dia tidak pernah menyerah, bahkan sejak masih sekolah SMA dia sudah mencari uang untuk membiayai sekolahnya dengan menjadi supir angkot tembak. Dia lahir sebagai sosok pejuang, dan akan terus berjuang.

"Bukan itu maksud Teh Aisy, gimana ya ! " Seru Aisyah ragu, keberaniannya hilang dalam sekejap. Semua kata yang sudah disusunnya seperti hilang tidak berbekas, banyak pertimbangan yang muncul membuatnya ketakutan sendiri.

"Apa itu, Teh?" Tanya Randy mulai tertarik, dia bangkit dari posisi rebahannya dan duduk menghadap Aisyah. Kakak iparnya ini sedang serius, jarang jarang dia terlihat seperti ini.

Mungkin dia punya informasi lowongan pekerjaan dari rekan rekan pengajian, atau salah satu jama'ah tempat Aisyah rutin mengisi pengajian ibu ibu. Sebagai seorang Ustadzah kampung, Aisyah sering mengisi ceramah di berbagai masjid dan musholah sehingga dia punya relasi lumayan banyak. Dibandingkan kakak kandungnya sendiri, Aisyah lebih memperhatikannya.

Kadang Randi merasa heran, wanita secantik Aisyah yang lulusan Pondok Pesantren mau dinikahi oleh Kakaknya pekerja serabutan, walau mereka sama sama lulusan Pondok Pesantren yang sama. Randy yakin, banyak pria mapan berlomba untuk menikahi Aisyah. Jodoh, mungkin itu jawaban tepat dari rasa penasarannya selama ini.

"Sudahlah, lain kali saja kita bicarakan !" Jawab Aisyah gelisah, dia belum siap mengatakan apa yang mengganggu pikirannya selama beberapa hari ini.

Perlahan Aisyah beranjak dari sofa yang semakin menua, beberapa bagiannya bolong. Keuangan suaminya Ridwan membuat mereka tidak mampu membeli sofa baru, selain sofa peninggalan almarhum Orang tua suaminya itu. Hidup seperti ini sudah membuatnya bersyukur, tidak perlu tinggal di rumah kontrakan sempit dan itu artinya akan ada biaya pengeluaran tambahan yang tidak sedikit perbulannya.

Tapi kenyataan hidup tidak berhenti dengan ucapan syukur yang cenderung dipaksakan, dia tidak mampu mengingkari banyak kebutuhan yang masih diperlukan dalam kehidupan yang dijalaninya saat ini. Sejak ayah kandungnya terkena stroke, otomatis ayahnya tidak bisa bekerja. Pemerintah hanya menanggung semua biaya pengobatan gratis lewat BPJS, sedangkan kebutuhan hidup sehari-hari harus tetap dicari. Beban yang dirasakannya semakin berat, dia harus berpikir keras mendapatkan uang untuk membantu kehidupan kedua orang tua dan ke dua adiknya yang masih sekolah. Ke mana lagi dia harus mencari uang, karena tidak mungkin dia meminta tambahan uang belanja pada suaminya Ridwan hanyalah Ustadz kampung seperti dirinya yang Nyambi sebagai buruh bangunan dan pekerjaan serabutan lainnya untuk menutupi semua kebutuhan hidup mereka. Penghasilannya dari mengajar mengaji dan ceramah serta sedikit bantuan hasil ceramah suaminya sudah diberikan seluruhnya pada orang tuanya dengan persetujuan Ridwan. Jumlah uang yang tidak seberapa, dibandingkan keperluan yang dibutuhkan orang tuanya.

Aisyah masuk ke dalam kamar, menghempaskan tubuhnya yang terasa letih di atas kasur yang sudah semakin keras. Matanya menerawang menatap langit langit kamar, menatap sepasang cicak yang sedang kawin dan dia yakin, sebentar lagi si cicak betina akan segera melahirkan keturunan. Tanpa sadar Aisyah mengusap perutnya yang rata, sudah lima tahun dia menikah dan sampai saat ini dia belum juga mengandung benih dari buah cinta dengan suaminya. Aisyah menarik nafas panjang, mengusir keinginannya untuk mempunyai anak. Dalam situasi seperti ini, dia bisa bersyukur karena belum dikaruniai seorang anak. Mungkin ini adalah bentuk cinta kasih Allah padanya dan juga keluarga kecilnya hingga prekonomian mereka membaik, suaminya akan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak atau semakin banyak mendapatkan panggilan ceramah.

Aisyah menatap photo Ridwan suaminya yang tergantung di tembok, sudah beberapa hari ini suaminya pergi ke luar kota untuk mengisi ceramah di beberapa tempat. Semoga hasilnya bisa menutupi hutang di warung yang semakin menumpuk.

Dering telpon membuyarkan lamunan Aisyah, refleks dia mengambil ponsel yang tergeletak di sampingnya, dari suaminya Ridwan.

"Assalamu'alaikum...!" Aisyah mengucapkan salam dengan riang, sudah dua hari Ridwan tidak menghubunginya dan dia kesulitan menghubungi Ridwan karena ponsel suaminya tidak aktif.

"Wa Alaikum salam Ais, maaf Aa baru bisa menghubungi." Jawab Ridwan.

"Kapan Aa, pulang?" Tanya Aisyah riang, dia sangat merindukan suaminya. Terutama, dia berharap Ridwan pulang dengan membuang uang lebih banyak dari biasanya, saat ini mereka sangat membutuhkan.

"Kemungkinan Aa nggak akan pulang dalam waktu dekat. Ada teman Aa ngajak ke Sulawesi, di sana butuh Imam Masjid dengan gaji lumayan." Jawab Ridwan kembali terdiam, berat meninggalkan istrinya yang cantik. Tapi ini harus dilakukannya, perjuangan suci menantinya. Berjihad di jalan Allah, mendirikan Negara Khilafah di bumi Nusantara ini.

"Maksud Aa Ridwan bagaimana, Ais tidak ngerti." Jawab Aisyah heran, kabar ini sangat mendadak dan di luar kebiasaan Ridwan. Dia bisa menebak maksud tersembunyi dari kabar yang diterimanya, hal yang ditakutinya.

"Maaf, Aa belum bisa menjelaskannya sekarang. Assalamu'alaikum." Ridwan langsung mematikan telpon, sebelum perdebatan panjang dan tidak perlu itu kembali berlangsung. Tekadnya sudah bulat, tidak akan ada yang bisa mencegahnya.

Aisyah merasakan seluruh tubuhnya lunglai, tubuhnya menjadi dingin. Percakapan dan perdebatan yang sering terjadi dalam beberapa bulan ini kembali terngiang, Aisyah selalu menentang keinginan Ridwan untuk bergabung dalam sebuah organisasi yang memperjuangkan khilafah. Itu hal gila yang tidak masuk akal, bertentangan dengan semua prinsip yang dipelajarinya selama menempuh pendidikan di Pondok Pesantren. Hubbul Wathan Minal Iman (Mencintai tanah air adalah sebagian dari iman). organisasi yang memperjuangkan khilafah itu beraliansi pada aliran politik, mereka menunggangi Islam demi tujuan mereka. Aliran seperti itu sesat, menimbulkan perpecahan dengan cara memaksakan kehendak mereka.

Aisyah menitikkan air mata, rumah tangganya diambang kehancuran. Dia tidak akan pernah setuju dengan maksud Ridwan, begitu pula Ridwan tidak akan pernah setuju dengan prinsipnya selama ini. Kenapa Ridwan bisa tersesat, padahal dia selama ini mengagumi kecerdasan Ridwan. Hal itu yang menjadi salah satu alasan kenapa menerima pinangan pria itu, Aisyah yakin Ridwan akan menjadi iman yang baik. Namun kenyataannya tidak demikian, kesulitan ekonomi membuat Ridwan berubah. menimpakan semua kesalahan pada pemerintah yang tidak becus mengurus rakyatnya. Semua ajaran agama sirna, pendidikan yang dipelajari selama pesantren dicampakkannya. Ridwan mulai berubah sejak dia mengenal sebuah jama'ah yang ekslusif. Sebuah aliran jama'ah yang mendewakan budaya Arab yang keras, tanpa toleransi.

PING, sebuah pesan WA kembali masuk, kali ini bukan dari suaminya.

"Teh, yang punya kontrakan nagih uang kontrakan yang telat tiga bulan. Mereka ngasih waktu seminggu untuk melunasinya atau, kita harus pindah." Kata adik bungsunya dengan emosi menangis.

"Iya, Insya Allah akan Teh Ais cari uangnya." Jawab Aisyah refleks, dia tidak tahu harus mencari uang sebesar delapan juta kemana? Itu jumlah sangat besar, sementara harapan terakhirnya sirna. Ridwan tidak akan pulang dengan membawa uang hasil keliling berceramah, atau mungkin suaminya sama sekali tidak mengisi acara da'wah seperti pengakuannya saat pergi.

Aisyah mulai menangis putus asa, semua jalan serasa buntu. Beban ini terlalu berat, dia nyaris tak mampu bertahan.

PING, kembali sebuah pesan WA masuk. Kali ini dari seorang wanita yang getol mendekatinya, membujuknya untuk melakukan perbuatan yang nyaris membuatnya muntah.

"Bagaimana Ustadzah, kamu sudah berhasil membujuk adik iparmu?" Tanya seseorang yang bernama Arini, jamah pengajiannya yang bekerja sebagai germo. Germo ? Kata itu terlalu kasar di pikirannya, dia tidak pernah mengira pekerjaan wanita yang bernama Arini itu adalah Germo. Penampilannya yang alim, di balik balutan hijabnya yang anggun. Ternyata itu hanyalah topeng yang menutupi identitasnya selama ini, sekian lama dia tertipu hingga akhirnya sebuah kecelakaan kecil membongkar topeng Arini.

"Belum, aku tidak berani mengatakannya." Jawab Aisyah singkat, dia berharap percakapan lewat wa ini langsung berakhir.

"Kenapa Ustadzah, bukan hal yang sulit untuk membujuk adik iparmu yang tampan itu ?" Balas Arini tidak sabar, para wanita relasinya sudah sangat membutuhkan pejantan baru yang masih fresh. Stock pejantan miliknya sudah habis mereka cicipi,

"Lagi pula, aku tidak meminta Ustadzah untuk melayani para pria berduit itu." Pesan kedua datang dengan cepat, sebelum Aisyah membalas pesan pertama. Arini tersenyum licik, dia berhasil menjebak Ustadzah Aisyah saat berganti pakaian yang basah terkena siraman air kopi yang sengaja dilakukannya saat mengadakan acara tujuh bulanan keponakannya.. Dia merekam aktivitas Ustadzah Aisyah saat berganti pakaian dengan pakaiannya yang dipinjamkannya, Arini tersenyum bangga pada kelicikannya.

"Ingat, aku masih menyimpan video Ustadzah berganti pakaian." Kembali pesan ke tiga masuk, membuat Aisyah menarik nafas ngeri, membayangkan videonya yang sedang berganti pakaian itu tersebar.

"Aku tahu, beri aku waktu." Balas Aisyah pilu, ini bukan lagi tentang kebutuhan ekonomi semata, namun juga aibnya.

"Waktunya tidak banyak, Ustadzah. Kecuali kalau kamu mau menggantikan posisi adikmu, melayani para pria hidung belang itu." Aisyah hampir saja membanting hpnya saat membaca pesan dari Arini, ini sudah keterlaluan.

"Aku berani jamin, tarifmu berkisar Rp. 5.000.000 permalam." Kembali pesan dari Arini membuat Aisyah menitikkan air mata, menahan kemarahan yang nyaris memecahkan dadanya.

Aisyah tiba tiba menatap nyaris tidak percaya, dengan nominal angka yang tertera di hp nya. Sepertinya dia salah baca, kembali dia meneliti setiap angka yang tertera. Kemarahannya sirna dalam sekejap, beban hidupnya akan sedikit terangkat dengan nominal angka yang tertera di hp nya.

"Astaghfirullah!" Seru Aisyah refleks menulis kalimat istighfar, dalam sekejap kalimat itu terkirim pada Arini.

"10 juta, aku yakin akan banyak cukong yang berani membayarnya sebesar itu." Balas Arini, dia terus membujuk Aisyah. Salah seorang konglomerat yang pernah melihat Aisyah berda'wah sangat terobsesi oleh Aisyah. Dengan membayar Aisyah 10 juta, Arini akan mendapatkan bagian yang lebih besar dari yang didapatkan Aisyah.

Kali ini Aisyah hanya menatap angka nominal yang bertambah, sebelum akhirnya HP yang dipegangnya terjatuh ke pangkuannya. Masalah orang tuanya akan segera teratasi dengan uang 10 juta itu, dengan cara menjual kehormatannya.

"Astaghfirullah, apa yang aku pikirkan?" Aisyah menampar pipinya dengan keras, meninggalkan warna merah pada kulit wajahnya yang putih mulus.

Tidak, dia tidak akan melakukan pekerjaan serendah itu. Sebaiknya dia membujuk Randy adik iparnya untuk menemui Arini dan menjadi gigolo yang melayani para wanita haus seks itu, setiap kali transaksi dia akan mendapatkan 500.000. itu janji yang diucapkan oleh Arini. Tapi persoalannya dia tidak bisa menyuruh Randy datang begitu saja ke tempat Arini tanpa memberi tahu jenis pekerjaan yang akan diterimanya, Randy pasti akan murka setelah tahu jenis pekerjaan yang ditawarkan Arini. Itu sulitnya, dia sangat hafal dengan karakter Randy adik iparnya itu. Arini menarik nafas panjang, dia tidak punya pilihan lain, selain membujuk Randy untuk melakukannya.

"Ingat Ustadzah, adik iparmj belum tentu lulus menjadi pemuas para wanita haus seks itu. Ada tahapan di mana aku harus mencoba dan melatihnya agar bisa memuaskan hasrat seks mereka." Ucapan Arini terngiang di telinganya, menyadarkan Aisyah bahwa Randy masih terlalu hijau dalam hal ini. Ketampanan wajahnya memang akan membuat para wanita bertekuk lutut dan tergila-gila padanya, namun apakah dia bisa menjadi pejantan tangguh yang mampu menjinakkan para wanita liar itu?

Waktunya terlalu mepet, dia harus secepatnya mendapatkan uang untuk membayar kontrakan atau keluarganya akan diusir dari rumah kontrakan. Ridwan pernah menawarkan mereka untuk tinggal di sini, namun kedua orang tuanya dengan tegas menolaknya. Ibunya bersikukuh masih bisa mencari uang dengan berjualan gorengan dan masakan matang di depan rumah walau dengan hasil tidak seberapa.

Tidak ada waktu untuk terus berpikir, Aisyah harus bergerak cepat menjalankan rencananya. Dia harus menceritakan semuanya agar Randy paham dengan situasi yang sedang dihadapinya, termasuk kepergian kakaknya yang entah ke mana.

Aisyah ke luar kamar menemui Randy yang masih berada di tempatnya sambil rebahan di sofa tua yang sudah mengelupas di sana sini., menonton tayangan favorite nya. Begitu melihat kehadiran Aisyah, Randi bangun memberi ruang Aisyah duduk di sampingnya.

"Ada apa, Teh ?" Tanya Randy, sepertinya percakapan yang tadi akan segera dilanjutkan.

Aisyah menarik nafas panjang, mengerahkan semua keberanian untuk mengutarakan semua niatnya. Perlahan bibir tipisnya yang sensual mengucapkan semua kalimat yang sudah disusunnya rapi, suaranya terdengar jauh seperti datang dari dunia lain, seolah olah suara itu bukan terucap dari bibirnya. Tatapan matanya kosong, beribu cahaya seperti berpendar menghalangi pandangannya. Bahkan saat semuanya terucap, Aisyah seperti tidak menyadari kehadiran Randy yang menyimak setiap perkataannya dengan rasa terkejut.

"Astaghfirullah, istighfar Teh !" Seru Randy, ide dari Aisyah terlalu tiba tiba dan tidak masuk akal. Dia sangat mengenal Aisyah, kasih sayangnya begitu besar kepada keluarga bahkan kepada dirinya yang hanya seorang adik ipar.

"Masih ada jalan lain tanpa perlu kita melacurkan diri, bukankah Allah tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan hambanya." Perkataan Randy menyadarkan Aisyah yang menundukkan wajah menatap jemarinya yang sedang mempermainkan baju gamis di pangkuan, dia menyesali semua perkataannya.

"Waktunya terlalu sempit, bahkan di saat Teteh membutuhkan A Ridwan, dia malah pergi meninggalkan tanggung jawab yang terlalu besar ini." Jawab Aisyah lirih, rasa putus asa semakin menguasai jiwanya yang terasa rapuh.

Randy terdiam, ingin rasanya memaki dan menampar wajah Ridwan yang tiba tiba menghilang. Seharusnya Kakaknya itu bertindak sebagai lelaki, karena Medan jihad yang sesungguhnya adalah memberi nafkah keluarga, bukankah orang tua Aisyah adalah orang tuanya juga ? Medan jihad yang dipilih oleh Ridwan itu jauh menyimpang dari tujuan jihad yang sebenarnya, dia bukan sedang memperjuangkan agama Allah, tapi justru sedang mencoreng keagungan Islam.

"Kita masih bisa mencari pinjaman, mungkin Teh Aisyah punya kenalan yang bisa membantu." Jawab Randy ragu, waktunya terlalu sempit.

"Teh Ais sudah berusaha mencari pinjaman, hasilnya nihil." Jawab Aisyah lirih, tangisnya tak terbendung.

"Kalaupun aku bisa memenuhi keinginan Teh Ais, apakah aku bisa memuaskan para wanita itu dan dalam waktu satu Minggu mendapatkan uang sebesar delapan juta?" Tanya Randy ragu, menurut artikel dari beberapa forum dewasa yang dibacanya, sulit untuk bisa memuaskan hasrat seks para wanita itu.

"Teteh tahu, karena itu kamu akan dididik oleh Bu Arini untuk menjadi pejantan tangguh." Jawab Aisyah di antara Isak tangisnya yang mulai mereda. Tangisan yang mengandung beribu makna, semua ajaran dan keyakinan yang dimilikinya hancur. Harga dirinya sudah tidak lagi tersisa, dia sudah terjerumus dalam lembah nista yang memalukan dan sulit keluar dari dalamnya.

"Berapa lama aku harus dididik menjadi pejantan tangguh, satu Minggu, satu bulan atau bahkan lebih. Pada saat aku sudah menjadi pejantan tangguh, keluarga Teh Ais sudah menggelandang. Kenapa Teh Ais tidak mengajak mereka tinggal di sini, aku rela berbagi kamar dengan adik Teh Ais." Jawab Randy pelan, sarannya yang paling masuk akal pada saat ini. Rumah ini memiliki tiga kamar, satu kamar bisa ditempati oleh orang tua Aisyah dan kedua adik prianya bisa tidur di kamarnya.

"Sudah, Ayah dan Ambu menolaknya. Mereka keras kepala, jalan satu satunya dengan mendapatkan uang secara instan." Jawab Aisyah lesu, harapan satu satunya ada pada Arini.

"Kita tidak akan bisa dapat uang dengan waktu secepat itu, Teh. Kemampuanku sebagai pejantan belum teruji, bahkan aku belum pernah menyentuh tubuh seorang wanita." Jawab Randy gelisah, tawaran pekerjaan ini sangat menarik dan dia tidak akan menolaknya. Namun untuk mendapatkan uang dalam waktu cepat, rasanya mustahil.

"Aku akan melatihmu, agar kamu siap !" Seru Aisyah, harga dirinya sudah hancur. Bahkan sejak dia membayangkan tubuhnya dijajah pria lain demi uang sekian puluh juta yang dijanjikan Arini, hanya ini satu satunya cara.

"A, apa maksud Teh Ais ?" Tanya Randy gagap, dia tidak mengerti apa yang sedang diucapkan oleh Aisyah.

----xxXxx----​

"Bagaimana, sayang !" Tanya pria berusia 50 puluh tahun itu pada Arini yang berjalan berlenggak-lenggok ke arahnya, dia sudah tidak sabar mendengar kabar dari wanita cantik berusia 30 tahun itu, gundik sekaligus tangan kanannya dalam mengurus bisnis lendir miliknya.

"Percayalah, aku tidak pernah gagal membujuk calon mangsaku." Jawab Arini tersenyum genit pada Gunawan, jemarinya yang lentik mendorong dada Gunawan hingga terhempas di ranjang sofa yang besar.

Arini segera duduk di pangkuan Gunawan, gamis lebar yang dikenakan menutupi tubuh indahnya dari pandangan pria nakal. Ini yang membuat Gunawan tergila gila pada Arini, di balik penampilannya yang alim ternyata dia menyimpan Sisi liar seorang wanita. Dia adalah budak seks yang sempurna, melakukan apapun imajinasi yang diinginkan seorang pria seperti dirinya.

"Selalu saja kau membuatku terangsang, Arin !" Seru Gunawan meraba sepasang payudara besar milik Arini yang tersembunyi sempurna di balik gamis lebar yang dikenakannya, wajahnya yang cantik mergerling binal meremas tangan Gunawan sehingga payudaranya semakin terjepit dalam genggaman pria kasar yang sudah menentukannya menjadi seperti sekarang.

"Hahaha, kamu selalu saja berhasil membuatku menjadi binal. Sejak pertama kali kita bertemu, kamu selalu saja tidak pernah berubah." Jawab Arini, membiarkan jemari kasar Gunawan meremas payudaranya, semakin kasar justru rasanya semakin nikmat. Rasa sakit itu membuatnya bisa meraih orgasme lebih cepat, semakin pria itu melecehkannya maka kenikmatan yang dirasakannya akan semakin dahsyat.

"Aku tidak pernah menyangka, gadis baik baik yang aku kenal bisa berubah menjadi sekitar ini." Kata Gunawan takjub, dia masih ingat saat Arini sering bermain ke rumahnya dengan putri sulungnya. Seorang gadis remaja lugu dengan seragam putih abu yang menarik perhatian otak bisnisnya, gadis ini bisa mendatangkan uang yang sangat banyak. Gunawan harus memberi selamat pada dirinya sendiri, nalurinya ternyata benar. Arini berhasil mendatangkan uang yang sangat banyak, lewat lobi lobi di atas ranjang, gadis ini berhasil menjerat relasi bisnisnya. Semua proyek yang diincarnya berhasil didapatkan, sekali lagi semuanya karena bantuan Arini.

"Om yang membuatku seperti ini, anak gadis baik baik yang lebih pantas menjadi anak om !" Rajuk Arini manja, dia menepiskan tangan Gunawan dari payudaranya. Dengan lincah jemari lentiknya membuka sabuk celana Gunawan, menarik resleting dan juga kancing celana.

"Aku akan menghukum kontol om yang sudah merobek selaput daraku, aku akan menguras semuanya hingga dia tidak bisa berdiri lagi !" Seru Arini menarik lepas celana panjang Gunawan berikut CD nya, matanya terbelalak takjub melihat kontol besar yang sudah berdiri tegang, masih tetap sangat seperti saat pertama kali merobek robek selaput daranya 12 tahun yang lalu.

Ya, dua belas tahun yang lalu, dua hari setelah pesta kelulusannya Gunawan memberinya hadiah yang akan selalu dia kenang sepanjang sisa umurnya. Kontol yang kini berdiri mengacung tegak itulah yang menjadi hadiah paling berkesan, terdengarnya itu sangat mengada ada. Bagaimana mungkin pria yang menodainya dan lebih pantas menjadi ayahnya itu dianggap sebagai hadiah terindah dalam hidupnya?

Arini adalah anak tunggal dari seorang Janda yang berprofesi sebagai Ustadzah atau penceramah yang cukup terkenal, ibunya kerap berseliweran di layar kaca. Ibunya sangat menyayanginya, melimpahkan semua kemampuannya dalam mendidik anak, berbagai macam disiplin ilmu agama dia ajarkan sendiri pada gadis cantik anak semata wayangnya itu. Tidak pernah sekalipun Arini mendapatkan makian, ataupun hukuman saat dia melakukan kesalahan, Ibunya akan selalu menasihatinya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

Hal itu membuat Arini terobsesi dengan sesuatu yang aneh dan menurutnya wajar diterima, obsesi itu bernama hukuman. Bukankah syariah akan menghukum siapapun yang bersalah, bukan malah membiarkan hal itu terjadi. Kalau saja Ayahnya masih hidup, mungkin ayahnya akan memberinya sebuah hukuman saat dia melakukan sebuah kesalahan, kaum pria akan lebih berani mengambil sikap dalam hal ini.

Tiba tiba Arini menemukan sosok yang selama ini dirindukannya pada diri Gunawan, pria berusia 40 tahunan yang tampan dan tubuhnya masih tetap tegak itu seperti menguras perhatiannya, bermula saat dia melihat kemarahan Gunawan pada Mira yang sudah berbuat kesalahan. Dengan tegas Gunawan menjatuhkan sebuah hukuman yang membuat Arini merasakan sekujur tubuhnya, seolah olah dia yang saat itu dihukum karena kesalahan yang diperbuatnya.

"Kamu kenapa, cantik?" Tanya Gunawan heran melihat Arini hanya memegang batang kontolnya, matanya terlihat kosong.

"Aku teringat pertama kali ketika Om Gun menghukumku, hukuman terindah yang aku terima." Jawab Arini dengan bibir bergetar, gairahnya semakin terbakar membayangkannya.

Gunawan tersenyum geli membayangkan kejadian dua belas tahun yang lalu, dia tidak pernah menyangka karena hal itu dia bisa memiliki tubuh dan kecerdasan Arini, memanfaatkannya demi tujuannya.



Bersambung​
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd