Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Nenekku, Pahlawanku [TAMAT]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    499
Haloooo!

Sek tarik nafas dulu saya.

Ada dua hal penting yg mau saya sampaikan ke pembaca cerita abal-abal saya ini.

Yang pertama. Saya minta doa para bolo kurowo yg budiman disini agar lamaran yg akan saya laksanakan di akhir tahun ini lancar sampai hari H.

Yang kedua. Untuk sementara waktu saya bakal off menulis dalam waktu yg entah sampai kapan karena ingin memfokuskan penuh di RL.

Terima kasih atas perhatiannya bolo kurowoku tercinta. Mohon maaf sebesar-sebesarnga kalau ada salah kata dan suka PHP update haha. Love you full!
 
Terakhir diubah:
***

Orang bilang, aku terlalu muda untuk mempunyai pemikiran dewasa.

Orang bilang, aku terlalu polos untuk ikut berperan mengatasi polemik kompleks sebuah masalah.

Orang bilang lagi, kalau aku adalah manusia dingin tak memiliki empati dan rasa kemanusiaan yang tinggi karena aku lebih seringnya mementingkan kebahagiaan sendiri dibanding orang lain.

Faktanya, semua itu benar adanya. Aku memang terlalu muda. Aku memang terlalu polos. Pun aku memiliki hati sedingin es.

Karenanya, satu pertanyaan timbul: mengapa bisa demikian?

Berhubung suasana di Desa Gentengan sore ini sangat pas untuk bernostalgia, mari kuajak kalian menyelami sedikit ingatan tentang aku tiga tahun ke belakang.

***

Sehari setelah kepulanganku dari liburan lebaran hari raya selama dua minggu di desa ini, aku benar-benar mengalami perubahan kepribadian dalam waktu singkat. Efek samping berhadapan Kakek dan Nenek merubah diriku yang polos menjadi sosok yang tak kukenali.

Hanya saja, tingkah abnormal Kakek masih bisa aku toleransi. Setidaknya, Kakek lebih ke arah menggembleng fisikku untuk lebih kuat, karena sejatinya aku anak laki-laki dan cucu pertamanya. Kakek tidak ingin cucunya lembek dan hanya berjibaku di dapur mengikuti jalan hidup Ayahku yang seorang koki. Oke, yang ini aku setuju. Sejujurnya ... aku memiliki fisik lemah. Maka dari itu, ketika tahu keterbatasanku, aku memilih memfokuskan minat bakatku mengasah kemampuan mengolah bahan makanan menjadi hidangan.

Namun! Perlu digarisbawahi satu hal. Beda kepala, beda kelakukan. Antara Kakek dan Nenek, keduanya mempunyai sifat yang bertolak belakang kalau aku telaah lebih jauh.

Contoh kecil yang membuat mentalku amburadul adalah saat di suatu hari dan untuk pertama kalinya aku melihat tubuh polos Nenek tanpa pakaian manakala ia memijit bocah lelaki di rumah. Yang membagongkan, acara pijat-memijat itu ditutup dengan si bocah lelaki menetek di payudara Nenek sambil tangan Nenek mengocok kontol imut nan suci. Bajingan.

Tayangan live menggairahkan tersebut jelas berimbas pada tubuhku. Gejala pertama adalah lemas campur tegang. Yang lemas lututku, dan yang tegang batang kontolku.

Masih terekam jelas di ingatanku malam itu aku mengalami fase normal lelaki: mimpi basah. Wanita yang datang di mimpiku adalah Nenek. Ia menciumi seluruh tubuhku. Memegang kontolku, lalu mengocoknya. Saat aku kembali menyelam lebih dalam mengingat-ingat mimpi itu, aku dapati adegan paling erotis yang membuatku sesak nafas. Nenek ... ia melahap kontolku. Mengulumnya dengan kepala naik turun dengan mata indahnya yang tak pernah lepas menatap bola mataku.

Ya, mimpi basah yang telat kala itu menjadi awal di mana aku mengenal nikmatnya mengeluarkan sperma melalui metode onani.

Secara otomatis, hampir seluruh kegiatan produktif di outdoor mulai terbengkalai hanya demi mengejar kenikmatan sesaat sambil membayangkan sosok Nenek. Hanya Nenek yang menjadi fantasiku. Obsesiku.

Di sisi lain, aku membenci Nenek secara personality karena telah membuatku jadi tergila-gila kepadanya sampai tahun-tahun berikutnya aku menolak untuk diajak lagi ke desa dengan seribu alasan.

Hari demi hari aku lalui dengan hati gamang. Dampaknya, aku mulai malas mencari ide-ide baru untuk mengembangkan cita rasa masakan, baik itu di rumah mau pun di dapur ekstrakurikuler tata boga sekolah. Berlanjut pada diriku yang sering absen nongkrong di perpustakaan bersama teman-teman kutu bukuku, yang kemudian beralih circle ke geng anak-anak bengal. Disanalah aku mengembangkan bakatku yang tersembunyi.

Ya, benar. Alasan dibalik aku memiliki tubuh atletis adalah circle baruku yang notabene berisikan anak-anak berbakat di bidang olahraga. Kata mereka, wanita itu tertarik bukan karena jago masak, tapi karena badan mereka kekar dan berkontol besar. Berhubung wajahku sudah tampan, aku tinggal menyempurnakan sisanya.

Pagi, siang, malam. Hampir setiap saat aku membentuk diriku. Baik sendiri, mau pun berkelompok bersama geng bengal di tempat gym.

Masalah kontolku yang besar, aku hanya beranggapan jika aku keseringan onani secara rutin tiga hari sekali.

Hal ini jelas mengundang tanda tanya besar akan perubahan diriku di mata Ayah dam Ibu. Terutama Ibu, yang kala itu menegurku saat tengah malam sedang push up di kamar.

Bodohnya, aku yang waktu itu mengikuti saran temanku, "Kamu mending telanjang aja kalau lagi latihan sendiri di rumah, Be. Selain biar keringatmu keluar semua, rasanya kalau telanjang itu lebih enteng di badan. Cobain deh nanti."

Akibatnya, Ibu jadi tahu ketelanjanganku setelah sekian tahun lamanya kami tak pernah melihat bentuk badan masing-masing karena aku mulai beranjak dewasa.

Diriku tiga tahun yang lalu begitu polos dan bodoh tentang wanita, sekarang aku bisa mengerti dengan baik jikalau tatapan Ibu sama persis saat Nenek menatap si Palu Gatot sambil menggigit bibir bawah. Tatapan birahi. Tatapan yang tak bisa aku hindari meski harus menggunakan seribu alasan kalau si Palu Gatot sedang dalam masa pemulihan karena demam keseringan masuk angin diguyur air kenikmatan.

Betul!

Kalau dulu saat aku onani mengguyur batang si Palu Gatot dengan pelumas minyak zaitun beraroma wangi, kali ini aku tak terlalu repot mencari pelumas. Cukup liur atau cairan cinta dari liang surgawi Nenek sudah membuat si Palu Gatot dalam kondisi siap. Siap-siap demam berkelanjutan.

Kembali ke masa di mana aku SMA. Tepatnya di tahun keduaku berseragam putih abu-abu.

Seperti yang sudah aku ceritakan, hari-hariku lebih banyak memfokuskan kegiatan di bidang olahraga dibanding memasakku. Namun, cerita bagaimana aku mendapat hidayah untuk kembali berkutat di dapur adalah karena kehadiran cinta pertamaku, Peri.

Benar adanya nama gadis blesteran Madura itu Peri. Periwati Kusumaningrum. Ia memiliki seorang kakak bajingan yang tak lain seniorku di sekolah bernama Periawan Kusumaningrat. Namanya sih bagus, tapi kelakuan kakak beradik itu tak jauh bedanya seperti binatang.

"Sate kok masih mentah gini, sih? Ini sate apa sushi? Ngakunya pengalaman jualan sate dua puluh tahun, nyatanya bikin bumbu aja masih gak becus. Sampah!" cecar Peri, yang kala itu berdiri berkacak pinggang pada penjual sate pinggir jalan. Ia memarahi pasutri tua itu dengan gaya bicaranya yang menghina, tajam, dan nyelekit.

Aku yang tengah makan di lapak tersebut memang mengakui jika sate ayam Cak Ali hari ini terasa berbeda. Entah dagingnya yang kurang matang, atau bumbunya yang kurang kacang. Hambar sekali. Sehambar tatapan istrinya yang sedang hamil tua.

"Kalau nggak bisa buat, minimal hargai usaha orang. Udah tepos, bego lagi." Aku memyahuti ucapan Peri. Menatapnya santai, lalu menggigit sate dan mengunyah tepat di depan Peri.

"Gak usah sok kenal, bro. Belum aja aku tampol mukamu yang kayak wafer itu," balas Peri, sadis.

Aku berdecih. "Harusnya aku yang ngomong gitu saat mendengar kamu menghina sate rasa sushi kaki lima ini."

"Itu kamu ikut-ikutan menghina, bodoh!"

"Kamu yang bodoh. Mana nuranimu? Mana empatimu? Mana nomor WA-mu?"

Begitulah awal mula pertemuanku dengan Peri. Gadis yang menjadi cinta pertama sekaligus patah hati pertama.

Namun, di mana ada pertemuan, di situ ada perpisahan. Setelah lulus dari SMA, kami memutuskan mengakhiri hubungan. Aku memilih membuang masa depanku dan mengutamakan keluarga Ibu di desa, sementara Peri yang tak ingin LDR karena resiko selingkuh relatif tinggi jika dipikir secara rasional.

Bukan tak mungkin di antara kami akan saling menyakiti ke depannya andai hubungan ini tidak diakhiri baik-baik. Karenanya, untuk mencegah luka hati lebih dalam, kami menutup kenangan-kenangan manis, menguburnya jauh ke dasar hati. Berharap suatu saat kami bisa membukanya kembali meski persentase untuk kami bersatu di masa depan amatlah kecil.

"Kobe, andai di masa depan nanti kalau kita tidak berjodoh, aku ingin kamu berjanji satu hal kepadaku."

"Aku tidak akan berjanji karena aku takut mengingkari."

"Kalau begitu, aku ingin kita berdua melakukan satu hal."

"Dan itu adalah?"

"Entah aku atau dirimu yang lebih dulu menikah dan memiliki anak, aku ingin anak itu diberi nama gabungan nama kita berdua."

"Koper?"

"Sengaja ya bikin aku marah?"

"Terus apa maumu, Tuan Putri?"

"Aku sarankan nama yang lebih manis dan elegan. Beri misalnya."

"Itu bukan saran. Itu keinginanmu belaka. Dasar egois."

"Tidak apa-apa aku egois. Asal di hatiku selalu ada namamu, karena aku akan tetap mencintaimu sampai kapan pun, kokiku."

"Kalau jantungku bisa ngomong, kamu pasti bakal di demo karena telah merebut hatiku, Peri. Ya, aku juga cinta kamu. Selalu."

"Kobe ... sampai bertemu di sisi lain. Aku akan merindukan pisang goreng gosongmu. Sungguh."

"Aku menantikan hari itu tiba. Hari di mana aku membuat hidangan terbaikku untuk membuatmu mengatakan enak. Peri, jaga dirimu baik-baik."

***

Langit mulai mendung. Awan berubah hitam. Disambung bunyi geluduk serta kilatan petir menyambar langit.

Aku menengadah. Tanpa sadar, air mataku menetes dengan sendirinya. Kerinduan yang teramat dalam kepada sosok Peri yang mengisi hari-hariku tanpa campur tangan nafsu. Berbagai kegiatan positif nan seru kami ukir sebagai tanda cinta dua insan yang tak bisa bersetu hanya karena dunia kami berbeda, dan ... jauh.

Kiranya dua jam aku dan Nenek duduk memancing di pinggir sungai, kami putuskan untuk memyudahi acara siang ini. Lumayanlah hasil tangkapan kami. Tepatnya hasil tangkapan Nenek. Sebab, aku hanya menyumbang dua ikan. Sementara Nenek berhasil mendapatkan sembilan ekor.

Nenek mengajakku melewati jalan memutar. Sekalian menengok peternakan yang di kelola Lik To karena melewati rumahnya, katanya.

Jadilah kami menyusuri jalan setapak. Suhu udara yang perlahan dingin menjadi kawan kami berjalan menuju peternakan.

Sambil mengobrol membahas seputar ternak Kakek yang tahun ini siap dikirim ke luar kota untuk menyambut hari raya qurban, Nenek juga bercerita soal krisis pakan ternak yang akhir-akhir ini banyak dikutil oleh oknum tak bertanggung jawab. Yang mana, warga desa sudah membentuk tim pencegah maling suket, tapi tetap saja tak membuahkan hasil. Sang maling tetap berhasil mencuri persediaan rumput pakan ternak. Mereka sering beraksi di malam hari. Waktu yang tepat untuk seseorang atau sekelompok oknum tidak modal melancarkan tindak yang dianggap kriminal.

"Setelah aku dan Tante Ima menghajar kawanan begal payudara, apa sekarang aku harus mengatasi maling suket ini, Kanjeng Ratu?" tanyaku, sambil menikmati goyangan bokong semok Nenek yang berjalan lenggak-lenggok di depanku. Selain daripada itu, jalannya Nenek seperti seorang wanita yang baru saja turun mesin. Efek si Palu Gatot yang memborbardir memeknya sungguh luar biasa.

Nenek menoleh, lalu kembali meluruskan pandangan ke depan. "Kalau kamu mampu, kenapa endak? Hitung-hitung kamu berkontribusi membantu desa ini membasmi kebatilan."

"Biar orang lain aja, lah. Kalau aku nanti ada apa-apa, gimana? Dibacok, misalnya."

"Ya balas bacok. Laki-laki itu harus berani. Jangan apa-apa dipasrahkan ke orang lain."

"Lah ini Umi memasrahkan kepadaku, apa coba namanya?!" aku ngegas.

"Beda itu. Kan kamu cucuku. Keberhasilanmu akan menaikkan wibawaku. Hahahaha." Nenek mulai lawak. "Cucu siapa itu? Oh, itu cucunya Bu Zia. Nah, kalau sudah begitu kan aku bisa membanggakan kamu di depan semua orang."

"Umi, Umi. Bangga itu bukan karena berhasil mengatasi kebatilan seperti yang Umi harapkan. Bangga itu bagaimana kita membuat kebatilan itu menjadi bermanfaat untuk kita."

Nenek menoleh. Menatapku bingung. "Gimana tho maksudnya?"

Aku mempercepat langkahku. Berjalan tepat di samping Nenek, sebelum berkata, "Kita kasih aja rumput yang mereka butuhkan. Kita beri mereka ruang untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Kalau perlu, kita fasilitasi arit dan karungnya sekalian biar mereka nggak repot-repot bawa dari rumah. Setelah itu, barulah kita tangkap. Kita nggak perlu susah-susah ngarit. Istilahnya, sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui."

Nenek merangkul pundakku. "Pinter juga kamu, Be. Ndak sia-sia aku mengajarimu kenthu."

Aku menoleh. Menautkan kedua alis. "Apa hubungannya?"

"Dengan kenthu, badan kita jadi santai. Bawaannya senang dan bahagia. Itu juga berpengaruh sama otak kita untuk mendapat dorongan inspirasi, lalu mencetuskan ide-ide brilian seperti yang kamu katakan."

"Gampangnya, kenthulah biar pintar?"

"Itu dia!"

"Itu dia matane akik!" (Itu dia matanya baku akik!)

Nenek hanya tertawa sambil menepuk-nepuk kepalaku.

Tak terasa, langkah kaki santai ditemani gerimis tipis sepanjang jalan telah mengantarkan kami ke sebuah area peternakan yang berseberangkan sungai.

Dulu, peternakan di mana aku sering menggembalakan kambing milik Kakek tak sebesar ini. Pun tak sebanyak ini ternaknya. Termasuk sapi-sapi potong yang besar dan gemuk.

Cuk! Melihatnya saja aku sudah punya gambaran akan menghidangkan daging sapi panggang ala Chef Kobe. Tanpa sadar aku meneteskan liur.

"Luwe ta, Be?" (Lapar, kah, Be?) ledek Nenek.

Krucuk! Krucuk!

Tak perlu kuucap, bunyi perutku sudah mewakili, yang langsung disambar tawa terbahak-bahak wanita genit di sebelahku. Dasar kampret.

Mata-mata para pekerja di bawahan pengawasan Lik To, termasuk Lik To sendiri yang memakai pakaian koboi berdiri di depan kandang sambil memegang rokok yang membara terselip di once, kompak memandang ke sumber suara. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Nenekku ini.

Hanya butuh beberapa detik untuk melihat siapa yang datang, Lik To dan para pekerja berlari ke arah kami sambil membawa arit.

Bajingan. Apa mereka mau menebas leher Nenek karena suaranya yang memekakkan telinga? Kurasa tidak. Pasti mereka akan menggorok leherku karena mereka punya insting kuat bahwa istri-istri mereka akan merasakan keganasan si Palu Gatot.

"Woi, jangan ngawur kalau ngomong. Kalau kamu mati, aku juga ikut mati. Asu."

"Diam kamu, Tot. Aku panik ini."

"Panik, panik. Noh, matamu jelalatan melihat betina yang ikut lari ke sini."

"Berisik."


Si Palu Gatot tidak salah juga, sih. Pasalnya, di antara belasan pekerja, ada satu sosok wanita setengah baya jelmaan Dewi Sri yang berlari membawa dua gunung besar di dadanya. Untung saja itu gunung disanggah pengaman. Kalau tidak, biar aku saja yang sanggah. Bajingan.

"Muatane suwek!" (Matanya robek!) teriak si Palu Gatot memakiku.

"Hahahahaha!"

Sampai kemudian, tibalah rombongan yang dipimpin Lik To dan seorang wanita paruh baya berkulit sawo matang. Tak kusangka istri Lik To ini mempunyai lekuk tubuh bahenol meski tingginya hanya sedadaku, turun sedikit.

"Badahlah! Tak kiro sopo tho iku maeng. Tibakno Bu Zia." (Badahlah! Aku kira siapa sih itu tadi. Ternyata Bu Zia.) Lik To berkata dengan suara terkejut campur heran. Kemudian, matanya beralih padaku. Memandangku lekat dari bawah ke atas. Lalu, atas ke bawah. Ada kiranya ia melakukan hal tak berguna itu tiga kali. Sejurus, Lik To melepas topi koboinya, membuangnya ke tanah, lantas maju ke arahku sambil memegangi kedua pundakku dengan tangannya yang hitam dan besar. "KOBE?!"

Aku memainkan alisku, lalh tersenyum lebar. "Yo, juragan."

Lik To langsung memelukku erat. Aku pun balas memberi pelukan hangat. Kami sama-sama menepuk punggung. Sesaat, suasana haru tercipta di antara kami.

"Duh, Gusti! Iki temenan Kobe, ta? Peh! Lah kok wes joko ngene arek gembeng?" (Duh, Gusti! Ini sungguhan Kobe, kah? Peh! Lah kok sudah dewasa gini anak cengeng?) cecar Lik To, setelah melepaskan pelukan.

"Nggih, juragan. Aku Kobe. Aku ke sini cuma mau bilang kalau sampeyan tambah tuwek." Aku membalas candaannya. Lalu, aku melihat kacamata hitam yang tergantung pada kerah kaus polo yang ia kenakan. "Oleh tak seleh ta, Lik, kocomoto'e? Kok sawangane sangar ngunu, hehehe." (Boleh aku pinjam kah, Paman, kacamatanya? Kok kelihatannya sangar gitu, hehehe.)

"Jenenge ae ndek ndeso, Le, jelas ireng, tho. Lek pingin putih yo cet'en ae." (Namanya juga di desa, Le, jelas hitam, lah. Kalau pingin putih ya cat saja.) Lik To tertawa renyah. Lantas, mengambil kacamatanya, kemudian ia pasangkan ke mataku. "Nyoh, pek'en." (Nyoh, bawalah.)

Aku membenarkan posisi kacamata. Kugerakkan kepalaku ke samping menyorot Nenek yang sibuk membenarkan celana dalamnya yang terselip di pantatnya. Dasar sinting.

"Koyok ludruk." (Seperti ludruk.) Nenek berkata enteng.

"Wes cocok iki aku, Nek, dadi tukang kendang." (Sudah cocok ini aku, Nek, jadi tukang kendang.)

"Yo kunu kendangen susune Bulikmu." (Ya sana tabuhlah susunya Bibimu.) Nenek membalas konyol, seraya menunjuk ke arah wanita paruh baya yang berdiri di sebelah Lik To.

"Duh! Bu Nyai rek mesti lak ndagel." (Duh! Bu Nyai ini selalu saja melawak.) Wanita paruh baya yang tak lain adalah Lik Sum itu menyahut gemas.

Hahahahaha!

Semua orang tertawa. Kebahagiaan atas pertemuan kami menorehkan bulir-bulir air mata menetes di pipi orang-orang yang mulai memasuki masa tua. Bisa dibilang, mereka sudah tua kalau berpacu pada pedoman kitab orang desa.

Ya, Gito dan Sumiati. Pasangan suami-istri yang selalu membantuku di kala kerepotan mengurus ternak-ternak Kakek beberapa tahun yang lalu. Kebaikan mereka sejalan dengan sikap ramah nan menyenangkan saat bercengkerama di bawah langit Desa Gentengan.

"Piye kabarmu, Tole, Den Bagus?" (Bagaimana kabarmu, Nak, lelaki ganteng?) sapa Lik Sum, seraya berjalan ke arahku, dan berhambur ke pelukanku. Dua buah nangka yang ranum miliknya menempel ketat di dadaku saat dada kami bertemu.

"Sehat, Lik," ujarku, seraya kubalas memeluk Lik Sum. Rasa rinduku akan kasih sayang dan belaiannya lebih besar daripada nafsuku. Untuk sejenak, kami larut dalam tangis haru, yang secara bersamaan langit gerimis berubah jadi hujan. Menghantam kepala kami. Namun, Lik Sum masih tetap bertahan. Begitu pun denganku.

"Ndut, ngiyup disik. Wes deres udan'e." (Ndut, berteduk dulu. Sudah derss hujannya.) Lik To menegur. Memanggil nama julukan Lik Sum 'ndut' yang artinya 'gendut'.

"Iyo, Reng. Ayo melbu." (Iya, Reng. Ayo masuk.) Balas Lik Sum dengan memanggil julukannya untuk Lik To yaitu 'reng' yang berarti 'gareng'. Dalam arti yang sebenarnya, perawakan Lik To ini seperti Gareng, salah satu tokoh punokawan yang tersohor sampai mancanegara.

Sejurus, Lik Sum melepaskan pelukan sambil menyeka air matanya. Ia menggandeng tanganku untuk berteduh di bawah layar terpal biru yang terbentang luas menyambungkan bangunan rumah dan kandang.

Nenek, Lik To, dan beberapa pekerja mengikuti dari belakang. Melangkah agak cepat mengingat curah hujan yang tiba-tiba deras bercampur angin ribut menciptakan sedikit kepanikan.

Selanjutnya, seperti kebiasaan orang desa, sang tuan rumah dibantu beberapa pekerja menyuguhkan makanan dan minuman seadanya. Hanya jenang, singkong rebus, kacang-kacangan, dan aneka cemilan yang asing di mataku.

Sejurus, selepas beramah tamah dan menyapaku serta Nenek, satu persatu pekerja pamit undur diri. Mereka pamit undur diri.

Betul. Beginilah didikan orang Jawa yang sangat memahami adab kesopanan, terlebih orang penting seperti Nenek datang berkunjung, alangkah baiknya tidak ikut nimbrung obrolan tamu dan tuan rumah.

Ditemani segelas teh hangat dan ngemil singkong rebus yang telah disajikan, kami melanjutkan obrolan.

"Sumpah pangling aku ndelok Tole Kobe, Pak. Tambah duwur tur gagah. Perosoku yo sek lagek winginane moro mrene." (Sumpah tidak mengenali lagk aku melihat Nak Kobe, Pak. Tambah tinggi nan gagah. Perasaanku ya baru kemarin datang ke sini.) Lik Sum yang duduk di sebelahku langsung memuja-muji. Seolah menyaksikan sosok diriku yang baru saja selesai mencari wangsit di Antartika.

"Ho-oh. Jan aku ndak ngiro cah ndablek seng senengane ngincengi kowe adus ndek kali wes sak mene gedene, Bu. Hahahaha." (Ho-oh. Asli aku tidak mengira anak nakal yang suka mengintip kamu mandi di sungai sudah segini besarnya, Bu. Hahahaha.) Lik To yang duduk di atas kursi kayu kecil di depanku menimpali sambil tertawa-tawa.

Aku meminum tehku, lalu menatap Lik To kesal. "Kapan, Lik? Ora tau aku ngunu kuwi. Fitnah tok iki." (Kapan, Paman? Tidak pernah aku begitu itu. Fitnah mulu ini.) Aku membela diri. Logat bicaraku lama-lama jadi ikut-ikut logat orang Desa Gentengan.

Lik Sum menepis udara seraya membetet hidungku. "Halah. Bener kuwi omongane Paklikmu, Le. Awakmu iku mbetik kok, persis janan koyok Mbahmu." (Halah. Benar itu omongannya Pamanmu, Nak. Kamu itu badung kok, persis sekali seperti Kakekmu.)

Malu juga sih dibilang tukang intip. Padahal ya memang terpampang di depan mata. Mau mata dialihkan ke mana juga jelas terlihat. Terlebih lokasi tempat aku bersantai mengembala kambing berdekatan dengan sungai tempat di mana wanita desa mencuci pakaian dan mandi. Termasuk Lik Sum.

Untuk menutupi diriku yang salah tingkah ini, segera aku membuat klarifikasi berkedok menggiring topik agar tak membahas momen memalukan kala itu.

"Tole Kobe iki rodok aneh. Uakeh turah-turah cah perawan ndek kene lah kok kepincut pentile mbah-mbah peyot. Nek coro aku yo menang milih nooo. Po maneh sek enom. Ndelok wek'e Nduk Jihan misale." (Nak Kobe ini agak aneh. Banyak bertebaran gadis perawan di sini lah kok naksir susunya mbah-mbah peyot. Kalau itu aku ya menang milih, dong. Apalagi masih muda. Melihat punyanya Nak jihan misalnya.) Lik To nyerocos diiringi tawa. Tawa lepas. Seolah berhasil membalas Lik Sum yang kerapkali membandingkan Lik To dengan lelaki lain.

Pluk!

Lik Sum melempar kulit singkong yang masih panas ke wajah Lik To. Saling jual-beli serangan melempar kulit singkong pun terjadi. Tak jarang mukaku dan Nenek masuk ke dalam radar serangan. Bajingan.

"Ya biarin tho, Pakne. Lah wong Tole Kobe itu ngerti kalau yang tua-tua gini lebih besar dan menggoda. Ya ndak, Le?" Lik Sum meminta dukungan.

Jempol aku acungkan tepat di depan buah dada Lik Sum. "Betul sekali itu, Bulik. Yang besar yang menantang."

"Nah, denger sendiri, tho?" Lik Sum menepuk-nepuk dadanya, bangga. Yang kemudian, secara tiba-tiba membawa kepalaku ke tengah-tengah dadanya yang tertutupi kaus partai. Bibirnya dengan gemas menciumi pucuk kepalaku.

Lik To hanya tertawa melihat tingkah konyol istrinya. "Pripun niki putune njenengan, Bu Zia? Nurun sinten bocah pecinta susu kadaluarsa niki? Lek dijar-jarno, rondo sak deso dientekno Karo bocah'e. Saran kulo sampun wayahe disalap ten Menur." (Bagaimana ini cucunya Anda, Bu Zia? Keturunan siapa bocah pecinta susu kadaluarsa ini? Kalau dibiarkan, janda satu desa dihabiskan sama anaknya. Saran saya sudah waktunya ditaruh di Menur.)

"Yo mboh nurun sopo, To. Aku dewe yo ndak ngatasi." (Ya tidak tahu keturunan siapa, To. Aku sendiri ya tidak ngatasi.)

"Wuaduh. Apa Tole Kobe ini ya suka pas di rumah lihati barang njenengan?"

"Ndak terima suka tok, To. Iniku sampai merah-merah dibuatnya." Cicit Nenek sambil menunjuk dadanya yang terbungkus kaus.

Lik To garuk kepala. "Dikapakno?" (Diapakan?)

"Yo dicucup. Yo dikokop nganti kelomoh. Kadang dicakoti sampe aboh kabeh pentilku. Wes aneh-aneh pokoke." (Ya dihisap. Ya lahap sampai belepotan. Kadang sigigiti sampai bengkah semua putingku. Sudah, aneh-aneh pokoknya.)

"Ajor wes." (Hancur sudah.)

Lik To dan Lik Sum kompak berdecak-decak sambil geleng kepala.

Mataku berkedut menahan kejengkelan akibat percakapan tak senonoh kolaborasi dua orang dewasa bermulut frontal. "Bisa nggak obrolan tidak berguna ini kita hentikan?"

"Iyo wes. Terus piye, Le? Iki ceritane awakmu liburan ta represing?" (Iya, deh. Terus bagaimana, Nak? Ini ceritanya kamu liburan apa refreshing?) Lik Sum membuka tema obrolan baru.

Aku tepuk jidat. "Sama aja liburan sama refreshing. Sampeyan ini kok ya ngeselin."

"Hahahaha. Ya maklum tho, namanya juga udah tua."

"Nggak ada hubungannya!" aku memijit batang hidungku. Lelah. Aku membakar rokok, lalu meletakkan di atas kursi kecil. "Aku ke sini disuruh Ibu nemenin Kakek sama Nenek. Sampeyan tahu sendiri kan kalau Kakek lagi sakit?"

"Oalah, gitu, tho. Ya, ya. Terus rencananya sampai kapan ndek sini? Apa ndak lanjut kuliah?"

"Pengennya gitu, Lik. Tapi ..." aku menatap Nenek sebentar, lalu tersenyum kecil ke Lik Sum, "aku pengen santai-santai aja dulu di sini sambil nyari inspirasi."

"Heleh! Ngomong aja nyari cewek. Pakai sok inspirasi-inspirasi segala," komentar Nenek, santai tapi benar.

Aku mengedipkan sebelah mata. "Salah satunya."

"Terus, apa wes dapet ceweknya?" Lik To bertanya, sembari mengunyah singkong, dilanjutkan menyeruput teh.

"Sudah, dong. Cantik dan manis ceweknya." Aku mengatakan itu sambil mengerling genit ke Nenek. Praktis membuat wanita tua itu tersipu-sipu malu.

"Siapa, Le? Wah, kayaknya bau-bau ada yang mau persiapan ke pelaminan." Canda Lik Sum.

"Onok pokoke, Lik." (Ada pokoknya, Bi.) Aku menuang teh hangat di dalam teko. Meniupnya. Kemudian, menyeruput sedikit. "Malah wes tumpaki." (Malah sudah aku naiki.)

Byurrrr!

Lik Sum yang baru saja ikut menyeduh teh panas langsung menyemburkan airnya ke wajah Li To. Bekas teh, Lik To usap, disambung melempar kacang tepat mengenai kening Lik Sum.

Hm, talah. Ada-ada saja kelakuan random orang-orang ini. Ada gitu modelan manusia macam mereka berdua di tempat lain? Oh, jelas tidak. Guyonan fisik nan cabul baru kutemui di zona antah berantah berkedok desanya para petani.

"Tambah ndak bener lama-lama kalian ini." Nenek sampai ikut menyuarakan isi hati menonton pasutri absurd di depan kami.

"Lah Tole Kobe ini, lho, Bu Zia. Kok bisa yo ndak njenengan awasi?" cetus Lik Sum.

"Ya gimana lagi tho, Sum. Yang ditumpaki aku, kok." Nenek berkata dengan santainya.

Byurrrrr!

Kali ini semburan teh hangat muncrat dari mulut Lik To. Wajahnya cengo menyorot Nenek dan aku bergantian.

"Bu Zia kalau guyon suka bikin orang jantungan," ucap Lik To.

"Dikandani ndak ngandel kowe iki, To. Ancen nyatane yo ngunu kuwi. Aku dewe yo heran campur seneng onok cah enom ganteng sek ngesir awakku. Hahahaha." (Dibilangi tidak percaya kamu ini, To. Memang nyatanya ya gitu itu. Aku sendiri ya heran campur senang anak anak muda ganteng yang naksir diriku. Hahahaha.)

Kontan saja Lik To dan Lik Sum memandangku penuh selidik.

"Sampeyan percoyo ta omongane Nenekku seng ayu kinyis-kinyis iki, Lik?" (Anda percaya kah omongannya Nenekku yang cantik menggoda ini, Paman?) aku mencoba berkilah. Mencoba menutupi blunder fatal yang dapat berakibat fatal imageku di mata Lik To dan Lik Sum.

"Aku lebih percaya bumi itu datar, Le."

"Sip. Sama kita." Aku mengulurkan tangan mengajak fist bump, yang kemudian Lik To menyambutnya sambil tertawa. Dasar orang gila.

"Lebih percaya satpam ABC daripada yang ngakunya berseragam hasil jual sawah."

"Yak, betul. Sama lagi kita."

"Lebih percaya lagi laporan ke damkar langsung ditangani daripada lapor ke si anu malah keluar duit. Iya kalau langsung ditangani ndak masalah. Lah kalau dibiarin gitu aja sama aja bohong."

"Wah. Ini sih aku juga punya pengalaman pribadi, Lik."

"Wong lanang lek kadung ngomong ndak isok diimbangi. Aku terimo nyimak ae wes." (Laki-laki kalau sudah ngomong tidak bisa diimbangi. Aku terima nyimak saja sudah.) Lik Sum berdecak-decak. Ia mengatakan itu dengan wajah kecut.

"Hehehe. Biasa, Lik, ini. Namanya juga laki-laki. Apa aja dibahas biar obrolannya jalan terus," sahutku, santai.

"Walaupun ndak nyambung," sambung Lik To.

Hahahahahaha!

Kami berempat tertawa bersama. Canda tawa yang pas tanpa ada kata tersinggung sudah menjadi kebiasaan orang-orang desa. Tak terkecuali kami yang sedang berteduh di bawah terpal biru.

Obrolan pun kembali mengalir.

Nenek mengambil atensi. Bahwasanya, kedatangannya ke mari untuk menengok ternak-ternak milik Kakek yang di kelola oleh Lik To bersama dengan ternak miliknya sendiri.

Dari masalah-masalah kecil hingga yang darurat semua dijabarkan satu persatu.

"Gitu, To. Makanya kita ini harus waspada sama maling suket. Jangan sampai dibiarin. Kalau bisa pos ronda dijalankan lagi. Sudah beberapa tahun ini keamanan desa kita ini kurang sekali karena ndak adanya anak-anak muda yang mau keliling jaga kampung pas malam." Pungkas Nenek, mengakhiri cerita. Yang kemudian, memasuki obrolan merundingkan solusi.

Lik To mengangguk paham. "Benar, Bu Zia. Saya juga mikir gitu. Minggu lalu saya sudah diskusikan ini sama Pak RT dan warga lainnya perihal masalah maling suket. Ndak cuma suket aja yang di maling, tapi ternak kita satu-dua ekor ikut digondol."

"Kenapa ndak dihajar aja, Lik? Dihabisi di tempat, gitu? Kan ini sudah tergolong tindak kejahatan." Aku ikut berpendapat.

"Ndak bisa terlalu gegabah, Le. Maling-maling ini dilindungi negara." Lik Sum menimpali.

Aku mengenyit. "Maksudnya, Lik?"

"Kita ndak bisa asal menghajar maling, apalagi sampai menghilangkan nyawa biar pun posisi kita benar dengan dalil membela diri. Berkaca dari kasus yang dialami seorang peternak desa sebelah yang kemalingan kambingnya terus dia membacok malingnya, eh, malah dia yang jadi tersangka."

"Waduh. Lucu juga, ya, Lik."

Nenek mengambil kacang. Mengupas kulitnya. Sambil mengunyah, ia ikut berpendapat, "Namanya juga negara lawak. Yang kayak gini sudah biasa. Coba korbannya dari kalangan atas dan mencoba membela diri mengamankan harta benda dari tangan maling, lain cerita."

"Terlalu banyak sampah berserakan. Aku jadi enggan menghirup udara yang sama seperti mereka."

Lik Sum mengangguk. "Bulik juga, Le."

"Inilah hidup, Le." Lik To tersenyum, "di mana ada putih, di situ ada hitam. Dunia akan kiamat kalau salah satunya pudar."

Aku tepuk tangan. "Aku suka kata-kata sampeyan."

"Sebenarnya, kata Pak RT kemarin, ndak pa-pa dihabisi di tempat sampah-sampah masyarakat ini. Darahnya halal untuk diminum. Cuma, kalau bisa jangan ada laporan ke pihak mana pun. Cukup warga desa aja yang tahu sama tahu."

"Biar beritanya nggak keluar, dan meminimalisir orang-orang berseragam datang. Gitu, bukan?" aku menyimpulkan.

Lik To, Lik Sum, dan Nenek kompak menjentikkan jari, seraya berseru, "Betul!"

"Kalau gitu aku butuh senjata terkuat."

"Aku punya celurit, Le. Nanti kita lawan berdua. Gini-gini, aku dulu mantan preman, Le. Jangan salah kamu."

"Preman pas SD. Selebihnya ya jadi kacung."

"Ndak apa-apa kacung, yang penting uangnya halal. Daripada ngutil duit bansos?" Lik To menaik-turunkan alisnya. Songong.

"Wong iki kemenyek lek onok awakmu, Le. Lambene lamis ngunu kuwi mek pemanis gawe emben nyalon dadi kades." (Orang ini songong kalau ada kamu, Nak. Mulutnya bisa bijak gitu itu cuma pemanis buat besok nyalon jadi kades.) Hina Lik Sum kepada Lik To yang sedang ceramah gaya bebas.

"Lho, lho, lho. Nyalon temenan ta, Lik? Gak ngedabrus, kan?" (Lho, lho, lho. Nyalon sungguhan, kah, Paman? Tidak omong kosong, kan?)

"Awakmu percoyo lambene gendut iki? Kecewa aku." (Kamu percaya mulutnya gendut ini? Kecewa aku.)

"Percoyo gak percoyo seh, Lik. Soale prejengane sampeyan wes koyok pejabat. Ditambahi nggawe songkok terus berdasi, wes cocok dadi kades idaman mbak-mbak KKN." (Percaya tidak percaya, sih, Paman. Soalnya karakter Anda sudah seperti pejabat. Ditambahi pakai peci terus berdasi, sudah cocok jadi kades idaman mbak-mbak KKN.)

"Mosok, Le? Pantes temen, ta?" (Masa, Nak? Pantas sungguhan, kah?)

"Pantes, Lik. Maksudku, pantes diobong." (Pantas, Paman. Maksudku, pantas dibakar.)

"Cok, kurang ajar!"

HAHAHAHAHAHAHA!

Canda tawa yang saling kami lontarkan bertahan agak lama karena hujan tak kunjung reda. Sementara langit sudah mulai gelap. Untuk membunuh sepi, kami membakar ikan hasil tangkapanku dan Nenek di sungai. Ditemani dua botol Arak Bali yang dikeluarkan oleh Lik To, kami kembali bercengkrama tanpa batas. Mengeluarkan segala uneg-uneg yang menjadi ganjalan hati.

Cerita demi cerita perjalanan hidup ketiganya yang baru pertama kali aku dengar dari mulut mereka membuatku sadar satu hal penting yang sudah lama aku lupakan.

Adalah sabar. Sejatinya, baik Nenek, Lik To, mau pun Lik Sum mulanya berangkat dari orang yang tidak punya. Berada di titik kesuksesan bukan semata-mata instan. Ada andil besar ketekunan serta keuletan mereka dalam menjalani roda kehidupan. Yang kadang di bawah, kadang di paling bawah.

"Ini, Le, kamu yang terakhir," ucap Lik To dengan suara sengau seraya memberikan gelas terakhir berisikan setengah minuman kepadaku.

Tanpa basa-basi, aku mengambilnya. Meminumnya sampai tandas. Gelas kuletakkan di samping dua botol Arak Bali yang telah kosong.

Setelahnya, kami berempat merokok sebal-sebul sambil memandangi ke arah kandang sapi. Bebauan tai bercampur air hujan menjadi stimulan reaksi kenyamanan mengundang kantuk tak tertahan.

Mungkin melihatku yang mulai mabuk kepayang ini mulai menunjukkan gelagat tak biasa, Nenek segera mengajakku pulang. Berpamitan dengan Lik To dan Lik Sum tanpa mendapat jawaban karena keduanya sudah bersandarkan di dinding dengan mata terpejam.

Bermandikan hujan, aku dan Nenek berjalan sempoyongan menuju rumah kami. Dingin karena udara yang dibawa angin. Hangat karena rangkulan tangan Nenek di pinggangku.

Selain daripada itu, mandi hujan di malam hari saat kondisi mabuk sedikit banyak membantu untuk tetap sober. Bedanya kalau di kota aku langsung mandi di bawah guyuran shower.

Sesampainya di rumah, aku putuskan untuk berjalan sendiri masuk ke dalam. Tepatnya langsung menuju ke kamar mandi. Nenek menyusul di belakangku.

Berdua, kami telanjang bulat. Membilas badan menahan hawa dingin sambil tetap fokus untuk sadar.

Tanpa banyak drama, kami segera masuk ke dalam kamar. Berganti pakaian. Naik ke atas ranjang. Menarik selimut. Kemudian, kami tidur berpelukan.

Pinginnya sih tidur. Benar-benar tidur. Tapi kalau sudah berdekatan begini, mana bisa si Palu Gatot diajak kompromi. Aku kira saat hujan-hujan barusan ia memilih bersemedi agar esok kembali fit untuk berpetualang mencari kenikmatan lendir.

"Hm, Umi," bisikku.

Mata Nenek terpejam, tapi mulutnya berdeham.

"Ayo ngentot."

"Hahahaha. Kamu gila. Masa kamu ngentotin aku? Kamu kan anakku. Aku juga punya suami. Tempekku punya bapakmu, jadi ndak menerima kontol lain." Tawa Nenek, tak jelas. Omongannya juga ngelantur. Ngawur.

Parah. Mana bisa aku menggarap Nenek dalam kondisi mabuk begini? Ternyata efek mabuk yang dialami Nenek baru muncul sekarang. Pantas saja ia mengajakku pulang. Bukan karena khawatir kepadaku, tapi khawatir kepada dirinya sendiri. Jaga-jaga agar tak berbuat hal di luar nalar kalau sudah alkohol yang berbicara.

Di sisi lain, rasa dahaga si Palu Gatot yang sebelumnya gagal klimaks bersama Nenek terkesan menuntutku untuk mengawali permainan. Terlebih batang si Palu Gatot kian mengencang manakala tertindih paha gempal Nenek.

Tanpa babibu, segera aku melepaskan seluruh pakaian sampai telanjang. Sejurus, kutindih Nenek. Kulancarkan ciuman ganas ke bibirnya. Akan tetapi, Nenek yang sadar dirinya akan dicium segera menolak. Ia mengigit bibirku sungguhan. Dua tangannya digunakan untuk mendorong dadaku kasar.

Aku mencoba bertahan, tapi Nenek terus meronta-ronta dari dekapanku. Tak ayal, pipiku kena bogem kepalan tangannya. Belum lagi pundakku yang digigitnya sampai berdarah. Pun punggungku sampai perih menjadi sasaran cakarannya.

"Lepaskan aku, anak setan! Aku itu Ibumu! Anak durhaka! Nakal! Jahat! Gila! Lepaskan aku! Lepas!" teriakan bercampur makian Nenek menggema di seluruh ruangan.

Aku mulai gelap mata. Tak kuhirauakan teriakan dan makian Nenek kepadaku. Kukunci dua pergelangan tangannya dengan tangan kiri. Perutnya kutindih sembari melepasakan daster yang dikenakannya dengan susah payah.

Sepetti biasa, Nenek tak pernah memakai dalaman kalau menjelang tidur. Hal ini memudahkanku untuk menjamahnya tanpa membuang-buang waktu.

Sedetik, aku dengan beringas melumat bibir Nenek meski bibirnya mengatup rapat. Tapi saat tanganku mulai meremas dan memilin-milin putingnya, bibir Nenek terbuka sedikit. Tak kusia-siakan kesempatan ini untuk melancarkan serangan di bibir. Kuhisap. Kujilat. Kugigit.

Nenek masih meronta. Badannya bergerak ke kanan-kiri. Berbeda dengan gestur tubuhnya yang menginginkan sentuhan. Untuk beberapa saat, Nenek masih kukuh ingin melepaskan diri. Sampai-sampai ia secara sengaja melancarkan serangan menggunakan lutut ke arah perutku. Bajingan!

Bibirku meringis menahan sakit. Baru sekarang aku melihat Nenek sekasar ini. Benar-benar gila kalau sudah mabuk. Ia lupa diri, sekaligus lupa siapa lelaki yang sedang birahi tegangan tinggi di atas tubuhnya.

Hingga kemudian, kurasakan nafas Nenek yang bibirnya sedang kulamat buas ini mulai memburu. Naik-turun. Badannya hangat tanda mulai terbakar nafsu. Karenanya, tanpa perlu bertanya apa memek Nenek sudah basah atau belum, aku segera menusuk masuk si Palu Gatot tanpa bimbingan.

BLESSSSS!!!

Sekali sentak, aku lesatkan si Palu Gatot jauh merangseng masuk ke dalam. Mentok. Sampai ujung menyentuh leher rahimnya. Hangat berdenyut jepitan dinding memek mengunci kontol.

Namun, insting kelelakianku mengatakan ada bahaya yang akan datang. Entah aku yang terlalu lambat merespon, atau Nenek yang masih dalam pengaruh alkohol melotot sambil berteriak marah. Tangannya membentuk tinju. Begitu cepat melesatkan bogem mentah ke dadaku hingga aku terjengkang ke belakang. Praktis, batang kontolku tercabut dari sarangnya.

Hingga beberapa saat berlalu, keheningan diselimuti hawa dingin bertajuk birahi tergantung tanpa penyelesaian memasuki tahap akhir. Di mana, mataku mulai terpejam. Nafasku naik-turun tak karuan. Seiring rasa
nyeri punggungku menghantam almari jati, berikut foto album usang yang berada di atasnya menghantam kepalaku.

Samar.

Buram.

Seolah tabir rahasia mulai terbuka tanpa kesengajaan saat di mana mataku yang mulai redup menangkap siluet salah satu foto di dalam album jadul terbuka tepat pada foto seorang wanita yang menggenakan pakaian ala putri keraton yang tengah menggendong seorang bayi. Ya, bayi laki-laki yang mirip denganku. Dan wanita di dalam foto adalah ... Nenek?
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd