Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Nenekku, Pahlawanku [TAMAT]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    494
Bimabet
***

Dingin embun pagi bersinergi dengan mentari menampar kulit memberi salam kedamaian untuk warga Desa Gentengan.

Bebauan pohon bercampur udara bersih jauh dari kata tercemar menentramkan jiwa hingga sanggup memaksaku membuka mata. Sedikit susah payah, mengingat rasa kantukku yang teramat sangat.

Sambutan pertama yang kuterima adalah kepalaku yang berdenyut berat nan pusing. Pun rasa nyeri di dada juga punggungku.

Ah, bajingan.

Perlahan aku bangkit dari tidurku. Tidur di lantai semalam suntuk bukan ide yang bagus jika berada di wilayah dataran tinggi syarat akan suhu dingin menusuk daging sampai ke tulang.

Duduk bersila sambil memegang pelipis, pandanganku masih berbayang. Untuk sejenak aku mengerjapkan mata demi membantu meraih kesadaran penuh diriku akibat minuman kematian yang aku tenggak bersama para orang dewasa kemarin.

Cukup. Kuedarkan pandanganku ke segala penjuru kamar. Kekacauan yang aku ciptakan semalam sudah nampak rapi dan bersih. Semerbak wangi bunga melati merangsang indera penciumanku untuk mencari darimana gerangan bebauan itu berasal.

Bangkit berdiri. Otot-ototku serasa linu. Suara kretek-kretek dari bahu, pergelangan tangan, lutut, sampai berisik bak melodi group musik campursari. Bersenandung merdu meluruskan urat-urat yang tidak pada tempatnya.

Ah!

Sebentar, aku melakukan perenggangan di tempat untuk beberapa saag. Tepat saat aku melakukan gerakan membungkuk, si Palu Gatot melambai-lambai di antara pahaku. Seperti biasa, ia bangun terlebih dahulu tanpa disuruh. Dasar kontol kurang ajar.

"Mulut siapa itu?" si Palu Gatot yang ikut senam bersamaku mulai berkicau.

"Lho, Tot. Kamu kok masih hidup?" tanyaku, sambil mengelus kedua bijiku yang mengkerut.

"Justru itu pertanyaanku buat kamu, Kapten Celeng. Kenapa kamu masih hidup setelah dibogem Nenek semalam, hah?!"

"Emangnya ada apa semalam?"

"Ngene iki lek kakean ngombe. Mendeme gak mari-mari."
(Gini nih kalau kebanyakan minum. Mabuknya tidak selesai-selesai.)

"Asu. Kok malah ngelamak ngene primata melata iki?" (Anjing. Kok malah kurang ajar begini primata melata ini?)

"He, gitar kentrung. Dengarkan aku ngomong, ya. Kamu itu semalam mabuk sama Nenek. Ujug-ujugnya kamu mau memperkosa Nenekmu sendiri. Untung aja Nenek berhasil memukulmu dengan mudah. Untungnya lagi, bukan diriku yang jadi sasaran tembak. Kalau sampai badanku yang seksi ini terluka, bisa-bisa aku cidera panjang, asu."

"Bajingan kamu, ya. Terus apa hubungannya sama aku, Tot?
" aku tambah pusing mendengar ocehan si Palu Gatot. Mana efek alkohol masih lumayan terasa. Bajingan.

"Mbokne ancuk! Capek asli aku ngomong sama dirimu yang sedang mabuk ini. Dahlah, intinya jangan jadi lelaki pengecut. Entot wanita pakai perasaan, bukan paksaan. Ngerti enggak kamu, Kapten Gemblung?"

"Kamu itu berisik. Lama-lama kamu kayak ibuku cerewet mulu. Sana tidur, daripada aku selesaikan kamu ke kamar mandi."

"Coba aja kalau berani,"
tantang si Palu Gatot dengan mendongakkan kepalanya songong.

"Bangsat."

Aku memijat kepalaku. Berharap pusingnya mereda. Di saat bersamaan, kembali hidungku mencium bau yang sempat kulupakan: bau wangi melati.

Mataku melirik ke arah kasur. Sprei kasur yang sebelumnya warna putih polos kini berganti warna. Tak hanya itu, bantal dan guling ikut diganti.

Aku menebak-nebak, apa Nenek yang melakukan ini semua? Mengingat Nenek yang biasanya bodo amat tentang kebersihan, kini malah terlihat seperti seorang istri idaman yang memperhatikan sekitar.

Berjalan ringan menuju almari, aku mencari celana pendek tanpa balutan celana dalam.

Pakai kaus tidak, ya? Nanti saja deh sehabis mandi.

Sebelum keluar kamar, aku ambil rokok dan korek di atas nakas. Berjalan santai melewati ruang makan dan dapur.

Sepi. Nenek masih belum kelihatan batang hidungnya. Apa Nenek sedang pergi berperang ke jalur Gaza, ya? Hahaha.

Aku terkekeh sendiri dengan lawakanku yang garing ini. Cuk, efek alkohol membuat otakku semakin konslet. Bajingan.

Byur, byur, byur!

Telingaku menangkap suara orang sedang mandi. Oh, lagi mandi rupanya si manusia binal itu.

Kulangkahkan kakiku menuju bilik kamar mandi yang berdinding beton. Mendorong pintu aluminium, kudapati Nenek yang sedang keramas di bawah pancuran air.

"Halo, Umiku yang semok." Aku menyapa sambil menyandarkan bahu di pinggiran pintu. Alis mataku menjelajah bebas tanpa halangan tubuh gemoy Nenek.

"Huaaaa! Jancuk!" Nenek kaget sungguhan. Buktinya ia refleks melemparkan gayung warna biru menghantam jidatku.

Pletak!

Brak!


Sebenarnya sih aku bisa menghindar. Sangat bisa. Tapi aku sengaja membiarkan kening mulusku menerima lemparan gayung agar mabukku cepat menghilang dari kepala.

Kuambil gayung, lalu kulempar ke dalam bak mandi. Sejurus, aku melepaskan celana pendekku, kemudian aku sampirkan di atas pintu bilik. Ikut bergabung mandi, tentu saja.

"Muwesti kebiasaan bikin jantungku mencetat." Bibir Nenek manyun tiga centi, berikut kerutan di dahinya, membuatnya seperti anak kecil yang merajuk minta kinder Joy.

Tawa kecilku keluar. Kurengkuh pinggang Nenek mesra. Lantas kuambil air dan menyiramkannya ke kepala Nenek yang masih bertaburkan busa shampoo.

"Lah salahe Umi dewe nggak nggugah aku. Aku katuken nganti belungku kram kabeh turu ndek lemah." (Lah salahnya Umi sendiri tidak membangunkan aku. Aku kedinginan sampai tulangku kram semua tidur di lantai.)

"Ck. Kowe turu koyok kebo. Nggorok banter ngalah-ngalahi unto. Untung ae aku baik hati ndak tak guyang banyu." (Ck. Kamu tidur seperti kerbau. Mendengkur keras kalah onta. Untung saja aku baik hati tidak aku siram air.)

"Huwaduh. Biar apa, Mi?"

"Biarin."

Hahahahahaha!

Aku dan Nenek tertawa bersama. Ujug-ujugnya kami mandi bareng. Tanpa embel-embel morning sex, kami hanya saling menyabuni, membilas, mengeramasi, lalu sentuhan berakhir saling mengeringkan badan dengan handuk.

Tanpa menunggu salju turun, yang sudah jelas tidak mungkin, kami keluar dari bilik. Berjalan bersama bak pengantin muda. Pengantin gila lebih tepatnya. Benar, kan? Mana ada lelaki normal selain aku yang jatuh cinta sama wanita yang lebih tua? Bukan hanya tua, tapi wanita yang kucintai adalah nenekku sendiri. Gila, tidak? Bajingan.

Selesai berpakaian, aku keluar kamar. Niatnya mau sarapan, tapi kuurungkan niatku manakala Nenek yang hanya memakai kemben dan bra hitam datang menghampiriku. Berdiri santai dengan rokok terselip di bibir, dan tangan kanan menenteng rantang.

Iya, rantang. Seingatku rantang itu milik Adam yang tempo hari digunakan untuk mengantar berkat syukuran ke rumah.

"Terno nang omahe Adam, Be. Ojok lali mesisan njupuk jatah jagung ambek kelopo." (Antar ke omahe Adam, Be. Jangan lupa sekalian mengambil jatah jagung dan kelapa.) Perintah Nenek sambil menyodorkan rantang kepadaku.

Aku menerimanya. Menaik-turunkan rantang sejenak untuk mengukur beratnya, sebelum bertanya, "Siap, Ndoro. Ngomong-ngomong, ini kok berat gini isinya apa kalau hamba boleh tahu?"

Terlebih dahulu Nenek menghisap rokok sebelum akhirnya menjawab jenaka, "Itu isinya ote-ote yang aku campur batu geragal dari Gunung Semeru. Tolong segera kamu antarkan sebelum ote-ote itu mbeledos."

"Cuk. Lawak terus!" gemasku, seraya menarik satu pipi Nenek sampai melar.

"Aduh! Kenapa pipiku yang ditarik, sih, Be? Kenapa ndak susuku aja?" cicit Nenek. Mulai kumat centilnya.

"Alah. Nggak jadilah aku nganter ke rumahnya Adam." Aku bersiap menerkam Nenek. Tapi sedetik, wanita liar itu menghindar dengan gesti sambil cekikikan. Ia berlari cepat menuju belakang, lalu tawanya berubah cekakakan. "UMIIII!" teriakku.

"HUAHAHAHAHA! UDAH SANA NDANG MINGGAT BOJO GENDENG, AKU KAPE NGISING!" (HUAHAHAHAHA! UDAH SANA BURUAN PERGI SUAMI GILA, AKU MAU BERAK!) seru Nenek penuh ledekan, yang langsung menghilang secepat setan.

"Asu emang. Awas aja kalau aku pulang nanti. Aku genjot sampai muncrat tempekmu." Aku menggerutu sendiri.

Sejurus kemudian, aku melangkahkan kaki ke depan. Tak lupa mengambil kunci motor di atas meja ruang tamu. Aku harus segera menyelesaikan misi ini sebelum si Palu Gatot demo minta jatah bisa panjang urusan. Bajingan.

"Iya terus. Teruskan, Bos. Lanjutkan fitnahan serta mengkambinghitamkan diriku yang perkasa ini. Toh dirimu tanpaku hanya sekelas mas-mas biasa tukang sol sepatu." Si Palu Gatot menyahut sambil merenggangkan otot-otot batangnya yang kaku.

Aku kasihan. Kubantu dirinya membenarkan posisi badannya yang miring ke kiri. "Udah nggak usah protes. Daripada aku panggilkan Mas Bara selesai kamu."

"Arek kok combe. Eh, tapi yo ndang kono wadulo nang Mas Bara lek wani. Palingo kon dikacangi terus diuncali upil, hehehe."
(Orang kok ember. Eh, tapi ya buruan sana adukan ke Mas Bara kalau berani. Palingan kamu dikacangi terus dilempari upil, hehehe.)

"Jangkrek, maksudmu opo, Tot?" (Jangkrik, maksudmu opo, Tot?)

"Kok sek takok. Mbok pikir aku gak ero ta lek Mas Bara sak iki sibuk ambek bojone? Kan Mbak Dira seng semlohai iku ijenan tatak mengalihkan dunianya Mas Bara sampe lali karo readers'e." (Kok masih bertanya. Kamu pikir aku tidak tahukah kalau Mas Bara sekarang sibuk sama istrinya? Kan Mbak Dira yang bahenol itu sendirian sanggup mengalihkan dunianya Mas Bara sampai lupa sama readers-nya.)

"Mosok, seh? Lah iku Mas Bara wes mulai aktif nulis ndek lapak Hak Asasi Money." (Masa, sih? Lah Mas Bara sudah mulai aktif nulis di lapak Hak Asasi Money.)

"Endi onok, su." (Mana ada, njing.)

"Oh iyo seh, kon lak gak duwe moto, Tot, dadi gak isok ndelok, hahahaha." (Oh iya sih, kamu kan tidak punya mata, Tot, jadi tidak bisa melihat, hahahaha.)

"Cok. Ngguyumu koyok barongsai, Kapten Celeng." (Cok. Tertawamu seperti barongsai, Kapten Celeng.)

"Wes mingkemo disek, Tot." (Sudah tutup mulutmu dulu, Tot.)

"Kape lapo?" (Mau apa?)

Brot! Brot!

"Ahhh ... lega sekali." Aku mengeluarkan gas super wangi dari lubang pantat tercinta. Untung saja tidak ada orang di dekatku. Kalaupun ada, sudah pasti ia akan terbang melayang ke awang-awang.

"Cok! Entutmu ambune koyok brem Madiun, cok! Kapten Bajingan!" (Cok! Kentutmu baunya seperti brem Madiun, cok! Kapten Bajingan!) maki si Palu Gatot penuh emosi.

Aku hanya tersenyum sambil mulai melangkah ke luar rumah. Bersiap menyambut gerangan apa petualangan yang bisa aku dapatkan hari ini.

***

Brum! Brum! Brum!

Aku tarik gas sebanyak tiga kali, lalu mematikan mesin motor RX King kesayangan Kakek. Ku-standar-kan miring di depan Warung Makan Seger Waras.

Melenggang masuk sambil menenteng rantang di tangan kiri, aku menyapa beberapa pengunjung yang kesemuanya laki-laki. Mencoba ramah meski aku tidak kenal siapa mereka. Kebiasaan di desa ini sedikit demi sedikit aku imbangi. Kalau tidak, bisa-bisa aku dicap anak muda kurang ajar minim adab oleh warga. Bajingan.

"Uamit. Sugeng enjing, Bu Rini." (Permisi. Selamet pagi, Bu Rini.) Aku menyapa. Berdiri di depan etalase yang di belakangnya ada si pemilik tobrut sebesar semangka. Bu Rini, wanita itu menghentikan sejenak aktifitas mengaduk meki. Ah, maksudku mengaduk kopi. Ia menatapku agar mengernyit, lalu tersenyum lebar menyambut kedatanganku.

"Walah, cah bagus teko endi iki isuk-isuk wes nyambangi Emak?" (Walah, anak ganteng darimana ini pagi-pagi sudah mendatangi Emak?)

Bu Rini berjalan memutari etalase. Keluar mendatangiku. Mengabaikan kancing daster motif kembangnya yang terbuka dua. Sengaja atau tidak, yang jelas aku menikmati dengan kesadaran penuh belahan montok yang seolah memanggilku untuk membawanya pulang.

"Aku dari rumah, Mak. Ini dari Nenek." Aku menyerahkan rantang kepada Bu Rini. Setelah itu, aku mengambil duduk di kursi kosong.

"Kok jadi repot segala, tho, Nak." Bu Rini menerimanya. Ia letakkan di dalam. Kemudian, Bu Rini bertanya, "Ngopi dulu, Nak?"

"Susu aja, Mak." Aku menjawab santai sambil mulai membakar rokok.

Sontak ucapanku yang ambigu ini mengundang lirikan aneh bapak-bapak di dalam warung. Hanya saja, mereka langsung membuang muka saat seorang gadis manis masuk ke dalam warung. Aku agak tercenung saat melihat perutnya yang buncit. Hamil, kah?

Kala gadis manis berjilbab putih masuk ke dalam warung, semua mata tertuju padanya. Selain parasnya yang semanis gulali, badannya cukup menggiurkan sekaliber gadis desa berkulit sawo matang.

Sampai di mana mata kami bertabrakan. Bak magnet yang saling tarik-menarik, kami sama-sama terdiam. Gadis itu mendekat Ke arahku. Dan aku sendiri secara tak sadar tiba-tiba berdiri.

"Kamu Kobe?" tanya gadis manis itu sambil mendongakkan kepala. Wajar, ia mendongak mengingat tingginya hanya sedadaku.

"Kamu kenal aku?" aku malah balik bertanya.

Gadis manis itu tertawa kecil. "Gimana aku bisa lupa sama orang yang sama, yang pernah memaki ibuku di jalan."

"Hah?"

Aku mencoba mengingat-ingat memori yang dikatakan Jihan. Memakai? Ibu-ibu di jalan?

Seingatku, hanya ada satu ibu-ibu yang kumaki. Itu pun wanita paruh baya di jalan raya saat aku sedang dalam perjalanan ke kota kabupaten bersama Tante Ima.

Kalau tidak salah, wanita itu membawa motor tanpa helm dengan dua balok es batu diletakkan di depan motor matic-nya.

Dan pada saat aku memakinya dari seberang jalan, mataku menangkap satu eksistensi lain yang berdiri di pinggir jalan sambil membawa tas plastik besar berisikan barang belanjaan.

Ya, gadis manis memakai jilbab putih. Satu sosok yang bukan hanya mirip, tapi memang dia orangnya ...

"Aku Jihan. Mungkin kita belum pernah bertemu secara langsung sebelumnya. Tapi aku tau kamu karena selain memaki ibuku, kamu juga udah bikin suamiku bonyok." Gadis manis yang memperkenalkan diri bernama Jihan itu mengulurkan tangan. Sekaligus membuka sedikit rasa penasaranku akan sosok wanita yang tak lain statusnya sebagai menantu Pak Kusno dan Bu Rini.

Aku menjabat tangan Jihan yang sehalus sutra. "Oh, Jihan. Aku pernah denger namamu beberapa kali. Soal ibumu aku sungguh minta maaf dari lubuk hati yang terdalam kalau aku emosi waktu itu," aku menjeda, "dan soal suamimu ... Adam, kan?" aku bertanya, memastikan.

Jihan mengangguk. "Iya."

"Sorry juga. Dia ngelamak sama aku. Ya udah aku pukul aja biar tau kalau aku ini aslinya preman terkuat di bumi, hehehe."

Jihan terkekeh sambil menutup mulut dengan punggung tangan. "Hihihi, Kobe lucu ya orangnya."

"Nak Kobe ini ndak cuma lucu, Nduk. Ngangenin." Hampir saja aku ingin menjawab ucapan Jihan, Bu Rini sudah lebih dulu menyambar ikut nimbrung. Ia berjalan menghampiri kami sambil membawa susu putih panas yang diletakkan di atas lepek. "Nih, susunya. Susu putih kental langsung dari sumbernya," bisiknya dengan suara mendesah.

"Hihihi, kalau boleh punya suami lagi, rela deh akunya dinikahi Kobe." Jihan menimpali sambil mengedipkan sebelah mata.

"Hush! Lambene. Wes duwe bojo sek ngelirik lanangan liyo. Gak oleh. Kobe tek'e Emak." (Hush! Mulutnya. Sudah punya suami masih ngelirik lelaki lain. Tidak boleh. Kobe punya Emak.)

"Lah, tambah ngawur. Emak yo wes duwe Bapak kok sek nggeragas. Iki wayahe anak muda tampil, yo. Emak ojok melok-melok." (Lah, tambah rumit. Emak ya sudah punya Bapak kok masih maruk. Ini waktunya anak muda tampil, ya. Emak jangan ikut-ikut.)

Bajingan! Cobaan macam apa ini, setan?!

Dua wanita penggoda iman sedang sibuk berdebat memperebutkan seekor Kobe Bangun Kusumo. Bajingan.

Kalau begini, bisa-bisa aku seret dua betina ke semak-semak, lalu aku ajak threesome sampai mereka bertekuk lutut di hadapan si Palu Gatot karena sudah berani mengusik kesetiaanku yang hanya kuberikan kepada Nenek seorang secara tidak langsung.

Aku duduk terlebih dahulu. Membakar rokokku yang sempat padam. Sekadar mengurangi kegugupan di depan dua singa betina yang memancarkan kuat inner beauty sekaligus birahi.

Kuperhatikan semua orang seolah sedang menungguku untuk mengucapakan sepatah-dua patah. Aku memilih cuek. Menuang susu di atas lepek, lalu menyeruputnya.

Ah, nikmat sekali minum susu sambil memandang susu. Eh? Iya juga, ya. Tak hanya dua susu brutal milik Bu Rini, susu milik Jihan juga tergolong lumayan. Selain efek hamil, susunya itu memang sudah bawaannya sebesar melon. Aku jadi membayangkan ibunya Jihan selaku pabrik tempat di mana produknya berasal. Pastilah susu wanita itu lebih besar, bahkan setara dengan susu Bu Rini.

Lengan Bu Rini menyenggol-nyenggol Jihan. Keduanya kompak menatapku genit. "Lihat sendiri, kan, Nduk, matanya yang lirak-lirik itu lho yang bikin kangen."

"Jangankan mata, ini kerisku kalau udah kerasukan khodamnya bisa tambah kangen kalian," jawabku dengan santainya menutupi malu ketahuan menatap mesum sekumpulan daging bernama buah dada. Yang kemudian, ucapanku ini mengundang hujatan bapak-bapak.

"Mak, kopiku endi?" (Mak, kopiku mana?) mungkin kesal karena pesonaku terlalu menyilaukan untuk para betina, seorang bapak tua menegur Bu Rini dengan suara keras.

Bu Rini tersentak. Ia menoleh. Cemberut. "Duh, kah. Ganggu ae sampeyan, Cak Rul." (Duh, kah. Ganggu saja kamu, Cak Rul.) Sejurus, Bu Rini menatap Jihan. "Nduk, gawekno kopi gawe wong tuwek iku. Emak onok urusan ambek Nak Kobe." (Nduk, buatkan kopi untuk orang tua itu. Emak ada urusan sama Nak Kobe.)

"Nggih, Mak." (Iya, Mak.) Jihan menjawab takzim sembari berjalan pelan menuju belakang etalase. Mengingat ia sedang hamil, jadi tidak mungkin kalau harus berlari.

Selanjutnya, tanpa perlu diucap untuk menafsirkan kode mata Bu Rini yang menyuruhku untuk berdiri mengikutinya ke rumahnya di belakang warung.

Kuselipkan rokok di jari kanan, sementara tangan kiri memegang gelas susu tanpa lepek. Sebelum pergi dari area warung, aku menoleh ke arah bapak-bapak. Aku majukan bibirku, lalu melakukan gerakan seperti mengenyot susu.

"Wedhus!"

"Bajilak!"

"Taek!"

"Mendo!"

Aku hanya tertawa menanggapi makian keirian mereka.

Tawaku ini mengundang atensi Bu Rini untuk menoleh. Ia berhenti sejenak. Menatapku heran, lalu memandangi pengunjung warung. "Kobe Ini cucunya Pak Dewo sama Bu Zia. Kalian jangan main-main sama dia kalau ndak mau berakhir kayak Adam. Paham?!" bebernya, yang diakhiri bentakan.

Semua orang jelas terkejut akan fakta yang sebenarnya tidak penting-penting amat. Pandangan mereka yang semula garang kepadaku kini mulai menunduk. Ketakutan? Entahlah. Aku sendiri tak yakin jika mereka takut denganku. Bisa jadi mereka segan dengan kakek dan nenekku yang notabene termasuk orang berpengaruh di Desa Gentengan.

Tibalah aku di halaman rumah Bu Rini bertaburkan tanaman hias. Rumah satu petak dengan cat kuning menyala itu cukup asri. Selain terlindungi dua pohon besar nan rindang di kanan-kiri rumah, ornamen-ornamen klasik khas Jawa menambah kesan kenyamanan siapa pun orang yang bertamu.

Mengekor di belakang Bu Rini, aku menikmati udara sejuk memanjakan paru-paru.

Dibarengi suara pintu terbuka, Bu Rini menegur, "Masuk, Nak. Maaf kalau rumah Emak jelek."

"Ah, sama ae, kok, Mak."

Tanpa disuruh, aku mengambil duduk di sofa ruang tamu. Kuletakkan gelas susu di atas meja kayu, berikut rokok di atas asbak yang sudah tersedia.

Sejurus, Bu Rini menutup pintu, kemudian menguncinya dari dalam. Ia berdiri memandangku dengan mimik tak terbaca. Lalu, berjalan kemayumengambil duduk di dekatku. Dirasa kurang nyaman, ia merapatkan duduknya menempel di pahaku.

Kontan saja darahku sedikit berdesir. Aroma khas bau keringat wanita yang terpancar di tubuh Bu Rini membangkitkan birahiku. Belum lagi saat aku mendongak menatap wajah Bu Rini yang cantik keibuan ini. Yang orang bilang Bu Rini wajahnya entotable.

Si Palu Gatot juga begitu. Ia malah bangun. Mana posisinya salah lagi. Bajingan.

Mau tak mau aku membenarkan batang si Palu Gatot yang miring ke kiri.

Gerakanku ini jelas saja mencuri perhatian Bu Rini. Tanpa basa-basi, tangan Bu Rini hinggap di pahaku. Mengelus naik-turun sambil menghembuskan nafas ringan di dekat leherku.

Cuk. Merinding sekali aku dibuatnya. Momen menyebalkan ini berjalan tanpa sepatah kata terucap dari mulut kami berdua. Hanya bahasa tubuh kami yang berbicara.

Tiba-tiba, bayangan wajah Nenek terlintas di depanku. Aku tersadar. Menghentikan tangan Bu Rini yang mulai merambat bergerak menuju area kejantananku.

"Ada banyak hal yang ingin aku bahas sama Emak." Aku berujar dengan nada serius. Mencoba mengedepankan akal sehat terlebih dahulu sebelum menggunakan nafsu.

Bu Rini terhenyak. Ia menarik tangannya. Mungkin merasa malu telah berlaku demikian kepadaku.

Berdeham dua kali, Bu Rini menyahut, "Ya, Nak."

"Pertama. Emak tau kalau Adam habis kuhajar kemarin?"

"Iya."

"Kenapa Emak nggak marah sama aku? Atau paling enggak Emak menegurku, gitu."

"Ndak ada untungnya Emak marah sama Nak Kobe. Lagipula Nak Kobe pasti punya alasan tersendiri kenapa sampai melakukan itu."

"Dan Emak tau alasannya?" aku bertanya sambil menatap Bu Rini intens. Lalu, Bu Rini menggelengkan kepala sebagai jawaban tidak tahu. Aku melanjutkan, "Bukan aku ingin memperburuk suasana. Adam udah menodai Nenek. Aku ndak tau udah berapa lama mereka berhubungan badan. Yang pasti, aku emosi pas Adam dengan santainya meminta itu ke Nenek pas di depan wajahku."

Wajah Bu Rini yang juga ikut serius menyimak penjelaskanku langsung berubah. Keterkejutan dibalut kemarahan pada sorot matanya kentara memancarkan hawa membunuh yang pekat.

Aku secara insting segera mengambil tangan kiri Bu Rini. Kugenggam erat sambil menatapnya tajam. "Sabar. Ini belum selesai."

Bu Rini mendengus. Mencoba menurunkan emosi di kepala sembari mengatur nafas yang sebelumnya memburu.

"Suami Emak juga sama."

"Cukup. Jangan kamu teruskan, atau aku akan keluar dari sini dan membunuh mereka!" desis Bu Rini penuh amarah.

"Ya."

Aku menatap Bu Rini dalam. Berusaha menenangkan hanya melalui tatapan. Cukup berhasil, kurasa. Bu Rini perlahan tenang. Tanpa melepaskan pegangan tanganku, Bu Rini menyandarkan punggungnya di sofa. Kepalanya menengadah menatap langit-langit rumah dengan sorot sesih. Sampai akhirnya, air mata mulai menetes membasahi pipi. Tangisnya mulai terdengar lirih.

Sejurus, aku melepaskan tangan Bu Rini. Kuusap air matanya di pipi. Kubuat senyum selebar mungkin di bibirku meski kemarahan mulai menyelimuti dadaku membayangkan kegilaan Nenek bersama Pak Kusno dan Adam sebelum aku tiba di desa ini.

Tanpa mengatakan apa pun, aku bawa Bu Rini untuk bangun. Aku memeluknya. Kuelus rambut panjangnya yang terurai ke belakang. Kontan saja tangis Bu Rini pecah. Ia balas memelukku erat. Membenamkan wajah di ceruk leherku yang perlahan basah air mata seorang wanita yang baru saja mengetahui kebenaran menyakitkan dari mulut orang lain.

"Ssssttt! Udah, ya, Mak. Tenang. Sabar. Nggak pa-pa." Aku berkata lembut sembari melepaskan pelukan secara perlahan. Kutatap penuh perasaan wajah Bu Rini yang dirundung nelangsa.

"Hiks ... Emak ndak nyangka, Nak, hiks ... tega mereka sama Emak ... tega!" raung Bu Rini, yang kembali menangis keras. Ia menggunakan kedua telapak tangan menutupi wajah.

Aku jelas kaget. Kalau suaranya sekeras ini, bisa-bisa mengundang orang berdatangan. Terlebih aku dan Bu Rini tidak memiliki status apa pun. Sebenarnya aku tidak takut kalau ada yang menggerebek kami. Toh, aku bisa menghajar mereka kalau sampai menganggu. Yang aku cemaskan hanya Jihan.

Ya, Jihan. Gadis manis itu sedang mengintip dari jendela kanan rumah, yang entah sejak kapan selambunya sedikit terbuka.

Namun, namanya juga aku. Apa kelihatan wajahku peduli? Tidak! Justru aku ingin memberikan tontonan menarik kepada Jihan sebentar lagi. Ya, sebentar lagi. Kenapa harus sebentar? Kenapa tidak langsung sat-set? Itu karena ...

"Mak, orang-orang pada ke mana?" ini yang ingin aku pastikan terlebih dahulu. Sangat tidak nyaman apabila ada yang menganggu rencana busukku.

Bu Rini yang masih sesenggukan menurunkan tangan. Ia menatapku dengan mata sembab. "Hiks ... ndak tau. Dan ndak mau tau!"

"Cup, cup, cup." Aku merangkul Bu Rini lagi. Membawanya jatuh ke dalam pelukanku. Kembali aku mengelus punggungnya. Sesekali jemariku menyentuh tali bra dibalik daster. "Udah, Mak. Udah, ya. Jangan nangis lagi. Daripada nangis, mending Emak mendesah aja lebih enak didengar."

"Huhuhu ... hihihi ...." Entah lanjut menangis atau tertawa, aku tidak bisa menerka suara apa yang dihasilkan dari bibir tebal Bu Rini.

"Kita balas mereka, oke?"

"Ya, Nak. Ayo kita balas dua bajingan tengik itu. Kita ke kamarku sekarang." Sebelum Bu Rini bangkit, aku menahan pundaknya agar kenbali duduk. "Kenapa, Nak?" tanyanya, bingung.

"Di sini aja."

"Tapi kalau ada orang-"

Aku menaikkan satu alis sambil tersenyum miring. "Emak takut?"

Bu Rini hanya tertawa kecil. Ia menyambut senyumanku dengan lengkung sempurna di bibirnya. Perpaduan wajah yang super entotable dan senyuman lebar nan menggoda.

Cup!

Sambil berpelukan, untuk pertama kalinya aku berciuman dengan Bu Rini. Ciuman penuh luapan perasaan kami berdua. Berbagai rasa bercampur aduk dibalik ciuman yang merambah ke arah saling pagut, saling lumat, dan saling hisap.

Kemampuan ciumanku sudah cukup di bawah bimbingan sang ratu binal, Nenek gilaku, Nurul Fauziah.

Hanya dalam hitungan detik, intensitas ciuman kami yang semula mesra penuh perasaan kini berubah penuh nafsu.

Cup! Cup! Cup!

Disaksikan Jihan yang masih setia mengintip dalam diam dari balik jendela, suara kecupan diiringi desah nafas kami berdua menjadi cambuk gejolak nafsu binatang. Yang mana, di tengah permainan bibir kami yang entah kapan berakhir, aku dan Bu Rini saling melepaskan pakaian satu sama lain.

Satu-satunya pakaian berupa daster yang dikenakan oleh Bu Rini sudah aku lepaskan. Dalamannya yang berwarna hitam senada kubiarkan terlebih dahulu. Aku tak ingin terburu-buru. Masih betah mataku mengagumi bentuk badan bahenol Bu Rini bak gitar Spanyol.

Pun pakaianku mulai ditanggalkan oleh Bu Rini. Dari jaket, kaus, sampai celana panjang. Menyisakan celana dalam warna abu-abu sebagai pelindung terakhir si Palu Gatot yang masih nampak malu-malu menunjukkan taringnya.

"Bajingan kamu, Tot. Ngapain kok belum ngaceng?" tegurku, sambil mengelus batang kontol.

"Belum waktunya, Yang Mulia. Aku bakal menunjukkan jati diriku di hadapan gadis cantik berjilbab yang sedang mengintip itu." Si Palu Gatot membalas dengan nada angkuh.

Kurang ajar memang kontolku satu ini. Congkak sekali gayanya. Mentang-mentang kondisinya sedang prima karena semalam tidak dapat jatah, si Palu Gatot ini seakan ingin menunjukkan tajinya jikalau ia mampu menaklukkan dua wanita sekaligus tanpa masalah.

"Aku setuju sama kamu, wahai kontolku."

"Bah! Apa pula kau ini pakai setuju lagi? Biasanya kau selalu kontra sama awak. Bermanis-manis mulut kau rupanya bujang."

"Woi! Kenapa tambah songong gini mulutmu, tali rafia?!"

"Hohoho. Bukan gitu, Kapten. Aku cuma ingin menunjukkan ke para readers-mu ini kalau aku bukan sembarang aku."

"Bajingan kamu, Tot. Yang bener itu kontol bukan sembarang kontol."

"Berisik! Justru di situlah puncak komedinya. Dasar koplo!"

"Jangkrek!"

"Hahahahaha!"
si Palu Gatot tertawa puas penuh kemenangan.

Ya, ya, ya. Kamu menang kali ini. Besok-besok aku bikin kamu absen biar lumutan itu kepala kontolmu, asu.

"Woi, aku dengar, lho!" teriak si Palu Gatot tidak terima.

"Tunggu pembalasanku, ya, tol, kontol."

"Aaaaaa! Kapten Celeng jembut!"


Kembali ke laptop. Ah, maksudku kembali ke ruang tamu yang syarat akan aroma birahi tak tertahankan. Baik aku mau pun Bu Rani sama-sama mengatur nafas setelah cumbuan panjang yang kami lakukan.

Aku yang tengah memandang penuh nafsu setiap lekuk tubuh Bu Rini, dan wanita yang sebentar lagi menimang cucu itu masih setia memandang otot-otot kokoh di badanku.

"Emak seksi banget," bisikku, sambil mengelus pipi Bu Rini. Jempol kumainkan di sekitar pelupuk matanya.

Bu Rini sepenuhnya menghadap ke arahnya. Bibirnyabtersenyum penuh arti. Sudah tak nampak lagi raut kesedihan di sana. Syukurlah. Kalau begini kan tinggal mengalir saja sampai ke hilir.

"Kobe ... langsung masukkan aja kontolmu ke tempekku, Be." Bu Rini berkata manja sambil mendesahp. Ia meletakkan kedua tangan di leherku sambil mengelus belakang kepalaku.

"Sabar, ya, Sayang. Aku mau makan semangka dulu."

Tanpa menunggu jawaban, segera aku keluarkan kedua susu Bu Rini dari balik bra hitam.

Boing-boing!

Bajingan. Betapa ekstra besar, mulus, dan indahnya buah dada Bu Rini yang ada di hadapanku ini. Dihiasi areola hitam pekat bertakhtakan dua puting coklat yang cukup menonjol, payudara Bu Rini jelas tiada tandingannya.

Betapa bodohnya Pak Kusno menyia-nyiakan tubuh istrinya yang molek kelewat sempurna ini. Kalau saja aku jadi Pak Kusno, sudah aku buahi sampai beranak lima. Biar sekalian nanti jadi tim futsal di bawah asuhan si Palu Gatot.

"Aku maneh." (Aku lagi.) Kicau si Palu Gatot yang sepertinya sudah mulai pemanasan di bawah sana.

"Siap, Tot?"

"Gas!"


Oke, baiklah. Akan kukabulkan permintaan si Palu Gatot dengan mengulurkan kedua tangan menangkap payudara Bu Rini yang gundal-gandul seperti baskom ini.

Cup!

Terjun bebas bibirku mendarat sukses di daging kenyal milik Bu Rini. Kuberikan kecupan dan gigitan ringan di beberapa sampai akhirnya bibir dan lidahku berkolaborasi mempermainkan areola dan puting kiri Bu Rini.

Slurp!

Kujilati dengan rakusnya. Kuhisap dengan buasnya. Dan kugigit gemas dengan kuatnya. Praktis, puting itu mulai membesar, panjang, dan keras. Membuat bibir dan lidahku semakin betah berlama-lama mengenyot putingnya. Belum lagi tanganku aktif meremas dan mencengkram payudaranya meski telapak tanganku tak sanggup menampung seluruhnya. Terakhir, jemari tanganku sesekali memberikan cubitan halus di putingnya yang lain.

"Ahhhhh!" desah merdu Bu Rini. Ia mendekap kepalaku. Menekan-nekan. Seolah ingin menenggelamkan diriku ke kolam susunya.

Cup!

Kali ini sasaranku berganti ke puting kanan. Sembari tangan-tangan jahanamku menekan-nekan gunung kembar berukuran raksasanya yang mulai mengeras dengan gemas. Saking gemasnya, kuhentikan hisapan di putingnya yang sepenuhnya menegang, lalu menyusupkan kepalaku di tengah-tengah buah dada padat Bu Rini.

"Hahhh ...." Aku menarik kepalaku. Sedikit megap-megap karena Bu Rini ikut menekankan badannya ke depan.

Mengagumkan. Aku pandangi kembali payudara Bu Rini yang sudah tak perlu dipertanyakan lagi jikalau sekumpulan lemak ini menjadi favorit para lelaki. Termasuk aku si koki pemuja tobrut. Bajingan.

Wajahku terangkat beberapa derajat hingga menemukan wajah Bu Rini yang sudah sange luar biasa. Hampir seluruh kulitnya memerah. Tatapannya ikut sayu penuh gairah. Belum lagi keringat yang menguar bau birahi betina mengusik indera penciuman.

"Apa aku begini terhitung lancang menyentuh istri orang?" tanyaku sambil memandang Bu Rini penuh cinta.

Bu Rini menggeleng kecil. Matanya tak pernah lepas dari mataku. Lantas jemari tangannya berlabuh mengusap lembut pipiku, lalu membetet hidungku, sebelum berkata, "Lancang juga aku ndak nolak."

"Hehehe." Aku tertawa dengan nada rendah.

Hingga di satu detik berikutnya, tanganku mulai aktif bergerilya menjamah dua lipatan perut Bu Rini. Turun menggerayangi pusarnya, dan berakhir tiba di daerah kewanitaan. Kendati masih memakai celana dalam, dapat kurasakan sebasah apa memeknya.

Sejurus, tanganku menyusup masuk. Yang kutemukan semak belukar dalam kondisi lebat nan kasar. Kusibak-sibak rambut kemaluan Bu Rini sampai menemukan biji klitoris. Usapan ringan kulakukan. Jari tengah dan manis memainkan labia minora-nya yang terasa bergelambir.

"Ssshhh ... Kobeee ...." Bu Rini mendesah manis. Badannya bergerak tak beraturan. Resah. Semakin menggelinjang kala jemari tangan nakalku menggelitik memeknya yang semakin banjir.

Desahan demi desahan Bu Rini sedikit banyak membuat darahku berdesir. Pun mendidih. Aku terbakar nafsu. Setan bejat yang mulai mengambil alih akal sehatku bekerja maksimal.

Cup!

Aku membungkam bibir Bu Rini dengan ciuman. Ia menyambut ciumanku. Suara pagutan serta kecupan bibir kami menjadi tambahan komposisi melodi yang berdendang di bibir memek.

Jeda sebentar kuberikan untuk kami mengatur nafas. Bibir kami tak lagi bercumbu. Demikian pula aku keluarkan tanganku yang sebelumnya asyik mempermainkan kemaluan Bu Rini hingga basah kuyup.

"Beha celana dalamnya aku lepas, ya, Sayang?" aku berbisik.

"Kalau ndak dilepas, tak lepas sendiri." Masih bisa Bu Rini bercanda meski birahinya berapi-api.

Dua kain penutup terakhir di badan Bu Rini sudah hilang. Aku letakkan jadi satu di atas bantalan sofa. Setelahnya, kami berciuman lagi, dan secara perlahan aku mendorong tubuh Bu Rini untuk rebah di atas sofa, lalu aku setengah menindihnya agar tidak terlalu berat.

Dirasa sudah nyaman, Bu Rini melepaskan ciuman terlebih dahulu. Ia meraba punggungku. Lalu, tangannya turun menelusuri area selangkanganku.

Seolah baru saja menemukan harta karun, mata Bu Rini membola sempurna. Ia sampai berkedip dua kali untuk memastikan sesuatu yang ia pegang nyata adanya.

"I-i-ini apa, Kobe?!" seru Bu Rini, tertahan.

"Ini pisang kecil punya Kobe." Aku merendah.

Dikejar rasa penasaran, jemari lembut Bu Rini menurunkan celana dalamku sampai aku sendiri yang melanjutkan melepaskan segitiga pengamanku hingga terbebaslah sudah batang kebanggaanku yang kuberi nama si Palu Gatot, alias panjang berbulu gagah dan berotot.

Tuing!

Dengan sombongnya, kontolku mengangguk-angguk ke kanan-kiri menyapa semesta. Seolah hanya ia eksistensi langka yang hanya ada satu di dunia. Bajingan.

"Halo, semuaaaa!"

Tuh, kan! Apa kubilang? Hewan peliharaanku ini memang hanya memiliki mulut. Tapi ya begitulah, mulutnya cerewet dan suka ngatur. Untung saja aku masih ada rasa sayang padanya. Kalau tidak, sudah habis ia aku tinggal di lemari ice cream. Bajingan.

"Woi! Lambemu njalok tak tapok nggawe ndogku seng penuh nutrisi iki, ta?" (Woi! Mulutmu minta aku gampar pakai telurku yang penuh nutrisi inikah?)

"Wes menengo ojok kakean ita-itu. Aku kapene ngetokno ilmu padi." (Sudah diamlah jangan kebanyakan ita-itu. Aku mau mengeluarkan ilmu padi.)

"Opo? Ilmu peli? Yang bener aja. Rugi, dong!" (Apa? Ilmu peli? Yang benar saja. Rugi, dong!)

"Ruga-rugi ndogmu gedhe seseh, Tot." (Ruga-rugi telurku besar sebelah, Tot.)

"Okelah kalau begitu. Diriku yang selalu dipuji para betina pamit undur diri. Selanjutnya, diriku serahkan kepada Kapten Celeng-ku yang pekok ini. Babay, pemirsaaaa!"

Haduh. Sedang panas-panasnya malah ada saja iklannya. Memang kalau mau maksiat pasti ada satu-dua kendala. Selebihnya sudah jelas baik-baik saja.

"Emak? Mak? Kok ngelamun?" aku menepuk-nepuk pelan gunung kembar Bu Rini sambil mendongak menatapnya.

"Eh? Ehm ... Eh?!" entah mengapa, Bu Rini langsung memekik kencang. Terlebih ia berteriak seperti sedang melihat setan sambil mencengkeram kuat kontolku. Jelas saja aku meringis kesakitan. Sialan memang betina ini. "I-i-ini apa?" tanyanya, setelah mengendurkan pegangan, kemudian menaik-turunkan tangan dengan lembut.

"Emak udah bertanya pertanyaan yang sama dua kali. Jawabanku masih sama. Ini pisang kecil." Aku mengulang, sambil tersenyum jahil.

"INI KONTOL, KOBE! KONTOL! YA AMPUN, GUSTI! LEMES AKU, BE!"

"Wok, lebayne rek Emak iki. Biasa po'o. Koyok gorong tau nyekel manuk ae." (Wok, lebaynya sih Emak ini. Biasa saja, lah. Seperti tidak pernah memegang burung saja.)

"Lek manuk emprit wes biasa, Nak. Lah iki manuk sak mene gedhene yo jelas ndredek no aku." (Kalau burung emprit sudah biasa, Nak. Lah ini burung segini besarnya ya jelas grogilah aku.)

"Podo manuk emprit'e, Mak." (Sama burung empritnya, Mak.)

Bu Rini menggigit bibir bawahnya. Ia menyosor bibirku duluan. Menciumku ganas. Panas. Tangannya yang tak bisa sepenuhnya menggenggam si Palu Gatot kian gencar ia kocok sampai menunjukkan wujud aslinya. Batangku mulai tegak sempurna. Mengacung keras dengan urat-urat di beberapa bagian.

"Ahhhh ... tambah gedhe, Be!" (Ahhhh ... tambah besar, Be!) Bu Rini histeris lagi.

Aku tersenyum. Menaik-turunkan alisku menggodanya. "Dimulai?"

"Ayo, Sayang, entot aku ... aku beneran udah ndak kuat, Sayang ...." Erang manja Bu Rini sambil memeluk dan mengusap-usap punggungku.

"Dengan senang hati."
 
Terakhir diubah:
Pemanasan tipis-tipis ya bolo sambil meraba-raba sentuhan yg sempat tumpul. Semoga gaya bahasanya nggak banyak yg berubah. Enjoy the moment.

Btw, saya niati untuk menamatkan cerita ini Nenekku, Pahlawanku (tentu saja ada season 2 dengan judul berbeda).

Sambil menggarap sequelnya, saya mau buka lapak baru yg bertemakan perjalanan saya sama istri tercinta saya yg telah resmi menikah di tanggal 19 April 2024 lalu. Ini sebagai bentuk cinta saya sama kekasih yg sudah menemani hari-hari saya dalam suka dan duka selama empat tahun terakhir.

Wes ngunu ae. Tak tinggal nggolek maem sek bolo. Engkok tak lanjut maneh ngulak-ngulik pentil bini. Eh, maksud saya menulis cerita perentotan ini. Hehehe.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd